MAWARITS PERBANDINGAN
“ HUBUNGAN WASIAT DENGAN WARIS”
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Kelas : XI.IPA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia
dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak
atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal
seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara
memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang
diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang
di atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak
dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya
dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.
Keberadaan wasiat sebagai suatu proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup
lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang
mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terlihat pada masa
Romawi. Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyah, wasiat diberikan kepada orang lain dengan
tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat yang ada
ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini kemudian berubah
dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada dasar-dasar kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua
dan karib kerabat sebelum dilakukan pembagian harta warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat Dan Waris
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih
saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Secara
terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat mati1[1]
Fuqoha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan, wasiat adalah suatu
transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si
pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat
kepada penerima. kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia2[2].
Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta
orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah
meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk
mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. QS:Al -
baqarah : 188 sebagai berikut:
Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. Karena sensitif atau rawannya
masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah
tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
B. Hubungan Wasiat Dan Waris
Persamaannya dari keduanya yaitu sama- sama mengalihkan kepemilikan kita kepada
orang lain. Perbedaan dari keduanya yaitu: Waris terkait dengan harta peninggalan ( tirkah),
Wasiat terkait dengan peninggalan seseorang diberikan ketika orang masih hidup
(pelaksanaannya ketika orang yang berwasiat sudah meninggal). Islam sebagai ajaran yang
universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal
pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil
- adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi
keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi
perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian
harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia
yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian
harta warisan setelah di tunaikan dulu wasiat si mayat apabila ia berwasiat .
Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Al Baqoroh : 180)
1. Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti: anak, istri, saudara, karena
mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagaimana yang tersebut
dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Ashabu as-
Sunan). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka
dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: Sebagai bantuan bagi yang
membutuhkan, kedua: Sebagai sarana silaturahim.
2. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu
membawa maslahat.
3. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang dimilikinya. Dan dikeluarkan
setelah diambil biaya dari pemakaman.
4. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.
C. Wasiat Wajibah
memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah
suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian
harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’3[3]) Suparman
dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah
sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada
Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada
cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak
mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau
Di kalangan para ulama masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah ini.
Mayoritas ahli tafsir dan jumhur ahli fiqh menjelaskan bahwa ayat mengenai wasiat wajibah
tersebut telah di naskh dengan ayat-ayat mawarits. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa
hukum wasiat wajibah tersebut masih berlaku meskipun telah di mansukh oleh ayat-ayat
waris Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat untuk para kerabat yang
tidak mendapat bagian waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarits yaitu memberi
sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan bagian harta
warisan.
Wasiat wajibah pun secara eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan
193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.6[6]
Syarat-Syarat Bagi Orang yang Berhak Memperoleh Wasiat Wajibah
Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu7[7]:
1. Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima
sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat kepada
anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan