Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH FIQH

MAWARITS PERBANDINGAN
“ HUBUNGAN WASIAT DENGAN WARIS”

Disusun Oleh :

Kelompok 7

1. Sefti Nurrahma Witri


2. Umi Mayasari
3. Vina YUnita Lorenza
4. Wiwi Sofiani
5. Yensi Siregar

Kelas : XI.IPA

Guru Pembimbing : Busrial

MAN 1 SOLOK SELATAN


TAHUN PELAJARAN 2017/2018
Makalah Fiqh Mawarits Perbandingan “
Hubungan Wasiat Dengan Waris”

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harta adalah salah satu benda berharga yang dimiliki manusia. Karena harta itu, manusia
dapat memperoleh apapun yang dikehendakinya. Harta itu dapat berwujud benda bergerak
atau benda tidak bergerak. Cara memperoleh harta pun kian beragam. Dari cara yang halal
seperti bekerja keras hingga orang yang menggunakan “jalan pintas”. Salah satu cara
memperoleh harta itu adalah melalui jalur warisan yaitu memperoleh sejumlah harta yang
diakibatkan meninggalnya seseorang. Tentunya cara ini pun harus sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku. Khususnya hukum Islam. Melalui berbagai syarat dan ketentuan yang
di atur dalam hukum Islam tersebut diharapkan seorang generasi penerus keluarga atau anak
dari salah satu orang tua yang meninggal dapat memperoleh harta peninggalan orang tuanya
dengan tidak menzhalimi atau merugikan orang lain.
Keberadaan wasiat sebagai suatu proses peralihan harta ternyata telah berlangsung cukup
lama. Pada masa-masa sebelum kedatangan Islam, pelaksanaan wasiat kurang
mengedepankan prinsip kebenaran dan keadilan. Hal ini antara lain terlihat pada masa
Romawi. Selanjutnya, pada masa Arab Jahiliyah, wasiat diberikan kepada orang lain dengan
tujuan untuk berlomba-lomba menunjukkan kemewahan, sedangkan kerabat yang ada
ditinggalkan dalam keadaan miskin dan membutuhkan. Kondisi ini kemudian berubah
dengan datangnya Islam yang mengarahkan tujuan wasiat kepada dasar-dasar kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu, kepada pemilik harta diwajibkan untuk berwasiat kepada orang tua
dan karib kerabat sebelum dilakukan pembagian harta warisan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wasiat Dan Waris
Secara etimologi wasiat mempunyai beberapa arti yaitu menjadikan, menaruh kasih
saying, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Secara
terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang,
piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat mati1[1]
Fuqoha Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah mengemukakan, wasiat adalah suatu
transaksi yang mengharuskan si penerima wasiat berhak memiliki 1/3 harta peninggalan si
pemberi setelah meninggal, atau yang mengharuskan penggantian hak 1/3 harta si pewasiat
kepada penerima. kompilasi hukum islam mendefinisikan wasiat adalah pemberian suatu
benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia2[2].

Kata mawaris berasal dari kata waris ( bahasa arab ) yang berarti mempusakai harta
orang yang sudah meninggal, atau membagi-bagikan harta peninggalan orang yang sudah
meninggal kepada ahli warisnya. Ahli waris adalah orang-orang yang mempunyai hak untuk
mendapat bagian dari harta peninggalan orang yang telah meninggal. Ahli waris dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. QS:Al -
baqarah : 188 sebagai berikut:

Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui. Karena sensitif atau rawannya
masalah harta warisan itu, maka dalam agama islam ada ilmu faraid, yaitu ilmu yang
mempelajari tentang warisan dan perhitungannya. Salah satu dari tujuan ilmu tersebut adalah
tidak terjadi perselisihan atau perpecahan.
B. Hubungan Wasiat Dan Waris
Persamaannya dari keduanya yaitu sama- sama mengalihkan kepemilikan kita kepada
orang lain. Perbedaan dari keduanya yaitu: Waris terkait dengan harta peninggalan ( tirkah),
Wasiat terkait dengan peninggalan seseorang diberikan ketika orang masih hidup
(pelaksanaannya ketika orang yang berwasiat sudah meninggal). Islam sebagai ajaran yang
universal mengajarkan tentang segala aspek kehidupan manusia,termasuk dalam hal
pembagian harta warisan. Islam mengajarkan tentang pembagian harta warisan dengan seadil
- adilnya agar harta menjadi halal dan bermanfaat serta tidak menjadi malapetaka bagi
keluraga yang ditinggalkannya. Dalam kehidupan di masyaraakat, tidak sedikit terjadi
perpecahan, pertikaian, dan pertumpahan darah akibat perebutan harta warisan. Pembagian
harta warisan didalam islam diberikan secara detail, rinci, dan seadil-adilnya agar manusia
yang terlibat didalamnya tidak saling bertikai dan bermusuhan yang terpenting pembagian
harta warisan setelah di tunaikan dulu wasiat si mayat apabila ia berwasiat .
Dasar hukum dari wasiat adalah firman Allah swt :

Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (QS.
Al Baqoroh : 180)

Artinya : “(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat


atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS. An Nisaa : 11)
Sedangkan didalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw
bersabda,”Barangsiapa yang wafat dalam keadaan berwasiat, maka dia telah mati di jalan
Allah dan sunnah Rasulullah, mati dalam keadaan takwa dan syahid, dan mati dalam keadaan
diampuni atas dosanya.” (HR. Ibnu Majah)
Adapun prosentase maksimal besarnya wasiat seseorang yang paling utama adalah tidak lebih
dari sepertiga hartanya, sebagaimana ijma’ ulama. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dari Saad bin Abi Waqash berkata,”Telah datang Nabi saw untuk menengokku, sedangkan
aku berada di Mekah—beliau tidak suka mati di tanah yang beliau hijrah—beliau
berkata,”Semoga Allah mengasihi anak lelaki Afra.’ Aku berkata,”Wahai Rasulullah apakah
aku harus mewasiatkan semua hartaku?’ beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku
berkata,’separuhnya.’ Beliau saw menjawab,’Tidak.’ Aku berkata,’Sepertiga?’
Beliau saw menjawab,’ya, sepertiga. Dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada engkau
meninggalkan ahli warismu dalam keadaan miskin, meminta-minta kepada manusia dengan
tangan mereka. Sesungguhnya apa pun nafkah yang telah engkau nafkahkan, maka ia adalah
sedekah hingga makanan yang engkau letakkan di mulut istrimu…” (HR. Bukhori dan
Muslim)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa sepertiga tersebut dihitung dari total harta yang
ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa sepertiga itu
dihitung dari harta yang diketahui oleh pemberi wasiat, bukan yang tidak diketahuinya atau
yang masih berkembang, sedangkan dia tidak mengetahuinya.
Apakah sepertiga harta yang menjadi pegangan wasiat itu harta pada saat dia mewasiatkan
atau harta sesudah dia wafat? Imam Malik, an Nakh’i dan Umar bin Abdul Aziz berpendapat
bahwa yang menjadi pegangan adalah sepertiga peninggalan pada saat dilakukan wasiat.
Sedangkan Abu hanifah, Ahmad dan pendapat yang lebih shahih dari kedua pendapat Syafi’i
menyatakan bahwa sepertiga itu adalah sepertiga pada saat dia wafat. Inilah pendapat Ali dan
sebagian tabi’in.
Jika pemberi wasiat mempunyai ahli waris maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari
sepertiga. Jika dia mewasiatkan lebih dari sepertiga maka wasiat itu tidak dilaksanakan
kecuali atas izin dari ahli waris dan pelaksanakannya diperlukan dua syarat berikut :
1. Dilaksanakan setelah pemberi wasiat meninggal dunia, sebab sebelum dia meninggal,
orang yang memberi izin itu belum mepunyai hak sehingga izinnya tidak menjadi pegangan.
Apabila ahli waris memberikan izin pada saat pemberi wasiat masih hidup maka orang yang
berwasiat boleh mencabut kembali wasiatnya apabila dia menginginkan. Apabila ahli waris
memberikan izin sesudah orang yang berwasiat wafat maka wasiat itu dilaksanakan. Az Zuhri
dan Rabi’ah berkata bahwa orang yang sudah wafat itu tidak akan menarik kembali
wasiatnya.
2. Mempunyai kemampuan yang sah dan tidak dibatasi karena kedunguan atau kelalaian,
pada saat memberikan izin. Jika orang yang berwasiat tidak mempunyai ahli waris maka dia
pun tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Kalangan pengikut Hanafi, Ishak, Syuraik dan Ahmad dalam satu riwayatnya membolehkan
berwasiat lebih dari sepertiga. Sebab, dalam keadaan seperti ini orang yang berwasiat itu
tidak meninggalkan orang yang dikhawatirkan kemiskinannya dan juga karena wasiat yang
ada didalam ayat tersebut adalah wasiat secara mutlak hingga dibatasi oleh hadits dengan
“mempunyai ahli waris.” Dengan demikian, wasiat secara mutlak ini tetap terjadi bagi orang
yang tidak mempunyai ahli waris. (Fiqhus Sunnah juz IV hal 467 – 478)
Dari sumber lain disebutkan Adapun jika pembagian harta dilakukan dalam keadaan sakit
berat yang kemungkinan akan berakibat kematian, maka para ulama berbeda pendapat di
dalam menyikapinya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah termasuk
kategori hibah, tetapi sebagai wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai
berikut:

1. Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti: anak, istri, saudara, karena
mereka sudah mendapatkan jatah dari harta warisan, sebagaimana yang tersebut
dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ahmad dan Ashabu as-
Sunan). Tetapi dibolehkan berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka
dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama: Sebagai bantuan bagi yang
membutuhkan, kedua: Sebagai sarana silaturahim.
2. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan kerabat dan keluarga selama itu
membawa maslahat.
3. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang dimilikinya. Dan dikeluarkan
setelah diambil biaya dari pemakaman.
4. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah meninggal dunia.

C. Wasiat Wajibah

Wasiat wajibah merupakan kebijakan penguasa yang bersifat memaksa untuk

memberikan wasiat kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. Wasiat wajibah adalah

suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian
harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’3[3]) Suparman

dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah

sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada

kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia4[4])

Dalam undang-undang hukum wasiat Mesir, wasiat wajibah diberikan terbatas kepada

cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak

mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai zawil arham atau

terhijab oleh ahli waris lain.5[5])

Di kalangan para ulama masih terdapat pro dan kontra mengenai wasiat wajibah ini.
Mayoritas ahli tafsir dan jumhur ahli fiqh menjelaskan bahwa ayat mengenai wasiat wajibah
tersebut telah di naskh dengan ayat-ayat mawarits. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa
hukum wasiat wajibah tersebut masih berlaku meskipun telah di mansukh oleh ayat-ayat
waris Ibnu Hazm berpendapat bahwa apabila tidak diadakan wasiat untuk para kerabat yang
tidak mendapat bagian waris, maka hakim harus bertindak sebagai muwarits yaitu memberi
sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan bagian harta
warisan.
Wasiat wajibah pun secara eksplisit tercantum dalam KHI Pasal 209 ayat (1) yaitu
harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan
193 yang tersebut di atas sedangkan terhadapn orang tua yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.6[6]
Syarat-Syarat Bagi Orang yang Berhak Memperoleh Wasiat Wajibah
Syarat-syarat orang yang berhak atas wasiat wajibah yaitu7[7]:
1. Seseorang yang mendapatkan wasiat wajibah adalah bukan ahli waris. Jika ia menerima
sejumlah harta warisan meskipun sedikit,maka tidak wajib wasiat untuknya.
2. Orang yang meninggal seperti kakek atau nenek belum memberikan wasiat kepada
anaknya. Harta tersebut mungkin telah diberikan kepada si anak, namun dengan jalan hibah.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Dari uraian-uraian tersebut di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa hukum


kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur sedemikian rupa tentang peralihan harta dari
seorang yang meninggal dunia kepada anggota keluarga atau kerabatnya yang masih hidup
atau disebut juga sebagai ahli waris. Agar seseorang berhak mendapatkan sejumlah harta
warisan, ia harus memiliki syarat; adanya hubungan pernikahan, keluarga, kekerabatan.
Namun terlepas dari hak yang diperoleh para ahli waris, seseorang pun harus memiliki syarat
seperti tidak terhijab atau terhalang untuk memperoleh harta warisan lantaran misalnya
melakukan pembunuhan atau percobaan pembunuhan.
Secara pemahaman praktis, bahwa wasiat itu adalah permohonan oleh seseorang
yang akan meninggal dunia, agar permohonan tersebut dapat dijalankan sesudah sang
pewasiat meningal dunia.
Karena keterkaitan antara waris dan wasiat, maka dalam pembahasan wasiat
terdapat bagian yang membicarakan wasiat wajibah. Yaitu wasiat yang wajib diberikan
kepada ayah, ibu, dan kerabat terdekat khususnya yang tidak memperoleh bagian harta
warisan. Demikian menurut QS Al-Baqarah: 180. Namun hal ini sejatinya masih terdapat pro
dan kontra mengenai wasiat wajibah. Yaitu mengenai status ayat yang telah di naskh oleh
ayat-ayat waris. Wasiat wajibah dapat diperoleh dengan syarat; seseorang bukan dari pihak
ahli waris dan seseorang belum menerima wasiat dari orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai