Anda di halaman 1dari 26

HUKUM PEMBAGIAN WARISAN DALAM BENTUK HIBAH DAN

HUKUM WASIAT KEPADA AHLI WARIS

MAKALAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqh dan Usul Fiqh
Dosen Pengampu : Dr. Rokhmadi, M.Ag.

oleh :
AULIYA AFIFAH
NIM: 2203018024

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UIN WALISONGO SEMARANG
2023

1
A. Pendahuluan
Hibah merupakan bentuk interaksi sosial melalui harta kekayaan yang dianjurkan
dalam ajaran Islam, Al-Qur‟an dan hadis banyak memberikan pesan moral atas interaksi
sosial melaui hibah dengan tujuan mempererat rasa cinta dan kasih sayang antar sesama
baik dengan ahli waris maupun orang lain. Fenomena yang berkembang di masyarakat
bahwa menghibahkan harta kekayaannya berupa tanah yang dimiliki merupakan suatu
yang biasa terjadi, hal ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat yang agraris. Tradisi
ini cukup lama berkembang jauh sebelum adanya Undang-undang Agraria, dan tradisi
tersebut menggunakan adat kebiasaan sebagai tolak ukur tentang legalitas hibah yang
dilakukan masyarakat. Seiring perkembangan zaman pelaksanaan hibah tidak terbatas
pada tanah milik, semua barang dapat dihibahkan seperti rumah, mobil, gedung dan
lainnya selama prosesnya diakui sesuai dengan hukum yang berlaku dan bermanfaat bagi
yang diberi hibah baik kepada ahli waris, orang lain, lembaga dan organisasi.
Dalam praktek dimasyarakat, hibah sering kali merupakan pemberian orang tua
semasa hidupnya kepada anak-anaknya, atau salah satu dari anaknya karena faktor
tertentu sebagai bentuk kasih sayang orang tua, akan tetapi hibah juga diberikan orang
tua kepada anak-anaknya merupakan solusi pembagian warisan dengan tujuan untuk
meminimalisir terjadinnya perselisihan diantara ahli waris dan pemberian tersebut ketika
masih hidup yang dinilai sebagai hibah. Di dalam undang-undang tidak mengakui hibah
kecuali orang-orang yang terlibat dalam hibah tersebut masih hidup. 1
Dalam situasi tertentu, ada hal-hal yang dianggap kurang adil dalam pembagian
warisan menurut sebagian orang. Misalnya seorang anak laki-laki, yang dalam
kebanyakan budaya masyarakat selalu mendapat pendidikan yang lebih tinggi dari anak
perempuan. Akan tetapi ketika pembagian waris, anak laki-laki ini justru mendapat dua
kali bagian anak perempuan. Sebenarnya ada satu cara untuk menyelesaikan hal ini yaitu
dengan wasiat. Akan tetapi, konsep wasiat yang selama ini dipahami adalah bahwa
wasiat tersebut tidak boleh melebihi 1/3 dari harta peninggalan. Dan apabila wasiat
tersebut ditujukan untuk ahli waris, maka harus mendapat persetujuan dari ahli waris
yang lainnya. Di sinilah timbul permasalahan lain. 2
Permasalahan waris yang ada di masyarakat sebagian besar disebabkan oleh
minimnya pengetahuan pembagian harta warisan yang sesuai dengan hukum Islam yaitu

1
Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Paramita Pradnya, 2004), pasal 1666.
2
Arip Purkon, Pembagian Harta Waris Dengan Wasiat (Pendekatan Ushul Fiqih), Mizan: Jurnal Ilmu
Syariah, (Vol. II No. 1, 2014), hlm. 2

1
pembagian waris secara faraidh seperti yang sudah dijelaskan dalam Al Qur‟an dan
Undang-Undang. Hal ini yang menjadikan salah satu penyebab adanya pembagian
warisan saat pewaris masih hidup. Terdapat beberapa literatur yang membahas masalah
hibah kepada ahli waris. Berdasarkan permasalahan yang ada di masyarakat mengenai
pembagian warisan secara hibah dan wasiat, maka tulisan ini bertujuan untuk
menggambarkan dan menjelaskan tentang kedudukan hukum pembagian warisan dalam
bentuk hibah, hukum wasiat kepada ahli waris, dan hikmah disyari‟atkan warisan dan
wasiat dalam islam.

B. Pengertian Pembagian Warisan dalam Bentuk Hibah


Al-Irts menurut bahasa adalah seseorang masih hidup setelah yang lain mati, di
mana orang yang masih hidup itu mengambil apa yang ditinggalkan oleh orang yang
mati. Menurut fiqih adalah apa yang ditinggalkan oleh orang mati berupa harta atau hak-
hak yang karena kematiannya itu menjadi hak ahli warisnya secara syar'i. Ilmul Miraats
adalah kaidah-kaidah fiqih dan perhitungan yang dengannya diketahui bagian setiap ahli
waris akan peninggalan mayit. Dalam pengarang kitab ad-Durrul Mukhtaar wa raddul
Muhtaar mendefinisikan ilmu mirats adalah ilmu tentang pokok-pokok fiqih dan hisab
yang memberi pengertian tentang hak masing-masing ahli waris berupa peninggalan dan
hak-hak mayit. Sebagian ulama mendefinisikan bahwa ilmu mirats adalah ilmu tentang
pokok-pokok fiqih dan hisab yang dengan itu diketahui apa yang menjadi hak khusus
setiap orang yang ber- hak dari peninggalan mayit. Ini lebih umum daripada ahli waris,
sebab mencakup wasiat, utang, dan sebagiannya. 3
Ilmu mirats juga dinamakan dengan ilmu faraid, artinya masalah-masalah
pembagian warisan. Faraid adalah bentuk jamak dari fariidhah, yang diambil dari kata
fard yang berarti “penentuan”, dan faridhah yang bermakna “yang ditetapkan”, karena di
dalamnya ada bagian-bagian yang telah ditetapkan Al-Faraid adalah bagian-bagian yang
ditentapkan, dalam terminologi syar‟i ialah bagian yang telah ditentukan untuk ahli
warisnya. 4 Oleh karena itu, kata al-faraid lebih banyak digunakan daripada yang lain.
Pengkhususan istilah ini adalah karena Allah SWT menamakannya dengan kata al-
faraid.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 237 sebagai
berikut :

3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqiih Islam Wa Adillatuhu, (Depok: Gema Insani, 2011), hlm. 340.
4
Muhammad Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: PT Pustaka Abdi Bangsa, 2018), hlm. 467.

2
)maka (bayarlah) separuh dari apa yang telah kamu tentukan(…‫ضتُ ْم‬
ْ ‫ف َما فَػ َر‬ ْ ِ‫… فَن‬
ُ ‫ص‬
Dalam tafsir al-misbah dijelaskan mengenai kata faradhtum merupakan penentuan
pembayaran mahar dalam perceraian. 5 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam QS.
At-Taubah ayat 60 sebagai berikut :
ِّٰ ‫ضةً ِمن‬
‫الل‬ َ ّ َ ْ‫( فَ ِري‬sebagai kewajiban dari Allah)
Dalam tafsir al-misbah dijelaskan mengenai kata faridhatan merupakan penentuan
dalam pembagian zakat.6 Ibnu Hazm menetapkan ini dan berkata, “Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan warisan dalam harta yang ditinggalkan oleh manusia setelah
kematiannya, tidak dalam selain harta. Adapun hak-hak, ia tidak diwariskan yaitu tidak
ada hak yang diwariskan kecuali yang mengikuti harta atau yang semakna dengan harta,
seperti hak untuk mengambil manfaat dan menguasai, serta untuk tinggal ditanah yang
7
dikhususkan untuk pembangunan dan penanaman.” Sementara itu, menurut ulama
mazhab Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali, warisan mencakup semua harta dan hak-hak yang
ditinggalkan oleh si mayit, baik hak-hak yang berkaitan dengan harta maupun dengan
hak yang tidak berkaitan dengan harta.8 Sedangkan hukum kewarisan dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 171 poin a “Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”. 9
Kata “Hibah” berasal dari hubub ar-rih (Hembusan angin), kata ini digunakan untuk
menunjukan pemberian dan kebajikan kepada orang lain, baik dengan harta maupun
lainya. Sementara itu menurut syariat, hibah adalah akad yang berisi pemberian sesuatu
oleh seseorang atas hartanya kepada orang lain ketika dia masih hidup, tanpa penukar
ataupun imbalan.10 Hibah adalah pengeluaran harta semasa hidup atas dasar kasih sayang
untuk kepentingan seseorang atau kepentingan suatu badan sosial, keagamaan, ilmiah,
juga kepada seseorang yang berhak menjadi ahli warisnya tanpa mengharapkan
imbalan. 11

5
M. Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an jilid 1, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 515-517.
6
M. Qurais Shihab, Tafsir Al-Misbah..., hlm. 629-636.
7
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), hlm. 107-109.
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5, Cet. Ke-3 (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2011), hlm. 511-512.
9
Kompilasi Hukum Islam, Bab I Pasal 171 poin a
10
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5…, hlm.449.
11
Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 75.

3
Sedangkan dalam kompilasi Hukum Islam pasal 171 poin g hibah diartikan sebagai
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang
lain yang masih hidup untuk dimiliki. Dengan demikian adanya kerelaan dalam
melakukan perbuatan hukum tanpa ada paksaan dari pihak lain merupakan unsur yang
harus ada dalam hibah, atau dengan kata lain asas dari pelaksanaan hibah adalah
sukarela. Subyek hukum pemberian hibah yang disyaratkan oleh KHI dimana orang
dapat memberikan hibah kepada orang lain sekurangkurangnya berumur 21 tahun,
berakal dan tanpa adanya paksaan. Sedangkan banyaknya harta yang dapat dihibahkan
kepada orang lain sebayak 1/3 (sepertiga) harta bendanya. pelaksanaan hibah ini
dilakukan dihadapan dua orang saksi. Sedangkan subyek hukum penerima hibah tidak
disyaratkan kecakapan bertindaknya, dan harta yang dihibahkan harus merupakan harta
dari penghibah.
Berdasarkan pengertian warisan dan hibah, Maka dari itu dapat diambil pemahaman
mengenai pembagian warisan dalam bentuk hibah merupakan pembagian harta semasa
hidup atas dasar kasih sayang kepada ahli waris atau seseorang yang dijadikan ahli waris
tanpa mengharapkan imbalan dan untuk menghindari perseteruan setelah pemilik harta
meninggal dunia.

C. Hukum Pembagian Warisan dalam Bentuk Hibah


Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai waris sesuai
dengan pasal 211 KHI yang berbunyi: “Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan”. Pengaturan pemberian hibah dari orangtua kepada anak
sebagai upaya pengganti waris dalam KHI dapat diterapkan ketika hibah yang diberikan
oleh orang tua kepada salah seorang anaknya lebih besar dari harta waris yang
ditinggalkan oleh orangtuanya, sehingga akan menimbulkan sengketa waris.
Prinsip yang dianut oleh hukum Islam (KHI) sesuai dengan kultur bangsa Indonesia
dan sesuai pula dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Ibnu Hasan bahwa
orang yang menghilangkan semua hartanya itu adalah orang yang dungu dan tidak layak
bertindak secara hukum. Oleh karenanya orang yang menghibahkan hartanya dianggap
tidak cakap bertindak hukum, maka hibah yang dilaksanakan dipandang batal secara
hukum, sebab ia tidak memenuhi syarat untuk melakukan penghibahan. Apabila
perbuatan orang tersebut dikaitkan dengan kemaslahatan pihak keluarga dan
ahliwarisnya, sungguh tidak dibenarkan sebab di dalam syariat Islam diperintahkan agar
setiap pribadi menjaga dirinya dan keluarga dari api neraka. Dalam konteks ini ada

4
kewajiban masing-masing untuk mensejahterakan keluarganya. Seandainya perbuatan
yang dilakukan menyebabkan keluarganya jatuh dalam keadaan miskin, maka sama saja
ia menjerumuskan keluarganya dalam kemiskinan. Sejalan dengan hal tersebut sesuai
dengan Al-Qur‟an surat An-Nisa‟ 8-9:

‫ْي فَ ْارُزقُػ ْو ُى ْم ِّم ْنوُ َوقُػ ْول ُْوا ََلُ ْم قَػ ْوًل َّم ْع ُرْوفًا‬ ِ ِ َ ‫واِذَا ح‬
ُْ ‫ض َر الْق ْس َمةَ اُولُوا الْ ُق ْرٰٰب َوالْيَػت ٰٰمى َوال َْم ٰسك‬ َ َ
ِ ٰ ْۖ ِ ِ ِ ِ ِ َّ
‫اللَ َولْيَػ ُق ْول ُْوا قَػ ْوًل َسديْ ًدا‬ ّ ‫ش الذيْ َن ل َْو تَػ َرُك ْوا م ْن َخلْف ِه ْم ذُ ِّريَّةً ض ٰع ًفا َخافُػ ْوا َعلَْيه ْم فَػلْيَػتَّػ ُقوا‬ َ ‫َولْيَ ْخ‬
Apabila (saat) pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-
orang miskin, berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik. Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati)
meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir
terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang
benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Penjelasan QS. An-Nisa ayat 8-9 dalam tafsir al-misbah bahwa bukanlah sesuatu
yang terpuji, bila ada yang hadir atau mengetahui adanya pembagian rezeki, lalu yang
hadir dan mengetahui itu tidak diberi, apalagi jika diketahui oleh yang mendapat bagian
itu bahwa mereka adalah kerabat dan kaum lemah yang membutuhkan uluran tangan.
Karena itu, sebelum menguraikan kedua ayat di atas mengingatkan dua hal pokok.
Pertama adalah: apabila sewaktu pembagian itu hadir, yakni diketahui oleh kerabat yang
tidak berhak mendapat warisan baik mereka dewasa maupun anak-anak, atau hadir anak
yatim dan orang miskin, baik mereka kerabat atau bukan, bahkan baik mereka hadir atau
tidak selama diketahui oleh yang menerima adanya orang-orang yang butuh, maka
berilah mereka sebagian, yakni walau sekadarnya dari harta itu, dan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang baik, yang menghibur hati mereka, karena sedikitnya yang
diberikan kepada. mereka atau bahkan karena tidak ada yang dapat diberikan kepada
mereka. 12
Hal kedua yang diingatkan adalah kepada mereka yang berada di sekeliling para
pemilik harta yang sedang menderita sakit. Mereka seringkali memberi aneka nasihat
kepada pemilik harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewasiatkan kepada orang-orang
tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya, sehingga akhirnya anak-anaknya
sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9 di atas berpesan: Dan hendaklah orang-
orang yang memberi berbagai nasihat kepada pemilik harta, agar membagikan hartanya
kepada orang lain sehingga anak-anaknya terbengkalai, hendaklah mereka

12
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran jilid 3, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 354.

5
membayangkan seandainya mereka akan meninggalkan di belakang mereka, yakni
setelah kematian mereka anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki
harta, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan atau penganiayaan atas mereka,
yakni anak-anak lemah itu. Apakah jika keadaan serupa mereka alami, mereka akan
menerima nasihat-nasihat seperti yang mereka berikan itu? Tentu saja tidak! Karena itu
hendaklah mereka takut kepada Allah, atau keadaan anak-anak mereka di masa depan.
Oleh sebab itu, hendaklah meka bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan sekuat
kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.13
Seperti terbaca di atas, ayat ini ditujukan kepada yang berada di sekeliling seorang
yang sakit dan diduga segera akan meninggal. Pendapat ini adalah pilihan banyak pakar
tafsir, seperti ath-Thabari, Fakhruddin ar-Razi dan lain-lain. Ada juga yang
memahaminya sebagai ditujukan kepada mereka yang menjadi wali anak-anak yatim,
agar memperlakukan anak-anak yatim itu, seperti perlakuan yang mereka harapkan
kepada anak-anaknya yang lemah bila kelak para wali itu meninggal dunia. Pendapat ini
menurut Ibun Katsir didukung pula oleh ayat berikut yang mengandung ancaman kepada
mereka yang menggunakan harta anak yatim secara aniaya. 14
Muhammad Sayyid Thanthawi berpendapat bahwa ayat di atas ditujukan kepada
semua pihak, siapa pun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap yang
benar dan tepat, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan di atas.
Ayat yang memerintahkan pemberian sebagian warisan kepada kerabat dan orang-orang
lemah, tidak harus dipertentangkan dengan ayat- ayat kewarisan, karena ini merupakan
anjuran dan yang itu adalah hak yang tidak dapat dilebihkan atau dikurangi. 15
Kata sadidan, terdiri dari huruf sin dan dal yang menurut pakar bahasa Ibn Faris
menunjuk kepada makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya. Ia juga
berarti istiqamah/konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk kepada sasaran.
Seorang yang menyampaikan sesuatu/ucapan yang benar dan mengena tepat pada
sasarannya, dilukiskan dengan kata ini. Dengan demikian kata sadidan dalam ayat di
atas, tidak sekadar berarti benar, sebagaimana terjemahan sementara penerjemah, tetapi
ia juga harus berarti tepat sasaran. Dalam konteks ayat di atas keadaan sebagai anak-anak
yatim pada hakikatnya berbeda dengan anak-anak kandung, dan ini menjadikan mereka

13
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah jilid 3…, hlm. 355.
14
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah jilid 3…, hlm. 355.
15
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah jilid 3…, hlm. 355.

6
lebih peka, sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih hati-hati dan kalimat-kalimat
yang lebih terpilih, bukan saja yang kandungannya benar, tetapi juga yang tepat.
Sehingga kalau memberi informasi atau menegur, jangan sampai menimbulkan
kekeruhan dalam hati mereka, tetapi teguran yang disampaikan hendaknya meluruskan
kesalahan sekaligus membina mereka.16
Pesan Ilahi di atas, didahului oleh ayat sebelumnya yang menekankan perlunya
memilih (qoulan ma'riifan), yakni kalimat-kalimat yang baik sesuai dengan kebiasaan
dalam masing-masing masyarakat, selama kalimat tersebut tidak bertentangan dengan
nilai-nilai Ilahi. Ayat ini mengamanahkan agar pesan hendaknya disampaikan dalam
bahasa yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap masyarakat.
Avat-ayat di atas dijadikan juga oleh sementara ulama sebagai bukti adanya dampak
negatif dari perlakuan kepada anak yatim yang dapat terjadi dalam kehidupan dunia ini.
Sebaliknya amal-amal saleh yang dilakukan seorang ayah dapat mengantar
terpeliharanya harta dan peninggalan orang tua untuk anaknya yang telah menjadi yatim.
Ini diisyaratkan dalam QS. al-Kahf ayat 82. Dengan demikian dampak positif yang dapat
diraih dalam kehidupan dunia ini. 17
Menurut Pasal 211 KHI hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan. Memang, prinsip pelaksanaan hibah orang tua kepada
anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. hendaknya bagian mereka disamakan.
Kalaupun dibedakan, hanya bisa dilakukan jika mereka saling menyetujuinya. Oleh
karena itu adanya perbedaan pendapat tentang status hukum melebihkan hibah kepada
satu anak, tidak kepada orang lain, yang terpenting dalam pemberian hibah tersebut
adalah dilakukan secara musyawarah dan atas persetujuan anak-anak yang ada. Ini
penting agar tidak terjadi perpecahan dalam keluarga.
Dengan adanya penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa pemberian hibah dapat
diperhitungkan sebagai warisan, akan tetapi dengan pembagian seperti ini dianggap
sebagai sikap mendua kaum muslimin menghadapi soal warisan. Di satu sisi
menghendaki hukum waris Islam dilaksanakan, namun realisasinya telah ditempuh
secara hibah, justru sebelum si pewaris meninggal dunia. Bahwa kemudian kompilasi,
menegaskan demikian, kelihatannya didasari oleh kebiasaan yang dianggap “positif”
oleh masyarakat. Karena, bukanlah sesuatu yang aneh, apabila pembagian harta waris,
dilakukan akan menimbulkan penderitaan pihak tertentu, terlebih apabila

16
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah jilid 3…, hlm. 355-356.
17
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah jilid 3…, hlm. 356.

7
penyelesaiannya dalam bentuk gugatan di pengadilan. Terkadang hibah yang diberikan
kepada sebagian ahli waris diikuti dengan perjanjian, bahwa apabila ia sudah menerima
hibah dalam jumlah tertentu, ia berjanji tidak akan meminta bagian warisan kelak jika si
pemberi hibah meninggal dunia.
Hibah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya dapat dianggap sebagai
warisan ataupun hibah biasa, keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda.
Pertama, apabila hibah itu diperhitungkan sebagai warisan, maka sangat tergantung pada
kesepakatan anak-anaknya, atau diperhitungkan menurut sistem kewarisan, karena
seperti diutarakan oleh Umar ibn al-Khattab bahwa perdamaian justru lebih baik,
daripada nantinya harus melibatkan pengadilan. Kedua, apabila pemberian itu dinyatakan
sebagai hibah saja, maka menurut petunjuk Rasulullah saw, pembagiannya harus rata. Ini
ditegaskan oleh tindakan Rasulullah saw, “ jika anak-anakmu yang lain tidak engkau beri
dengan pemberian yang sama, maka tarik kembali hibah tersebut”.18
Berkaitan dengan masalah di atas Pasal 211 KHI telah memberikan solusi, yaitu
dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan
sebagai warisan. Pengertian “dapat” dalam pasal tersebut bukan berartai imperatif
(harus), akan tetapi hal ini menjadi salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk
menyelesaikan perselisihan atau sengketa warisan. Sepanjang para ahli waris tidak ada
yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli waris, maka harta
warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli waris sesuai dengan
bagiannya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan
hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat
diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara memperhitungkan hibah yang sudah
diterima dengan bagian warisan yang seharusnya diterima. Apabila hibah yang sudah
diterima masih kurang dari bagian warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan
sebaliknya apabila hibah tersebut melebihi dari bagian warisan maka kelebihan hibah
tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari
bagiannya.
Hibah menurut KHI tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya. Ketentuan ini dipahami sebagai kebolehan orang tua menarik hibah yang
diberikan kepada anak guna mendapatkan kemaslahatan. Dalam hal ini KHI
menjelakskan bahwa penarikan hibah diperbolehkan apabila terjadi perselisihan antara

18
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 475.

8
sesama ahli waris, maksudnya ada ahli waris yang tidak senang dengan keputusan
orangtuanya, maka wajib menarik kembali karena harus seimbang antara ahli waris yang
satu dengan yang lain. Selain itu anak yang bersikap durhaka dan tidak ada kasih sayang
diantara anak kepada orang tua dalam hal ini orang tua dapat menarik hibah yang telah
diberikan yang bertujuan untuk menumbuhkan kasih sayang antara anak dan kedua
orangtuanya. Sedangkan pemberian hibah kepada orang lain yang diberikan pada saat
pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya, akan tetapi dalam pemberian ini harus tetap mengacu
pada pasal 210 ayat 1 dimana banyaknya hibah yang diberikan tidak lebih dari 1/3 yang
diperoleh ahli waris terkecil, sedangkan mengenai teknis pemberian hibah KHI juga
mengatur teknis penghibah yang dilakukan oleh warga negara Indonesia yang berada di
negara asing yakni dengan membuat surat hibah dihadapan konsultan atau kedutaan
Republik Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan
KHI.19
Selain itu, hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris diikuti dengan
perjanjian, bahwa apabila ia sudah menerima hibah dalam jumlah tertentu, ia berjanji
tidak akan meminta bagian warisan kelak jika si pemberi hibah meninggal dunia.
Perjanjian semacam ini disebut dengan pengunduran diri (takharruj). Fatchur Rahman
mendefinisikan Takharuj adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh para ahli waris
untuk mengundurkan diri (mengeluarkan) salah seorang ahli waris dalam menerima
bagian pusaka dengan memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta
milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta peniggalan yang
bakal dibagi-bagikan.20
Apabila seseorang sedang sakit menjelang kematian dan menghibahkan sesuatu
kepada orang lain maka hukum hibahnya sama dengan hukum wasiat. Apabila dia
menghibahkan sesuatu kepada salah seorang ahli warisnya lalu meninggal, dan orang
yang diberi hibah mengklaim bahwa dia berhibah dalam kondisi sehat, sedangkan ahli
waris lainnya mengklaim bahwa dia berhibah dalam kondisi sakit menjelang kematian,
maka orang yang diberi hibah harus membuktikan perkataannya. Apabila dia tidak
melakukan itu maka hibah ini dianggap terjadi dalam kondisi sakit menjelang kematian
dan hukumnya disesuaikan dengan itu. Artinya, hibah ini tidak sah kecuali dengan izin

19
Abdul Ghofuk Ansori, Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2011), hlm. 92-95.
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia…, hlm. 474.

9
ahli waris lainnya. Dan, apabila dia berhibah ketika sedang sakit, lalu dia sembuh dari
sakitnya, maka hibahnya sah.21

D. Hukum Wasiat Kepada Ahli Waris


Menurut Pasal 171 butir f Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Wasiat adalah
pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku
setelah pewaris meninggal dunia.” 22 Undang-Undang Mesir dalam pasal (37) mengenal
wasiat memperbolehkan wasiat untuk ahli waris, tanpa bergantung kepada izin dari ahli
waris lainnya, sesuai dengan pendapat Syiah Imamiyyah. Pasal tersebut menetapkan
bahwa wasiat berupa sepertiga harta boleh ditujukan untuk ahli waris dan orang lain, dan
wasiat ini dilaksanakan tanpa bergantung kepada izin ahli waris lainnya. Wasiat lebih
dari sepertiga harta juga sah, dan yang lebih dari sepertiga itu hanya bisa dilaksanakan
setelah ada izin dari ahli waris, setelah meninggalnya mushii, dengan syarat mereka
adalah orang-orang yang berstatus ahli tabarru' dan mengetahui objek yang mereka
izinkan.
Wasiat seluruh harta atau sebagiannya yang dibuat orang yang tidak memiliki utang
dan tidak mempunyai ahli waris dilaksanakan tanpa bergantung kepada izin
perbendaharaan umum. Dalam memori rincian disebutkan: sahnya wasiat yang melebihi
sepertiga harta yang ditujukan kepada ahli waris merupakan pendapat sebagian ulama
fiqih, dan pelaksanaannya berdasarkan kepada QS. Al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut:

ۗ ‫ْي‬ ‫َّق‬ ِِۚ ‫صيَّةُ لِلْوالِ َدي ِن و ْالَقػْربِْي ِِبلْمعرو‬


ِ ‫ؼ ح ِّقا َعلَى الْمت‬ ِ ‫ت اِ ْف تَػر َؾ َخيػرا ْۖ ۨالْو‬
ُ ‫ض َر اَ َح َد ُك ُم ال َْم ْو‬
ِ
َ ‫ب َعلَْي ُك ْم اذَا َح‬ ِ
َْ ُ َ ْ ُ ْ َ َْ َ َ ْ َ َ ًْ َ َ ‫ُكت‬
Diwajibkan kepadamu, apabila seseorang di antara kamu didatangi (tanda-tanda)
maut sedang dia meninggalkan kebaikan (harta yang banyak), berwasiat kepada kedua
orang tua dan karib kerabat dengan cara yang patut (sebagai) kewajiban bagi orang-
orang yang bertakwa.
Dijelaskan dalam tafsir al-misbah ayat di atas mewajibkan kepada orang-orang yang
menyadari kedatangan tanda-tanda kematian agar memberi wasiat kepada yang
ditinggalkan berkaitan dengan hartanya, bila harta tersebut banyak. Wasiat adalah "Pesan
baik yang disampaikan kepada orang lain untuk dikerjakan, baik saat hidup maupun
setelah kematian yang berpesan. Demikian pengertian kebahasaannya. Tetapi kata ini
biasa digunakan untuk pesan-pesan yang disampaikan untuk dilaksanakan setelah

21
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 5…, hlm.418.
22
Pasal 171 F KHI.

10
kematian yang memberi wasiat. Makna inilah yang dimaksud oleh ayat di atas, yang
dikuatkan oleh pengaitan perintah itu dengan kematian.23
Pada dasarnya kata (‫ )كُتِب‬yang digunakan ayat di atas bermakna wajib, karena itu
banyak ulama yang mewajibkan wasiat, apalagi penutup ayat ini menegaskan bahwa itu
adalah hak. Tanda-tanda hadirnya kematian cukup banyak, seperti rambut yang memutih,
gigi yang rontok, kesehatan yang menurun, usia senja dan lain-lain. Selanjutnya,
mengenai harta yang banyak sangat relative ukurannya, Al-Qur'an dan Sunnah tidak
menjelaskan berapa jumlahnya sehingga sementara ulama berpendapat, bahwa wasiat
dianjurkan atau diwajibkan berapapun jumlah harta yang dimiliki. Akan tetapi ayat ini
turun sebelum adanya ketetapan tentang hak waris. Setelah adanya hak-hak tersebut
maka ayat ini tidak berlaku lagi, meskipun sebelumnya adalah wajib. 24
Ulama yang menganut paham ini berpendapat bahwa ada ayat-ayat al-Qur'an yang
dibatalkan hukumnya sehingga tidak berlaku lagi karena adanya hukum baru yang
bertentangan dengannya. Ada juga ulama yang menolak ide adanya pembatalan ayat-ayat
hukum al-Qur'an. Mereka tetap berpegang kepada ayat ini dalam arti wajib, tetapi
mereka memahami pemberian wasiat kepada kedua orang tua adalah bila orang tua
dimaksud tidak berhak mendapat warisan oleh satu dan lain hal, seperti bila mereka
bukan pemeluk agama Islam, atau mereka hamba sahaya. Kata mereka, ayat ini turun
ketika Islam belum menyebar dan perbudakan masih merajalela. Betapapun, wasiat
seperti bunyi ayat di atas harus dilaksanakan dengan syarat ma'ruf, yakni adil serta sesuai
dengan tuntunan agama. Agama menuntun untuk tidak mewasiatkan harta lebih dari
sepertiga, dan menuntun untuk tidak memberi wasiat kepada yang telah mendapat
warisan. 25
Ayat di atas mewajibkan kepada orang-orang yang menyadari kedatangan tanda-
tanda kematian agar memberi wasiat kepada orang-orang yang ditinggalkan berkaitan
dengan hartanya, bila harta tersebut banyak. Begitu juga dalam surat an-Nisa ayat 11:
ِ‫ْو‬ ِ‫ْي فَػلَه َّن ثػُلُثا ما تَػر َؾ ِۚ وا‬ ۤ ِ ِ ِ
ً‫اح َدة‬ َ ْ ‫ن‬
َ ‫ا‬ ‫ك‬
َ ‫ف‬
ْ َ َ َ َ ُ ِ ْ ‫ػ‬‫ت‬
َ ‫ػ‬‫ن‬
َ ‫ػ‬
ْ‫ث‬ ‫ا‬ ‫ؽ‬َ ‫و‬ْ ً‫س‬
‫ػ‬َ‫ف‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ِّ ‫لذ َك ِر ِمثْ ُل َح‬
َ ‫ظ ْالُنْػثَػيَػ ْْي ِۚ فَا ْف ُك َّن ن‬
َّ ِ‫اللُ ِْْٓف اَ ْوَل ِد ُك ْم ل‬ ِ ‫يػو‬
ّٰ ‫ص ْي ُك ُم‬ ُْ
َّ َّ ِ ِۚ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫س ِمَّا تَػ َر َؾ ا ْف َكا َف لَوۗ َولَ ٌد ۚ فَا ْف ّلْ يَ ُك ْن لوۗ َولَ ٌد َّوَوِرثَوۗ ْٓۚ اَبَػ ٰوه‬ ُ ‫الس ُد‬ ُّ ‫ف ۗ َولَبَػ َويْو ل ُك ِّل َواحد ّم ْنػ ُه َما‬ ُ ‫ص‬ ْ ّ‫فَػلَ َها الن‬
ِۚ ۤ ۤ ۗ ِ ‫الس ُدس ِمن بػ ْع ِد و‬
ِ ‫صَّي ٍة يُّػو‬ ِِ ِ ِ ِ ِۚ ُ ُ‫فَِِلُِم ِو الثُّػل‬
‫ص ْي ِِبَآْ اَ ْو َديْ ٍن ۚ ٰا َِب ُؤُك ْم َواَبْػنَا ُؤُك ْم َل تَ ْد ُرْو َف‬ ْ َ َ ْ ُ ُّ ‫ث ۚ فَا ْف َكا َف لَوۗ ْٓۚ ا ْخ َوةٌ فَِلُّمو‬ ّ
‫اللَ َكا َف َعلِ ْي ًما َحكِ ْي ًما‬ ِ ِٰ ‫اَيُّػهم اَقػْرب لَ ُكم نَػ ْفعا ۗ فَ ِريضةً ِمن‬
ّٰ ‫الل ۗ ا َّف‬ ّ َّ َ ْ ً ْ ُ َ ُْ

23
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran jilid 1, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 398.
24
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah…, hlm. 398.
25
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah…, hlm. 398.

11
Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk)
anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua,
bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu
seorang saja, dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Untuk kedua orang
tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang
meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia
diwarisi oleh kedua orang tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang
meninggal) mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan
tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan dilunasi) utangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dari ayat ini dapat disimpulkan bahwa pembagian waris dilakukan setelah wasiat
orang yang meninggal dilaksanakan serta semua hutangnya sudah dibayar. Penyebutan
wasiat didahulukan atas penyebutan hutang, walaupun dalam pelaksanaannya yang
paling utama diselesaikan adalah hutang, sehingga jika harta yang ditinggalkan hanya
cukup untuk membayar hutang, maka siapapun keluarga yang ditinggalkan tidak akan
memperoleh sesuatu. Didahulukannya kata wasiat di sini adalah untuk menunjukkan
betapa penting berwasiat, dan untuk mengingatkan para ahli waris agar
memperhatikannya, karena tidak mustahil mereka mengabaikan wasiat atau
menyembunyikannya. Berbeda dengan hutang yang sulit disembunyikan karena pasti
yang memberi hutang akan menuntut.26
Adapun dalam sebuah hadis riwayat Malik mengenai wasiat sebagai berikut:

‫اللُ َعلَْي ِو‬


َّ ‫صلَّى‬ َ ‫الل‬
َِّ ‫وؿ‬ُ ‫اءِِن َر ُس‬ َ ‫اؿ َج‬ ٍ َّ‫اب َع ْن َع ِام ِر بْ ِن َس ْع ِد بْ ِن أَِِب َوق‬
َ َ‫اص َع ْن أَبِ ِيو أَنَّوُ ق‬ ٍ ‫َح َّدثَِِن َمالِك َع ْن ابْ ِن ِش َه‬
‫اؿ َوَل‬ ٍ ‫الل قَ ْد بَػلَ َغ ِِب ِم ْن الْو َج ِع َما تَػرى وأ َََن ذُو َم‬ َِّ ‫وؿ‬ ُ ‫اـ َح َّج ِة ال َْو َد ِاع ِم ْن َو َج ٍع ا ْشتَ َّد ِِب فَػ ُقل‬
َ ‫ْْ ََي َر ُس‬ َ َ‫َو َسلَّ َم يَػعُودُِِن ع‬
َ َ َ
َِّ ‫وؿ‬ ُ ‫اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َل فَػ ُقل‬َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫وؿ‬ َ َ‫ص َّد ُؽ بِثُػلُثَ ْي َم ِاِل ق‬
‫الل‬ ُ ‫اؿ َر ُس‬ َ َ‫اؿ َل ُُثَّ ق‬ َ َ‫الشط ُْر ق‬َّ َ‫ْْ ف‬ َ ‫الل‬ ُ ‫اؿ َر ُس‬ َ َ‫يَ ِرثُِِن إَِّل ابْػنَةٌ ِِل أَفَأَت‬
َ َّ‫َّاس َوإِن‬ ِ ِ َ َ‫ك أَ ْف تَ َذر ورثَػت‬ َ َّ‫ث َكثِريٌ إِن‬ ُ ُ‫اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم الثُّػل‬
َّ ‫صلَّى‬
‫ك‬ َ ‫اء َخ ْيػ ٌر م ْن أَ ْف تَ َذ َرُى ْم َعالَةً يَػتَ َك َّف ُفو َف الن‬ َ َ‫ك أَ ْغني‬ ََ َ ُ ُ‫ث َوالثُّػل‬ َ
‫َص َح ِاِب‬ ُ َّ‫ُخل‬ َِّ ‫وؿ‬ َ ِ‫ت َح ََّّت َما ََْت َع ُل ِف ِف ْام َرأَت‬ َ ‫الل إَِّل أ ُِج ْر‬ َِّ َ‫لَن تُػنْ ِف َق نَػ َف َقةً تَػبػتغِي ِِبا وجو‬
ْ ‫ف بَػ ْع َد أ‬ َ ‫الل أَأ‬ َ ‫ْ ََي َر ُس‬ ُ ْ‫اؿ فَػ ُقل‬
َ َ‫ك ق‬ ْ َ َ َْ ْ
‫ف‬َ َّ‫ك أَ ْف ُُتَل‬ ِ
َ َّ‫ت بو َد َر َجةً َوِرفْػ َعةً َول ََعل‬ِ ِ
َ ‫صاِلًا إَِّل ا ْز َد ْد‬ َ َّ‫َن ُُتَل‬ ِ
َ َّ‫اللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم إِن‬
َّ ‫صلَّى‬ َِّ ‫وؿ‬
َ ‫ف فَػتَػ ْع َم َل َع َم ًِل‬ ْ‫كل‬ َ ‫الل‬ ُ ‫اؿ َر ُس‬
َ ‫فَػ َق‬

26
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran jilid 2, (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), hlm. 345.

12
ِ ِ ِِ ِ ِ ِ ‫آخرو َف اللَّه َّم أَم‬ َ ِ‫ض َّر ب‬ َ ِ‫َح ََّّت يَػ ْنػتَ ِف َع ب‬
‫ُ َس ْع ُد بْ ُن‬
ُ ِ‫َّى ْم َعلَى أَ ْع َقاِب ْم لَك ْن الْبَا‬ ُ ‫َص َح ِاِب ى ْج َرتَػ ُه ْم َوَل تَػ ُرد‬
ْ ‫ض ِل‬ ْ ُ َُ ‫ك‬ َ ُ‫ك أَقػ َْو ٌاـ َوي‬
َ ‫اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم أَ ْف َم‬
‫ات ِِبَ َّك َة‬ َّ ‫صلَّى‬َ ‫الل‬ ُ ‫َخ ْولَةَ يَػ ْرثِي لَوُ َر ُس‬
َِّ ‫وؿ‬
Telah menceritakan kepadaku Malik dari Ibnu Syihab dari „Amir bin Sa'd bin Abu
Waqqas dari (Bapaknya) berkata; “Rasulullah Shalla Allahu „alaihi wa sallam
mengunjungiku pada peristiwa Haji Wada‟, karena saat itu saya sakit keras. Saya
berkata; “Wahai Rasulullah, saat ini saya sakit keras dan saya memiliki banyak harta,
namun tidak ada yang mewarisiku kecuali seorang anak perempuanku, apakah saya
bersedekah dengan dua pertiga hartaku?”. Rasulullah Shalla Allahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Jangan”, saya bertanya; Ataukah setengahnya?, Beliau bersabda: Jangan,
kemudian Rasulullah Shalla Allahu „alaihi wa sallam bersabda: “Sepertiga. Sepertiga
itu sudah banyak. Kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik
daripada kamu meninggalkan mereka miskin lalu meminta-minta kepada manusia.
Tidaklah engkau infaqkan hartamu dengan mengharapkan ridha Allah kecuali engkau
akan diberi pahala hingga apa yang kau berikan ke mulut isterimu”. Sa'd bin Abu
Waqqas berkata, “Saya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah saya boleh tinggal di
Makkah setelah teman-temanku pergi?”. Rasulullah Shalla Allahu „alaihi wa sallam
menjawab: “Sekalipun kamu tetap tinggal di Makkah, dan kamu beramal shalih, niscaya
akan bertambah kemuliaan dan kehormatanmu. Bisa jadi dengan kamu tinggal di
dalamnya akan mendatangkan manfaat bagi suatu kaum dan mencelakakan yang
lainnya. Ya Allah, muluskan perjalanan hijrah para sahabatku, jangan Kau surutkan
(semangat) mereka”.Tetapi nasib tragis menimpa Sa'd bin Khaulah, ia menemui ajalnya
di Makkah. Rasulullah Shalla Allahu 'alaihi wa sallam sempat memintakan rahmat dan
ampunan untuknya”.27
Hadis ini menjadi dalil bahwa wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga harta
peninggalan kalau ada ahli waris. Adapun kalau tidak ada ahli waris, maka boleh
berwasiat dengan seluruh harta peninggalan. Alasan (illat) hukum dari masalah ini
adalah untuk menjaga agar ahli waris tidak jatuh dalam kemiskinan.28 Walaupun hadis
ini tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi ijma‟ ulama telah menetapkan hal yang
sama dengan hadis ini. 29 Di dalam hadis lain diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda :

27
HR. Malik, Nomor 1258.
28
Ibnu Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari Jilid 6, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), hlm. 19.
29
Muhammad bin Ismail al-Shan‟ani, Bulugh al-Maram jilid 3, (Beirut: Daar al-Fikr, t.t), hlm. 203.

13
َّ ‫ َع ْن َع ْب ِد‬،‫ب‬
‫ َع ْن َع ْم ِرو‬،‫الر ْْحَ ِن بْ ِن غَْن ٍم‬ ٍ ‫ َع ْن َش ْه ِر بْ ِن َح ْو َش‬،َ‫ادة‬
َ َ‫ َع ْن قَػت‬،َ‫اؿ َح َّدثَػنَا أَبُو َع َوانَة‬ ٍ ِ‫أَ ْخبػرََن قُػتػيػبةُ بن سع‬
َ َ‫ ق‬،‫يد‬ َ ُ ْ ََْ ََ
ِ
ٍ ‫صيَّ َة لوا ِر‬ ِ
ِ ‫الل قَ ْد أَ ْعطَى ُك َّل ذي ح ٍّق ح َّقوُ ولَ و‬ ِ
"‫ث‬ َ َ َ َ َ ََّ ‫اؿ " إِ َّف‬ َّ ‫وؿ‬
َ ‫الل ملسو هيلع هللا ىلص فَػ َق‬ ُ ‫ب َر ُس‬
َ َ‫اؿ َخط‬َ َ‫ ق‬،َ‫بْ ِن َخا ِر َجة‬
Diriwayatkan bahwa 'Amr bin Kharijah berkata:“Rasulullah menyampaikan khutbah
dan bersabda: „Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak
haknya, dan tidak ada wasiat bagi ahli waris.30
Hadis ini merupakan hadis hasan yang membahas mengenai larangan berwasiat
kepada ahli waris yang telah ditentukan pembagian warisannya. Hikmah dari larangan ini
antara lain untuk menghilangkan kesan bahwa wasiat itu menunjukkan perbedaan kasih
sayang antara sesama ahli waris yang pada akhirnya dapat menyebabkan perselisihan di
antara mereka. Oleh sebab itu, maka seseorang tidak boleh berwasiat kepada ahli waris
yang mendapat bagian warisannya, kecuali kalau diizinkan oleh ahli waris lainnya. Izin
dari pihak ahli waris lain diperlukan karena harta yang telah diwariskan merupakan hak
mereka bersama yang harus dibagi sesuai ketentuan syara‟. Apabila mereka rela haknya
dikurangi maka barulah wasiat tersebut dapat dilaksanakan.31 Akan tetapi, Syi‟ah
Zaidiyah, Syi‟ah Imamiyah dan Syi‟ah Ismailiyah berpendapat lain. Mereka berpendapat
bahwa wasiat kepada ahli waris diperbolehkan walaupun tanpa ada izin dari ahli waris
yang lain. Hal ini berdasarkan zahir surat al-Baqarah ayat 180 yang membicarakan
tentang kewajiban berwasiat. Walaupun hukum wajibnya telah dinasakh, tetapi hukum
kebolehannya masih tetap berlaku.32
Hadis ini diriwayatkan dengan banyak sanad, akan tetapi setiap sanad tidak terlepas
dari perbincangan (maqal). Walaupun pada setiap sanad ada perbincangan, tapi dengan
banyaknya sanad menunjukkan bahwa hadis ini mempunyai sumber (ashl). Bahkan
Imam Syafi‟i lebih cenderung mengatakan bahwa matan hadis ini adalah mutawatir.
Tetapi al-Fakhr al-Razi menolak kemutawatirannya. 33 Menurut jumhur ulama, ayat
tentang waris dan hadis ini merupakan dalil yang menasakh pada ayat yang menyatakan
tentang kewajiban berwasiat. Ada juga yang berpendapat bukan menasakh tetapi hanya
mentakhshish atau menafsirkannya. 34 Menurut para ulama mazhab Hanafi, dalil yang
dzani tidak dapat mentakhshish apalagi menasakh dalil yang qath‟i.35 Derajat dua hadits
di atas adalah ahad, dan hadits ahad adalah dzani. Oleh karena itu, maka hadits tersebut

30
Sunan an-Nasa'I, Nomor. 3641.
31
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu…, hlm. 7475-7476.
32
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu…, hlm. 7477.
33
Ibnu Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari…, hlm. 24.
34
Wahbah al-Zuhaili, Al-Tafsir al-Munir jilid 2, (Beirut: Daar al-Fikr, 2003), hlm. 485-487.
35
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami jilid 1, (Beirut: Daar al-Fikr, 2004), hlm. 252.

14
tidak dapat mentakhshish ayat Al-Qur‟an yang sifatnya qath‟i. Dengan demikian, maka
wasiat yang disebutkan dalam ayat Alquran tersebut dapat dilakukan secara mutlak,
dalam arti tidak dibatasi baik jumlah maupun objeknya.
Menjalankan wasiat harta tertentu dari mayit untuk salah satu ahli waris harus
dijalankan dengan hati-hati dan harus berdasarkan izin dari para ahli waris yang lain. Hal
ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw dalam HR. Bukhari sebagai berikut:
ٍ ‫صيَّةَ لِوا ِر‬
َ َ‫ث إَِّل أَ ْف ي‬ ِ ‫ « َل و‬:‫اؿ‬ َ َ‫اللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم ق‬
َّ ‫صلَّى‬ ِ ‫اس ر‬
‫اء‬
َ‫ش‬ َ َ ِّ ِ‫اللُ َع ْنػ ُه َما َع ِن الن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫ض َي‬ َ ٍ َّ‫َويُػ ْرَوى َع ِن ابْ ِن َعب‬
ٍ ‫صيَّةٌ لِوا ِر‬
َ َ‫ث إَِّل أَ ْف ي‬ ِ ‫وز و‬ ِ ِ ِ‫صاب‬ ُ ‫»ال َْوَرثَةُ» ُم ْنػ َق ِط ٌع َى َذا لَ ْف‬
‫شاء ال َْوَرثَة‬ َ َ ُ ُ‫ « َل ََت‬:‫اؿ‬ َ َ‫ ق‬:‫ِْن‬ َ ‫ َوِف ِرَوايَة الد‬.‫يح‬
ِِّ ‫َّارقُط‬ َ ‫ظ ال َْم‬
Diriwayatkan dalam bentuk munqati‟ dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda,
“Tidak ada warisan yang boleh diwariskan kepada seorang ahli waris kecuali ahli waris
yang lain menyetujuinya.” Ini adalah kalimat dalam al-Masabih, namun dalam versi
Daraqutni dia berkata, “Warisan kepada seorang ahli waris tidak diperbolehkan kecuali
ahli waris lainnya menyetujuinya.”36
Jika ahli waris yang lain tidak mengizinkan maka wasiat tidak dapat dijalankan dan
ahli waris yang mendapatkan wasiat tetap mendapatkan kadar bagiannya sesuai dengan
aturan ilmu hukum warisan. Sedangkan, izin hanya bisa didapatkan dari para ahli waris
sudah baligh, berakal, dan dapat memberikan keputusannya sendiri. Maka, izin tidak bisa
diambilkan dari ahli waris yang masih kecil ataupun gila ataupun idiot dikarenakan
adanya potensi mengambil hak warisan mereka.37 Dalam kasus ini perlu adanya
komunikasi yang baik diantara para ahli waris untuk urusan pembagian warisan diantara
mereka. Hal ini dikarenakan pembagian warisan bertujuan untuk mememberikan amanah
warisan kepada yang berhak mendapatkannya bukan untuk ajang perpecahan keluarga
karena berebut bagian warisan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat An-
Nisa ayat 58:
ۗۗ ٖ‫اّللَ نِعِ َّما يَعِظُ ُك ْم بِه‬
‫َّاس اَ ْن ََْت ُك ُم ْوا ِِبلْ َع ْد ِل ۗ اِ َّن ّه‬
ِ ‫ْي الن‬ ‫ب‬ ‫م‬‫ت‬ ‫م‬ ‫ك‬
َ ‫ح‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ِ‫هت اِ هىٰل اَهلِه ۙا وا‬
ِ ‫۞ اِ َّن هاّلل َيْمرُكم اَ ْن تُؤُّدوا ْاْلَ همن‬
ُ
َْ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ ُ َ َّ
ِ ِ ِ
ّ‫ا َّن ه‬
‫اّللَ َكا َن ََسْي ًعا بَصْي ًرا‬
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya.
Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

36
HR. Muslim, Nomor 3074.
37
Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi‟I Juz 8, (Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyyah,
2004), hlm. 213.

15
Ayat di atas, ketika memerintahkan menunaikan amanah, ditekankannya bahwa
amanah tersebut harus ditunaikan kepada ahliha yakni pemiliknya, dan ketika
memerintahkan menetapkan hukum dengan adil, dinyatakannya apabila kamu
menetapkan hukum di antara manusia. Ini berarti bahwa perintah berlaku adil itu
ditujukan terhadap manusia secara keseluruhan. Dengan demikian, baik amanah maupun
keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras.
Ayat-ayat al-Qur'an yang menekankan hal ini sungguh banyak. Salah satu di antaranya
berupa teguran kepada Nabi saw yang hampir saja teperdaya oleh dalih seorang muslim
yang munafik, yang bermaksud mempersalahkan. 38
Dapat dipahami bahwa setiap ahli waris berhak mendapatkan bagian warisan sesuai
dengan yang telah ditetapkan dalam ilmu hukum warisan. Jika ada wasiat harta tertentu
kepada salah satu ahli waris maka membutuhkan izin dan kerelaan dari ahli waris yang
lain agar tidak terjadi perseteruan di antara mereka. Terlebih jika harta yang diwasiatkan
melebihi kadar yang telah ditetapkan dalam ilmu hukum warisan. Misal, mayyit
mewasiatkan rumah yang nilainya lebih dari setengah hartanya kepada salah satu
putrinya yang harusnya mendapatkan bagian warisan yang lebih sedikit dalam ilmu
hukum warisan.
Pembagian waris dengan wasiat juga dijelaskan dalam syarah kitab Fathul Qorib
sebagai berikut:

‫صى بِ ِو أَ ْف يَ ُك ْو َف َم ْعلُ ْوًما‬ َ ‫ف ال ُْم ْو‬ ِْ ‫ط‬ ُ ‫ض َوَليُ ْشتَػ َر‬ ِ ِِ‫اب الْ َف َرا‬ ِ َ‫اىا لُغَةً َو َش ْر ًعا أ ََواِِل كِت‬
َ
ِ ِ ‫فَصل ِف أَح َك ِاـ الْو‬
َ َ‫صيَّة َو َسبَ َق َم ْعن‬ َ ْ ْ ٌْ
ِ‫الشجرةِ قَػبل وجوِد الثَّمرة‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫َو) ِح ْيػنَئِ ٍذ‬
َ ْ ْ ُ ُ َ ْ َ َ َّ ‫(َتُْوُز ال َْوصَّيةُ ِبل َْم ْعلُ ْوـ ( َوَم ْو ُج ْو ًدا َوِبل َْم ْو ُج ْود َوال َْم ْع ُد ْوـ) َكال َْوصيَّة بتَ ْم ِر َىذه‬
َ ِ‫(وق‬ ِ ِ ‫اؿ الْمو‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫َب ِف الضَّر ِع و ِىي) أ‬
)‫ف‬ ُ ‫اد) َعلَى الثُّػلُث‬ َ ‫ص ْي فَِإ ْف َز‬ ْ ُ ِ ‫َي ثػُلُث َم‬ ْ ‫َي ال َْوصيَّةُ (م َن الثُّػلُث) أ‬ ِ َّ
َ َ ْ ْ َ ‫َوال َْم ْج ُه ْوؿ) َكالل‬
ِ
‫الزاِِ ِد َوَل‬ ْ َ‫صيَّ ِة ِِب َّلزاِِ ِد َوإِ ْف َرد ُّْوهُ بَطَل‬
ِ ‫ازتُػ ُهم تَػ ْن ِف ْي ٌذ لْلْو‬ ِ ‫ازةِ الْورثَِة) الْمطْلَ ِقي الت‬ َ ‫الزاِِ ُد‬
َّ ‫ف‬ ِْ ْ َ ْ َ ‫ازْوا فَِإ َج‬ ُ ‫َج‬َ ‫َّص ُّرف َفِإ ْف أ‬
َ ْ ُ َ َ َ ‫(علَى إِ َج‬ َّ
‫ف َش ْر َط‬ ُ ِّ‫صن‬ ِ َّ‫ث (إَِّل أَ ْف ُُِييػزىا ِِبقِي الْورثَِة) الْمطَْل ِقي الت‬ ِ ُ‫ض الثُّػل‬ ِ ‫ْ بِبَػ ْع‬ ْ َ‫ث) َوإِ ْف َكان‬ ٍ ‫صيَّةُ لِوا ِر‬ِ ‫ََتُو ُز الْو‬
َ ‫ص ُّرؼ َوذَ َك َر ال ُْم‬ َ ْ ُ َ َ ْ ََ ْ َ َ ْ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫صي‬ ِ
‫ج ْوًرا‬ُ ْ‫َي ُُمْتَا ٍر ُح ٍّر َوإِ ْف َكا َف َكاف ًرا أ َْو ََم‬ ْ ‫ُّس ِخ َوََتُْوُز (ال َْوصيَّةُ م ْن ُك ِّل َِبل ٍغ عَاق ٍل) أ‬ َ ‫ض الن‬ ِ ‫ف بَػ ْع‬ْ ِ‫ف قَػ ْولو َوتَص ُّح) َو‬ ْ ْ ‫ال ُْم ْو‬
‫ف قَػ ْولِ ِو (لِ ُك ِّل‬ ْ ِ ‫صى لَوُ إِذَا َكا َف ُم َعيَّػنًا‬ َ ‫ط ال ُْم ْو‬ َ ‫ب َوُمك َْرهٍ َوذَ َك َر َش ْر‬ ٍّ ِ‫ص‬
ِ ٍ ِ ِ
َ ‫س َفو فَ َِل تَص ُّح َوصيَّةُ ََْمنُػ ْوف َوُمغْ َمى َعلَْيو َو‬
ٍ ِ‫َعلَي ِو ب‬
َ ْ
‫ص َل ِِلَقَ ِّل‬ ِ ‫صيَّ ِة َِِ ْف يػ ْنػ َف‬ ِ
ِ ‫ْح ٍل موجوٍد ع ْن َد الْو‬ ٍ ِ ِ ‫ْك من‬ ِ ِ ٍِ
َ َ ْ ُ ْ َ َْ ‫صغ ٍْري َوَكبِ ٍْري َوَكام ٍل َو ََْمنُػ ْوف َو‬ َ ْ ُ ‫ص َّوُر لَوُ ال ِْمل‬ َ ‫َي ل ُك ِّل َم ْن يُػَت‬ْ ‫ُمتَ َملّك) أ‬
ِ ‫ط ِف َى َذا أَ ْف َل تَ ُكو َف الْو‬ َّ ‫صى لَوُ ِج َّهةً َع َّامةً فَِإ َّف‬ ِِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ‫صيَّة‬ َ ْ ْ َ ‫الش ْر‬ َ ‫ْي َما إِذَا َكا َف ال ُْم ْو‬ٍ َّ ‫ج ِِبَُع‬
َ ‫م ْن ستَّة أَ ْش ُه ٍر م ْن َوقْْ ال َْوصيَّة َو َخ َر‬
‫ؼ لِ ْلغَُّزاةِ َوِ ْف‬ ِ ِ ِ ِ ِ ‫صيَّ ٍة َكعِمارةِ َكنِيس ٍة ِمن مسلِ ٍم أَو َكافِ ٍر لِلتػ‬ ِ ‫ِج َهةَ م ْع‬
ُ ‫ص َر‬ْ ُ‫(ف َسبِ ْي ِل هلل تَػ َع َاَ) َوت‬ ْ ِ ُ‫َّعبُّد ف ْيػ َها َو) تَص ُّح ال َْوصيَّة‬ َ ْ ُْ ْ َْ ََ َ
‫ض ِاء‬َ ‫اء بَِق‬ُ‫ص‬ ِْ ‫َي‬
َ ْ‫اْلي‬ ِ ‫صيَّةُ) أ‬ ِ ‫ص ُّح الْو‬
َ
ِ َ‫صيَّ ِة لِ ْل ُف َقر ِاء أَو لِبِنَ ِاء مس ِج ٍد وت‬
َ َْ ْ َ
ِ ‫الب أَي َكالْو‬
َ ْ ِّ ِ ‫ف َسب ْي ِل‬
ِ ِ‫هلل و‬ ِ ِ
ْ َ ‫ُّس ِخ بَ َد َؿ َسبيْ ِل‬ َ ‫ض الن‬ ِ ‫بَػ ْع‬

38
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran jilid 2…, hlm. 481.

16
ٍ‫ص‬ ِ ْ‫ْ فِي ِو ََخ‬ ِ ‫صاَي والنَّظَ ِر ِف أ َْم ِر ْاِلَطْ َف‬ ِ ِ ِ ُّ
‫غ‬
ُ ‫اْل ْس َِل ُـ َوالْبُػلُ ْو‬ ِْ ‫اؿ‬ َ‫ُخ‬ ُ ْ ْ ‫(اجتَ َم َع‬
ْ ‫ص‬ ْ ‫اؿ (إِ ََ َم ْن) أ‬
ٍ ‫َي َش ْخ‬ ْ َ َ َ ‫الديُػ ْوف َوتَػ ْنف ْيذ ال َْو‬
ُ‫)وال َْع ْق ُل َوا ِْلُِّريَةُ َو ْاِل ََمانَة‬
َ
(Fasal) menjelaskan hukum-hukum wasiat. Makna wasiat secara bahasa dan syara‟
telah dijelaskan diawal-awal kitab “Faraid”. Syarat barang yang diwasiatkan adalah tidak
harus ma‟lum (diketahui) dan sudah wujud. Dengan demikian, maka boleh wasiat dengan
barang yang ma‟lum dan barang yang majhul (tidak diketahui) seperti air susu yang
masih berada di kantong susu binatang. Dan wasiat dengan barang yang sudah wujud
atau belum wujud seperti wasiat kurma kering dari pohon ini sebelum wujud buahnya.
Wasiat diambilkan dari sepertiga harta orang yang berwasiat. Sehingga, jika lebih dari
sepertiganya, maka yang lebih tergantung pada persetujuan ahli waris yang mutlak
tasharrufnya (segala yang keluar dari seorang manusia dengan kehendaknya dan syara‟
menetapkan beberapa haknya). Jika mereka setuju, maka persetujuan mereka adalah
bentuk realisasi wasiat dengan harta yang lebih dari sepertiga. Jika mereka menolak,
maka hukum wasiat menjadi batal pada bagian yang lebih dari sepertiga. Tidak
diperkenankan wasiat pada ahli waris walaupun diambil dari sebagian sepertiga dari
harta orang yang berwasiat, kecuali jika ahli waris yang lain yang mutlak tasharruf
setuju.
Syarat orang yang wasiat Mushannif (pengarang kitab) menjelaskan syarat orang
wasiat di dalam perkataan beliau, bahwa wasiat hukumnya sah, dalam sebagian redaksi
menggunakan bahasa “hukumnya diperbolehkan”, wasiat setiap orang yang baligh dan
yang berakal, maksudnya orang yang berkendak sendiri yang merdeka, walaupun orang
kafir atau orang yang mahjur alaih (pemilik harta yang hartanya dihijrahkan) sebab safih
(orang yang menyia-nyiakan hartanya, berlaku boros dan buruk kelakuannya.). Sehingga
tidak sah wasiat yang dilakukan orang gila, mughma alaih (epilepsi), anak kecil dan yang
dipaksa.
Syarat orang yang diberi wasiat, Mushannif menyebutkan syarat orang diberi wasiat
ketika ditentukan di dalam perkataan beliau, “wasiat hukumnya sah pada orang yang bisa
menerima kepemilikan”, maksudnya setiap orang yang bisa untuk memiliki. Baik anak
kecil, orang besar, sempurna akalnya, gila, dan janin yang sudah wujud saat terjadi
wasiat dengan arti bayi itu lahir kurang dari enam bulan setelah waktu wasiat. Dengan
keterangan “orang yang tertentu”, mengecualikan permasalahan ketika yang diberi
wasiat adalah jihah „ammah (tujuan yang umum). Sehingga, sesungguhnya syarat dalam
permasalahan ini adalah wasiat tidak pada jalur maksiat seperti membangun gereja dari

17
orang islam atau kafir karena untuk beribadah di sana. Hukumnya sah wasiat di jalan
Allah SWT, dan ditasharrufkan kepada orang-orang yang berperang. Dalam sebagian
redaksi menggunakan bahasa “fi sabilil bir” sebagai ganti “sabilillah”, maksudnya
seperti wasiat untuk orang-orang faqir, atau membangun masjid. Al Isha‟ (Mewasiatkan)
Dan hukumnya sah wasiat, maksudnya berwasiat untuk melunasi hutang, melaksanakan
wasiat, dan mengurus urusan anak-anak kecil, pada orang yang memiliki lima sifat.
Islam, baligh, berakal, merdeka, dapat dipercaya. mushannif mencukupkan dari syarat
“adil” Dengan bahasa “amanah”. Sehingga tidak sah mewasiatkan kepada orang yang
memiliki sifat-sifat bertolak belakang dengan orang yang telah disebutkan.
Mengenai jumlah harta yang di dalamnya wasiat dianjurkan, Ibnu Abdil Barr
berkata, “Para salaf berselisih pendapat tentang jumlah harta yang di dalamnya wasiat
dianjurkan atau diwajibkan bagi orang yang mewajibkannya”. Diriwayatkan bahwa Ali
berkata, “Enam ratus dirham atau tujuh ratus dirham bukanlah harta yang di dalamnya
terdapat wasiat.” Dan dia berkata, “Seribu dirham adalah harta yang di dalamnya
terdapat wasiat.” Ibnu Abbas berkata, “Tidak ada wasiat dalam delapan ratus dirham.”
Tentang seorang perempuan yang mempunyai empat anak dan memiliki tiga ribu dirham,
Aisyah berkata, “Tidak ada wasiat dalam hartanya.” Ibrahim an-Nakha'i berkata, “Seribu
dirham sampai lima ratus dirham.” Tentang firman Allah, “...jika dia meninggalkan
harta....” (QS al-Baqarah: 180), Qatadah berkata, “Seribu dirham ke atas.” Diriwayatkan
bahwa Ali berkata, “Siapa saja yang meninggalkan sedikit harta maka hendaklah dia
meninggalkannya untuk ahli warisnya karena hal itu lebih baik." Dan tentang orang
meninggalkan delapan ratus dirham, diriwayatkan bahwa Aisyah berkata, "Dia tidak
meninggalkan harta. Maka janganlah dia berwasiat.”39 Jika disepakati harta yang
ditinggalkan sebanyak 1000 dirham sekitar Rp. 4.170.977,24 (Kurs 1 dirham = Rp.
4.170).
Mengenai waktu memperkirakan sepertiga harta peninggalan, ulama fiqih
memperselisih kan dua pendapat yaitu Madzhab jumhur ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah,
dan Hambaliyah) mengatakan, sepertiga harta itu diperkirakan pada hari pembagian harta
peninggalan dan pemisahan bagian; karena hari itu merupakan waktu tetapnya
kepemilikan, waktu pelaksanaan wasiat, dan pemberian hak kepada yang berhak. Dengan
demikian, kekurangan nilai harta peninggalan atau rusaknya barang-barang yang bisa
saja terjadi sebelum pembagian harta akan menjadi bagian (tanggungan) semua orang.

39
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 5…, hlm. 463-464.

18
Dan Madzhab Syafi'iyyah mengatakan, sepertiga harta ini diperkirakan saat mushii
meninggal, karena saat tersebut merupakan waktu kepemilikan mushaa lah menjadi kuat.
Maka, semua tambahan yang ada dalam mushaa bih yang wujud setelah meninggalnya
mushii menjadi milik murni mushaa lah-baik itu berupa anak, buah, maupun sewa-dan
tidak terhitung dalam sepertiga harta. Karena, semua itu merupakan pertambahan harta
miliknya. Yang dipahami dari Undang-Undang Mesir pasal 25 adalah mengambil dari
pendapat kedua. Karena, pasal ini menetapkan dengan jelas arti dan maksud madzhab
Syafi'iyyah, bahwa kepemilikan mushaa lah menjadi kuat dengan penerimaan harta
semenjak meninggalnya mushii, dan tambahan mushaa bih menjadi miliknya, tidak
masuk dalam ukuran sepertiga, karena ia merupakan pertambahan harta miliknya. 40
Wasiat batal apabila orang yang berwasiat gila dan kegilaannya berlanjut sampai
mati. Apabila orang yang diberi wasiat meninggal sebelum orang yang memberi wasiat.
Dan apabila sesuatu yang diwasiatkan tertentu dan ia musnah sebelum orang yang diberi
wasiat menerimanya. 41

E. Hikmah di Syari’atkan Warisan dan Wasiat dalam Islam


Keadilan merupakan salah satu asas (doktrin) dalam hukum waris Islam, yang
disimpulkan dari kajian mendalam tentang prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam
hukum tentang kewarisan. Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan
menyangkut hukum Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi
antara laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan Islam mengandung pengertian bahwa harus
ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau
beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris42
karena itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan
antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya beban atau
tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan atau
kehidupan manusia.
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai
“keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh
dengan keperluan dan kegunaan”, atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab

40
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih al-Islam…, hlm. 230-231.
41
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah 5…, hlm. 466.
42
Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI, (Pontianak: Romeo
Grafika, 2013), hlm. 25.

19
diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak
pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam. Perbedaan pembagian
tersebut tidak disebabkan persoalan gender, melainkan atas perbedaan tugas dan
tanggung jawab yang dibebankan kepada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan yang
dibebankan kepada perempuan dalam konteks masyarakat Islam, sesuai teori standar
konvensional yang menyebutkan: “Semakin besar dan berat beban yang dipikul seorang
laki-laki, maka semakin besar pula hak yang akan diperolehnya”, disebabkan biaya yang
harus dikeluarkannya untuk mengemban tanggung jawab yang lebih besar. 43
Fathurrahman mengemukakan bahwa jika hukum kewarisan Islam dipelajari dengan
benar, akan bermanfaat, baik bagi dirinya maupun bagi masyarakat, yang jelas, akan
dapat dimanfaatkan dalam menyelesaikan kasus pembagian harta warisan di lingkungan
keluarga, dan masyarakat.44 Hukum kewarisan Islam memiliki fungsi yang sangat
penting bagi kehidupan Muslim. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: 45
1. Sebagai sarana prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris, terlebih lagi jika
mengingat bahwa sistem kewarisan Islam memberi bagian sebanyak mungkin
kepada ahli waris dan kerabat. Bukan saja anak-anak pewaris, tetapi juga orang tua,
suami atau istri, saudarasaudara, cucu, dan nenek atau kakek. Bahkan dalam proses
pembagian harta pun diperintahkan agar ahli waris memberi sedekah kepada orang-
orang miskin dan anak yatim yang hadir, khususnya di antara kerabat, sebagaimana
disebutkan dalam QS al-Nisa ayat 8.
2. Sebagai usaha preventif terhadap kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang
dilarang oleh agama. Allah swt. berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 37.
3. Sebagai motivator bagi setiap muslim untuk berusaha dengan giat guna memberikan
maslahat kepada keluarga dan kerabat, guna mencari rezeki yang halal dan
berkecukupan. Dalam Islam, nilai usaha sangat ditekankan, karena Allah akan
memberi rezeki sesuai dengan yang diusahakan manusia. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam QS. An-Najm ayat 39.
4. Sebagai ujian dari Allah swt. Allah telah menjelaskan bahwa manusia itu dianugrahi
nafsu, dan nafsu yang ada dalam diri manusia itu merupakan sunnatullah. Namun,

43
Nurhadi, Hikmah Dibalik Kaedah Dua Banding Satu Pada Hukum Warisan, AL-„ADALAH: Jurnal
Syariah dan Hukum Islam, (Vol. 4, No. 1, 2019), hlm. 12.
44
Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: al-Ma‟arif, 1975), hlm. 35.
45
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan Adaptabilitas cet 1
(Yogyakarta: CV Adipura, 2002), hlm. 15-16.

20
Allah juga menjelaskan bahwa nafsu itu cenderung kepada keburukan. Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 14, dan QS. Yusuf ayat 53.
Imam al-Gazali menyatakan bahwa seluruh hukum yang terdapat dalam Al-Qur‟an
selalu dimaksudkan untuk kepentingan dan kebaikan hidup umat manusia. kepentingan
dan kebaikan hidup misalnya menyangkut hal-hal utama, seperti menjaga jiwa, akal,
keturunan, agama, maupun dalam pengelolaan harta benda, serta senantiasa bersikap
konsisten dalam menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia. 46 Moh. Muhibbin dan
Abdul Wahid mengemukakan bahwa tujuan mempelajari ilmu faraid atau ilmu
kewarisan yaitu agar dapat menyelesaikan masalah harta warisan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama, yang telah dijelaskan dalam Al-Qur‟an, jangan sampai ada
yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain. 47 Adapun tujuan
disyariatkannya hukum kewarisan dalam Al-Qur‟an antara lain:
1. Untuk mengantisipasi dan memperkecil kemungkinan terjadinya apa yang
dirisaukan oleh para malaikat ketika Nabi Adam a.s. hendak diciptakan oleh Allah
swt. dan dijadikan sebagai khalifah di bumi. Hal ini sebagaimana dapat dilihat pada
QS. Al-Baqarah ayat 30.
2. Untuk menjaga kehidupan manusia. Sebagai makhluk beragama, manusia
memerlukan sesuatu untuk dapat mempertahankan dan menyempurnakan agamanya.
Jadi, ada lima hal yang merupakan syarat bagi kelangsungan hidup manusia, yakni
agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Kelima hal ini disebut dengan daruriyat al-
khamsah (lima kebutuhan dasar).48
3. Untuk menjaga hubungan baik dengan Allah swt. dan dengan sesama manusia.
Aspek kehidupan manusia yang telah diatur oleh Allah swt. dapat dikelompokkan
kepada dua hal. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia
dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut dengan hukum ibadah,
yang bertujuan untuk menjaga hubungan atau tali antara Allah dengan hamba-Nya
yang disebut juga dengan hablun min Allah. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan antar manusia dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut hukum
muamalat, yang tujuannya untuk menjaga hubungan antar manusia dengan alamnya
atau yang disebut dengan hablun min al-nas. Kedua hubungan tersebut harus tetap

46
Imam al-Gazali, al-Mustasyfa min „Ilm al-Usul.
47
Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam sebagai Hukum Positif di Indonesia,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 10.
48
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau,
(Jakarta: PT. Gunung Agung, 2014), hlm. 3.

21
terpelihara agar manusia terlepas dari kehinaan, kemiskinan dan kemarahan Allah.
Hal ini dinyatakan dalam QS. Ali „Imran ayat 112
4. Untuk menguji ketaatan hamba dalam mengikuti dan menaati ketentuanketentuan
dan hukum-hukum Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat
36.
5. Agar orang-orang yang beriman terhindar dari memakan harta warisan dengan cara
batil dan mencintai harta secara berlebihan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt.
dalam QS. Al-Fajar ayat 19-20.
6. Agar manusia terhindar dari kesesatan. Allah SWT teramat sayang kepada
hambanya, sehingga Dia mengatur semua kehidupan manusia agar manusia selalu
berada pada jalan yang benar dan dan terhindar dari kesesasatan. Hal ini
sebagaimana firman Allah pada akhir ayat 176 QS. An-Nisa.
7. Untuk menghindari sanksi dari Allah swt. Hukum Islam yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT itu ada yang tidak mengandung sanksi dan ada yang hanya tuntutan
untuk patuh, dan sebagaian yang lain justru mengandung sanksi yang dirasakan di
dunia ini layaknya sanksi hukum pada umumnya. Namun ada pula sanksi yang tidak
dirasakan di dunia, tetapi akan ditimpakan di akhirat kelak, dalam bentuk dosa dan
balasan atas dosa tersebut. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam QS. An-Nisa ayat
13- 14.
Pada intinya hikmah di syariatkan warisan dan wasiat dalam islam semata-mata
untuk menyelamatkan hidup umat Islam. Hikmah warisan tidak jauh berbeda dengan
uraian yang telah dipaparkan pada poin fungsi dan tujuan. Adapun hikmah wasiat adalah
menyelamatkan orang yang berwasiat dari tanggungan yang belum terselesaikan semasa
hidupnya, misalnya tanggungan hutang. Selain itu, wasiat memiliki hikmah untuk
kebaikan orang yang ditinggalkan. Pada intinya segala sesuatu dalam islam memiliki
tujuan pada kemaslahatan.

F. Penutup
Pembagian warisan dalam bentuk hibah merupakan pembagian harta semasa hidup
atas dasar kasih sayang kepada ahli waris atau seseorang yang dijadikan ahli waris tanpa
mengharapkan imbalan dan untuk menghindari perseteruan setelah pemilik harta
meninggal dunia. Hukum pembagian waris dalam bentuk hibah adalah sah saja jika ahli
waris menyetujuinya. Ketentuan ini selaras dengan Pasal 211 KHI telah memberikan
solusi, yaitu dengan cara hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat

22
diperhitungkan sebagai warisan. akan tetapi hal ini menjadi salah satu alternatif yang
dapat ditempuh untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa warisan. Sepanjang para
ahli waris tidak ada yang mempersoalkan hibah yang sudah diterima oleh sebagian ahli
waris, maka harta warisan yang belum dihibahkan dapat dibagikan kepada semua ahli
waris sesuai dengan bagiannya masing-masing. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris
yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka
hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara memperhitungkan
hibah yang sudah diterima dengan bagian warisan yang seharusnya diterima.
Allah SWT mewajibkan hambanya untuk berwasiat jika sudah mendekati ajal
kematian, hal ini sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 180. Maka dari itu, mengenai
hukum wasiat kepada ahli waris adalah boleh jika harta yang di tinggalkan itu banyak.
Hikmah waris dan wasiat dalam islam adalah untuk keadilan dan kemaslahatan umat
Islam.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al-„Asqalani, Ibnu Hajar. T.t. Fath al-Bari Jilid 6. Beirut: Daar al-Fikr.
Al-Gazali. al-Mustasyfa min „Ilm al-Usul.
Ali, Zainudin. 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Al-Mawardi. 2004. Al-Hawi Al-Kabir fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi‟I Juz 8. Beirut: Darul
Kutub al-Ilmiyyah.
Al-Shan‟ani, Muhammad bin Ismail. T.t. Bulugh al-Maram jilid 3. Beirut: Daar al-Fikr.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2003. Al-Tafsir al-Munir jilid 2. Beirut: Daar al-Fikr.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2004. Ushul al-Fiqh al-Islami jilid 1. Beirut: Daar al-Fikr.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqiih Islam Wa Adillatuhu. Depok: Gema Insani.
Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan
Adaptabilitas cet 1. Yogyakarta: CV Adipura.
Ansori, Abdul Ghofur. 2011. Filsafat Hukum Hibah dan Wasiat di Indonesia. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Fathurrahman. 1975. Ilmu Waris. Bandung: al-Ma‟arif.
Muhibbin, Moh., dan Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam sebagai Hukum Positif di
Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Nurhadi. 2019. Hikmah Dibalik Kaedah Dua Banding Satu Pada Hukum Warisan, AL-
„ADALAH: Jurnal Syariah dan Hukum Islam. (Vol. 4, No. 1).
Purkon, Arip. 2014. Pembagian Harta Waris Dengan Wasiat (Pendekatan Ushul Fiqih),
Mizan: Jurnal Ilmu Syariah, (Vol. II No. 1), hlm. 2
Rofiq, Ahmad. 2000. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Muhammad Sayyid. 2018. Fiqih Sunnah, Jakarta: PT Pustaka Abdi Bangsa.
Sabiq, Sayyid. 2011. Fiqih Sunnah 5, Cet. Ke-3, Jakarta : Pena Pundi Aksara.
Shihab, M. Qurais. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an jilid 1.
Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Qurais. 2002. Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟an jilid 2.
Jakarta: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran jilid 3.
Jakarta: Lentera Hati.
Subekti. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Paramita Pradnya.
Suma, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.

24
Syarifuddin, Amir. 2014. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat
Minangkabau. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Zahari, Ahmad. 2013. Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI.
Pontianak: Romeo Grafika.

25

Anda mungkin juga menyukai