Anda di halaman 1dari 15

WASIAT WAJIBAH DAN PEMBAHARUAN HUKUM WARIS

Makalah ini Disusun dan Dipresentasikan untuk memenuhi tugas Matakuliah


“Fiqih Muamalah dan Mawaris”

Dosen Pengampu :

Dr. Moh. Makmun, M. HI.

Disusun Oleh:
Ifa Facriyani F. D (1121103)
Mariska Febriana (1121109)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2023
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Islam adalah agama yang Haq, agama yang sempurna dan aturannya yang
bersifat Universal dan paripurna, salah satu yang diperjuangkan oleh islam yaitu hak
keperdataan seseorang untuk mendapatkan hak sesuatu atau bagian yang menjadi
bagiannya terutama dalam Fiqh mawaris adalah ilmu yang membahas tentang
kewarisan atau poses pemindahan harta peninggalan seseorang yang telah meninggal,
baik yang berupa benda berwujud maupun yang berupa hak kebendaan, kepada
keluarganya yang dinyatakan berhak menurut hukum. Di dalam fiqh mawaris membahas
tentang wasiat yaitu penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada orang lain
baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk di miliki oleh orang yang di beri wasiat.
Wasiat wajibah menjadi pokok pembahasan kali ini untuk lebih memahami tentang
wasiat wajibah dan pembaharuan Hukum waris.
2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari wasiat wajibah?
b. Apa dalil wasiat wajibah?
c. Bagaimana kriteria anak angkat yang mendapatkan wasiat wajibah?
d. Bagaimana pembaharuan hukum mawaris?

3. Tujuan Penulisan Makalah


a. Untuk mengetahui pengertian wasiat wajibah
b. Untuk mengetahui dalil dari wasiat wajibah
c. Untuk mengetahui bagaimana kriteria anak angkat yang mendapat wasiat wajibah
d. Untuk mengetahui bagaimana pembaharuan hukum mawaris

2
B. PEMBAHASAN

1. Pengertian wasiat wajibah

Wasiat menurut bahasa mengandung beberapa arti antara lain, menjadikan,


menaruh belas kasihan, berpesan, menyambung, memerintah, mewajibkan dan lain-lain.
Wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang
maupun manfaat, untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang
berwasiat mati. Sebagian ahli hukum Islam mendefinisikan bahwa wasiat adalah pemberian
hak milik secara sukarela yang dilaksankan setelah pemberi mati. Sedangkan wasiat
menjadi hak yang menerima setelah pemberi wasiat itu mati dan utang-utangnya
dibereskan sebagaimana tuntutan Alquran.1

Di dalam penjelasan pasal 49 ayat (c) No.3 tahun 2006 tentang perubahan UU No. 7
Tahun 1989 tentang peradilan Agama, yang di maksud dengan wasiat adalah perbuatan
seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga badan
hukum yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.2

Isitilah wasiat wajibah dipergunakan pertama kali di mesir melalui UU Hukum waris
1946 untuk menegakan keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya
Ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak-anak laki-laki yang meninggal
(ibn al-ibn) atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk garis
anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak berlanjut
sampai generasi selanjutnya. Pemberian wasiat wajibah ini harus tidak melebihi dari 1/3
tirkah (harta yang ditinggalkan).

Suparno Usman mendefinisikan Wasiat Wajibah Sebagai Wasiat yang


pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kehendak orang yang
meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik di ucapkan, atau dikehendaki maupun
tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi, Pelaksanaan wasiat tersebut tidak
memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan, dituliskan atau dikehendaki, tetapi
pelaksanaanya di dasarkan kepada alsan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat
tersebut harus dilaksanakan.

Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada para ahli waris atau
kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, Karena adanya
suatu halangan syara. Wasiat wajibah dibatasi 1/3 harta dengan syarat bagian tersebut
sama dengan yang seharusnya diterima oleh ashabul furud secara kewarisan seandainya ia

1
Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormoon Prinsip Syariah dalam hukum Indonesia, cet. 3, Jakarta, Kencana, 2017), 339.
2
Irma devita Purnamasan, Paduan lengkap Hukum praktis Populer: Kiat Kiot Cerdas, mudah, don Bijak memahami
Masalah Hukum Waris, cet. 1, (Bandung, Penerbit Kaita, 2014), 48-49.
3
masih hidup.3

Mengenai wasiat wajibah ini dalam kompilasi hukum islam disebutkan dalam pasal
209 sebagai berikut:

a. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdsarkan pasal 176 sampai dengan
pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak
menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan anak angkatnya.
b. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak- banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.4

Berdasarkan bunyi isi pasal 209 KHI ayat 1 dan ayat 2 tersebut, dapat dipahami
bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh KHI adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan.
ketentuan perundang-undangan yang diperuntukan bagi anak angkat atau sebaliknya orang
tua angkat atau anak angkatnya.

Muhammad Daud Ali mengemukakan bahwa pemberian hak Wasiat wajibah


kepada anak angkat oleh KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai hukum adat secara
terbatas ke dalam hukum islam, karena berpindahnya tanggung jawab orang tua asal
kepada orang tua angkatnya mengenai pemeliharaan kehidupan sehari-hari dan biaya
pendidikan berdasarkan keputusan pengadilan yang disebut dalam pasal 171 huruf (h)
tentang ketentuan umum kewarisan

Dilihat dari metodologis, dapat dipahami bahwa persoalan wasiat wajibah dalam
KHI adalah persoalan ijtihadi yang ditetapkan berdasarkan argument hukum maslahah al-
mursalah yang berorientasi untuk mempromosikan nilai-nilai keadilan dan kemaslahatan
yang tumbuh dan berkembang ditengah-tengah masyarakat muslim indonesia.5

Yurspudensi tetap di lingkungan peradilan agam telah berulang kali diterapkan oleh
praktisi hukum di pengadilan agama yang memberikan hak wasiat kepada anak angkat
melalui lembaga wasiat wajibah. Dalam kasus yang terjadi di pengadilan agam, masalah
wasiat wajibah biasanya masuk dalam sengketa waris. Misalanya orang tua angkat, yang
karena kasih sayangnya kepada anak angkatnya berwasiat dengan menyerahkan dan
mengatasnamakan seluruh harta kekayaannya kepada anak angkatnya. Karena orang tua
kandung dan saudara kandung almarhum atau almarhumah yang hanya meninggalkan anak
angkat saja, lalu mereka mengajukan gugatan waris. Dalam kusus ini umumnya wasiat
dibatalkan oleh pengadilan agama dan hanya diberlakukan paling banyak 1/3 (sepertiga)

3
Aunur Rahim Faqih, Mawaris Hukum Waris Islam, cet. 1, (Yogyakarta, Ull Press, 2017),80.
4
Heru Khoiruddin, Keadilan waris Dalam Islam, (Sukabumi, Jawa Barat, CV Jejak, 2018), 97-98.
5
Aunur Rahim Fagih, Mawans Hukum Waris Islam, cet. 1. (Yogyakarta, Ull Press, 2017),81
4
saja, selebihnya dibagikan kepada ahli waris.6

2. Dalil Wasiat Wajibah

Mengikuti hukum asalnya maka memberikan wasiat harta adalah mubah, dan
merupakan sebuah tindakan ikhtiariyah yang dapat dilaksanakan seseorang terhadap
hartanya sendiri dengan sukarela tanpa paksaan dari siapa pun atau disebut dengan wasiat
ikhtiariyah. Karena itu menurut jumhur fuqaha, tidak ada istilah wasiat wajibah di dalam
syariat Islam.

Namun demikian, menurut sebagian fuqahatabi'in ahli fiqh dan ahli hadist, seperti
said bin Musayabb, ibnu Hazm memberikan wasiat harta kepada kerabat yang tidak
mendapatkan bagian dari warisan adalah wajib bedasarkan firman Allah surat Al-Baqarah
ayat 180.7:

َ ‫ﻋَﻠﻰ اْﻟُﻤَّﺘِﻘﻴ‬
‫ﻦ‬ َ ‫ﺣًّﻘﺎ‬
َ ‫ف‬
ِ ‫ﺣَﺪُﻛﻢ اﻟﻤﺆث إن ﺗﺮك ﺧﻴًﺮا اﻟﻮﺻﻴﺔ ﻟﻠﻮﻟﺪﻳﻦ واﻷﻗﺮﺑﻴﻦ ﺑﺎﻟَﻤْﻌُﺮو‬
َ ‫ﻀَﺮ َأ‬
َ ‫ﺣ‬
َ ‫ﻢ ِإَذا‬
ْ ‫ﻋَﻠْﻴُﻜ‬
َ ‫ﺐ‬
َ ‫ُﻛِﺘ‬

Artinya : Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan(tanda-tanda)


mand, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa

Ayat ini menunjukan diwajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat yang
dekat. Tetapi menurut jumhur ulama, setelah turun ayat 7 surat An-Nisa yang menjelaskan
tentang pembagian waris, maka kewajiban memberi wasiat menjadi mansukh, Sehingga.
memberi wasiat hukumnya menjadi sunnah dan hanya boleh diberikan terhadap orang yang
bukan ahli waris sebagaimana hadist Daeri bin Kharina bahwa Rasulullah bersabda:

"sesungguhnya Allah SWT telah memberi tiap orang yang berhak atas haknya, karena itu
tidak boleh lagi berwasiat untuk orang yang akan menerima warisan".

Menurut Abu Muslim Al Asfahani, bahwa kewajiban wasiat dalam surat Al-Baqarah
masih tetap berlaku kepada ahli waris yang secara formal tidak lagi menerima warisan,
misalnya karena beda agama, dan lain-lain

Ayat lain yang menunjukan diwajibkannya wasiat ialah surat An-Nisa ayat 11 :

ٍ ‫ﻲ ِﺑَﻬٓﺎ َاْو َدْﻳ‬


‫ﻦ‬ ْ ‫ﺻ‬
ِ ‫ﺻَّﻴٍﺔ ُّﻳْﻮ‬
ِ ‫ﻦ َﺑْﻌِﺪ َو‬
ْۢ ‫ُ ِﻣ‬ ۗ

Artinya: sesudah dipenuhi wasiat yang dia buat atau sudah dibayar hutangnya".

6
Aunur Rahim Fagih, Mawans Hukum Waris Islam, cet. 1. (Yogyakarta, Ull Press, 2017),80
7
Achmad Yani, Faraidh & Mawaris; Bunga Rampai Hukum Waris Islam, cet. 1, (Jakarta, Kencana, 2016), 212
5
Ayat ini menunjukan bahwa bagian hak warisan, itu baru diberikan kepada ahli
waris yang berhak, setelah ditunaikan wasiat dan dibayarkan hutang. Tetapi, seharusnya
membayar hutang si pewaris harus di lebih dahulukan dari pada menunaikan wasiatnya.

Wasiat menjadi wajib jika seseorang memiliki keturunan dari anak laki-laki yang
telah meninggal, dan keturunan itu tidak menerima hak bagian warisan. Maka, bagi mereka
wajib diberikan wasiat wajibah. Anak angkat yang telah hidup satu rumah dengan orang tua
angkatnya, dan di antara mereka secara psikologi telah terjalin hubungan keluarga seperti
layaknya keluarga sendiri, meskipun dalam islam dilarang untuk menghubungkan nasabnya
dengan orang tua angkatnya, akan tetapi dari sisi kemanusiaan telah terjalin hubungan
kekerabatan, akan tetapi dia bukan termasuk ahli waris yang berhak mendapatkan warisan
dari orang tua angkatnya.

Wasiat kepada anak angkat adalah sama hukumnya dengan wasiat kepada kerabat
yang bukan ahli waris, yang bisa dihukumi wajib, dan yang demikian itu sama halanya
dengan wasiat kepada ahli waris yang beda agama yang dibenarkan menurut hukum islam.
Wasiat merupakan institusi peralihan harta di luar proses kewarisan. Dan wasiat dalam
hukum islam diutamakan kepada karib kerabat yang bukan termasuk ahli waris, serta tidak
dibolehkan melebihi dari sepertiga harta peninggalan.8

3. Kriteria Anak Angkat yang Mendapat Wasiat wajibah

Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya wasiat wajibah untuk anak angkat akan
mendatangkan kemaslahatan bagi mereka, namun ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi ketika hakim atau pejabat yang berwenang mengambil bagian wasiat wajibah
untuk anak angkat. Beberapa kriteria tersebut adalah:

a. Anak tersebut sangat membutuhkan harta untuk kelangsungan hidupnya.


b. Tidak ada orang lain yang menanggung biaya hidupnya.
c. Anak angkat tersebut masih belum dewasa dan sangat membutuhkan perhatian dan
pengasuhan.
d. Hubungannya dengan orang tua angkatnya begitu dekat.
e. Belum pernah diberikan sesuatupun dari ayah angkatnya baik berupa hibah ataupun
pemberian lainnya yang setara dengan bagiannya pada wasiat wajibah.
Dari beberapa persyaratan di atas maka terlihat bahwa anak angkat tersebut memang
sangat memerlukan adanya harta benda yang dapat menopang kehidupannya.

8
H. Adnan Qohar, dkk. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, dan Metode Praktis Penyelesainnya, cet. 1,
(Yogyakarta, Pustaka Biru, 2011), 249-252.

6
Sehingga dia tidak akan terlantar hingga bisa hidup mandiri.

Selain persyaratan di atas maka ada persyaratan lain yang harus dipenuhi ketika
anak tersebut akan menerima wasiat wajibah salah satunya adalah bahwa anak tersebut
syah menjadi anak angkat dengan keputusan dari pengadilan, hal ini seperti disebutkan
oleh Kompilasi Hukum Islam pada pasal ke 171 poin h: Anak yang dalam pemeliharaan
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.9

4. Pembaharuan Hukum Mawaris

Kontak Islam dengan berbagai agama yang ada pada masa awal Islam hingga
zaman kontemporer juga telah ikut mewarnai hubungan Islam dan non-Islam (baca:
muslim dan non muslim). Bahkan juga mewarnai hukum Islam dalam relasinya dengan
non muslim, termasuk di dalamnya hukum waris Islam.

Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam
pemikiran hukum Islam kontemporer. Problematika kewarisan beda agama mencuat
ketika relasi muslim dan non muslim kembali didiskusikan dan diwacanakan oleh berbagai
kalangan.2 Bahkan hal tersebut telah menjadi perhatian para pemikir Islam sejak awal
pembentukannya hingga zaman kontemporer.3 Hanya saja tuntutan zaman kontemporer
yang didalamnya terdapat isu hubungan antar agama dan hak asasi manusia memaksa
kembali untuk mendiskusikan kewarisan beda agama dalam perspektif hukum Islam.

Perubahan dan pembaruan hukum waris Islam telah terjadi secara nyata dalam
sejarah pemikiran hukum Islam, untuk menyebut contoh apa yang terjadi dalam
perumusan hukum waris Islam di Indonesia dengan konsep ahli waris pengganti telah
merubah dan memperbarui hukum waris Islam di Indonesia.10

Sejarah juga menunjukkan bahwa pada sepanjang sejarah hukum Islam pemikiran
hukum waris Islam tidaklah berhenti, walaupun ada yang beranggapan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup namun sesungguhnya pemikiran hukum Islam tetap dilakukan setidaknya
oleh dua golongan penegak syariat Islam yaitu qadi/hakim dan mufti. Hakim melakukan
pemikiran hukum Islam dengan jalan melaksanakan hukum melalui putusanpengadilan,
sedangkan mufti melalui fatwa-fatwa hukum.11

Hakim sebagai penegak hukum mempunyai posisi sentral dalam penerapan hukum.
Hakim tidak hanya dituntut agar dapat berlaku adil tetapi ia juga harus mampu

9
Kompilasi Hukum Islam, 73.
10
 Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 116.
11
 M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia
1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), h. 1-2.
7
menafsirkan undang-undang secara aktual sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat pencari keadilan dengan tetap
12
mempertimbangan aspek keadilan, kepastian hukum dan nilai kemanfaatannya. Melalui
putusan-putusannya seorang hakim tidak hannya menerapkan hukum yang ada dalam
teks undangundang (hakim sebagai corong undang-undang) tetapi sesugguhnya ia juga
melakukan pembaruan-pembaruan hukum ketika dihadapkan pada masalahmasalah yang
diajukan kepadanya dan belum diatur dalam undang-undang ataupun telah ada aturan
tetapi dipandang tidak relevan dengan keadaan dan kondisi yang ada (hakim menciptakan
hukum baru/jadge made law).13

Hakim di lingkungan peradilan agama di Indonesia sebagai salah satu penegak


hukum Islam ternyata juga telah melaksanakan fungsi menetapkan putusan terhadap
perkara-perkara yang diajukan kepadanya dengan terlebih dahulu mengemukakan
pertimbangan-pertimbangan hukum pada putusannya tersebut.14 Dan melalui putusan
tersebut tidak dapat disangkal bahwa ia telah turut berperan dalam pemikiran hukum
Islam terlebih lagi ketika putusannya tersebut mengandung pembaruan terhadap
pemikiran hukum Islam.15
Dalam konteks tersebut adalah menarik untuk mencermati putusan yang diambil
oleh Hakim di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memberikan bagian
harta bagi ahli waris non muslim dan memberikan status ahli waris dari pewaris muslim
bagi ahli waris non muslim. Dalam putusannya tersebut seorang ahli waris non muslim
mendapatkan harta bagian dari pewaris muslim sebanyak harta yang diterima oleh ahli
waris muslim dalam posisi yang sama.16

Dalam pandangan konsep fiqh konvensional seorang muslim tidak bisa mewarisi
harta seorang non muslim dan sebaliknya seorang non muslim tidak dapat mewarisi harta
seorang muslim.17 Pandangan ini merupakan pandangan mainstream di kalangan ummat
Islam seakan-akan tidak ada jalan bagi seorang non muslim untuk mendapatkan harta
waris dari seorang muslim dan demikian sebaliknya.

12
 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008),
h. 278-285; Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV. Utomo, 2009), h. 164-
166.
13
  Bagir Manan, “Hakim sebagai Pembaharu Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun Ke XXII No. 254
Januari 2007, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007, h. 9-13.
14
 Pertimbangan hukum merupakan ruang pemikiran atau ijtihad hakim yang merupakan jiwa putusan berisi analisis,
argumentasi, pendapat dan kesimpulan hukum hakim sebelum menjatuhkan putusan. Abdul Manan, Penerapan Hukum…,
h. 295.
15
 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 311-327.
16
 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29
September 1999.
17
 Ada pendapat yang membolehkan seorang muslim mewarisi non muslim yaitu menurut pendapat fuqaha’ Imamiyah
menurut mereka larangan mewarisi karena perbedaan agama itu tidak mencakup larangan bagi orang Islam mewarisi
kerabatnya yang non muslim. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT Al Ma’arif, t.t.), h. 99.
8
Adanya perbedaan antara putusan Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia
tentang bagian harta bagi ahli waris non muslim dan status ahli waris non muslim dengan
fiqh di atas, jelas menimbulkan pertanyaan mendasar tentang bagaimana dan mengapa
putusan tersebut lahir, bukankah putusan tersebut tidak sejalan dengan fiqh dan bahkan
tidak sejalan dengan kompilasi hukum Islam yang juga tidak memberikan bagian harta
sedikitpun bagi ahli waris non muslim dan tidak memberikan status ahli waris dari pewaris
muslim bagi ahli waris non muslim.18

Berikut beberapa penjelasan pembagian ahli waris non Muslim menurut perundang-
undangan dan Mahkamah Agung:

a. Ahli Waris Non Muslim dalam Perundang-Undangan di Indonesia

Dalam konteks ahli waris non muslim dalam tulisan ini perundangundangan di
Indonesia yang dimaksud adalah perundang-undangan yang mengatur tentang status
ahli waris non muslim. Perundang-undangan tersebut adalah peraturan-peraturan yang
mengatur peralihan hak dari orang yang meninggal dunia (pewaris) kepada orang yang
berhak menerimanya (ahli waris) yang ada kaitannya dengan kewarisan Islam.
Hukum kewarisan Islam sebenarnya telah ada dalam kitab-kitab yang membahas
tentang kewarisan atau ilmu waris/ilmu faraid, namun yang menjadi obyek dalam
tulisan ini adalah hukum waris yang telah terlembagakan dalam peraturan di Indonesia
atau minimalkan dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan dalam sengketa waris
di peradilan Agama di Indonesia.

Dari penelusuran yang dilakukan penulis sepanjang sejarah peradilan di Indonesia


hukum kewarisan Islam baru terlembagakan dalam aturan tertulis setelah
dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang
menginstruksikan tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam untuk dapat
dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan baik oleh Instansi pemerintah maupun
masyarakat.

Sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI), Biro Peradilan Agama melalui surat
edarannya No. B./1/735 tanggal 18 Pebruari 1958 menganjurkan kepada para Hakim
Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah untuk mempergunakan 13 kitab19

18
 BAB I Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam menyebutkan “Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal
dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris”. Lihat dalam Redaksi Pustaka Tinta Mas, UU RI Nomor 7 Tahun 1989 (Surabaya:
Pustaka Tinta Mas, 1997), hlm. 131.
19
 Tiga belas kitab yang dianjurkan untuk dipedomani tersebut adalah al-Bajuri, Fath al-Mu’in, Syarqawi ‘ala at-Tahrir,
Qolyubi/Mahalli, Fath al-Wahhab dengan Syarahnya, Tuhfah}, Targib al-Musytaq, Qawanin Syar’iyyah li as-Sayyid ibn Yahya,
Qawanin Syar’iyyah li as-Sayyid Sadaqah Dahlan, Syamsuri fi al-Faraid, Bugyah al-Musytarsyidin, al-Fiqhu ‘ala al-Mazahib al-
Arba’ah, Mugni al-Muhtaj. Lihat dalam Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..., h. 128.
9
sebagai pedoman bagi para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa dan
memutuskan perkara. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum
20
Islam. Namun pada kenyataannya, keputusan yang dihasilkan tetap saja beragam,
21
karena tidak adanya rujukan yang pasti untuk dijadikan pedoman. Oleh karena itu,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) diharapkan dapat dijadikan sebagai pedoman yang
seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang
wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.22 Karena secara
substansi kompilasi tersebut sepanjang sejarahnya telah menjadi hukum positif yang
berlaku dan diakui keberadaannya. Dalam kenyataannya Kompilasi Hukum Islam telah
dipakai oleh para Hakim di Peradilan Agama dalam memutuskan perkara yang
diajukan masyarakat pencari keadilan kepadanya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) memuat tiga buku yaitu buku I Hukum Perkawinan
(Pasal 1-170), Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214), Buku III Hukum Perwakafan
(Pasal 215-229).

Buku II tentang Hukum Kewarisan terdiri dari Bab I : Ketentuan Umum (pasal 171);
Bab II: Ahli Waris (pasal 172-175); Bab III: Besarnya Bahagian (pasal 176-191); Bab IV:
Aul dan Rad (pasal 192-193); Bab V: Wasiat (pasal 194-209); dan Bab VI: Hibah (pasal
210-214).
Dalam pasal 171 huruf c dijelaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris. Pasal ini menjelaskan bahwa ahli waris harus beragama Islam
pada saat meninggalnya pewaris sehingga berimplikasi bahwa jika tidak beragama
Islam maka tidak dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Adapun untuk
mengidentifikasikan seorang ahli waris beragama Islam pasal 172 KHI menjelaskan
bahwa ahli waris dipandang beragama Islam diketahui dari kartu identitasnya atau
pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan untuk bayi yang baru lahir atau
anak yang belum dewasa, agamanya menurut ayahnya atau lingkungannya.

Adapun identitas pewaris dijelaskan pada pasal 171 huruf b yaitu orang yang pada
saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan,
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

Dari ketentuan-ketentuan di atas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa dalam


Hukum Kewarisan Islam dalam perundang-undangan di Indonesia seorang ahli waris
yang bisa mewarisi pewaris keduanya haruslah beragama Islam. Implikasinya adalah
ahli waris non muslim bukan ahli waris dari pewaris muslim.

20
 Depag RI, Kompilasi Hukum Islam..., h. 127-128. Moh. Mahfud MD, et.al. (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1993), h. 47.
21
 Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.1.
22
 Ahmad Rafiq, Hukum Islam..., h. 43-44.
10
b. Ahli Waris Non Muslim dalam Putusan Mahkamah Agung RI

Sejauh ini ada dua putusan Mahkamah Agung tentang Status ahli waris non muslim
yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 [194] AHKAM, Volume 3,
Nomor 2, November 2015: 187-197tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999
tanggal 29 September 1999.

Dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 dinyatakan bahwa ahli waris non muslim
mendapatkan bagian dari Harta Peninggalan Pewaris muslim berdasarkan wasiat
wajibah sebesar bagian ahli waris muslim, dalam putusan ini ahli waris non muslim
tidak dinyatakan sebagai ahli waris, dan dalam putusan nomor 51 K/AG/1999
dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris
muslim dan mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim berdasarkan
wasiat wajibah, dalam putusan ini dinyatakan bahwa ahli waris non muslim dianggap
sebagai ahli waris.

Dari dua putusan di atas dapat ditarik satu gambaran bahwa melalui
Yurisprudensinya Mahkamah Agung telah melakukan pembaruan hukum waris Islam
dari tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim menuju pemberian harta bagi
ahli waris non muslim dan dari tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli
waris dari pewaris muslim menuju pengakuan bahwa ahli waris non muslim juga
dianggap sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Dengan kata lain Mahkamah Agung
telah memberikan status ahli waris bagi ahli waris non muslim dan memberikan bagian
harta yang setara dengan ahli waris muslim.

Satu hal menarik yang perlu dicermati di sini adalah bahwa dalam pertimbangan
hukumnya baik dalam perkara nomor 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 maupun
nomor 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999 keduanya didasarkan pada wasiat
wajibah. Dengan mencermati kasus tersebut dapat memunculkan pertanyaan kenapa
dalam putusan nomor 368 K/AG/1995 ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai
ahli waris melainkan hanya diberikan harta berdasarkan wasiat wajibah sementara
dalam putusan nomor 51 K/AG/1999 disamping mendapatkan harta berdasarkan
wasiat wajibah ahli waris non muslim juga dinyatakan sebagai ahli waris dari pewaris
muslim.

Dengan munculnya dua putusan tersebut jelas Mahkamah Agung telah


menyimpangi ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang tidak memberikan harta
bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli
waris dari pewaris muslim.

11
Dalam konteks ini perlu disinggung bahwa Hakim memiliki kewenangan untuk
menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ada untuk mewujudkan
keadilan dan kemaslahatan di tengahtengah kehidupan masyarakat. Dalam Ilmu
Hukum cara ini disebut dengan istilah Contra legem. Dalam menggunakan Contra
legem ini Hakim harus mencukupkan pertimbangan hukumnya secara jelas dan tajam
dengan mempertimbangkan berbagai aspek hukum. Putusan hukum oleh hakim yang
kemudian dijadikan sebagai dasar bagi putusan yang memiliki kasus serupa disebut
sebagai hukum yurisprudensi tujuannya adalah untuk menghindari adanya disparitas
putusan hakim dalam perkara yang sama.23

Dalam dua kasus di atas yang dijadikan dasar pembaruan Hukum Kewarisan Islam
adalah wasiat wajibah yang menurut sebagian pemikir Islam ahli waris non muslim
dapat mendapat bagian harta pewaris melalui jalan wasiat wajibah. Pendapat tersebut
seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm, At-Tabari dan Muhammad Rasyid Rida.24
Namun tidak ada pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa ahli waris non muslim
dianggap sebagai ahli waris bagi pewaris muslim. Di sinilah letak kelemahan dari
putusan tersebut yang tidak menjelaskan tentang pertimbangan hukum bagi status ahli
waris non muslim.

23
 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 9.
24
 At-Tabari, Tafsir Jamiul Bayan, II, (t.tp: Iqamu ad-Din, 1988), h. 115. Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, II, (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), h. 136. Ibn Hazm, al-Muhalla, IX, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), h. 314.
12
C. PENUTUP

Kesimpulan
Ada 4 kesimpulan dari pembahasan di atas yaitu sebagai berikut:
1. Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada para ahli waris atau kerabat
yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, Karena adanya suatu
halangan syara. Wasiat wajibah dibatasi 1/3 harta dengan syarat bagian tersebut sama
dengan yang seharusnya diterima oleh ashabul furud secara kewarisan seandainya ia masih
hidup.
2. Menurut sebagian fuqahatabi'in ahli fiqh dan ahli hadist, seperti said bin Musayabb. ibnu
Hazm membrikan wasiat harta kepada kerabat yang tidak mendapatkan bagian dari warisan
adalah wajib bedasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180.
3. Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal ke 171 poin h: Anak yang dalam pemeliharaan
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang
tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
4. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi pembaruan hukum waris Islam
yang dilakukan oleh hakim di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam konteks
perundang-undangan di Indonesia yaitu dengan diberikannya bagian harta dari pewaris
muslim bagi ahli waris non muslim melalui konsep wasiat wajibah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Khoiruddin, Heru, 2018. Keadilan waris Dalam Islam. Sukabumi, Jawa Barat: CV Jejak,
Faqih, Aunur Rahim, 2017 Mawaris Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Ull Yani,
Achmad, 2016, Faraidh & Mawaris, Bunga Rampai Hukum Waris Islam. Jakarta: Kencana
Shomad, Abd. 2017. Hukum Islam, Penorman Prinsip Syariah dalam hukum Indonesia. Jakarta:
Kencana
Purnamasari. Inma devita. 2014. Paduan lengkap Hukum praktis Populer: Kiat-Kiat Cerdas.
mudah, dan Bijak memahami Masalah Hukum Waris Bandung: Penerbit Kaifa.
Qohar, Adnan 2011. Hukum Kewarisan Islam, Keadilan, dan Metode Praktis Penyelesainnya.
Yogyakarta: Pustaka Biru.
Kompilasi Hukum Islam
Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Ahmad, Amrullah, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,Jakarta: Gema Insani
Press, 1996.
Anderson, J. N. D., Hukum Islam di Dunia Modern, terj. Machnun Husein, Surabaya: Amarpress,
1991.
Barrah, Abdul Aziz al-, al-Muhazzab, Beirut: Dar al-Islamiyyah, t.t.
Cholil, Moenawwar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990.
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, t.tp.: Depag RI, 1998/1999.
Feillard, Andree, NU Vis-a-Vis Negara Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, alih bahasa Lesmana,
Yogyakarta: LKiS, 1999.
Ibn Hazm, al-Muhalla, IX, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi,Jakarta: Kencana, 2005.
Mahfud, Moh. MD, et.al. (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum
Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta:
Prenada Media Grup, 2008.
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi,
dan Yurisprudensi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Manan, Bagir, “Hakim sebagai Pembaharu Hukum” dalam Varia Peradilan Majalah Hukum Tahun
Ke XXII No. 254 Januari 2007, Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 2007.
Mudzhar, M. Atho, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum
Islam di Indonesia 1975-1988, Jakarta: INIS, 1993.
Mudzhar, M. Atho’, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Yogyakarta: Titian
Ilahi Press, 2000.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51
K/AG/1999 tanggal 29 September 1999.
Rafiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.
Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.t.
14
Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, II, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Keindonesiaan,Bandung: CV. Utomo,
2009.
Sirry, Mun’im A. (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 2004.
at-Tabari, Tafsir Jamiul Bayan, II, t.tp: Iqamu ad-Din, 1988.
UU RI Nomor 7 Tahun 1989, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1997.
Van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning Pesantren Dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1999.

15

Anda mungkin juga menyukai