Anda di halaman 1dari 13

DEFINISI SEDEKAH, HIBAH DAN HADIAH, LANDASAN HUKUM,

RUKUN DAN SYARAT-SYARATNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Fiqih Ibadah dan Munakahat

Dosen Pengampu :
Dhikrul Hakim, Dr. M.Pd.I

Disusun oleh :
Safira Qotrun Nada (1120106)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM JOMBANG
2021

1
A. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Islam adalah agama yang diridhoi oleh Allah SWT dan sebagai
rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi Muhammad SAW. Semasa
hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh seperti zakat,
pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Zakat adalah sebuah
kewajiban yang harus dilaksanakan karena bagian dari rukun Islam,
demikian pula shodaqoh karena islam menganjurkan untuk bershodaqoh
dengan tujuan menolong saudara muslim yang sedang kesusahan dan
untuk mendapat ridho Allah SWT. Shodaqoh bisa berupa uang, makanan,
pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas,
shodaqoh bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan
jasa lainnya bahkan senyuman sekalipun.
Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong dalam
kebaikan yang diperintahkan agama Islam seperti pemberian hadiah, hibah
dan shodaqoh. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan sedikit
menguraikan hal tersebut dalam bab selanjutnya.

b. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari sedekah, hibah dan hadiah?
2. Apa landasan hukum, rukun dan syarat dari sedekah, hibah dan
hadiah?

c. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian sedekah, hibah dan hadiah.
2. Untuk mengetahui hukum, rukun dan syaratnya sedekah, hibah dan
hadiah.

2
B. PEMBAHASAN
a. Pengertian Sedekah
Sedekah berasal dari kata shadaqah yang artinya benar. Maksudnya ialah
orang yang bershadaqah merupakan wujud dari bentuk kebenaran dan
kejujurannya akan imannya kepada Allah. Hanya saja sedekah mempunyai arti
yang lebih luas, yakni tidak hanya materi saja objek yang bisa disedekahkan, bisa
juga dengan hal-hal yang bersifat non-materi. Shodaqoh juga dapat diartikan
dengan pemberian yang disunahkan (sedekah sunah).
Sedangkan secara terminologi shadaqah adalah memberikan sesuatu tanpa
ada tukarannya karena mengharapkan pahala dari Allah Swt. Shodaqoh lebih
utama apabila diberikan pada hari-hari mulia, seperti pada hari raya idul adha atau
idul fitri. Juga yang paling utama apabila diberikan pada-pada tempat-tempat yang
mulia, seperti di Mekkah dan Madinah. Shadaqah atau sedekah merupakan
pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun
pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Badri
berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim itu apabila
memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala darinya,
maka nafkahnya itu sebagai sedekah”. Pada kesimpulannya shodaqoh atau
sedekah adalah suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada
orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai
kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.

b. Pengertian Hibah
Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut
istilah hibah yaitu:
ٍ ‫ق فِى َع ْي ٍن َحاﻠَ ْال َحيَا ِةبِاَل ِع َو‬
‫ض َولَوْ ِمنَ ااْل َ ْعلَى‬ ْ ‫ك ُم ْن ِج ٌز ُم‬
ٌ َ ‫طل‬ ٌ ‫تَ ْملِ ْي‬
Artinya:
“Pemilikan yang munjiz (selesai) dan muthlak pada sesuatu benda ketika
hidup tanpa penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.”

3
Di dalam syara’ sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang
pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu
dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada
orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan
maka harta tersebut disebut i’aarah (pinjaman)1.
Ada pula yang menyebutkan, secara etimologi, kata hibah merupakan
bentuk mashdar dari kata (wahaba-yahabu-hibatan) yang berarti pemberian 2. Di
dalam ensiklopedia Islam menjelaskan, hibah menurut bahasa adalah memberi
kelebihan kepada orang lain, baik berupa barang maupun bukan barang. Menurut
istilah agama Islam hibah merupakan akad atau perjanjian yang menyatakan
pemindahan milik seorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup tanpa
mengharapkan sedikitpun3. Para ulama fiqih memaknai hibah sebagai pemberian
harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan apapun,
kecuali mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sedangkan secara pengertian syara’
hibah adalah suatu akad pemberian berupa harta milik seseorang kepada orang
lain tanpa adanya imbalan apapun ketika seseorang tersebut masih dalam keadaan
hidup. Dapat disimpulkan bahwa hibah adalah pemindahan hak milik suatu
barang dari kekayaan yang ada dari seseorang kepada orang lain di masa hidup
dengan sukarela /;tanpa adanya paksaan dari pihak manapun semata-mata untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT..

c. Pengertian Hadiah
Hadiah berasal dari kata Hadi (‫ )ھادى‬terambil dari akar kata yang terdiri
dari huruf-huruf ha’, dal, dan ya. Maknanya berkisar pada dua hal. Pertama,
tampil ke depan memberi petunjuk. Dari sini lahir kata Hadi yang bermakna
penunjuk jalan, karena dia tampil di depan. Kedua, menyampaikan dengan lemah
1
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, Edisi I, Cet. V, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 210
2
Abu Rizal Fadli dan Mochamad Samsukadi, “Hibah Perspektif Hadis Dan Interpretasi Hakim
Pengadilan Agama Tentang Hibah yang Dapat Ditarik Kembali”, Jurnal AL-YASINI Volume 04.
No.02. Hal.124
3
Moh. Yasir Fauzi, “Pembagian Harta Dengan Wasiat
Wajibah Dan Hibah Dalam Hukum Islam”, Jurnal Moraref Vol 9, No 1 (2017)
: Asas Hal.106.

4
lembut. Dari sini lahir kata hidayah (‫ )ھدایة‬yang merupakan penyampaian sesuatu
dengan lemah lembut guna menunjukkan simpati. Hadiah sering juga disebut
hibah, Menurut Muhammad Qal‘aji, beliau menegaskan bahwa dalam hadiah
tidak murni memberikan tanpa imbalan, namun ada tujuan tertentu yakni ada
kalanya untuk menyambung tali silaturrahim, mendekatkan hubungan, dan
memuliakan. Dapat diambil kesimpulan bahwa hadiah dapat diartikan sebagai
pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian yang
dimaksudkan untuk memuliakan serta menyambung silaturrohim.

d. Landasan Hukum Sedekah-Hibah-hadiah


1. Hukum dan Dalil Sedekah
Hukum sedekah adalah Sunah muakkadah (Sunah yang sangat
dianjurkan). Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Mas’ud Al-Badri
berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya seorang muslim itu apabila
memberikan nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala darinya,
maka nafkahnya itu sebagai sedekah”. Disamping itu, bershadaqah harus dengan
niat yang ikhlas, bukan niat ingin dipuji (riya’) atau dianggap dermawan, dan
jangan menyebut-nyebut shadaqah yang sudah dikeluarkan, apalagi menyakiti hati
si penerima. Sebab yang demikian itu dapat menghapuskan pahala shadaqah.
Allah berfirman dalam surat AI Baqarah ayat 264:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka
tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. AI Baqarah : 264)

Namun pada kondisi tertentu sedekah bisa menjadi wajib. Sebagai contoh
ada seorang miskin dalam kondisi kelaparan datang kepada kita untuk meminta

5
makanan. Keadaan orang tersebut memprihatinkan, jika tidak diberi makan dia
akan sakit parah atau bahkan nyawanya bisa terancam. Sementara pada waktu itu
kita memiliki makanan yang dibutuhkan orang tersebut. Pada kondisi demikian
memberikan sedekah berupa makanan kepada orang tersebut hukumnya wajib,
jika tidak kita lakukan berdosalah kita.

2. Hukum dan Dalil Hibah


Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al
quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya
untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong
menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul
membutuhkannya, dalam firman Allah:

ۤ ‫هّٰللا‬
َ ‫ ْد‬n َ‫ َرا َم َواَل ْاله‬n‫ٰيٓا َ ُّيهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تُ ِحلُّوْ ا َش َع ۤا ِٕى َر ِ َواَل ال َّش ْه َر ْال َح‬
َ‫وْ ن‬nn‫ َرا َم يَ ْبتَ ُغ‬n‫ي َواَل ْالقَاَل ۤ ِٕى َد َوآَل ٰا ِّم ْينَ ْالبَيْتَ ْال َح‬
‫ َر ِام اَ ْن‬n‫ ِج ِد ْال َح‬n‫ ُّدوْ ُك ْم ع َِن ْال َم ْس‬n‫ص‬ َ ‫وْ ٍم اَ ْن‬nَ‫ن َٰانُ ق‬n‫فَضْ اًل ِّم ْن َّربِّ ِه ْم َو ِرضْ َوانًا ۗ َواِ َذا َحلَ ْلتُ ْم فَاصْ طَا ُدوْ ا ۗ َواَل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َش‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
ِ ‫تَ ْعتَ ُد ۘوْ ا َوتَ َعا َونُوْ ا َعلَى ْالبِ ِّر َوالتَّ ْق ٰو ۖى َواَل تَ َعا َونُوْ ا َعلَى ااْل ِ ْث ِم َو ْال ُع ْد َوا ِن َۖواتَّقُوا َ ۗاِ َّن َ َش ِد ْي ُد ْال ِعقَا‬
‫ب‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-


syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram,
jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan
kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya.
Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu.
Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-
halangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada
mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya”.

Dalam surat al-Baqarah [2]: 177 Allah berfirman:

6
... َ‫ب َواَقَا َم الص َّٰلوة‬ ۤ
ِ ‫َو ٰاتَى ْال َما َل ع َٰلى ُحب ِّٖه َذ ِوى ْالقُرْ ٰبى َو ْاليَ ٰتمٰ ى َو ْال َم ٰس ِك ْينَ َوا ْبنَ ال َّسبِ ْي ۙ ِل َوالسَّا ِٕىلِ ْينَ َو‬
ِ ۚ ‫فى ال ِّرقَا‬
ٰۤ ُ ‫ْ ْأ‬ ۤ َّ ‫صبر ْينَ فِى ْالبَْأ َس ۤا ِء َوال‬ ٰ
َ‫ك الَّ ِذ ْين‬
َ ‫ول ِٕى‬ ِ ۗ َ‫ضرَّا ِء َو ِح ْينَ الب‬
‫سا‬ ِ ِ ّ ٰ ‫َواتَى ال َّز ٰكوةَ ۚ َو ْال ُموْ فُوْ نَ بِ َع ْه ِد ِه ْم اِ َذا عَاهَ ُدوْ ا ۚ َوال‬
ٰۤ ُ
١٧٧ – َ‫ك هُ ُم ْال ُمتَّقُوْ ن‬ َ ‫ول ِٕى‬ ‫ص َدقُوْ ا ۗ َوا‬
َ
Artinya : “ … dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir),
peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan
salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji,
dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-
orang yang bertakwa”.

3. Hukum dan Dalil Hadiah


Adapun dalilnya di dalam Al Qur’an Surat Annisaa’ ayat 4 :
‫صد ُٰقتِ ِه َّن نِحْ لَةً ۗ فَا ِ ْن ِط ْبنَ لَ ُك ْم ع َْن َش ْي ٍء ِّم ْنهُ نَ ْفسًا فَ ُكلُوْ هُ هَنِ ۤ ْيـًٔا َّم ِر ۤ ْيـًٔا‬
َ ‫– َو ٰاتُوا النِّ َس ۤا َء‬
Artinya : “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati,
maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.

e. Rukun dan Syarat Sedekah


Rukun sedekah dan syaratnya adalah sebagai berikut:

a. Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak
untuk
mentasharrufkan (membelanjakan) harta.
b. Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak sah
memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya atau memberi kepada
binatang, karena keduanya tidak berhak memiliki sesuatu.
c. Akad (ijab dan qabul). Ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang
memberi,

7
sedangkan qabul adalah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima
pemberian.
d. Barang yang diberikan

f. Rukun dan Syarat Hibah


Adapun rukun-rukun dan syarat-syarat hibah menurut jumhur ulama’ ada empat
yaitu:
1. Orang yang memberi (al-wâhib). Adapun pemberi (wâhib) maka dia adalah
pemilik barang ketika dalam kondisi sehat dan memiliki kewenangan. Pemberi
harus memenuhi syarat-syarat yakni :
a) Barang yang dihibahkan adalah milik si penghibah, dengan
demikian tidaklah sah menghibahkan barang milik orang lain.
b) Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
c) Penghibahan tidak dipaksa Untuk memberikan hibah, dengan demikian
haruslah didasarkan kepada kesukarelaan.
2. Orang yang diberi (al-mauhûb lah) maka bisa siapa saja. Merupakan
kesepakatan ulama bahwa seorang boleh memberikan seluruh hartanya kepada
orang lain yang bukan kerabatnya.
3. Benda yang diberikan (al-mauhûb)adalah barang yang diberikan oleh
seseorang kepada orang lain. Pada dasarnya segala macam benda yang dapat
dijadikan hak milik bisa dihibahkan, misalnya harta gono-gini, benda bergerak
atau tidak bergerak. barang-barang tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a) Banda tersebut benar-benar ada
b) Benda tersebut mempunyai nilai
c) Benda tersebut dapat dimiliki zatnya, diterima
peredarannyadan pemilikannya dapat dialihkan.
d) Benda yang dihibahkan itu dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima
hibah.
e) Benda tersebut telah diterima atau dipegang oleh penerima

8
f) Menyendiri menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan terhadap barang-
barang bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama Malikiyah,
Hambaliyah, dan Syafi'iyah hal tersebut dibolehkan.
g) Penerima pemegang hibah atas seizin wahib.

4. Sighat hibah adalah kata-kata yang diucapkan oleh orang-orang yang


melakukan hibah. Karena hibah semacam akad, maka sighat terdiri dari ijab (kata-
kata yang diucapkan oleh penghibah) dan qabul (kata-kata yang diucapkan oleh
penerima hibah).
Adapun Syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah ialah orang yang diberi hibah
disyaratkan benar-benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada, atau
diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak sah. Apabila
orang yang diberi hibah itu ada di waktu pemberian hibah, akan tetapi dia masih
atau gila, maka hibah itu diambil oleh walinya, pemeliharaannya atau orang
mendidiknya sekalipun dia orang asing.

Syarat-syarat bagi yang dihibahkan :


a. Benar-benar ada
b. Harta yang bernilai
c. Dapat dimiliki dzatnya, yakni bahwa yang dihibahkan itu adalah apa yang bisa
dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat berpindah tangan. Maka
tidak sah menghibahkan air di sungai, ikan di laut, burung di udara, masjid-masjid
atau pesantren-pesantren.
d. Tidak berhubungan dengan tempat pemilik hibah, seperti menghibahkan
tanaman, pohon, atau bangunan tanpa tanahnya.
e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum, sebab
pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukaan (dikhususkan)
seperti halnya jaminan4.

g. Rukun dan Syarat Hadiah

4
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet. XX Hlmn. 174

9
Menurut Abd al-Rahman al-Jaziri, bahwa rukun hibah ada tiga macam:

1) ‘Aqidain (orang yang memberikan dan orang yang yang diberi) atau wahib
dan mauhub lah.
2) Mauhub (barang yang diberikan) yaitu harta
3) Shighat atau ijab dan qabul.

Sedangkan hadiah sebagai sebuah akad, memiliki tiga rukun beserta syarat
yang harus dipenuhi yaitu:

1) Pertama, adanya al-‘âqidân, yaitu pihak pemberi hadiah (Al- Muhdî) dan
pihak yang diberi hadiah (al-muhdâ ilaih). Al-Muhdi haruslah orang yang
layak melakukan tasharruf, pemilik harta yang dihadiahkan dan tidak
dipaksa.
2) Adanya ijab dan qabul. Hanya saja, dalam hal ini tidak harus dalam bentuk
redaksi (shighat) lafzhiyah.
3) Harta yang dihadiahkan (al-muhdâ). Al-Muhdâ (barang yang dihadiahkan)
disyaratkan harus jelas (ma‘lûm), harus milik al-Muhdi (pemberi hadiah),
halal diperjualbelikan dan berada di tangan al- muhdî atau bisa ia serah
terimakan saat akad. Menurut Imam Syafi’i dan banyak ulama Syafi’iyah,
barang itu haruslah barang bergerak, yaitu harus bisa dipindahkan dari satu
tempat ke tempat yang lain.

10
h. PENUTUP

Hibah, hadiah, dan sodaqah memiliki arti yang sangat berdekatan.


Keluarnya suatu harta dengan pemberian bisa berupa hibah, hadiah dan
sodaqah yang mana itu dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Adapun jika tujuan untuk memberi adalah
mendapatkan pahala akhirat, maka hal ini dinamakan sodaqah. Dan jika
maksud dari memberi untuk kasih sayang dan memupuk tali silahturahmi,
maka hal ini dinamakan hadiah. Sedangkan jika memberi dimaksudkan
agar orang yang diberi dapat memanfaatkan apa yang diberi, maka hal ini
dinamakan hibah. Kasih sayang dan memupuk tali silahturami merupakan
alasan yang disyari’atkan dengan tujuan untuk memperoleh pahala di
akhirat. Namun, balasan diakhirat bukanlah tujuan utama, karena
pemberian tersebut ditujuan untuk orang tertentu. Sedangkan sodaqah
tidak ditujukan secara khusus kepada orang tertentu, namun siapapun
orang yang ditemui maka dapat diberikan. Hibah tidak mengandung unsur
pemberian yang bersifat timbal- balik, sehingga orang yang menerima
hibah memperolah barang tersebut secara cuma- cuma. Ketiganya
mempunyai rukun dan syarat-syaratnya masing-masing dan mempunyai
landasan hukum.
Sekian kurang lebihnya dalam penyusunan makalah yang sederhana ini
kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

11
12
DAFTAR PUSTAKA

Abu Rizal Fadli dan Mochamad Samsukadi. 2019. “Hibah Perspektif Hadis Dan
Interpretasi Hakim Pengadilan Agama Tentang Hibah Yang Dapat Ditarik
Kembali”. Jurnal AL-YASINI Volume 04. No.02 P ISSN:2527-3175 E-
ISSN:2527-6603. Hal.124
Suhendi, Hendi. 2010. “Fiqih Muamalah”. Edisi I, Cet. V, Jakarta: Rajawali Pers.
Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, Cet. XX, Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1987
Al-Bugha, Musthafa Dib. 2010. “Buku Pintar Transaksi Syariah terj. Fiqh Al-
Mu’awadhah”,Cet. I, Bandung: Mizan Media Utama.
Sayyid Sabiq. 2012. Fiqih Sunnah. jilid 2, Bandung: Madina Adipustaka
Hafidhuddin, Didin. 1998. Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq Dan Shadaqah.
Jakarta: Gema Insani.

13

Anda mungkin juga menyukai