Anda di halaman 1dari 7

KAIDAH UTAMA YANG KE-2 BESERTA CABANG-

CABANGNYA

Makalah diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Qawaid Fiqhiyah”

DISUSUN :

KELOMPOK II

Rizki Raihan (200106070)

Muhammad Rizki (200106074)

Farhan Dinar (200106039)

Diampu : Dr. Khairizzaman, M.Ag

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY BANDA ACEH

2022
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah ke-2 (Al-yaqinu Laa Yuzalu Bi-syak)


Qaidah fiqh yang kedua adalah qaidah tentang keyakinan dan keraguan. Yakin
‫اليقين‬. Secara etimologi yaitu manatapnya hati atas sesuatu.1 al-Yaqin juga bisa
dikatakan pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Sedangkan menurut
terminologi yaitu: Keyakinan yang kokoh dan sesuai dengan kenyataan.
Al-Suyuthi mengatakan al-Yaqin (‫( اليقين‬adalah sesuatu yang tetap dan pasti,
dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang
mendukungnya.
Adapun al-Syak secara etimologi artinya adalah keraguan. Juga bisa diartikan
dengan sesuatu yang membingungkan. Sedangkan secara terminologi Muhammad
alZarqa mengatakan: Keraguan antara dua perkara/masalah yang berlawanan
tanpa mengunggulkan salah satunya.
Dengan qaidah kedua ini, maka seseorang memperbuat sesuatu (beramal) harus
dilakukan berdasarkan dengan keyakinan. Maka apapun keraguan untuk
menghilangkan keyakinan tidak akan diterima. Juga dapat difahami dengan redaksi
yang lain yaitu, setiap perkara yang tetap, tidak akan berubah dengan sebab
kedatangan bukti yang terdapat syak padanya. Keyakinan merupakan suatu perkara
yang bersifat tetap dan bersifat berlawanan terhadap syak.
Lazimnya, sesuatu yang benar-benar diyakini sudah pasti tidak akan dirubah
oleh syak kerana keduaduanya adalah sangat berbeda. Sesuatu perkara itu hanya
akan dikatakan sebagai yakin setelah terdapat bukti dan penelitian yang dapat
menetapkan adanya perkara tersebut. Di bidang fiqh misalnya, indikator yakin ini
begitu dititikberatkan terhadap perkara apapun yang dilakukan. Karena, ia adalah
asas Islam yang menjadi dasar pijakan bagi membina sesuatu hukum. Menurut
alNawawi bahwa qaidah ini merupakan sebuah qaidah yang penting dalam qawaid
fiqhiyyah. 61 Begitu pula menurut Syarif Hidayatullah, al-Qarafi menyatakan
bahwa para ulama menyepakati qaidah itu, yaitu qaidah yang menjelaskan bahwa

1
Muhammad al-Zarqa, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Op.cit, h. 79
setiap sesuatu yang diragukan seperti sesuatu yang telah pasti ketidakpastiannya.
Menurut al-Sarakhsi dalam kitabnya Ushul al-Sarakhsi, berpegang kepada
keyakinan dan meninggalkan keraguan merupakan dasar dalam syariat Islam.2
Adapun dasar kaidah menurut Al-quran pada surat yunus ayat 36 :
َ‫ع ِل ْي ٌم ۢبِ َما يَ ْفعَلُ ْون‬ ‫شيْـًٔ ۗا اِنَّ ه‬
َ َ‫ّٰللا‬ َّ ‫ظنًّ ۗا اِنَّ ال‬
ِ ‫ظنَّ ََّل يُ ْغنِ ْي ِمنَ ا ْل َح‬
َ ‫ق‬ َ ‫َو َما يَتَّبِ ُع اَ ْكثَ ُر ُه ْم ا ََِّّل‬
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu
tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka kerjakan”
Dan menuerut hadist dasar kaidah ke-2 :
‫ «إذا شك أ َحدُكم‬: ‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه عن النبي صلى هللا عليه وسلم‬
ِ ‫ فلم يَد ِْر كم صلى ثالثا أم أربعا؟ فَ ْليَ ْط َر‬،‫في صالته‬
ْ ‫ح الشك َو ْليَب ِْن على ما ا‬
‫ ثم يسجد‬، َ‫ستَ ْيقَن‬
‫ وإن كان صلى إِتْ َماما ً ِِلْ ْربَ ٍع؛‬،‫ص َالته‬
َ ‫شفَ ْعنَ له‬
َ ‫ فإن كان صلى خمسا‬،‫س ِل َم‬
َ ُ‫سجدتين قبل أن ي‬
‫كانتا تَ ْر ِغي ًما للشيطان‬
Dari Abu Sa'īd Al-Khudri -raḍiyallāhu 'anhu-, dari Nabi Muhammad -
ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Jika salah seorang dari kalian ragu dalam salatnya,
sehingga tidak mengetahui sudah berapa rakaat yang telah dia kerjakan; tiga
ataukah empat? Maka buanglah keraguan dan lanjutkan yang dia yakini (tiga
rakaat). Kemudian sujud dua kali (sujud sahwi) sebelum salam. Jika ternyata dia
melakukan lima rakaat maka sujud sahwi itulah yang menggenapkannya. Dan jika
dia benar-benar salat empat rakaat, maka sujud sahwi itu menghinakan setan.3

B. Cabang-cabang Kaidah ke-2


Pada qaidah ini ada beberapa cabang qaidah yang harus diperhatikan:
1. Al-ashlu baqa u maa-kana ‘ala maa kaa“pokok yang asli memberlakukan
keadaan semula atas keadaan yang ada sekarang.” sesuatu perkara akan
kekal sebagaimana asalnya, sehingga datang dalil yang mengubah. Sebagai
contoh, orang yang hilang akan dihukumkan masih hidup sehingga datang
dalil yang menunjukkan dia telah meninggal dunia kerana asalnya dia masih

2
Syarif Hidayatullah, Op.cit. h. 50
3
Muhammad bin Futuh al-Humaidy, Op.cit. juz 3, h. 346
hidup. Oleh itu, hartanya tidak boleh diwariskan dan hartanya yang layak
diwarisi daripada orang lain endaklah ditangguhkan sehingga ternyata dia
masih hidup atau telah meninggal dunia kerana syarat pewarisan harta ialah
waris mesti hidup ketika kematian pewaris.
2. Al-ashlu bara'atu ad-dzimmah “Pokok yang asli tidak ada tanggung
jawab” (hukum asalnya adalah orang itu tidak bersalah). Artinya, seseorang
itu hukum asalnya tidak bersalah sampai dia terbukti bersalah di depan
pengadilan melalui keputusan qadhi. Misalnya, terdakwa yang menolak
diangkat sumpah tidak dapat diterapkan hukuman. Karena menurut asalnya
ia bebas dari tangggungan dan yang harus diangkat sumpah adalah
pendakwa. Jika seseorang menghadiahkan sesuatu barang kepada orang lain
dengan syarat memberikan gantinya dan kemudian mereka berdua
berselisih tentang wujud penggantiannya, maka yang dimenangkan adalah
perkataan orang yang menerima hadiah, karena menurut asalnya ia bebas
dari tanggungan memberikan gantinya.
3. Al ashlul ‘adamu “ Pokok yang asli ketiadaan sesuatu.” Misalnya,
Seseorang mengaku telah berutang kepada orang lain berdasarkan atas
pengakuannya atau adanya data otentik, tiba-tiba orang yang berutang
mengaku telah membayar utangnya, sehingga ia telah merasa bebas dari
tanggungannya. Sedangkan orang yang memberi utang mengingkarinya
atas pengakuan orang yang berutang. Dalam hal ini sesuai dengan qaidah,
maka yang dimenangkan adalah pernyataan orang yang memberi utang,
karena menurut asalnya belum adanya pembayaran utang, sedangkan
pengakuan orang yang berutang atas bayarnya adalah perkataan yang
meragukan. Jika seseorang yang menjalankan modal orang lain
(mudharabah) mengatakan kepada pemilik modal bahwa ia tidak
memperoleh keuntungan, maka perkataannya itu dibenarkan. Karena
memang sejak semula diadakan perikatan mudharabah belum ada
keuntungan. Belum memperoleh keuntungan adalah hal yang telah nyata
karena belum bertindak, sedangkan memperleh keuntungan yang
diharapkan merupakan hal yang tidak pasti
4. al-ashlu fil asy-yaai al-ibahah. Pokok yang asli pada sessuatun adalah
boleh. Adalah salah satu kaidah fiqih yang dipegang oleh jumhur ulama,
termasuk kalangan Syafi’iyyah, yang artinya dalam bahasa Indonesia,
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah”. Maksudnya, jika sesuatu
tidak ada penjelasannya yang tegas dalam nash Syariat tentang halal-
haramnya, maka ia halal hukumnya. Misalnya, Segala macam binatang
yang sukar untuk ditentukan keharamannya disebabkan tidak didapat sifat-
sifat atau ciri-ciri yang dapat digolongkan kepada binatang haram, maka
binatang itu halal dimakan.
5. Al ashlu fii kulli haaditsin taqdiiruhu bi-aqrabi zamanih, Pokok yang
asli pada setiap kejadian penetapannya menurut masa yang terdekat
dengan kejadiannya. yaitu Asal setiap peristiwa penetapannya menurut
masa yang terdekat dengan kejadiannya Sesuatu yang tadinya tidak ada
namun kemudian ada, maka jika terdapat, ketidaksesuaian dalam soal waktu
serta penyebab terjadinya, maka tidak dapat dikembalikan kepada masa
yang awal, tetapi pada masa yang terdekat. Misalnya: Seseorang berwudhu
dengan air yang diambil dari sumur. Beberapa hari kemudian diketahuinya
bahwa di dalam sumur tersebut ada bangkai, sehingga menimbulkan
keragu-raguannya perihal wudhu dan sembahyang yang dikerjakan
beberapa hari lalu. Dalam hal ini ia tidak wajib mngqadha shalat yang sudah
dikerjakannya. Karena masa yang terdekat sejak dari kejadian diketahuinya
bangkai itulah yang dijadikan titik tolak untuk penetapan kenajisan air
sumur yang mengakibatkan tidak sahnya shalat.
6. Al-ashlu fil kalami Al-haqiaqah. ) Pokok yang asli dalam pembicaraan
adalah yang hakiki. Maksud kaidah di atas ialah seharusnya sebuah
ungkapan diarahkan kepada makna hakikatnya. Kecuali ketika dijumpai
indikasi-indikasi yang mengarah terhadap makna majas. Contoh aplikasi
kaidah: ungkapan seseorang bahwa baju ini akan saya berikan (hibah)
kepadamu. Kemudian orang tersebut (audien) mengambilnya. Lalu pemilik
baju mengklaim bahwa baju tersebut maksudnya mau dijual (bai’), bukan
diberikan secara cuma-cuma (hibah). Maka klaim pemilik baju tidak bisa
diterima, karena secara hakikat hibah dalam term fiqh memang
menunjukkan makna pemberian secara cuma-cuma.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad al-Zarqa, Syarah al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Op.cit,
Syarif Hidayatullah, Op.cit. h. 50
Muhammad bin Futuh al-Humaidy, Op.cit. juz 3,

Anda mungkin juga menyukai