Anda di halaman 1dari 12

kaidah al yaqinu la yuzalu bi syak

NAMA : Hamzah Nur Islam

Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Bakti

Negara Tegal

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Ajaran agama Islam tidak pernah mempersulit umatnya. Justru, agama ini hadir di muka
bumi untuk memberikan kemudahan dan jalan keluar dari kesulitan yang ada. Karena
itu,segala sikap yang cenderung yang berlebih-lebihan dan mempersulit diri dalam ber agama
sangatlah tidak di benarkan. Karena hal ini dapat menimbulkan sikap was-was. Inilah yang
menjadikan alasan para ulama menjelaskan bahwa was-was itu disebabkan karena dua hal;
pertama, adanya keraguan adanya kebenaran ajaran agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW, sehingga merasa perlu untuk ditambah, atau yang kedua,karena lemahnya
akal (kurangnya pemahaman terhadap ajaran agama).

Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa was-was sebenarnya adalah usaha setan untuk
mengganggu ibadah seseorang muslim agar tidak memiliki keikhlasan dalam ibadahnya. atau
agar dapat meragukan sesuatu yang sudah jelas dalam ajaran agama. Karena itu, cara yang di
anggap efektif untuk menghilangkan perasaan was-was itu adalah dengan melawan atau
menentang perasaan was-was itu sendiri dengan di dasari ilmu dan keyakinan.

 Rumusan Masalah
 Apa pengertian kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk?
 Apa dasar hukum kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk?
 Apa saja cabang-cabang kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk?
 Bagaimana contoh kasus dari kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk?

 Tujuan
 Untuk memahami kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk.
 Untuk mengetahui dasar hukum kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk.
 Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah Al-Yakin La Yuzalu Bi Al-Syakk.

 Untuk mengetahui penyelesaian dari contoh kasus tersebut.


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian
Secara etimologis, al yaqin adalah sesuatu yang menetap (al istiqrar), kepercayaan yang pasti
(al jazim), teguh (al tsabit), dan sesuai dengan kenyataan (al muthabiq al waqi’). Bisa juga di
maknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan sesuatu yang nyata, jadi
yaqin merupakan kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yaqin. Adapula yang
mengartikan al yaqin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan
kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.[1]
Keyakinan yang di maksud disini adalah keyakinan yang benar-benar datang dari hatinya,
bukan sekedar pura-pura yaqin apalagi dengan alasan malu kepada orang lain, karena malu
kepada allah harus lebih di dahulukan. Ulama malikiyah mengatakan,”seseorang tidak bisa
lepas dari tuntutan ibadah kecuali dengan melaksanakannya secara benar dan meyakinkan.
Sholat yang sah hanya jika di dahului dengan wudhu yang sah, bukan dengan wudhu yang
diragukan apakah sah atau tidak.”

Sedang al syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang berlawanan tanpa
mengunggulkan salah satunya. Menurut Ali Ahmad al-Nadwi mendefinisikan al syakk
sebagai suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak bisa ditarjihkan salah satunya.[2]
Secara terminologis, yang dimaksud dengan al yaqin adalah sesuatu yang menjadi tetap, baik
berdasarkan penganalisaan maupun dalil. Sedangkan yang dimaksud dengan al syakk adalah
sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama
antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.[3]
Dari sini menjadi jelaslah bahwa sesuatu yang hanya berdasar pada perasaan atau keraguan,
tidak dapat dijadikan pedoman untuk memutuskan tentang sah atau tidaknya suatu ibadah. Di
dalam kitab-kitab fikih banyak dibicarakan tentang hal yang berhubungan dengan keyakinan
dan keraguan. Misalnya, orang yang sudah yakin suci dari hadas, kemudian dia ragu, apakah
sudah batal wudhunya atau belum ? maka dia tetap dalam keadaan suci. Hanya saja untuk
ihtiyath (kehati-hatian), yang lebih utama adalah memperbarui wudhunya (tajdid al-wudhu).
Kaidah ini sama dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dalam hukum
barat. Selain itu, secara moral, seorang Muslim harus mempunyai husnudzan (bersangka
baik) kepada orang lain sebelum ada bukti yang meyakinkan bahwa orang lain tersebut tidak
baik.

 Dasar Hukum
Mengenai rujukan kaidah ini, para ulama telah memaparkan dalil-dalil yang dinilai sebagai
dasarnya, baik itu firman Allah SWT ataupun sunnah Rasulullah SAW. di antaranya adalah
ayat Al-Qur’an surat Yunus ayat 36:

َ‫ش ْيًئا ۚ ِإنَّ هَّللا َ َعلِي ٌم ِب َما يَ ْف َعلُون‬ ِّ ‫ظنًّا ۚ ِإنَّ الظَّنَّ اَل يُ ْغنِي ِمنَ ا ْل َح‬
َ ‫ق‬ َ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُر ُه ْم ِإاَّل‬
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesunggunya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah
maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Selain itu, ada juga berkata hadis Nabi SAW yang telah mengajarkan bagaimana cara supaya
keyakinan itu muncul, khususnya bagi orang yang sedang melaksanakan sholat, sebagaimana
pendapat dalam sebuah riwayat yang berbunyi:

“Dari Abbad bin Tamim dari pamannya, bahwa ia menyampaikan kepada Rasulullah SAW
permasalahan seorang laki-laki yang muncul keraguannya dengan anggapan adanya sesuatu
yang membatalkan wudhunya padahal dia dalam keadaan sholat, lalu Nabi SAW berkata:
“ia tidak boleh pergi meninggalkan sholatnya, sampai ia mendengar adanya suara yang
keluar (dari duburnya) atau ia mencium bau yang tidak sedap.” (HR Bukhari)
Pada hadis lain dengan redaksi yang berbeda tapi maknanya senada disebutkan:

“Dari Abi Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda: jika seseorang merasakan sesuatu
dalam perutnya, lalu ia ragu apakah sesuatu itu telah keluar atau belum, maka orang
tersebut tidak boleh keluar dari masjid (membatalkan sholatnya) hingga ia mendengar suara
(kentut) atau mencium baunya.” (HR.Muslim)
“Dari Abi Al Haura’I al-Sa’di berkata, aku bertanya kepada Hasan bin Ali, apa yang engkau
hafal dari Rasulullah SAW ? ia menjawab: aku menhafal hadis dari Rasul: “tinggalkanlah
apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada yang tidak meragukanmu.” (HR.Nasa’i)
Maka ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau
membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam
kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih
menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak
bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang di namakan al syakk.[4]

 Cabang-Cabang Kaidah

  
‫ين ِم ْثلِ ِه‬
ِ ِ‫اَليَقِينُ يُ َزا ُل بِاليَق‬
”Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula”
Sebagai contoh, kita yakin sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula buang air kecil,
maka wudhu kita akan menjadi batal. Contoh lain, kita berpraduga tidak bersalah pada
seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut tertangkap tangan sedang melakukan
kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus dihukum.[5]

  
‫َأنَّ َما ثَبَتَ بِيَقِ ْي ٍن الَ يُ ْرتَفَ ُع ِأالَّ بِيَقِ ْي ٍن‬
“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”
Sebagai contoh, Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh
putaran. Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran
ke enam atau ke lima. Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang ke lima, karena putaran
yang kelima itulah yang meyakinkan.

Jadi dalam hal yang berhubungan dengan bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan
yang terkecil itulah yang meyakinkan.

  
ْ ‫اََأل‬
‫ص ُل بَ َرا َءةُ ال ِذ َّم ِة‬
“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab”
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan
dengan hak Allah maupun dengan hak adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban
pada dirinya.[6]
Sebagai contoh, anak kecil lepas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai
datangnya waktu baligh. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat
pernikahan sampai terbukti adanya akad nikah. Contoh lain, makan dan minum asalnya
dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan-makanan dan minum-minuman
yang diharamkan.

  
ْ ‫اََأل‬
ُ‫ص ُل َبقَا ُء َما َكانَ َعلَى َما َكانَ َما لَ ْم يَ ُكنْ َما يُ َغيِّ ُره‬
“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidk ada hal lain yang mengubahnya”
Dalam kasus-kasus di atas unsur yang mengubah keadaan itu adalah baligh (dewasa) bagi
anak kecil, akad nikah bagi pria dan wanita, dan hadis-hadis yang melarang makan dan
minum yang haram.[7]
Keadaan di ataspun bisa terjadi perubahan lagi, bila ada unsure-unsur lain yang
mengubahnya. Misalnya, manusia bebas lagi dari tanggung-jawab karena datangnya
kematian, kewajiban-kewajiban suami istri hilang lagi karena ada perceraian.

  
ْ ‫اََأل‬
‫ص ُل اَل َع َد ُم‬
“Hukum asal adalah ketiadaan“
lebih jelas lagi dengan kaidah:

‫ض ِة ال َع َد ُم‬ ِ ‫صفَا‬
َ ‫ت ال َعا ِر‬ ْ ‫اََأل‬
ِ ‫ص ُل فِي ال‬
“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada”
Contoh: apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang cacat baranf yang
dijual belikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat itu
tidak ada. Adapula ulama yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli
telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti
yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketrika barang tersebut masih ada di
tangan penjual.

  
‫ب َأ ْوقَاتِ ِه‬
ِ ‫ث ِألَى َأ ْق َر‬ َ ُ‫ضافَة‬
ِ ‫الحا ِد‬ ْ ‫اََأل‬
َ ‫ص ُل ِأ‬
“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat
kejadiannya”
Kaidah tersebut terdapat di dalam kitab-kitab madzhab hanafi. Sedangkan dalam kitab-kitab
madzhab syafi’i, meskipun substansinya sama tetapi ungkapannya berbeda yaitu:

ِ ‫ث تَ ْق ِدي ُرهُ بَِأ ْق َر‬


‫ب َز َمنِ ِه‬ ْ ‫اََأل‬
ٍ ‫ص ُل فِي ُك ِّل َحا ِد‬
“Hukum asal dalam segala peristiwa adalah terjadi pada waktu yang paling dekat
kepadanya”
Apabila terjadi keraguan karena perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditettapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu terjadi. Kecuali ada bukti lain yang
meyakinkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada waktu yang lebih jauh.[8]
Contoh: seorang wanita yang sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian
keluarlah bayi dalam keadaan hidup dan sehat. Selang beberapa bulan, bayi itu meninggal.
Maka, meninggalnya si bayi tidak disandarkan kepada pemukulan yang terjadi pada waktu
yang telah lama, tetapi disebabkan hal lain yang merupakan waktu yang paling dekat kepada
kematiannya.

  
ِ ‫احةُ َحتَّى يَ َد ُّل ال َّدلِي ُل َعلَى الت َْح ِر‬
‫يم‬ ْ ‫ص ُل فِي اَأل‬
َ َ‫شيَا ِء اِأل ب‬ ْ ‫اََأل‬
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya”
Contohnya: apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya,
maka hukumnya boleh dimakan.

Di kalangan madzhab hanafi ada pula kaidah:

‫الحظَ ُر‬ ْ ‫ص ُل فِي اَأل‬


َ ‫شيَا ِء‬ ْ ‫اََأل‬
“Hukum asal segala sesuatu adalah larangan (haram)”
Kemudian oleh para ulama kaidah tersebut dikompromikan menjadi dua kaidah dalam bidang
hukum yang berbeda, yaitu kaidah:

ِ ‫احةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِي ُل َعلَى الت َْح ِر‬


‫يم‬ ْ ‫ص ُل فِي اَأل‬
َ َ‫شيَا ِء اِأل ب‬ ْ ‫اََأل‬
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan
keharamannya”
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh muamalah, sedangkan untuk fiqh ibadah
digunakan kaidah:

‫العبَا َد ِة البُ ْطالَنُ َحتَّى يَقُو َم ال َّدلِي ُل َعلَى اَأل ْم ِر‬ ْ ‫اََأل‬
ِ ‫ص ُل فِي‬
“Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang
memerintahkannya”
Kaidah di atas semakna dengan kaidah:

ِ ‫الَ ُح ْك َم لَِأْل ْف َع‬


ِ ‫ال قَ ْب ُل ُو ُرو ِد الش َّْر‬
‫ع‬
“Tidak ada hukum terhadap suatu perbuatan sebelum datangnya syariah”
ُ‫ب فِ ْعلُه‬
ُ ‫ش ُكو َك فِي ُو ُجوبِ ِه الَ يَ ِج‬
ْ ‫ال َم‬
“Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan”
Kaidah “al-Ashlu fi alsyya al-ibadah” ketika dirujukkan kepada Al-Qur’an dan Hadis,
terdapat banyak kesesuaiannya, seperti dalam QS.al-jatstsiyah ayat 12, al-An’am ayat 146, al-
A’raaf ayat 30, dan al-Maidah ayat 5.

  
ُ‫الحقِيقَة‬ ْ ‫اََأل‬
َ ‫ص ُل فِي ال َكالَ ِم‬
“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”
Contohnya: apabila seorang berkata: “saya mau mewakafkan harta saya kepada anak kyai
Ahmad. Maka anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak
pungut dan bukan pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai,
dan lain-lainnya di dalam akad, harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya,
bukan dalam arti kiasannya.

 Qadhi Abd al-Wahab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubungan dengan
kaidah, “al-yaqin la yuzal bi al-syak” yaitu:
ُ‫الَ ِع ْب َرةَ بِالظَنِّ الَّ ِذي يَ ْظ َه ُر َخطَا ُءه‬
“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya”
Contohnya: apabila seorang debitor telah membayar utangnya kepada kepada kreditor,
kemudian wakil debitor atau penananggungjawabnya membayar lagi utang debitor atas
sangkaan bahwa utang belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau
penananggungjawabnya berhak meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena
pembayarannya dilakukan atas dasar persangkaan yang jelas saahnya, yaitu menyangka
bahwa utang belum dibayar oleh debitor. Demikian pula kaidah tersebut berlaku di dalam
contoh-contoh yang serupa.

  
‫الَ ِع ْب َرةَ لِلت ََّوه ُِّم‬
“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)“
Bedanya zhann dan waham adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan
dalam waham, yang salah itu zatnya. Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan
sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka. Tidak diakui ahli waris
yang dikira-kirakan adanya.[9]

  
‫َما ثَتَبْتَ بِزَ َم ٍن يُ ْح َك ُم َببَقَا ِء ِه َما لَ ْم َيقُ ْم ال َّدلِي ُل َعلَى ِخالَفِ ِه‬
“Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan
berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya.”
Kaidah ini semakna dengan kaidah nomor 4.

Contoh lain: seseorang yang pergi jauh, tidak ada kabar beritanya, maka orang tersebut tetap
dianggap hidup sampai ada bukti yang meyakinkan bahwa dia telah meninggal. Dalam hal
ini, yang meyakinkan bahwa waktu pergi dia dalam keadaan hidup, maka sekarangpun dia
masih tetap dianggap hidup. Oleh karena itu, harta warisan tidak boleh dibagikan dahulu. Istri
yang ditinggalkan masih tetap dianggap sebagai istrinya. Artinya, masih berhak terhadap
nafkah dan hak-hak lainnya sebagai istri.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Al yaqin adalah sesuatu yang menetap, kepercayaan yang pasti, teguh, dan sesuai dengan
kenyataan. Bisa juga di maknai sebagai ilmu, sesuatu yang dapat menjauhkan keraguan, dan
sesuatu yang nyata, jadi yaqin merupakan kebalikan dari syakk, dan syakk lawannya yaqin.
Adapula yang mengartikan al yaqin dengan ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada
kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu, dalam arti tidak ada keraguan lagi.

Sedang al syakk adalah keraguan antara dua masalah/peristiwa yang berlawanan tanpa
mengunggulkan salah satunya. Menurut Ali Ahmad al-Nadwi mendefinisikan al syakk
sebagai suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan
kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak bisa ditarjihkan salah satunya.

ketika seseorang ragu, tapi ada suatu pendukung lain yang bisa meyakinkan atau
membatalkan keraguan yang ada pada dirinya, maka hal semacam itu tidak termasuk dalam
kategori al syakk, karena hal itu bisa di kaji (dikuatkan) salah satunya dengan yang lebih
menyakinkan. Namun, ketika tidak ada penguat dari salah satunya, dan betul-betul ragu tidak
bisa menentukan salah satunya, maka inilah yang di namakan al syakk.
DAFTAR PUSTAKA

Andiko, Toha. 2011. ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH. Yogyakata: Teras.


Djazuli, A. 2006. KAIDAH-KAIDAH FIKIH. Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP.

[1] Dr. H. Toha Andiko, ILMU QAWA’ID FIQHIYYAH, (Yogyakata: Teras, 2011) cet. 1,


hlm. 68-69.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hlm. 72-74.
[5] Prof. H. A. Djazuli, KAIDAH-KAIDAH FIKIH, (Jakarta: PRENADAMEDIA GROUP,
2006) ed. 1, hlm. 47-48.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid. 49.
[9] Ibid, hlm. 50-54.

Anda mungkin juga menyukai