11190110000013
5C PAI
1. Batal
فَ ْال َخطَأ ُ فِ ْي ِه ُمب ِْط ٌل،َما يُ ْشتَ َرطُ فِ ْي ِه التَّ ْعيِي ُْن
Artinya: "Amalan yang disyaratkan ta’yin di dalamnya, maka kesalahan ta’yin dapat
membatalkan amalan tersebut."
Contoh: Apabila seseorang salah niat shalat zhuhur dengan shalat ashar, atau sebaliknya.
Maka shalatnya tidak sah.
2. Waktu ibadah
Artinya: “Ibadah yang ditentukan pada waktu tertentu tidak bisa didapatkan jika telah
keluar waktunya kecuali karena adanya udzur”.
Kaidah ini menjelaskan tentang ibadah manakah yang tetap bisa dilakukan ketika
waktunya telah lewat dan mana yang tidak. Ibadah yang termasuk dalam pembahasan
kaidah ini adalah ibadah yang ditentukan waktunya, yaitu ada waktu khusus untuk
pelaksanaannya. Ia mempunyai awal waktu dan akhir waktu pelaksanaan. Seperti puasa
Ramadhan, shalat lima waktu, shalat sunnah rawatib qabliyah ataupun ba’diyah, wuquf di
Arafah, menyembelih (hewan kurban), zakat fitri, dan nadzar yang ditentukan dengan
waktu tertentu. Ibadah seperti sedekah, umrah tidak masuk dalam pembahasan kaidah ini,
karena termasuk ke dalam ibadah yang tidak ada batasan waktunya atau dengan kata lain
dapat dikerjakan di setiap waktu.
Lalu bagaimana hukumnya jika seseorang belum melaksanakan ibadah tersebut sampai
waktunya terlewatkan? Umpamanya, seseorang belum mengerjakan suatu ibadah sampai
lewat waktunya maka ia tidak lepas dari dua keadaan. Pertama, ia belum mengerjakannya
karena ada udzur syar’i. Jika hal itu terjadi karena ada udzur syar’i maka ia boleh
mengerjakan ibadah tersebut meskipun telah lewat waktunya. Dan ia mendapatkan pahala
seperti orang yang mengerjakan pada waktunya, tidak berkurang pahalanya sedikitpun.
Kedua, ia belum mengerjakannya dengan sengaja tanpa udzur syar’i. Adapun jika hal itu
terjadi tanpa adanya udzur syar’i, misalnya ia sengaja meninggalkannya karena malas,
atau sibuk dengan urusan dunia, atau semisalnya maka ibadah-ibadah itu jika telah lewat
waktunya maka ia tidak diperbolehkan mengerjakannya lagi.
3. Kesulitan
ِّ َو ْاليَقِي ُْن الَ يَ ُز ْو ُل بِال َّشك,ان َ ْاألَصْ ُل بَقَا ُء َما َك
َ ان َعلَى َما َك
Artinya: “Hukum asal adalah tetap apa yang telah ada atas yang telah ada, dan
keyakinan tidak bisa hilang karena keraguan”.
Maksud dari kaidah ini yaitu jika seseorang yang yakin terhadap suatu perkara tertentu,
maka asalnya perkara yang diyakini tersebut tetap dalam keadaannya semula. Dan
perkara yang diyakini tersebut tidaklah bisa dihilangkan hanya sekedar karena keragu-
raguan.
Contohnya: seseorang yang yakin bahwa dirinya dalam keadaan suci (tidak berhadats)
kemudian muncul dalam benaknya keraguan apakah ia telah berhadats ataukah belum,
maka asalnya ia masih dalam keadaaan suci, sampai ia yakin bahwa ia memang telah
berhadats. Demikian pula, seseorang yang yakin bahwa ia dalam keadaan berhadats
kemudian ragu-ragu apakah ia sudah bersuci ataukah belum maka asalnya ia tetap dalam
keadaan berhadats.
5. Aturan saksi
ِ َو ْاليَ ِمي ُْن َعلَى َم ْن أَ ْن َك َر فِي َج ِمي ِْع ْال ُحقُ ْو,البَيِّنَةُ َعلَى ْال ُم َّد ِعي
َونَحْ ِوهَا, َوال َّد َعا َوى,ق
Artinya: “Bukti wajib didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi
yang mengingkari tuduhan itu, hal ini berlaku dalam seluruh persengketaan hak,
tuntutan, dan semisalnya.”
Kaidah ini sangat dibutuhkan oleh para hakim, mufti (pemberi fatwa), dan dibutuhkan
pula oleh setiap orang. Bukti itu harus didatangkan oleh orang yang menuduh, dan
sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkari tunduhan itu. Penerapan kaidah ini
mengharuskan terlepasnya perkara-perkara yang samar dan terurainya seluruh
persengketaan.
Bukti adalah setiap hal yang menunjukkan benarnya tuntutan orang tersebut. Yang mana,
kadar bukti tersebut berbeda-beda sesuai dengan perbedaan perkara yang
dipersengketakan.
Barangsiapa yang mengklaim bahwa barang yang ada di tangan orang lain adalah
miliknya, atau mengklaim bahwa orang lain punya hutang darinya, atau menyatakan
bahwa orang lain mempunyai kewajiban yang harus ia tunaikan kepadanya, maka ia
harus mendatangkan bukti atas tuntutannya tersebut.
6. Aturan saksi
ِ َو ْاليَ ِمي ُْن َعلَى َم ْن أَ ْن َك َر فِي َج ِمي ِْع ْال ُحقُ ْو,البَيِّنَةُ َعلَى ْال ُم َّد ِعي
َونَحْ ِوهَا, َوال َّد َعا َوى,ق
Artinya: “Bukti wajib didatangkan oleh orang yang menuduh, dan sumpah itu wajib bagi
yang mengingkari tuduhan itu, hal ini berlaku dalam seluruh persengketaan hak,
tuntutan, dan semisalnya”.
Aturan saksi menurut kaidah ini ada beberapa macam, diantaranya adalah:
1) Harus empat orang laki-laki. Dan ini berlaku pada persaksian zina.
2) Harus dua orang laki-laki. Dan ini berlaku pada semua tindakan kriminal kecuali
zina, juga pernikahan, perceraian, dan lainnya.
3) Persaksian yang bisa dilakukan oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dua
wanita atau satu laki-laki dan sumpah. Hal ini berlaku pada masalah yang
berhubungan dengan harta. Seperti jual beli, sewa-menyewa, dan lainnya.
4) Persaksian yang bisa dilakukan oleh wanita saja. Hal ini berlaku pada masalah
yang tidak bisa dilihat oleh kaum laki-laki, misalkan masalah persusuan, haidh,
nifas, dan lainnya.
7. Hukum wahm