Anda di halaman 1dari 32

KAIDAH USUL FIQIH

QOWA'ID AL-FIQH
Sabda Rasulullah SAW. :

"‫انما االعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه البخارى‬


:Artinya
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang
telah diniatkan.” (HR. Bukhari).

Kaidah ke-1
‫االمور بمقاصدها‬
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
Contoh kaidah:

Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.

Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami
kepada istrinya: ‫( انت خالية‬engkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan
menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya,
namun jika ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.

Kaidah ke-2

‫ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل‬

Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan


:penjelasan menyebabkan batal. Contoh kaidah
Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka
shalatnya tersebut tidak sah.
Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat
qatl (pembunuhan).

Kaidah ke-3
‫ما يشترط التعرض له خملة وال يشترط تعيينه تفصيال اذا عينه واخطأ ضر‬

Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan


penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci
.membahayakan

Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Gandung S.P. Towo niat berjamaah kepada seorang
imam bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah
mbah Arief tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin),
maka shalat Gandung tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief
yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat
berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan
siapa imamnya.

Kaidah ke-4

‫ما ال يشترط التعرض له خملة وال تفصيال اذا عينه واخطأ لم يضر‬
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci
.ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan
Contoh kaidah :
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah
kantin Asyiq) niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat itu dia
berada di Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang Wonosobo). Maka
shalat mbah Muntaha tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan
tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau terperinci
(tafshil).

Kaidah ke-5

‫مقاصد اللفظ على نية الالفظ‬


.Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan
Contoh kaidah :
Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari Kutowinangun
Kebumen). Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri
bernama Tholiq dan seorang budak perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon
berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon
bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika
hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya. Begitu juga
dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan
memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka.
Sebaliknya jika ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi
merdeka.

Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan
menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal shalatnya.
Namun apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal shalatnya, atau dengan
menambahkan masyiah dengan tanpa adanya tujuan apapun, maka menurut
pendapat yang sahih, shalatnya menjadi batal.

Kaidah ke-6
‫اليقين ال يزال بالشك‬
.Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan
Contoh kaidah :
Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat
shalatnya? maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat karena itulah yang
diyakini.
Santri bernama Maid baru saja mengambil air wudhu di kolam depan komplek A PP.
Putra An-Nawawi. Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; "batal durung yo..?
kayane aku nembe demek..." maka hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan
keraguan yang muncul kemudian.
seseorang meyakini telah berhadats dan kemudian ragu apakah sudah bersuci atau
belum, maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:

‫ما ثبت بيقين ال يرتفع اال بيقين‬

Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan
.adanya keyakinan yang lain
Kaidah ke-7

‫االصل بقاء ما كان على ما كان‬


.Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula

Contoh kaidah :
Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar
maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap
malam (al-aslu baqa-u al-lail).

Seseorang yang makan (berbuka) pada penghujung siang tanpa berijtihad terlebih
dahulu dan kemudian ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, maka
puasanya batal. Karena asalnya adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u al-nahr).

Kaidah ke-8

‫االصل براة الذمة‬


.hukum asal adalah tidak adanya tanggungan

Contoh kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah
bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman,
karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab.
Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).

Kaidah ke-9

‫االصل العدم‬
Hukum asal adalah ketiadaan

Contoh kaidah :
Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos Fahmi.
Dalam kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola usaha (al-'amil),
sedangkan Bos Fahmi adalah pemodal atau investornya. Pada saat akhir perjanjian,
Kang Khumaidi melaporkan kepada Bos Fahmi bahwa usahanya tidak mendapat
untung. Hal ini diingkari Bos Fahmi. Dalam kasus ini, maka yang dibenarkan adalah
ucapan orang Bruna yang bernama Kang Khumaidi, karena pada dasarnya memang
tidak adanya tambahan (laba).
Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada
dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).

Kaidah ke-10

‫االصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه‬


.Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya

Contoh kaidah :
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga cerewet,
maka tanpa pikir panjang Ipin -cah Jiwan Wonosobo- memukul perut si wanita hamil
tersebut. Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan
sehat. Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut
yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak
dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi tersebut adalah
disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding pemukulan Ipin terhadap
wanita tersebut.

Seorang santri kelas II MDU bernama Soekabul alias Kabul Khan ditanya oleh teman
sekamarnya; “Kang Kabul, aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak ingat kapan
aku mimpi basah. Gimana solusinya, Kang?”. Dengan PD-nya, karena baru saja
menemukan kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi zamanihi” saat
muthala’ah Kitab Mabadi' Awwaliyah, santri yang demen banget lagu-lagu Hindia ini
spontan menjawab; “Siro -red: kamu- wajib mandi besar dan mengulang shalat mulai
sejak terakhir kamu bangun tidur sampai sekarang.”

Kaidah ke-11

‫المشقة تجلب التيسر‬


.Kesulitan akan menarik kepada kemudahan

Contoh kaidah :
Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk berdiri
ketika shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu juga ketika
ia merasa kesulitan shalat dengan duduk, maka diperbolehkan melakukan shalat
dengan tidur terlentang.

Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan untuk
menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.

Pendapat Imam Syafi'i tentang diperbolehkannya seorang wanita yang bepergian


tanpa didampingi wali untuk menyerahkan perkaranya kepada laki-laki lain”.

Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:


Perkataan Imam al-Syafi'i:

‫االمر اذا ضاق اتسع‬


.Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan)
Perkataan sebagian ulama:

‫االشياء اذا ضاقت اتسع‬


.Ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas

Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.


“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

KERINGANAN HUKUM SYARA’


Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar'i), meliputi 7 macam, yaitu:
Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkan
kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya 'uzdur
(halangan).

Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya


menqashar shalat.
Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan
mandi dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi
isyarat dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.

Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti


dalam shalat jama' taqdim, mendahulukan zakat sebelum khaul (satu tahun),
mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir Ramadhan.

Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti


dalam shalat jama' ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan bagi yang sakit dan
orang dalam perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang
tenggelam.

Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya


menggunakan khamr (arak) untuk berobat.

Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat
dalam keadaan takut (khauf).

Kaidah ke-12

‫االشياء اذا اتسع ضاقت‬


.Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan
banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.

Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa
(perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:

‫كل ما تجوز حده انعكس الى ضده‬


.Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya

Kaidah ke-13
‫الضرر يزال‬
.Bahaya harus dihilangkan

Contoh kaidah:
Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya 'aib (cacat)
pada barang yang dijual.
Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan perempuan
karena adanya 'aib.

Kaidah ke-14
‫الضررال يزال بالضرر‬
.Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya

Contoh kaidah:
Mbah Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak
tahannya menahan lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk gintungan)
kepunyaan Lutfi yang kebetulan dibeli sebelumnya di warung Syarof CS. Tindakan
mbah Yoto -walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak
bisa dibenarkan karena Lutfi juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu
kelaparan.

Kaidah ke-15
‫الضرورات تبيح المحظورات‬
.Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang

Contoh kaidah:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-
tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal,
semua bekal Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -
sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa
menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib
Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia tidak bisa
membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan
Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya
seakan-akan mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang
juga nasib si babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut
dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang,
Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk
sekedar mengobati rasa lapar. Tindakan Rahman memakan daging babi dalam
kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan
sesuatu yang semula dilarang.
Diperbolehkan melafazdkan kalimat kufur karena terpaksa.

Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:


‫ال حرام مع الضرورة وال كراهة مع الحاجة‬
Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh ketika ada
hajat

Kaidah ke-16
‫ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها‬
Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan
.kadar daruratnya

Contoh kaidah:
Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman yang
dalam kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu
sekira cukup untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia.
selebihnya (melebihi kadar kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak
diperbolehkan.

Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh
dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak
diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.

Kaidah ke-17
‫الحجة قد تنزل منزلة الضرورة‬
.Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat
Contoh kaidah:
Diperbolehkannya Ji'alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan hutang
piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam
muamalah atau karena khithbah (lamaran).

Kaidah ke-18
‫اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما‬
Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah
.yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan

Contoh kaidah:
Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang
dikandungnya diharapkan masih hidup.

Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang ditimbulkannya
lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.

Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya


(timbulnya rasa aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal ia tidak
memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil makanan Eko
Setello yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.

Kaidah ke-19
‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬
.Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan

Contoh kaidah:
Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu
yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk
menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.

Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci


merupakan sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang yang
sedang ihram karena untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.

Kaidah ke-20
‫االصل فى االبضاع التحريم‬
.Hukum asal farji adalah haram

Contoh kaidah:
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam
sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan
tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi
istrinya. Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga
oleh karenanya perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan
jumlah perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara
perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah
perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga
oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya kesempatan
berbuat zina.
Seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah
(budak perempuan) dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat
menyerahkan jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil)
tersebut meninggal. Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu
belum halal bagi muwakkil karena walaupun memiliki cirri-ciri yang disebutkannya,
dikhawatirkan wakil membeli jariyah untuk dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.
Artinya:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada
terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui batas.”

Lebih jelasnya sesuai dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal bagi
tuannya tetapi berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya
sebagaimana contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil (orang
yang mewakilkan).

Kaidah ke-21
‫العادة محكمة‬
.Adat bisa dijadikan sandaran hukum

Contoh kaidah:
Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang
dikehendaki, maka berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung pada
kebiasaan (adapt perempuan sendiri).

Kaidah ke-22
‫ما ورد به الشرع مطلقا وال ضابط له فيه وال فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف‬
Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi
didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan
.kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku

Contoh kaidah :
Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan
menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.

Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat
di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar,
cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap
cukup.

Jual beli dengan meletakan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah
tidak sah. Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiyasaan.

Kaidah ke-23

‫االجتهاد ال ينقد باالجتهاد‬


.Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya
Contoh kaidah:
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke
dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga
tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama.
Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan
menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.

Ketika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian
ijtihadnya berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah
(tidak rusak).

Kaidah ke-24
‫االء يثار بالعبادة ممنوع‬
.Mendahulukan orang lain dalam beribibadah adalah dilarang

Contoh kaidah:
Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu.
Artinya, ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan
teman kita juga membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu
kepadanya karena akan menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air
yang akan kita gunakan untuk bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air
tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan ibadah.
Firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah (2):148.
" …Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…"

Kaidah ke-25
‫االء يثار بغيرالعبادة مطلوب‬
.Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan
Contoh kaidah:
Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.

Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka
Itulah orang orang yang beruntung.”

Kaidah ke-26

‫تصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة‬


Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dlakukan berdasarkan pertimbangan
.kemaslahatan

Contoh kaidah:
Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak
(mustahiq) dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat
kebutuhannya sama.

Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengankat seorang fasiq menjadi


imam shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang
baik (makruh).

Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal kepada
seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih
membutuhkan.

Rasulullah SAW. bersabda :


‫كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته‬
: Artinya
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian akan dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.

Kaidah ke-27
‫الحدود تسقط بالشبهات‬
.Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat

Contoh kaidah:
Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual dengan
wanita lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).

Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut'ah, nikah tanpa wali atau
saksi atau setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had sebab
masih adanya perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah
mut'ah dan nikah tanpa wali dan sebagian lagi berpendapat sebalikannya.

Orang mencuri barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya, atau
milik anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.

Orang meminum khamr (arah) untuk berobat tidak dikenai had karena masih
terdapat khilaf antar ulama'.

‫ ادرؤا الحدود بالشبهات‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬


:Artinya
Nabi SAW. bersabda: Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan
(adanya) berbagai ketidak jelasan.

Kaidah ke-28

‫ما ال يتم الواجب اال به فهو واجب‬

Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan


.keberadaannya,maka hukumnya wajib
Contoh Kaidah:
Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat
berwudhu.
Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat membasuh
lengan dan kaki.
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya
dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.

Kaidah ke-29"

‫الخروج من الخالف مستحب‬


.Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab)
Contoh kaidah:
Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke kepala
dengan mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilafdengan imam malik
berpendapat bahwa dalk dan isti'ab al-ro'sy (meneteskan kepala dengan air) adalah
wajib hukumnya.

Disunatkan membasuh sperma, yang menurut imam malik wajib hukumnya.


Sunah men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah, karena
keluar dari khilaf dengan Abu hanifah yang mewajibkannya.

Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika membuang
hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk keluar
dari khilaf imam Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:

Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain. Seperti
lebih diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam) dari pada
melanjutkanya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanafiah tidak dipertimbangkan
karena adanya ulama yang tidak membolehkan witir dengan digabungkan

Tidak bertentangan dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti


disunatkannya mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama
Hanafiah menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh
orang sahabat, Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua
tangannya.

Kautnya temuan tentang bukti perbedaan, sehingga kecil kemungkinan terulangnya


keslahan serupa. Dengan alas an itu, maka berpuasa bagi musafir yang mampu
menahan lapar dan dahaga aladah utama, dan tidak dipertimbangkan adanya
pendapat para kaum Zahiruasa musafir itu tidak sah.

Kaidah ke-30
‫الرخصة التناط بالمعاصى‬
.Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat

Contoh kaidah:
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum
karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan
puasa.

Orang yang berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga tidak
diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.
Kaidah ke-31

‫الرخصة التناط بالشك‬


.Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan

Contoh kaidah:
Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, Abdul Aziz merasa ragu mengenai
jauh jarak yang ditempuh dalam perjalan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat
untuk meng-qashar shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini, kang Aziz tidak
boleh meng-qashar shalat.

Seorang yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar, maka
yang harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.

Kaidah ke-32
‫ما كان اكثر فعال كان اكثر فضال‬
.Sesuatuyang banyak aktifitasnya, maka banyak pula keutamaanya

Contoh kaidah:
Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari pada wasl
(tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya niat,takbir dan salam.

Orang melakulan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengan dari pahala
orang yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur mirung, maka pahalanya
adalah setengah dari orang yangh shalat dengan duduk.

Memishkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama dari
pada melaksanakan bersama-sama.

Rasulullah SAW. bersabda:

‫اجرك على قدر نصبك رواه مسلم‬


:Artinya
“Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)

Kaidah ke-33

‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬


Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan maka tidak boleh meninggalkan
semuanya

Contoh kaidah:
Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu
dengan dirham maka lakukanlah.

Seserang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi (fan)
sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan keseluruhannya.

Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh
rakaat, maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.

Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, adalah perkataan ulama ahli fiqh:
‫ما ال يدرك كله ال يترك بعضه‬
Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh tinggalkan
.sebagiannya

Kaidah ke-34

‫الميسور ال يسقط بالمعسور‬


.Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit

Contoh kaidah:
Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh
anggota badan yang tersisah ketika bersuci.

Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup aurat
berdasarkan kemampuannya tersebut.

Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib
membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.

Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada ditempat jauh
(ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada ditangannya.

Nabi SAW. bersabda :

‫ رواه شيخان‬.‫وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم‬


:Artinya
“Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari
Muslim)

Kaidah ke-35

‫ما حرم فعله حرم طلبه‬


.Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya

Contoh kaidah:
Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah
orang-orang yang meratapi kematian orang lain.

Kaidah ke-36
‫ما حرم اخذه حرم اعطاؤه‬
.Sesuatu yang haram diambil,maka haram pula memberikannya

Contoh kaidah :
Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga
upah meratapi kematian orang lain.

Kaidah ke-37

‫الخير المتعدي افضل من القاصر‬


kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya
.sedikit (terbatas)

Contoh kaidah:
Mengajarkan ilmu lebih utama daripada shalat sunah.
Orang yang menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah menggugurkan
dosa umat daripada orang yang melakukan fardhu 'ain.

Kaidah ke-38
‫الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه‬
.Rela akan sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya

Contoh kaidah:
Menerima suami istri dengan kekurangan yang dimiliki salah satu dari keduanya.
Maka tidak boleh mengembalikan kepada walinya.

Seseorang memita tangannya di potong dan berakibat kepada rusaknya anggota


tubuh yang lain, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kepada pemotong
tangan.

Memakai wangi-wangian sebelum melaksanankan ihram, teapi wanginya bertahan


sampai waktu ihram maka tidak dikenahi fidyah.

Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah di atas yaitu :

‫المتولد من مأذون ال اثر له‬


Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat ijin tidak memiliki dampak
.apapun

Kaidah ke-39

‫الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما‬


Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun
.ketiadaannya’illatnya

Contoh kaidah :
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian
terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah
menjadi cuka maka halal.

Memasuki rumah orang lain atau memakai pakaiannya tanpa adanya ijin adalah
haram hukumnya. Namun ketika namun ketika diketahui bahwa pemiliknya
merelakan, maka tidak ada masalah didalamnya (boleh).

Alasan diharamkannya minum racun karena adanya unsur merusakkan. Andaikata


unsure yang merusakkan itu hilang, maka hukumnya menjadi boleh.

‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم كل مشكر خمر وكل خمر حرام‬
:Nabi SAW. bersabda
Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.
Kaidah ke-40
‫االصل فى اآل شياء االءباحة‬
.Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan

Contoh kaidah :
Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah
lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso
tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan. Akhirnya setelah melihat isi
dompet masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di restourant
yang lumayan mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya itu
halal atau haram. Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu
boleh dimakan.

Tiba-tiba ada seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik Koci. ketika
pemilik sangkar (Koci) melihat merpati tersebut dia merasa tertarik dan ingin
memilikinya, namun Koci masih ragu apakah dia boleh memeliharanya atau tidak.
Maka hukumnya burung merpati tersebut boleh atau bebas untuk dimiliki.
Ketika ragu akan besar kecilnya kadar emas yang digunakan untuk menambal suatu
benda maka hukum benda tersebut boleh untuk digunakan.

Memakan daging Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata


sesungguhnya memakan daging Jerapah hukumnya mubah.

‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم ما احل هللا فهو حالل وما حرم هللا فهو حرام وما سكت عنه فهو مما عفو‬
: Nabi SAW. bersabda
" Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu yang diharamkan Allah
adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah merupakan
pengampunan dari-Nya."

MEMELIHARA HAL-HAL LAMA YANG BAGUS DAN MENGAMBIL HAL-HAL


BARU YANG LEBIH BAIK

Pendahuluan

Ada sebuah kaedah dalam Ushul Fiqih yang sering dikutip terkait dengan pelestarian
nilai-nilai bagus dan bagaimana kita mensikapai dengan perubahan budaya
maupuan arus pergerakan budaya yang ada. Karena sangat mungkin seseorang
atau masyarakat akan senantiasa melihat hal-hal baru yang terus bermunculan, bisa
saja sebenarnya suatu hal itu baru bagi suatu masyarakat tetapi bagi masyarakat
lainnya hal itu dipandang sebagai hal-hal yang sudah lama. Munculnya arus
pergerakan hal-hal ini menimbulkan pergesekan dan pergeseran akan hal-hal lama.

Kaedah ini adalah seperti judul di atas ” memelihara hal-hal lama yang bagus dan
mengambil hal-hal baru yang lebih bagus”. Yang dalam kaedah bahasa Arab
dituliskan sebagai berikut.

َ ُ‫الم ُحاَفَ َظة‬


ْ َ ‫علَى القَ ِدي ِْم الصَا ِلحِ َواأل َ ْخذُ ب ِالجَ ِد ْي ِد األ‬
ِ‫صلَح‬
Salahsatu khazanah dala Islam yang harus terus diaktualisasikan sehingga menjadi
sebuah kaedah yang hidup bukan hanya dalam kajian-kajian ushul fiqih saja, tetapi
dapat diimplementasikan untuk pemecahan permasalahan yang lebih luas sehingga
bisa lebih diimplementasikan.

Kita mempunyai pusaka yang begitu banyak, terutama tradisi dan nilai-nilai kebaikan
(local wisdom). Dalam tradisi intelektual Islam, adat atau tradisi baik sekalipun
memiliki tempatnya tersendiri dalam Islam. Misalnya dalam khasanah fiqih
disebutkan bahwa jual beli salam (pesanan) adalah adat kebiasaan masyarakat yang
diakomodasi fiqih Islam. Ijarah atau upah mengupah juga diantaranya, apa yang
menjadi tradisi di masyarakat menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan ijarah.

Bahkan banyak lagi contoh-contohnya, misalnya dalam pembagian af’al rasul,


disebutkan bahwa salah satu dari macam-macam af’al rasul ini ada yang dikerjakan
oleh Rasulullah berdasarkan adat, misalnya mengenai model pakaian, model sandal
dan lainnya. Ini juga menandaskan pentingnya adat yang baik, yang sesuai dengan
Islam menjadi pertimbangan sendiri dalam pengembangan hukum Islam, maupun
dalam budaya Islam.

MEMELIHARA HAL-HAL LAMA YANG BAGUS

Tentu dalam kita bermasyarakat, membangun budaya dan peradaban, di sana ada
nilai-nilai bagus yang harus dipertahankan, apalagi nilai-nilai bagus itu selaras
dengan Islam dan selaras dengan kondisi di mana kita tinggal. Dalam setiap
masyarakat, lembaga, sampai tingkat negara, di sana pasti ada tradisi atau hal-hal
lama yang terus dipertahankan, karena memang memiliki nilai-nilai yang bagus.

Contoh, dalam pembangunan tempat wudlu dan sarana penunjang bersuci lainnya
dalam suatu masjid, bisa saja antara satu dengan lainnya, antara daerah dengan
daerah lainnya ada perbedaan, ini tentu lebih pada pertimbangan kebiasaan yang
baik, mana bentuk yang lebih bisa memberikan efektifitas untuk bersuci. Kalau ada
masjid yang dibangunkan kolam untuk mencuci kaki misalnya, antara satu dan
lainnya juga berbeda. Hal ini kalau ditelusur sebenarnya kita bisa memandangnya
sebagai hal-hal yang lama yang baik, karena untuk mengajarkan orang memasuki
masjid dengan kaki bersih, maka hal yang paling efektif adalah dengan
membangunkan kolam di sekeliling masjid, daripada harus mengingatkan satu
persatu kepada jama’ah.

Itu barangkali contoh sederhana yang bisa kita jumpai sehari-hari, kalau kita tarik
lebih lanjut misalnya, kita bisa melihat bagaimana hal-hal lama yang bagus ini bila
dipertahankan dan dijaga akan memberikan peningkatan yang luar bisa bagi
kemajuan sebuah masyarakat, karena mempertahankan hal-hal lama yang bagus ini,
apakah itu nilai-nilai, bangunan fisik, aktifitas merupakan sebuah kontinuitas atau
kesinambungan. Bagaimana jadinya sebuah masyarakat tanpa adanya
kesinambungan yang terus menerus, maka bisa jadi masyarakat itu akan mengalami
pergolakan dan labil, karena tidak ada patokan yang dapat dipegangi.

Kalau dalam tradisi akademik, misalnya hal-hal lama yang bagus ini terkait dengan
kewajiban mencantumkan dari mana kita mendapatkan kabar atau kutipan, termasuk
mempertahankan bidang kajian yang ditekuni seseorang. Misalnya ada ulama yang
menekuni bidang fiqih sampai dia mendapatkan julukan faqih, atau seseorang yang
mendalami bidang hadits sehingga menjadi muhaddits atau seseorang mendalami
bidang ilmu bahasa/nahwu menjadi seorang nuhat atau bidang tafsir menjadi
seorang mufassir.

Dalam memelihara hal-hal lama yang baik ini adalah dengan mengokohkan pokok
hal-hal lama yang bagus ini sehingga benar-benar menjadi keyakinan, misalnya
kerangka sepeda motor bebek bila dperhatikan sejak awal memiliki kerangka
demikian itu, maka hal ini harus dijadikan pokoknya dan diyakini bahwa kerangka
pokok atau pakem sepeda motor bebek adalah seperti itu.

Tidak cukup hanya dengan mengokohkannya saja, karena kalau demikian ini hanya
akan menjadi kenangan masa silam maka diperlukan pengembangan dengan tetap
berpijak pada kerangka pokok dari hal-hal lama yang bagus itu. Katakanlah kalau
sepeda motor bebek kerangkanya bodinya adalah seperti yang ada sekarang ini,
kemudian kerangka ini diperkuat bahannya dengan penelitian yang berkembang
misalnya dengan materi yang lebih ringan dan kuat, kemudian pengembangan
lainnya adalah pada desain penutup kerangka maupun aksesoris yang
menyertainya.

Bisa jadi dua hal ini, yakni mengokohkan kerangka dasar hal-hal bagus dan
mengembangkannya merupakan dua hal minimal dalam menjaganya. Sulit untuk
bisa mengembangkan kalau seseorang atau masyarakat tidak memiliki pakem atau
kerangka dasar yang menopang dirinya. Kerangka dasar apa yang hendak
dikokohkan, kemudian setelah disepakati lantas ditentukan pengembangannya.

MENGAMBIL HAL-HAL BARU YANG LEBIH BAGUS

Mengenai masalah pengembangan tentunya terkait erat dengan lanjutan dari kaedah
kita ini, yakni mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Tidak hanya baik tetapi yang
lebih baik atau terbaik. Dalam mengambil hal-hal yang lebih baik ini, ada dua hal
yang perlu dimengerti yakni, mengambil pokok baru yang lebih baik dan tetap
mempertahankan pokok lama yang baik, dan mengambil hal-hal baru
pengembangan dari pokok lama yang baik.

Kekurangan kita adalah, sering meninggalkan pokok lama yang baik dan mengambil
pokok baru dengan meninggalkan atau tidak memelihara pokok lama. Ini berakibat
pada labilnya kondisi yang ada, sehingga menyulitkan untuk melakukan
pengembangan pada pokok yang ada, karena bagaimana bisa dievaluasi,
dikembangkan pokoknya, kalau yang pokok itu senantiasa dirubah dan diganti, tidak
bisa dibayangkan kalau kerangka sepeda motor bebek itu dirubah menjadi bentuk
segitiga misalnya, yang sebelumnya berbentuk segitiga tidak penuh seperti itu.

Kalau berbicara masalah pendidikan misalnya, dalam tradisi sekolah kita ada
semboyan “tutwuri handayani’, ini sebuah dasar filsofis yang semestinya terus dijaga
bukan hanya fisiknya tapi maknanya, secara fisik memang tetap terus terpampang di
papan sekolah dan di lambang sekolah, tetapi memelihara maknanya barangkali
juga lebih sulit apalagi mengembangkan sehingga bisa diturunkan menjadi teori-teori
pendidikan atau menjadi pedoman perilaku bagi mereka yang berkecimpung di dunia
pendidikan.

Memang sangat banyak sekali, filosofi-filosofi pendidikan yang ada, yang kita ambil
dari berbagai pemikiran besar dunia, tetapi seringkali kita juga melupakan filosofi
pendidikan kita sendiri yang sudah dipunyai dan menyandarkan diri pada pokok
pemikiran yang baru masuk kepada diri kita. Perlu disadari pula bahwa filosofi besar
itupun sebenarnya di mengikuti tradisi memelihara dan mengambil seperti dalam
kaedah ushul fiqih tersebut. Bagaimana sebuah filosofi yang asalnya hanya
pemikiran kemudian dikembangkan menjadi idelogi, kemudian juga dimatangkan lagi
oleh para pemikir penganut aliran filosofi tersebut.

Kalau dalam tradisi pesantren ada namanya pemberian ijasah seorang kiyai kepada
santrinya yang telah menamatkan pengajian suatu kitab, dimana ijasah ini berisi
semacam jalur sanad bahwa santri telah menamatkan mengaji kitab dari seorang
kiyai terus demikian ke atas hingga kepada ulama pengarang kitab. Mungkin juga
disertai dengan tradisi khataman, makna yang terkandung dalam hal ini tentu lain
manakala tradisi ini kita pegangi. Tetapi saat pokok ini digantikan atau
dikembangkan tidak berdasar pada pokoknya tetapi dengan mengadopsi tradisi
pesta/party maka sesungguhnya akan memberikan dampak yang sangat berbeda
bagi para pelajar dalam mensikapi kelulusannya.

Haruslah benar-benar dipertimbangkan untung dan manfaatnya ketika hendak


mengambil hal-hal baru ini, bukan semata kebaruannya yang sebenarnya barang
usang, baru hanya karena kita baru mengenalnya, padahal malah meruntuhkan
pondisi lama. Barangkali mengambil hal baru adalah untuk memperkuat hal-hal lama
yang menjadi pondasi dan ciri khas kebaikan suatu masyarakat. Demikian wallahul
muawwiq illa aqwami thariq.

Aswaja Sebagai Dasar Filosofi

BAB I
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan
paradigma jumud (berhenti), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab
dan idiologi yang Qod’i. Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan
kondisi. NU mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’
dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham
Ahlusunnah Wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di bidang Aqidah NU
mengikuti ajaran yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti
jalan pendekatan salah satu dari Hanafi, Maliki, Assyafi’i, dan Hambali, dibidang tassawuf NU
mengikuti antara lain Imam Junaidi Al bagdadi dan Imam Al ghazali.

Bagaimana mungkin dalam satu madzhab mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana
mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam
yang lain. Itu karena Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau
filosofi saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Maka dalam makalah ini
akan kita bahas materi yang bertema “Aswaja Sebagai Dasar Filosofi”.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang sudah dibahas di atas dapat diambil rumusan masalah
sebagai berikut:

1. Apa kaidah dasar aswaja NU?

2. Apa saja Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja?

3. Apa dasar filosofi keagamaan aswaja?

4. Apa saja kepercayaan-kepercayaan dalam filosofi Aswaja?

BAB II

Pembahasan

A. Kaidah Dasar Aswaja NU

Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Aswaja adalah golongan yang berpegang teguh kepada
sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Aswaja yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah
mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam
Abu al-Hasan al-Syadzili.1[1] kaidah dasar yang sering dipakai warga Nahdliyin dari KH. M. Hasyim
Asy’ari adalah sebagai berikut:

ْ َ‫علَى َج ِد ْي ِد ْاْل‬
ْ‫صلَح‬ َّ ‫ظ ُة عَ َلى قَ ِدي ِْم ال‬
َ ُ‫صالِحْ َو ْاْلَ ْخذ‬ َ ‫ُم َحا َف‬
Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”

Kaidah diatas menunjukkan bahwa aswaja sebagai sebuah dasar pemikiran dapat menerima
suatu hal yang baru dan tidak ekstrim membid’ah hal yang baru tersebut, disisi lain aswaja masih
menjaga dan melestarikan tradisi atau kebiasaan lama yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.

B. Prinsip-Prinsip Dasar Filosofi Aswaja

1[1] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan,
(Jakarta : Kompas, 2010) cet. 1. hlm: 107
Dalam menumbuhkan sikap dalam menjalani kehidupan aswaja menumbuhkan prinsip-prinsip
yang patut dilaksanakan setiap hari, yang meliputi:

1. At-Tawasuth & Al-Iqtishad

Tawasuth adalah suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrem
(tatharruf): misalnya antara Qadariyah (free-william) di satu sisi dengan Jabariyah (fatalism) di sisi
yang lain; skriptualisme ortodokos salaf dan rasionalisme Mu’tazilah; dan antara Sufisme Salafi dan
Sufisme Falsafi. Pengambilan jalan tengah bagi kedua ekstrimitas ini juga disertai sikap al-iqtishad
(moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda-beda.

Pentingnya moderasi dituangkan dalam al-Qur’an.

َ ‫علَ ْي ُك ْم‬
)١٤٣( ......‫ش ِهيدًا‬ َ ‫سو ُل‬
ُ ‫الر‬ ِ َّ‫علَى الن‬
َّ َ‫اس َويَ ُكون‬ ُ ‫طا ِلت َ ُكونُوا‬
َ ‫ش َهدَا َء‬ َ ‫َو َكذَلِكَ َجعَ ْلنَا ُك ْم أ ُ َّمةً َو‬
ً ‫س‬

Artinya: “Dan demikian Kami telah jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar
kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu.....” (QS. Albaqoroh: 143)

2. At-Tasamuh
Tasamuh adalah toleran terhadap pluralitas pemikiran. Dalam hukum Islam, Aswaja responsif
terhadap produk pemikiran madzhab-madzhab fikih. Dalam konteks sosial-budaya, toleran dengan
tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan
berusaha untuk mengarahkannya. Sikap toleran ini memberikan nuansa khusus dalam hubungannya
dengan dimensi kemanusiaan dalam lingkup yang lebih universal.

3. At-Tawazun
Tawazun adalah keseimbangan, terutama dalam dimensi sosial-politik. Prinsip ini dalam
kerangka mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat Islam. Bukti dari pengembangan corak al-
tawazun ini dapat disaksikan dari dinamika historis pemikiran-pemikiran al-Asy’ari dan al-Ghazali.
Asy’ari lahir di tengah dominasi ekstrimitas rasionalisme Mu’tazilah dan skriptualisme Salafiyah,
sedangkan al-Ghazali menghadapi gelombang besar ekstemitas kaum filosof Syi’ah dan Batiniyyah.

Menurut al-Ghazali, rasionalisme bisa mengantarkan kemajuan, namun bisa menjauhkan


manusia dari Tuhannya. Sebaliknya, aspek batin mendapatkan atensitas berlebihan, dapat
melumpuhkan intelektualitas, kreativitas dan etos kerja. Maka dibutuhkan keseimbangan antara
tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan. Di tangan al-Ghazali muncul konsep penyatuan antara
tatanan duniawi dan tatanan agama dan juga ideologi integrasi agama dan negara. Jika di era
Mu’tazilah, hanya mengukuhkan nilai berdasarkan akal, pada ditangan al-Ghazali, nilai dibentuk oleh
proses integrasi antara agama, dunia, dan negara.2[2]

4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar


Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat
bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat
merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan
kemanusiaan.

5. Ta’Adul

Ta’Adul artinya adil atau bisa disebut juga tegak lurus. Dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat prinsip ini menumbuhkan rasa keadilan yang didorong untuk menuju kepada
kehidupan yang menegakkan kebenaran.

Al-Qur’an mendorong manusia untuk adil dan menegakkan kebenaran:

ُ ‫علَى أَْل ت َ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا ُه َو أ َ ْق َر‬


‫ب‬ َ ‫َآن قَ ْو ٍم‬
ُ ‫شن‬ ِ ‫ش َهدَا َء ِب ْال ِقس‬
َ ‫ْط َوْل يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم‬ ُ ِ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَ َّو ِامينَ ِ َّّلِل‬
)٨( َ‫ير ِب َما ت َ ْع َملُون‬ َّ ‫ِللت َّ ْق َوى َواتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ ِإ َّن‬
ٌ ‫َّللاَ َخ ِب‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan”.(QS. Almaidah: 8)

6. At-Taqaddum

Al-Taqaddum yang berarti berhaluan kearah depan (progresifitas). Prinsip ini mendorong
warga NU untuk berpikir maju dalam mengembangkan semua sektor, khususnya pemberdayaan
ekonomi dan peningkatan kualitas pendidikan. Dunia ini adalah media kompetisi, siapa yang terbaik
dialah yang memenangkan persaingan. Maka, tidak cukup berpikir moderat, toleran, dan
mengedepankan keseimbangan. Bergerak maju dengan cepat adalah modal menggapai kesuksesan.

Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk aktif dan progresif menyongsong masa depan.

ِ ‫اّلِلِ َولَ ْو آ َمنَ أ َ ْه ُل ْال ِكت َا‬


‫ب‬ َّ ِ‫ع ِن ْال ُم ْن َك ِر َوتُؤْ ِمنُونَ ب‬ ِ ‫اس ت َأ ْ ُم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬
َ َ‫وف َوت َ ْن َه ْون‬ ْ ‫ُك ْنت ُ ْم َخي َْر أ ُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت ِللن‬
)١١٠( َ‫لَ َكانَ َخي ًْرا لَ ُه ْم ِم ْن ُه ُم ْال ُمؤْ ِمنُونَ َوأ َ ْكث َ ُر ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬

2[2] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa
Al-Jama’ah,(Surabaya : Khalista & LTN PBNU, 2010), cet. 1, hlm: 61-66
Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman,
tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali-imran: 110)

C. Dasar Filosofi Keagamaan Aswaja

Ada empat dasar yang dipakai aswaja dalam mengambil sebuah hukum dalam islam yang
bersumber dari beberapa hal sebagai berikut:

1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah atau kalamullah subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Membacanya ibadah, susunan katanya merupakan mukjizat, termakyub
dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir.3[3]

2. Al-Hadits
Hadits menurut bahasa adalah al-jadid yang artinya sesuatu yang baru. Sedangkan menurut
istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin
ilmunya.
 Menurut ahli hadits pengertian hadits ialah:
‫ما أضيف الى النبى صلى هللا عليه وسلم قوْل أفعال أوتقريرا أوصفة‬
Artinya: “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun sifat beliau ”.4[4]
3. Al-Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal Rasululah SAW dalam
hukum syar’i mengenai suatu hal. kalau kesepakatan itu sudah terwujud, maka kesepakatan itu
merupakan dasar hukum. Contoh : kesepakatan tentang kebenaran mushhaf al-Qur’an Utsmani, yaitu
mushhaf yang disusun oleh para ahli di kalangan sahabat sejak Khalifah Utsman.
Kebenaram mushhaf ini mengikat seluruh kaum muslimin, berdasarkan kesepakatan tersebut.
Kita tidak dapat membayangkan kekacauan yang akan timbul, seandainya kebenaran mushhaf tersebut
diragukan dan dipersoalkan lagi.

4. Al-Qiyas

3[3] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm:
3

4[4] Drs. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008),
hlm: 3
Qiyas adalah persamaan hukum suatu hal yang tidak ada keterangan hukumnya di dalam Al-
Quran dan Al-Hadits dengan hukum suatu hal lain (yang sudah ada keterangan hukumnya di dalam
Al-Quran dan Al-Hadits), karena ada persamaan alasan hukumnya (‘illat al-hukmi).
Contoh kongkrit ialah mempersamakan hukum minum nabidz (air peresan tape) atau lainnya
(yang tidak ada keterangan hukumnya secara jelas dan pasti di dalam Al-Quran dan Al-Hadits) dengan
hukum minum khamr, yaitu sama-sama haram, karena ada persamaan alasan hukum antara keduanya,
yaitu sama-sama memabukkan.
Dengan metode/ kaidah al-Qiyas ini, banyak sekali hal yang baru muncul (dan selalu muncul)
dapat diketemukan hukumnya, meskipun tidak ada keterangannya yang sharih dan qath’i di dalam Al-
Quran dan Al-Hadits.

D. Kepercayaan-Kepercayaan Dalam Filosofi Aswaja

Aswaja dalam bidang aqidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu
Mansur Al-Maturidi yang kepercayan-kepercayaannya cenderung menolak paham golongan-golongan
khawarij, muktazillah, dan golongan-golongan lainnya. Kepercayan-kepercayaan filosofi aswaja
tersebut antara lain:

1. Allah bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat.

2. Sifat-sifat Allah, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu qodart, iradat, dan seterusnya adalah sifat-
sifat yang lain, dari dzat Allah,tetapi bukan juga lain dari dzat.

3. Al-Qur’an sebagai manifestasi kalamullah yang qodim, sedangkan Al-Qur’an yang berupa huruf dan
suara adalah baru.

4. Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan.

5. Allah menghendaki kebaikan dan keburukan.

6. Allah tidak berkewajiban:

a. Membuat baik dan yang terbaik.


b. Mengutus utusan.
c. Memberi pahala kepada orang yang taat dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
7. Allah boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia.

8. Kebaikan dan keburukan tidak diketahui akal semata-mata.

9. Pekerjaan manusia Allahlah yang menjadikannya.

10. Ada syafa’at pada hari kiamat.


11. Utusannya Nabi Muhammad SAW, diperkuat dengan mukjizat-mukjizat.

12. Kebangkitan di akhirat pengumpulan Manusia (hasyr), pertanyaan mungkar dan nakir di kubur, siksa
kubur, timbangan amal perbuatan Manusia, jembatan (shirat) kesemuanya adalh benar.

13. Surga dan neraka makhluk kedua-duanya.

14. Semua sahabat-sahabat Nabi ada dan baik.

15. Sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh nabi pasti terjadi.

16. Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima.

17. Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa, dan
akhirnya akan masuk surga.5[5]

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas ada hal-hal penting yang dapat dijadikan kesimpulan makalah ini,
antara lain:

1. kaidah dasar yang sering dipakai warga Nahdliyin adalah sebagai berikut:

5[5] A Hanafi, M.A., Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001), hlm:
116-117
‫محافظة على قديم الصالح واْل خذ على جديد اْل صلح‬
Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”

2. Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja antara lain: at-tawasuth & al-iqtishad, at-tasamuh, at-tawazun,
amar ma’ruf nahi munkar, ta’adul, at-taqaddum.

3. Dasar filosofi keagamaan aswaja, yaitu: al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas.

4. Kepercayaan-kepercayaan filosofi aswaja mengikuti ajaran aqidah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur Al-Maturidi.

B. Saran

Demikian yang telah kami bahas dan sudah cukup dipertegas bahwasannya aswaja bukanlah
sebuah madzab akan tetapi sebuah filosofi yang mewujudkan keselarasan dan kemurnian islam dari
pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran islam. Oleh karena itu orang yang mengaku
berlandasan aswaja, maka harus juga berlandaskan hal-hal yang sudah kami bahas di atas.

Pembahasan makalah ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih
membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, A. 2001. Pengantar Theology Islam. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra

Marzuki, Kamaluddin. 1992. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan. Jakarta :
Kompas

Muhibbin Zuhri, Achmad. 2010. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah.
Surabaya : Khalista & LTN PBNU

Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[ilustrasi]‫أ َ ْك َب هر اَلله أ َ ْك َب هر اَلله أ َ ْك َب هر اَلله‬. ‫أ َ ْك َب هر اَلله أ َ ْك َب هر اَلله أ َ ْك َب هر اَلله‬. ‫أ َ ْك َب هر اَلله أ َ ْك َب هر اَلله أ َ ْك َب هر اَلله‬. ‫س ْب َحانَ َكثِي ًْرا للِ َو ْال َح ْم هد َك ِبي ًْرا أ َ ْك َب ْر اَلله‬ ِ
‫هللا َو ه‬
ً ‫ص ْيالً به ْك َرة‬ ِ َ ‫وأ‬،
َ َ‫وحْ َدهه هللاه ِإال َال ِإله‬،
َ َ‫صدَق‬ َ ‫ص َر َو ْع َدهه‬ َ َ‫ع ْب َدهه َون‬ َ ‫عز‬ َ َ ‫اب َوهَزَ َم هج ْن َدهه َوأ‬ َ َ‫وحْ َدهه ْاْلَحْ ز‬، َ َ‫أ َ ْكبَ هر َوهللاه هللاه ِإال الَ ِإله‬، ‫اْل َح ْم هد َوللِ أ َ ْكبَ هر اَلله‬.
‫ِل ال َح ْم هد‬ِ ِ ‫ي‬ ْ ‫ان َخلَقَ ال ِذ‬ ِ ‫ضهه َوفَض َل الز َم‬ َ ‫علَى بَ ْع‬ َ ‫ض فَخَص بَ ْعض‬ ‫ش هه ْو ِر بَ ْع ه‬ َ
ُّ ‫ضائِ ِل بِ َمزَ ايَا َوالَليَالِي َواْلي ِام ال‬ َ َ‫سنَاته اْلَجْ هر فِ ْي َها يهعَظ هم َوف‬ َ ‫وال َح‬.
َ َ َ َ
‫سيِ َدنا أن َوأ ْش َه هد لَهه ش َِريْكَ الَ َوحْ َدهه هللاه إِال إِلَهَ الَ أ ْن أ ْش َه هد‬ َ ‫ع ْب هدهه هم َحمدًا‬ ‫ه‬
َ ‫الرشَا ِد إِلَى َوفِ ْع ِل ِه بِقَ ْو ِل ِه الداعِى َو َرسه ْولهه‬. ‫صل الل ههم‬ َ ‫ع ْبدِكَ علَى وس ِل ْم‬ َ
َ‫س ْولِك‬ ‫على هم َحمد َو َر ه‬ َ َ ْ َ
ْ ‫البِالَ ِد أن َحاءِ في اْلن َِام هه َداةِ وأ‬. ‫ب ْع هد أما‬، ‫اس أيُّ َها فيَا‬
َ ‫ص َحابِ ِه آلِه ِو‬ َ ‫ه‬ َ
‫ت بِ ِف ْع ِل تَعَالى هللاَ اتقوا الن ه‬ ِ ‫عا‬ َ ‫الطا‬

ْ‫ل َف َقد‬
َْ ‫ى للاهْ َقا‬
َْ ‫ه فِي تَ َعال‬
ِْ ِ‫م ِكتَاب‬
ِْ ‫ك ِري‬ َْ ‫كوثَ َْر أَعطَينَا‬
َ ‫ال‬: ‫ك إِنَّا‬ َ ‫ال‬. ‫َل‬
ِْ ‫ك َفص‬ َّْ ِ‫ك إ‬
َْ ِ‫وَانحَرْ لِرَب‬. ‫ن‬ َْ ‫شانِ َئ‬ ‫اْلَب َت هْر ه‬
َ ‫ه َْو‬

Alhamdulillah kita masih diberikan kesempatan oleh Allah untuk berkumpul menunaikan
salat Id bersama dalam rangka Idul Adha pada tahun ini. Shalawat dan salam kita haturkan
sepenuh hati kepada junjungan kita Nabi yang mulia, Nabi yang welas asih, Nabi yang
menebar rahmatan lil alamin, Nabi yang kita harapkan syafaatnya kelak di yaumul hisab,
Nabi Muhammad SAW yang beserta keluarga dan sahabatnya telah menjadi suri tauladan
bagi kita semua.

Khatib berwasiat kepada diri sendiri dan juga kepada jamaah sekalian agar kita senantiasa
memegang teguh ketakwaan kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya.

Apakah Muslim dan Kristen Menyembah Tuhan Yang Sama?


Read more

Allahu Akbar 3x wa lilahil hamd


Jamaah salat Idul Adha yang dimuliakan Allah.

Dalam terminologi ajaran Islam, haji adalah kunjungan menuju baitullah dan tempat-tempat
syi’ar keagamaan yang lain, pada waktu-waktu tertentu, untuk melaksankan bentuk-bentuk
ibadah tertentu demi karena Allah. Ibadah yang dilakukan mulai dari bulan Syawwal,
Dzulqaidah, dan puncaknya Dzulhijjah ini tidak hanya dikenal dalam syariat Muhammad
SAW, melainkan telah dikenal lama dalam ajaran agama yang dibawa para nabi dahulu.

Dan atas perintah wahyu Allah, syariat ini dikumandangkan dengan tegas oleh Nabi Ibrahim,
segera setelah ia bersama putranya, Ismail, membangun kembali Baitullah yang rusak dilanda
banjir Nabi Nuh, sebagaimana diceritakan dalam firmanNya:

ْ‫اس فِي وَأَ ِذن‬


ِْ ‫َجِ ال َّن‬ َْ ‫َال يَأتهو‬
ْ ‫ك بِالح‬ ِْ ‫ضا ِمرْ هك‬
ًْ ‫ل َو َعلَىْ ِرج‬ ِْ ‫ميقْ َفجْ هك‬
َ َْ‫ل ِمنْ يَأتِين‬ ِ ‫َع‬

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh.” (Surat al-Hajj: 27)

Jika dihayati dan direnungkan secara seksama dan mendalam, haji bukanlah murni semata
sebagai ibadah mahdhah kepada Allah, tetapi juga merupakan proyeksi pengenangan dan
rekonstruksi sejarah dari peristiwa-peristiwa penting yang dialami oleh para pendahulu kita,
Adam, Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar, dengan mengambil lokasi, sebagaimana ditentukan
Allah, tanah suci, Masjidil Haram, mas’a (jarak antara bukit Shafa dan bukit Marwah),
Arafah, Masy’ar (suatu tempat yang terletak di antara Arafah dan Mina), Mina, Shafa,
Marwah, dan sebagainya.

Revolusi Saudi dan Nasib Islam Indonesia


Read more

Dipilihnya kawasan Mekkah sebagai lokasi ibadah haji itu tentu bukan tanpa alasan, tetapi
mengandung rahasia besar, latar belakang, hikmah, dan tujuan penting. Mekkah adalah suatu
daerah yang terletak di tengah-tengah jazirah Arabia. Daerah ini, sebagaimana diketahui,
terdiri atas perbukitan terjal dan sebagian besar padang pasir tandus dan gersang. Tidak dapat
tumbuh atau ditanami sesuatu tumbuhan yang layak dijadikan makanan manusia.

Makanan pokok jenis nabati sulit, kalau tidak dikatakan mustahil, ditemukan di sana. Karena
itu, ketika Nabi Ibrahim atas perintah Allah menempatkan putranya, Ismail, dan Siti Hajar di
sana, ia memohon kepada Allah agar kawasan itu menjadi subur, sehingga para penduduk di
sana nanti dapat bertahan hidup. Ini sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur’an:

‫ت إِنِي َربَّنَا‬ َ ‫د زَرعْ ِذي َغي ِْر بِوَادْ هذ ِريَّتِي ِمنْ أَس‬
ْ‫كن ه‬ َْ ‫عن‬ ِ ‫ك‬ َْ ِ‫محَر بَيت‬‫مَّّال ه‬ َّ ‫أَفْئِ َد ًْة َفاج َعلْ ال‬
‫ص ََل َْة لِ هي ِقي ه‬
ِْ ‫موا َربَّنَا‬
َْ‫مرَاتِْ ِمنَْ وَار هزق ههمْ إِلَي ِهمْ ْتَه ِوي ال َّناسِْ ِمن‬ َّ ْ‫ون لَ َعل َّ ههم‬
َ ‫الث‬ َْ ‫يَش هك هر‬

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah
yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya
Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan salat, maka jadikanlah hati sebagian
manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-
mudahan mereka bersyukur.” (Surat Ibrahim: 37)

Pada bagian lain dalam al-Qur’an Allah menceritakan pula doa Nabi Ibrahim dalam
penggalan ayat berikut ini:

َْ ‫يم َقا‬
ْ‫ل وَإِذ‬ ِ ‫ه َذا اج َعلْ رَبِْ إِبرَا‬
ْ‫ه ه‬ ْ‫مرَاتِْ ِمنَْ أَهلَ ه‬
َ ‫ه وَار هزقْ آ ِم ًنا بَلَ ًدا‬ َّ ْ‫اّلل ِمن ههمْ آمَنَْ مَن‬
َ ‫الث‬ ِْ َّ ِ‫م ب‬
ِْ ‫خ ِْر وَاليَو‬
ِ ‫اْل‬

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman
sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara
mereka kepada Allah dan hari kemudian… ” (al-Baqarah: 126)

Allahu Akbar 3x wa lilahil hamd

Jamaah yang dimuliakan Allah.

Jelas sudah bahwa ibadah haji di tanah suci merupakan bagian dari tradisi yang dilakukan
semenjak masa Nabi Ibrahim AS. Lokasinya di Mekkah dan sekitarnya, namun pesan
universal dari tradisi telah melampaui batas geografis lokasinya. Tradisi itu diteruskan turun
temurun, dan sayangnya menjelang kehadiran Nabi Muhammad sebagai pembawa wahyu
terakhir, beberapa tradisi ritual haji itu diselewengkan di masa jahiliah.

Di masa jahiliah orang-orang biasa tawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana. Seperti
disebutkan di dalam riwayat Imam Muslim, Imam Nasai, dan Ibnu Jarir. Sedangkan lafaznya
berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Jarir, diriwayatkan melalui hadis Syu’bah dari Ibnu
Abbas bahwa dahulu kaum pria dan wanita melakukan tawafnya di Baitullah dalam keadaan
telanjang bulat.

Kaum pria melakukannya di siang hari, sedangkan kaum wanita pada malam harinya. Alasan
mereka sebenarnya cukup masuk akal saat itu. Karena Ka’bah itu suci, sementara mereka
kotor bergelimang dosa, maka mereka hendak memasuki rumah Allah dengan cara
mensucikan diri mereka dengan telanjang seperti bayi yang baru lahir.

Namun Allah melarang praktik semacam ini. Turun surat al-A’raf ayat 31:

َْ ‫خ هذوا آ َد‬
‫م بَنِي يَا‬ ‫د زي َنت ه‬
‫َكمْ ه‬ ِ َْ ‫عن‬ ِْ ‫َل وَاش َر هبوا و هَكلهوا مَسجِدْ هك‬
ِ ‫ل‬ َْ ‫ه ّ تهس ِر هفوا و‬
ْ‫ل إِنَّ ه‬
َْ ْ‫حب‬
ِ ‫مس ِرفِينَْ هي‬
‫ال ه‬

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.”

Bukan diminta menanggalkan pakaian, kita justru disuruh mengenakan pakaian yang bagus
dan indah saat memasuki rumah Allah. Pun demikian bagi mereka yang sedang dalam
keadaan ihram dan bertawaf mengelilingi Ka’bah, syariat Islam mengatur agar kita
mengenakan pakaian khusus, bukan malah telanjang bulat.

Proses penyucian diri dari dosa bukan dilakukan dengan menelanjangkan tubuh kita di depan
Ka’bah. Islam mengatur sedemikian rupa proses penyucian diri dari dosa lewat taubatan
nasuha, membaca istighfar, berwudhu untuk membersihkan dari hadats kecil, mandi janabah
bila berhadats besar, maupun lebih dalam lagi seperti mengamalkan ibadah puasa sehingga
selepas Ramadan kita kembali suci seperti kertas putih, ataupun lewat penunaian zakat untuk
menyucikan harta kita.

Di sinilah pentingnya kita mengikuti syariat Islam. Syariat Islam meminta kita melanjutkan
tradisi ritual haji, namun pada saat yang sama juga memilah mana tradisi yang baik (shalih)
yang harus kita pertahankan, dan mana tradisi yang harus kita benahi. Dengan kata lain, Islam
tidak serta merta menolak semua tradisi atau adat istiadat.

Bagaimana kita mengisi penerapan syariat dengan mengkomodasi budaya? Dalam bahasa
ushul al-fiqh ini disebut dengan al-‘Adah Muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan
menetapkan hukum).

Begitu juga dengan kaidah al-Ma’ruf ‘urfan ka al-Masyrut Syartan (hal baik yg sudah dikenal
secara kebiasaan diterima seperti halnya syarat) atau al-Tsabit bil-dalalatil ‘urf kats-tsabit bil
dalalatin nash (yang ditetapkan dengan indikasi dari adat sama statusnya dengan yang
ditetapkan berdasarkan petunjuk nash). Dan juga kaidah lainnya: Ma raahu al-muslimun
hasanan fa huwa ‘indallah hasan (apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka di sisi Allah
pun dianggap baik).

Allahu Akbar 3x wa lilahil hamd


Jamaah yang dimuliakan Allah.

Salah satu tradisi lainnya dari Nabi Ibrahim yang sekarang kita ikuti adalah tradisi berkurban.
Sebenarnya tradisi berkurban ini bisa dilacak sampai ke belakang jauh sebelum Nabi Ibrahim,
yaitu tepatnya pada kisah Habil-Qabil, putra Nabi Adam.

Al-Qur’an mengisahkan:

Ceritakanlah kepada mereka kisah dua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang
dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia (Qabil) berkata, “Aku
pasti membunuhmu!” Berkata Habil, Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari
orang-orang yang bertakwa.” (Al-Maidah: 27).

Dalam kitab Tafsir Ibn Katsir dikisahkan bahwa Habil seorang peternak dan mengurbankan
domba gemuk yang sehat. Sedangkan Qabil seorang petani yang menyerahkan gandumnya
tapi hanya memberi yang jelek saja, bukan gandum terbaik. Itu sebabnya domba Habil
diterima, dan gandum Qabil ditolak.

Menurut kitab Tafsir Thabari, domba milik Habil ini disimpan di surga, dan domba inilah
kelak yang dipakai untuk menggantikan Nabi Ismail saat hendak dikurbankan oleh Nabi
Ibrahim. Wa Allahu a’lam.

Itulah sebabnya ajaran Islam menganjurkan agar hewan-hewan tersebut merupakan hewan
pilihan. Hewan yang sehat dan gemuk yang disukai orang. Bukan hewan cacat, sakit atau
kurus yang tak layak dimakan, hatta si pemberinya pun tidak mau memakannya. Yang tulus
berkurban akan memberikan yang terbaik. Begitulah hukum alam ini. Tengoklah bagaimana
pengorbanan ibu kepada anaknya. Ketulusan melahirkan persembahan terbaik. Begitu pula
kurban yang kita hendak berikan kepada Allah.

Allah berikan berbagai rezeki dan kasih sayangNya kepada kita sepanjang tahun ini. Allah
selamatlan kita dan keluarga dari musibah. Allah jaga kita. Allah berikan perlindungan
terbaik. Allah kabulkan permohonan kita dengan cara-cara terbaik sesuai ketentuanNya.
Lantas, ketika tiba saatnya Allah meminta kita berkurban, apa tega kita hanya memberikan
sekadarnya saja?!

Anjuran demikian bukan berarti Allah memerlukan yang baik-baik untuk diriNya sendiri.
Sama sekali Allah tidak memerlukannya. Tetapi semua itu demi kepentingan manusia sendiri,
terutama kaum fakir miskin sebagai pihak yang berhak menerimanya.

Maka, menjadi penting sekali firman Allah di bawah ini:


“Daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya
untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (al-Hajj : 37).

Pada masa jahiliah orang Arab memuncratkan darah hewan kurban mereka ke Baitullah, dan
mempersembahkan juga daging hewan kurban mereka di Baitullah. Para sahabat yang merasa
lebih berhak atas Baitullah menganggap mereka juga lebih berhak melakukan tradisi itu di
Baitullah (Ka’bah). Lantas, turunlah firman Allah di atas yang memutuskan benang merah
tradisi persembahan darah berabad-abad sebelumnya: Allah tidak membutuhkan darah dan
juga daging hewan kurban kalian!
Itulah asbabun nuzul surat al-Hajj ayat 37 di atas. Tidak perlu memuncratkan darah hewan ke
Ka’bah. Bahkan daging qurban tidak pula dipersembahkan sebagai “sesajen”, melainkan
dibagikan kepada fakir miskin. Muatan teologis yang tegas, dibalut dengan kandungan sosial
yang bernas. Kurban itu adalah simbol ujian ketakwaan kita. Takwa itulah yang akan
mencapai keridhaan Allah, bukan darah dan daging hewan.

Dan sebenarnya bukan hanya darah dan daging yang tidak Allah butuhkan. Juga zakat, infaq,
sadaqah kita. Salat kita. Puasa dan haji kita. Bahkan keimanan dan keislaman kita sekalipun.
Kitalah yang membutuhkan Allah. Semua ritual pada hakekatnya kembali manfaatnya untuk
diri kita. Kitalah yang lemah. Kitalah yang membutuhkan asupan ibadah.

Allah sama sekali tidak akan berkurang sedikit pun keagunganNya kalau tak ada manusia
yang menyembahNya, dan tak bertambah sediki tpun kalau semua penduduk bumi
menyembahNya. Maka, tidak mungkin kita bisa menukarkan amal ibadah kita dengan
keridhaanNya. Mustahil!

Allahu akbar 3x wa lilahil hamd

Jamaah yang dimuliakan Allah.

Begitulah dua contoh bagaimana Islam menganjurkan kita untuk melanjutkan tradisi baik
yang dilakukan orang-orang saleh sebelum kita. Pada saat yang sama, dalam tradisi yang baik
itu sepanjang sejarah peradaban telah terjadi berbagai penyimpangan ritual maupun
pengaburan makna, maka syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad memilah mana tradisi
yang harus kita lanjutkan dan mana yang harus kita benahi.

Manhaj dakwah semacam itu pula yang dikembangkan oleh para ulama Nusantara. Sebagai
contoh ayat di atas mengenai perintah untuk memakai pakaian yang bagus dan indah saat
memasuki rumah Allah. Maka, setelah bekerja seharian mengenakan pakaian yg kotor
berdebu dan keringatan, tradisi Nusantara mengajarkan memakai sarung saat salat. Yang
perempuan mengenakan pakaian khusus untuk salat, yaitu mukena. Ini semua agar terpelihara
aturan syariat untuk suci dari najis, maupun terpenuhi anjuran untuk mengenakan pakaian
yang bagus saat memasuki masjid.

Tradisi sarung dan mukena ini tidak terdapat di Mekkah. Namun bukan berarti tradisi ini
bertentangan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan tradisi mengenakan pakaian baru saat
lebaran, ini merupakan aplikasi ayat di atas dalam konteks kearifan lokal.

Mau pakai baju batik atau blankon, sorban dan gamis, atau peci hitam–peci putih, salat Anda
sama-sama sah. Islam Nusantara tidak akan menganggap hanya yang pakai batik dan peci
hitam serta sarung yang sah salatnya. Para ulama juga tidak akan menganggap hanya mereka
yang pakai sorban dan gamis saja yang sah salatnya. Selama salatnya menutup aurat dan suci
dari najis, maka pakaian apa pun yang dianggap baik menurut adat setempat bisa dipakai
untuk salat. Tapi kalau Anda telanjang bulat masuk ke masjid seperti orang jahiliah dulu,
tentu ini tidak dibenarkan.

Begitu juga ungkapan akhi-ukhti dalam interaksi sehari-hari, sesungguhnya itu sederajat
dengan panggilan mas atau mbak. Mau panggil istri Anda dengan ummi atau mama atau ibu
atau panggilan mesranya lainnya, silakan saja. Tidak perlu anti-Arab, tapi juga tidak perlu
memaksakan orang lain untuk seperti orang Arab. Mau makan nasi kebuli, silakan. Mau
makan jengkol dan pete, ya silakan. Islam Nusantara mengakomodir semuanya.
Allahu akbar 3x wa lilahil hamd

Begitu pula kearifan lokal ketika Kanjeng Sunan Kudus melarang warga Kudus untuk
menyembelih sapi. Larangan menyembelih sapi oleh Sunan Kudus pada saat itu sangat
beralasan. Pada awal datangnya Islam di Kudus sebagian besar masyarakat Kudus masih
memeluk agama Hindu dan sebagian lainnya beragama Budha. Dalam kepercayaan umat
Hindu, sapi adalah binatang yang sangat dihormati dan dimuliakan.

Meski dalam Islam menyembelih sapi adalah hal yang dihalalkan, tapi untuk menjaga
perasaan umat Hindu yang tinggal di Kudus saat itu dan menghindari pertumpahan darah
antar-umat beragama, Sunan Kudus melarang masyarakat Kudus menyembelih sapi saat Idul
Adha. Terlebih isu agama adalah isu yang paling rentan memicu pertikaian antar-umat
beragama.

Hingga sekarang masyarakat Kudus masih menghormati larangan itu, meski sebagian besar
masyarakatnya sudah beragama Islam. Hal ini mereka lakukan untuk melestarikan pesan yang
tersirat dari larangan tersebut.

Bayangkan seandainya fatwa Sunan Kudus bukan seperti itu, tapi misalnya karena Nabi
menyembelih unta, maka kurban harus berupa unta. Tentu ini sulit mencari unta di tanah
Jawa. Itulah sebabnya para ulama fiqh telah menetapkan hadyu itu berupa hewan ternak
(bahimatul an’am). Ini tentu memudahkan buat kita yang berada di luar Arab. Unta bisa
diganti dengan sapi atau kerbau.

Kambing Jawa atau sapi Madura, meski belum pernah ke Arab, hukumnya sah sebagai hewan
kurban. Sekali lagi, yang sampai kepada Allah bukan darah dan daging hewan kurban, tetapi
ketakwaan kita.

Apa yang dilakukan oleh ulama Nusantara itu persis mengikuti metode dakwah yang
digariskan oleh al-Qur’an: melanjutkan tradisi yang baik dari para orang baik sebelum kita,
pada saat yang sama memilah-milah mana tradisi yang harus dibenahi dan didakwahi dengan
lemah lembut, dan mana yang nyata-nyata harus ditinggalkan, dan bisa juga mana hal-hal
baru yang lebih baik yang bisa kita pelajari dan kita amalkan.

Selamat menjalankan tradisi yang baik dalam perayaan Idul Adha, sebagaimana Hadits Nabi
SAW mengingatkan kita untuk mengerjakan dan melanjutkan tradisi yang baik:

ْ ‫نم‬
‫َن‬ َّْ ‫س‬َ ‫م فِي‬ ِْ َ ‫إلسَل‬ ًْ ‫س َّن‬
ِ ‫ةا‬ ًْ ‫َس َن‬
‫ة ه‬ َ ‫هح‬ َ ‫ل مَنْ وَأَج هْر أَج هر‬
ْ‫ها َفلَ ه‬ ِ ‫بَع َد هْه بِهَا َع‬، ْ‫ِمنْ يَن هقصَْ أَنْ َغي ِْر ِمن‬
َْ ‫م‬
ْ‫هم‬
ِ ‫جو ِر‬ ‫شيءْ هأ ه‬
َ

“Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam tradisi yang baik, maka ia mendapat pahalanya
dan pahala orang yang mengkutinya tanpa mengurangi pahala orang yang mengikutinya
sedikitpun.” (HR Muslim)

Semoga Allah menerima amalan jamaah haji dan ibadah kurban yang kita lakukan dalam
rangka melanjutkan tradisi Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad. Allahumma shalli ‘ala
Sayyidina Muhammad kama shalayta ‘ala Sayyidina Ibrahim. Taqabalallahu minna wa
minkum, taqabbal ya karim.

Anda mungkin juga menyukai