3. Bentuk-bentuk Rukhsah
Bentuk rukhsah beragam. Adakalanya berupa pengguguran kewajiban, sesuatu yang awalnya
wajib tapi karena adanya kesulitan menjadikan kewajibannya gugur. Adakalanya memiliki
2
Lihat, Q.S. An-Nahl: 106
3
Hasby Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam,(Semarang:Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 207-218.
bentuk lain dengan mengurangi beban, misalnya pengurangan jumlah rakaat shalat bagi orang
yang sedang bepergian (musafir). Sebagai bentuk keringanan yang diberikan dalam keadaan
tertentu karena ada kesulitan Rukhsah memiliki pola yang beragam.
a. Rukhsah berupa Pengguguran Kewajiban, Sesuatu yang awalnya wajib tapi karena
adanya kesulitan menjadikan kewajibannya gugur. Contohnya gugurnya kewajiban
Jumat karena ada halangan hujan lebat.
b. Rukhsah berupa Pengurangan Beban, Contohnya mengqoshor shalat empat rakaat
menjadi dua rakaat.
c. Rukhsah berupa Penukaran, Contohnya ditukarnya wudhudengan tayamum.
d. Rukhsah berupa Mendahulukan Waktu Di dalam Islam, ibadah telah diatur
pelaksanaan waktunya. Tetapi kondisi kesulitan memungkinkan ketentuan waktu
menjadi fleksibel. Contohnya Shalat jama’ taqdim dan menyegerakan zakat sebelum
waktunya.
e. Rukhsah berupa Pengakhiran Waktu, Contohnya jama’ takhir dalam shalat dan
penundaan puasa Ramadhan karena sakit atau bepergian.
f. Rukhsah berupa Kemurahan, Contohnya mengonsumsi makan makanan najis/haram
untuk obat.
g. Rukhsah berupa Perubahan Contohnya perubahan cara sembahyang dalam keadaan
yang menakutkan (kondisi peperangan).4
4. Hukum-hukum Rukhshah
a. Rukhshah wajib. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang wajib dilakukan. Contohnya
memakan bangkai bagi orang yang sedang kelaparan. Jika makan bangkai atau minum
arak yang notabene haram merupakan satu-satunya jalan yang diyakini bisa
menyelamatkan jiwanya, maka hal itu wajib dilakukan.
b. Rukhshah mandubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang sunah dikerjakan.
Misalnya shalat qashar bagi seorang musafir meringkas (qashar) salat bagi musafir
yang beperjalanan lebih dari dua marhalah (81 km atau lebih) . Nah, rukhsah
semacam ini membolehkan musafir meringkas salat yang awalnya empat rakaat
menjadi dua rakaat. Hukum asalnya adalah tidak boleh meringkas salat dalam
keadaan normal (tidak sedang perjalanan), namun karena ia sedang dalam perjalanan
(musafir) maka diperbolehkan bahkan hukumnya sunah dilakukan supaya tidak
4
Imam Al Qodli Shodr Syari’at Abdullah bin Mas’ud Al Mahbubi, Al Tau- dlih li matn Al Tanqih fii uhsul al
fiqh, maktabah al taufiqiyyah, kairo, t.t, hlm 353-360
mengalami kesulitan (masyaqqah) dalam perjalanannya. Hal ini didasarkan atas sabda
َ ق هَّللا ُ بِهَا َعلَ ْي ُك ْم فَا ْقبَلُوا
Rasulullah Saw. kepada Umar Ra. : ُص َدقَتَه َ َص َدقَةٌ ت
َ ص َّد َ
Artinya : “Itu adalah sedekah yang Allah bersedekah dengannya atas kalian. Maka
terimalah sedekah-Nya”. (Ahmad bin Husain al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, jus 3 hal
141)
c. Rukhshah mubah. Rukhsah ini merupakan rukhsah yang boleh dilakukan atau
ditinggalkan. Contohnya seperti transaksi pesan-memesan (salam) dan sewa-menyewa
(ijarah). Dua jenis transaksi dika- tegorikan rukhshah yang mubah karena memandang
hukum asalnya yang tidak diperbolehkan. Akad salam pada permulaannya tidak
diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang tidak wujud (ma’dum). Dan
manfaat dalam ijarah juga dinilai ma’dum.
d. Rukhshah khilaf al-awla adalah rukhshah yang lebih baik tidak dilakukan. Seperti
menjama’ shalat atau berbuka puasa bagi seorang musafir yang masih mampu untuk
menjalankannya (tidak berbahaya baginya). Begitu pula tayamum bagi orang yang
telah mendapat air, dari contoh toleransi (rukhshah) dalam di atas lebih utama untuk
tidak dikerjakan.
e. Rukhshah makruh adalah rukhshah yang lebih baik di tinggalkan Contohnya
menqashar shalat dalam perjalanan yang belum mencapai tiga marhalah. Kemakruhan
ini dimotivasi untuk menghindari khilaf imam Hanafi yang tidak memperbolehkan
qashar sebelum perjalanan mencapai tiga marhalah (142 km versi Hanafiah).
Sementara al-Syafi’iah menilai dua marhalah cukup untuk melakukan qashar.5
5
Lihat, Hashby Ash Shdiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra: 2001, hlm. 420-421
6
Lihat, Q.S. Al-Baqarah: 185
ِ “ َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي الدDan Dia tidak menjadikan untuk kamu suatu kesulitan dalam
ٍ ِّين ِم ْن َح َر
b. ج
agama.” (QS. Al-Hajj : 78)7
artinya hal-hal yang membuat kalian sulit untuk melakukannya, untuk itu Dia memberikan
kemudahan kepada kalian dalam keadaan darurat, antara lain boleh mengkasar salat,
bertayamum, memakan bangkai, dan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit dan bagi
yang sedang melakukan perjalanan
c. “Agama itu adalah mudah, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah.” (HR. Bukhari dan Abu Hurairah)
Maksud hadis ini ialah syariat yang Allah turunkan kepada umat Baginda Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mudah dan tidak sulit. Allah telah mengangkat hal-hal yang memberatkan
mereka. Sehingga ia tidak memaksa seorang hamba kecuali sesuai kemampuannya.
c. “Mudahkanlah dan jangan mempersulit” (HR. Bukhari dari Anas)
Menurut ath-Thabari, “maksud perintah mempermudah adalah berkenaan dengan hal-hal
sunah yang dirasa memberatkan, agar yang melaksanakan tidak merasa bosan atau keberatan,
yang akhirnya dapat membuatnya lari meninggalkan dan malah tidak mengamalkan sama
sekali, atau ia menjadi bangga dengan amalannya sendiri sehingga tidak mau melakukan hal-
hal wajib yang diberi keringanan, seperti contoh shalat fardhu sambal duduk boleh dilakukan
bagi orang yang tidak mampu, atau orang yang tidak berpuasa fardhu Ketika lagi berpergian,
hal ini boleh dilakukan, karena kalau saja tetap memaksakan melaksanakan sebagaimana
mestinnya dapat menjadi kesulitan baginya.
Lebih lanjut, Rasulullah mempermudah ketentuan syariat yang dilakukan oleh umatnya
dalam kehidupan sehari-hari, karena setiap syariat yang dibawa Nabi pasti mampu diamalkan
oleh umatnya, jika syariat tersebut tidak dapat sempurna diamalkan oleh umatnya, baik itu
karena ketidak mungkinan fisik, dll. Maka ada cara lain yang dapat digunakan unutk
menghindari masyaqqat (beban berat) yang sulit dilakukan, misalnya dengan cara rukhshah.
Bahkan Nabi pernah marah kepada sahabat-sahabatnya yang memaksakan untuk melakukan
ketentuan syariat bagi orang yang sakit disamakan sebagaimana orang sehat umumnya.
Padahal pemaksaan itu dapat mejadikan sakitnya semakin parah, ataupun menjadikan orang
yang sakit merasa menjadi Islam cukup sukar dan memberatkan, dan akhirnya malah lari dari
Agama yang dibawa Nabi.8
7
Lihat, Q.S. Al-Hajj: 78
8
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah ilmu fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), 25.
Kaidah-kaidah Cabang
1. َع
ِ َق ِ ْا أل َ ْم ِر ِ ا ت َّ َس
ِ “ إ َذ ا ِ َض اKetika sesuatu menjadi sempit, maka hukumnya
menjadi luas (ringan)” Dengan kata lain, keringanan hukum akan diperoleh
disebabkan kondisi sulit dan sempit. Contohnya sebagaimana nasib seorang gadis
yang tidak memiliki wali, atau berada jauh dari rumahnya. Pada saat yang sama ia
bertemu seorang laki-laki idaman yang akan mau menikahinya. Dalam kondisi seperti
ini, wanita yang notabene menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang
lain (yang bukan mahram) untuk menjadi walinya (muhakkam). Contoh lain seperti
fenomena yang sering terjadi di musim kemarau, di mana lalat-lalat banyak
bertebaran membawa najis di kakinya. Jika lalat-lalat nakal itu hinggap di tubuh kita,
maka najis- najis di kaki mereka hukumnya ma’fu. Sebab, kita sangat sulit
menghindar. Dengan kata lain, najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dhaqa),
akan membuat hukum menjadi ringan (ittasa’a)
2. َق
ِ َع ِ ْا أل َ ْم ِر ِ َض ا
ِ “ إ َذ ا ِ ا ت َّ َسKetika keadaan lapang, maka hukumnya menjadi sempit
(ketat).” Kaidah cabang kedua ini sebenarnya semakna dengan kaidah cabang
pertama, walaupun redaksinya berbeda dan cenderung ber- lawanan. Artinya, jika
yang pertama menyatakan bahwa kesempitan akan membuahkan keluasan (hukum),
maka yang kedua ini bersikap sebaliknya, yakni keadaan lapang akan membuat
hukum menjadi sempit dan terbatas. Contohnya, ketika melaksanakan shalat, kita
tidak diperbolehkan melakukan gerakan. Sebab kondisi kita saat itu tidak menuntut
dilakukannya suatu gerakan. Akan tetapi, jika gerakan itu dilakukan untuk
menghindari serangan ular berbisa, kalajengking, dan binatang berbisa lainnya, maka
pergerakan tersebut diperbolehkan. Dengan kata lain, shalat yang kita lakukan tanpa
adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang (ittasa’a), sehingga hukumnya
menjadi sempit dan terbatas (dhaqa), yakni tidak boleh melakukan pergerakan yang
berlebihan.
3. َدل َ َصارإلَ ِى
ِ ْالب ِ “ إ َذاِتَ َع َّز َِر ْاألَ ْصلِيApabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah
kepada penggantinya”Contohnya : Tayamum sebagai ganti wudhu9
Aplikasinya
1. Wanita yang notabene menghadapi kesulitan diperbolehkan “mengangkat” orang lain
(yang bukan mahram) untuk menjadi walinya (muhakkam)
2. Najis yang mengenai tubuh saat kondisi sulit (dhaqa), akan membuat hukum menjadi
ringan (ittasa’a)
9
Djazuli dan Nurol A’en, Ushul Fiqh, (Bandung:Gilang Aditya Press, 1996), hlm. 40
3. Shalat yang kita lakukan tanpa adanya gangguan termasuk kategori keadaan lapang
(ittasa’a), sehingga hukumnya menjadi sempit dan terbatas (dhaqa), yakni tidak boleh
melakukan pergerakan yang berlebihan.
4. Melakukan tayamum ketika tidak menemukan air, atau dalam keadaan sakit yang
mengharuskan tidak boleh menyentuh air
5. Jika berhalangan untuk berpuasa maka wajib mengganti sesuai dengan hari yang
ditinggalkan.
6. Orang yang bepergian (musafir) mendapat kemudahan dalam beragama, yaitu boleh
mengqoshor dan menjama’ sholat, dan lain sebagainya10
DAFTAR PUSTAKA
Usman, Mukhlis (1996) Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqiyah. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Djazuli dan Nurol A’en, Ushul Fiqh, Bandung : Gilang Aditya Press, 1996.
10
Lihat, Ibid., h. 41
Hasby Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2001.
Al Imam Al Qodli Shodr Syari’at Abdullah bin Mas’ud Al Mahbubi, Al Taudlih li matn, Al
Tanqih fii uhsul al fiqh, tiga kitab dalam satu kitab, Juz II, maktabah al taufiqiyyah, kairo, t.t.
Depag RI, 2002. Mushaf al-Qur’an Terjemah, Jakarta : al-Huda.
Mujib, Abdul (1994) Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh. Jakarta: Kalam Mulia.