Abstrak
Permasalahan ini membahas tentang kaidah fikih ketiga mengenai Kesulitan Mendatangkan
Kemudahan dan kaidah fikih keempat mengenai Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin.
Dalam penulisan ini penulis membatasi beberapa pokok masalah: Apa pengertian dari kaidah
fikih? Mengetahui dasar hukum kaidah dan kaidah turunannya, terakhir Bagaimana penerapan
kaidah nya?. Tujuan penulisan ini untuk dapat memahami makna dari kaidah – kaidah fikih ketiga
dan keempat supaya dalam penghambaan diri kepada Allah SWT tidak terjadi kekeliruan. Jenis
penelitian yang digunakan adalah library research dengan menggunakan pendekatan normatif.
A. PENDAHULUAN
Al – Masyaqqah itu sendiri bersifat individual, akan tetapi ada standar umum yang
sesungguhnya bukan Masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringan di dalam
pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada musim dingin, atau terasa berat puasa
pada musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam
ketaatan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan, keringanan dalam masyaqqah tersebut
akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.
Arti dari kaidah Ad – Dhararu Yuzalu adalah kemudharatan/kesulitan (harus)
dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari Idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Namun, Dharar
(kemudharatan) secara etimologi berasal dari kalimat “Ad – Dharar” yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
1
B. PEMBAHASAN
1.1. PENGERTIAN KAIDAH KETIGA (AL – MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR)
Kata Al – Masyaqqah menurut arti Bahasa (etimologis) adalah al – ta’ab
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran seperti terdapat dalam QS.
An – Nahl ayat 7 yang berbunyi;
2
e) Ketidaktahuan (Al – Jahl) misalnya, orang yang baru masuk islam karena
tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan maka dia tidak
dikenai sanksi.
f) Umum Al – Balwa. Misalnya, kebolehan bai al – salam (uangnya dahulu,
barangnya belum ada), kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya
demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhhkan dalam pengobatan.
g) Kekurangmampuan bertindak hukum (Al – Naqsh) misalnya, anak kecil,
orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum yang
berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pema’af, termasuk di
dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa.
Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi 3 tingkatan,
yakni;
3
yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat
kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ.
c) Al – Masyaqqah Al – Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa
lapar waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sa’i, terasa pening
waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam
ini bisa diatasi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam
melaksanakan ibadah.
4
2.1. DASAR HUKUM KAIDAH
Kenyamanan dan kemudahan dalam syariaj ini telah dipastikan dalam Al – Qur’an
maupun hadits yang menjadi sumber hukum kaidah ketiga. Ayat – ayat ini saling
melengkapi dan menguatkan yang menunjukkan bahwa syariat islam menginginkan
hilangnya kesulitan dari umatnya. Berikut merupakan dalil – dalil atau nas – nas syar’i
yang berkaitan dengan kaidah ini di antaranya ialah;
a) Al – Qur’an
b) Hadits
Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya kaidah
ketiga ini, di antaranya adalah:
a. Sahih Bukhari dari jalur Anas bin Malik yang artinya
“Permudahkanlah (dalam perihal agama) dan janganlah kalian
5
persulit, serta berilah kabar gembira dan janganlah kalian menaku
– nakuti.”
b. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya agama Allah adalah
agama yang mudah. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR.
Ahmad)
c. Sahih Bukhari dari Jabir, yang artinya “Pada suatu perjalanan,
Rasulullah melihat seseorang yang sedang berjongkok dan
beberapa orang lainnya terlihat melindunginya (dari sengatan
sinar matahari). Maka Rasulullah pun bertanya: “apa ini (yang
sedang terjadi)?” mereka menjawab: “ia sedang berpuasa!”,
Rasulullah bersabda: “berpuasa dalam perjalanan bukanlah suatu
kebaikan (yang mutlak)”
d. Sunan Abu Dawud yang Artinya: “Pergunakanlah kemudahan yang
telah dianugerahkan Allah kepada kalian”
e. HR. Bukhari dan Muslim yang artinya: “Tidaklah Rasulullah diberi
pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih
mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan
dosa.”
6
perempuan yang tulangnya harus dan darurat untuk segera ditolong dan diurut,
maka laki-laki tukang urut tersebut yang bukan mahramnya itu boleh menolong
(menyentuh dan melihat aurat) perempuan tersebut.
Allah Berfirman pada surat Al – Baqarah ayat 280,
۟ ُصدَّق
وا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ۖ ِإن َ َس َرةٍ ۚ َوأَن ت ُ َو ِإن َكانَ ذُو
َ عس َْرةٍ فَن َِظ َرة ٌ ِإلَ ٰى َم ْي
َُكنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
Tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (Sebagian atau semua
utang)itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
7
c) Darurat Harus di Ukur Seperlunya Saja
Kaidah ini adalah pelengkap kaidah sebelumnya. Keharaman yang boleh
dikonsumsi karena darurat hanya di perbolehkan sebatas kebutuhannya, tidak boleh
lebih dari itu atau bahkan berpuas – puas dengannya.
Seperti pada contoh sebelumnya, babi yang dia makan karena keadaan
darurat tidak boleh melebihi kebutuhannya. Kebutuhannya adalah hanya sampai
pada kadar yang membuat dia tetap bertahan hidup, dia tidak boleh melampaui
batas dan makan sampai kenyang, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam
ayat.
Contoh lainnya, seperti seorang wanita yang harus membuka auratnya untuk
kebutuhan pemeriksaan oleh Dokter, maka yang dibuka adalah hanya bagian yang
akan diperiksa saja tidak boleh lebih dari itu.
8
kedua belah pihak dan barang akan tiba di lokasi pembeli tanpa harus bersusah
payah mendatangi toko lagi. Karena hal ini merupakan salah satu asas yang harus
ada dalam muamalah yakni saling rela (antaradhin).
c) Bidang Siyasah
Transparansi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, hal ini
tentunya sangat rumit bagi panitia penyelenggara mulai tahap persiapan hingga
pengumuman ditetapkannya seorang kepala daerah terpilih. Namun di sisi lain
masyarakat akan mengetahui proses tersebut mulai awal hingga akhir dengan
harapan tidak adanya kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah yang
sedang berlangsung.
d) Bidang Jinayah
Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka
karib kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung
pembayaran diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini
dikarenakan pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan,
sehingga ia mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat
si pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan
mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-
masing, dan pembayaran tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun.
9
Zakariya Ibn Ghulam juga menjelaskan makna kaidah dengan ungkapannya:
“Makna hadis bahwa Dharar adalah membuat kemudharatan kepada orang lain
dengan tujuan mendatangkan manfaat untuk dirinya, sedangkan Dhirar adalah membuat
kemudharatan kepada orang lain dengan tanpa ada manfaat yang kembali kepadanya.
Seperti menolak sesuatu yang tidak membahayakannya lalu mencelakai orang lain.”
Sebagian ulama menafsirkan untuk tidak boleh memudharatkan orang lain baik
kemudharatan itu sebagai Tindakan yang pertama ataupun sebagai balasan kepada orang
lain. Ada yang berpendapat bahwa Dharar adalah memudharatkan orang yang telah
memudharatkan kita, sedangkan Dhirar adalah memudharatkan orang lain tanpa ada
perlawanan yang berbanding dan tanpa ada pertolongan dengan kebenaran. Kemudharatan
itu kembali kepada 2 unsur:
1. Menghilangkan kemaslahatan
2. Menghasilkan kerusakan dengan cara apapun
Maksudnya, apabila di peroleh kerusakan pada orang atau pada umat muslim, maka
kemudharatan itu hanya karena menghasilkan kerusakan dengan cara apapun atau dengan
cara menghilangkan kemaslahatan. Maka makna kaidah ini sebenarnya adalah diharamkan
mendatangkan segala bentuk kemudharatan kecuali ada dalil yang membolehkannya.
Kalimat La Dharar itu merupakan kalimat dengan kata nakirah yang terletak dikalimat
pasif atau kalimat larangan, maka maknanya adalah umum. Jadi, makna dari hadis Nabi
adalah tidak boleh membuat atau menyertakan mudharat dalam segala bentuk dan
variasinya. Maka hukum keharaman memudharatkan itu merupakan hukum yang mutlak,
baik mudharatnya itu yang umum ataupun yang khusus sehingga apabila kemudharatan itu
sudah terjadi harus diangkat, dan apabila akan terjadi maka harus ditolak.
10
6.1. DASAR HUKUM KAIDAH
Berikut merupakan ayat – ayat Al – Qur’an dan hadits – hadits yang menjadi dasar
hukum kaidah ini, diantaranya ialah;
a) Al – Qur’an
۟ ارا ِلتَ ْعتَد
ُوا ِ َو ََّل ت ُ ْم ِس ُكو ُه َّن
ً ض َر
Artinya: “Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka” (QS. Al – Baqarah:
ضا ٓ َّر ٰ َو ِلدَ ٌۢة ٌ ِب َولَ ِدهَا َو ََّل َم ْولُودٌ لَّ ۥهُ ِب َولَ ِد ِهۦ
َ ُ ََّل ت
Artinya: “Janganlah dimudharatkan seorang ibu karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya” (QS. Al – Baqarah: 233)
11
b) Hadits
a. “Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang
memudaratkan maka Allah akan memudaratkannya dan siapa saja yang
menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.” (HR. Imam Malik).
b. “Barang siapa yang memudaratkan (orang lain) maka Allah akan
memudaratkannya dan barang siapa yang menyusahkan (orang lain),
maka Allah akan menyusahkannya.” (HR. Bukh ari Muslim).
c. “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan
hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi).
d. “Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya, dan
kehormatan, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik.”
(HR. Muslim).
e. “Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamusemua, dan
kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua.” (HR.
Muslim).
12
dengan tujuan agar hutangnya terbayar. Kaidah ini diperkuat dengan Dhabit yang
mengatakan;
“tidak ada kewajiban dalam situasi lemah (tidak mampu) dan tidak ada
keharaman dalam situasi dharurat”
13
secara paksa dengan tujuan untuk membayar hutangnya. Diperbolehkan menjual
makanan pokok yang disimpan oleh penimbun barang apabila ia menimbunnya
dengan cara ihtikar sedangkan orang-orang sedang sangat membutuhkannya.
14
tingkat ekonomi menengah ke bawah tidak mampu untuk menjangkau. Hal ini
dilarang karena dapat menyebabkan kemudharatan bagi masyarakat.
c) Bidang Siyasah
Korupsi di suatu negara. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik, baik
politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dalam
memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang yang telah dipercayakan
oleh rakyat kepada mereka sebagai wakil rakyat tentu akan berdampak pada
berbagai sektor kehidupan dan keberlangsungan suatu negara. Sebagai contoh
dalam bidang hukum, sistem hukum tidak lagi berdasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan hukum serta hilangnya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, pembangunan dan sumber-sumber ekonomi dikuasai
orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan serta hilangnya nilai moralitas
dalam kegiatan usaha yang merugikan pengusaha menengah dan kecil. Oleh
karena itu dampak dari korupsi ini dapat menyebabkan berbagai kemudharatan
yang harus dihilangkan dengan berbagai macam cara pemberantasan korupsi.
d) Bidang Jinayah
Adanya larangan membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang
tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudharatan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Abu Anas Darsitun, M. (2019). KAIDAH FIKIH ISTIMEWA. In M. Abu Anas Darsitun,
KAIDAH FIKIH ISTIMEWA. Purwokerto: Sakinah Publishing.
DR. H. Mif Rohim, M. (2019). Buku Ajar QAWA'ID FIQHIYYAH. In M. DR. H. Mif Rohim,
Buku Ajar QAWA'ID FIQHIYYAH. Jawa Timur: LPPM UNHASY TEBUIRENG
JOMBANG.
Dr. Muhammad Yafiz, M. A. (2022). Kaidah Fiqhiyah Dalam Ekonomi dan Bisnis Islam. In L.
M. M. Iqbal, Kaidah Fiqhiyah Dalam Ekonomi dan Bisnis Islam. Medan, Sumatera
Utara: FEBI UIN - SU Press.
Studocu. (n.d.). Retrieved from studocu.com: https://www.studocu.com/id/document/universitas-
islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta/qawaid-fiqhiyah/qawaid-fiqhiyyah-2-kaidah-
kulliyyah-kubro-ketiga-al-masyaqqah-tajlib-at-taysir/43333824
Studocu. (n.d.). Retrieved from studocu.com: https://www.studocu.com/id/document/universitas-
papua/media-pembelajaran/kaidah-kuliyyah-kubro-keempat-ad-dhararu-
yudzalu/48967136
Tafsir Web. (2018). Retrieved from tafsirweb.com: https://tafsirweb.com/
Zulhamdi. (2021). AL MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR. AL MASYAQQAH TAJLIBUT
TAYSIR.
16