Anda di halaman 1dari 16

KAIDAH KULLIYAH KUBRO KETIGA DAN KEEMPAT

Ananda Zalfia (NIM 22.03.4259)

Annisa Diva Pratiwi (NIM 22.03.4262)

Nancy Qonita (NIM 22.03.4271)

Abstrak

Permasalahan ini membahas tentang kaidah fikih ketiga mengenai Kesulitan Mendatangkan
Kemudahan dan kaidah fikih keempat mengenai Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin.
Dalam penulisan ini penulis membatasi beberapa pokok masalah: Apa pengertian dari kaidah
fikih? Mengetahui dasar hukum kaidah dan kaidah turunannya, terakhir Bagaimana penerapan
kaidah nya?. Tujuan penulisan ini untuk dapat memahami makna dari kaidah – kaidah fikih ketiga
dan keempat supaya dalam penghambaan diri kepada Allah SWT tidak terjadi kekeliruan. Jenis
penelitian yang digunakan adalah library research dengan menggunakan pendekatan normatif.

Kata Kunci: Kaidah, Kesulitan, Kemudharatan

A. PENDAHULUAN
Al – Masyaqqah itu sendiri bersifat individual, akan tetapi ada standar umum yang
sesungguhnya bukan Masyaqqah dan karenanya tidak menyebabkan keringan di dalam
pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu pada musim dingin, atau terasa berat puasa
pada musim panas, atau juga terasa berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman.
Masyaqqah semacam ini tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam
ketaatan kepada Allah. Sebab apabila dibolehkan, keringanan dalam masyaqqah tersebut
akan menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.
Arti dari kaidah Ad – Dhararu Yuzalu adalah kemudharatan/kesulitan (harus)
dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari Idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Namun, Dharar
(kemudharatan) secara etimologi berasal dari kalimat “Ad – Dharar” yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.

1
B. PEMBAHASAN
1.1. PENGERTIAN KAIDAH KETIGA (AL – MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR)
Kata Al – Masyaqqah menurut arti Bahasa (etimologis) adalah al – ta’ab
yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan kesukaran seperti terdapat dalam QS.
An – Nahl ayat 7 yang berbunyi;

ٌ ‫ِق ٱ ْْلَنفُ ِس ۚ ِإ َّن َر َّب ُك ْم لَ َر ُء‬


‫وف َّر ِحي ٌم‬ ۟ ُ‫َوتَحْ ِم ُل أ َ ْثقَالَ ُك ْم ِإلَ ٰى َبلَ ٍد لَّ ْم تَ ُكون‬
ِ ‫وا ٰ َب ِل ِغي ِه ِإ ََّّل ِبش‬
Artinya: “Dan ia memikul beban – bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak
sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran – kesukaran (yang
memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar – benar Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang.”
Sedangkan Al -Taysir secara Bahasa adalah kemudahan dan kelembutan,
kejinakan yang berarti Al – Samhah (toleransi), yusr sendiri adalah kebalikan dari
‘asr (kesusahan).
Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya
kemudahan. Maksudnya adalah bahwa hukum – hukum yang dalam penerapannya
menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf (subyek hukum), maka
syariah meringankannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Dalam ilmu Fiqh, kesulitan
yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada 7 macam, yaitu;
a) Sedang dalam perjalanan (Al – Safar). Misalnya, boleh Qasar shalat, buka
puasa, dan meninggalkan shalat jum’at.
b) Keadaan sakit. Misalnya, boleh melakukan tayamum ketika sulit memakai
air dan shalat fardhu sambil duduk.
c) Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya.
Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut
tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa, karena bertentangan
dengan prinsip Ridha (rela), merusak atau menghancurkan barang orang
lain karena di paksa.
d) Lupa (Al – Nisyan), misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu
puasa, lupa membayar utang tidak diberi sanksi, tetapi bukan pura – pura
lupa.

2
e) Ketidaktahuan (Al – Jahl) misalnya, orang yang baru masuk islam karena
tidak tahu, kemudian makan makanan yang diharamkan maka dia tidak
dikenai sanksi.
f) Umum Al – Balwa. Misalnya, kebolehan bai al – salam (uangnya dahulu,
barangnya belum ada), kebolehan dokter melihat kepada bukan mahramnya
demi untuk mengobati sekadar yang dibutuhhkan dalam pengobatan.
g) Kekurangmampuan bertindak hukum (Al – Naqsh) misalnya, anak kecil,
orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam ilmu hukum yang
berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pema’af, termasuk di
dalamnya keadaan terpaksa atau di paksa.

Al – Masyaqqah itu sendiri bersifat individual, akan tetapi ada standar


umum yang sesungguhnya bukan Masyaqqah dan karenanya tidak
menyebabkan keringan di dalam pelaksanaan ibadah, seperti terasa berat wudhu
pada musim dingin, atau terasa berat puasa pada musim panas, atau juga terasa
berat bagi terpidana dalam menjalankan hukuman. Masyaqqah semacam ini
tidak menyebabkan keringanan di dalam ibadah dan dalam ketaatan kepada
Allah. Sebab apabila dibolehkan, keringanan dalam masyaqqah tersebut akan
menyebabkan hilangnya kemaslahatan ibadah dan ketaatan dan menyebabkan
lalainya manusia di dalam melaksanakan ibadah.

Oleh karena itu, para ulama membagi masyaqqah ini menjadi 3 tingkatan,
yakni;

a) Al – Masyaqqah Al - Azhimmah (kesulitan yang sangat berat),


seperti kekhawatiran akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya
anggota badan. Hilangnya jiwa dan/atau anggota badan
menyebabkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan
sempurna.
b) Al – Masyaqqah Al – Mutawasithah (kesulita yang pertengahan,
tidak sangat berat juga tidak sangat ringan), Masyaqqah semacam
ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat kepada masyaqqah

3
yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat
kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan di situ.
c) Al – Masyaqqah Al – Khafifah (kesulitan yang ringan), seperti terasa
lapar waktu puasa, terasa cape waktu tawaf dan sa’i, terasa pening
waktu rukuk dan sujud, dan lain sebagainya. Masyaqqah semacam
ini bisa diatasi dengan mudah yaitu dengan cara sabar dalam
melaksanakan ibadah.

Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah ada 7


macam, yakni;

a) Takhfih isqath / Rukhsah Isqath, yaitu keringanan dalam bentuk


penghapusan seperti tidak wajib shalat bagi Wanita yang sedang
menstruasi atau nifas dan tidak wajib haji bagi yang tidak mampu.
b) Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat
Qasar dua rakat yang asalnya empat rakat.
c) Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian, seperti wudhu
dan/ atau mandi wajib diganti dengan tayamum, atau berdiri waktu
shalat wajib diganti dengan duduk karena sakit.
d) Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara di dahulukan, seperti
Ta’jilu Al Zakat atau Menyegerakan membayar zakat sebelum
waktu atau haulnya dan shalat jama’ taqdim.
e) Takhfif ta‘khir, yaitu keringanan dengan cara di akhirkan seperti
shalat jama ‘ta’khir di muzdalifah, mengganti puasa Ramadhan bagi
yang sakit, dan jama ‘ta’khir bagi orang yang sedang dalam
perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.
f) Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan
minum yang di haramkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak
maka bisa membawa kematian.
g) Takhfif taghyir, yaitu keringanan mengubah atau menukar, seperti
kebolehan menukar dan mengubah kedudukan serta cara
mendirikan shalat ketika dalam ketakutan dan menghadapi musuh.

4
2.1. DASAR HUKUM KAIDAH
Kenyamanan dan kemudahan dalam syariaj ini telah dipastikan dalam Al – Qur’an
maupun hadits yang menjadi sumber hukum kaidah ketiga. Ayat – ayat ini saling
melengkapi dan menguatkan yang menunjukkan bahwa syariat islam menginginkan
hilangnya kesulitan dari umatnya. Berikut merupakan dalil – dalil atau nas – nas syar’i
yang berkaitan dengan kaidah ini di antaranya ialah;
a) Al – Qur’an

‫يُ ِريدُ ٱ َّّللُ ِب ُك ُم ٱ ْليُس َْر َو ََّل يُ ِريدُ ِب ُك ُم ٱ ْلعُسْر‬


Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu” (QS. Al – Baqarah: 185)

‫سا ِإ ََّّل ُو ْس َع َها‬


ً ‫ف ٱ َّّللُ نَ ْف‬
ُ ‫ََّل يُ َك ِل‬
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya” (QS. Al – Baqarah: 286)

‫ض ِعيفًا‬ َ ٰ ‫عن ُك ْم ۚ َو ُخ ِلقَ ٱ ْ ِْلن‬


َ ‫س ُن‬ َ ‫يُ ِريدُ ٱ َّّللُ أَن يُخ َِف‬
َ ‫ف‬
Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu karena manusia
dijadikan bersifat lemah” (QS. An – Nisa’: 28)

ٍ ‫علَ ْي ُكم ِم ْن َح َر‬


‫ج‬ َ ‫َما يُ ِريدُ ٱ َّّللُ ِل َي ْج َع َل‬
Artinya: “Allah tidak ingin menjadikan kamu kesusahan” (QS. Al –
Maidah: 6)

‫ج‬ ِ ‫علَ ْي ُك ْم ِفى ٱلد‬


ٍ ‫ِين ِم ْن َح َر‬ َ ‫َو َما َج َع َل‬
Artinya: “Dia sekali – kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan” (QS. Al – Hajj: 78)

b) Hadits
Banyak sekali hadits Nabi SAW yang menjadi dasar terbentuknya kaidah
ketiga ini, di antaranya adalah:
a. Sahih Bukhari dari jalur Anas bin Malik yang artinya
“Permudahkanlah (dalam perihal agama) dan janganlah kalian

5
persulit, serta berilah kabar gembira dan janganlah kalian menaku
– nakuti.”
b. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya agama Allah adalah
agama yang mudah. (Kata-kata itu) diucapkan tiga kali.” (HR.
Ahmad)
c. Sahih Bukhari dari Jabir, yang artinya “Pada suatu perjalanan,
Rasulullah melihat seseorang yang sedang berjongkok dan
beberapa orang lainnya terlihat melindunginya (dari sengatan
sinar matahari). Maka Rasulullah pun bertanya: “apa ini (yang
sedang terjadi)?” mereka menjawab: “ia sedang berpuasa!”,
Rasulullah bersabda: “berpuasa dalam perjalanan bukanlah suatu
kebaikan (yang mutlak)”
d. Sunan Abu Dawud yang Artinya: “Pergunakanlah kemudahan yang
telah dianugerahkan Allah kepada kalian”
e. HR. Bukhari dan Muslim yang artinya: “Tidaklah Rasulullah diberi
pilihan di antara dua perkara, kecuali beliau memilih yang lebih
mudah atau ringan, selama yang lebih mudah itu bukan perbuatan
dosa.”

3.1. KAIDAH – KAIDAH TURUNAN


a) Jika Kondisi Sempit Maka Di Berikan Kelapangan
Maksud dari kaidah ini merupakan apabila sesuatu itu ada
kesempitan/kesukaran dalam menjalankannya, maka dalam keadaan yang demikian
ini “wilayah – wilayah” yang semula dilarang menjadi diperbolehkan.
Contohnya, seseorang yang tidak sanggup melunasi hutangnya pada tempo
yang telah ditentukan. Kemudian dia meminta temponya diperpanjang, maka wajib
bagi orang yang menghutanginya untuk menambah tempo waktu pelunasannya.
Contoh lain, seorang laki-laki dewasa diharamkan memegang tubuh
perempuan dewasa yang bukan mahramnya, namun apabila di suatu daerah hanya
terdapat satu orang yang ahli dalam urut tulang dan dia lakilaki, sementara ada

6
perempuan yang tulangnya harus dan darurat untuk segera ditolong dan diurut,
maka laki-laki tukang urut tersebut yang bukan mahramnya itu boleh menolong
(menyentuh dan melihat aurat) perempuan tersebut.
Allah Berfirman pada surat Al – Baqarah ayat 280,
۟ ُ‫صدَّق‬
‫وا َخي ٌْر لَّ ُك ْم ۖ ِإن‬ َ َ‫س َرةٍ ۚ َوأَن ت‬ ُ ‫َو ِإن َكانَ ذُو‬
َ ‫عس َْرةٍ فَن َِظ َرة ٌ ِإلَ ٰى َم ْي‬
َ‫ُكنت ُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah
Tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (Sebagian atau semua
utang)itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

b) Keadaan Darurat Membolehkan Sesuatu yang Sebelumnya Haram


Keadaan darurat yang dimaksud adalah suatu keadaan di mana nyawanya,
agamanya, atau hartanya bisa terancam. Apabila seseorang mengalami keadaan
seperti ini maka diperbolehkan baginya untuk mengambil keharaman tersebut
sekadar kebutuhannya.
Allah berfirman pada surat Al – Baqarah ayat 173,

ِ َّ ‫ير َو َما ٓ أ ُ ِه َّل ِب ِهۦ ِلغَي ِْر ٱ‬


ۖ ‫ّلل‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم ٱ ْل َم ْيتَةَ َوٱلد ََّم َولَ ْح َم ٱ ْل ِخ‬
ِ ‫نز‬ َ ‫نَّ َما َح َّر َم‬
‫ور َّر ِحي ٌم‬ َ ‫َل إِثْ َم‬
َ َ‫علَ ْي ِه ۚ إِ َّن ٱ َّّلل‬
ٌ ُ ‫غف‬ ٓ َ َ‫عا ٍد ف‬
َ ‫غي َْر بَاغٍ َو ََّل‬ ُ ‫ض‬
َ ‫ط َّر‬ ْ ‫فَ َم ِن ٱ‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan Binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sebagai contoh, seseorang yang tersesat di tengah hutan tanpa bekal
makanan atau kehabisan bekal makanan. Agar dia tetap bertahan hidup, dia harus
tetap makan makanan, namun yang dijumpai hanya babi dan tidak menjumpai
makanan halal lainnya. Maka pada saat itu diperbolehkan baginya makan daging
babi tersebut sekadar kebutuhannya.

7
c) Darurat Harus di Ukur Seperlunya Saja
Kaidah ini adalah pelengkap kaidah sebelumnya. Keharaman yang boleh
dikonsumsi karena darurat hanya di perbolehkan sebatas kebutuhannya, tidak boleh
lebih dari itu atau bahkan berpuas – puas dengannya.
Seperti pada contoh sebelumnya, babi yang dia makan karena keadaan
darurat tidak boleh melebihi kebutuhannya. Kebutuhannya adalah hanya sampai
pada kadar yang membuat dia tetap bertahan hidup, dia tidak boleh melampaui
batas dan makan sampai kenyang, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam
ayat.
Contoh lainnya, seperti seorang wanita yang harus membuka auratnya untuk
kebutuhan pemeriksaan oleh Dokter, maka yang dibuka adalah hanya bagian yang
akan diperiksa saja tidak boleh lebih dari itu.

4.1. PENERAPAN KAIDAH AL – MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR


Terdapat 4 bidang dalam menerapkan kaidah ketiga, yaitu:
a) Bidang Ubudiyah
Seseorang yang sedang dalam keadaan sakit, jika tidak mampu
melaksanankan shalat dengan berdiri maka boleh shalat dengan duduk. Jika tidak
mampu dengan duduk, maka shalat dengan berbaring dan cukup berisyarat ketika
ruku’ dan sujud.
b) Bidang Muamalah
Terdapat pada jual beli online. Dahulu sebelum adanya internet, kegiatan
jual beli dapat dilakukan dengan adanya pertemuan pelaku ekonomi secara
langsung. Konsumen yang ingin membeli suatu barang dapat mendatangi toko
untuk melihat kondisi fisik dari barang yang akan dibeli. Begitu juga dengan proses
transaksi yang dilakukan dengan kontak secara fisik atau bahkan dengan cara tawar
menawar diantara kedua belah pihak, penjual dan pembeli. Akan tetapi dengan
adanya internet menciptakan perubahan dalam dunia dagang menjadi lebih mudah
dan modern. Pelaku ekonomi tidak harus bertatap muka secara langsung untuk
dapat melakukan transaksi. Mereka hanya perlu melakukan kesepakatan diantara

8
kedua belah pihak dan barang akan tiba di lokasi pembeli tanpa harus bersusah
payah mendatangi toko lagi. Karena hal ini merupakan salah satu asas yang harus
ada dalam muamalah yakni saling rela (antaradhin).
c) Bidang Siyasah
Transparansi dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, hal ini
tentunya sangat rumit bagi panitia penyelenggara mulai tahap persiapan hingga
pengumuman ditetapkannya seorang kepala daerah terpilih. Namun di sisi lain
masyarakat akan mengetahui proses tersebut mulai awal hingga akhir dengan
harapan tidak adanya kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah yang
sedang berlangsung.
d) Bidang Jinayah
Jika seseorang melakukan pembunuhan dengan tanpa kesengajaan, maka
karib kerabat orang yang melakukan pembunuhan tersebut menanggung
pembayaran diyat (denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban). Hal ini
dikarenakan pelaku pembunuhan tersebut tidak sengaja melakukan pembunuhan,
sehingga ia mempunyai udzur. Maka, merupakan hal yang layak jika karib kerabat
si pembunuh tersebut menanggung pembayaran diyat tersebut tanpa memberatkan
mereka, yaitu dengan membagi diyat tersebut sesuai kadar kekayaan masing-
masing, dan pembayaran tersebut diberi tenggang waktu selama tiga tahun.

5.1. PENGERTIAN KAIDAH KEEMPAT (AD – DHARARU YUZALU)


Arti dari kaidah Ad – Dhararu Yuzalu adalah kemudharatan/kesulitan (harus)
dihilangkan. Jadi, konsepsi kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus
dijauhkan dari Idhrar (tindak menyakiti), baik oleh dirinya maupun orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain. Namun, Dharar
(kemudharatan) secara etimologi berasal dari kalimat “Ad – Dharar” yang berarti sesuatu
yang turun tanpa ada yang dapat menahannya.
Menurut Syaikh Muhammad Zarqa’ makna dari kaidah ini adalah;
“Maksudnya wajib menghilangkan kemudharatan. Karena suatu kalimat dalam
metode Khabar bagi fuqaha’ menunjukkan perintah kewajiban. Kemudian kewajiban
selanjutnya adalah menjaga diri agar tidak terkena kepada kemudharatan.”

9
Zakariya Ibn Ghulam juga menjelaskan makna kaidah dengan ungkapannya:
“Makna hadis bahwa Dharar adalah membuat kemudharatan kepada orang lain
dengan tujuan mendatangkan manfaat untuk dirinya, sedangkan Dhirar adalah membuat
kemudharatan kepada orang lain dengan tanpa ada manfaat yang kembali kepadanya.
Seperti menolak sesuatu yang tidak membahayakannya lalu mencelakai orang lain.”
Sebagian ulama menafsirkan untuk tidak boleh memudharatkan orang lain baik
kemudharatan itu sebagai Tindakan yang pertama ataupun sebagai balasan kepada orang
lain. Ada yang berpendapat bahwa Dharar adalah memudharatkan orang yang telah
memudharatkan kita, sedangkan Dhirar adalah memudharatkan orang lain tanpa ada
perlawanan yang berbanding dan tanpa ada pertolongan dengan kebenaran. Kemudharatan
itu kembali kepada 2 unsur:
1. Menghilangkan kemaslahatan
2. Menghasilkan kerusakan dengan cara apapun

Maksudnya, apabila di peroleh kerusakan pada orang atau pada umat muslim, maka
kemudharatan itu hanya karena menghasilkan kerusakan dengan cara apapun atau dengan
cara menghilangkan kemaslahatan. Maka makna kaidah ini sebenarnya adalah diharamkan
mendatangkan segala bentuk kemudharatan kecuali ada dalil yang membolehkannya.
Kalimat La Dharar itu merupakan kalimat dengan kata nakirah yang terletak dikalimat
pasif atau kalimat larangan, maka maknanya adalah umum. Jadi, makna dari hadis Nabi
adalah tidak boleh membuat atau menyertakan mudharat dalam segala bentuk dan
variasinya. Maka hukum keharaman memudharatkan itu merupakan hukum yang mutlak,
baik mudharatnya itu yang umum ataupun yang khusus sehingga apabila kemudharatan itu
sudah terjadi harus diangkat, dan apabila akan terjadi maka harus ditolak.

Disyariatkannya khiyar kepada pembeli yang terkena Gharar Qauli (kebohongan


dengan lisan saat bertransaksi). Orang yang dibohongi dipersilakan memilih untuk
meneruskan taransaksi atau menghentikannya. Setiap orang diwajibkan untuk membuat
tindakan preventif agar tidak terkena penyakit dan bagi yang terkena penyakit diwajibkan
untuk berobat. Diwajibkan membunuh hewan yang membuat kemudharatan, dan
disyariatkan menerima hukuman bagi orang yang melakukan kejahatan jinayat.

10
6.1. DASAR HUKUM KAIDAH
Berikut merupakan ayat – ayat Al – Qur’an dan hadits – hadits yang menjadi dasar
hukum kaidah ini, diantaranya ialah;
a) Al – Qur’an
۟ ‫ارا ِلتَ ْعتَد‬
‫ُوا‬ ِ ‫َو ََّل ت ُ ْم ِس ُكو ُه َّن‬
ً ‫ض َر‬
Artinya: “Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kamu menganiaya mereka” (QS. Al – Baqarah:

‫ضا ٓ َّر ٰ َو ِلدَ ٌۢة ٌ ِب َولَ ِدهَا َو ََّل َم ْولُودٌ لَّ ۥهُ ِب َولَ ِد ِهۦ‬
َ ُ ‫ََّل ت‬
Artinya: “Janganlah dimudharatkan seorang ibu karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya” (QS. Al – Baqarah: 233)

َ ‫َل ِإثْ َم‬


‫علَ ْي ِه‬ ٓ َ َ‫عا ٍد ف‬
َ ‫غي َْر بَاغٍ َو ََّل‬ ُ ‫ض‬
َ ‫ط َّر‬ ْ ‫فَ َم ِن ٱ‬
Artinya: “Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya” (QS. Al – Baqarah: 173)

‫ضا ٓ ٍر‬ َ ‫ص ٰى ِب َها ٓ أَ ْو دَي ٍْن‬


َ ‫غي َْر ُم‬ ِ ‫ِم ٌۢن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة يُو‬
Artinya: “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar
hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris)” (QS. An – Nisa’:
12)

َ‫َوٱ َّّللُ ََّل يُ ِحبُّ ٱ ْل ُم ْف ِسدِين‬


Artinya: “Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan” (QS.
Al - Ma’idah: 64)

َ ‫ض ُّر ُكم َّمن‬


‫ض َّل ِإذَا ٱ ْهتَدَ ْيت ُ ْم‬ ُ ‫ا َي‬
Artinya: “Tidaklah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu
apabila kamu telah mendapat petunjuk” (QS. Al - Ma’idah: 105).

11
b) Hadits
a. “Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan, barang siapa yang
memudaratkan maka Allah akan memudaratkannya dan siapa saja yang
menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya.” (HR. Imam Malik).
b. “Barang siapa yang memudaratkan (orang lain) maka Allah akan
memudaratkannya dan barang siapa yang menyusahkan (orang lain),
maka Allah akan menyusahkannya.” (HR. Bukh ari Muslim).
c. “Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan
hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi).
d. “Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya, dan
kehormatan, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik.”
(HR. Muslim).
e. “Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamusemua, dan
kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua.” (HR.
Muslim).

7.1. KAIDAH – KAIDAH TURUNAN


a) Kaidah Kemudharatan Memperboleh Hal yang Dilarang
Maksud dari kaidah ini merupakan ketika orang yang sedang dalam keadaan
mudharat yang akan meninggal apabila tidak makan, sementara makanan yang ada
hanyalah makanan yang haram, maka boleh memakan makanan yang haram.
Sebagian ulama ada yang menambahkan syarat dalam kasus ini, yaitu hendaknya
yang dimakan adalah makanan yang dapat mengurangi kemudharatannya, bukan
makanan yang semakin menambah kerusakan pada organ tubuhnya seperti
memakan bangkai manusia. apabila yang dimakan itu adalah hak orang lain, maka
bila nanti setelah sembuh dari keadaan sempit itu ia harus membayarnya kepada
orang yang ia ambil makanannya.
Maksud lainnya merupakan Siapa yang tidak dapat membela dirinya
kecuali dengan mencelakai orang lain, maka boleh dilakukan. Diperbolehkan
mengambil uang orang yang tidak mau membayar hutang walaupun tanpa izinya,

12
dengan tujuan agar hutangnya terbayar. Kaidah ini diperkuat dengan Dhabit yang
mengatakan;
“tidak ada kewajiban dalam situasi lemah (tidak mampu) dan tidak ada
keharaman dalam situasi dharurat”

b) Hukum yang Dibolehkan Karena Dharurat Diukur Menurut Kadarnya


Fungsi Kaidah ini adalah sebagai suatu peringatan. yaitu bahwa semua yang
diperbolehkan karena dalam keadaan sempit memiliki ukuran. Maka seseorang
yang diperbolehkan untuk mengkonsumsi atau mengambil yang haram, ia tidak
boleh berlebihan dalam mengambilnya dan tidak boleh melebihi batas yang telah
ditentukan syariat, yang diperbolehkan hanyalah sampai batas yang apabila telah
diambil akan hilanglah kemudharatan yang selama ini menimpanya.
Contoh nya seperti orang yang tersesat di hutan dan kehilangan bahan
pangan. Maka ia boleh memakan makanan yang haram itu hanya sekedar mampu
bernafas dan beberapa suap saja. Tidak boleh berlebih - lebihan atau sampai
menjadikan makanan yang haram itu seperti makanan favoritnya.

c) Kaidah Kemudharatan Tidak Boleh Dihilangkan dengan Kemudharatan


Maksud nya adalah tidak boleh bagi siapapun menolak banjir dari
tempatnya dengan membuat banjir ditempat tinggal orang, seperti membersihkan
sampah dari rumahnya lalu membuang sampah itu ke tempat tinggal orang lain.
Tidak boleh menjaga hartanya dengan merusak harta milik orang lain, dan tidak
boleh bagi orang yang dalam keadaan sulit memakan makanan yang akan
membahayakan dirinya.

d) Kaidah Mengemban Kemudharatan yang Khusus untuk Menolak Kemudharatan


yang Umum
Maksudnya seperti, seorang pembunuh harus dihukum mati untuk
menjamin keselamatan orang lain. Diperbolehkannya merobohkan dinding yang
sudah miring dan condong agar tidak jatuh ke jalan raya sehingga menghambat
perjalanan orang. Orang yang payah bayar hutang diperbolehkan menjual hartanya

13
secara paksa dengan tujuan untuk membayar hutangnya. Diperbolehkan menjual
makanan pokok yang disimpan oleh penimbun barang apabila ia menimbunnya
dengan cara ihtikar sedangkan orang-orang sedang sangat membutuhkannya.

e) Kaidah Kemudharatan yang Berat Dihapuskan dengan yang Ringan


Bila ada seseorang kena penyakit yang apabila ia sujud akan keluar
darahnya, maka cukuplah baginya hanya tunduk sebagai pengganti sujud. Karena
meninggalkan sujud lebih ringan daripada shalat dalam keadaan bercampur
dengan hadas (yang disebabkan keluar darah dari badannya), dan karena
meninggalkan sujud lebih utama dari pada shalat di tempat yang bernajis
(disebabkan darah yang keluar).
Contoh lainnya, apabila kapal oleng disebabkan karena banyaknya barang
berat yang melebihi kapasitas muatan kapal, sehingga kapal dipastikan berpotensi
tenggelam, maka bagi crew kapal boleh membuang sebagian benda berat dari
dalam kapal (secukupnya, dengan ukuran sampai kapal tidak oleng lagi).
Selanjutnya pihak managemen yang akan bertanggung jawab dan
membicarakannya dengan pemilik benda berat tersebut.

8.1. PENERAPAN KAIDAH AD – DHARARU YUDZALU


Terdapat 4 bidang dalam menerapkan kaidah keempat, yaitu;
a) Bidang Ubudiyah
Seseorang dibolehkan bertayammum jika tidak mungkin menggunakan air,
karena sakit atau kedinginan yang dapat membinasakan jiwa. Selama itu ia boleh
bertayammum. Bila telah memungkinkan memakai air, maka tayammumnya batal
sebab dhararnya telah hilang.
b) Bidang Muamalah
Seseorang dilarang menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat
pada saat murah dan menjualnya ketika barang-barang tersebut harganya mahal.
Dampak dari hal tersebut membuat barang-barang kebutuhan pokok menjadi
langka dan akan terjadi kenaikan harga dimana - mana sehingga seseorang dengan

14
tingkat ekonomi menengah ke bawah tidak mampu untuk menjangkau. Hal ini
dilarang karena dapat menyebabkan kemudharatan bagi masyarakat.
c) Bidang Siyasah
Korupsi di suatu negara. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik, baik
politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dalam
memperkaya diri dengan menyalahgunakan wewenang yang telah dipercayakan
oleh rakyat kepada mereka sebagai wakil rakyat tentu akan berdampak pada
berbagai sektor kehidupan dan keberlangsungan suatu negara. Sebagai contoh
dalam bidang hukum, sistem hukum tidak lagi berdasarkan pada prinsip-prinsip
keadilan hukum serta hilangnya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, pembangunan dan sumber-sumber ekonomi dikuasai
orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan serta hilangnya nilai moralitas
dalam kegiatan usaha yang merugikan pengusaha menengah dan kecil. Oleh
karena itu dampak dari korupsi ini dapat menyebabkan berbagai kemudharatan
yang harus dihilangkan dengan berbagai macam cara pemberantasan korupsi.
d) Bidang Jinayah
Adanya larangan membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang
tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk
menghilangkan kemudharatan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abu Anas Darsitun, M. (2019). KAIDAH FIKIH ISTIMEWA. In M. Abu Anas Darsitun,
KAIDAH FIKIH ISTIMEWA. Purwokerto: Sakinah Publishing.
DR. H. Mif Rohim, M. (2019). Buku Ajar QAWA'ID FIQHIYYAH. In M. DR. H. Mif Rohim,
Buku Ajar QAWA'ID FIQHIYYAH. Jawa Timur: LPPM UNHASY TEBUIRENG
JOMBANG.
Dr. Muhammad Yafiz, M. A. (2022). Kaidah Fiqhiyah Dalam Ekonomi dan Bisnis Islam. In L.
M. M. Iqbal, Kaidah Fiqhiyah Dalam Ekonomi dan Bisnis Islam. Medan, Sumatera
Utara: FEBI UIN - SU Press.
Studocu. (n.d.). Retrieved from studocu.com: https://www.studocu.com/id/document/universitas-
islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta/qawaid-fiqhiyah/qawaid-fiqhiyyah-2-kaidah-
kulliyyah-kubro-ketiga-al-masyaqqah-tajlib-at-taysir/43333824
Studocu. (n.d.). Retrieved from studocu.com: https://www.studocu.com/id/document/universitas-
papua/media-pembelajaran/kaidah-kuliyyah-kubro-keempat-ad-dhararu-
yudzalu/48967136
Tafsir Web. (2018). Retrieved from tafsirweb.com: https://tafsirweb.com/
Zulhamdi. (2021). AL MASYAQQAH TAJLIBUT TAYSIR. AL MASYAQQAH TAJLIBUT
TAYSIR.

16

Anda mungkin juga menyukai