Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

“KAIDAH KULLIYYAH KUBRO KETIGA,


AL-MASYAQQAH TAJLIBUT TASYSIR”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kaidah Fiqhiyah Dengan Dosen Pengampuh
Bapak Mabrur Syah,S.Pd.I,S.IPI.MHI

Disusun Oleh:
Kurniawan Saputra (23701004)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP
2023

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur diucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah ini dan dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa saya
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya , tentunya tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dri berbagai pihak. Sebagai penyusun kami menyadari banyak
kekurangan dan kesalahan dalam penulisan ataupun penyusunannya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Curup, 31 Oktober 2023

Penyusun

i
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Qawa’id fiqhiyyah al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir merupakan landasan umum dalam
pemikiran dan perilaku sosial masyarakat yang memberikan panduan bagi segenap masyarakat
dan bangsa di Indonesia khususnya di Era Revolusi Industri 4.0 seperti sekarang ini, untuk
melakukan berbagai interaksi dengan sesamanya. Panduan yang diberikan menyangkut beberapa
aspek kehidupan semisal aspek hukum, ekonomi, sosial, politik dan kenegaraan, serta budaya
sampai pada masalah perilaku manusia jika dibenturkan dengan ekonomi syariah dengan
memahami kaidah-kaidah yang terkandung didalamnya. Penelitian ini memfokuskan pada kajian
qawa’id Fiqhiyah al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir yang bermakna Kesulitan akan Melahirkan
Kemudahan, serta implikasinya dalam pemikiran serta perilaku ekonomi dalam masyarakat di
Era sekarang.

B.Rumusan Masalah
1. Apa itu al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir?
2. Bagaimana objek al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir dalam kehidupan sehari-hari
3. Bagaimana Bentuk-bentuk nya?
4. Apa saja bentuk pembagian al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir

C.Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir
2. Untuk mengetahui objek dari al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir
3. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir
4. Untuk mengetahui bentuk pembagian al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir

1
BAB II

PEMBAHASAN
A.Pengertian al-Masyaqqāh Tajlib al-Taysir

‫اﻠﻤﺸﻘﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺍﻠﺘﯿﺴﯾﺮ‬

“ Kesulitan mendatangkan kemudahan”

Al-Masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan,


kepayahan, kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7 yang artinya:

“Dan ia memikul beban-bebanmu kesuatu negeri yang tidak sampai ketempat tersebut kecuali
dengan kelelahan diri (kesukaran)”. 1

Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari disebutkan oleh :

“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan
mudah” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)2

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan.


Maksudnya adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga
mukkallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran.

1
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55
2
Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129

2
B. Klasifikasi Kesulitan

a.Kesulitan Mu’tadah

Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Karena itu Ibnu Abdus Salam
mengatakan bahwa kesulitan semacam ini tidak mengugurkan ibadah dan ketaatan juga tidak
meringankan, karena hal itu diberi keringanan berarti akan mengurangi kemaslahatan syariah itu
sendiri. Sedang Ibnu Qayyim menyatakan bahwa bila kesulitan berkaitan dengan kepayahan,
maka kemaslahatan dunia akhiran dapat mengikuti kadar kepayahan itu (Wahbah az-Zuhaili,
1982: 196-197).3

b.Kesulitan Qhairu Mu’tadah

Kesulitan Qhairu Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana manusia
tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika dia melakukannya niscaya akan merusak diri
dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan itu dapat diukur oleh kriteria akal sehat,
syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya. Kesulitan ini diperbolehkan menggunakan
dispensasi (rukhshah). Seperti wanita yang selalu istihadlah, maka wudhunya cukup untuk shalat
wajib serta untuk shalat sunah yang lainnya tidak diwajibkan, dan diperbolehkan shalat khauf
bagi mereka yang sedang berperang, dan sebagainya. Wahbah az-Zuhaili, 1982: 199-200).4

C. Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah

3
Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 126

4
Ibid, hal 127

3
Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :

1. al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat), seperti kekhawatiran yang


akan hilangnya jiwa dan/atau rusaknya anggota badan. Hilangnya jiwa dan /atau anggota
badan mengakibatkan kita tidak bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna. Masyaqqah
semacam ini membawa keringanan.
2. al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga
sangat tidak ringan). Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat
kepada masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat
kepada masyaqqah yang ringan, maka tidak ada kemudahan disitu. Inilah yang penulis
maksud bahwa mayaqqah itu bersifat individual.
3. al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa,
terasa capek waktu tawaf dan sai, terasa pening waktu rukuk dan sujud, dan lain
sebagainya. Masyaqqah semacam ini dapat ditanggulangi dengan mudah yaitu dengan
cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan dunia dan akhirat yang
tercermin dalam ibadah tadi lebih utama daripada masyaqqah yang ringan ini5.

D. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan

Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-


sebab yang menyebabkan kesulitan :

1. Karena safar (bepergian)

Misalnya boleh mengqashar shalat, boleh berbuka puasa, meninggalkan salat jum’at.

2. Keadaan sakit

Misalnya boleh tayamum ketika sulit memakai air, shalat fardu sambil duduk, berbuka
puasa bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had
sampai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.

5
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 57-58

4
3. Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang
dilakukan dalam keadaan terpaksa maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai,
sewa menyewa, karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau
menghancurkan barang orang lain karena dipaksa.
4. Lupa (al nisyam)

Misalnya seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa mengerjakan shalat
lalu teringat dan melakukannya diluar waktunya, lupa berbicara diwaktu shalat padahal belum
melakukan salam.

Sabda Nabi SAW:

(Diangkat pena dari penulis dosa pada ummatku ketika salah, lupa dan terpaksa). (HR. Baihaqic
dari Ibnu Umar)

5. Karena Jahl (Bodoh)

Misalnya memakan bangkai tetapi tidak mengerti bahwa bangkai itu diharamkan. Termasuk
juga tergolong orang yang idiot.

6. Karena Usrun dan Umumul Balwa (Kesulitan)

Misalnya dibolehkan istinja’ dengan batu, kebaikan memakai sutra bagi laki-laki yang
sakit, jual beli dengan akad salam, adanya khiar dalam jual beli dan shalat dengan najis yang
sulit untuk dihilangkan.

7. Karena Naqsh (Kekurangan)

Misalnya wanita kadang-kadang haid dalam setiap bulannya maka diperingankan untuk
tidak mengikuti jumat, karena jumat membutuhkan waktu lama dan dikhawatirkan dalam kondisi
jumat itu datang bulan. ( as- Suyuthi, TT : 56-57).

E. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan

5
Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu :

1. Takhfif isqath/rukhsah isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan seperti tidak
shalat bagi wanita yang sedang menstruasi atau nifas. Tidak wajib haji bagi yang tidak
mampu (Istitha’ah).

2. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan, seperti shalat Qashar dua rakaat
yang asalnya empat rakaat.

3. Takhfif abdal, yaitu peringanan yang berupa penggantian, sepertu wudhu dan/atau mandi
wajib diganti tayamum, atau berdiri waktu shalat wajib digant dengan duduk karena sakit.

4. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan, seperti jama’taqdim di


Arafah; mendahulukan mengeluarkan zakat sebelum haul (batas waktu satu tahun);
mendahulukan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan; jama’taqdim bagi yang
sedang bepergian yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.

5. Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan, seperti shalat jama’ takhir di
Muzdalifah, qadha saum Ramadhan bagi yang sakit, jama’ ta’khir bagi orang yang
sedang dalam perjalanan yang menimbulkan masyaqqah dalam perjalanannya.

6. Takhfif tarkhis, yaitu keringanan karena rukhsah, seperti makan dan minum yang
diharamkan dalam keadaan terpaksa, sebab bila tidak, bisa membawa kematian.

7. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang dilakukan, seperti
shalat pada waktu khauf (kekhawatiran), misalnya pada waktu perang.6

F. Kaidah-Kaidah Yang Berkaitan Dengan Kondisi Menyulitkan

a. Kaidah pertama :

“apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara
itu luas maka hukumnya menjadi sempit.”

Kaidah itu dikumandangkan oleh Imam Syafi’I, kemudian diteruskan oleh Al-Ghazali
dengan redaksi yang berbeda :

“ semua yang melampaui batas, maka (hukumnya) berbalik kepada kebalikannya”.


6
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 58

6
Misalnya boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan ketika sakit atau bepergian jauh.
Sakit dan bepergian jauh merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu
kebolehan berbuka. Akan tetapi, bila orang sakit itu sembuh kembali, maka hukumnya wajib
melakukan puasa itu kembali.

b. Kaidah kedua :

“ Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”

Misalnya tayamum sebagai pengganti wudhu. Orang yang meminjam suatu benda,
kemudian benda itu hilang (misalnya, buku), maka penggantinya buku yang sama baik judul,
penerbit, maupun cetakannya, atau diganti dengan harga buku tersebut dengan harga dipasaran.

c. Kaidah ketiga

‫ﻤﺎ ﻻ ﻴﻤﻜﻦ ﺍﻠﺘﺤﺮﺯ ﻤﻨﻪ ﻤﻌﻔﻭ ﻋﻧﻪ‬

“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”

Misalnya pada waktu sedang berpuasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin
terhindar dari rasa air dimulut atau masih ada sisa-sisa.

d. Kaidah keempat

‫ﺍﻠﺮﺧﺹ ﻻ ﺘﻨﺎﻄ ﺑﺎﻠﻤﻌﺼﻰ‬

“ Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”

Kaidah ini digunakan untuk menjaga agar keringanan-keringanan didalam hukum tidak
disalahgunakan untuk melakukan maksiat. Misalnya orang yang bepergian untuk berjudi
kehabisan uang atau kelaparan kemudian ia makan daging babi. Maka dia tidak dipandang
sebagai orang yang menggunakan rukhsah, tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi

7
tersebut. Lain halnya dengan orang yang bepergian dengan tujuan yang dibolehkan seperti untuk
usaha yang halal, kemudian kehabisan uang dan kelaparan, serta tidak ada makanan kecuali yang
diharamkan, maka memakannya dibolehkan.

e. Kaidah kelima

‫ﺇﺬﺍ ﺘﻌﺫﺭﺖﺍﻠﺤﻘﻴﻘﺔ ﻴﺻﺎﺮ ﺇﻠﻰ ﺍﻟﻤﺠﺎﺯ‬

“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata tersebut
berpindah artinya kepada arti kiasannya”

Misalnya seseorang berkata: “Saya wakafkan tanah saya ini kepada anak Kyai Ahmad”.
Padahal semua tau bahwa anak kyai tersebut sudah lama meninggal, yang ada hanyalah cucunya,
yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab tidak mungkin mewakafkan kepada orang
yang sudah meninggal dunia.

f. Kaidah keenam

‫ﺇﺬﺍ ﺗﻌﺬﺭ ﺇﻋﻤﺎﻞ ﺍﻟﻜﻼﻡ ﻴﻬﻤﻞ‬

“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”

Misalnya seseorang menuntut warisan dan mengaku bahwa dia adalah anak dari orang
yang meninggal, kemudian setelah diteliti, dia lebih tua dari pada orang telah meninggal yang
diakuinya sebagai ayahnya. Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui
perkataannya.

g. Kaidah ketujuh

‫ﻴﻐﺘﻔﺭ ﻔﻲ ﺍﻟﺪﻮﺍﻡ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻹﺒﺘﺪﺍﺀ‬

“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya”

Misalnya orang yang menyewa rumah yang diharuskan membayar uang muka oleh
pemilik rumah. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia ingin memperbarui dalam
arti melanjutkan sewaannya, maka ia tidak perlu membayar uang muka lagi.

8
h. Kaidah kedelapan

‫ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻹﺑﺘﺪﺍﺀ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻟﺪﻭﺍﻡ‬

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”

Misalnya seseorang yang baru masuk Islam minum minuman keras karena kebiasaannya
sebelum masuk Islam dan tidak tau bahwa minuman semacam itu dilarang (haram). Maka orang
tersebut dimaafkan untuk permulaannya karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia tau
bahwa perbuatan tersebut adalah haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.

i. Kaidah kesembilan

‫ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﺍﻟﺘﻭﺍﺑﻊ ﻤﺎ ﻻ ﻴﻐﺘﻔﺮ ﻔﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ‬

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”

Misalnya penjual boleh menjual kembali karung bekas tempat beras, karena karung
mengikuti kepada beras yang dijual. Demikian juga boleh mewakafkan kebun yang sudah rusak
tanamannya karena tanaman mengikuti tanah yang diwakafkan.7

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Al-Masyaqqah menurut ahli bahasa (etimologis) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan,


kepayahan, kesulitan, dan kesukaran.

7
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 59-65

9
Sedang Al Taysir secara etimologis berarti kemudahan.

Jadi makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalah bahwa hukum-hukum yang dalam penarapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran
bagi mukkallaf (subjek hukum), sehingga syariah meringankannya sehingga mukkallaf mampu
melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. Klasifikasi Kesulitan

1. Kesulitan Mu’tadah

1. Kesulitan Qhairu Mu’tadah

2. Tingkatan Kesulitan Dalam Ibadah

Para ulama membagi masyaqqah ini menjadi tiga bagian :

1. al-Masyaqqah al-‘Azhimmah ( kesulitan yang sangat berat),

2. al-Masyaqqah al-mutawasithah (kesulitan yang pertengahan, tidak sangat berat juga


sangat tidak ringan),

3. al-Masyaqqah al-Khafifah ( kesulitan yang ringan).

4. Sebab-Sebab Adanya Kesulitan

Abdurrahman as Suyuti dalam al Asyba’ wan Nadhoirnya menyebutkan 7 macam sebab-


sebab yang menyebutkan kesulitan :

Karena safar (bepergian), Keadaan sakit, Keadaan terpaksa yang membahayakan kepada
kelangsungan hidupnya, Lupa (al nisyam), Karena Jahl (Bodoh), Karena, Usrun dan Umumul
Balwa (Kesulitan), Karena Naqsh (Kekurangan).

D. Bentuk-Bentuk Keringanan Dalam Kesulitan

Keringanan atau kemudahan karena adanya masyaqqah setidaknya ada tujuh macam, yaitu :

10
Takhfif isqath/rukhsah isqath, Takhfif tanqish, Takhfif abdal, Takhfif taqdim, Takhfif ta’khir,
Takhfif tarkhis, Takhfif taghyir,

DAFTAR PUSTAKA

Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 55


Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I,
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 129

Al Burnu, Muhammad Shiddiq bin Ahmad, al-Wajiz fi Idhah, al-Qawai’id al Fiqhiyah, cet I,
(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1404 H/1983 M), hal. 126

Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 58

11
Prof. H. A. Djazuli. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta:Kencana, 2006. hal 59-65

12

Anda mungkin juga menyukai