diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah Asuhan Keperawatan Spiritual
Muslim II
dosen pengampu Ns. Inggriane Puspita Dewi., S.Kep., M.Kep.
Disusun oleh:
Kelompok 2
Aini Rachmawati (302017003)
Anggun Meisya Permatasari (302017005)
Asep Agung Gumelar (302017014)
Denurta Nuzul Romadhona (302017019)
Khoirunnisa Oktaviani Syarif (032016042)
Lulu Lutfiah (302017043)
Puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan
sayangnya kepada kita semua khususnya kepada penyusun serta selalu memberikan
hidayah dan inayahnya sehingga penulis dapat membuat makalah ini dengan penuh
suka cita dan dapat mengumpulkan makalah ini tepat pada waktunya. Sholawat
serta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada nabi besar kita, nabi
Muhammad SAW.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Asuhan
Keperawatan Spiritual Muslim II. Dalam penyusunannya pun kami mendapatkan
bantuan dari dosen mata kuliah yang bersangkutan, dari teman-teman dan dari
referensi buku serta artikel media massa.
Penyusunan makalah ini belum mencapai kata sempurna, sehingga kami
dengan lapang dada menerima kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun sehingga di kemudian hari kami dapat membuat makalah jauh lebih
baik dari makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan
pembaca serta menjadi inspirasi bagi pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi, semua bentuk ibadah yang disyareatkan oleh Allah
bagi seluruh umat manusia niscaya memiliki manfaat yang sangat besar bagi
manusia. Ibadah yang dilakukan dengan khusyuk, selain akan dibalas dengan
pahala kebaikan diakhirat, juga akan berpengaruh positif terhadap kehidupan
manusia di dunia. Suatu ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dan khusyuk akan
berdampak positif pada kesehatan jiwa dan kesucian hati. Sementara, kesucian
hati merupakan factor yang sangat penting untuk meraih keselamatan di dunia
dan akhirat. Untuk tujuan itu Allah mensyareatkan umatnya untuk beritikaf,
karena di dalam beritikaf seseorang memfokuskan diri beribadah kepada Allah
dengan memperbanyak membaca Al-Quran, dzikir, istighfar, shalawat, shalat
sunat, doa, dan berbagai amal ketaatan kepada Allah.
Ditengah perkembangan ilmu dunia kesehatan saat ini pun, ternyata
beberapa peneliti menunjukkan bahwa methode itikaf yang diajarkan dalam
islam yang serupa dengan metode terapi isolasi atau meditasi ternyata sangat
besar manfaatnya bagi kesehatan terutama untuk menyembuhkan berbagai
gangguan kejiwaan. Itu karena itikaf meliputi berbagai aktivitas dan perilaku,
termasuk perenungan dan pemusatan pikiran. Hal ini penting untuk
menciptakan ketenagan dan kedamaian jiwa sehingga kita terbebas dari
berbagai masalah kejiwaan.
Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar gangguan kejiwaan disebabkan
oleh tekanan kejiwaan ketika manusia tak dapat menyikapi berbagai persoalan
hidup dengan sikap yang baik dan matang. Itikaf memberi kesempatan kepada
kita untuk berpaling sejenak dari segala persoalan dan kesibukan dunia
sehingga kita bisa kembali menata pikiran dan perasaan agar tetap terkendali
dan berfungsi dengan wajar. (Elzaky, 2011)
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi pertanyaan-pertanyaan dalam
makalah ini adalah sebagai berikut :
1
2
C. Tujuan
Adapun tujuan-tujuan dari pembuatan makalah ini. Yaitu ada tujuan umum
da tujuan khusus pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah agar pembaca
mengetahui aspek kesehatan dalam beritikaf
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui drfinisi I’tikaf
b. Untuk mengetahui hukum I’tikaf
c. Untuk mengetahui faedah I’tikaf
d. Untuk mengetahui I’tikaf dari sudut pandang kesehatan
e. Untuk mengetahui bagaimana keistimewaan dalam beri’tikaf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Itikaf
Secara harfiah, kata iktikaf (i’tikaf) berasal dari kata ‘akafa, yang berarti
menahan atau menghalangi. Misalnya terdapat pada firman Allah SWT:
“Merekalah orang kafir yang menghalangimu memasuki Masjidil Haram dan
menghalangi (ma’kufa) hewan kurban sampai ke tempat (penyembelihan)-
nya.” (QS. Al-Fath:25).
Pengertian lainnya adalah menetapi atau berdiam, seperti yang terungkap
dalam firman Allah SWT:”(tetapi) janganlah kalian mencampuri mereka
sedangkan kalian sedang menetap di dalam masjid). (QS. Al-Baqarah:187).
Juga dalam firman-Nya: “(ingatlah) ketika ibrahim berkata kepada bapaknya
dan kaumnya: ‘patung-patung apakah ini yang kalian tekun (akifun) beribadah
kepadanya?” (QS. Al-Anbiya:52). Dan dalam firman-Nya: “dan ingatlah
tuhanmu itu yang kamu tetap menyembahnya (akifa). (QS. Thaha:97).
Dalam pengertian syariat, iktikaf berarti menetap atau diam di dalam masjid
untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT baik dengan berdzikir, shalat,
membaca Al-Quran, atau pun ibadah lain. Iktikaf memiliki keistimewaan dan
hikmah yang luar biasa. Diantaranya, iktikaf akan memperbaiki dan
membersihkan hati agar senantiasa istikamah berjlan di jalan Allah. Iktikaf
dilakukan dengan menghadapkan diri kita kepada Allah serta meninggalkan
berbagai perbuatan atau aktivitas mubah sekaligus mengeratkan hebungan
antara hamba dan Allah dengan hati yang sibuk mengingat-Nya serta
mengharap keridhaan-Nya. Seperti di dalam Al-Quran:
Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat
berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian
maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada
Ibrahim dan Ismali,”Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang yang
melaksanakan tawaf, iktikaf(al-kafina), serta yang rukuk dan sujud.” (QS>
Al-Baqarah:125).
3
4
B. Hukum Iktikaf
Ada 3 persoalan utama mengenai hukum iktikaf yaitu hukum iktikaf bagi
laki-laki, hukum iktikaf bagi perempuan, dan hukum iktikaf diluar bulan
Ramadhan serta diluar 10 hari terakhir bulan Ramadhan.
1. Dalil iktikaf yang bersifat umum tidak membedakan antara laki-laki dan
perempuan.
2. Firman Allah yang menceritakan Siti Maryam: “maka ia (Maryam)
membuat tabir (penghalang) dari mereka,” (QS. Maryam:17) dan
firman Allah: “setiap kali Zakaria masuk ke mihrab untuk menemui
Maryam, ia dapati makanan di sisinya,” (QS. Ali ‘Imran:37). Kedua
ayat Al-Quran itu mengungkapkan bahwa kaum perempuan juga
beriktikaf di masjid. Umat terdahulu melakukannya dan tidak ada dalil
syariat yang menentangnya.
3. Hadis riwayat Aisyah r.a. yang menyebutkan bahwa rasul memberikan
izin kepada dirinya dan Hafshah untuk beriktikaf bersama beliau. (H.R
Al-Bukhori)
4. Hadist riwayat Aisyah r.a yang menyatakan bahwa sebelumnya para
istri Nabi saw beriktikaf di masjid sedangkan mereka dalam keadaan
haid, kemudian Rasulullah saw menyuruh mereka keluar sampapi
bersuci.
Kemudian, berkaitan dengan hukum iktikaf di luar bulan Ramadan dan di
luar sepuluh hari terakhir Ramadan, para ulama berbeda pendapat, tetapi
kebanyakan berpendapat bahwa hukumnya Sunnah dengan alasan:
1. Keumuman dalil-dali iktikaf yang meliputi bulan Ramadan maupun
bulan-bulan yang lain.
5
2. Hadis riwayat Aisyah r.a yang menyatakan bahwa Rasulullah saw jika
ingin beriktikaf mandirikan shalat fajar kemudian memasuki tempat
iktikafnya. Beliau (pernah) meninggalkan iktikaf pada bulan Ramadan
dan menggantinya pada seepuluh hari terakhir bulan syawal. Hadis ini
menunjukkan bahwa iktikaf Sunnah dilakukan baik di bulan Ramadan
maupun di bulan lainnya.
3. Hadis riwayat Ibn Umar r.a ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw.,
“Dulu, pada zaman jahiliyah aku pernah bernazara untuk beriktikaf
semalam di Masjidil Haram, (apakah aku tetap harus melakukannya)?
Rasulullah saw. Menjawab, “penuhilah nazarmu”. Hadis ini
menunjukkan bahwa iktikaf boleh dilakukan di luar bulan Ramadan dan
di luar sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
4. Hadis riwayat Abu Hurairah r.a yang menyatakan bahwa Nabi saw,
selalu beriktikaf pada setiap bulan Ramadan selama sepuluh hari. Dan
pada tahu wafatnya, ia beriktikaf pada bulan Ramadan selama dua puluh
hari.”
C. Faedah Itikaf
Suatu ibadah yang dilakukan dengan ikhlas dan khusyuk akan berdampak
positif pada kesehatan jiwa dan kesucian hati. Sementara, kesucian hati
merupakan factor yang sangat penting untuk meraih keselamatan di dunia dan
akhirat, sebagamana terungkap dalam hadis Rasulullah Saw. “sesungguhnya
dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, baik pula seluruh
jasadnya dan jika ia buruk, buruk pula seluruh jasadnya. Segumpal daging itu
adalah hati”.
Untuk tujuan itu Allah mensyariatkan itikaf. Ketika seseorang beritikaf, ia
akan meninggalkan seluruh aktivitas duniawi untuk menyendiri di masjid dan
menghubungkan dirinya dengan Allah yang maha kuasa dengan tujuan untuk
memperbarui kekuatan jiwa, keyakinan, dan keimanan kepada Allah. Dan tentu
saja amal yang sangat baik itu menjadi lebih utama dan lebih baik lagi jika
dilakukan pada bulan yang penuh berkah, ketika sebagian besar umat muslim
menghabiskan waktu mereka untuk berzikir, beribadah, sholat, membaca Al-
Qur’an, dan lain-lain. Dengan demikian itikaf dimaksud untuk
6
menyambungkan diri kepada Allah akan menjadi lebih bermakna dan lebih
besar pengaruhnya terhadap jiwa, mengisi ruang-ruang hatinya dengan cahaya
iman sehingga ia tak lagi terperangkap dalam cinta kepada dunia dan segala
kenikmatannya.
Ibn al-Qayyim mengatakan bahwa orang yang beritikaf mengokohkan
hatinya dalam hubungan kepada Allah, menghimpun seluruh kesadaran untuk
mengingat Allah, mengosongkan hatinya hanya untuk Allah, dan menyepi dari
segala kesibukan serta urusan mahluk sehingga seluruh dirinya hanya
disibukkan untuk Allah. Dengan demikian ia merasa tenang jika kelak
dimatikan oleh Allah dan berada sendiri di dalam kubur.
Dalam beritikaf, selain mendawamkan zikir dan sholat, orang yang beritikaf
juga harus menahan diri dari berbagai hal yang mubah, seperti makan, minum,
berhubungan badan, dan juga mengobrol dengan orang lain, menahan diri dari
segala yang diperbolehkan merupakan salah satu pendisiplinan jiwa yang
sangat baik, sebab ia akan memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menahan
diri dari segala sesuatu yang terlarang dan diharamkan oleh syariat. Para
muktakif nantinya akan memiliki hati yang lembut, menghindari hawa nafsu,
melemahkan amarah dan syahwat, dan melepaskan dari belenggu kemalasan
dan kejumudan. Ketika hendak beritikaf, sebaiknya kita memperhatikan
beberapa hal berikut ini:
1. Sesungguhnya pergaulan atau interaksi social yang berlebihan akan
mengurangi perhatian seseorang kepada Allah sehingga ia tidak tertarik
untuk beribadah kepadanya
2. Kebanyakan bergaul dan bersosialisasi cenderung mendorong seseorang
lebih banyak becanda dan bersenda gurau sehingga mengabaikan
ketaatan dan ibadah kepada Allah serta mendorong mereka lebih banyak
berdusta atau melakukan dosa seperti bergosip dan membicarakan
keburukan orang lain
3. Itikaf kita jadikan kesempatan untuk meningkatkan ibadah kepada Allah
dan melatih keikhlasan kepada Allah
4. Orang yang terlalu banyak menghabiskan waktu bersama orang lain
tidak akan bisa menikmati lejatnya munajat kepada Allah dan
7
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti asal Australia menyatakan pada saat
mediatif terjadi perubahan gelombang otak yg setara dengan gelombang-
gelombang yang muncul dalam keadaan terjaga penuh.
Penelitian tersebut dilakukan kepada para rahib Budha di Tibet, menemukan
aktivitas otak yang menurun selama meditasi pada bagian otak yang
sebelumnya aktif. Sementara, bagian otak yang sebelumnya tenang berubah
menjadi aktif. Dr. Newberg para biarawan Budha di Tibet, yang diminta untuk
melakukan meditasi selama satu jam, selanjutnya dilakukan perekaman pada
arus gelombang otak pada saat meditasi tersebut. Kemudian, pada saat
mencapai keadaan meditative mereka diminta untuk menggerakkan tangan
seakan-akan menggambarkan sesuatu. Gerakan itu ternyata mengalirkan arus
listrik ke dalam aliran darah yang kemudian direspon oleh otak. Perubahan dan
pergerakan arus elektrik tersebutlah yang direkam.
Setelah meditasi, para rahib dilakukan perekaman Kembali untuk
dibandingkan dengan perubahan yang terjadi pada saat meditasi. Mereka
menemukan bahwa selama para rahib itu bermeditasi, terjadi peningkatan
aktivitas pada otak bagian depan, yaitu otak yang bekerja Ketika seseorang
berada dalam konsentrasi penuh menghadapi sesuatu pekerjaan atau persoalan.
Pada saat yang sama, terjadi penurunan aktivitas pada otak bagian belakang.
Otak belakang merupakan otak yang berfungsi sebagai pusat sensor atau pusat
resepsi, termasuk mengenali tempat atau situasi disekeliling kita. Hasil
penelitian itu meneguhkan asumsi para peneliti bahwa meditasi menurunkan
kepekaan seseorang terhadap ruang dan waktu. Dengan kata lain, orang yang
bermeditasi dan mencapai kondisi kensentratif cenderung tidak mengenali
tempat ia berada seakan-akan ia tak lagi dibatasi ruang dan waktu.
Karena itulah dalam istilah tasawuf, seorang sufi yang mencapai kondisi
mediatif atau khusyuk seakan-akan ia tenggelamdalam objek perenungannya,
bahkan ia lenyap dari dirinya sendiri. Mungkin sebeb itulah ia disebut fana atau
sirna. Ia seakan-akan telah menghilang dari realitas untuk menyatu dengan
realitas yang lebih luhur dan mulia. Kondisi seperti itu pulalah yang dialami
pleh pada salaf saleh Ketika mereka khusyuk mendirikan shalat mengahadap
kepada Allah. Mereka seakan-akan sirna dari dunia disekitarnya dan tak
10
merasakan apa pun yang terjadi sehingga diceritakan, ada sahabat yang
meminta sahabat lainnya agar mencabut panah yang menancap pada tubuhnya
Ketika ia mengerjakan shalat. Bagi orang-orang yang telah mencapai tingkat
ketenangan seperti itu sungguh tidak akan sesuatu pun dapat merisaukan atau
membuat mereka gelisah.
Selain penelitian terhadap para rahib Tibet, Dr. Newberg juga melakukan
penelitian terhadap beberapa pendeta dari ordo Fransiskan dan ia meminta
mereka untuk mendirikan sembahyang yang mereka mereka sebut sembahyang
konsentrasi. Ternyata ucapan-ucapan dalam sembahyang yang mereka lakukan
itu mempengaruhi fungsi beberapa bagian otak. Namun, berbeda dengan
kondisi yang di alami rahib di Tibet, Dr. Newberg menemukan bahwa
sembahyang yang dilakukan para pendeta itu justru mengaktifkan otak bagian
belakang, yaitu bagian yang bertanggung jawab untuk mengolah rasang indrawi
mengenai ruang dan waktu.
Pada tahun 1998 juga ada peneliti asal Amerika yang melakukan penelitian
terhadap beberapa pasien penderita jantung. Dalam penelitian itu mereka
diminta mendirikan sholat selama beberapa waktu dan ternyata hasilnya
menunjukkan bahwa frekuensi serangan jantung berkurang drastic selama
mengikuti periode penelitian itu.
Secara harfiah, kata iktikaf (i’tikaf) berasal dari kata ‘akafa, yang berarti
menahan atau menghalangi. Dalam pengertian syariat, iktikaf berarti menetap atau
diam di dalam masjid untuk menjalankan ibadah kepada Allah SWT baik dengan
berdzikir, shalat, membaca Al-Quran, atau pun ibadah lain. Iktikaf memiliki
keistimewaan dan hikmah yang luar biasa. Itikaf juga mempunyai hukum yaitu
hukum iktikaf bagi laki-laki, hukum iktikaf bagi perempuan, dan hukum iktikaf
diluar bulan Ramadhan serta diluar 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Dalam
beritikaf, selain mendawamkan zikir dan sholat, orang yang beritikaf juga harus
menahan diri dari berbagai hal yang mubah, seperti makan, minum, berhubungan
badan, dan juga mengobrol dengan orang lain, menahan diri dari segala yang
diperbolehkan merupakan salah satu pendisiplinan jiwa yang sangat baik, sebab ia
akan memiliki kemampuan dan kekuatan untuk menahan diri dari segala sesuatu
yang terlarang dan diharamkan oleh syariat.
Dalam dunia Kesehatan juga ada metode terapi yang digunakan dan mirip
dengan I’tikaf, isitilahnya disebut terapi isolasi. Kata I’tikaf sebenarnya sejajar
dengan beberapa istilah lain dalam dunia Kesehatan khususnya kedokteran jiwa
seperti meditasi, perenungan, introspeksi, dan pengamatan. Terdapat keistimewaan
dalam beritikaf, diantaranya adalah:
1. Menjauhkan manusia dari bahaya lisan.
2. Menjauhkan manusia dari sikap riya dan membanggakan diri.
3. Menghilangkan dan menyembuhkan gangguan kejiwaan.
4. Menjaga pandangan
5. Melatih dan mendisiplinkan akhlak serta menjauhkan hati dari sifat keras
dan sumbong.
6. Keteguhan menjalankan ibadah, tafakur, dan muhasabah.
12
DAFTAR PUSTAKA