Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyyah
Disusun oleh
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penulisan makalah yang bertemakan “Kaidah Kulliyyah Kubro Ketiga, “al-
Musyaqqah Tajlibut Taysir”” untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyyah. Kami
sebagai penyusun mengucapkan terimakasih kepada ibu Dra. Azizah M.A selaku dosen mata
kuliah Qawaid Fiqhiyyah yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam tugas
makalah ini.
Kami sebagai penyusun makalah ini sadar bahwa terdapat banyak kekurangan.
Tentunya kritik dan saran sangat kami nantikan dari para pembaca. Akan tetapi kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua terkhusus mahasiswa Program Studi
Hukum Keluarga semester empat. Akhir kata kami sampaikan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ i
A. Pengertian............................................................................................................2
B. Dasar Hukum.......................................................................................................4
A. Simpulan ..........................................................................................................14
B. Saran ................................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kaidah Fiqh secara istilah ialah dasar-dasar atau asas-asas yang berkaitan dengan segala
permasalahan fiqh. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan kaidah fiqh dengan: 1
جًعٓاٚ اط ٔاحذٛ حشجع انٗ لٙيجًٕعت االحكاو انًخشبٓاث انخ
“Kumpulan hukum-hukum yang serupa yang kembali kepada qiyas/analogi yang
mengumpulkannya”
Dalam Qawaid al-Asassiyyah (kaidah pokok fiqh) bahwa terdapat lima kaidah asasi,
yaitu (1) segala perkara tergnatung kepada niatnya; (2) ketiga keyakinan tidak hilang dengan
keraguan; (3) kesulitan mendatangkan kemudahan; (4) kesulitan harus dihilangkan; (5) adat
kebiasaan dapat dijadikan pertimbangan. Makalah ini akan membahas kaidah fiqh tentang
kesulitan mendatangkan kemudahan (al-Musyaqqah Tajlibut Taysir)
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan kaidah al-Musyaqqah Tajlibut Taysir ?
2. Apa dasar hukum al-Musyaqqah Tajlibut Taysir?
3. Apa saja uraian tentang kaidah al-Musyaqqah Tajlibut Taysir?
4. Apa saja cabang kaidah al-Musyaqqah Tajlibut Taysir beserta contoh penerapannya?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa pengertian al-Musyaqqah Tajlibut Taysir
2. Untuk mengetahui dasar hukum al-Musyaqqah Tajlibut Taysir
3. Untuk mengetahui uraian tentang kaidah al-Musyaqqah Tajlibut Taysir
4. Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah al-Musyaqqah Tajlibut Taysir dan contoh
penerapannya
1
Djazuli H.A, Kaidah-Kaidah Fikih. Prenada Media. 2019. H. 3
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Al-Masyaqqah secara bahasa adalah al-ta‟ab yaitu kelelahan, kepayahan, kesulitan, dan
kesukaran.2 Seperti dalam QS. an-Nahl ayat 7 yang berbunyi:
فتٛ ال حُفك عُٓا انكهٙ ايا انًشمت انخ: تٛفت انششعٛ حُفك عُٓا انكهٙ انًشمت انخ: شٛغٛانًشاد با نًشمت انجانبت انخ
غش ٔالٛ جهب حٍٙ ٔانجُاة فال اثش نٓا فٚت كًشمت انجٓاد ٔانى انحذٔد ٔسجى انضَاة ٔلخم انبغاة ٔانًفغذٛانشش ع
فٛحخف
حُفك عُٓاٙ ال انخٙ ايا انًشمت انخ,تٛفاث انششعٛ حُفك عُٓا انكهٙ انًشمت انخ:غشٛانًشاد بانًشمت انجانبت نهخ
جهبٍٙ ٔانجُاة فال اثش نٓا فٚت كًشمت انجٓاد ٔانى انحذٔد ٔسجى انضَاة ٔلخم انبغاة ٔانًفغذٛفاث انششعٛانكه
فٛغش ٔال حخفٛح
“Yang dimaksud dengan al-musyaqqah (kesukaran) dapat mendatangkan kemudahan
adalah kesukaran yang terlepas/berpisah dari beban syariat. Adapun kesukaran yang tidak
terpisahkan dari beban syari’at, seperti kepayahan berjihad, kesakitan dalam hukuman had,
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Kamus Lengkap Arab-Indonesia), (Surabaya: Kashiko, 2000),
hlm. 302.
3
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahannya Edisi Revisi, (Jakarta: Bintang Indonesia,
2005), hlm 268.
4
dalam hukuman rajam pezina, dalam hukuman mati pemberontak, pembuat kerusakan, dan
pelaku pidana, maka tidak berdampak. Adapun dalam mendatangkan kemudahan dan tidak juga
(mendatangkan) keringanan.”4
Dalam hal ini Syaikh Ibn Najm dalam sebuah karangannya membagi al-musyaqqah
(kesukaran) menjadi tiga tingkatan, yaitu:5
1. Al-Masyaqqah al-„Azhimah (kesukaran yang sangat berat), seperti kekhawatiran akan
hilangnya jiwa atau rusaknya anggota badan yang menyebabkan tidak bisa melaksanakan
ibadah dengan sempurna.
2. al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesukaran yang pertengahan, tidak sangat berat dan juga
tidak sangat ringan). Kesukaran semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat
kepada kesukaran yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu. Apabila lebih dekat kepada
kesukaran yang ringan, maka belum tentu ada kemudahan disitu.
3. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesukaran yang ringan), seperti terasa lapar waktu puasa, malas
naik haji padahal sudah dikategorikan mampu, dsb. Kesukaran macam ini bisa ditanggulangi
dengan mudah dengan cara sabar dalam melaksanakan ibadah. Alasannya, kemaslahatan
dunia dan akhirat, taat kepada perintah Allah lebih utama dari pada kesukaran yang ringan
ini, apalagi masyaqqah ini bisa ditanggulangi.6
Sedangkan kata al-Taisir secara bahasa ialah kemudahan, seperti didalam Hadits
Rasulullah SAW disebutkan:7
4
Syaikh Ahmad Ibn Syaikh Muhammad Al-Zarqa, Syarh Qawaid Al-Fiqhiyyah Jilid I, (Software: Maktabah Syamilah
Ar-raudah, 2014), hlm. 157
5
Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybah Wa An-Nazhair Li Ibn Najim Jilid I, (Software:
Maktabah Syamilah Ar-Raudah, 2014), hlm. 70-71
6
Ibid, hlm. 70-71
7
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis) (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 55
5
Penggunaan dalil dan metode ijtihad menjadikan hasil ijtihad seorang mujtahid dapat saja
berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang. Satu ijtihad boleh jadi
tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara ijtihad yang dihasilkan
oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga ijtihad mujtahid lain boleh jadi telah
dapat menyelami maksud Allah dan Rasul. Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas ijtihad
mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, ijtihad yang
dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa ijtihad
yang keliru akan mendapatkan satu pahala yaitu pahal ijtihad, sementara ijtihad yang benar akan
mendapatkan dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran yang dicapai dalam berijtihad.
Kaidah al-Masyaqqah Tajlib al-Taisir, terdapat banyak dalil yang mendasarinya, baik
dari Al-Qur’an maupaun Hadits, diantaranya yaitu sebagai berikut:
1. Dalil al-Qur’an
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,
barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah
ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
6
manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik
Penolong.”
ٌْ ِ اخ ز ْ َ َا إ
ِ ج ۗ َس ب َّ ُ َا َال ح ُ َؤ ْ َ ْ َٓ ا َي ا ا كْ خ َغَ بٛ َ ج َٔ عَ ه ْ َ ع ع َ َٓ ا ۚ ن َ َٓ ا َي ا كَ غَ بْ ُٔ ف ّللاَّ ُ َ َ ف ْ غ ً ا إ ِ َّال ُ ِّ ُ ك َ هٚ َال
ٍَ ِي ٍْ ل َ بْ هِ ُ َا ۚ َس ب َّ ُ َاٚ ص ًش ا كَ ًَ ا َح ًَ هْ خ َّ ُ ع َ ه َ ٗ ان َّ ِز ْ
ْ ِ ْ ُ َا إٛ َ ُ َا أ َ ْٔ أ َ ْخ طَ أ َ َا ۚ َس ب َّ ُ َا َٔ َال ح َ ْح ًِ ْم ع َ هٛ َ َ ِغ
ص ْش َ َا ُ َْ ج َي ْٕ َال َ َا ف َ اَ ََْ اس َح ًْ ُ َا ۚ أ ْ َٔ ْف عَ ُ َّ ا َٔ ا غْ فِ ْش ن َ ُ َاُ َٔ َال ح ُ َح ًِّ هْ ُ َا َي ا َال طَ ا ل َ ت َ ن َ ُ َا ب ِ ِّ ۖ َٔ ا ع
ٍَ ٚ عَ ه َ ٗ انْ م َ ْٕ ِو ان ْ كَ ا ف ِ ِش
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah.”
2. Dalil Hadits
بعثجُٙت ٔنكَٛت ٔال با نُصشإٚٓدٛ ابعث با نَّٙ ٔ عهى اٛ صهٗ هللا عهٙ ايايت لال لال انُبٙعٍ اب
ت انغًحتٛفُٛبانح
“Dari Abu Umamah berkata: Rasulullah SAW bersabda: saya tidak utus dengan membawa
agama Yahudi dan Narani, namun saya diutus membawa agama yang lurus lagi mudah”
7
Ayat-ayat al-Quran dan Hadits diatas memberikan pemahaman bahwa agama Islam tidak
datang untuk membawa kesulitan akan tetapi datang dengan membawa kemudahan.
فتٛ ال حُفك عُٓا انكهٙ ايا انًشمت انخ: تٛفت انششعٛ حُفك عُٓا انكهٙ انًشمت انخ: شٛغٛانًشاد با نًشمت انجانبت انخ
غش ٔالٛ جهب حٍٙ ٔانجُاة فال اثش نٓا فٚت كًشمت انجٓاد ٔانى انحذٔد ٔسجى انضَاة ٔلخم انبغاة ٔانًفغذٛانشش ع
فٛحخف
Adapun kesukaran yang dapat mendatangkan kemudahan (al-Taisitr) para ulama juga
telah menyebutkan sebab-sebab yang menimbulkan (akibat diperbolehkan) kemudahan tersebut,
yaitu:
8
Syaikh Ahmad, Op. cit. hlm. 157
9
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nazhair Fi Al-Furu’, (Jeddah: Al-Haramain) hlm. 56
10
Ibid. hlm.78
8
3. Bepergian
Misalnya, dibolehkan mengqashar shalat, bolehnya berbuka dalam keadaan safar, dan
meninggalkan sholat jumat bagi orang yang sedang dalam perjalanan.11
4. Keadaan sakit
Misalnya, dibolehkannya bertayamum ketika keadannya sulit atau tidak diperbolehkan
terkena air, shalat fardhu sambil duduk, berbuka puasa di bulan Ramadhan dengan kewajiban
qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanan had sampai terpidana sembuh, wanita yang
sedang menstruasi.
5. Keadaan terpaksa
Seperti diancam orang lain untuk membatalkan puasa Ramashan yang dapat
membahayakan jiwanya.
6. Lupa
Seperti seseorang yang lupa makan dan minum ketika ia berpuasa.
7. Ketidaktahuan
Misalnya seperti orang yang baru masuk Islam, karena ia tidak tahu dan ia kemudian
berdagang dengan praktik riba maka dimaafkan karena muallaf tersebut tidak mengetahui
bahwa hal tersebut sesuatu yang haram.
Adapun rasionalisasi kemudahan dalam islam ialah, bahwa Allah SWT sebagai musyarri‟
yaitu yang memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasan-Nya, Allah mampu
menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya.
Allah memberikan syariat demi kemaslahatan manusia sendiri. Tentunya syariat tersebut
telah disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena
pada dasarnya syariat itu bukan untuk kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan
manusia.12
D. Cabang-Cabang Kaidah
Kaidah ini memiliki cabang-cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku
pada bab-bab tertenru, diantaranya yaitu sebagai berikut:13
1. Kaidah pertama
ارا ضاق االيش احغع
11
Ibid. hlm. 77
12
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2002), hlm. 124
13
A. Djazuli, Op. cit. hlm. 61-66
9
“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas”14
Kaidah ini sessungguhnya yang tepat merupakan cabang dari kaidah al-Musyaqqah Tajlib
al-Taisir. Sebab, al-Musyaqqah itu adalah kesempitan atau kesulitan, seperti boleh berbuka
puasa pada bulan Ramadhan karena sakit atau bepergian jauh. Akit dan bepergian jauh
merupakan suatu kesempitan, maka hukumnya menjadi luas yaitu kebolehan berbuka. Akan
tetapi bila orang sakit itu sembuh kembali, makawajib hukumnya menjalankan puasa kembali.
Oleh karena itu, maka muncullah kaidah kedua, yaitu:
ارا احغع ضاق
“apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya menyempit”. Kaidah ini juga
dimaksudkan untuk tidak meringankan yang sudah ringan. Oleh karena itu, kaidah ini
digabungkan menjadi satu, yaitu:
ارا ضاق االيش احغع ٔ ارا احغع ضاق
“apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya meluas dan apabila suatu perkara
menjadi meluas maka hukumnya menyempit”15
Kaidah ini juga menunjukan fleksibilitas hukum islam yang bisa diterapkan secara tepat
pada setiap keadaan. Contoh penerapan kaidah ini seperti wanita yang sedang haid dilarang
shalat dan puasa. Larangan tersebut menjadi hilang bila menstruasinya berhenti kewajiban
melaksanakan shalat fardhu dan shaum ramadhan kembali lagi dan boleh lagi melaksanakan
shalat sunnah dan puasa sunnah.
2. Kaidah kedua
صاس انٗ انبذلٚ ارا حعزس االصم
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah menggantinya”
Contoh kaidah ini seperti tayamum pengganti wudhu. Seseorang yang meminjam harta
orang lain, wajib mengembalikan harta aslinya. Apabila harta tersebut sudah rusak atau hilang
sehingga todak mungkin dikembalikan kepada pemiliknya, maka ia wajib menggantinya dengan
harga yang sama dengan halnya dengan orang yang meminjam suatu benda kemudia benda
tersebut hilang. Maka ia harus mengganti benda tersebut persis sama seperti yang ia pinjam.
Kaidah ini dalam fiqh siayasah banyak diterapkan terutama dalam hal yang berhubungan
dengan tugas-tugas kepemimpinan, misalnya istilah PJMT (Pejabat yang Melaksanakan Tugas)
karena pejabat yang sesungguhnya berhalangan, maka diganti oleh petugas yang lain sebagai
penggantinya.
3. Kaidah ketiga
10
Artinya : “Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu
dimaafkan”
Contohnya : Seorang laki-laki yang berprofesi sebagai pedagang, maka seringkali yang
membeli dagangannya adalah perempuan yang terbuka auratnya, maka dalam kondisi yang
demikian tidak mungkin terhindar.
4. Kaidah Keempat
ِ ط ِب ْان ًَ َعا
ٗص ُ َص َال حَُُا
ُ انش خ
ُ
5. Kaidah kelima
ِ اس ِإنَٗ انً َج
اص ُ صَ ُٚ ُمَتٛث ان َح ِم
ْ ِإرَا حَعَزَّ َس
Artinya : “Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhnya, maka kata
tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”
Contoh : Haji Syarkawi berkata “Saya wakafkan tanah saya kepada anak Haji Ishaq”.
Padahal semua orang mengetahui bahwa anak Haji Ishaq sudah lama meninggal, yang ada adalah
hanyalah cucunya bernama Sarifudin. Maka dalam hal ini, kata anak harus diartikan cucunya,
yaitu kata kiasannya, bukan kata sesungguhnya. Sebab, tidak mungkin mewakafkan harta kepada
orang yang sudah meninggal.
6. Kaidah keenam
ُ ْٓ ًَ ُمٚ إِرَاحَعَزَّ َس إِ ْع ًَا ُل انك ََال ِو
Artinya : “Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut
ditinggalkan”
Contohnya : Seseorang yang menuntut warisan dan dia mengaku saudara sekandung dari
si mayit, kemudian setelah di teliti dari kartu keluarga, ternyata si mayit tidak memiliki saudara.
Maka perkataan orang tersebut ditinggalkan dalam arti tidak diakui perkataannya.
11
6. Kaidah ketujuh
اء ِ ْٙ ُِ ْغخَفَ ُش فٚ انذَّ َٔ ِاو َيا َالُِٙ ْغخَفَ ُش فٚ
ِ َاْل ْبخِذ
Artinya : “Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada
permulaannya”
Contohnya : Mahasiswa yang menyewa kost atau barak maka diharuskan membayar
uang muka oleh pemilik kost atau barak. Apabila sudah habis pada waktu penyewaan dan dia
ingin melanjutkan sewaan berikutnya, maka dia tidak perlu membayar uang muka lagi.
7. Kaidah kedelapan
انذَّ َٔ ِاوْٙ ُِ ْغخَفَ ُش فٚ اء َيا َال ِ ُِٙ ْغخَفَ ُش فٚ
ِ َاْل ْبخِذ
Artinya : “Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”
Contohnya : Seseorang yang baru masuk Islam dan tidak tahu bahwa judi, berzinah atau
minuman keras itu dilarang atau haram, maka orang tersebut dimaafkan untuk permulaannya
karena ketidaktahuannya. Selanjutnya, setelah dia mengetahui bahwa judi, berzinah atau
minuman keras hukumnya haram, maka ia harus menghentikan perbuatan haram tersebut.
8. Kaidah kesembilan
ِْشَْاٛ َغُِٙ ْغخَفَ ُش فٚ انخ َّ َٕابِع َيا َالُِٙ ْغخَفَ ُش فٚ
Artinya : “Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang
lainnya”
Contohnya : Pedagang membeli bawang 5 karung di sebuah agen, kemudian bawang
tersebut dipisahkan dari karung, karena karung tersebut mengikuti kepada bawang yang dijual,
dan maksud tidak dimaafkan pada yang lain seperti cincin emas yang didapatkan dari bawang
tersebut dan diketahui pula adalah kepunyaan pemilik agen.
12
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Didalam agama Islam untuk beragama sangatlah dimudahkan untuk menjalankan agama
karena pada dasarnya agama itu mudah. Manusia banyak berbuat kesalahan, dan juga manusia
diciptakan lemah tak berdaya tanpe kehendak Allah. Maka dari itu, agama Islam memberikan
solusi agar tertap beribadah kepada Allah dengan jalan yang ringan. Apabila kita mendapatkan
kesulitan maka kita akan selalu berzikir kepada Allah bagaimnapun kondisinya dan situasinya
selama nyawa masih ada.
Dengan beberapa metode-metode fiqh yang memudahkan kita, kita tidak bisa lagi
mencari alasan untuk tidak beribadah kepada Allah karena semua ibadah yang di syariatkan
asalah ibadah yang tidak memberatkan. Semua ibadahnya sesuai fitrah dan kemampuan pada diri
manusia.
B. Saran
Kami menyadari adanya kekurangan dalam materi di dalam makalah ini, baik dalam
penulisan kata, ejaan kata, dan kurangnya referensi dalam hal materi. Kami selaku pemakalah
telah berusaha sebisa mungkin untuk menjelaskan dan menguraikan materi yang kami angkat,
yaitu “Kaidah Kulliyyah Kubro Ketiga, “al-Musyaqqah Tajlibut Taysir”. Dengan demikian akan
banyaknya kekurangan dalam makalah ini, kami mengucapkan mohon maaf atas segala
kekurangannya dan kepada pembaca untuk memberikan ide-ide maupun gagasan agar kami
mampu memperbaiki makalah ini.
13
DAFTAR PUSTAKA
Munawwir, Ahmad Warson. 2000. Kamus Al-Munawwir (Kamus Lengkap Arab-
Indonesia). Surabaya: Kashiko.
Indonesia, Departemen Agama Republik. 2005. Alquran dan Terjemahannya. Jakarta:
Bintang Indonesia.
Al-Zarqa, Syaikh Ahmad Ibn Syaikh Muhammad. 2014. Syarh Qawaid Al-Fiqhiyyah.
Software: Maktabah Syamilah Ar-Raudah.
Ibn Muhammad, Syaikh Ibn Najim Zinuddin Ibn Ibrahim. 2014 Al-Asybah Wa An-
Nazhair Li Ibn Najim. Software: Maktabah Syamilah Ar’Raudah.
A. Djazuli. 2007. Kaidah-kaidah Fikih (Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
As-Suyuthi, Al-Imam Jalaluddin. Al-Asybah Wa An-Nazhair Fi Al-Furu‟. Jeddah: Al-Haramain.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam. Jakarta: Raja Grapindo Persada.
14