MAKALAH
Pengertian Taklif, Amar, Nahyi, Ibahah,
Shigat, & Uslubnya dan Kaidah-Kaidah Amar & Nahyi
DOSEN PEMBIMBING :
Al-Ustadz ILHAM MAWARDI Lc, MA.
DISUSUN OLEH :
M. SYAKBAN
Ilmu Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk
menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits dibutuhkan kunci, metode dan
keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan
tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek
makna.
Hukum syar’i adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam
bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan
untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak
yang dituntut; dalam hal ini adalah manusia mukallaf.
Untuk melaksanakan perintah agama Islam tersebut dioptimalkan berdasar
kan pada tata aturan atau ketentuan hukum Islam yang berdasarkan pada AlQur’an
dan Sunnah Rasul. Hal ini secura universal bahwa setiap muslim berkewajiban
untuk bertingkah laku dalam seluruh aktivitas kehidupanya yang didasarkan pada
dua sumber tadi. Dengan demikian setiap muslim hendaklah memperhatikan
segala aktivitas itu dalam batas-batas koridor hukum Islam yang menyangkut
perintah dan larangan atau yang menyangkut kehalalan dan keharaman. Metode
merupakan suatu cara kerja dalam menyelidiki atau melaksanakan sesuatu hal
untuk mendapatkan pengetahuan yang diinginkan. Hal in harus dibarengi oleh
sebuah pemahaman dan keuletan di dalam mendapatkan pengetahuan yang lebih
koheren dan detail terhadap satu permasalahan.
Obyek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih adalah al-Qur’an dan
Sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa arab
tersebut para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam
praktik penalaran fikih Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai
cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat
beberapa kategori lafal atau redaksi. Diantara yang sangat penting, dan akan
dikemukakan disini antara lain Al-Amr, Al-Nahy, Al-Ibahah.
PEMBAHASAN
A. Taklif
1. Pengertian Taklif
Bagi Imam al-Ghazali selaku ulama’ fiqih, taklif adalah kepatuhan atau
ketaatan dalam melaksanakan sesuatu perbuatan. Dalam hal ini tidak mungkin
dilakukan oleh siapapun kecuali ada kesengajaan, dimana kesengajaan ini
diisyaratkan mengetahui apa yang dimaksudkan. Sehingga dalam pembahasan
taklif (pembebanan tugas yang harus dipatuhi), dasar utama mukallaf adalah orang
yang berakal.
Adapun dasar taklif (pembebanan) adalah akal dan pemahaman. Akal yang
mampu memahami itulah yang menjadi landasan taklif. Sebagaimana dikatakan
oleh tokoh besar al-Amidy: “para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah
berakal dan faham. Karena taklif (pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil
membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham, seperti benda mati dan
binatang. Sedang orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman
global terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu
merupakan perintah dan larangan yang mempunyai dampak pahala dan siksa, atau
1
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Jilid 3 (Jakarta: CV. Anda Utama, 1992). hlm. 1181.
bahwa yang memerintah adalah Allah yang harus ditaati, maka statusnya untuk
memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak
mampu memahami tuntutan yang dasar.2
B. Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat
(bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang
didalamnya mengandung arti perintah. Jadi, Amar merupakan suatu permintaan
untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.4
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya
orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah
menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal
2
Muhamad Abu Zahra, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,1994). hlm. 503.
3
Ibid., hlm. 504
4
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur : Darul Hikmah, 2008). hlm. 52.
ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari
orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang
disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian
ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Sighat (bentuk kata) Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat
Amar berbentuk sebagai berikut:
a. Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:
َصالَة
َّ اَقِ ْي ُموا ال
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al Baqarah: 43) 5
Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar
atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut
perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan kepastian. Allah swt
berfirman:
َ َُعلَ ْي ُك ْم اَ ْنف
س ُك ْم
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi’il, seperti:
6
Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang :Toha Putra Group, 1994). hlm.306.
7
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hlm.109.
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul
merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama ; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukkan kepada
wajib dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah
(hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul
telah sepakat menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15
macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:
َصالَة
َّ اَقِ ْي ُموا ال
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al Baqarah: 43)
2. Nadb (anjuran)
ْ َض ِم َن ا ْل َخ ْي ِط األ
س َو ِد ِم َن ُ ََو ُكلُ ْوا َواش َْربُ ْوا َحتَّى يَتَبَيَّ َن لَ ُك ُم ا ْل َخ ْيطُ األَ ْبي
ا ْلفَ ْج ِر
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang
hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
َ َوإِ َذ
ْ َاحلَ ْلتُ ْم ف
اصطَاد ُْوا
Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. (QS. Al-Ma’idah:2)
6. Tahdid (Ancaman)
ُ ِفَأْتُ ْوا ب
س ْو َر ٍة ِمنْ ِم ْثلِ ِه
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS.
Al Baqarah : 23)
11. Taswiyah (mempersamakan)
ْ َف
ْ اصبِ ُروا اَ ْوالَت
َصبِ ُروا
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur :16)
12. Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
8
Ibid,.hlm.113.
Kaidah Ketiga : Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera
dilaksanakan. Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah
mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila
dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya
akan berdosa.
Kaidah Keempat : pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan
(berkali-kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali
seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada
qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:
10
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hlm.117.
11
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hlm. 52-53.
seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka
maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan
tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu.
Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena
menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya
(sesuai kemampuan seorang hamba)”.12
C. Nahyi
1. Pengertian Nahyi
Nahyi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u),
sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan
sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga
disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk
tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah
untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.13
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti
dalam firman Allah:
ًضا َعفَة
َ ض َعافًا ُم ِّ َواَل تَأْ ُكلُوا
ْ َالربَا أ
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda”. (QS. Ali Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram,
maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah
hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut
tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hokum makruh,
12
Syafi’I Karim,Op,Cit,.hlm.224.
13
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hlm. 64.
mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada
ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan
hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.14
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat
larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:
ِ اَل تُ ْف
ِ سد ُْوا فِى ااْل َ ْر
ض
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.(QS. Al Baqarah:
11).
b) Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu perbuatan, seperti:
ِّ َواَل تَ ْق َر بُوا
الزنَى
Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
14
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,. hal.118.
س ْينَااَ ْواَ ْخطَأْنَا
ِ َاخ ْذنَا اِنْ ن
ِ ََربَّنَا اَل تُؤ
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b. Untuk pelajaran
ش ِركْ بِاهّلل
ْ ُاَل ت
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan
larangan dalam setiap waktu. Seperti:
15
Ibid,.hlm.120.
e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
ُ اطنَه
ِ ََوب َو َذ ُر ْواظَا ِه َراإْل ِ ْث ِم
“Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya
surat Al-Taubah : 34.
16
Satria Efendi dan Ma’shum Zein, UshulFiqh, (Jakarta : Kencan Perdana Media Group) hlm.187-
190.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita
dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat
dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman
lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan
larangan itu tidak menyebabkan haram.
b. Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang
dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.17
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan
perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.
Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat
bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang
dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam
muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat
bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak
pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal
ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab
shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara
ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram
hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).18
KESIMPULAN
1. ‘Amar
17
Syafi’I Karim,Op,Cit,. hlm.234.
18
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,hlm.124.
Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang
sifatnya mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
Sighat (bentuk kata) ‘Amar
Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2. Nahi
Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan
kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
Sighat (bentuk kata) Nahi
Dilalah dan Tuntutan Nahi
Syarat-syarat Nahi
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media
Group.
Karim,Syafi’i.2001. Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka
Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra
Group.