Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MATA KULIAH USHUL FIQH II

MAKALAH
Pengertian Taklif, Amar, Nahyi, Ibahah,
Shigat, & Uslubnya dan Kaidah-Kaidah Amar & Nahyi

DOSEN PEMBIMBING :
Al-Ustadz ILHAM MAWARDI Lc, MA.

DISUSUN OLEH :
M. SYAKBAN

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN & TAFSIR


INSTITUT SAINS AL-QUR’AN SYEKH IBRAHIM
PASIR PENGARAIAN TAHUN PELAJARAN 2019/2020
PENDAHULUAN

Ilmu Ushul Fiqh menyajikan berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk
menimba pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
SAW. Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits dibutuhkan kunci, metode dan
keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga kita bisa mengetahui maksud dan
tujuan nash al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek
makna.
Hukum syar’i adalah khitab (titah) Allah yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Khitab dalam
bentuk tuntutan ada dua bentuk, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan
untuk meninggalkan. Setiap tuntutan mengandung taklif (beban hukum) atas pihak
yang dituntut; dalam hal ini adalah manusia mukallaf.
Untuk melaksanakan perintah agama Islam tersebut dioptimalkan berdasar
kan pada tata aturan atau ketentuan hukum Islam yang berdasarkan pada AlQur’an
dan Sunnah Rasul. Hal ini secura universal bahwa setiap muslim berkewajiban
untuk bertingkah laku dalam seluruh aktivitas kehidupanya yang didasarkan pada
dua sumber tadi. Dengan demikian setiap muslim hendaklah memperhatikan
segala aktivitas itu dalam batas-batas koridor hukum Islam yang menyangkut
perintah dan larangan atau yang menyangkut kehalalan dan keharaman. Metode
merupakan suatu cara kerja dalam menyelidiki atau melaksanakan sesuatu hal
untuk mendapatkan pengetahuan yang diinginkan. Hal in harus dibarengi oleh
sebuah pemahaman dan keuletan di dalam mendapatkan pengetahuan yang lebih
koheren dan detail terhadap satu permasalahan.
Obyek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih adalah al-Qur’an dan
Sunnah Rasul sedang untuk memahami teks-teks dan sumber yang berbahasa arab
tersebut para ulama telah menyusun semacam tematik yang akan digunakan dalam
praktik penalaran fikih Bahasa Arab menyampaikan suatu pesan dengan berbagai
cara dan dalam berbagai tingkat kejelasan. Untuk itu para ahlinya telah membuat
beberapa kategori lafal atau redaksi. Diantara yang sangat penting, dan akan
dikemukakan disini antara lain Al-Amr, Al-Nahy, Al-Ibahah.
PEMBAHASAN

A. Taklif
1. Pengertian Taklif

Taklif, berarti “pembebanan”, Al-Qur’an menyebutkan taklif dalam


pengertian ini, seperti dalam ayat 286 surat Al-Baqarah yang artinya:”Allah tidak
membebankan kepada seseorang kecuali atas kemampuannya”.1 Jadi taklif secara
istilah adalah pembebanan kepada manusia untuk melakukan sesuatu yang
dipastikan oleh Allah bahwa manusia itu akan mampu melaksanakannya. Maka
dengan demikian, yang menjadi objek taklif ini, secara tidak langsung menjadi
mukallaf (orang yang dibebani). Tetapi istilah mukallaf ini sering digunakan
dalam ilmu fiqh, bukan dalam ilmu tauhid. Atau dalam ilmu ushul fiqh mukallaf
sama dengan mahkum alaih yakni berlakunya hukum Allah kepada manusia.

Bagi Imam al-Ghazali selaku ulama’ fiqih, taklif adalah kepatuhan atau
ketaatan dalam melaksanakan sesuatu perbuatan. Dalam hal ini tidak mungkin
dilakukan oleh siapapun kecuali ada kesengajaan, dimana kesengajaan ini
diisyaratkan mengetahui apa yang dimaksudkan. Sehingga dalam pembahasan
taklif (pembebanan tugas yang harus dipatuhi), dasar utama mukallaf adalah orang
yang berakal.

2. Akal Sebagai Dasar Taklif

Adapun dasar taklif (pembebanan) adalah akal dan pemahaman. Akal yang
mampu memahami itulah yang menjadi landasan taklif. Sebagaimana dikatakan
oleh tokoh besar al-Amidy: “para ahli sepakat bahwa syarat mukallaf haruslah
berakal dan faham. Karena taklif (pembebanan) adalah tuntutan, maka mustahil
membebani sesuatu yang tidak berakal dan tidak faham, seperti benda mati dan
binatang. Sedang orang gila atau anak-anak yang hanya mempunyai pemahaman
global terhadap tuntutan tanpa pemahaman yang rinci bahwa tuntutan itu
merupakan perintah dan larangan yang mempunyai dampak pahala dan siksa, atau
1
Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Jilid 3 (Jakarta: CV. Anda Utama, 1992). hlm. 1181.
bahwa yang memerintah adalah Allah yang harus ditaati, maka statusnya untuk
memahami secara rinci sama halnya dengan binatang atau benda mati yang tidak
mampu memahami tuntutan yang dasar.2

Orang demikian dimaafkan dalam hal tidak mampu memahami taklif,


karena tujuan taklif tidak saja tergantung kepada pemahaman dasar tuntutan,
tetapi juga kepada pemahaman yang rinci atas tuntutan itu. Adapun anak-anak
yang cakap (tamyis) meski ia mengerti apa yang tidak dimengerti oleh anak yang
tidak cakap, tetapi pengertiannya itu tidaklah selengkap pengertian orang yang
telah mempunyai akal yang sempurna. Dalam hal memahami tentang adanya
Allah yang berfirman dan memberi taklif kepada hamba, atau adanya Rasul yang
bersifat jujur dan menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah, misalnya,
pengertian mereka tidak sampai pada sistem taklif sebagaimana pengertian orang
yang telah sempurna pemikirannya. Maka dari itu, dengan adanya batasan itu,
Allah menghapus taklif kepada anak-anak di bawah baligh. Sebagaiman sabda
Rasul: “digugurkan beban taklif itu atas tiga hal, anak sampai baligh, orang tidur
sampai bangun, dan orang gila sampai sembuh”.3

B. Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat
(bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang
didalamnya mengandung arti perintah. Jadi, Amar merupakan suatu permintaan
untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.4
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya
orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah
menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal

2
Muhamad Abu Zahra, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,1994). hlm. 503.
3
Ibid., hlm. 504
4
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh, (JawaTimur : Darul Hikmah, 2008). hlm. 52.
ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi  derajatnya dari
orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang
disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian
ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Sighat (bentuk kata) Amar
 Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian  perintah. Sighat
Amar berbentuk sebagai berikut:
a.       Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:

َ‫صالَة‬
َّ ‫اَقِ ْي ُموا ال‬
        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al Baqarah: 43) 5

Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar
atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut
perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan kepastian.  Allah swt
berfirman:

ْ َّ‫وا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَت ََرب‬                                                             


‫ص َن‬ َ
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk
menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat
yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna
sama dengannya ditetapkan untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di
mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah
ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan
sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan/hubungan) yang
dapat memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya,
5
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, (Bandung : Pustaka Setia, 2001)
maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti
ibahah (pembolehan).6
b.      Berbentuk Fi’il  mudhari’  yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:

ِ ‫َو ْليَطَّ َّوفُ ْوا بِا ْلبَ ْي‬


ِ ‫ت ا ْل َعتِ ْي‬
‫ق‬
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. 
(QS.Al Hajj : 29)
c.    Isim Fi’il Amr,  seperti:

َ ُ‫َعلَ ْي ُك ْم اَ ْنف‬
‫س ُك ْم‬
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d.      Masdar pengganti fi’il, seperti:

َ ‫َوبِا ْل َوالِ َد ْي ِن اِ ْح‬


‫سانًا‬
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e.       Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya.

ْ ‫قَ ْد َعلِ ْمنَا َما فَ َر‬


ِ ‫ضنَا َعلَ ْي ِه ْم فِ ْي اَ ْز َو‬
‫اج ِه ْم‬
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada
mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).

َ ِ‫يَأ َ ُّي َهالَّ ِذ ْي َن ءا َمنُوا ُكت‬


ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
‫صيَا ُم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”.
  (QS. Al Baqarah: 183)

ِ َ‫اِنَّ هّللا َ يَأْ ُم ُر ُك ْم اَنْ تُ َؤ ُّداآْل َ َمن‬


‫ت‬
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa’: 58)
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan
digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari
susunan kalimatnya.7

6
Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang :Toha Putra Group, 1994). hlm.306.
7
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hlm.109.
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul
merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama ; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukkan kepada
wajib dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah
(hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul
telah sepakat menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15
macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1.      Ijab (Wajib)
Contoh:

َ‫صالَة‬
َّ ‫اَقِ ْي ُموا ال‬
        Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al Baqarah: 43)
2.      Nadb (anjuran)

‫َوآتُ ْو ُه ْم ِّمنْ َّما ِل هّللا ِ الَّ ِذي أت ُك ْم‬


Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3.      Takdzib (mendustakan)

َ ‫قُ ْل َهاتُوا بُ ْر َهانَ ُك ْم اِ ْن ُك ْنتُ ْم‬


‫ص ِد قِ ْي َن‬
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang
benar”. (QS. Al Baqarah 111).
4.      Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:

‫ش ِه ْي َد ْي ِن ِمنْ ِر َجالِ ُك ْم‬ ْ َ ‫ست‬


َ ‫ش ِهدُوا‬ ْ ‫َوا‬
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki
(diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
5.      Ibahah (kebolehan)

ْ َ‫ض ِم َن ا ْل َخ ْي ِط األ‬
‫س َو ِد ِم َن‬ ُ َ‫َو ُكلُ ْوا َواش َْربُ ْوا َحتَّى يَتَبَيَّ َن لَ ُك ُم ا ْل َخ ْيطُ األَ ْبي‬
‫ا ْلفَ ْج ِر‬
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang
hitam bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)

َ ‫َوإِ َذ‬
ْ َ‫احلَ ْلتُ ْم ف‬
‫اصطَاد ُْوا‬
Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. (QS. Al-Ma’idah:2)
6.      Tahdid (Ancaman)

ِ َ‫اش ْئتُ ْم اِنَّهُ بِ َما تَ ْع َملُ ْو َن ب‬


‫ص ْي ٌر‬ ِ ‫اِ ْع َملُ ْوا َم‬
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha
melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
7.      Inzhar (peringatan)

ِ ‫قُ ْل تَ َمتَّ ُع ْوا فَاِنَّ َم‬


‫ص ْي َر ُك ْم اِلَى النَّا ِر‬
Artinya: “Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat
kembalimu adalah neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
8.      Ikram (memuliakan)

َ ِ‫اُد ُْخلُ ْو َها ب‬


‫سالَ ٍم آ ِمنِ ْي َن‬
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera
lagi aman”. (QS. Al Hijr : 46)
9.      Taskhir (penghinaan)

ِ ‫ُك ْونُ ْوا قِ َر َدةً َخ‬


‫اسئِ ْي َن‬
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
10.  Ta’jiz (melemahkan)

ُ ِ‫فَأْتُ ْوا ب‬
‫س ْو َر ٍة ِمنْ ِم ْثلِ ِه‬
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS.
Al Baqarah : 23)
11.  Taswiyah (mempersamakan)

ْ َ‫ف‬
ْ ‫اصبِ ُروا اَ ْوالَت‬
‫َصبِ ُروا‬
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur  :16)
12.  Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:

‫ص ْب ُح ِقفْ اَل تَ ْطلَ ُع‬


ُ ‫ يَا‬   ‫يَا لَ ْي ُل طُ ْل يَا نَ ْو ُم ُز ْل‬
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah.
Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13.  Do’a

‫َر ِّب ا ْغفِ ْرلِى‬


Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14.  Ihanah (meremehkan)
    
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. 
(QS. Ad Dukhan : 49)
15.  Imtinan

‫فَ ُكلُ ْوا ِم َّما َر َزقَ ُك ُم هّللا‬


Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)8
Kaidah kedua : Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud
dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu
datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi
bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah swt:

‫ض ِل هلّلا‬ ِ ‫صالَةُ فَا ْنت َِش ُر ْوا فِى اأْل َ ْر‬


ْ َ‫ض َوا ْبتَ ُغ ْوا ِمنْ ف‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَاِ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬
“apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah
karunia Allah {QS.al-Jumu’ah 62:10}”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat
diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.

8
Ibid,.hlm.113.
  Kaidah Ketiga : Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera
dilaksanakan. Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah
mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila
dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya
akan berdosa.
Kaidah Keempat : pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan
(berkali-kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali
seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada
qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:

‫َوأَتِ ُّم ا ْل َح َّج َوا ْل ُع ْم َرةَ هّلِل‬


“dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali
saja sudah cukup.9
Kaidah Kelima : kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan itu
tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat
mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan
sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu.
Maka para ulama menetapkan bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak
sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”.
3. Dilalah dan Tuntutan Amar
a.       Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa
jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu
tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari
ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa
arti pokok dalam ‘amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).   
Contoh:

‫س‬ َ َ‫س ُجد ُْوا أِل َ َد َم ف‬


َ ‫س َجد ُْوا ااَّل اِ ْبلِ ْي‬ ْ ُ‫ا‬
9
Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung : Pustaka Setia, 2001) .hlm. 224.
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali
iblis”. (QS. Al Baqarah : 34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah
(usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan.
Kalau tidak demikian Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya,
dengan suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).
b.      Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar/
suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima
waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian
dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi
sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan
tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi
menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan sebagainya
sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.10
4.  Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus
tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya
do’a.11
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a)      Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan
perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b)      Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta
(ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya  perbuatan yang diminta,

10
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hlm.117.
11
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hlm. 52-53. 
seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka
maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan
tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu.
Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena
menurut qaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya
(sesuai kemampuan seorang hamba)”.12

C. Nahyi
1. Pengertian Nahyi
Nahyi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u),
sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan
sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau  lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga
disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk
tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah
untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.13
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti
dalam firman Allah:
ً‫ضا َعفَة‬
َ ‫ض َعافًا ُم‬ ِّ ‫َواَل تَأْ ُكلُوا‬
ْ َ‫الربَا أ‬
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda”.  (QS. Ali Imran: 130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram,
maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah
hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut
tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hokum makruh,

12
Syafi’I Karim,Op,Cit,.hlm.224.
13
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hlm. 64.
mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada
ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan
hukum makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.14
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat
larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:

ُ ‫صالَةَ َوأَ ْنتُ ْم‬


َ ‫س َك‬
‫ارى‬ ُ ‫يَاأَيُّ َها الَّ ِذ ْي َن ا َمنُوا اَل تَ ْق َر‬
َّ ‫ب ال‬
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat
dalam keadaan mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa
bentuk diantaranya:
a)      Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:

ِ ‫اَل تُ ْف‬
ِ ‫سد ُْوا فِى ااْل َ ْر‬
‫ض‬
Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.(QS. Al Baqarah:
11).
b)      Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu perbuatan, seperti:

ِّ ‫َواَ َح َّل هّللا َ َو َح َّر َم‬


‫الربَوا‬
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al
Baqarah: 275).
Kaidah-Kaidah Nahyi:
                        Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram,
seperti:

ِّ ‫َواَل تَ ْق َر بُوا‬
‫الزنَى‬
                        Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).

Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:


a.      Untuk do’a

14
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,. hal.118.
‫س ْينَااَ ْواَ ْخطَأْنَا‬
ِ َ‫اخ ْذنَا اِنْ ن‬
ِ َ‫َربَّنَا اَل تُؤ‬
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b.      Untuk pelajaran

‫س ْؤ ُك ْم‬ ْ َ‫سئَلُ ْواعَنْ ا‬


ُ َ‫شيَا َء اِنْ تُ ْب َدلَ ُك ْم ت‬ ْ َ‫اَل ت‬
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu”.
c.       Putus asa

‫اَل تَ ْعتَ ِذ ُروا ا ْليَ ْو َم‬


“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d.      Untuk menyenangkan (menghibur)

‫اَل ت َْح َزنْ إِنَّ هّللا َ َم َعنَا‬


“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya,
seperti:

‫ش ِركْ بِاهّلل‬
ْ ُ‫اَل ت‬
Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.
Kaidah ketiga:  pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan
larangan dalam setiap waktu. Seperti:

ُ ‫صلَواةَ َواَ ْنتُ ْم‬


َ ‫س َك‬
‫ارى‬ َّ ‫اَل تَ ْق َربُوا ال‬
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. 
(QS. An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1.      Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2.      Nahi yang menunjukkan juz’i dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3.      Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya
larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua
umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4.      Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat
jum’at yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.15
3.      Dilalah dan Tuntutan Nahi
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari
Beik, Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya
yang  secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang
artinya:

‫َويَ ْن َهى َع ِن ا ْلفَ ْحشَا ِء َوا ْل ُم ْن َك ِر َوا ْلبَ ْغ ِي‬


 “Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b.      Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya ayat
33 surat Al-A’raf:

ِّ ‫او َمابَطَ َن َواإْل ِ ْث َم َوا ْلبَ ْغ َي بِ َغ ْي ِرا ْل َح‬


‫ق‬ َ ‫ش َما ظَ َه َر ِم ْن َه‬ َ ‫قُ ْل إِنَّ َم‬
ِ ‫اح َّر َم َربِّ َي ا ْلفَ َو‬
َ ‫اح‬
 Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar”.
c.       Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan, contoh
surat An-Nisa’ ayat 19:

َ ِّ‫يَا اَ ُّي َهاالَّ ِذ ْي َن ا َمنُوا اَل يَ ِح ُّل لَ ُك ْم اَنْ تَ ِرثُوا ان‬


‫سا َء َك ْر َها‬
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa”.
d.      Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang
atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat
Al-An’am ayat 152:

َ ‫َواَل تَ ْق َربُ ْوا َما َل اليَتِ ْي ِم اِاَّل بِالَّتِ ْي ِه َي اَ ْح‬


ُ َ‫سنُ َحتَّى يَ ْبلُ َغ ا‬
ُ‫ش َّده‬
Artinya:“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.

15
Ibid,.hlm.120.
e.       Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:

 ُ ‫اطنَه‬
ِ َ‫َوب‬ ‫َو َذ ُر ْواظَا ِه َراإْل ِ ْث ِم‬
“Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f.       Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya
surat Al-Taubah : 34.

‫سبِ ْي ِل هّللا فَبَش ِّْر ُه ْم‬


َ ‫ فِي‬ª‫ضةَ َواَل يُ ْنفِقُ ْونَ َها‬
َّ ِ‫ب َوا ْلف‬ َّ ‫َوالَّ ِذ ْي َن يَ ْكنِ ُز ْو َن‬
َ ‫الذ َه‬
ٍ ‫بِ َع َذا‬
‫ب اَلِ ْي ٍم‬
            Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
g.      Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali
Imran : 180

ْ َ‫سبَنَّ الَّ ِذ ْي َن يَ ْب َخلُ ْو َن بِ َما أت ُه ُم هّللا ُ ِمنْ ف‬


‫ضلِ ِه ه َُو َخ ْي ًرا لَّ ُه ْم‬ َ ‫َواَل يَ ْح‬
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta
yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat
al-Baqarah : 193

‫ان اَاَّل َعلَى الظَّالِ ِم ْي َن‬


َ ‫فَإِ ِن ا ْنتَ َهوافَاَل ُعد َْو‬
Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”16
4.      Syarat-syarat Nahi
1.      Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a.       Menunjukkan haram
Artinya: “larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang)”.

16
Satria Efendi dan Ma’shum Zein, UshulFiqh, (Jakarta : Kencan Perdana Media Group) hlm.187-
190. 
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita
dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu,  yang segera dapat
dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman
lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan
larangan itu tidak menyebabkan haram.
b.      Menunjukan makruh
Artinya:  “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang
dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.17
c.       Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan
perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.
Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat
bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang
dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam
muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat
bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak
pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal
ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab
shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara
ibadah dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram
hukumnya, dan tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).18

KESIMPULAN
1.      ‘Amar

17
Syafi’I Karim,Op,Cit,. hlm.234.
18
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,hlm.124.
         Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang
sifatnya mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
         Sighat (bentuk kata) ‘Amar
         Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
         Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2.      Nahi
         Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan
kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
         Sighat (bentuk kata) Nahi
         Dilalah dan Tuntutan Nahi
         Syarat-syarat Nahi

DAFTAR PUSTAKA
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media
Group.
Karim,Syafi’i.2001. Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka
Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra
Group.

Anda mungkin juga menyukai