Anda di halaman 1dari 12

AMR DAN NAHYU

Disusun Guna Memenuhi Tugas Akademik

Mata Kuliah: Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah

Dosen Pengampu: H. Fathol Hedi, M.Ag.

Disusun oleh:

Rico Dimas Wibowo (182121006)

Ariyanto (182121022)

Arin Setiani (182121068)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting
dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah
karena sumber hukum islam yaitu al-Qur‟an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang
mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu
yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan
hukum dari dalil-dalil syar‟i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau
hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang,
sedangkan Al-Qur‟an dan Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena
memang segalanya sudah tercakup di dalam Al-Qur`an.

Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad bersama
dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak dan
memengaruhi kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah
barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata
namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur‟an dan As sunnah. Kemudian
halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara‟, yang disesuaikan dengan
berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu meringankan para mukallaf
dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman
yang semakin berkembang.

Rumusan Masalah

a. Apakah pengertian Amar, dan jelaskan saja yang berkaitan dengan Amar ?
b. Apakah pengertian Nahi, dan jelaskan saja yang berkaitan dengan Nahi ?
B. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa itu Amar dan Dapat menjelaskan apa saja yang berkaitan
dengan Amar
b. Untuk mengetahui apa itu Nahi dan Dapat menjelaskan apa saja yang berkaitan
dengan Nahi
BAB II

PEMBAHASAN

A. AMAR
1. Pengertian Amar

Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah suatu lafadz
yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada
bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua
bentuk kata yang didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu
permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1

Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan bahwa amar
berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih
rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi
derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang
disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang
disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya

2. Bentuk - Bentuk Amar

Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk
sebagai berikut :
a. Bentuk Fi’il Amar ( kata kerja perintah langsung)
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar‟i datang dalam bentuk amar atau perintah,
maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu
secara penetapan dan kepastian.
Misalnya, QS. Al- Baqarah Ayat 43
َّ ‫ار َكعُوا َم َع‬
َ‫الرا ِكعِين‬ ْ ‫الز َكاة َ َو‬ َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬
َّ ‫ص ََلة َ َوآتُوا‬

Artinya : “ dan dirikanlah sholat..........”

1
Muhammad Ma‟sum Zein Zudbah, UshulFiqh (JawaTimur : Darul Hikmah,2008), hlm.52
b. Bentuk Fi’il Mudhari’ yang di dahului lam Amar (kata kerja untuk sekarang dan
yang akan datang)
Misalnya, QS. Al Hajj Ayat29

ِ ‫ت ْال َعتِي‬
‫ق‬ ِ ‫ط َّوفُوا ِب ْال َب ْي‬
َّ ‫َو ْل َي‬
Artinya : “ dan hendaklah thawaf disekeliling baitullah”

c. Bentuk Isim Fiil Amar2

Misalnya, QS. Al- Maidah Ayat 105

َ ُ‫علَ ْي ُك ْم أ َ ْنف‬
‫س ُك ْم‬ َ

Artinya : “ jagalah dirimu ”

d. Masdar Pengganti Fiil

Misalnya, QS. Al- Baqarah Ayat 83

َ ْ‫َو ِب ْال َوا ِلدَي ِْن ِإح‬


‫سانًا‬

Artinya : “ dan berbuat baiklah kepada orang ibu bapak”

e. Bentuk lain yang semakna seperti Farodhla, kutiba dan lain sebaginya

Misalnya, QS. Al- Baqarah Ayat 183

ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬
‫الصيَا ُم‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ب‬

Artinya : “ hai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”

3. Kaidah – Kaidah Amar


a. Perintah (amr) pada dasarnya menunjukkan wujub, kecuali ada dalil yang
menunjukkan selainnya.

Pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib dan tidak menunjukan
kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan keterkaitan). Maksud dari
kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah
adalah wajib diperbuat.

2
Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Toha Putra Group,1994), hlm.306
b. Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan.
Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang,
lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat
membolehkan.
c. Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera dilaksanakan3
Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah mengerjakan sesuatu yang
berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan
tidak boleh di luar waktu. Bila dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’
maka hukumnya akan berdosa.
d. Perintah (amr) pada dasarnya tidak memiliki konsekuensi pengulangan, kecuali ada
dalil yang menunjukkan selainnya

Pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan (berkali kali mengerjakan
perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu
dimaksudkan pengulangan, maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan pada
pengulangan. Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali
saja sudah cukup.

e. perbuatan yang diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu
perbuatan lain yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu.4

Misalnya, kewajiban melaksanakan sholat, holat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci
(wudhu) terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa “Tiap-tiap perkara yang kewajiban
tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”

4. Macam – Macam Amar

Bentuk Amar (perintah) itu adakalanya keluar dari makna yang asli dengan ucapan kerjakanlah
dan digunakan untuk makna yang bermacam-macam. Macam-macam amar adalah sebagai
berikut :

a. Wajib. Contoh QS. Al Baqarah : 43 yang Artinya: “dirikanlah Sholat”


b. Nadh (Anjuran). Contoh QS. An Nur : 33 yang Artinya “dan berikanlah kepada
mereka sebagian harta yang dikaruniakan Nya kepadamu”

3
Satria Effendi M. Zaen, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenademedia Group, 2017), hlm. 168
4
Syafi‟ i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 224
c. Takzhib. Contoh QS. Al Baqarah : 111 yang Artinya : “tunjukkanlah bukti kebenaranmu
jika kamu adalah orang yang benar”
d. Irsyad ( membimbing). Contoh QS. Al- Baqarah : 282 yang Artinya : “dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki (diantaramu)”
e. Ibahah (kebolehan). Contoh QS. Al-Baqarah : 187 yang Artinya “makan dan
minumlah hingga terang benang putih dari benang hitam yaitu fajar”
f. Tahdid (ancaman). Contoh QS. Fusshilat : 40 yang Artinya : “kerjakanlah apa yang
kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan”
g. Inzhar (peringatan). Contoh QS. Ibrahim : 30 yang Artinya : “Katakanlah, Bersuka
rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka”
h. Ihram (memuliakan). Contoh QS. Al Hajj : 46 yang Artinya: “(dikatakan kepada
mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman”
i. Taskhir (penghinaan). Contoh QS. Al Baqarah : 65 yang Artinya : “jadilah kamu kera
yang hina”
j. Ta’jiz ( melemahkan). Contoh QS. Al Baqarah : 23 yang Artinya : “datangkanlah
satu surat (saja) yang seumpama Al Qur’an itu”
k. Taswiyah (mempersamakan). Contoh QS. At thur :16 yang Artinya : “maka bersabar
atau tidak”
l. Tamanni (angan-angan). Contoh : “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk
menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera datang.”
m. Do’a. Contoh QS. Shad :35 yang Artinya : “ya Allah ampunilah aku”
n. Ahanah. Contoh QS. Ad Dhukhan :45 yang Artinya : “ Rasakanlah, sesungguhnya
kamu orang yang paling perkasa lagi mulia”
o. Imtinan. Contoh QS. An Nahl :144 yang artinya : “ Makanlah apa yang direzekikan
kapadamu”
5. Syarat yang harus ada pada kata Amar
a. Harus berupa ucapan, perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan
c. Tidak ada tanda tanda Qarinah yang menunjukan permintaan itu berstatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan
d. Datangnya permintaaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawah itu namanya
do’a5
B. NAHYU
1. Pengertian Nahi

Nahyu artinya larangan. Menurut hukum islam, Nahyu ialah tuntutan untuk
meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah
tingkatannya.6

2. Bentuk – Bentuk Nahi

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak,
uangkapan yang menunjukkan nahi itu ada beberapa bentuk diantaranya :

a. Fi’il Mudhori yang disertai la nahi


Contoh QS. Al- Baqarah Ayat 11

ِ ‫َو ِإذَا قِي َل لَ ُه ْم ََل ت ُ ْف ِسد ُوا فِي ْاْل َ ْر‬


ْ ‫ض قَالُوا ِإنَّ َما نَحْ ُن ُم‬
َ‫ص ِل ُحون‬

Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan".

b. Lafadz – Lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan


sesuatu perbuatan
Contoh QS. Al- Baqarah Ayat 275

‫ان ِمنَ ْال َم ِس ۚ َٰذَلِكَ بِأَنَّ ُه ْم قَالُوا إِنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِمثْ ُل‬ ُ ‫ط‬ َ ‫ش ْي‬
َّ ‫طهُ ال‬ُ َّ‫الربَا ََل يَقُو ُمونَ إِ ََّل َك َما يَقُو ُم الَّذِي يَت َ َخب‬ ِ َ‫الَّذِينَ يَأ ْ ُكلُون‬
َ‫عاد‬ َ ‫َّللاِ ۖ َو َم ْن‬َّ ‫َف َوأ َ ْم ُرهُ إِلَٰى‬ َ َ‫َسل‬َ ‫َظٌة ِم ْن َربِ ِه فَا ْنت َ َه َٰٰى فَلَهُ َما‬ َ ‫الربَا ۚ فَ َم ْن َجا َءهُ َم ْو ِع‬ ِ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم‬
َّ ‫الربَا ۗ َوأ َ َح َّل‬
ِ
َ‫ار ۖ ُه ْم فِي َها خَا ِلدُون‬ِ َّ‫اب الن‬ ُ ‫ص َح‬ ْ َ ‫فَأُو َٰلَئِكَ أ‬

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-

5
Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih, hlm. 306

6
Beni Ahmad Saebani, fiqh ushul fiqh, (pusaka setia:2009), hal 270.
orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

3. Kaidah – Kaidah Nahi


a. Nahi menuntut adanya tahrim, disegerakan dan terus-menerus (selamanya).

Dalam kaidah ini terdapat tiga hal, pertama yaitu pada hakikatny aasal nahi
adalah untuk menunjukkan hukum haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram apabila
ada dalil atau qarinah yang menunjukkan. Kedua, adanya larangan itu menunjukkan
atas kesegerahan untuk dipatuhi, dengan kata lain apa yang dilarang wajib dijauhi
secepat mungkin. Ketiga, tuntutan lafadz nahi berlaku untuk selamnya.

b. Nahi atas sesuatu yang tidak dapat dihindari mengandung dilalah atas Nahi yang
diharuskan menjauhi proses awal.

Maksud dari kaidah ini adalah ketika Allah memakai kalimat dalam Al-Qur’an
yang emnunjukkan larangan tidak tegas, maka hal itu menunjukkan hal yang sangat
haram. Misalnya menjauhi zina.

c. Jika syari’ mencegah atas sesuatu (secara umum), maka berlaku atas.

Sebagiannya, begitu juga dengan amr , jika syari’ memerintahkan atas sesuatu
maka berlaku atas keseluruhannya juga. Misalnya ketika syari’ memerintahkan untuk
melakukan sesuatu maka pasti ada manfaatnya dan dalam hal kebagusan, oleh karena
itu diharuskan melakukan semuanya.

d. Hadirnya nahy atas insya dengan bentuk khabar itu lebih mendalam daripada
dengan bentuk insya itu sendiri.

Maksudnya ketika ada pertanyaan yang mengandung insya tapi dengan bentuk
khabar maka syari’ menginginkan agar segera dilakukan, baik itu mengenai perintah
maupun larangan.

e. Nahy itu menunjukkan kerusakan (fasad)

Setiap larangan menghendaki ditinggalkan perbuatan yang dilarang itu, bila


perbuatan itu dilakukannya berarti itu melakukan pelanggaran terhadap yang melarang
dan karenanya ia patut mendapat dosa atau celaan. Oleh karena itu, secara jelas
dikatakan bahwa adanya keputusan adanya nahy itu karaena adanya fasad baik dalam
hal ibadah, muamalah, akad ataupun yang lainnya.7

4. Macam – M acam Nahi


a. Untuk Do’a

Apabila ada kata-kata larangan yang tidak dissertai qarinah atau petunjuk maka
larangan itu artinya haram. Makna larangan yang dimaksud ialah makna yang
sesungguhnya atau zhahirnya, mislanya larangan mendekati zina.

b. Larangan bermakna tais (memutusasakan)


Misalnya pada QS At-Tahrim ayat 7:

َ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ َكفَ ُروا ََل ت َ ْعتَذ ُِروا ْاليَ ْو َم ۖ إِنَّ َما تُجْ زَ ْونَ َما ُك ْنت ُ ْم ت َ ْع َملُون‬

“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini.
Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.”

c. Larangan berarti irsyad (petunjuk)8


Misalnya dalam QS Al-Maidah ayat 101:

ُ ‫ع ْن َها ِحينَ يُن ََّز ُُل ْالقُ ْر‬


َ ‫آن ت ُ ْبدَ لَ ُك ْم‬
َّ ‫عفَا‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫سْؤْ ُك ْم َو ِإ ْن تَسْأَلُوا‬
ُ َ ‫ع ْن أ َ ْش َيا َء ِإ ْن ت ُ ْبدَ لَ ُك ْم ت‬
َ ‫َيا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ََل تَسْأَلُوا‬
‫غفُور َح ِليم‬ َّ ‫ع ْن َها ۗ َو‬
َ ُ‫َّللا‬ َ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu)


hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

7
Siti Fahimah, kaidah-kaidah memahami amr dan nahy, jurnal ilmu Al-Qur’an dan tafsir, vol.1, no.1, 2018,
hal.9-10.
8
Beni Ahmad Saebani, fiqh ushul fiqh, (pusaka setia:2009), hal 271-272.
5. Syarat - Syarat Nahi
a. Menunjukkan Haram

Alasannya, apabila ada kata kata larangan yang tidak disertai Qarinah, akal kita dapat
mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti menunjukkan
pengertian yang sebenarnya. Demikian pemahaman lama salaf

Qarinah ialah kata kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu tidak
menyebabkan haram.

b. Menunjukan Makruh

Alasanya, larangan itu hanya menunjukan buruknya perbuatan yang dilarang.


Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukan rusaknya perbuatan yang
dilarang9

9
Chaerul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II (Bandung : Pustaka Setia, 2001), hlm.124
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ulama dalam beberapa kaidah tentang penafsiran tidak bias dilupakan begitu saja,
termasuk dalam Amr dan Nahy. Secara bahasa kita bias memahami bahwa Amr dan Nahy
adalah sesuatu larangan dan perintah tapi kadang-kadang dia berubah maknanya sesuai
dengan qarinah yang ada, karena Amr dan Nahy mempunyai makna hakikat dan majazi.

Tidak hanya itu, memahami Amr dan Nahy sangat penting karena didalamnya akan
banyak ditemukan konsekuensi hokum yang berbeda-beda dan akan dipakai dalam
kehidupan sehari-hari, tetapi walau bagaimana perbedaan yang dibingkai oleh tirai
ketulusan dalam membentangkan syariat yang elastis akan menciptakan kemajuan
signifikan dalam tatanan kejayaan islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ma‟sum, Muhammad Zein Zudbah, 2008, Ushul Fiqh (JawaTimur : Darul Hikmah)

Zuhri, Moh dan Ahmad Qarib, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, (Semarang: Toha Putra Group)
Effendi, Satria, M. Zaen, , 2017, Ushul Fiqh, (Jakarta : Prenademedia Group)
Karim, Syafi‟ i , 2001, Fiqih-Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia)

Umam, Chaerul dan Achyar Aminudin, 2001, Ushul Fiqh II (Bandung : Pustaka Setia)
Fahimah, Siti, 2018, kaidah-kaidah memahami amr dan nahy, (jurnal ilmu Al-Qur’an dan
tafsir)
Saebani, Beni Ahmad, 2009, fiqh ushul fiqh, (Bandung: Pusaka Setia)

Anda mungkin juga menyukai