Anda di halaman 1dari 14

LAFADZ AMR, NAHI, TAKHYIR

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah “Ushul Fiqih”

Dosen Pengampu : Drs. M. Muhsin, M.H.

Disusun Oleh :

Kelompok 9

Gita Puspita Ningrum (102190121)


Khaula Restiana (102190125)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat dan
hidayah Allah swt kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya. Makalah pada mata kuliah Ushul Fiqih yang berisikan tema tentang
Amr, Nahi, dan Takhyir.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi
besar Muhammad saw, beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman, dengan
diiringi upaya meneladani akhlaknya yang mulia.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman dan juga berguna untuk menambah pengetahuan bagi para
pembaca.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu, kami harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan – masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Ponorogo, 13 Februari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. AMR........................................................................................................................ 3
B. NAHI....................................................................................................................... 5
C. KHIYAR ................................................................................................................. 7

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau
ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting
sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadist
menggunakan bahasa Arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung
didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim
yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama
untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada
masa Rasulullah SAW. Karena zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan
Hadits sudah tidak akan ada penambahan dan perubahan karena memang segalanya
sudah tercakup di dalam Al-Qur’an. Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh
agama islam yang berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan
yang semakin hari kian banyak dan mempengaruhi kemantapan hati umat islam dalam
beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak
hanya menggunakan akal pikiran semata namun, semua pemikiran itu dilandaskan
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’,
yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu
meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring
berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang. Begitupun juga terkait
dalil-dalil antara perintah dan larangan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian amr?
2. Bagaimana bentuk – bentuk amr?
3. Bagaimana syarat – syarat amr?
4. Bagaimana pengertian nahi?
5. Bagaimana bentuk – bentuk nahi?
6. Bagaimana syarat – syarat nahi?
7. Apa itu takhyir?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian amr.
2. Mengetahui bentuk – bentuk amr.
3. Mengetahui syarat – syarat amr.
4. Mengetahui pengertian nahi.
5. Mengetahui bentuk – bentuk nahi.
6. Mengetahui syarat – syarat nahi.
7. Mengetahui tentang takhyir.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. AMR
1. Pengertian Amr
Menurut bahasa Arab, amr artinya perintah. Sedangkan menurut istilah amr
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
amr itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk
kata) amr saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya
mengandung arti perintah. Jadi, amr merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang sifatnya mewajibkan atau mengharuskan1.
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Ali Hasbullah menyatakan bahwa amr
berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang
yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah
tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi
daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh
harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah
kepada hambanya.
2. Bentuk – Bentuk Amr
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat Amar
berbentuk sebagai berikut:
a) Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung
َّ ‫َوأَقِ ْي ُم ْواال‬
‫صلَ ٰوة‬
“Dan dirikanlah shalat”2
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam bentuk amr
atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya
menuntut perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan kepastian.
Sebab menurut pendapat yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amr
dan shighat lain yang bermakna sama dengannya ditetapkan untuk

1
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh. (JawaTimur : Darul Hikmah), 2008., hlm. 52.
2
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II. (Bandung : Pustaka Setia), 2001., hlm. 112.

3
mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia
menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan
untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali
dengan adanya suatu qarinah (hubungan atau keterkaitan kata sebelum
dan sesudahnya). Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan
atau hubungan) yang dapat memalingkan shighat perintah dari makna
kewajiban kepada makna lainnya, maka ia dipahami sesuai dengan apa
yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah (pembolehan)3.
b) Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam amr. Misalnya,
firman Allah:

ِ ‫ت ْالعَتِ ْي‬
‫ق‬ ِ ‫ط َّوفُ ْوا بِا ْلبَ ْي‬
َّ َ‫َو ْلي‬

“Dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS. Al-
Haj: 29).

c) Isim Fi’il amr

َ ُ‫علَ ْي ُك ْم اَ ْنف‬
‫س ُك ْم‬ َ
“Jagalah dirimu”. (QS. Al-Maidah: 105).
d) Masdar pengganti fi‟il, seperti:

َ ْ‫َو ِبا ْل َوا ِل َدي ِْن اِح‬


‫سا نًا‬
“Dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al-Baqarah: 83).
e) Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya.
‫علَ ْي ِه ْم فِ ْي اَ ْز َوا ِج ِه ْم‬ َ ‫قَ ْد‬
ْ ‫ع ِل ْمنَا َما فَ َر‬
َ ‫ضنَا‬
“Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan
kepada mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al-Ahzab: 50).

‫الصيَا ُم‬ ُ ‫علَ ْي‬


ِ ‫ک ُم‬ َ ِ‫يـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ا َمنُ ْوا ُكت‬
َ ‫ب‬

“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS.


Al-Baqarah: 183).

ِ ‫ّللاَ َيأ ْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن ت ُ َؤدُّوا ْالَ من‬


‫ت‬ ٰ ‫ا َِّن‬

3
Moh.Zuhri dan Ahmad Qarib, Ilmu Ushul Fiqih. (Semarang: Toha Putra Group), 1994., hlm. 306.

4
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa‟: 58).

Bentuk amr kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan


digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui
dari susunan kalimatnya.

3. Syarat Amr
Adapun syarat yang harus dimiliki amr adalah sebagai berikut:
a. Harus berupa ucapan perintah (amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan
namanya do’a4.
Suatu kata perintah (fii’il amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a) Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan
tuntunan perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b) Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang
diminta (ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya
perbuatan yang diminta, seperti berdiri, dan duduk. Apabila disatukan
kedua sisi tersebut dalam amr, maka maksudnya tidak lebih dari pada
hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda –
tanda yang menunjukkan berulang – ulangnya perbuatan itu.
Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali
saja, karena menurut kaidah “tidak ada kewajiban lebih dari pada
tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang hamba)”.

B. NAHI
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-Man’u), sedangkan
Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan
kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau

4
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh. (Jawa Timur: Darul Hikmah), 2008., hlm. 52.

5
lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan
oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia
dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi, nahi adalah suatu larangan
yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT
kepada hamba-Nya. Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan
haram.
Kecuali apabila ada qarinah yang mempengaruhinya, maka nahi tersebut tidak
lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram5.
2. Bentuk – Bentuk Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:
a. Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti “Janganlah kamu membuat
kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b. Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan sesuatu
perbuatan, seperti “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(QS. Al Baqarah: 275).
3. Syarat – Syarat Nahi
a. Menunjukkan haram
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita
dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat
dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula
pemahaman ulama Salaf. Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan,
yang menyebabkan larangan itu tidak menyebabkan haram.
b. Menunjukan makruh

5
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II. (Bandung: Pustaka Setia)., hlm. 118.

6
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya perbuatan yang dilarang.
Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya
perbuatan yang dilarang6.
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah
Larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah, contohnya zina.
Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar-Razi berpendapat bahwa “nahi
itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali
hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama
Syafi’iyyah, Hanafiah, dan Muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak
menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah atau
bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan
muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul
Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan
muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan
tidak sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah)”.

C. TAKHYIR
Takhyir berasal dari bahasa Arab (‫ )تخييرا‬yang secara etimologi berarti
menyuruh pilih atau memberi kebebasan memilih7. Sedangkan secara epistimologi
takhyir adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah (As-Syari’) untuk memilih
antara melakukan atau tidak. Para ulama’ menamakan kitab ini ibahah (mubah) dan
demikian pula sifat perbuatan itu8. Adapun menurut Prof. Dr. Rahmat Syafe’i, takhyir
(fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya
dengan posisi yang sama9. Sedangkan di dalam kamus Istilah Fiqh dijelaskan bahwa
Hukum Takhyiri ialah suatu hukum yang sifatnya boleh memilih, yakni boleh
dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum Takhyiri mencakup Sunat, Makruh dan
Mubah10.

6
Ibid.
7
Adib Bisri, Munawwir A. Fatah, Kamus Al-Bisri. (Surabaya: Pustaka Progresif), 1999., hlm. 181.
8
Muhammad al-Khudhari Beik, Ushul Fiqh Terjemahan Faiz el-Muttaqien. (Jakarta: Pustaka Amani), 2007.,
hlm. 63.
9
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh. (Bandung: Pustaka Setia), 2007., hlm. 296.
10
M. Abdul Mujieb, Kamus Istilah Fiqih. (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1994., hlm. 107.

7
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan dengan menggabungkan
antara definisi pertama dan kedua bahwa takhyir sama dengan mubah. Karena
pembahasan tentang takhyir di dalam kitab-kitab ushul fiqh sangat terbatas, maka
penulis akan menjelaskan tentang mubah dan tidak lagi memakai kata takhyir. Hal ini
diperkuat dengan adanya definisi takhyir bahwa Allah SWT. memberikan kebebasan
kepada orang mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya, seperti, makan,
tidur dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang biasa dikerjakan manusia pada waktu-
waktu tertentu, dimana Allah memang memerintahkan perbuatan-perbuatan tersebut,
hanya saja tidak memberikan ketentuan waktunya11.
Untuk memberikan hak pilih antara melakukan atau tidak melakukan dalam al-
Qur’an terdapat berbagai cara, antara lain seperti disebutkan Khudari Bik adalah :
a. Menyatakan bahwa suatu perbuatan halal dilakukan, misalnya dalam surat Al-
Baqarah: 187.

َ ِ‫ث ِإلَى ن‬
‫سائِ ُك ْم‬ ُ َ‫الرف‬ ِ َ‫أ ُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
َّ ‫الصيَ ِام‬
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan istri-
istri kamu”
b. Pembolehan dengan menafikkan dosa dari suatu perbuatan, misalnya dalam surat
Al-Baqarah: 173.
‫غفُور َر ِحيم‬
َ َ‫ّللا‬ َ ‫عاد فَال إِثْ َم‬
َّ ‫علَ ْي ِه إِ َّن‬ َ ‫غي َْر بَاغ َول‬ ُ ‫ض‬
َ ‫ط َّر‬ ْ ‫فَ َم ِن ا‬
“Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
c. Pembolehan dengan menafikkan kesalahan dari melakukan suatu perbuatan.
Contohnya dalam surat Al-Baqarah: 235.
‫اء أَ ْو أَ ْكنَ ْنت ُ ْم فِي أَ ْنفُ ِس ُك ْم‬
ِ ‫س‬ ْ ‫ضت ُ ْم بِ ِه ِم ْن ِخ‬
َ ِ‫طبَ ِة الن‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم فِي َما‬
ْ ‫ع َّر‬ َ ‫َول ُجنَا َح‬
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”.
Ayat tersebut membolehkan meminang wanita yang dalam iddah wafat, tetapi
dengan sindiran bukan terus terang.

Pembagian mubah menurut ulama’ Ushul Fiqh dilihat dari segi keterkaitannya
dengan mudarat dan manfaat, yaitu:

11
Ibid.

8
a. Mubah apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat, seperti
makan, minum, berpakaian dan berburu.
b. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedang perbuatan
itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini diantaranya melakukan
sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan babi karena tidak ada
makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila tidak dimakan, maka seseorang
akan mati.
c. Sesuatu yang pada dasanya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan menurut
syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi
mubah. Contoh untuk kategori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan
haram sebelum Islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri), dan mengawini
dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari’at Islam yang
mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang
melakukannya sebelum Islam dimaafkan. Dalam hal ini Allah berfiman:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji
dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (Q.S. An-Nisa’:
22).

9
BAB III
KESIMPULAN

Menurut bahasa Arab, amr artinya perintah. Sedangkan menurut istilah amr
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
amr itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk
kata) amr saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya
mengandung arti perintah. Jadi, amr merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang sifatnya mewajibkan atau mengharuskan.
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-Man’u), sedangkan
Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan
kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau
lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan
oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia
dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Takhyir berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti menyuruh pilih
atau memberi kebebasan memilih. Sedangkan secara epistimologi takhyir adalah
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah (As-Syari’) untuk memilih antara melakukan
atau tidak. Hukum Takhyiri mencakup Sunat, Makruh dan Mubah. Dari beberapa
definisi di atas, dapat disimpulkan dengan menggabungkan antara definisi pertama
dan kedua bahwa takhyir sama dengan mubah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein. Ushul Fiqh. Jawa Timur: Darul Hikmah, 2008.

Uman, Chaerul dan Achyar Aminudin. Ushul Fiqh II. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Zuhri, Moh. dan Ahmad Qarib. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra Group, 1994.

Fatah, A. Munawwir. Kamus Al-Bisri. Surabaya: Pustaka Progresif, 1999.

Beik, Muhammad Al-Khudhari. Ushul Fiqh Terjemahan Faiz El-Muttaqien. Jakarta:


Pustaka Amani, 2007.

Syafe’I, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Mujieb, M. Abdul. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

11

Anda mungkin juga menyukai