Anda di halaman 1dari 27

QASAM DALAM AL-QUR’AN

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Salah Satu Mata Kuliah

Kajian Kitab Tafsir pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Bone

Oleh :

APRI ASHAR ISHAQ


762312019025

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas

limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul “QASAM

DALAM AL-QUR’AN” dapat selesai dengan baik. Adapun makalah ini disusun

untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kajian Kitab Tafsir oleh bapak Dr.

Bunyamin, M. Ag.

Salawat dan salam senantiasa tercurah atas junjungan kita Rasulullah

Shallalahu ‘alaihi wassalam sebagai suri teladan dalam kehidupan ini. Dengan

rahmat dan petunjuk-Nya akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan dikarenakan

terbatasnya kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki, namun kami telah

berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya dengan baik dan semoga

makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak khususnya pembaca.

Watampone, 20 November 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penulisan 3

Sekilas tentang Syaikh Manna’ Al-Qaththan 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Definisi Dan Model Qasam 5

2.2 Faedah Qasam Dalam Al-Qur’an 7

2.3 Muqsam Bih Dalam Al-Qur’an 8

2.4 Jenis-Jenis Sumpah 10

2.5 Kondisi Muqsam Alaih 12

2.6 Qasam Dan Syarat 17

2.7 Beberapa Fi’il Yang Berfungsi Sebagai Qasam 19

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 21

3.2 Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Al-Qur’an mengajak untuk berbaik sangka kepada Allah, bertawakkal

pada-Nya, berpikir positif, percaya akan janji Allah yang haq, menanti

kelapangan dari-Nya, meyakini adanya kemudahan setelah kesulitan,

mengingatkan untuk tidak bersedih atas apa yang telah berlalu karena itu

telah tertulis di Lauh Mahfuzh, serta untuk tidak mengkhawatirkan masa

depan karena ia belum lagi hadir. Ia juga menjanjikan kekayaan setelah

kemiskinan, kemuliaan setelah kehinaan dan melarang untuk berputus asa,

berpikir negatif, tidak bergairah untuk berbuat, berburuk sangka dan ragu.

Sesungguhnya Kitab yang mulia ini adalah kitab terbesar dan teragung

yang mengajak kepada kebahagiaan, kegembiraan, kesukacitaan dan

kesenangan. Ia membahagiakan seolah mengatakan: “Tenanglah, teguhlah,

bahagialah, berpikir positiflah, suka cita dan gembiralah, karena di

penghujung setiap malam ada pagi yang cerah, dibalik setiap bukit ada

taman, setelah perjalanan yang jauh ada sungai yang mengalir, dan dibalik

batu yang besar ada mata air yang sejuk, dibawah terik matahari ada tempat

bernaung, dan setelah kelelahan ada tidur tenang yang lelap dan

melapangkan. Dan ‘Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan.’

(Al-Insyirah: 6).” (DR. ‘Aidh Al-Qarni dalam Hakadza Haddatsana Az-

Zaman, hal. 169).

1
Demikianlah, bahwa Al-Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu,

petunjuk dan inspirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis. Tapi

disaat yang sama, Al-Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati.

Hanya saja ada sebuah persoalan rumit yang selalu menjadi sebab kita tak

pernah mendapatkan itu semua: keengganan kita untuk mengkaji untaian

isinya yang diturunkan Allah kepada kita semua. Kita tidak pernah berhasil

benar dalam meraih puncak ilmu, ptunjuk dan kebahagiaan, karena kita

lebih terasing dari Kitab yang mulia ini. Kita tidak pernah benar-benar

seperti yang dikatakan oleh seorang sahabat Nabi, “Bacalah Al-Qur’an

seolah ia baru diturunan saat ini untukmu.” Maka tidak mengherankan jika

kita pun seperti yang dikatakan Utsman RAdhiyallahu Anhu, “ Jika saja hati

kalian itu suci, maka ia tidak akan pernah kenyang dan puas dengan

Kalamullah.”

Meski demikian, tentu kita tak boleh putus asa. Upaya mengakrabi Al-

Qur’an adalah upaya sepanjang hayat. Hari ini, esok, bulan depan, tahun

depan, hingga seterusnya adalah hari-hari yang harus kita lewati untuk

mereguk ilmu, petunjuk dan kebahagiaan Al-Qur’an itu.

2
1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

1. Apa definisi dan model Qasam?

2. Apa faedah Qasam dalam Al-Qur’an?

3. Bagaimana Muqsam dalam Al-Qur’an?

4. Apa saja jenis-jenis sumpah?

5. Bagaimana kondisi Muqsam Alaih?

6. Apa konsep Qasam dan Syarat?

7. Apa saja Fi’il yang berfungsi sebagai Qasam?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini, adalah sebagai berikut :

1. Menjelaskan definisi dan model Qasam.

2. Menjelaskan faedah Qasam dalam Al-Qur’an.

3. Menjelaskan Muqsam dalam Al-Qur’an.

4. Menjelaskan jenis-jenis sumpah.

5. Menjelaskan kondisi Muqsam Alaih.

6. Menjelaskan tentang Qasam dan Syarat.

7. Menjelaskan beberapa Fi’il yang berfungsi sebagai Qasam.

3
Sekilas tentang Syaikh Manna’ Al-Qaththan

Syaikh Manna’ Al-Qaththan adalah seorang ulama terkenal yang dulunya

merupakan ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh dan saat ini beliau menjadi

pengajar di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud di Riyadh Arab Saudi.

Beliau meruipakan seoarng yang mengupas dengan sangat cermat dan

menyeluruh mengenai seluk-beluk Al-Qur’an. Yang dituangkan dalam karyanya

yang berjudul “Mahabits Fi Ulumi Al-Qur’an”.

4
BAB II

PEMBAHASAN

Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk

terhadap cahayanya itu berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak

ternoda kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati

bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai

kepadanya hanya sepintas kilas. Sedang jiwa yang tertutup oleh kejahilan dan

gelapnya kebatilan tidak akan tergerak hatinya kecuali dengan peringatan dan

kalimat yang keras, dengan cara seperti itulah keingkarannya tergerak. Qasam

(sumpah) dalam perkataan, termasuk salah satu cara memperkuat ungkapan

kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan dapat mengakui apa

yang semula diingkarinya.

2.1 DEFINISI DAN MODEL QASAM

Aqsam adalah bentuk bentuk jamak dari qasam yang berarti al-hilf dan al-

yamin, yakni sumpah. Shighat asli qasam ialah fi’il atau kata kerja “aqsama” atau

“ahlafa” yang di-muta’addi (transitif)-kan dengan “ba” menjadi muqsam bih

(sesuatu yang digunakan untuk bersumpah), kemudian muqsam alaih, yang

dinamakan dengan jawab qasam. Misalnya firman Allah,

۟ ‫ث اَل ۙ أَ ْي ٰمنِ ِه ْم َج ْه َد بٱهَّلل ِ َوأَ ْق َس ُم‬


ۚ ‫وا‬ ُ ‫وت َمن ٱهَّلل ُ يَ ْب َع‬
ُ ‫يَ ُم‬
ِ َ

5
“Mereka bersumpah dengan nama Allah, dengan sumpah yang sungguh-

sungguh, bahwasanya Allah tidak akan membangkitkan orang yang

mati…“ (An-Nahl:38).

Dengan demikian, ada tiga unsur dalam shighat qasam (sumpah): fi’il yang

ditransitifkan dengan “ba” muqsam bih dan muqsam alaih.

Oleh karena qasam itu sering dipergunakan dalam percakapan maka ia

ringkas, yaitu fi’il qasam dihilangkan dan dicukupkan dengan “ba” kemudian

“ba” pun digantikan dengan “wawu” pada isim zhahir, seperti,

‫يَ ْغ َش ٰى إِ َذا َوٱلَّ ْي ِل‬

“Demi malam, bila menutupi (cahaya siang).” (Al-Lail:1)

Dan diganti dengan “ta” pada lafazh jalalah, misalnya:

ِ ‫مصْ ٰنَ َم ُكأ َ أَل َ ِكي َد َّن َوتَٱهَّلل‬

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap

berhala-berhalamu.” (Al-Anbiya’:57).

Namun qasam dengan “ta” ini jarang dipergunakan, sedang yang banyak

ialah dengan “wawu”.

Qasam dan yamin mempunyai makna yang sama. Qasam didefinisikan

sebagai “mengikat jiwa (hati) agar tidak melakukan atau melakukan sesuatu,

dengan “suatu makna” yang dipandang besar, agung, baik secara hakiki maupun

secara I’tiqadi, oleh orang yang bersumpah itu. Sumpah dinamakan juga dengan

6
yamin (tangan kanan), karena orang Arab ketika sedang bersumpah memegang

tangan kanan orang yang diajak bersumpah.

2.2 FAEDAH QASAM DALAM AL-QUR’AN

Bahasa Arab mempunyai keistimewaan tersendiri berupa kelembutan

ungkapan dan beraneka ragam uslubnya sesuai dengan tujuannya. Lawan bicara

(mukhathab) mempunyai beberapa keadaan yang dalam ilmu ma’ani disebut

adhrubul khabar ats-tsalatsah atau tiga macam pola penggunaan kalimat berita;

ibtida’i, talabi dan inkari.

Mukhathab terkadang seorang berhati kosong (khaliy azh-zhihni), sama

sekali tidak mempunyai persepsi akan pernyataan (hukum) yang diterangkan

kepadanya, maka perkataan yang disampaikan kepadanya tidak perlu memakai

penguat (ta’kid). Penggunaan perkataan demikian dinamakan ibtida’i.

Terkadang ia ragu-ragu terhadap kebenaran pernyataan yang disampaikan

kepadanya. Maka perkataan untuk orang semacam ini sebaiknya diperkuat dengan

suatu penguat guna menghilangkan keraguannya. Perkataan demikian dinamakan

thalabi.

Dan terkadang ia ingkar atau menolak isi pernyataan. Maka pembicaraan

untuknya harus disertai penguat sesuai kadar pengingkarannya, kuat atau lemah.

Pembicaraan ini disebut dengan inkari.

Qasam merupakan salah satu penguat perkataan yang mahsyur untuk

memantapkan dan memperkuat kebenaran sesuatu di dalam jiwa. Al-Qur’an Al-

Karim diturunkan untuk seluruh manusia, dan manusia mempunyai sikap yang

7
bermacam-macam terhadapnya. Di antaranya ada yang meragukan, ada yang

mengingkari dan ada pula yang amat memusuhi. Karena itulah dipakailah qasam

dan Kalamullah, guna menghilangkan keraguan, melenyapkan kesalahpahaman,

membangun argumentasi, menguatkan khabar dan menetapkan hukum dengan

cara paling sempurna.

2.3 MUQSAM BIH DALAM AL-QUR’AN

Allah bersumpah dengan Dzat-nya yang kudus dan mempunyai sifat-sifat

khusus, atau dengan ayat-ayat-Nya yang memantapkan eksistensi dan sifat-sifat-

Nya. Dan sumpah-Nya dengan sebagian makhluk menunjukkan bahwa makhluk

itu termasuk salah satu ayat-Nya yang besar.

Allah telah bersumpah dengan Dzat-nya sendiri dalam Al-Qur’an pada

tujuh tempat:

1. “Orang-orang kafir menyangka bahwa mereka sekalikali tidak akan

dibangkitkan. Katakanlah: Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar

kamu akan dibangkitkan.” (At-Taghabun:7).

2. “Dan orang-orang kafir berkata: Hari berbangkit itu tidak akan dating

kepada kami. Katakanlah: Pasti dating, demi Tuhanku, sungguh kiamat

itu pasti akan dating kepadamu.” (Saba’:3).

3. “Dan mereka menanyakan kepadamu: Benarkah (adzab yang

dijanjikan) itu? Katakanlah: Ya, demi Tuhanku, sesungguhnya adzab itu

benar.” (Yunus:53).

8
Dalam ketiga ayat ini Allah memerintahkan Nabi agar bersumpah dengan

Dzat-Nya.

4. “Demi Tuhanmu, sungguh Kami akan membangkitkan mereka bersama

syaitan.” (Maryam:68).

5. “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua!” (Al-

Hijr:92).

6. “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman

hungga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka

perselisihkan.” (An-Nisa’:65).

7. “Maka Aku bersumpah dengan Tuhan yang memiliki timur dan barat.”

(Al-Ma’arij:40).

Semua sumpah dalam Al-Qur’an (kecuali ketujuh diatas) adalah dengan

menggunakan nama makhluk. Misalnya,

َ ‫﴾ َوض‬١﴿ ‫﴾ تَاَل هَا إِ َذا َو ْالقَ َم ِر‬٢


ِ ‫ُحاهَا َوال َّش ْم‬
﴿‫س‬
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila

mengiringinya..” (Asy-Syams: 1-2);

“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang

benderang, dan penciptaan laiki-laki dan perempuan.” (Al-Lail:1-3);

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh…” (Al-Fajr: 1-4);

“Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang.” (At-Takwir:15);

Dan,

“Demi Tin dan Zaitun, dan demi bukit Sinai.” (Ath-Thin:1-2).

Sumpah inilah yang paling banyak ditemui dalam Al-Qur’an.

9
Allah bisa bersumpah dengan apa saja yang dikehendaki-Nya. Adapun

sumpah manusia dengan selain Allah merupakan salah satu bentuk kemusyrikan.

Diriwayatkan dari Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu, bahwa Rasulullah

shalallallahu alaihi wa sallam, bersabda: “Barang siapa bersumpah dengan selain

(nama) Allah, maka ia telah kafir atau telah mempersekutukan (Allah).”

Allah bersumpah dengan makhluk-Nya, karena makhluk itu menunjukkan

Penciptanya, yaitu Allah, di samping menunjukkan pula akan keutamaan dan

kemanfaatan makhluk tersebut, agar dijadikan pelajaran bagi manusia. Dari Al-

Hasan diriwayatkan, ia berkata, “Allah boleh bersumpah dengan makhluk yang

dikehendaki-Nya. Namun tidak boleh bagi seorang pun bersumpah kecuali dengan

(nama) Allah.”

2.4 JENIS-JENIS SUMPAH

Qasam itu adakalanya tampak jelas, tegas dan adakalanya tidak jelas

(tersirat).

1). Zhahir, ialah sumpah yang didalamnya disebutkan fi’il qasam dan

muqsam bih. Dan diantaranya yang ada yang dihilangkan fi’il qasamnya,

sebagaimana pada umumnya, karena dicukupkan dengan huruf jar berupa

“ba”, “wawu” dan “ta”.

Dan ada juga yang didahului “la nafy”, seperti,

﴿ ‫﴾ ْٱلقِ ٰيَ َم ِة بِيَ ْو ِم أُ ْق ِس ُم ٓاَل‬١﴿ ‫س أُ ْق ِس ُم َوٓاَل‬


ِ ‫﴾ ٱللَّ َّوا َم ِة بِٱلنَّ ْف‬٢

10
“Tidak sekali-kali, Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan tidak sekali-

kali, Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).”

(Al-Qiyamah:1-2)

Sebagian ulama mengatakan, “la” di dau tempat ini adalah “la nafy”, untuk

menafikan sesuatu yang tidak disebutkan yang sesuai dengan konteks sumpah.

Dan misalnya adalah:

“Tidak benar apa yang kamu sangka, bahwa hisab dan siksa itu tidak ada.”

Kemudian baru dilanjutkan dengan kalimat berikutnya,

“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan dengan nafsu lawwamah, bahwa

kamu kelak akan dibangkitkan.”

Ada pula yang mengatakan bahwa “la” tersebut untuk menafikan qasam,

seakan-akan Ia mengatakan, “Aku tidak bersumpah kepadamu dengan hari itu dan

nafsu itu. Tetapi aku bertanya kepadamu tanpa sumpah, apakah kamu mengira

bahwa Kami tidak akan mengumpulkan tulang belulangmu setelah hancur amat

jelas, sehingga tidak lagi memerlukan sumpah.”

Tetapi juga ada berpendapat, bahwa “la” tersebut za’idah (tambahan).

Jawaban qasam dalam ayat di atas tidak disebutkan, indikasinya adalah ayat

sesudahnya (Al-Qiyamah:3). Penjelasannya ialah: “Sesungguh kamu akan

dibangkitkan dan akan dihisab.”

2). Mudhmar, yaitu yang didalamnya tidak dijelaskan fi’il qasam dan tidak

pula muqsam bih, tetapi ia ditunjukkan oleh “Lam taukid” yang termasuk

kedalam jawab qasam, seperti firman Allah:

‫َوأَنفُ ِس ُك ْم أَ ْم ٰ َولِ ُك ْم فِ ٓى لَتُ ْبلَ ُو َّن‬

11
“Kami sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu.” (Al-

Imran:186).

Maksudnya adalah, Demi Allah, kamu sungguh-sugguh akan diuji.

2.5 KONDISI MUQSAM ALAIH

1. Tujuan qasam adalah untuk mengukuhkan dan mewujudkan

muqsam’alaih. Karena itu, muqsam ‘alaihi haruslah berupa hal-hal yang

layak untu disumpahkan, seperti masalah ghaib dan tersembunyi.

Sumpah di sini digunakan untuk menetapkan kebenarannya.

2. Jawab qasam itu biasanya disebutkan. Dan terkadang tidak disebutkan,

sebagaimana jawaban “lau” (jika) sering dibuang, seperti firman Allah,

َ ‫ين ِع ْل َم تَ ْعلَ ُم‬


‫ون لَ ْو َكاَّل‬ ِ ِ‫ْٱليَق‬
“janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin.”

(At-Takatsur: 5).

Penghilang seperti ini merupakan salah satu uslub paling baik, sebab

menunjukkan kebesaran dan keagungan. Dan redaksi ayat ini misalnya:

“Seandainya kamu mengetahui apa yang akan kamu hadapi secara yakin,

tentulah kamu akan melakukan kebaikan yang tidak terlukiskan

banyaknya.”

Penghilang jawaban qasam, misalnya,

12
ْ ‫) ٍر‬2( ‫ش ْف ِع‬
(4) )1( ‫ش َع َل َيال ٍَو‬ َّ ‫) َوا ْل َو ْت ِر َوال‬3( ‫َي ْس ِر إِ َذا َوال َّل ْي ِل‬

‫َوا ْل َف ْج ِر‬

َ ‫) ح ِْج ٍر لِذِي َق‬5( ‫ف َت َر أَ َل ْم‬


(6)ْ‫س ٌم َذلِ َك فِي َهل‬ َ ‫ِب َعا ٍد َر ُّب َك َف َعل َ َك ْي‬

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil,
dan malam bila berlalu. Pada yang demikian itu terdapat sumpah (yang
dapat diterima oleh orang-orang yang berakal). Apakah kamu tidak
memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum “Ad?” (Al-
Fajr: 1-6).

Yang dimaksud dengan sumpah disini ialah, waktu yang mengandung amal-

amal seperti ini pantas untuk dijadikan oleh Allah sebagai sumpah. Karena itu ia

tidak memerlukan jawaban lagi. Namun demikian, ada sementara pendapat

mengatakan, jawab qasam itu disebutkan, yaitu firman-Nya, “Sesungguhnya

Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Al-Fajr: 14). Pendapat yang benar dan

sesuai dalam hal ini adalah bahwa qasam tidak memerlukan jawaban.

Jawaban qasam terkadang dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh

perkataan yang disebutkan atasnya, seperti,

“Aku bersumpah dengan Hari Kiamat dan Aku bersumpah dengan jiwa

yang banyak mencela.” (Al-Qiyamah: 1-2).

Jawab qasam disini dihilangkan karena sudah ditunjukkan oleh firman

sesudahnya, yaitu,

“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan kembali

tulang belulangnya?” (Al-Qiyamah: 3).

13
Penjelasannya ialah: sungguh kamu akan dibangkitkan dan dihisab.

3. Fi’il madhi mutsbat mutasahrrif yang tidak didahului ma’mul-nya

apabila menjadi jawab qasam, haris disertai dengan “lam” dan “qad”.

Dan salah satu kedaunya ini tidak boleh dihilangkan kecuali jika kalimat

terlalu panjang, seperti,

ُ ‫) َو‬1( ‫) َتاَل هَا إِ َذا َق َمرا ْل َو‬2( ‫ار‬


‫ض َحاهَا‬ ِ ‫ إِ َذا َوال َّن َه‬-‫) َجاَّل َها‬3( ‫إِ َذا َوا َّل ْي ِل‬

‫س‬ َّ ‫َوال‬
ِ ‫ش ْم‬

َ ‫) َي ْغ‬4( ‫اء‬
‫شاهَا‬ ِ ‫) َط َحاهَا َو َما َواأْل َ ْر‬6( ‫س‬
َّ ‫) َب َناهَا َو َما َو‬5( ‫ض‬
ِ ‫الس َم‬ ٍ ‫َو َما َو َن ْف‬

(9) ‫س َّواهَا‬
َ )7( ‫ورهَا َفأ َ ْل َه َم َها‬
َ ‫) َو َت ْق َواهَا فُ ُج‬8( ْ‫َز َّكاهَا َمنْ أَ ْف َل َح َقد‬

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila

mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila

menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta

penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka

Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya,

sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (Asy-

Syams:1-9)

Atas dasar itu para ulama berpendapat tentang firman Allah: “Demi langit

yang mempunyai gugusan bintang, dan hari yang dijanjikan, dan yang

menyaksikan dan yang disaksikan. Telah dibinasakan orang-orangyang membuat

parit.” (Al-Buruj:1-4): Yang paling baik ialah qasam disini tidak memerlukan

14
jawab, sebab maksudnya adalah mengingatkan akan muqsam bih karena ia

termasuk ayat-ayat Tuhan yang besar. Dalam pada itu ada yang berpendapat,

jawab qasam tersebut dihilangkan dan ditunjukkan oleh ayat keempat.

Maksudnya mereka itu -yakni orang kafir Mekkah- terkutuk sebagaimana ashabul

ukhdud terkutuk. Juga ada yang mengatakan, yang dihilangkan itu hanyalah

permulaannya saja, dan taqdirnya ialah:…., sebab fi’il madhi jika menjadi jawab

qasam harus disertai “lam” dan “qad”, dan tidak boleh dihilangkan salah satunya

kecuali jika kalam terlalu panjang sebagaimana dikemukakan di atas, berkenaan

dengan firman-Nya asy-Syams 91: 1-9.

4. Allah bersumpah atas prinsip-prinsip keimanan yang diwajibkan

diketahui makhluk. Disini terkadang Ia bersumpah untuk menjelaskan

tauhid, seperti firman-Nya,

(3) ‫ت‬ َّ ‫ص ًّفا َوال‬


ِ ‫صا َّفا‬ َّ ‫) َز ْج ًرا َف‬2( ‫الت‬
ِ ‫الزا ِج َرا‬
َ )1( ‫ت‬ َّ ‫ت َف‬
ِ ‫ذ ِْك ًرا الِ َيا‬

(4) َّ‫إِن‬ ‫َل َوا ِح ٌد إِ َل َه ُك ْم‬


“Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya, dan demi

(rombongan) yang melarang denagn sebenar-benarnya (dari perbuatan-

perbuatan maksiat), dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran,

sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Esa.” (As-Shaffat:1-4).

Terkadang untuk menegaskan bahwa Al-Qur’an itu baik, seperti firman-

Nya,

“Maka Aku bersumpah dengan masa turunnya bagian-bagian Al-Qur’an.

Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu

15
mengetahui. Sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah adalah bacaan yang

sangat mulia.” (Al-Waqi’ah:75-77).

Terkadang untuk menjelaskan bahwa Rasul itu benar, seperti dalam,

“Ya sin. Demi Al-Qur’an yang penuh hikmah, sesumgguhnya kamu adalah

salah sesorang dari rasul-rasul.” (Yasin:1-3).

Terkadang untuk menjelaskan batasan, janji dan ancaman, seperti,

“Demi (angin) yang menebarkan debu dengan sekuat-kuatnya, dan awan

yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah,

dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, sesungguhnya apa

yang dijanjikan kepadamu pasti benar, dan sesungguhnya (hari)

pembalasan past terjadi.” (Adz-Dzariyat: 16).

Dan terkadang juga untuk menerangkan kondisi manusia,

“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang) dan siang apabila terang-

benderang, dan penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha

kamu memang berbeda-beda.” (Al-Lail: 1-4).

Siapa saja yang meneliti qasam-qasam dalam Al-Qur’an, tentu ia akan

memperoleh berbagai macam pengetahuan yang tidak sedikit.

5. Qasam itu adakalanya atas jumlah khabariyah (kalimat berita), dan

inilah yang banyak, seperti firman-Nya,

“Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu

adalah benar-benar (akan terjadi).” (Adz-Dzariyat:23). Dan adakalanya

dengan jumlah thalabiyah secara maknawi (kalimat yang berisi tuntutan

16
perintah, larangan, pertanggungjawaban, ancaman dan sebagainya,

seperti,

“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua,

tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (Al-Hijr:92-93). Yang

dimaksud dengan ayat ini ialah ancaman dan peringatan.

2.6 QASAM DAN SYARAT

Qasam dan syarat yang menjadi satu dalam suatu kalimat, maka yang

menjadi jawab adalah yang lebih dahulu dari keduanya, baik qasam maupun

syarat, jawab yang terletak kemudian tidak diperlukan.

Apabila qasam mendahului syarat, maka unsur yang menjadi jawab adalah

qasam dan jawab syarat tidak diperlukan lagi. Misalnya,

َ َّ‫أَل َرْ ُج َمن‬


‫ك تَنتَ ِه لَّ ْم لَئِن‬
“Jika kamu tidak berhenti, pasti kamu akan direjam.” (Maryam: 46).

Dalam ayat ini bersatu qasam dan syarat, sebab taqdirnya ialah, “Demi

Allah, jika kamu tidak berhenti…” “lam” yang termasuk ke dalam syarat itu

bukanlah ”lam” jawab qasam sebagaimana yang terdapat dalam firman-Nya:

ِ ‫مصْ ٰنَ َم ُكأ َ أَل َ ِكي َد َّن َوتَٱهَّلل‬

“Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap

berhala-berhalamu.” (Al-Anbiya’:57).

17
Tetapi ia adalah “lam” yang termasuk ke dalam adatu asy-syarth yang

berfungsi sebagai indikator bahwa pernyataan jawab yang harus sesudahnya

adalah untuk sumpah yang sebelumnya, bukan untuk syarat. “lam” seperti

dinamakan lam mu;dzinah (indikator) dan juga dinamakan lam mauthi’ah

(pengantar), karena ia mengantarkan atau merintis jawaban bagi qasam.

Misalnya,

۟ ‫وا َولَئِن م َعهُ ْم يَ ْخ ُرجُونَ اَل أُ ْخرج‬


‫ُوا لَئِ ْن‬ ۟ ُ‫صرُونَهُ ْم اَل قُوتِل‬ َ َّ‫ن‬
ُ ‫صرُوهُ ْم َولَئِن يَن‬
ِ َ

‫ُنصرُونَ اَل ثُ َّم ٱأْل َ ْد ٰبَ َر لَي َُولُّ َّن‬


َ ‫ي‬
“Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan

keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi,niscaya

mereka tidak akan menolongnya, sesungguhnya jika mereka menolongnya,

niscaya mereka akan berpaling ke belakang, kemudian mereka tidak akan

mendapat pertolongan.” (Al-Hasyr:12).

Lam mauthi’ah ini pada umumnya masuk ke dalam “in syartiyah,” tetapi

terkadang pula masuk ke dalam yang lain. Tidak dapat dikatakan, kalimat “syarat”

itu adalah jawab bagi qasam yang dikira-kirakan, karena “syarat” tidak dapat

menjadi jawab. Sebab jawab haruslah berupa kalimat berita. Sedangkan, “syarat”

adalah insya’, bukan kalimat berita. Dengan demikian,firman Allah pada contoh

pertama, adalah jawab bagi qasam yang dikira-kirakan dan tidak diperlukan lagi

jawab syarat.

Masuknya qasam “lam mauthi’ah” ke dalam syarat tidaklah wajib. Sebab

“lam” itu terkadang dihilangkan padahal qasam tetap diperkirakan sebelum syarat.

Misalnya,

18
۟ ‫ون َع َّما يَنتَه‬
‫ُوا لَّ ْم َوإِن‬ ۟ ‫أَلِي ٌم َع َذابٌ ِم ْنهُ ْم َكفَر‬
َ ‫ُواٱلَّ ِذ‬
َ ُ‫ين لَيَ َمس ََّّن يَقُول‬

“Dan jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan iu, pasti

orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksa yang pedih.”

(Al-Ma’idah: 73).

Bukti bahwa jawab itu bagi qasam, bukan bagi syarat, adalah masuknya

huruf “lam” dan tidak majzum misalnya; pada ayat:

۟ ُ‫اَل ْٱلقُرْ َءان ٰهَ َذا ب ِم ْث ِل يَأْت‬


ِ ‫واأَن َعلَ ٰ ٓى َو ْٱل ِج ُّن ٱإْل ِ نسُ ٱجْ تَ َم َع‬
‫ت لَّئِ ِن قُل‬ ِ ِ

َ ُ‫بِ ِم ْثلِ ِهۦ يَأْت‬


‫ون‬
(Al-Isar’: 88).

Seandainya lafazh “la ya’ tuna” adalah jawab bagi syarat, tentu fi’ilnya

dibaca jazm. Adapun ayat:

‫ُون ٱهَّلل ِ إَل ِ لَى قُتِ ْلتُ ْم أَ ْو ُّمتُّ ْم لَئِن َو‬


َ ‫تُحْ َشر‬
(Al-Imran: 158), maka “lam” pada “lain lam” adalah mauti’ah bagi qasam

dan “lam” pada “la ila Allah” adalah “lam” qasam, yaitu yang terletak pada

jawab qasam. Adapun “nun taukid” tidak dimasukkan ke dalam fi’ilnya, Karena

antara lam qasam dengan fi’il tersebut terpisah oleh jar majrur. Asalnya ialah

“wa lain muttum aw qutiltum latuhsyaruhnna ila Allah.”

2.7 BEBERAPA FI’IL YANG BERFUNGSI SEBAGAI QASAM

19
Apabila qasam berfungsi memperkuat muqsam ‘alaih, maka beberapa fi’il

dapat difungsikan sebagai qasam jika konteks kalimatnya menunjukkan makna

qasam. Misalnya,

َ َ‫ين ِمي ٰث‬


‫ق ٱهَّلل ُ أَ َخ َذ َوإِ ْذ‬ ۟ ُ‫ب أُوت‬
َ ‫وا ٱلَّ ِذ‬ َ َ‫اس لَتُبَيِّنُنَّ ۥهُ ْٱل ِك ٰت‬
ِ َّ‫لِلن‬
“Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah

diberi kitab (yaitu): Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada

manusia…” (Al-Imran: 187).

“Lam” pada “latubayyinnahu li an-nasu” adalah “lam qasam” dan kalimat

sesudahnya adalah jawab qasam, sebab “akhzu al-mitsaq” bermakna “istihlaf”

(mengambil sumpah).

Atas dasar ini para musaffir menganggap sebagai qasam terhadap ayat,

َ َ‫يل إِ ْس ٰ َٓربَنِ ٓى ِمي ٰث‬


‫ق أَ َخ ْذنَا َوإِ ْذ‬ َ ‫ٱهَّلل َ إِاَّل تَ ْعبُ ُد‬
َ ‫ون اَل ِء‬
“Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari Bani Isra’il (yaitu):

Janganlah kamu menyembah selain Allah…” (Al-Baqarah: 83).

“Dan (ingatlah) ketika kami mengambil janji dari kamu (yaitu): Kamu tidak

akan menumpahkan darahmu (membunuh orang)…” (Al-baqarah: 84).

“Dan Alla telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu

dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh

akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana dia telah

menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa…” (An-Nur: 55).

20
21
BAB III

PENUTUP

3.1     KESIMPULAN

Al-Qur’an mengajak untuk berbaik sangka kepada Allah, bertawakkal

pada-Nya, berpikir positif, percaya akan janji Allah yang haq, menanti kelapangan

dari-Nya. Sesungguhnya Kitab yang mulia ini adalah kitab terbesar dan teragung

yang mengajak kepada kebahagiaan, kegembiraan, kesukacitaan dan kesenangan.

Demikianlah, bahwa Al-Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan

inspirasi kebenaran yang tak pernah kering dan habis. Tapi disaat yang sama, Al-

Qur’an adalah sumber segala kebahagiaan sejati.

Kesiapan jiwa setiap individu dalam menerima kebenaran dan tunduk

terhadap cahayanya itu berbeda-beda. Jiwa yang jernih yang fitrahnya tidak

ternoda kejahatan akan segera menyambut petunjuk dan membukakan pintu hati

bagi sinarnya serta berusaha mengikutinya sekalipun petunjuk itu sampai

kepadanya hanya sepintas kilas. Sedang jiwa yang tertutup oleh kejahilan dan

gelapnya kebatilan tidak akan tergerak hatinya kecuali dengan peringatan dan

kalimat yang keras, dengan cara seperti itulah keingkarannya tergerak. Qasam

(sumpah) dalam perkataan, termasuk salah satu cara memperkuat ungkapan

kalimat yang diiringi dengan bukti nyata, sehingga lawan dapat mengakui apa

yang semula diingkarinya.

22
3.2     SARAN

Penulisan makalah ini tak luput dari kekurangan yang ada baik itu dari

segi penulisan dan kapasitas dari materi yang dipaparkan, oleh sebab itu penulis

mengharapkan kepada pembaca untuk menambah refrensi dengan melihat dari

beberapa literatur yang tersedia baik berupa media cetak maupun media daring

lainnya demi menambah pengetahuan terkait dengan materi.

23
DAFTAR PUSTAKA

Manna Al-Qaththan, Syaikh. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta

Timur. Pustaka Al-Kautsar.

24

Anda mungkin juga menyukai