Anda di halaman 1dari 69

َ ‫ٱلرِنَٰمۡح‬ َ

َ ‫ٱّلله‬
ِ‫هيم‬
‫ٱلرح ه‬ ِ ‫ِمۡسِب‬

FIKIH
SHALAT
(Dalam Prespektif Mazhab As-Syafiíyah)

Disusun ; Umar Zaki Giffari Mansur


ESENSI SHALAT
Ibnul Qoyyim rahimahullah menguraikan hakikat shalat,
1. Tidak dapat diragukan bahwa shalat merupakan perkara yang sangat menggembirakan hati bagi orang-orang
yang mencintainya
2. Merupakan kenikmatan ruh bagi orang-orang yang mengesakan Allah, puncak keadaaan orang-orang yang
jujur dan parameter keadaan orang-orang yang meniti jalan menuju kepada Allah.
3. Shalat merupakan rahmat Allah yang dianugerahkan kepada hamba-Nya,
4. Sebuah petunjuk agung dri Allah kepada mereka untuk bisa melaksanakannya dan memperkenalkannya
sebagai rahmat bagi mereka dan kehormatan bagi mereka, supaya dengan shalat tersebut mereka
memperoleh kemulian dari-Nya dan keberuntungan karena dekat dengan-Nya.
5. Allah tidak membutuhkan mereka (dalam pelaksanaan shalat), namun justru (hakikatnya shalat tersebut)
merupakan anugerah dan karunia Allah untuk mereka.
6. Dengan shalat, hati seorang hamba dan seluruh anggota tubuh beribadah.
7. Dalam shalat, Allah menjadikan bagian (anugerah) untuk hati lebih sempurna dan lebih besar, yaitu berupa
(hati bisa) menghadap kepada Rabb nya, bergembira dan merasakan kelezatan berdekatan dengan-Nya,
merasakan nikmat dengan mencintai-Nya, riang gembira menghadap kepada-Nya, tidak berpaling kepada
selain-Nya saat beribadah (shalat) serta menyempurnakan hak-hak peribadatan kepada-Nya, sehingga
ibadahnya sesuai dengan apa yang Dia ridhoi”
(Dzauqush Shalah, Ibnul Qoyyim. Hal. 8).
Catatan !!
Awal mulanya, kita seumpama gelas
yang kosong ketika baru saja lahir.
Tidak tahu menahu soal ilmu,
bagaimana bercakap-cakap, dan tak
tahu pula soal ini dan itu. Di mulai dari
sinilah kita akan bertanya pada diri
sendiri “Kenapa Allah Ta’ala tidak
menciptakan kita langsung pandai
dalam segala hal?”
Apa yang harus
diperhatikan dari Shalat??

SYARAT RUKUN PEMBATAL

SUNNAH AB’ÁDH SUNNAH HAI’ÁT


SYARAT SHALAT

PEMBAGIAN

JUMLAH
Apa itu Syarat Ibadah?

 Secara Bahasa berasal dari kata (‫ )شرط‬yang artinya tanda


 Secara Istilah Ushulul Fiqh, Syarat didefinisikan sebagai berikut;

Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Ushulul Fiqh mendefinisikan syarat sebagai:

"Syarat ialah sifat yang jelas dan terdefinisikan, dimana keberadaan hukum
bergantung padanya tanpa harus masuk ke dalam hukum tersebut." (Kitab
Ushulul Fiqh Al-Islami 1/104 )

ٌ ‫هو م َا يل َ ْزَم ُ م ِنْ عَدَمِه ِ العَدَم ُ وَل َا يل َ ْزَم ُ م ِنْ وُجُودِه ِ وُجُود ٌ وَل َا عَدَم‬

”Syarat juga bisa dipahami sebagai sesuatu yang ketiadaanya bisa meniadakan hukum atau
meniadakan sebab. Namun keberadaannya tidak lantas menentukan keberadaan hukum atau sebab.”
Pembagian
Syarat dalam Shalat
1. Syarat Wajib

2. Syarat Sah
1. Syarat Wajib

Syarat Wajib maknanya, seseorang tidak dibebani


kewajiban shalat ketika salah satu dari syara-syaratnya
tak terpenuhi.

Syarat Wajib Shalat adalah,


1. Islam*
2. Baligh
3. Berakal
4. Bersih dari Ha’idh dan Nifas
5. Telah Sampainya Dakwah
6. Selamat Panca Indra**

 *Orang kafir ketika kafirnya tidaklah dituntut untuk shalat karena shalatnya dianggap tidak sah. Ia
tidaklah diperintah untuk mengqadha’ shalatnya kalau kafirnya adalah kafir asli. Sedangkan orang
murtad, ia diperintahkan mengqadha’ shalatnya ketika kembali masuk Islam.
 **Shalat bagi orang yang lahir dalam keadaan buta dan tuli tidaklah wajib, ia tidak perlu mengqadha
kalau akhirnya bisa melihat atau mendengar.
2. Syarat Sah Shalat
Syarat Sah Shalat, menurut Syekhul Islam Abu Zakariya
Al-Anshari adalah sesuatu yang menjadi barometer sah
dan tidaknya shalat”

(Kitab Tuhfatut Thullab bi syarhi Tahriri Tanqih al- lubab , hal 42)

Syarat Sah Shalat adalah,


1) Suci dari hadats kecil dan hadats besar
2) Suci dari najis pada badan, pakaian, dan tempat
3) Menutup aurat
4) Menghadap kiblat
5) Masuk waktu shalat
6) Ilmu mengenai wajibnya
7) Tidak meyakini sesuatu yang wajib sebagai sunnah.
8) Menghindari Pembatal-Pembatalnya
Syarat Sah Shalat
 Pertama: Suci dari dua hadats (al-Ma’idah 6)
Artinya adalah Suci dari hadats kecil dan hadats besar dengan air atau tanah yang berdebu
(dengan syaratnya).
Maka, Tidak SAH shalat orang yang tanpa bersuci padahal salah satunya (air atau debu) ada.
Kemudian, jika dia lakukan dalam keadaan sengaja dan tahu, dia berdosa. Kalau dalam
keadaan lupa, dia diberi ganjaran karena niatnya.
Adapun yang tidak mendapatkan (luput) dari air atau debu, dia wajib melaksanakan shalat
dalam rangka menghormati waktu dan shalatnya tetap diulang.
(mazhab as-Syafi’iyah, Abu Hanifah, As-Tsaury dan al-Auza’i disebutkan oleh Ibnu Qudamah di Kitab al-Mughni)

Shalat dalam keadaan berhadats:


● Siapa yang shalat dalam keadaan lupa atau tidak tahu kalau ia masih dalam keadaan berhadats,
maka dia wajib mengulangi shalatnya. Hal ini disepakati oleh para ulama sebagaimana
dinyatakan oleh Ibnu ‘Abdil Barr, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Rajab.
● Siapa yang (luput) dari air atau debu karena ada uzur yang dianggap maka dia shalat sesuai
kondisinya, dan shalatnya tidak perlu diulang. (Inilah pendapat dalam madzhab Hambali, pendapat ulama
Malikiyyah, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Utsaimin.)
Syarat Sah Shalat
 Kedua: Bersuci dari najis pada pakaian, badan, dan tempat )Shahih Al-Bukhari 419)
Maksudnya adalah suci dari najis ghair al-ma’fuu ‘anhaa, najis yang tidak termaafkan (darah dari
jerawat dsb)

Jadi, Bersuci dari najis maksudnya adalah membersihkan najis yang tidak dimaafkan, baik yang ada pada
pakaian orang yang shalat dan semacamnya, termasuk juga yang dibawa, atau menempel dengan sesuatu
yang dibawa.
Begitu pula yang dimaksud adalah bersuci dari najis yang ada pada badan (termasuk yang ada dalam
bagian dalam mata, mulut, dan hidung). Begitu pula tempat yang digunakan untuk shalat harus suci karena
bertemu langsung dengan badan dan sesuatu yang dibawa.” (Nail Ar-Rajaa’ bi Syarh Safinah An-Najah. 207).

Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa Fathimah binti Abu Hubaisy bertanya
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, katanya: "Aku mengeluarkan darah
istihadlah (penyakit). Apakah aku tinggalkan shalat?" Beliau menjawab: "Jangan,
karena itu hanyalah darah penyakit seperti keringat. Tinggalkanlah shalat selama
masa haidmu, setelah itu mandi dan kerjakanlah shalat.") Shahih Al-Bukhari 419)
Syarat Sah Shalat
Rincian Shalat dalam keadaan bernajis:

● Bagi orang yang melakukan shalat dengan baju terkena najis karena memang tidak ada
penggantinya dan tidak ada air untuk mensucikannya, maka SAH shalatnya.
● Bagi orang setelah salam, mendapati pakaiannya ada najis menempel, ada 3 keadaan:
- Jika dia mengira bahwa najis itu ada setelah salam, maka SAH shalatnya,
- Jika dia mengira (dalam dugaan) najis itu ada sebelum salam, TIDAK SAH shalatnya, dan
wajib mengulang.
- Kalau bimbang, shalatnya SAH karena pada umumnya orang shalat tanpa ada najis
● Jika mendapati atau dijatuhi najis pada badan atau pakaian ketika shalat,
- Jika jatuhnya di pakaian yang bisa terlepas (misalkan peci) maka hendaklah najis tersebut
dihilangkan dengan syarat tidak mengangkat pecinya, maka shalatnya SAH . Namun jika dia
mengangkat pecinya maka BATAL shalatnya, karena membawa barang yang ada najisnya.
- Jika dia dapati atau jatuhnya najis di pakaian yang tidak dapat terpisah/terlepas (seperti baju),
maka BATAL shalatnya.
Syarat Sah Shalat

● Ketiga: Menutup aurat (al-A’raf :31)


Syarat sah shalat yang ketiga adalah menutup aurat dengan sesuatu yang menyelimutinya dan
dapat mencegah untuk mengetahui warna kulitnya dilihat dari jarak pembicaraan biasa bagi orang
yang normal pandangannya. Apabila penutup itu menampakkan bentuk tubuhnya (seperti celana
ketat), masih diperbolehkan untuk shalat (tetapi disertai hukum makruh). Sesuatu yang tidak ada
jizmnya (konkrit atau wujudnya) tidak bisa dijadikan penutup aurat seperti gelap malam, bekas
inai/pacar, atau pewarna yang tidak wujud konkrit menutup.
Apabila seseorang tidak mendapati sesuatu yang menutupi seluruh auratnya, maka dahulukan menutup
qubul dan dubur, kemudian menutupi qubul (kemaluan). Bila tidak mendapati apa pun, maka
diperbolehkan mengerjakan shalat dalam keadaan telanjang dan tidak perlu diqadha’ shalatnya.
Namun, jika pakaian untuk menutup aurat mampu dibeli atau disewa, maka wajib dibeli atau
disewa. Atau kalau ada pakaian orang lain, bisa meminta izin meminjamnya.
Syarat Sah Shalat

Mana Aurat Laki-Laki


dan Perempuan dalam Shalat?

Syekh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarîb 146

“Aurat lelaki (yang wajib ditutupi) ialah anggota tubuh antara pusar hingga lutut, dan aurat
perempuan merdeka (dalam shalat) ialah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan kedua telapak
tangannya baik luar maupun dalam hingga batas pergelangan. Adapun aurat perempuan diluar
shalat adalah semua badannya”

Sudut pandang ketertutupan aurat ini ialah ketika tak terlihat dari sisi atas dan seputarnya
(kanan, kiri, depan dan belakang), bukan dari sisi bawah, seperti ketika shalat di tempat tinggi dan
terlihat dari bawah maka tidak masalah sebagaimana jika terlihat saat sujud.”
(kitab I’anah al-Thalibin 1/134)
Syarat Sah Shalat
● Keempat: Menghadap kiblat (al-Baqarah 144)
Syarat sah shalat yang keempat adalah menghadap ‘ainul Kabah (persis ke Kabah) dengan
dadanya.

Seseorang boleh tidak mengerjakan shalat dengan tidak menghadap kiblat dalam dua keadaan:
- Keadaan rasa takut seperti peperangan (al-Baqarah :239)
- Mengerjakan shalat sunnah dalam perjalanan diatas kendaraan (saat takbiratul ihram,
wajib menghadap kiblat), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengerjakannya,
dan jika ingin mengerjakan shalat fardhu beliau turun dan menghadap kiblat

Ada keadaan sesorang boleh tidak menghadap kiblat kecuali dari dua kondisi ini, seperti orang sakit
yang tak ada mengarahkannya ke arah kiblat, atau orang terikat di tiang, maka dia shalat dalam
keadaannya itu kearah mana saja, namun wajib mengulang shalatnya.
Haruskah Shalat Menghadap
Persis ke Ka’bah?
● Dalam Masjidil Haram, jika seseorang berada di dalam Masjidil Haram, maka yang dihadap olehnya
haruslah “benda/zat” ka’bah itu sendiri
● Luar Masjidil Haram, jika dia berada di luar Masjidil Haram, termasuk di Indonesia,
- Cukup menghadap arahnya saja. Imam Abu Ishak menyebutkan hal itu dan juga menekankan
bahwa bagi seseorang yang tidak tahu arah kiblat, maka ia haruslah berijtihad. (pendapat
kebanayakan Ulama)
- Sebagian ulama dari kalangan madzhab Syafi’i, Abdurrahman Ba’alawi, berpendapat boleh
sekadar menghadap arah Ka’bah (jihatul ka’bah) bila seseorang tidak mengetahui tanda-tanda
letak geografis persis Ka’bah.

Ijtihad Menentukan Arah Kiblat adalah seseorang yang bisa menangkap pertanda, sedangkan
. kondisinya jauh dari Makkah, ia berijtihad mencari arah kiblat menggunakan metode bisa dari melihat
matahari, bulan, bintang, atau arah angin bertiup (sekarang dengan GPS) atau melihat mihrab masjid
Syarat Sah Shalat

● Kelima: Masuk waktu shalat (an-Nisa 103)

Masuk waktu shalat bisa diketahui secara yakin atau sangkaan dengan ijtihad.
Kalau berijtihad dalam melihat masuknya waktu, kemudian setelah selesai ketahuan bahwa
shalatnya dilakukan sebelum masuk waktu, maka shalatnya dinilai sebagai pembayar utang
bila dia pernah keluputan shalatsejenis. tetapi ketika ia tidak memiliki utang shalat yang sejenis
itu, maka shalatnya dinilai sebagai pahala sunah mutlak.

ِ َ‫جْر ِإ َّن قُ ْرآَنَ ْالف‬


‫جْر َكانَ َم ْش ُهود‬ ِ َ‫ق اللَّ ْي ِل َوقُ ْرآَنَ ْالف‬
ِ ‫س‬ َ ‫ش ْم ِس ِإلَى‬
َ ‫غ‬ َّ ‫وك ال‬ َّ ‫أَقِ ِم ال‬
ِ ُ‫ص ََلة َ ِل ُدل‬
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat)
subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isra’: 78)
Bagaimana Cara Memastikan Waktu Shalat?
● Pertama, melihat dengan mata kepala sendiri, seperti halnya orang ​melihat tergelincir atau terbenamnya
matahari.
Semisal seperti ini;
- mendapat berita dari orang yang terpercaya yang telah melihat matahari sendiri secara langsung.
- atau mendengar muazin yang terpercaya dan mengetahui ilmunya di saat langit dalam kondisi terang.
- atau dengan jam bayangan matahari yang akurat.
- atau dengan jam arloji yang teruji kebenarannya.
Beberapa cara ini masuk dalam kategori tingkatan pertama, sehingga seseorang yang akan melakukan shalat bisa
memilih salah satu dari beberapa cara tersebut.
● Kedua, berusaha mengetahui waktu shalat dengan beberapa dalil-dalil yang menunjukkannya (ijtihad).
Ijtihad ini bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keahlian, seperti dengan jumlah wiridan atau pekerjaannya.
Masuk dalam kategori tingkatan kedua ini adalah mendengar muazin yang terpercaya dan mengetahui ilmu-
ilmunya dalam kondisi langit sedang berawan.
● Ketiga, mengikuti arahan informasi dari orang yang mengetahui waktu shalat dari hasil berijtihad.
(Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 281).

“Penjelasan Syekh Sulaiman Al-Jamal di atas memberikan pemahaman kebolehan


menjadikan muazin dan jam jadwal shalat sebagai patokan masuknya waktu shalat. Tentunya
suara azan yang terpercaya dan jam jadwal shalat yang valid serta teruji kebenarannya.”
Bagaimana dengan Shalat
Berdasarkan Azan yang Keliru ?

Lantas bagaimana hukum shalat yang dikerjakan berdasarkan mengikuti azan


yang ternyata belum masuk waktu shalat atau azan yang keliru?

Imam Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu'in menjelaskan:

"Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa mengetahui masuknya waktu secara yakin atau
berdasarkan ​dugaan kuat, maka shalatnya tidak sah sekalipun bertepatan dengan waktu shalat
sebenarnya, ​karena yang dijadikan acuan dalam ibadah adalah dugaan kuat orang yang terbebani
hukum (mukallaf) serta sesuai kenyataan yang ada."
(Fathul Mu'in, 87).
Syarat Sah Shalat
● Keenam: Mengetahui bahwa shalat (yang dikerjakan itu) hukumnya fardhu/wajib
Orang yang shalat harus meyakini bahwa shalat itu hukumnya wajib. Jika ia ragu-ragu akan hukumn
wajibnya, shalat tidaklah SAH.

● Ketujuh: Tidak meyakini fardhu shalat sebagai sunnah


Bentuknya:
- Meyakini rukun tertentu dalam shalat sebagai perkara sunnah, shalatnya TIDAK SAH.
- Meyakini seluruh rukun shalat sebagai perkara sunnah, shalatnya TIDAK SAH pula.
Misal yang tidak sah: Meyakini membaca surah Al-Fatihah dan rukuk sebagai sunnah shalat.

● Kedelapan: Menjauhi pembatal-pembatalnya


RUKUN SHALAT

JUMLAH

PEMBAGIAN
Syarat Shalat dan Rukun Shalat
Syarat dan rukun ada perbedaan dan kesamaan.

Kesamaannya kewajiban dengan perbuatan yang


diperintahkan, yang bila tidak ada keduanya maka
ibadah/amalan tersebut menjadi batal/tidak sah.

Perbedaannya
 Syarat shalat adalah faktor yang diminta untuk
diwujudkan sebelum memulai suatu perbuatan ibadah.
Misalnya, syarat sholat seseorang harus berwudhu,
menghadap kiblat, masuk waktu sholat, dsb. Semua itu
(syarat) dilakukan di luar atau sebelum memulai perbuatan
ibadah.
 Rukun sholat adalah faktor penopang di dalam suatu perbuatan, bila ia tidak ada maka ibadah tersebut tidak
dianggap/tidak sah. Semisal rukun sholat adalah takbirotul ihram, membaca Al-Fatihah,dsb
,

Bila diperhatikan semua kewajiban dalam rukun harus ada/diminta di dalam rangkaian ibadah tersebut, baik dari
awal melakukan sampai akhirnya.
Rukun Shalat
Rukun Shalat ada 14 yaitu

1) Niat
2) Berdiri bagi yang mampu
3) Takbiratul ihrâm,
4) Membaca surat al-Fatihah;
5) Ruku’,
6) Bangun dari ruku’ dan I’tidal
7) Sujud
8) Duduk diantara dua sujud
9) Duduk untuk tasyahhud akhir
10) Membaca tasyahhud akhir
11) Membaca shalawat pada Nabi Shallahu alaihi wasallam saat tasyahhud
akhir
12) Thuma’ninah (Tenang)
13) Salam pertama
14) Tertib; yakni mengurutkan rukun-rukun sesuai apa yang telah
dituturkan
Apa itu Rukun Ibadah?
 Secara Bahasa berasal dari kata (‫ )ركن‬yang artinya bagian mendasar dari sesuatu
tersebut, seperti tembok bagi bangunan.
 Secara Istilah Rukun Shalat didefinisikan sebagai berikut;

“ Tidak akan sempurna keberadaan shalat dan tidak akan menjadi


sah kecuali apabila semua bagian shalat tertunaikan dengan bentuk
dan urutan yang sesuai sebagaimana telah dipraktekkan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang Allah Ta’ala wahyukan melalui
malaikat Jibril. “


Rukun Shalat
 Pertama: Niat
‫إنما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ ما نوى‬
"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan” (Shahih Bukhari 1)

- Niat adalah menyegajakan (memaksudkan sesuatu) yang dilakukan secara bersamaan dengan bagian
awal perbuatan tersebut.
- Tempat niat itu didalam HATI.
Permasalahan
1. Dianjurkan oleh Ulama untuk Talaffudz (berlafadz) ketika niat
2. Maka tidak sah seseorang melafadkan niat sedangkan hatinya keliru dari niat itu sendiri.
3. Tidak memberikan bahaya (pada niat) jika sekiranya ucapannya berbeda dengan apa yang ada di
HATI-nya, misalkan meniatkan dalam hatinya shalat dzuhur sedangkan dia melafadzkan
shalat ashar.
4. Maka yang menjadi ibrah/patokan niat yang benar adalah yang diniatkan dalam hati.

Maka niat yang SAH (dalam shalat) adalah harus berbarengan/bersamaan


dengan awal rukun shalat (takbiratul ihram), dimana hati tetap terjaga (untuk
menghadirkan niat) ketika melafadzkan takbiratul ihram.
NIAT SHALAT
Shalat Wajib
• Niat Perbuatan (membedakan shalat
dengan amalan lainnya)
• Niat Fardhiyah (membedakan shalat
wajib dan shalat sunnah dsb) Misal; Shalat Fardhu Zuhur
NIAT • Menentukan Jenis Shalat (shalat
dzuhur atau ashar dsb)

Shalat Sunnah
yang punya sebab
• Niat Perbuatan (membedakan shalat
dengan amalan lainnya)
• Menentukan Jenis Shalat (shalat Misal; Shalat Sunnnah Dhuha
sunnah apa?? dsb)

Shalat Sunnah
Mutlak
• Niat Perbuatan (membedakan Misal; Shalat Sunnah Mutlak
shalat dengan amalan lainnya)
Rukun Shalat
 Kedua ; Berdiri bagi yang Mampu dalam Shalat Fardhu

‫صل قائما فإن لم تستطع فقاعدا فإن لم تستطع فعلى جنب‬

"Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup
juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan.“ (Shahih Bukhari 1066)

Pembahasan
- Kewajiban berdiri bagi yang mampu hanya pada shalat fardhu saja, seperti shalat lima waktu,
fardhu nadzar dan fardhu kifayah
- Berdiri yang SAH adalah menegakkan punggungnya. Maka sekiranya seseorang bungkuk tanpa
udzur yang dimana telapak tangannya itu dapat menyentuh kedua lututnya, shalatnya batal
- Sekiranya seseorang dapat berdiri di sebagian shalatnya, dan tak mampu (berdiri) sebagiannya,
maka berdiri di bagian yang dia mampu dan diperbolehkan untuk tak berdiri di bagian lainnya.
- Di dalam Shalat-Shalat Sunnah, disunnahkan untuk berdiri bukan suatu kewajiban
Rukun Shalat
 Ketiga: Takbiratul Ihram (pengucapan ‫) هللا أكبر‬
‫مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم‬
"Kunci shalat adalah bersuci, keharamannya adalah takbir & penghalalannya adalah salam.“
(H.R. Tarmidzi 3 & Abu Dawud 61)
Syarat-Syarat Sah Takbiratul Ihram
1. Melafadzkannya dalam keadaan berdiri (jika dia mampu berdiri dan shalat fardhu)
2. Melafadzkannya dalam keadaan menghadap kiblat
3. Menggunakan Bahasa Arab ‫هللا أكبر‬, sekiranya ada seseorang tak mampu memakai Bahasa Arab dan
dirinya tak memungkinkan untuk belajar pada saat itu, diterjemahkan dan mendatangkan maksud dari
takbiratul ihram itu dengan bahasa apapun. Jika dia memungkinkan untuk belajar maka WAJIB untuk
belajar
4. Melafadzkannya dengan dua kata, lafadz jalalah ‫( هللا‬Allah) dan ‫( أكبر‬Akbar)
5. Menertibkan Lafadz tersebu, Lafadz jalalah ‫( هللا‬Allah) kemudia ‫( أكبر‬Akbar)
6. Mendengarkan dirinya dari seluruh huruf takbiratul ihram
7. Bersamaan diucapkan takbiratul ihram dengan menghadirkan niat
8. Ketika berjama’ah, makmum melakukannya setelah takbiratul ihram Imam.
Rukun Shalat
 Keempat: Membaca Surah Al-Fatihah

‫لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب‬


"Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Faatihatul Kitab (Al Fatihah).“ H.R Bukhari 723 dan Muslim
394)

Syarat-Syarat Sah Surah al-Fatihah


1. Mendengarkan dirinya dari bacaan surah al-fatihah, apabila dibaca secara lirih.
2. Membacanya secara tertib
3. Membaca seluruh ayatnya, dan termasuk ayat al-fatihah adalah bismillahirrahmanirrahim, maka
tidak SAH al-fatihah jika tak dimulai dengan membaca bismillahirrahmanirrahim
4. Membacanya secara berkelanjutan, tak terputus (dengan jeda yang panjang) dari ayat ke ayat
berikutnya
5. Memperhatikan Huruf-Hurufnya, tidak boleh terjatuh sehuruf pun misalnya ‫( أنعمت‬an’amta) dibaca
‫(أنمت‬anamta). Jika terjadi kesalahan, wajib mengulang kalimat yang salah dan kalimat setelahnya,
selama tidak panjang jedanya, kalau panjang Shalatnya Batal
‫‪Rukun Shalat‬‬
‫‪Syarat-Syarat Sah Surah al-Fatihah‬‬

‫)‪6. Mengucapkan segala tasydid dan pengucapannya harus jelas, (jumlahnya 14 tasydid‬‬

‫ٱلرِنَٰمۡح َ‬ ‫َ‬
‫ٱلرحهي هِم ‪١‬‬ ‫ٱّلله َِ‬
‫ِمۡسِب ِ‬
‫َ‬ ‫ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ َٰ َ‬
‫ين ‪٢‬‬‫بِٱلعل هم ِ‬ ‫ٱلحمدِ هّللهِر ه‬
‫ٱلرحهي هِم ‪٣‬‬ ‫ٱلرِنَٰمۡح َ‬ ‫َ‬
‫َ‬
‫هين ‪٤‬‬ ‫هك يَ ۡو هِم ٱلد هِ‬ ‫مَٰل هِ‬
‫َ َ َۡ َ َ َ َ‬
‫اكِن ۡس َتعهينِ ‪٥‬‬ ‫إهياكِنعبدِ وِإي‬
‫ۡ‬ ‫ۡ َ‬
‫ط ٱلم ۡس َتقه َِ‬
‫يم ‪٦‬‬ ‫ٱلص َر َٰ َ ِ‬
‫ٱهدهنا ه‬
‫َ‬ ‫َ َۡ ۡ ََ َ‬ ‫َ َٰ َ َ َ َ ۡ َ ۡ َ َ َ ۡ ۡ َ ۡ ۡ َ ۡ‬
‫وب علي هه ِم ولاِٱلضٓال ِ‬
‫هين ‪٧‬‬ ‫ت علي هه ِم غي هِر ٱلمغض هِ‬ ‫هين أنعم ِ‬
‫ط ٱلذ ِ‬
‫صر ِ‬
‫ه‬
Rukun Shalat
Syarat-Syarat Sah Surah al-Fatihah

َ ۡ َ َۡ
7. Tidak keliru dalam membacanya, kekeliruan yang megubah makna, misalnya ‫ت‬ ِ ‫ أنعم‬mengganti
ۡ
harakat fathah pada huruf ta’ menjadi dhommah atau kasrah atau mengubah huruf seperti ‫هيم‬ َِ ‫ٱلم ۡس َتق‬
ۡ
aslinya dengan mim ‫ م‬diganti ‫ ن‬menjadi ‫ٱلم ۡس َتقهين‬, jika sekiranya keliru tapi kekeliruan ini tak
mengubah makna maka tidak membatalkan Shalat,

8. Membacanya dengan menggunakan Bahasa Arab, dan tidak sah jika diterjemahkan. Karena,
terjemahan dari surah, tidak dikatakan al-Qur’an.

9. Membaca keseluruhan ayatnya ketika berdiri, sekira dia rukuk dan masih melanjutkan atau
menyempurnakan bacaannya, maka bacaannya batal dan wajib mengulang.

10. Kalau tidak bisa membaca Surah Al-Fatihah, karena udzur syar’i maka menggantinya dengan
bacaan al-Quran yang laintujuh ayat serupa, kalau tidak bisa sekalipun dari ayat Al-qur’an, maka
diganti dengan dzikir yang panjangnya serupa dengan surah al-Fatihah.
Rukun Shalat
 Kelima: Rukuk
)77 ‫يََٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُواْ ۡٱر َكعُواْ َوٱسۡ ُجدُواْ (الحج‬
“wahai orang-orang beriman, rukuklah kalian dan bersujudlah.... “ (Q.S. Al-Hajj 77)
‫ثم اركع حتى تطمئن راكعا‬
“kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma'ninah (tenang)” (Muttafaq Alaihi)

Rukuk adalah seorang yang shalat menundukkan (punggungnya) dengan kadar memungkinkan dia
dapat meletakkan telapak tangannya pada kedua lututnya, ini kadar sah dan minimal, adapun kadar
paling sempurna membungkukkan, dan punggungnya lurus/setara ke bagian belakangnya.
‫وإذا ركع أمكن يديه من ركبتيه ثم هصر ظهره‬
“jika (rasulullah) rukuk maka beliau menempatkan kedua tangannya pada lutut dan meluruskan
punggungnya” (HR. Bukhari 794)
Syarat-Syarat Sah Rukuk
1. Membungkukkan punggung dengan sifat, menempatkan kedua telapak tangannya pada lutut
2. Tidak memaksudkan ketika membungkukkan punggungnya kecuali untuk rukuk, bukan keperluan lain
3. Thuma’ninah, tenang dan berdiam (kadar paling pendek (kata ulama) adalah tasbih: subhanallah)
Rukun Shalat
 Keenam: I’tidal (berdiri, pemisah antara rukuk dan sujud)

‫وكان إذا رفع رأسه من الركوع لم يسجد حتى يستوي قائما‬


“ dan beliau (Rasulullah) apabila mengangkat kepalanya dari rukuk, niscaya tidak bersujud hingga beliau
lurus berdiri” (HR. Muslim 498)

‫ثم ارفع حتى تعدل قائما‬


“lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak” (muttafaq alaihi)

Syarat-Syarat Sah I’tidal


1. Tidak memaksudkan dari i’tidal (bangun dari rukuk) sesuatu yang lain kecuali untuk ibadah (shalat)
2. Thuma’ninah, tenang dan berdiam sejenak (kadar paling pendek (kata ulama) adalah tasbih:
subhanallah)
3. Tidak memanjangkan i’tidal, yang panjangnya (lamanya) berlebihan atau melampaui batas, (kata para
ulama) melebihi kadar bacaan surah al-fatihah, karena ini adalah rukun qoshir (rukun yang jaraknya
pendek) tidak boleh diperpanjang.
Rukun Shalat
 Ketujuh: Sujud 2x setiap rakaat
)77 ‫َيَٰٓأَيُّ َها ٱ َّلذِينَ َءا َمنُواْ ۡٱر َكعُواْ َوٱسۡ ُجدُواْ (الحج‬
“wahai orang-orang beriman, rukuklah kalian dan bersujudlah.... “ (Q.S. Al-Hajj 77)

‫ثم اسجد حتى تطمئن ساجدا‬


“lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma'ninah” (Muttafaq alaihi)

Syarat-Syarat Sah Sujud

1. Terbukanya bagian kening, ketika menyentuh tanah (tidak ditutupi oleh sesuatu), hingga kening
(walaupun sebagian saja) tersentuh langsung dengan tempat sujud.
2. Terangkat bagian bawahnya (lebih tinggi posisinya) daripada anggota tubuh yang diatas (kepala dan
pundak)
3. Memberikan beban pada bagian kepalanya
4. Tidak memaksudkan dari sujud sesuatu yang lain kecuali untuk ibadah (shalat)
Rukun Shalat

Syarat-Syarat Sah Sujud

5. Tidak sujud diatas pakaian atau kain yang menempel pada diri seorang yang shalat, sekiranya dia
bergerak maka kain itu juga bergerak

6. Sujud dengan menyempurnakan tujuh anggota tubuh yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
perintahkan

‫أمرت أن أسجد على سبعة أعظم على الجبهة وأشار بيده على أنفه واليدين والركبتين وأطراف القدمين‬
"Aku diperintahkan untuk melaksanakan sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud): kening -beliau memberi
isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut & ujung jari dari kedua kaki”
(Muttafaq alaihi)

7. Thuma’ninah, tenang dan berdiam sejenak (kadar paling pendek (kata ulama) adalah tasbih: subhanallah)
Rukun Shalat
Sujud yang paling sempurna

1. Bertakbir untuk tersungkur sujud


2. Meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, lalu kedua tangan, lalu kening dan hidungnya.
3. Melebarkan lengan tangannya, meletakkan telapak tangannya sejajar dengan bahunya.
4. Merapatkan jari-jemarinya dan menghadapkannya ke arah kiblat
5. Tidak merapatkan (menjauhkan) antara perut dan kedua pahanya
6. Membaca dzikir ketika sujud

**berbeda keadaan jika seorang perempuan, bagi perempuan disunnahkan untuk merapatkan
anggota tubuhnya antara satu sama lain.

ِ
ِ ْ‫اللح ْ ِم ِإَ َ الْأَ ر‬
َّ ‫ْض‬
َ ‫ " ِإذ َا سَ جَدْتُمَا فَض َُّما بَع‬:‫ل‬ ِ ‫ل الله ِ صلى الله عليه وسلم م ََّر عَلَى امْرَأَ تَيْنِ تُصَلِيَا‬
َ ‫ن فَق َا‬ َ ‫أَن رَسُو‬
َّ ،‫ِيب‬
ٍ ‫ع َنْ يَز ِيد َ ب ْ ِن أَ بِي حَب‬

‫ل‬
ِ ُ ‫ك ك َالرَّج‬
َ ِ ‫َت فِي ذَل‬
ْ ‫ف َِإ َّن الْمَر ْأَة َ لَيْس‬
Rukun Shalat
 Kedelapan: Duduk antara dua sujud

‫ثم ارفع حتى تطمئن جالسا‬


“lalu bangunlah (dari sujud) sampai hingga benar-benar thuma'ninah” (Muttafaq alaihi)

Syarat-Syarat Sah Duduk antar dua sujud

1. Tidak memaksudkan dari duduknya sesuatu yang lain seperti takut, kecuali untuk ibadah saja (shalat)
2. Thuma’ninah, tenang dan berdiam sejenak (kadar paling pendek (kata ulama) adalah tasbih:
subhanallah)
3. Tidak memanjangkan i’tidal, yang panjangnya (lamanya) berlebihan atau melampaui batas, (kata para
ulama) melebihi kadar bacaan surah al-fatihah, karena ini adalah rukun qoshir (rukun yang jaraknya
pendek) tidak boleh diperpanjang.
Rukun Shalat

 Kesembilan: Duduk Tasyahud Akhir

.......‫فقال أبو حميد الساعدي أنا كنت أحفظكم لصلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم‬
‫وإذا جلس في الركعة الآخرة قدم رجله اليسرى ونصب الأخرى وقعد على مقعدته‬

Abu Hamid As Sa'idi: "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, ......... dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau
memasukkan kaki kirinya (di bawah kaki kanannya) dan menegakkan kaki kanannya dan
beliau duduk pada tempat duduknya.“
(Shahih Al-Bukhari 828)
Rukun Shalat
 Kesepuluh: Bacaan Tasyahud Akhir

dari Ibnu Abbas bahwasanya dia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kami
tasyahhud sebagaimana beliau mengajarkan kami sebuah surat al-Quran, lalu pada waktu itu beliau
membaca, (Muttafaq Alaihi)

‫التحيات المباركات الصلوات الطيبات لله السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته السلام علينا وعلى عباد الله الصالح ين أشهد أن لا إله إلا‬
‫الله وأشهد أن محمدا رسول الله‬

Bacaan zikir tasyahhud, sampai kepada kita dengan versi yang berbeda-beda dengan jalur
periwayatan yang bermacam-macam, dan versi bacaan yang sempurna dan terbaik bagi
Imam as-Syafi’i adalah Jalur periwayatan Sahabat Ibnu Abbas (hadis diatas)

disebutkan dalam kitab ar-risalah al-jaami’ah, minimal bacaan tasyahhud wajib adalah

‫ا لتحيات لله سلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته سلام علينا وعلى عباد الله الصالح ين أشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله‬
Rukun Shalat
Hal-Hal yang perlu diperhatikan
ketika membaca Tasyahhud Akhir

1. Mendengarkan dirinya dari bacaan tasyahhud,


2. Membacanya secara berkelanjutan, tak terputus (dengan jeda yang panjang), jika terputus
dengan jeda yang panjang atau membaca zikir lain ditengah pembacaannya, WAJIB
mengulang bacaannya,
3. Membaca tasyahhud dalam keadaan duduk, kecuali dalam keadaan memiliki udzur tak dapat
duduk
4. Membacanya dengan menggunakan Bahasa Arab, dan tidak sah jika diterjemahkan. Kecuali
tak mampu dan memiliki udzur maka diterjemahkan dengan bahasa apapun, dan wajib
baginya belajar
5. Memperhatikan Huruf-Hurufnya, bagian tasydidnya, dan tidak keliru dalam membacanya
kekeliruan yang megubah makna, jika itu terjadi tasyahhudnya batal dan wajib diulang
6. Membacanya secara tertib
Rukun Shalat
 Kesebelas: Membaca Shalawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam saat tasyahhud
Akhir
َٰٓ
٥٦ ‫س ِل ُمواْ ت َسۡ ِليما‬
َ ‫علَ ۡي ِه َو‬ َ ْ‫علَى ٱلنَّ ِبي ِ َيَٰٓأَيُّ َها ٱلَّذِينَ َءا َمنُوا‬
َ ْ‫صلُّوا‬ َ َ‫صلُّون‬
َ ُ‫ٱّلل َو َملَ ِئ َكتَهُۥ ي‬
َ َّ ‫ِإ َّن‬

• Para Ulama berpendapat bahwa shalawat tidak diwajibkan untuk dibaca diluar shalat, adapun
didalam shalat di-WAJIB-kan (membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam)
• Bahkan ada dalil secara jelas (Kitab al-Mustadrak lil Imam Hakim 1002)

• Lafadz, Shalawat dan Salam disebutkan dalam Shahih Bukhari 6357 (Ini adalah lafadz paling
sempurnanya)
،ٌ‫مج ِيد‬
َ ٌ‫ك حَم ِيد‬
َ ‫ل ِإ ب ْر َاه ِيم َ ِإ َّن‬
ِ ‫ كَمَا ص ََّلي ْتَ عَلَى آ‬،ٍ‫ل مُح ََّمد‬
ِ ‫َل عَلَى مُح ََّمدٍ و َعَلَى آ‬
ِ ‫الله َُّم ص‬
َّ ‫فَق ُولُوا‬

ٌ‫مج ِيد‬
َ ٌ‫ك حَم ِيد‬
َ ‫ل ِإ ب ْر َاه ِيم َ ِإ َّن‬
ِ ‫ كَمَا بَارَكْ تَ عَلَى آ‬،ٍ‫ل مُح ََّمد‬
ِ ‫ك عَلَى مُح ََّمدٍ و َعَلَى آ‬
ْ ِ‫الله َُّم بَار‬
َّ

Adapun, minimal bacaan shalawat/salam wajib, disebutkan dalam (kitab arrisalah al-jaami’ah)
adalah
ٍ‫َل عَلَى مُح ََّمد‬
ِ ‫الله َُّم ص‬
َّ
Rukun Shalat

Hal-Hal yang perlu diperhatikan


ketika membaca Shalawat

1. Mendengarkan dirinya sendiri dari bacaan shalawat,


2. Harus dengan lafadz ‫ محمد‬Muhammad, atau ‫ الرسول أو النبي‬lafadz Ar-Rasul atau An-Nabi
sekiranya mengganti dengan nama Ahmad, maka tidak sah,
3. Membacanya dengan menggunakan Bahasa Arab, dan tidak sah jika diterjemahkan. Kecuali
tak mampu dan memiliki udzur maka diterjemahkan dengan bahasa apapun, dan wajib
baginya belajar
4. Membacanya secara tertib, tasyahud dulu kemudian shalawat dan salam
Rukun Shalat
 Kedua Belas: Salam Pertama (Ucapan Assalamu Alaikum)

‫مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم‬


"Kunci shalat adalah bersuci, keharamannya adalah takbir & penghalalannya adalah salam.“
(H.R. Tarmidzi 3 & Abu Dawud 61)

• Minimal Ucapan Salam yang sah dalam shalat ‫ السلام عليكم‬assalamu alaikum sekali saja
• Paling sempurna adalah ‫ السلام عليكم ورحمة الله‬assalamu alaikum warahmatullah dua kali, pertama berbalik
kanan dan kedua berbalik kiri.
‫كنت أرى رسول الله صلى الله عليه وسلم يسلم عن يمينه وعن يساره حتى أرى بياِ خده‬
“dari Sa’ad. dia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi salam ke arah
kanan dan kiri hingga aku melihat putihnya pipi beliau.“ (H.R. Muslim 582)

 Ketiga Belas: Tertib seluruh rukun, sebagaimana yang telah disebutkan


 Keempat Belas: Thuma’ninah di rukun-rukun shalat
Maknawi Hati
1. Tertib
2. Thuma’ninah 1. Niat

Rukun
Shalat Perbuatan Ucapan
1. Berdiri 1. Takbiratul Ihram
2. Rukuk 2. Al-fatihah
3. I’tidal 3. Tasyahhud Akhir
4. Sujud 4. Shalawat kepada
5. Duduk Antara dua Rasulullah
Sujud 5. Salam Pertama
6. Duduk Tasyahud
SUNNAH
SHALAT

‘22
Sunnah Shalat

Sunnah Ab’adh Sunnah Hai’at


Sunnah yang ditekankan Sunnah yang disyariatkan dilakukan
untuk dilakukan dan dan tidak berkonsekuensi apa pun
dianjurkan kuat untuk diganti jika ditinggalkan
dengan sujud (sahwi) jika (namun sebaiknya dilakukan untuk
meningkatkan kualitas shalat yang kita jalankan)
melewatkannya
Sunnah Ab’adh
“Sunnah Shalat yang sangat ditekankan untuk
dilakukan dan dianjurkan kuat untuk diganti
dengan sujud (sahwi) jika melewatkannya”

1. Tasyahhud awal.
2. Duduk untuk tasyahud awal.
3. Membaca shalawat Nabi shallalahu alaihi wasallam pada tasyahud awal
(sehingga dalam duduk tasyahud awal terdapat tiga hal yang termasuk sunnah ab’adh)
4. Membaca shalawat kepada keluarga Nabi shallalahu alaihi wasallam pada tasyahud akhir
setelah bacaan tasyahud.
5. Membaca qunut.
6. Membaca shalawat salam kepada nabi shallalahu alaihi wasallam dan keluarganya saat
qunut.
7. Berdiri saat membaca Qunut.
Sunnah Ab’adh

 Pertama, Tasyahhud Awal

Tasyahud Awal adalah tasyahud yang tidak dilanjutkan dengan salam.

َ َ‫ش فَ ِخذَكَ ْاليُس َْرى ث ُ َّم ت‬


)... ْ ْ ‫ش ََّّه‬ ْ َ‫ص ََلةِ ف‬
ْ ‫ َوا ْفتَ ِر‬،‫اط َمئِ َّن‬ َ ‫( فَإِذَا َجلَسْتَ فِي َو‬
َّ ‫س ِط ال‬

"Apabila kamu duduk di tengah mengerjakan shalat, maka tenangkanlah dirimu dan duduklah di atas
paha kirimu, kemudian bacalah tasyahud... “ (H.R. Abu Dawud 860, dishahihkan Syekh al-Albani)

Dalil yang menunjukkan tasyahud awal adalah bagian sunah shalat bukan rukun shalat adalah;
“ Dua sujud sahwi yang dilakukan Rasululullah (H.R Bukhari dan Muslim) menjadi ganti dari tasyahud
awal yang ditinggalkan Rasulullah karena tidak duduk tasyahud. Jika tasyahud termasuk rukun, maka
tentu Rasulullah akan melakukannya, serta tidak menggantikannya dengan sujud sahwi.”
Sunnah Ab’adh

 Kedua, Duduk untuk tasyahud awal

 Ketiga, Membaca shalawat Nabi shallalahu alaihi wasallam pada tasyahud awal setelah
bacaan tasyahhud awal
Yang dimaksud dengan shalawat Nabi adalah kadar atau lafadz wajib yang dibaca di Tasyahud
Akhir

ْ ‫علَى ُم َح َّم‬ َ ‫اللَّ َُّه َّم‬


َ ‫ص ِل‬

 Keempat, Membaca shalawat kepada keluarga Nabi shallalahu alaihi wasallam pada
tasyahud akhir

‌‫علَى‌‌آ ِل‌ ُم َح َّمد‬ َ ْ ‫علَى ُم َح َّم‬


َ ‫‌و‬ َ ‫اللَّ َُّه َّم‬
َ ‫ص ِل‬
Sunnah Ab’adh
 Kelima, Membaca Qunut
Yang dimaksud Qunut disini adalah Qunut Raatib, yaitu Qunut Subuh dan Qunut Witir Pertengahan Akhir
Ramadhan

‫ بع ْ الركوع يسيرا‬:‫ أ َ َوقَنَتَ قَ ْب َل الركووع؟ قال‬:ُ‫ فَ ِقي َل لَه‬.‫ نَعَ ْم‬:‫ْح؟ قَا َل‬
ِ ‫صب‬ ُّ ‫ أَقَنَتَ النَّ ِب‬:‫َس‬
ُّ ‫ي صلى هللا عليه وسلم ِفي ال‬ ُ ‫س ِئ َل أَن‬
ُ

Anas bin Malik pernah ditanya: "Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan qunut dalam shalat
Shubuh?" Dia berkata: "Ya." Lalu dikatakan kepadanya: "Apakah beliau melakukannya sebelum rukuk?" Dia
menjawab: "Terkadang setelah rukuk.") H.R al-Bukhari 956(

“Ubai bin Ka’ab mengimami mereka pada bulan Ramadhan dan dia qunut pada pertengahan terakhir bulan
Ramadhan.” (H.R. Abu Dawud 1428 dan dilemahkan Syekh Al-AlBani)

• Kesunahan Qunut terpenuhi dan sudah cukup(sah) jika seorang yang shalat mendatangkan pujian kepada Allah
Ta’ala dan berdoa kepadanya dengan doa apapun, seperti mengucapkan ‫اللَّهم اغفرلي يا غفور‬
• Namun Lafadh atau Bacaan yang sempurna adalah Qunut yang diriwiyatkan oleh Hasan bin Ali radhiyyallahu
anhuma, bahwa Rasulullah mengajarkannya (H.R. Abu Dawud 1425 dishohihkan syekh al-Bani dan Tarmidzi
464 dan mengatakan hadis hasan)

،َ‫ك ت َ ْقض ِي وَل َا يُقْض َى عَلَيْك‬


َ ‫ ِإ َّن‬، َ‫ضي ْت‬
َ َ ‫ و َقِنِي ش ََّر م َا ق‬، َ‫ك َ ِي ف ِيم َا أَ عْط َي ْت‬
ْ ِ‫ و َبَار‬، َ‫ و َتَو ََّلنِي ف ِيم َنْ تَوَلَّي ْت‬، َ‫ و َعَافِنِي ف ِيم َنْ عَافَي ْت‬، َ‫الله َُّم اهْدِنِي ف ِيم َنْ هَدَي ْت‬ َّ
َ‫ تَبَارَكْ تَ ر ََّبنَا و َتَع َالَي ْت‬، َ‫ وَل َا يَع ُِّز م َنْ عَادَي ْت‬، َ‫و َِإنَّه ُ ل َا يَذ ُِّل م َنْ و َالَي ْت‬
• Adapun kalau dia seorang imam, menggantikan dengan lafadz jamak (jama’ah)
Sunnah Ab’adh

 Keenam, Membaca shalawat salam kepada nabi shallalahu alaihi wasallam dan
keluarganya pada qunut setelah bacaan Qunut

 Ketujuh, Berdiri saat membaca Qunut.


• Membaca Qunut dalam keadaan berdiri, setelah bangun dari rukuk (mazhab Imam As-
syafi’iyah)
• Sebagian para ulama, melihat bolehnya qunut sebelum rukuk (khususnya di shalat witir)
• Ketika shalat sendiri, memilih antara keduanya adapun jika makmum maka mengikuti qunut
imam
Konsekuensi
Meninggalkan
Sunnah Ab’adh
● Makruh meninggalkan sunah ab’adh secara sengaja menurut madzhab syafiiyah dan tidak
membatalkan shalat, dan dianjurkan (disunnahkan) melakukan sujud sahwi karena
meninggalkannya.
● Sebagaimana juga dianjurkan sujud sahwi karena lupa meninggalkan sunah ab’adh. Karena dalam
kedua keadaan di atas, terjadi kekurangan. Bahkan kekurangan karena disengaja lebih
membutuhkan sujud sahwi.

● Dan ada pendapat yang lemah dalam madzhab syafiiyah, bahwa jika dia meninggalkan sunah
ab’adh secara sengaja, tidak perlu sujud sahwi, karena dia sengaja meninggalkan sunah itu pada
dirinya. Berbeda dengan orang yang lupa, yang dia memiliki udzur. Sehingga layak jika dia
disyariatkan untuk menutupinya (dengan sujud sahwi).

(al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 8/126)


Sunnah Hai’at

Sunnah yang disyariatkan


dilakukan dan tidak
berkonsekuensi apa pun jika
ditinggalkan

(namun sebaiknya dilakukan untuk


meningkatkan kualitas dan kesempurnaan
shalat yang kita jalankan)
Sunah Hai’at
perbuatan perkataan (dzikir)
1. Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul 1. Iftitah sesudah takbiratul ihram sebelum
ihram, rukuk, dan i’tidal membaca fatihah
2. Bersedekap, dengan Menaruh tangan 2. Ta’awudz sebelum membaca al-Fatihah
kanan di atas tangan kiri, diantara dada 3. Membaca Âmîn sesudah membaca al-Fatihah
dan pusar 4. Membaca ayat Al-Qur’an sesudah membaca al-
3. Melihat tempat sujud Fatihah
4. Menaruh kedua tangan di ujung kedua 5. Mengeraskan bacaan di tempatnya dan
paha ketika duduk (diantara kedua sujud) melirihkan bacaan di tempat yang disyariatkan
dan tasyahud 6. Membaca takbir pada setiap perpindahan gerak
5. Duduk Tawarruk saat tasyahud akhir ‫لله أ َ ْكبَر‬
ُ َ ‫ أ‬Allâhu Akbar
6. Duduk Iftirosy diseluruh duduk kecuali 7. Tasbih dan doa ketika ruku’, minimal sebanyak 3
tasyahud akhir kali ‫ي ْالعَظِّ ي ُِّْم َوبِّ َح ْم ِّدُِّه‬
ُْ ِّ‫سه ْب َحانَُ َرب‬
7. Menoleh ke kanan dan ke kiri ketika salam 8. Tasbih dan do'a ketika sujud, minimal sebanyak 3
kali: ‫ي ْاْل َ ْعلَى َوبِّ َح ْم ِّدُِّه‬ ُْ ِّ‫سه ْب َحانَُ َرب‬
9. Membaca shalawat ibrahimiyyah dan doa
sesudah tasyahhud akhir
10. Salam kedua
1. Perbuatan
Sunah Hai’at
 Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, rukuk, dan i’tidal

Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma “Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memulai shalat dengan
bertakbir. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga meletakkan kedua tangannya
sejajar dengan pundaknya. Ketika takbir untuk rukuk beliau juga melakukan seperti itu, jika mengucapkan:
'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH' beliau juga melakukan seperti itu sambil mengucapkan: 'RABBANAA
WA LAKAL HAMDU. Namun Beliau tidak melakukan seperti itu ketika akan sujud dan ketika
mengangkat kepalanya dari sujud.“ )H.R. Bukhari 705)

 Bersedekap, dengan Menaruh tangan kanan di atas tangan kiri, diantara dada dan pusar
Dari Wa’il bin Hujr,dia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika masuk
shalat, bertakbir... kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. (HR Muslim 401)

 Melihat tempat sujud


1. Perbuatan
Sunah Hai’at
 Menaruh kedua tangan di ujung kedua paha ketika duduk (diantara kedua sujud) dan tasyahud
"Jika beliau duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya diatas paha kanannya dan
beliau genggam semua jari jemarinya sambil memberi isyarat dengan jari sebelah jempol (telunjuk), beliau
juga meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya." )HR Muslim 580)

 Duduk Tawarruk saat tasyahud akhir


 Duduk Iftirosy diseluruh duduk kecuali tasyahud akhir
Abu Hamid As Sa'idi: "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, .. Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan
kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya(di bawah
kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya.“
(HR Al-Bukhari 794)

 Menoleh ke kanan dan ke kiri ketika salam


Dari Sa’ad dia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi salam ke arah kanan
dan kiri hingga aku melihat putihnya pipi beliau.“ (H.R. Muslim 582)
1. Perbuatan
Sunah Hai’at
 Menaruh kedua tangan di ujung kedua paha ketika duduk (diantara kedua sujud) dan tasyahud
"Jika beliau duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak tangan kanannya diatas paha kanannya dan
beliau genggam semua jari jemarinya sambil memberi isyarat dengan jari sebelah jempol (telunjuk), beliau
juga meletakkan telapak tangan kirinya diatas paha kirinya." )HR Muslim 580)

 Duduk Tawarruk saat tasyahud akhir


 Duduk Iftirosy diseluruh duduk kecuali tasyahud akhir
Abu Hamid As Sa'idi: "Aku adalah orang yang paling hafal dengan shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, .. Apabila duduk pada rakaat kedua, beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan menegakkan
kakinya yang kanan. Dan jika duduk pada rakaat terakhir, maka beliau memasukkan kaki kirinya(di bawah
kaki kananya) dan menegakkan kaki kanannya dan beliau duduk pada tempat duduknya.“
(HR Al-Bukhari 794)

 Menoleh ke kanan dan ke kiri ketika salam


Dari Sa’ad dia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberi salam ke arah kanan
dan kiri hingga aku melihat putihnya pipi beliau.“ (H.R. Muslim 582)
Sunah Hai’at
2. Perkataan
 Iftitah sesudah (dzikir)
takbiratul ihram sebelum membaca fatihah

‫ك ُّأم ِ ْرتُ و َأَ نَا‬


َ ِ ‫ك لَه ُ و َبِذَل‬ ِ ‫ ِإ َّن صَلَاتِي و َنُسُكِي وَمَح ْيَايَ و َمَمَاتِي لِله ِ ر‬.َ‫ن الْمُشْرِكِين‬
َ ‫َب ال ْع َالَمِينَ ل َا شَر ِي‬ َ ِ ‫ِْ حَنِيف ًا وَم َا أَ نَا م‬
َ ‫َات و َالْأَ ر‬ َّ َ ‫ي ل َِّلذ ِي فَط َر‬
ِ ‫السم َاو‬ َ ِ ‫و ََّجهْتُ و َجْ ه‬
َ‫ن الْمُسْل ِمِين‬
َ ِ‫م‬
• Disunnahkan membaca Iftitah saat disuluruh shalat, imam atau makmum, dengan syarat belum memulai
surah al-Fatihah. Kalau telah memulai bacaan al-Fatihah, gugur bacaan Ifitahnya
• Tidak disunnahkan membaca Ifititah di shalat jenazah, dan di shalat ketika sudah mepet/mau selesai
waktunya

 Ta’awudz sebelum membaca al-Fatihah (kalau telah memulai bacaan al-Fatihah, gugur bacaan
taawudznya)

 Membaca Âmîn sesudah membaca al-Fatihah


Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda"Jika salah seorang (riwayat Muslim: dalam
shalat) dari kalian mengucapkan 'Amiin' dan para Malaikat yang ada di langit juga membaca 'Amiin', lalu
bacaan salah satunya bersamaan dengan bacaan yang lain, maka dosanya yang telah lalu akan
diampuni.") Muttafaq Alaih)

 Membaca ayat Al-Qur’an sesudah membaca al-Fatihah


Sunah Hai’at
2. Perkataan (dzikir)
 Mengeraskan bacaan di tempatnya dan melirihkan bacaan di tempat yang disyariatkan
 Membaca takbir pada setiap perpindahan gerak ‫ أَللهُ أَ ْكبَر‬Allahu Akbar kecuali I’tidal
Abu Hurairah berkata:"Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat, beliau takbir saat memulai
berdiri (takbiratul Ikram) kemudian ketika akan rukuk, membaca: 'SAMI'ALLAHU LIMAN HAMIDAH'
ketika mengangkat punggungnya dari rukuk, saat posisi berdiri baliau membaca: RABBANAA
LAKAL HAMDU’

 Tasbih dan doa ketika ruku


 Tasbih dan do'a ketika sujud
Dari Hudzaifah, menceritakan Shalat Rasululullah (.....dalam ruku’ beliau membaca: ‫سُب ْح َانَ ر َب ِ ْي ال ْعَظِي ِْم‬
ِ ‫…و َب ِحَمْدِه‬.. dalam sujud beliau membacaِ ‫) سُب ْح َانَ ر َب ِ ْي الْأَ ع ْلَى و َب ِحَمْدِه‬
• Disunnahkan dibaca 3x

 Membaca shalawat Ibrahimiyyah dan doa sesudah tasyahhud akhir


 Salam kedua
PEMBAT
AL
SHALAT

‘22
Pembatal Shalat
1. hadats
2. terkena najis kecuali langsung dibuang tanpa dibiarkan,
3. tersingkap aurat kecuali langsung ditutup,
4. berbicara dua atau satu huruf yang bisa dipahami dengan sengaja
5. melakukan pembatal puasa dengan sengaja,
6. makan banyak meski lupa,
7. gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun lupa
8. melompat yang keras,
9. memukul keras,
10. menambah rukun perbuatan dengan sengaja,
11. mendahului imam dalam dua rukun dan ketinggalan imam dua
rukun tanpa uzur
12. niat memutus shalat,
13. sengaja memutus shalat dengan sesuatu, dan
14. ragu-ragu dalam membatalkan shalat.
Pembatal Shalat
 Maksud batal shalat di sini adalah shalat menjadi
tidak sah.

 Shalat yang batal di sini mencakup:


• shalat wajib,
• shalat sunnah,
• termasuk pula yang serupa dengan shalat adalah
sujud tilawah, sujud syukur, dan shalat jenazah.

 Shalat menjadi batal jika terdapat salah satu dari 14


hal, baik di tengah shalat atau di permulaan shalat.
Pembatal Shalat
 Pertama, hadats
Tidak ada perbedaan adanya hadats muncul dengan sengaja atau tidak disengaja, baik hadats kecil
maupun hadats besar, walaupun dari orang yang faqiduth thohuroin (tidak mendapati air dan debu), atau
daimul hadats (orang yang selalu berhadats) selain hadats yang selalu keluar.
Jika berhadats setelah salam pertama dan sebelum salam kedua, shalatnya sudah sah. Ini adalah hal
yang disepakati oleh para ulama.

 Kedua, terkena najis kecuali langsung dibuang tanpa dibiarkan


Membatalkan shalat bila terkena najis (yang tidak dimaafkan) pada badan atau bajunya, jika tidak disingkirkan
secara langsung sebelum berlalu waktu/kadar minimal thumakninah. Artinya, najis harus segera dihilangkan.
• Apabila telah disingkirkan sebelum itu (waktu thumakninah) misalkan najisnya kering dan pakaiannya
dikibaskan secara langsung atau najisnya basah dan pakaian yang terkena najis dilemparkan tanpa
memegang atau membawanya, maka shalatnya tidaklah batal.
• Apabila disingkirkan dengan tangannya atau dengan tongkat yang terdapat najis padanya atau tangannya
diletakkan pada tempat yang terkena najis, maka hal itu membatalkan shalatnya (karena dia membaca najis
tersebut sedangkan di dalam shalat)
• Jika seseorang shalat terkena najis dalam keadaan lupa atau tidak tahu, maka shalatnya sah dan tidak
perlu diulang. (Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat Imam Syafi’i yang qadim, dipilih oleh Ibnul
Mundzir, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin).
Pembatal Shalat
 Ketiga, tersingkap aurat
• Sekiranya dia menyingkapkan sedikitpun bagian auratnya secara sengaja, maka seperti ini shalatnya batal,
walaupun ditutup secara langsung.
• Adapun jika auratnya tersingkap tanpa sengaja atau tanpa keinginannya (karena angin misalkan)
 Jika ditutup secara langsung, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya
 Jika tidak ditutup secara langsung, maka hal itu membatalkan shalatnya

 Keempat, berbicara dua huruf atau satu huruf yang bisa dipahami dengan sengaja
Yang dimaksud adalah berbicara (selain Al-Qur’an, Doa, dan Dzikir) dalam keadaan disengaja dan tahu bahwa hal
itu diharamkan ketika shalat. Berbicara yang dimaksud adalah berbicara sedikit atau banyak (walaupun tidak
dipahami) .
Jika dilakukan tidak sengaja (seperti keceplosan, atau tidak tahu hukumnya karena baru masuk Islam, atau
lupa kalau sedang berada dalam shalat), jika yang diucapkannya sedikit yaitu empat kata, maka tidaklah
membatalkan shalat.
>> Jika ada yang bersin dalam shalat, ia boleh mengucapkan alhamdulillah, tetapi saran para ulama
dibaca lirih).

 Kelima, melakukan pembatal puasa dengan sengaja (seperti makan dan minum)
Shalat batal karena melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa
• Jika dilakukan dengan sengaja atau tahu ilmu akan keharamannya. Contoh, memasukkan sesuatu ke dalam
telinga, atau makan, maka jika seperti ini shalatnya batal walaupun makan sedikit.
Pembatal Shalat
 Keenam, makan banyak meski lupa
Shalat batal dengan masuknya makanan yang banyak walaupun bagi orang yang lupa.
Shalat juga batal bagi orang yang tidak tahu dan punya uzur (dimaafkan) kalau makanan yang masuk
banyak.
>> Masuk ke golongan makanan (yang membatalkan shalat) adalah permen atau gula yg dimasukkan
kedalam mulut, dan mencair secara sendirinya

 Ketujuh, gerakan banyak meskipun lupa atau tak tahu hukumnya


Gerakan yang membatalkan adalah
– Melakukan gerakan yang banyak (para ulama membataskan, tiga kali gerakan atau lebih)
– Gerakannya terus menerus
– Dilakukan oleh anggota badan yang berat (tangan, kaki, atau kepala). Tetapi, tidak batal jika dilakukan oleh
anggota tubuh yang ringan seperti jari-jari yang bergerak, kelopak mata, dan bibir, walaupun bergerak berkali-kali
dan terus menerus.
 Tidak batal jika gerakannya sedikit (kurang dari tiga kali) atau tiga kali tetapi tidak terus menerus.
 Jika maksudnya itu main-main (walaupun gerakan itu sedikit & walau dari anggota tubuh yang ringan),
shalatnya batal.
 Jika sifatnya darurat yang tidak bisa ditinggalkan, tidaklah membatalkan shalat, seperti menggaruk bagian
tubuh yang gatal.
Pembatal Shalat
 Kedelapan, melompat yang keras
Karena lompatan itu pasti melampaui batas walaupun sekali.

 Kesembilan, memukul keras


Karena memukul keras itu pasti melampaui batas walaupun sekali. Masuk juga tendangan.

 Kesepuluh, menambah rukun perbuatan dengan sengaja


Dilakukan dengan sengaja dan tahu hukumnya, shalatnya batal

 Kesebelas, mendahului imam dalam dua rukun dan ketinggalan imam dua rukun tanpa uzur
(1) mendahului imam dalam dua rukun perbuatan, contohnya Imam masih membaca surat, makmum turun sujud.
(2) terlambat dari imam dengan dua rukun perbuatan tanpa adanya uzur, contohnya Imam dari iktidal mau sujud,
sedangkan makmum masih berdiri (membaca surat).
• Yang dimaafkan dalam mendahului imam dan telat dari imam adalah karena lupa atau karena tidak tahu
• Kalau satu rukun lebih cepat (mendahului imam) tetap haram dilakukan.
Pembatal Shalat
 Kedua Belas, niat memutus shalat,
yaitu Shalat batal jika berniat keluar dari shalat, baik itu (meniatkannya) sekarang/secara langsung atau setelah
satu rakaat misalnya. Karena telah meniadakan ketegasan niat yang disyaratkan ada selama shalat

 Ketiga Belas, sengaja memutus shalat dengan sesuatu,


Misalnya dikaitkan batalnya shalat dengan datangnya seseorang. Walaupun dia tidak mengetahui pengkaitan
ini. Bahkan mengkaitkan kepada sesuatu yang mustahil, “Saya keluar dari shalat, jika sekiranya zaid pergi ke
awan dengan sayap.”.
Karena shalat itu harus ada didalamnya niat tegas. Pengkaitan seperti ini bertolak belakang dengan niat tegas ini.

 Keempat Belas, ragu-ragu dalam membatalkan shalat.


Misalnya dalam hatinya, “saya keluar dari shalat atau tetap melanjutkan”, jika seperti ini shalatnya batal
1. Al-Qur’an Al-Karim
2. Kitab Shahihul Bukhari karya Imam Muhammad bin Ismail (al-Bukhari)
3. Kitab Shahih Muslim Karya Imam Muslim Bin Hajjaj
4. Kitab Sunan Abi Dawud
5. Kitab Jami’ karya Imam at-Tirmidzi (ma’ruf Sunan Tarmidzi)
6. Kitab al-Mustadrak ala as-Shahihain karya Imam al-Hakim
7. Safinatun Najah karya Syekh Salim bin Sumair al-Hadhromiy
8. Nailur Raja Syarah Safinatun Najah Karya Syekh Sayyid Ahmad bin Umar as-Syatiri
“Rujukan Kajian” 9. Fathul Qorib al-Mujib Syrah Alfaadhz Taqrib karya Syekh Muhammad bin Qosim al-Ghizzy
10. Kitab ar-Risalah al-Jaami’ah karya Syekh Habib Ahmad bin Zain al-Habsyyi
11. Fathul Mu’in karya Syekh Zainuddin Al-Malibari
12. Kitab I’anah al-Thalibin karya Syekh Sayyid al-Bakri ad-Dimyathi
13. Hasyiyah Al-Jamal karya Syekh Sulaiman Al-Jamal
14. Al- Manhaj Al-Qowim karya Ibnu Hajar al-Haitami
15. Kitab Ushulul Fiqh Al-Islami Karya Syekh Wahbah Az-Zuhaili
16. Kitab al-Mughni karya Imam Qudamah
17. Kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah
18. Kitab Dzauqush Shalah karya Ibnul Qoyyim. (rahimahumullah warofa’a qodrahum)
Syukron
& Terima Kasih
Mohon Maaf, kurang dan lebihnya.
Jazakumullah Khairan

alhamdulillah washallallahu ala


rasulillah wa aalihi wa sohbihi
ajma’ain

wallahu a’lam

Anda mungkin juga menyukai