Tempat niat
b. Fungsi niat:
Kaedah cabang 1
Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada
sekarang.
Contoh:
o Seseorang merasa yakin telah berhadats…
o Seseorang makan sahur…
Kaedah cabang 2
Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab
Contoh:
o Terdakwa yang menolak angkat sumpah
o Ragu sudah diceraikan atau belum, belum diceraikan
Kaedah cabang 3
Contoh:
Contoh:
Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak
didapatkan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada binatang haram,
adalah halal dimakan.
Pengecualian
Wanita yg sedang haid ragu apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib
mandi besar untuk shalat.
Ragu yg keluar itu mani atau madzi, wajib mandi
Baju terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis, maka
wajib mencuci baju seluruhnya.
Segala kesulitan atau kesukaran yang tidak dapat dielakkan oleh manusia akan diberikan
keringanan oleh Tuhan.
Arti dari qaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan.
Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau
memudaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang
mukallaf, diringankan hingga tidak memudaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam
dikenal dengan istilah rukhsah
Hal itu antar lain karna kemapuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap
bias meringanka taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Asyatibhi antara lain
sebagai berikut;
1. karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan pada
dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2. Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan social yang berhubungan dengan
social kemasyarakatan. Karna hubungan tersebut dalam islam bias dikatagorikan sebagai
ibadah juga.
Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1. Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah.
Contoh : seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat,
keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa
dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.
2. Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana
manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan
merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur
oleh criteria akal sehat. Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan
semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).
1. Bepergian
2. Sakit
3. Terpaksa
4. Lupa
5. Kebodohan
6. Kurang mampu
Macam-macam keringanan
1. Takhfif Isqat (Pengguguran): Jum’at, haji, jihad, gugur shalat bagi wanita haid dan
nifas.
Macam-macam Rukhsah
4. Khilaf Aula: Jama’ bagi orang yang tidak safar karena sakit.
Kaedah cabang 1
Kaedah cabang 2
Sesuatu yang dibolehkan karena darurat diukur sekedar kemudharatan itu saja.
Boleh makan daging yang disembelih tanpa membaca basmalah hanya sekedar
menutupi kelaparannya, tidak boleh berlebihan.
Kaedah cabang 3
Sesuatu yang dibolehkan karena uzur, batal dengan hilangnya uzur tersebut.
o Tayammum itu batal lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu shalat.
Kaedah cabang 4
Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara mutlaq dan tidak ada pembatasannya
dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, dikembalikan kepada urf.
Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat menduduki tempat syarat.
o Andaikata sudah merata pada masyarakat suatu adat kebiasaan yang mengizinkan
kepada orang yang menerima gadai mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan (dijadikan jaminan suatu hutang), maka perizinan pemanfaatan barang
yang digadaikan itu tidak menduduki suatu persyaratan dalam gadai. Dengan kata
lain bahwa dalam gadai itu tidak disyaratkan orang yang menerima gadai itu harus
mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.
REFERENSI :
A.Djazuli, op. cit, h. 56-58
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan III
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan
III