Anda di halaman 1dari 7

 

Nama: Novita Rahmadani


Nim : 172018014
Mk : kaidah Fiqh

RESUME SEMUA PERTEMUAN

Kaedah pokok pertama

Segala urusan tergantung pada tujuannya (niat).


Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya, dengan kata lain,
bahwa setiap mukallaf dalam setiap perkataan, perbuatan dan seluruh aktifitasnya
bergantung kepada niatnya. Niat tersebutlah yang menjadi nilai atas status hukum amal
yang mukallaf itu lakukan.

a. Tujuan disyariatkannya niat

 Tempat niat

b. Fungsi niat:

 Untuk menentukan tingkatan dari suatu ibadah

 Fardhu dan Sunnah (Puasa, Zakat, sedekah)

· Untuk membedakan antara suatu ibadah dengan adat kebiasaan

 (Mandi, wudhu’, puasa)

c. Kaedah cabang tentang niat


 Tidak ada pahala tanpa niat (sepakat)
Sah atau tidak (beda pendapat)
Wudhu’
Syafi’iyyah dan malikiah: Fardhu
 Suatu amal dalam pelaksanaannya disyaratkan niat, maka kesalahan akan
membatalkan amal.
Contoh:
Shalat dhuhur niatnya shalat ashar.
 Sesuatu yang disyaratkan berniat secara umum dan tidak disyaratkan niat
secara rinci, apabila dirincikan dan ternyata salah maka ibadahnya batal.
Contoh:
Niat makmum kepada Muhammad ternyata Amin, maka batal.
 Niat dalam sumpah mengkhususkan lafadh ‘am, tidak menjadikan ‘am
lafadh yang khusus.
Contoh:
~ Sumpah: Tidak bicara dengan orang , tetapi orang tertentu, maka
sumpahnya hanya berlaku untuk orang yang dimaksud.
 Maksud lafadh adalah menurut niat orang yang mengucapkan, kecuali
dalam satu tempat yaitu sumpah di hadapan qadhi, maka maksud lafadh
adalah menurut niat qadhi.
Contoh:
~ Talak berturut-turut tiga kali, jika niat sebagai awal kalimat jatuh talak
tiga, akan tetapi kalau sebagai penguat, jatuh talak satu.

Kaedah Pokok Kedua

Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan suatu keraguan.


Arti dari kaidah tersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah
ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan masalah akidah dan persoalan-
persoalan dalil hukum dalam syari’at Islam.
Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaanya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan
dalil argumen yang pasti ( qath’i), bukan semata-mata oleh argument yang hanya bernilai
saksi / tidak pasti.
Hampir seluruh bab fiqh bisa masuk dalam kaidah ini.

Kaedah cabang 1

Menurut dasar yang asli memberlakukan keadaan semula atas keadaan yang ada
sekarang.

Contoh:
o Seseorang merasa yakin telah berhadats…
o Seseorang makan sahur…

Kaedah cabang 2
Menurut dasar yang asli tiada tanggung jawab
Contoh:
o Terdakwa yang menolak angkat sumpah
o Ragu sudah diceraikan atau belum, belum diceraikan

Kaedah cabang 3

Menurut dasar yang asli ketiadaan sesuatu

Contoh:

o Jika seseorang menjalankan modal orang lain


o Penjual dan pembeli bertengkar tentang barang yang cacat
Kaedah cabang 4
Asal sesuatu adalah boleh, sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.

Contoh:

Segala macam binatang yang sukar untuk ditentukan keharamannya lantaran tidak
didapatkan sifat-sifat dan ciri-ciri yang dapat diklasifikasikan kepada binatang haram,
adalah halal dimakan.

Pengecualian

 Wanita yg sedang haid ragu apakah sudah berhenti atau belum. Maka ia wajib
mandi besar untuk shalat.
 Ragu yg keluar itu mani atau madzi, wajib mandi
 Baju terkena najis, tetapi ia tidak tahu bagian mana yang terkena najis, maka
wajib mencuci baju seluruhnya.

Kaedah Pokok Ketiga

Kesulitan menuntut adanya kemudahan

Segala kesulitan atau kesukaran yang tidak dapat dielakkan oleh manusia akan diberikan
keringanan oleh Tuhan.
Arti dari qaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan.
Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya atau
memudaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa, ataupun harta seorang
mukallaf, diringankan hingga tidak memudaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam
dikenal dengan istilah rukhsah
Hal itu antar lain karna kemapuan seorang mukallaf itu terbatas. Kesulitan yang dianggap
bias meringanka taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Asyatibhi antara lain
sebagai berikut;
1. karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya kerusakan pada
dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2. Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan social yang berhubungan dengan
social kemasyarakatan. Karna hubungan tersebut dalam islam bias dikatagorikan sebagai
ibadah juga.

  Klasifikasi kesulitan
Dr. Wahbah az-Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori, yaitu:
1.      Kesulitan Mu’tadah
Kesulitan mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu mencari jalan
keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan. Kesulitan model ini tidak dapat di
hilangkan taklif dan tidak menyulitkan untuk melakukan ibadah.
Contoh : seseorang kesulitan mencari pekerjaan, ia dapat pekerjaan yang sangat berat,
keberatan ini bukan berarti diperbolehkan keringanan dalam melakukan shalat atau puasa
dan sebagainya, atau karena kesulitan mencari ma’isah ittu menggugurkan hukum qishas.

2.      Kesulitan Qhairu Mu’tadah
Kesulitan qhairu mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan, dimana
manusia tidak mampu memikul kesulitan itu. Karena jika ia melakukannya niscaya akan
merusak diri dan memberatkan kehidupannya, dan kesulitan-kesulitan ini dapat diukur
oleh criteria akal sehat. Syariat sendiri serta kepentingan yang dicapainya, kesulitan
semacam ini diperbolehkan menggunakan dispensasi (rukhsah).

o Sulit shalat berdiri maka boleh sambil duduk.

Sebab-sebab timbulnya keringanan :

1. Bepergian

2. Sakit

3. Terpaksa

4. Lupa

5. Kebodohan

6. Kurang mampu

7. Kesukaran umum (Umumul balwa)

Macam-macam keringanan

1. Takhfif Isqat (Pengguguran): Jum’at, haji, jihad, gugur shalat bagi wanita haid dan
nifas.

2. Takhfif Tanqis (Pengurangan): Qashar shalat.

3. Takhfif Ibdal (Penggantian): Wudhu’ dan mandi dengan tayammum, berdiri


dengan duduk, puasa dengan fidyah.

4. Takhfif Taqdim (Mendahulukan): Jama’ Taqdim, zakat sebelum datang tahun.

5. Takhfif Ta’khir (Mengakhirkan): Jama’ Ta’khir, Puasa.

6. Takhfif Tarkhis (Kemurahan): Makan yang dilarang untuk menolak kelaparan.

7. Takhfif Taghyir (Perubahan): Merubah aturan sembahyang dalam keadaan


ketakutan.

Macam-macam Rukhsah

1. Menjadi wajib: Makan bangkai


2. Menjadi Sunnah: Qashar Shalat

3. Menjadi Mubah: Bayar panjar asalnya haram

4. Khilaf Aula: Jama’ bagi orang yang tidak safar karena sakit.

5. Menjadi Makruh: Qashar jarak kurang dari masafah qashar.

Kaedah Pokok Keempat

Kemudharatan harus dihilangkan


Arti qaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Dengan kat
alain qaidah ini menunjukan bahwa berbuat kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama
Islam. Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah sehingga kerusakan itu menimpa
seseorang,kedudukannya menjadi lain, bahkan bias dianggap sebagia dari keimanan
terhasap qadha dan qadharnya Allah SWT. Karna segala sesuatu menjadi boleh bagi Allah
SWT, Dan dari-Nya-lah kemamfaatan.

Kaedah cabang 1

Kemudharatan itu menghalalkan larangan-larangan.

o Makan binatang yang diharamkan bagi orang yang dilanda kelaparan.

Kaedah cabang 2

Sesuatu yang dibolehkan karena darurat diukur sekedar kemudharatan itu saja.

 Boleh makan daging yang disembelih tanpa membaca basmalah hanya sekedar
menutupi kelaparannya, tidak boleh berlebihan.

Kaedah cabang 3

Sesuatu yang dibolehkan karena uzur, batal dengan hilangnya uzur tersebut.
o Tayammum itu batal lantaran diketemukan air sebelum masuk waktu shalat.

Kaedah cabang 4

Kemudharatan itu tidak dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang lain.


o Seseorang yang terancam kelaparan tidak boleh makan makanan milik orang lain
yang dihajatkan sendiri.
Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaedah-kaedah diatas:

o Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan


tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
o Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam) adalah
juga untuk menghilangkan kemudaratan.
o Adanya aturan al-Hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan
kemudaratan.

Kaedah Pokok Kelima

Adat kebiasaan bisa dijadikan sebagai dasar hukum.


Artinya suatu kebiasaan bisa dijadikan batasan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum
sering disebut sebagai
Urf atau adat. Meskipun banyak Ulama yang membedakan diantara keduanya. Namun,
menurut kesepakatan Jumhur ulama, suatu adat atau urf bias diterima jika memenuhi
syarat-syarat berikut;

1. tidak bertentangan dengan syari’at;


2. Tidak menyebabkan Kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan;
3. telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. tidak berlaku dalam ibadah mahdlah;
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya;
6. tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas

Kaedah tentang adat 1

Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara mutlaq dan tidak ada pembatasannya
dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, dikembalikan kepada urf.

Kaedah tentang adat 2

Adat kebiasaan yang diterapkan dalam satu segi tidak dapat menduduki tempat syarat.
o Andaikata sudah merata pada masyarakat suatu adat kebiasaan yang mengizinkan
kepada orang yang menerima gadai mengambil manfaat dari barang yang
digadaikan (dijadikan jaminan suatu hutang), maka perizinan pemanfaatan barang
yang digadaikan itu tidak menduduki suatu persyaratan dalam gadai. Dengan kata
lain bahwa dalam gadai itu tidak disyaratkan orang yang menerima gadai itu harus
mengambil manfaat dari barang yang digadaikan.

REFERENSI :
A.Djazuli, op. cit, h. 56-58

 A. Djazuli. Op. cit, h. 67.

Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan III
Syafe’i Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2007, cetakan
III

Anda mungkin juga menyukai