االمور بمقاصدها
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
Contoh kaidah:
Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.
Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami
kepada
istrinya: ( انت خاليةengkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan
menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya,
namun jika
ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.
Kaidah ke-2
Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Minongorejo Widang).
Teman kita
yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq dan
seorang budak
perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa
Hurrah. Jika
dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka
jatuhlah talak
kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka
tidak jatuh
talaknya. Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon
bertujuan
memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka.
Sebaliknya jika
ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan
menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal shalatnya.
Namun
apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal shalatnya, atau dengan
menambahkan
masyiah dengan tanpa adanya tujuan apapun, maka menurut pendapat yang
sahih,
shalatnya menjadi batal.
Kaidah ke-6
اليقين ال يزال بالشك
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
Contoh kaidah :
Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat
shalatnya?
maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat karena itulah yang
diyakini.
Santri bernama Maid baru saja mengambil air wudhu di kolam depan komplek A
PP. Putra
Sunan Bejagung. Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; “batal durung yo..?
kayane aku
nembe demek…” maka hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan keraguan
yang
muncul kemudian.
seseorang meyakini telah berhadats dan kemudian ragu apakah sudah bersuci
atau belum,
maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:
االصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh kaidah :
Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos
Fahmi. Dalam
kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola usaha (al-‘amil),
sedangkan Bos
Fahmi adalah pemodal atau investornya. Pada saat akhir perjanjian, Kang
Khumaidi
melaporkan kepada Bos Fahmi bahwa usahanya tidak mendapat untung. Hal ini
diingkari
Bos Fahmi. Dalam kasus ini, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang Bruna
yang
bernama Kang Khumaidi, karena pada dasarnya memang tidak adanya
tambahan (laba).
Kaidah ke-11
Kaidah ke-13
الضرر يزال
Bahaya harus dihilangkan.
Contoh kaidah:
Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya ‘aib (cacat)
pada
barang yang dijual.
Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan
perempuan
karena adanya ‘aib.
Kaidah ke-14
Kaidah ke-21
العادة محكمةـ
Adat bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah:
Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang
dikehendaki, maka
berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung
pada
kebiasaan (adapt perempuan sendiri).
Kaidah ke-22
Contoh kaidah:
Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.
Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman
(Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang
yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin);
dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun
mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka Itulah
orang orang yang beruntung.”
Kaidah ke-26
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian akan
dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.
Kaidah ke-27
Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat
membasuh lengan
dan kaki.
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan
wajibnya dan
wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
Kaidah ke-29″
Kaidah ke-31
ك
ّ الرخصة التناط بالش
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan.
Contoh kaidah:
Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, Abdul Aziz merasa ragu
mengenai jauh jarak
yang ditempuh dalam perjalan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat untuk
meng-
qashar shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini, kang Aziz tidak boleh
meng-qashar
shalat.
Seorang yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar,
maka yang
harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.
Kaidah ke-32
Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada ditempat
jauh
(ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada
ditangannya.
Nabi SAW. bersabda :
قال النبي صلى هللا عليه وسلم ما احل هللا فهو حالل
وما
حرم هللا فهو حرام وما سكت عنه فهو مما عفو
Nabi SAW. bersabda :
” Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu yang diharamkan Allah
adalah
haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah merupakan pengampunan
dari-Nya.”
Ushul fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum
syar’i dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih
berfungsi sebagai pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang
serupa.
Secara hierarkis urutan kemunculannya adalah ushul fikih sebelum fikih,
sementara munculnya kaidah fikih setelah fikih.
Objek kajian ushul fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama
dengan fikih, yakni perbuatan orang mukallaf.
Ushul fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih
muncul melalui pendekatan induktif.
Judul tulisan ini sengaja ditata berdasarkan urutan hierarki penggunaannya. Ushul
fikih sebagai rumah produksi, fikih sebagai hasil produknya, lalu kaidah fikih yang
bertugas mengelompokkan jenis-jenis produknya. Semoga dapat menyumbangkan
titik terang ‘jenis kelamin’ tiga rumpun ilmu di atas. [] Wallahu ‘alam bisshawab.
Rangkuman Buku Qawaid Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan
fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah ()ةدعاق,
jamaknya qawaid ()دعاوق. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non
materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,
arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah
Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi.
Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah, adalah; Qawaid ushuliyyah
membahas tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum. Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah
qaidah- qaidah pembahasannya tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah
membicarakan tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah
membicarakan tentang hukum-hukum bersifat umum.
Menurut al- Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi, bahwa qawaid fiqhiyyah
mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith
fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa sekarang istilah qaidah dan
dhabith telah menjadi populer di kalangan para ulama, sehingga mereka membedakan ruang
lingkup keduanya.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa qawaid fiqhiyyah lebih luas dari dhawabith fiqhiyyah,
karena qawaid fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah
yang terdapat pada semua bab fiqh. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada
masalah dalam satu bab fiqh. Sebab itulah qawaid fiqhiyyah disebut qaidah ammah, atau kullyyah
dan dhawabith fiqhiyyah di sebut qaidah khasshshah.
Ushul fiqh adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian
(istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut
harus ditempuh oleh orang yang berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah
yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah
hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul
fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.
Misalnya hukum wajib shalat dan zakat yang digali dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43
yang
Berbunyi:
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan
wajib (لصالا )بوجولل رمالا ىف. Adapun qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan
dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalankan hukum
fiqh terkadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus
dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya
mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
Dalam kasus seperti ini, mukallaf tersebut boleh menunda shalat dari waktunya karena
jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyyah, yaitu
dengan menggunakan qaidah
Adapaun tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqh.
Dari tujuan mempelajari qawaid fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah; akan
lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi; akan lebih arif dalam
menerapkan materi- materi hukum dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan
adat yang berbeda; Mempermudah dalam menguasai materi hukum; Mendidik orang yang berbakat
fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan
baru; Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum
dengan mengeluarkannya dari tempatnya.
Adapun kepentingan Qaidah fiqh dapat dilihat dari dua sudut : Pertama, dari sudut sumber,
qaidah merupakan media bagi peminat fiqh untuk memahami dan menguasai maqashid al-
Syari’ah, karena dengan mendalami beberapa nash-nash, ulama dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa
persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada ketentuan atau
kepastian hukumnya.
Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah ialah dasar-dasar perumusan qaidah
fiqhiyyah, meliputi dasar formil dan materiilnya. Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan
dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi
pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil
maksudnya dari mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.
Dasar formil
Hukum-hukum furu’ yang ada dalam untaian satu qaidah yang memuat satu masalah tertentu,
ditetapkan atas dasar nash, baik dari al-Quran maupun Sunnah.
Dasar materiil
Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid
Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran, pembukuan, dan penyempurnaan.
1. Periode Kelahiran.
Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama
tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini dari segi
fase sejarah hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad
SAW., yang berlangsung selama 22 tahun lebih, zaman tabi'in, dan zaman
tabi'it al-tabi'in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan
adalah masa tasyri' (pembentukan hukum Islam) merupakan embrio kelahiran qawaid
fiqhiyyah. Nabi Muhammad SAW. menyampaikan Hadis yang jawami' 'ammah
(singkat dan padat). 2. Periode Pembukuan
Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai
munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat
sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh
yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar mazhab beserta hasil
perbandingannya (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah
upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab
tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.
Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai
dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain,
al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid
fiqhiyyah.
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat
diwariskan sebagai salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga.
3. Periode Penyempurnaan
Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al- Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah
disempurnakan. Misalnya qaidah: (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya
sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai
milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan.
Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah
satu bagian dari hak asasi manusia.
Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad
bin Muhammad al-Hamawi yang antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah
wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah yang
ia buat dalam kitabnya yang berjudul Ghamzu 'Uyun al-Basa'ir.