Anda di halaman 1dari 33

QOWA’ID AL-FIQH 1-10

Sabda Rasulullah SAW. :

“‫انما االعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه‬


‫البخارى‬
Artinya:
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa
yang telah
diniatkan.” (HR. Bukhari).
Kaidah ke-1

‫االمور بمقاصدها‬
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
Contoh kaidah:
Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.
Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami
kepada
istrinya: ‫( انت خالية‬engkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan
menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya,
namun jika
ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.
Kaidah ke-2

‫ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل‬


Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan
penjelasan
menyebabkan batal. Contoh kaidah:
Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat ‘ashar atau sebaliknya,
maka
shalatnya tersebut tidak sah.
Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada
kafarat qatl
(pembunuhan).
Kaidah ke-3

‫ما يشترط التعرض له جملة وال يشترط تعيينه تفصيال‬


‫اذا‬
َّ‫عينه واخطأ ضر‬
Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan
penjelasan
secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci
membahayakan.
Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Gandung S.P. Towo niat berjamaah kepada seorang
imam
bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah
mbah Arief
tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka
shalat
Gandung tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang
berarti telah
menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah
hanya
disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa
imamnya.
Kaidah ke-4

‫ما ال يشترط التعرض له جملة وال تفصيال اذا عينه‬


‫واخطأ‬
‫لم يضر‬
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci
ketika
dita’yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh kaidah :
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti kang Imam (pengelolah
kantin) niat
shalat di Bejagung Semanding, padahal saat itu dia berada di Dermawu (suatu
daerah yang
berada di Kecamatan Grabagan). Maka shalat kang Imam tidak batal karena
sudah adanya
niat. sedangkan menentukan tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat
baik secara
globlal atau terperinci (tafshil).
Kaidah ke-5

‫مقاصد اللفظ على نية الالفظ‬


Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :

Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Minongorejo Widang).
Teman kita
yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq dan
seorang budak
perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa
Hurrah. Jika
dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka
jatuhlah talak
kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka
tidak jatuh
talaknya. Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon
bertujuan
memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka.
Sebaliknya jika
ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.
Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan
menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal shalatnya.
Namun
apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal shalatnya, atau dengan
menambahkan
masyiah dengan tanpa adanya tujuan apapun, maka menurut pendapat yang
sahih,
shalatnya menjadi batal.
Kaidah ke-6
‫اليقين ال يزال بالشك‬
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
Contoh kaidah :
Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat
shalatnya?
maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat karena itulah yang
diyakini.
Santri bernama Maid baru saja mengambil air wudhu di kolam depan komplek A
PP. Putra
Sunan Bejagung. Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; “batal durung yo..?
kayane aku
nembe demek…” maka hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan keraguan
yang
muncul kemudian.
seseorang meyakini telah berhadats dan kemudian ragu apakah sudah bersuci
atau belum,
maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:

‫ما ثبت بيقين ال يرتفع اال بيقين‬


Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali
dengan adanya
keyakinan yang lain.
Kaidah ke-7

‫االصل بقاء ما كان على ما كان‬


Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya
semula.
Contoh kaidah :
Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya
fajar maka
puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam
(al-aslu
baqa-u al-lail).
Seseorang yang makan (berbuka) pada penghujung siang tanpa berijtihad
terlebih dahulu
dan kemudian ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, maka
puasanya batal.
Karena asalnya adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u al-nahr).
Kaidah ke-8

‫االصل براة الذمة‬


hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.
Contoh kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah
bahwa ia
tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman,
karena pada
dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan
kemudian
dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).
Kaidah ke-9

‫االصل العدم‬
Hukum asal adalah ketiadaan
Contoh kaidah :
Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos
Fahmi. Dalam
kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola usaha (al-‘amil),
sedangkan Bos
Fahmi adalah pemodal atau investornya. Pada saat akhir perjanjian, Kang
Khumaidi
melaporkan kepada Bos Fahmi bahwa usahanya tidak mendapat untung. Hal ini
diingkari
Bos Fahmi. Dalam kasus ini, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang Bruna
yang
bernama Kang Khumaidi, karena pada dasarnya memang tidak adanya
tambahan (laba).

Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena


pada
dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).
Kaidah ke-10

‫االصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه‬


Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya.
Contoh kaidah :
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga
cerewet, maka
tanpa pikir panjang Ipin -cah Jiwan Wonosobo- memukul perut si wanita hamil
tersebut.
Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat.
Kemudian
tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru
beberapa hari
dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan
(dhaman)
karena kematian jabang bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang
masanya lebih
dekat dibanding pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.
Seorang santri kelas II MDU bernama Soekabul alias Kabul Khan ditanya oleh
teman
sekamarnya; “Kang Kabul, aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak ingat
kapan aku
mimpi basah. Gimana solusinya, Kang?”. Dengan PD-nya, karena baru saja
menemukan
kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi zamanihi” saat muthala’ah
Kitab
Mabadi’ Awwaliyah, santri yang demen banget lagu-lagu Hindia ini spontan
menjawab;
“Siro -red: kamu- wajib mandi besar dan mengulang shalat mulai sejak terakhir
kamu
bangun tidur sampai sekarang.”

QOWA’ID AL-FIQH 11- 20

Kaidah ke-11

‫المشقة تجلب التيسر‬


Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.
Contoh kaidah :
Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk berdiri
ketika
shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu juga ketika ia
merasa
kesulitan shalat dengan duduk, maka diperbolehkan melakukan shalat dengan
tidur
terlentang.
Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan
untuk
menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.
Pendapat Imam Syafi’i tentang diperbolehkannya seorang wanita yang
bepergian tanpa
didampingi wali untuk menyerahkan perkaranya kepada laki-laki lain”.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:
Perkataan Imam al-Syafi’i:

‫االمر اذا ضاق اتسع‬


Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Perkataan sebagian ulama:

‫االشياء اذا ضاقت اتسع‬


Ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas.
Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.”
KERINGANAN HUKUM SYARA’

Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar’i), meliputi 7 macam, yaitu:


Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkan
kewajiban
menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya ‘uzdur
(halangan).
Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya
menqashar shalat.
Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu
dan mandi
dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi isyarat
dalam
shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.
Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan.
Seperti
dalam shalat jama’ taqdim, mendahulukan zakat sebelum khaul (satu tahun),
mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir Ramadhan.
Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan.
Seperti dalam
shalat jama’ ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan bagi yang sakit dan orang
dalam
perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.
Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya
menggunakan khamr (arak) untuk berobat.
Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan
shalat dalam
keadaan takut (khauf).
Kaidah ke-12

‫االشياء اذا اتسع ضاقت‬


Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi,
sedangkan
banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.
Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa
(perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:

‫كل ما تجوز حده انعكس الى ضده‬


Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya.

Kaidah ke-13

‫الضرر يزال‬
Bahaya harus dihilangkan.
Contoh kaidah:
Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya ‘aib (cacat)
pada
barang yang dijual.
Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan
perempuan
karena adanya ‘aib.
Kaidah ke-14

‫الضررال يزال بالضرر‬


Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya.
Contoh kaidah:
Mbah Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat
membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak
tahannya
menahan lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk gintungan)
kepunyaan Lutfi
yang kebetulan dibeli sebelumnya di warung Syarof CS. Tindakan mbah Yoto -
walaupun
dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan
karena Lutfi
juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.
Kaidah ke-15

‫الضرورات تبيح المحظورات‬


Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Contoh kaidah:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-
tengah
hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal, semua
bekal
Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -sayangnya Rahman
tidak bisa
seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal-
karenanya mereka
pergi tanpa memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman
merasa
kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak
ada lagi, tiba-

tiba tampak dihadapan Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan


menggerak-
gerakkan ekornya seakan-akan mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan
tersebut.
Namun malang juga nasib si babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan
melempar babi
tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa
pikir panjang,
Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya
untuk sekedar
mengobati rasa lapar. Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi
kelaparan
tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang
semula
dilarang.
Diperbolehkan melafazdkan kalimat kufur karena terpaksa.
Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:
‫ال حرام مع الضرورة وال كراهة مع الحاجة‬
Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh ketika
ada hajat
Kaidah ke-16

‫ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها‬


Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan
kadar
daruratnya.
Contoh kaidah:
Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman yang
dalam
kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu
sekira cukup
untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia. selebihnya
(melebihi
kadar kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak diperbolehkan.
Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat
boleh
dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka
tidak
diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.
Kaidah ke-17

‫الحجة قد تنزل منزلة الضرورة‬


Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat.
Contoh kaidah:

Diperbolehkannya Ji’alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan


hutang
piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam
muamalah
atau karena khithbah (lamaran).
Kaidah ke-18
‫اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب‬
‫اخفهما‬
Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah
mafsadah yang
lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan.
Contoh kaidah:
Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang
dikandungnya
diharapkan masih hidup.
Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang
ditimbulkannya
lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.
Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya
(timbulnya rasa
aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal ia
tidak
memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil makanan Eko
Setello
yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.
Kaidah ke-19

‫درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬


Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan.
Contoh kaidah:
Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan
sesuatu yang
disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk
menjaga
masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.

Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci


merupakan
sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang yang sedang
ihram karena
untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.
Kaidah ke-20

‫االصل فى االبضاع التحريم‬


Hukum asal farji adalah haram.
Contoh kaidah:
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya
dalam sebuah
perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan
tersebut
dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi
istrinya.
Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh
karenanya
perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah
perempuan
yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya
yang haram
dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak
dan tidak
dapat dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu
pernikahan
tidak tertutup dan pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.
Seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah
(budak
perempuan) dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat
menyerahkan
jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil) tersebut
meninggal.
Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu belum halal bagi
muwakkil
karena walaupun memiliki cirri-ciri yang disebutkannya, dikhawatirkan wakil
membeli
jariyah untuk dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.
‫ون۝ ِإاَّل َع َل ٰۤى‬ َ ‫ظ‬ ُ ‫ین هُمۡ لِفُرُو ِج ِهمۡ َح ٰـ ِف‬ َ ‫َوٱلَّ ِذ‬
َ ‫ج ِه ۡم َأ ۡو َما َم َل َك ۡت َأ ۡی َم ٰـ ُنهُمۡ َفِإ َّنهُمۡ َغ ۡی ُر َملُو ِم‬
‫ین‬ ِ ‫َأ ۡز ٰ َو‬
ٰ ‫۝ َف َمن ۡٱب َت َغ ٰى َو َر ۤا َء‬
‫ون‬َ ‫ك ُه ُم ۡٱل َعا ُد‬ َ ‫ك َفُأ ۟و َل ٰۤـ ِٕى‬
َ ِ ‫ل‬ ‫ذ‬َ ِ
Artinya:

“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri


mereka atau
budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada
terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang
melampaui
batas.”
Lebih jelasnya sesuai dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal
bagi tuannya
tetapi berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya
sebagaimana
contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil (orang yang
mewakilkan).

QOWA’ID AL-FIQH 21-30

Kaidah ke-21

‫العادة محكمةـ‬
Adat bisa dijadikan sandaran hukum.
Contoh kaidah:
Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang
dikehendaki, maka
berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung
pada
kebiasaan (adapt perempuan sendiri).
Kaidah ke-22

‫ما ورد به الشرع مطلقا وال ضابط له فيه وال فى فى‬


‫اللغة‬
‫يرجع فيه الى العرف‬
Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara’ dan tanpa adanya yang membatasi
didalamnya
dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada
kebiasaan (al-
“urf) yang berlaku.
Contoh kaidah :
Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan
menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.
Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat
niat di
dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar,
cukup
menghadirkan hati; “aku niat shalat .… rakaat”. itu sudah di anggap cukup.
Jual beli dengan meletakan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah
tidak sah.
Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiyasaan.
Kaidah ke-23

‫االجتهاد ال ينقض باالجتهاد‬


Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.
Contoh kaidah:
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan
ijtihat ke dua,
maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga
tidak
memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama.
Dengan
demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan
menghadap
arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.
Ketika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara,
kemudian
ijtihadnya berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap
sah (tidak
rusak).
Kaidah ke-24

‫االء يثار بالعبادة ممنوع‬


Mendahulukan orang lain dalam beribibadah adalah dilarang.
Contoh kaidah:
Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam
shalat.
Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu.
Artinya,
ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan teman
kita juga
membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu kepadanya
karena akan
menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air yang akan kita gunakan
untuk
bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air tersebut. Karena hal ini
berkaitan dengan
ibadah.
Firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah (2):148.
” …Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…”
Kaidah ke-25

‫االء يثار بغيرالعبادة مطلوب‬


Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.

Contoh kaidah:
Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.
Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman
(Anshor)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang
yang
berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan
dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin);
dan
mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri,
sekalipun
mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka Itulah
orang orang yang beruntung.”
Kaidah ke-26

‫تصرف االمام على الرعية منوط بالمصلحة‬


Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dlakukan berdasarkan pertimbangan
kemaslahatan.
Contoh kaidah:
Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak
(mustahiq)
dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat
kebutuhannya sama.
Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengankat seorang fasiq
menjadi imam
shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang
baik
(makruh).
Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal
kepada seorang
yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih
membutuhkan.
Rasulullah SAW. bersabda :

‫كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته‬


Artinya :

“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian akan
dimintai
pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.
Kaidah ke-27

‫الحدود تسقط بالشبهات‬


Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.
Contoh kaidah:
Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual dengan
wanita
lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).
Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut’ah, nikah tanpa wali atau
saksi atau
setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had sebab masih
adanya
perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah mut’ah dan
nikah tanpa
wali dan sebagian lagi berpendapat sebalikannya.
Orang mencuri barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya,
atau milik
anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.
Orang meminum khamr (arak) untuk berobat tidak dikenai had karena masih
terdapat
khilaf antar ulama’.

‫ ادرؤا الحدود‬: ‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬


‫بالشبهات‬
Artinya:
Nabi SAW. bersabda: Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan
(adanya)
berbagai ketidak jelasan.
Kaidah ke-28

‫ما ال يتم الواجب اال به فهو واجب‬


Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan
keberadaannya,maka hukumnya wajib.
Contoh Kaidah:
Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat
berwudhu.

Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat
membasuh lengan
dan kaki.
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan
wajibnya dan
wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.
Kaidah ke-29″

ٌّ‫الخروج من الخالف مستحب‬


Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah:
Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke
kepala dengan
mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilafdengan imam malik berpendapat
bahwa
dalk dan isti’ab al-ro’sy (meneteskan kepala dengan air) adalah wajib hukumnya.
Disunatkan membasuh sperma, yang menurut imam malik wajib hukumnya.
Sunah men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah,
karena keluar
dari khilaf dengan Abu hanifah yang mewajibkannya.
Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika
membuang
hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk
keluar dari
khilaf imam Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:
Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain.
Seperti lebih
diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam) dari pada
melanjutkanya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanafiah tidak
dipertimbangkan karena
adanya ulama yang tidak membolehkan witir dengan digabungkan
Tidak bertentangan dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti
disunatkannya mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang
ulama Hanafiah
menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh
orang sahabat,
Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua tangannya.
Kautnya temuan tentang bukti perbedaan, sehingga kecil kemungkinan
terulangnya
keslahan serupa. Dengan alas an itu, maka berpuasa bagi musafir yang mampu
menahan
lapar dan dahaga aladah utama, dan tidak dipertimbangkan adanya pendapat
para kaum
Zahiruasa musafir itu tidak sah.
Kaidah ke-30
‫الرخصة التناط بالمعاصى‬
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.
Contoh kaidah:
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan
hukum karena
berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan
puasa.
Orang yang berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga
tidak
diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.

QOWA’ID AL-FIQH 31-40

Kaidah ke-31

‫ك‬
ّ ‫الرخصة التناط بالش‬
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan.
Contoh kaidah:
Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, Abdul Aziz merasa ragu
mengenai jauh jarak
yang ditempuh dalam perjalan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat untuk
meng-
qashar shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini, kang Aziz tidak boleh
meng-qashar
shalat.
Seorang yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar,
maka yang
harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.
Kaidah ke-32

‫ما كان اكثر فعال كان اكثر فضال‬


Sesuatuyang banyak aktifitasnya, maka banyak pula keutamaanya.
Contoh kaidah:
Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari pada
wasl (tiga
rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya niat,takbir dan salam.
Orang melakulan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengan dari
pahala orang
yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur mirung, maka pahalanya
adalah
setengah dari orang yangh shalat dengan duduk.
Memishkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama
dari pada
melaksanakan bersama-sama.
Rasulullah SAW. bersabda:

‫اجرك على قدر نصبك رواه مسلم‬


Artinya:

“Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)


Kaidah ke-33

‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬


Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan maka tidak boleh
meninggalkan
semuanya
Contoh kaidah:
Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu
dengan
dirham maka lakukanlah.
Seserang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi
(fan)
sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan keseluruhannya.
Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh
rakaat,
maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.
Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, adalah perkataan ulama ahli fiqh:

‫ما ال يدرك كله ال يترك بعضه‬


Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh
tinggalkan
sebagiannya.
Kaidah ke-34

‫الميسور ال يسقط بالمعسور‬


Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.
Contoh kaidah:
Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh
anggota
badan yang tersisah ketika bersuci.
Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup
aurat
berdasarkan kemampuannya tersebut.
Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib
membaca
sebagian yang ia ketahui tersebut.

Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada ditempat
jauh
(ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada
ditangannya.
Nabi SAW. bersabda :

‫ رواه شيخان‬.‫وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم‬


Artinya:
“Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari
Muslim)
Kaidah ke-35

‫ما حرم فعله حرم طلبه‬


Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya.
Contoh kaidah:
Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah
orang-
orang yang meratapi kematian orang lain.
Kaidah ke-36

‫ما حرم اخذه حرم اعطاؤه‬


Sesuatu yang haram diambil,maka haram pula memberikannya.
Contoh kaidah :
Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga
upah
meratapi kematian orang lain.
Kaidah ke-37

‫الخير المتعدي افضل من القاصر‬


kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya
sedikit
(terbatas).
Contoh kaidah:
Mengajarkan ilmu lebih utama daripada shalat sunah.
Orang yang menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah
menggugurkan dosa
umat daripada orang yang melakukan fardhu ‘ain.
Kaidah ke-38

‫الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه‬


Rela akan sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya.
Contoh kaidah:
Menerima suami istri dengan kekurangan yang dimiliki salah satu dari
keduanya. Maka
tidak boleh mengembalikan kepada walinya.
Seseorang memita tangannya di potong dan berakibat kepada rusaknya anggota
tubuh
yang lain, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kepada pemotong tangan.
Memakai wangi-wangian sebelum melaksanankan ihram, teapi wanginya
bertahan sampai
waktu ihram maka tidak dikenahi fidyah.
Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah di atas yaitu :

‫المتولد من مأذون ال اثر له‬


Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat ijin tidak memiliki
dampak apapun.
Kaidah ke-39

‫الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما‬


Hukum itu berputar beserta ‘illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun
ketiadaannya’illatnya.
Contoh kaidah :
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian
terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah
menjadi
cuka maka halal.
Memasuki rumah orang lain atau memakai pakaiannya tanpa adanya ijin adalah
haram
hukumnya. Namun ketika namun ketika diketahui bahwa pemiliknya merelakan,
maka
tidak ada masalah didalamnya (boleh).
Alasan diharamkannya minum racun karena adanya unsur merusakkan.
Andaikata unsure
yang merusakkan itu hilang, maka hukumnya menjadi boleh.

‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم كل مشكر خمر وكل‬


‫خمر حرام‬
Nabi SAW. bersabda:
Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.
Kaidah ke-40

‫االصل فى اآل شياء االءباحة‬


Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan.
Contoh kaidah :
Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah
lama
muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso
tersebut
protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan. Akhirnya setelah melihat isi
dompet
masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di restourant yang
lumayan
mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau
haram.
Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh
dimakan.
Tiba-tiba ada seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik Koci.
ketika
pemilik sangkar (Koci) melihat merpati tersebut dia merasa tertarik dan ingin
memilikinya,
namun Koci masih ragu apakah dia boleh memeliharanya atau tidak. Maka
hukumnya
burung merpati tersebut boleh atau bebas untuk dimiliki.
Ketika ragu akan besar kecilnya kadar emas yang digunakan untuk menambal
suatu benda
maka hukum benda tersebut boleh untuk digunakan.

Memakan daging Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata


sesungguhnya
memakan daging Jerapah hukumnya mubah.

‫قال النبي صلى هللا عليه وسلم ما احل هللا فهو حالل‬
‫وما‬
‫حرم هللا فهو حرام وما سكت عنه فهو مما عفو‬
Nabi SAW. bersabda :
” Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu yang diharamkan Allah
adalah
haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah merupakan pengampunan
dari-Nya.”

‫وهللا أعلم بالصواب‬


KAIDAH-KAIDAH USHUL FIQH
Kaidah-kaidah Ushul Fiqh
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-1 
Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang telah
diniatkan
)‫(انما االعمال بالنية وانما لكل امرئ ما نوى‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-2
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya
)‫(االمور بمقاصدها‬
Contoh diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-3
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan
)‫(اليكين اليزال بالشك‬
Contoh Jika seseorang yakin dirinya telah berhadats dan ragu apakah ia telah bersici atau
belum, maka orang tersebut masih belum bersuci
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-4
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaan semula
)‫(االصل بقاء ماكان على ماكان‬
Contoh, Jika seseorang makan sahur di penghujung malam dan ragu akan kekuarnya fajar
maka orang  puasa orang tersebut hukumnya sah. karena pada dasarnya masih tetap malam.
dan sebaliknya jika seseorang berbuka pada penghujung siang tanpa berijtihad (melakukan
upaya untuk mencari kebenaran) terlebih dahulu dan kemudia ragu apakah matahari telah
terbenam atau belum, maka puasanya batal. karena asalnya adalah tetapnya siang.
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-5
Kesulitan akan menarik kepada kemudahan
)‫(المشقة تجلب التيسير‬
Contoh, Jika seseorang yang karena suatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan untuk
menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayammum.
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-6
Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang
)‫ المحظورات‬ ‫(الضرورة تبيح‬
Contoh, Diperbolehkan melafadzkan kalimat kufur karena terpaksa
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-7
Menolak mafsadah didahulukan daripada mengambil kemaslahatan
)‫(درء المفاسد مقدم على جلب المصالح‬
Contoh, Berkumur  dan menghisap air kedalam hidung ketika berwudhu' merupakan sesuatu
yang disunnahkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga 
masuknya air yang dapat membatalkan puasa.
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-8:
Hukum adat dapat dijadikan hukum
)‫(العادة محكمة‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-9
Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan
menyebabkan batal.
)‫ فيه مبطل‬g‫(ما يشترط فيه التعين فالخطاء‬
Contoh dalam kaidah ini yakni seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar
atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah atau kesalahan dalam menjelaskan
pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan)
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-10
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit
)‫(االشياء اذا اتسع ضاقت‬
Contoh dalam kaidah ini yakni, sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih
ditoleransi, sedangkan bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-11 
Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya
)‫(الضرر اليزال بالضرر‬
Contoh dalam kaidah ini misalnya terdapat dua orang yang sedang kelaparan, dan keduanya
sangat membutuhkan makanan untuk meneruskan hidupnya, maka kedua-duanya tidak
diperbolehkan mengambil sesuatu (misalnya makanan) milik salah satu dari mereka karena
dapat membahayakan  yang lainnya, karena kedua-duanya mengalami nasib yang sama,
yakni kelaparan.
Baca juga Macam-Macam Paradigma Sosiologi
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-12
Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat
)‫(الحدود تقسط بالشبهات‬
Contoh dalam kaidah ini jika ada seseorang yang mengambil barang yang disangka sebagai
miliknya, atau milik bapaknya, atau milik anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-13
Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya,
maka hukumnya wajib
)‫(ماال يتم الواجب اال به فهو واجب‬ 
Contoh kaidah, Wajib membasuh bagian lengan atas dan betis pada saat membasuh lengan
dan kaki.
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-14
Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunnat (mustahab)
)‫(الخروج من الخالف مستحب‬
Contoh kaidah, Disunnahkan menggosok (dalk) bagian ketika bersuci dan memeratakan air
ke kepala dengan mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilaf dengan Imam Malik
berpendapat bahwa dalk dan isti'ab al-ro'sy (meneteskan kepala dengan air) adalah wajib
hukumnya.
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-15
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiyat
)‫(الرخصة التناط بالمعاصى‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-16
Sesuatu yang banyak aktifitasnya, maka banyak pula keutamaannya
)‫(ماكان اكثر فعال كان اكثر فضال‬
Baca Juga Perbedaan Kaidah Ushul dan Kaidah Fikih
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-17
Jika tidak mampu mengerjakan keseluruhan maka tidak boleh meninggalkan semuanya
)‫(مال يدرك كله اليترك كله‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-18
Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit
)‫(الميسور البسقط بالمعسور‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-19
Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya
)‫(ما حرم فعله حرم طلبه‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-20
Sesuatu yang haram diambil, maka haram pula memberikannya
)‫(ما حرم اخذه حرم اعطاؤه‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-21
Kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya sedikit
(terbatas)
)‫(الخير المتغدي افضل من القاصر‬
Kaidah Ushul Fiqh yang ke-22
Hukum itu berputar beserta illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaan illatnya.
)‫(الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما‬

Mengenal Ushul Fikih, Fikih, dan Kaidah Fikih


Oleh: Zainol Huda
(Dosen Prodi Ekonomi Syariah STAIM Tarate Sumenep)
 
Terdapat tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait kelindan
satu sama lain, yakni ushul fikih, fikih, dan kaidah fikih. Umat Islam pada umumnya
lebih familiar fikih dari pada dua rumpun ilmu yang lain. Alasan sederhananya
karena fikih bersinggungan dalam keseharian perilaku kaum muslimin. Definisi yang
mudah dipahami oleh semua kalangan bahwa fikih adalah pengetahuan tentang
hukum Islam. Seluruh gerak gerik dan tindak tanduk orang mukallaf terpantau dan
disorot oleh fikih. Dengan demikian, fikih merupakan panduan praktis tentang tata
cara dan perilaku sehari-hari seorang muslim dalam berinteraksi secara vertikal
(berhubungan dengan Tuhan) yang dikenal dengan ibadah, atau interaksi horizontal
(berhubungan dengan sesama muslim, alam, dan lingkungan) yang disebut dengan
muamalah dalam arti yang luas.
Secara istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat
praktis yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari dalil-
dalil syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahnu
nahkumu biddhawahir (kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa
yang tampak). Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan
orang mukallaf. Oleh karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk
perbuatan, bukan persoalan keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa
(dzauq) yang digarap oleh ilmu tasawuf.
Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan
perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata
cara memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan
ushul fikih. Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan
salah satu unsur yang harus ada (rukun). Bagaimana metode dan cara
menghasilkan hukum wajib membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul
fikih. Proses apa yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-
sumber hukum atau dalil-dalil syar’i sehingga menghasilkan hukum wajib.
Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah
berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan sebagai
ketentuan umum (dominan) yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang
menjadi cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah
fikih menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan
ketentuan umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi: keyakinan tidak bisa
dikalahkan oleh keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang
terkait dengan keyakinan. Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan
tertentu tidak dapat dikalahkan dengan munculnya keraguan.
Ketiga disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum
syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut. Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik,
sementara fikih merupakan produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang
menghubungkan produk-produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis
dalam produksi. Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara
(proses) bagaimana memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk
menata dan mengkaitkan sekaligus merawat produk yang dihasilkan. Andaikan fikih
adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah fikih
mengelompokkan jenis-jenis produk roti.  
Perbedaan secara lebih detail antara ushul fikih dan kaidah fikih antara lain sebagai
berikut:

 Ushul fikih berisi kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum
syar’i dari sumber hukum Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan kaidah fikih
berfungsi sebagai pengikat dan penghubung antara kasus-kasus fikih yang
serupa.
 Secara hierarkis urutan kemunculannya adalah ushul fikih sebelum fikih,
sementara munculnya kaidah fikih setelah fikih.
 Objek kajian ushul fikih adalah dalil-dalil syar’i, sedangkan kaidah fikih sama
dengan fikih, yakni perbuatan orang mukallaf.
 Ushul fikih menggunakan pola pendekatan deduktif, sementara kaidah fikih
muncul melalui pendekatan induktif.

Judul tulisan ini sengaja ditata berdasarkan urutan hierarki penggunaannya. Ushul
fikih sebagai rumah produksi, fikih sebagai hasil produknya, lalu kaidah fikih yang
bertugas mengelompokkan jenis-jenis produknya. Semoga dapat menyumbangkan
titik terang ‘jenis kelamin’ tiga rumpun ilmu di atas. [] Wallahu ‘alam bisshawab.
Rangkuman Buku Qawaid Fiqhiyyah

1. Pengertian Qawaid Fiqhiyyah

Qawaid  Fiqhiyyah  adalah  kata  majemuk  yang terbentuk dari dua kata, yakni kata qawaid dan
fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara etimologi, kata qaidah (‫)ةدعاق‬,
jamaknya qawaid (‫)دعاوق‬. berarti; asas, landasan, dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat
kongkret, materi, atau inderawi seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non
materi dan non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama).1 Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia,
arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah pasti, patokan; dalil. Qaidah
Qaidah  dengan  arti  dasar  atau  fondasi  sesuatu yang bersifat materi.

2. Perbedaan   Qawaid   Fiqhiyyah   Dengan   Qawaid Ushuliyyah


Athiyyah Adlan membedakan antara qawaid fiqhiyyah  dengan  qawaid  ushuliyyah.  Adapun
Qawaid ushuliyyah   merupakan   dalil-dalil   umum.  Sedangkan qawaid fiqhiyyah merupakan
hukum-hukum umum. Qawaid ushuliyyah adalah qaidah untuk meng-istinbath- kan hukum dari dalil-
dalil yang terperinci. Sedangkan qawaid   fiqhiyyah   adalah   qaidah   untuk   mengetahui hukum-
hukum, memeliharanya dan mengumpulkan hukum-hukum yang serupa serta menghimpun
masalah- masalah yang berserakan dan mengoleksi makna- maknanya.

Perbedaan mendasar antara qawaid ushuliyyah dengan qawaid fiqhiyyah, adalah; Qawaid ushuliyyah
membahas tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum.   Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah
qaidah- qaidah pembahasannya tentang hukum yang bersifat umum. Jadi, qawaid ushuliyyah
membicarakan tentang dalil-dalil syar’iyyah yang bersifat umum, sedangkan qawaid fiqhiyyah
membicarakan tentang hukum-hukum bersifat umum.

3. Perbedaan     antara     Qawaid     Fiqhiyah     dengan Dhawabith Fiqhiyah

Ibnu  Nujaim  membedakan  antara  qawaid fiqhiyyah dengan dhawabith    fiqhiyyah.Menurutnya


qawaid fiqhiyyah menghimpun beberapa furu’ (cabang/bagian) dari beberapa bab fiqh, sedangkan
dhawabith fiqhiyyah hanya mengumpulkan dari satu bab, dan  inilah  yang  disebut  dengan ashal.  

Menurut  al- Suyuthi dalam Asybah wa Nadhair fi An Nahwi,  bahwa qawaid fiqhiyyah
mengumpulkan beberapa cabang dari beberapa bab fiqh yang berbeda, sedangkan dhawabith
fiqhiyyah mengumpulkan bagian dari satu bab fiqh saja. Pada masa sekarang istilah qaidah dan
dhabith telah menjadi   populer  di   kalangan   para   ulama,   sehingga mereka membedakan ruang
lingkup keduanya.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa qawaid fiqhiyyah lebih luas dari dhawabith fiqhiyyah,
karena qawaid fiqhiyyah tidak terbatas pada masalah dalam satu bab fiqh, tetapi semua masalah
yang terdapat pada semua bab fiqh. Sedangkan dhawabith fiqhiyyah ruang lingkupnya terbatas pada
masalah dalam satu bab fiqh. Sebab itulah qawaid fiqhiyyah disebut qaidah ammah, atau kullyyah
dan dhawabith fiqhiyyah di sebut qaidah khasshshah.

4. Hubungan  Antara  Ushul  Fiqh,  Fiqh  dan  Qawaid Fiqhiyyah

Ushul  fiqh  adalah  sebuah  ilmu  yang  mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian
(istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut
harus ditempuh  oleh orang  yang berkompeten.  Hukum  yang digali dari dalil/sumber hukum itulah
yang kemudian dikenal dengan nama fiqh. Jadi fiqh adalah produk operasional ushul fiqh. Sebuah
hukum fiqh tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (al-Qur’an dan Sunah) tanpa melalui ushul
fiqh. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqh, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqh.

Misalnya  hukum  wajib  shalat  dan  zakat  yang digali dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43
yang
Berbunyi:

dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat..

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan
wajib (‫لصالا‬  ‫)بوجولل رمالا ىف‬.  Adapun qawaid fiqhiyyah dapat  dijadikan  sebagai  kerangka  acuan
dalam mengetahui   hukum   perbuatan   seorang   mukalaf.   Ini karena dalam menjalankan hukum
fiqh terkadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus
dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya
mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya.
Dalam   kasus   seperti   ini,   mukallaf   tersebut   boleh menunda shalat dari waktunya karena
jiwanya terancam. Hukum  boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid  fiqhiyyah,  yaitu
dengan  menggunakan  qaidah

:‫( الزي ررضال‬bahaya wajib dihilangkan)

5. Tujuan   Dan   Kepentingan   Mempelajari   Qawaid Fiqhiyyah

Adapaun  tujuan  mempelajari  qawaid fiqhiyyah  itu  adalah  agar  dapat  mengetahui  prinsip-
prinsip umum fiqh dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai  fiqh  dan  kemudian
menjadi  titik  temu dari masalah-masalah fiqh.

Dari  tujuan  mempelajari  qawaid  fiqhiyyah tersebut, maka manfaat yang diperoleh adalah; akan
lebih mudah menetapkan hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi;  akan  lebih  arif  dalam
menerapkan  materi- materi hukum dalam waktu dan tempat  yang berbeda, untuk keadaan dan
adat yang berbeda; Mempermudah dalam menguasai materi hukum; Mendidik orang yang berbakat
fiqh  dalam  melakukan  analogi  (ilhaq)  dan takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan
baru; Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum
dengan mengeluarkannya dari tempatnya.

Adapun  kepentingan  Qaidah  fiqh  dapat  dilihat dari dua sudut : Pertama, dari sudut sumber,
qaidah merupakan  media  bagi  peminat  fiqh untuk  memahami dan menguasai maqashid al-
Syari’ah, karena dengan mendalami  beberapa  nash-nash,  ulama  dapat menemukan persoalan
esensial dalam satu persoalan. Kedua, dari segi istinbath al-ahkam, qaidah fiqh mencakup beberapa
persoalan yang sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, qawaid fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai
salah satu alat  dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi  yang belum  ada ketentuan  atau
kepastian hukumnya.

6. Dasar-Dasar Pengambilan Qawaid Fiqhiyyah

Yang dimaksud dengan dasar pengembalian qawaid fiqhiyyah ialah dasar-dasar perumusan qaidah
fiqhiyyah, meliputi dasar formil dan materiilnya.     Dasar formil maksudnya apakah yang dijadikan
dasar ulama dalam merumuskan qaidah fiqhiyyah itu, jelasnya nash-nash manakah yang menjadi
pegangan ulama sebagai sumber motivasi penyusunan qawaid fiqhiyyah. Adapun dasar materiil
maksudnya dari mana materi qaidah fiqhiyyah itu dirumuskan.

Dasar formil

Hukum-hukum furu’  yang ada dalam untaian satu qaidah yang memuat satu masalah tertentu,
ditetapkan atas  dasar  nash,  baik  dari  al-Quran maupun  Sunnah.

Dasar materiil

Dasar materiil atau bahan-bahan yang dijadikan rumusan qaidah.

7. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembanagan Qawaid Fiqhiyyah

Ali Ahmad al-Nadwi, seorang ulama ushul kontemporer, menyebut tiga periode penyusunan qawaid
Fiqhiyyah yaitu; periode kelahiran,   pembukuan, dan penyempurnaan.

1.   Periode Kelahiran.

Masa kelahiran dimulai dari pertumbuhan sampai dengan pembentukan berlangsung selama
tiga abad lebih dimulai dari zaman kerasulan sampai abad ketiga hijrah. Periode ini  dari  segi
fase sejarah  hukum  Islam,  dapat dibagi menjadi tiga periode: zaman Nabi Muhammad
SAW.,   yang   berlangsung   selama   22   tahun   lebih, zaman tabi'in,    dan    zaman    
tabi'it    al-tabi'in yang berlangsung selama lebih kurang 250 tahun. Pada masa kerasulan  
adalah   masa tasyri'    (pembentukan   hukum Islam) merupakan  embrio kelahiran qawaid  
fiqhiyyah. Nabi        Muhammad    SAW.    menyampaikan    Hadis yang jawami'    'ammah
(singkat    dan    padat). 2.   Periode Pembukuan

Pada abad ini terjadi penurunan dinamika berpikir dalam bidang hukum dan mulai
munculnya kecenderungan taqlid dan melemahnya ijtihad. Hal ini merupakan akibat
sampingan dari tersisanya warisan fiqh yang amat kaya berkat pembukuan pemikiran fiqh
yang disertai dengan dalil-dalilnya, dan perselisihan pendapat antar  mazhab    beserta  hasil
perbandingannya  (tarjih). Oleh karena itu, pekerjaan yang tersisa pada periode ini adalah
upaya takhrij, yaitu mempergunakan sarana metodologis yang telah tersedia dalam mazhab
tertentu untuk menghadapi kasus-kasus hukum baru.

Karena faktor mulai tampilnya qawaid fiqhiyyah sebagai disiplin ilmu tersendiri, ditandai
dengan dihimpunnya qaidah-qaidah fiqhiyyah itu dalam karya yang terpisah dari bidang lain,
al-Nadwi memilih abad IV H. sebagai permulaan era pertumbuhan dan pembukuan qawaid
fiqhiyyah.
Pada periode pembukuan, qawaid fiqhiyyah telah dibukukan dan memastikan qawaid tersebut dapat
diwariskan sebagai  salah satu khazanah ilmu Islam yang berharga.

3.   Periode Penyempurnaan

Pada abad ke 11 H. lahirlah kitab al-Majllah al- Ahkam al-Adhiyyah, dalam versi yang telah
disempurnakan. Misalnya qaidah:  (sesungguhnya tidak berhak bertindak dengan kehendaknya
sendiri atas milik orang lain tanpa izin pemliknya). Jika dalam verdi Abu Yusuf larangan mengenai
milik orang lain itu hanya menyangkut perbuatan, Versi al-Majallah juga melarang bentuk perkataan.
Akan tetapi dua-duanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu penghargaan atas hak milik, salah
satu bagian dari hak asasi manusia.

Al-Majallah  merupakan  undang-undang  hukum perdata yang dalam mukaddimahnya tercantum


100 butir ketentuan   umum.   Ketentuan   umum   pasal   1   adalah tentang  definisi  fiqh.
Sedangkan  pasal  2  sampai  100 adalah 99 qaidah fiqh yang menjadi landasan dari pasal-pasal pada
bagian batang tubuhnya. Dalam mukaddimah itu, setiap qaidah fiqh disertai dengan nomor pasal
pada batang tubuh yang menjadi rinciannya.

Pada abad ke 11 H. telah dilakukan pensyarahan terhadap kitab kitab-kitab qawaid fiqhiyyah. Ahmad
bin Muhammad al-Hamawi yang   antara lain tokoh fukaha yang telah mensyarahkan kitab al-Asybah
wa al-Nazhair, karangan Zayn al-Abidin Ibrahim Ibn Nujaym al- Misri yang memuat 25 qaidah   yang
ia buat dalam   kitabnya yang berjudul  Ghamzu 'Uyun al-Basa'ir.

Anda mungkin juga menyukai