Anda di halaman 1dari 25

Ajaran Tasawuf dan Filosofi Punakawan Karya Sunan Kalijaga

ELIMBINGWENING.COM – Ajaran tasawuf tidak hanya didapat dari teks-teks, namun


juga laku hidup. Begitu juga ajaran tasawuf dan filosofi Punakawan bisa menjadi teladan
untuk meningkatkan bentuk ketakwaan kepada Allah Swt. Sebab di dalam kisah ada
pembelajaran atau hikmah bagi orang yang berpikir.
Punakwan merupakan tokoh wayang yang diciptakan Sunan Kalijaga. Wayang Punakawan
ini menjadi laku budi yang saat munculnya tiba-tiba atau di awal dan akhir cerita yang
memberikan pencerahan.
Wayang punawakan terdiri dari empat tokoh yakni Semar, Petruk, Gareng dan Bagong.
Penciptaan wayang  ini mengajarkan nilai etik berupa ajaran tasawuf dan filosofi punawakan.

Sunan Kalijaga dengan kemampuan kesusastraan dan ilmu hakikat mampu memadukan
dalam serangkaian pertunjukan wayang. Sunan Kalijaga mampu memodifikasi kisah wayang
dari sudut pandangan Islam. Kemudian menciptakan tokoh yang fenomenal di tanah
nusantara yakni tokoh wayang Punawakan.

Punakawan ciptaan Sunan Kalijaga ini sangat dikenal di bumi Nusantara. Namun akan
mengalami kesulitan jika mencari tokoh wayang punakawan dalam kisah Mahabharata
maupun Ramayana. Maka jika ingin mengetahui kisah atau cerita tentang punawakan, harus
membaca  karya-karya wayang jawa.

Ajaran Tasawuf dan Filosofi Punakawan


Menurut sejarawan Slamet Muljana, munculnya tokoh wayang punakawan pertama kali
dalam karya sastra Ghatotkacasraya karangan Empu Panuh pada era zama kerajaan Kediri.
Punakawan berasal dari dua kata yakni pana yang berati pahan dan kawan yang memiliki
makna teman.
Sedangkan ajaran tasawuf dan filosofi Punakawan terdapat pada empat tokohnya yakni
semar, petruk dan gareng memunculkan frasa “fatruk ma bagha nala samirana”. Yang
memiliki makna tinggalkanlah yang durjana atau buru maka engkau akan mendapatkan yang
baik.
Adapun frasa ajaran tasawuf dan filosofi punakawan adalah:

1. Petruk
Pertuk berasal dari kata Fatruk yang memiliki arti tinggalkanlah. Dalam ajaran taswuf
berdimensi makrifat dari Petruk yakni frasa yang berbunyi fatruk kulla maa siwallaahi, yang
artinya tinggalkanlah semua kecuali Allah Swt.
Petruk dalam pewayangan memiliki gelar Prabu Kantong Bolong. Hal ini mengisyaratkan
bahwa makna “Kantong Bolong” atau berarti kosong, bahwa segala sesuatu harus
ditinggalkan baik harta maupun raga. Kekosongan ini bentuk penyerahan diri kepada Allah
Swt dengan sepenuhnya bertakwa dengan seutuh jiwa yang tenang.

2. Bagong
Sosok Bagong dalam pewayang digambarkan dengan ciri-ciri fisik, tubuhnya bulat, memiliki
mata yang lebar dan bibirnya tebal. Sedangkan dimensi makrifat Bagong, nama Bagong
berasal dari frasa bagha yang berarti ketercelaan.
Bahwa sesungguhnya perilaku tercela dalam dimensi eksistensi manusia adalah hal yang
mahfum atau suatu yang ada pada diri manusia. Sehinga ajaran dan filosofi tokoh Bagong
yakni untuk meninggalkan perbuatan tercela atau meninggalkan hal yang batil.
3. Gareng
Dimensi ajaran makrifat tokoh Gareng bisa melihat dari ciri-ciri bentuk fisiknya. Ciri-ciri fik
Gareng yakni memiliki mata juling berarti sebagai perwujudan untuk tidak melihat hal-hal
yang mengumbar syahwat dan melihat keburukan.

Ciri fisik selanjutnya, Gareng memiliki tangan yang ceko atau melengkung memiliki makna
untuk tidak mengambil hak atau milik orang lain. Begitu juga ciri lain dari Gareng yakni kaki
pincang, sebagai laku tanda untuk senantiasa memiliki sikap waspada dan ingat kepada Allah
Swt.

Dimensi nama lengkap Gareng adalah Nalagareng, frasa kodefikasinya


yakni nala dan qorin yang memiliki arti memperoleh banyak teman. Hal ini berarti bahwa
dalam dimensi ajaran tasawuf makna Gareng perintah untuk menjaga dan menumbuhkan rasa
persaudaraan.
4. Semar
Semar dalam kisah pewayangan merupakan sosok orang yang bijaksana, ia adalah dewa dan
juga interprestasi dari orang kecil.  Semarang bagaikan garis lingkar antara ketinggian dan
kerendahan, antara baik dan buruk.

Sedangkan kodefikasi nama Semar berasal dari kata samir  yang berati teman yang dekat.
Tradisi jawa yang adiluhung bahwa sosok Semar sama dengan istilah ismar  yang berarti
sang pengokoh atau penegak dan pondasi.
Ialah sosok yang arif dan bijaksana yang mengjarkan pentingnya untuk membuka cakrawala
jiwa. Sehingga proses dari tokoh pewayangan Punakawan yakni menjadi pribadi yang purna
atau firah yakni manusia suci.

Kandungan Kitab Al-Hikam: 5 Nilai Akhlak Terhadap Diri Sendiri


BELIMBINGWENING.COM – Nabi Muhammad Saw diutus untuk menjadi suri teladan
dengan akhlak yang baik. Risalah kenabian yang dibawa mengacu pada perubahan dan
tingkah laku manusia yakni akhlak al-karimah. Kitab Al-Hikam memiliki kandungan
tranfromasi pembentukan manusia yang berakhlak. Berikut ini akan dijelaskan kandungan
Kitab Al hikam tentang akhlak
Kandungan kitab Al-Hikam perihal akhlak diawali dengan hubungan hamba dengan Allah.
Sedangkan akhlak terhadap diri sendiri adalah upaya untuk membersihkan hati dari sifat-sifat
tercela dengan cara mengekang hawa nafsu. Senang mengikuti kehendak nafsu sangat
dilarang karena hal itu sama saja dengan menuhankan nafsu dan berpaling dari Allah Swt.

Selain itu, selalu mengikuti kehendak nafsu dapat menyesatkan dan mematikan hati dari
kesadaran sebagai hamba Allah yang seharusnya selalu mengabdi kepada Allah. Allah Swt
berfirman dalam surat Al-Jasiyah ayat: 23:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya
dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah
yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa
kamu tidak mengambil pelajaran?”
Apabila manusia sudah menuhankan nafsunya dan membuatnya berpaling dari Allah. Maka
tak dapat dielakkan lagi akan terjerumus ke dalam kemaksiatan.

Para ulama ahli hakikat sudah bersepakat, bahwa pangkal dari segala macam maksiat dan
berpaling dari Allah adalah suka menuruti nafsu. Maka dari itu, memerangi hawa nafsu itu
wajib hukumnya.

Akan terapi sebelum itu sesorang perlu untuk mengenali hawa nafsu yang ada pada dirinya
sendiri (muhasabah bi nafsih), karena seseorang tidak akan bisa memerangi hawa nafsunya
jika tidak mengetahuinya. Berikut andungan Kitab Al hikam tentang akhlak terhadap diri
sendiri:
5 Kandungan Kitab Al hikam tentang akhlak
Adapun ketiga kandungan kitab Al-Hikam yang dijabarkan di bawah ini adalah syarah kitab
Al-Hikam karya KH Sholeh Darat:

1. Muhasabah bi nafsih
Akhlak hal pertama yakni soal nafsu. Sifat nafsu adalah syahwat, yaitu nafsu yang cenderung
pada kenikmatan duniawi. Syahwat senantiasa mengajak manusia memikirkan hal-hal
keduniaan seperti ingin makan yang enak, tidur yang nyaman, dan bersenang- senang dengan
harta dunia.

Hal ini dapat membuat manusia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan
kenikmatan dunia dan lalai dari mengenali nafsu yang ada dalam dirinya sendiri. Padahal
sifat-sifat nafsu dalam diri manusia sendiri sangat perlu untuk diwaspadai keberadaannya.

Ktab Syarah Al- Hikam menyebutkan:

“Kegigihanmu mengetahui sifatmu (nafsu) lebih utama dari kegigihanmu mengetahui


perkara ghaib seperti beberapa keramat dan rahasia takdir.”
“Ketahuilah, sesungguhnya orang yang tidak mengenal nafsunya ketika masih hidup, ia tidak
akan pernah mengenal nafsunya kecuali setelah terpisahnya nafsu dari badannya (mati),
sehingga ia tidak bisa mengenal Tuhannya”
Apabila seseorang tidak mengetahui sifat nafsunya pada saat di dunia, maka dapat
membuatnya tersesat di akhirat kelak. Peringatan bagi orang yang tidak mengenali sifat
nafsunya termaktub dalam firman Allah Swt surah Al-Isra’ ayat 72:

 “dan Barangsiapa yang ketika di dunia buta (tidak mengetahui sifat nafsunya),maka di
akhiratnya juga buta (dari makrifat Allah).”
Untuk mengetahui mengetahui nafsu dalam diri, seseorang haruslah selalu berpegang teguh
pada syari’at, ajaran Nabi Muhammad Saw., melakukan riyadhah, bermujahadah,
menjauhkan hati dari mencintai dunia, menjauhi sifat-sifat tercela dan mengisi diri dengan
sifat-sifat terpuji.
Menurut syara’, sehingga Allah Swt akan meletakkan cahaya di dalam hati untuk mengenali
sifat nafsu.

Dengan demikian, membuang sifat-sifat tercela demi mengupayakan hati yang bersih sangat
perlu dilakukan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Kyai Sholeh Darat dalam kitab Syarah Al-Hikam:

“Wahai murid, buanglah sifat-sifat manusiawimu yang tercela, layaknya ujub, riya’,
takabbur, dengki, dan lain sebagainya. Jika engkau sudah membuang sifat-sifat tercelamu,
engkau akan memiliki sifat-sifat terpuji, seperti tawadlu, khusyu’, ta’dhim, dan ikhlas.”
2. Tawadhu’
Kandungan Kitab Al hikam tentang akhlak yang kedua yakni sifat tawadhu’ dapat
membunuh sifat takabbur. Meski demikian, bukan berarti dibenarkan seseorang merasa
dirinya telah tawadhu’. Barangsiapa merasa dirinya tawadhu’, maka sebenarnya ia sombong.
Sebab tidak ada orang yang merasa dirinya tawadhu’ kecuali timbul dari sebab perasaan
sombong sehingga sebenarnya ia adalah orang yang sombong. Menjadi bagian penting
pendidikan akhlak.

Sedangkan sifat sombong dalam diri manusia tidak dapat membuatnya tinggi, baik dihadapan
manusia lainnya maupun di hadapan Allah. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Israa ayat
37:

“dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung”.
Apabila seseorang taat namun menimbulkan perasaan sombong, memuliakan diri, dan
membanggakan diri. Maka maksiat yang melahirkan rasa hina dalam diri seorang hamba
sehingga menjadi butuh kepada Allah, itu memiliki kedudukan yang lebih baik.

Hina dan butuh kepada Allah itu adalah sifat orang yang menghamba. Adapun mulia dan
agung adalah sifat Tuhan.

Sehingga jika seorang hamba taat namun menimbulkan perasaan mulia dan agung, maka
hakikatnya tidak ada ketaatan yang ia lakukan, karena sifat mulia dan agung adalah sifat
Tuhan.

Sebagaimana dikisahkan dalam kitab Syarah Al-Hikam :

“Alkisah, terdapatlah seorang lelaki dari kaum Bani Israil yang dijuluki Khali’, yakni orang
yang gemar berbuat maksiat yang besar. suatu ketika ia bertemu dengan ‘abid dari kaum
Bani Israil, yakni orang yang ahli berbuat ketaatan dan diatas kepalanya selalu terdapat
payung mika, kemudian khali’ bergumam “aku adalah pendosa yang gemar berbuat maksiat
dan ini adalah ‘abid-nya kaum Bani Israil, lebih baik aku bersanding duduk dengannya,
semoga Allah memberi rahmat kepadaku.” Lalu si khali’ tadi duduk di dekat si ‘abid. Lantas
si ‘abid pun bergumam, “aku adalah seorang ‘abid yang alim dan ini adalah khali’ yang
gemar bermaksiat, layakkah aku duduk berdampingan dengannya?” Lalu si ‘abid  dengan
serta merta menendang si khali’. Lalu Allah memberikan wahyu kepada Nabinya Bani Israil
dengan firman-Nya, “Perintahkan dua orang ini yakni ‘abid dan khali’ untuk sama-sama
memperbanyak amal, Aku benar-benar telah mengampuni dosa-dosa khali’ dan merusak
amal ‘abid.” Maka, berpindahlah payung tersebut kepada khali’. Wallahu a’lam.”
Tawadhu’ perlu diupayakan supaya hati bersih dari rasa sombong, bangga, dan merasa layak
untuk dihargai. Tidak pula merasa benci ketika tidak ada orang yang menghargai atau
menghormati.

Sehingga perasaan bahwa hakikat manusia adalah sebagai hamba-Nya dapat tumbuh dalam
hati. Sifat sombong sangatlah berbahaya bagi kehidupan manusia, baik di dunia maupun di
akhirat.

Rasululllah bersabda:

‫اَل يَ ْد ُخ ُل ْال َجنَّةَ َم ْن َكانَ فِي قَ ْلبِ ِه ِم ْثقَا ُل َذ َّر ٍة ِم ْن ِكب ٍْر‬

“Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada
kami Abu Dawud, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Aban bin Taghlib, dari
Fudlail, dari Ibrahim, dari Alqamah, dari Abdullah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji
dari kesombongan.” (HR. Muslim)

3. Rela dengan takdir dari Allah


Akhlak terhadap diri sendiri berusaha rela menerima takdir Allah. Merenungkan hal ihwal
penciptaan manusia dapat membuka jalan bagi hati untuk dapat rela dengan takdir dari Allah
Swt. Manusia diciptakan bukanlah atas dasar kemauan dan ikhtiyar manusia itu sendiri.

Lalu Allah menetapkan rizki bagi masing-masing manusia jauh sebelum manusia dilahirkan
ke dunia. Maka dari itu, tidak patut bagi manusia untuk terlalu khawatir dalam memikirkan
urusan rizkinya.

Dalam kitab Syarah Al-Hikam dikatakan:

“Tidak pernahkah engkau berpikir, dulu sebelum engkau ada, engkau pun tidak pernah
memikirkan dan tidak meminta pada Allah untuk mewujudkanmu, lalu Allah berkehendak
untuk menampakkanmu dengan kehendak-Nya sendiri bukan dengan adanya permintaanmu.
Kemudian mulai ada dalam kandungan ibu dalam bentuk segumpal darah selama 40 hari,
lalu menjadi segumpal daging selama 40 hari, lalu Allah membentuknya menjadi laki-laki
atau perempuan selama 40 hari, dan memberinya ruh. Sehingga menjadi sebuah janin yang
membutuhkan makanan dan minum. Kemudian, Allah menjadikan darah haidl sebagai
makan dan minumnya. Selanjutnya Allah mengeluarkan bayi yang lemah tak berdaya dan
tak mampu mengunyah sehingga Allah menjadikan air susu ibu sebagai makanan baginya
supaya dapat bertahan. Bayi merupakan beban yang menyusahkan bagi kedua orangtuanya,
sehingga Allah menaruh rasa belas kasih dihati orangtua sehingga mau merawat bayi
dengan sungguh-sungguh dan mengasuhnya dari kecil hingga dewasa. Lalu Allah
memberinya kecerdasan, memberi akal sesuai kadarnya, memberi iman, ilmu dan
lainnya.”26
Seseorang yang beriman hendaknya selalu merasa bahwa apa yang didapatkannya. Baik itu
kondisi ekonomi maupun yang lainnya telah diberikan oleh Allah sesuai usaha masing-
masing hamba-Nya dengan pembagian yang sempurna.
Sehingga dalam mencari rizki, manusia akan senantiasa jauh dari sifat rakus karena cara
membunuh sifat rakus adalah dengan menerima apa yang telah diberikan oleh Allah Swt.

4. Zuhud
Kandungan Kitab Al hikam tentang akhlak yang keempat tentang zuhud. Dunia tasawuf
dikenal zuhud, sebagai satu salah satu station (maqam) dalam tasawuf. Selain itu, zuhud juga
dimaknai dengan akhlak dan moral Islam.

Sebagai moral Islam, zuhud tidak berarti suatu tindakan pelarian terhadap dunia nyata ini.
Tetapi suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah yang baru yang akan 
menegakkannya saat menghadapi problema hidup dan kehidupan yang serba materialistik dan
dapat menyebabkan dekadensi moral (akhlak).

Zuhud pada hakikatnya adalah aktifitas di dalam hati dan dilakukan demi mendekatkan diri
kepada Allah. Orang miskin yang hatinya selalu terpaut dengan dunia pada hakikatnya tidak
zuhud.

Karena tiap hari hatinya diliputi keinginan untuk memiliki harta benda, sedih jika hartanya
yang sedikit itu hilang, dan sedikit dari mengingat Allah.

Sementara orang yang kaya raya namun hatinya selalu mengingat Allah dan tidak bersedih
sedikitpun bila hartanya hilang. Karena meyakini bahwa harta adalah pemberian dari Allah.

Maka begitulah sesungguhnya orang yang zuhud, yaitu tidak suka terhadap dunia, atau
menyedikitkan rasa cinta terhadap hal-hal keduniaan, seperti harta, pangkat dan jabatan.

Sehingga apabila hal-hal keduniaan yang tidak kekal tersebut rusak atau hilang dari sisi
manusia, maka tidak akan menimbulkan rasa sedih yang mendalam.

Mencintai hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi tidak pula berguna bagi kehidupan
akhirat. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Syarah Al-Hikam :

“Hendaknya seorang hamba mengurangi sesuatu yang membuat hatinya bahagia akan hal
keduniaan. Ketika kebahagiaan terhadap harta duniawi itu sedikit saja, maka kesedihan saat
tidak mendapat harta dunia juga akan sedikit. Sesuatu yang ada di dunia pasti akan rusak,
jikalau dunia tidak rusak maka manusia pun akan tetap binasa.”
Orang zuhud itu tidak menyukai keduniaan, termasuk pujian dan pandangan dari manusia.
Maka ketika ia beramal, amal tersebut hanyalah karena Allah dan tidak membutuhkan pujian
ataupun komentar dari manusia lainnya.

Sehingga amalnya benar-benar bersih dan terhindar dari riya’. Sedangkan orang yang
mencintai dunia, hatinya selalu terpaut akan hal-hal keduniaan seperti harta benda, pangkat,
dan juga pandangan manusia kepadanya.

Keburukan yang timbul dari hati yang mencintai dunia bukan hanya rasa sedih ketika tidak
memiliki harta, namun juga rasa ingin selalu dilihat baik oleh manusia. Jika sudah demikian,
maka disetiap amal ibadahnya akan diiringi oleh rasa kawatir akan pandangan manusia
terhadapnya.
Sehingga amal yang diperbuatnya akan diusahakan sebaik mungkin demi dipandang sebagai
orang yang baik dimata manusia. Tentu amal yang demikian tidak bernilai di sisi Allah
dikarenakan amal tersebut bukan untuk  mencari ridho Allah Swt.

Sebagaimana tertulis dalam kitab Syarah Al-Hikam:

“Amal yang keluar dari hati orang zuhud itu mulia walaupun amalnya hanya sedikit menurut
dzahirnya, akan tetapi mulia menurut hakikatnya. Karena amal orang yang zuhud itu
selamat dari riya’. Sedangkan amal yang keluar atau bersumber dari hati orang yang cinta
dunia itu dianggap sedikit, walaupun secara kasat mata amalnya banyak. Karena pada
hakikatnya, amal orang yang cinta dunia itu tidak selamat daari riya’, beramal karena ingin
dipuji masyarakat, dan menjadikan berpaling dari Allah, karena hatinya condong kepada
dunia.”
Apabila sifat zuhud sudah dapat ditanamkan, Allah akan memberikan rahmat-Nya. Setengah
dari sempurnanya kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah salah satu
bentuk kasih sayang Allah, yaitu diberi rezeki yang cukup, tidak lebih dan tidak kurang.

Sebab pemberian ini akan mencegah dari lupa pada Allah, yakni saat hamba memiliki banyak
harta. Sehingga tidak terlalu sibuk memikirkan hal-hal yang bersifat kesenangan duniawi dan
lebih banyak mengingat Allah.

Allah Swt. Berfirman dalam surah At-Takatsur ayat 1-2:

 “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (1). sampai kamu masuk ke dalam kubur.(2)”
5. Ikhlas dalam beramal
Kandungan Kitab Al hikam tentang akhlak terakhir tentang amal. Setiap amal ibadah itu
memiliki ruh, yaitu keikhlasan. Dalam beramal, hendaknya seseorang melandasi amalnya
dengan niat yang benar supaya benar- benar dilakukan ikhlas karena Allah. Keikhlasan
hendaknya dimiliki setiap manusia yang menjadi bagian dari nilai akhlak.

Tanpa ikhlas, maka amal itu tidak ada manfaatnya. Dalam kitab Syarah Al-Hikam disebutkan
bahwa makna ikhlas itu bermacam-macam tergantung dengan niat dari amal yang dikerjakan,
yaitu:
Pertama, ikhlasnya ‘Abidin, yaitu orang yang ahli ibadah hendaknya menjaga amalnya dari
riya’ khafiy (riya’ yang samar) dan riya’ jalliy (riya’ yang jelas), menjaganya dari sifat ‘ujub,
yakni beramal hanya karena Allah, seraya mengharap pahala-Nya dan merasa takut akan
siksa neraka”.
Kedua, ikhlasnya Muhibbin, yaitu orang-orang yang mencintai Allah, beramal karena Allah
dengan tujuan untuk memuliakan Allah, tidak untuk meminta pahala kepada-Nya, tidak pula
untuk berlindung dari siksa neraka”.
Ketiga, ikhlasnya ‘arifin, yaitu orang yang mengenal Tuhannya, bahwa Allah-lah yang
menggerakkan dan mendiamkan dirinya, ia tidak mempunyai daya upaya dan kehendak”.
Ikhlasnya abidin adalah tingkatan ikhlas yang paling rendah. Karena dalam beramal masih
menganggap bahwa amal tersebut adalah darinya untuk Allah, lalu kemudian mengharap
pahala dari Allah sebagai imbalan atas ketaatannya.

Begitu juga dengan ikhlasnya muhibbin, masih menisbatkan amal kepada dirinya. Namun
amal tersebut dilakukan semata-mata hanya karena rasa cinta kepada Allah yang begitu besar.
Kemudian ikhlasnya ‘arifin, yaitu tidak lagi mengandalkan amalnya seperti abidin, serta tidak
pula menisbatkan amal kepada dirinya seperti muhibbin, melainkan meyakini bahwa tidak
ada amal yang dilakukannya kecuali billah. Yakni amal kebaikan yang dilakukannya adalah
anugerah dari Allah, bukan atas kuasa dan kehendak dirinya.

Namun demikian, tidak patutlah seorang muslim dalam melakukan amalnya merasa sudah
ikhlas, merasa bisa beramal, dan merasa benar dalam beramal. Karena perasaan tersebut
tidaklah timbul kecuali dari hati yang deipenuhi sifat ‘ujub dan riya’.

Sehingga seorang muslim hendaknya menempati salah satu tingkatan ikhlas yang tiga
tersebut agar amal ibadahnya benar-benar ikhlas karena Allah semata. Dalam hal ini, niat
menjadi faktor penentu dalam beramal.

Karena apabila niat suatu amal ditujukan kepada selain Allah, maka yang buah dari amal
tersebut tidak akan bermanfaat kecuali hanya untuk menyenangkan nafsu syahwat saja.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:

ْ ‫ورسُوْ لِ ِه و َم ْن َكان‬
‫َت‬ َ ِ‫َت ِهجْ َرتُهُ إلى هللاِ و َرسُولِ ِه ف ِهجْ َرتُهُ إلى هللا‬ ْ ‫ت وِإنَّما لِ ُك ِّل امري ٍء ما نَ َوى فَ َم ْن َكان‬
ِ ‫إنَّ َما األع َمال بالنِّيَّا‬
‫ص ْيبُها أو امرأ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا ف ِهجْ َرتُهُ إلى ما هَا َج َر إلي ِه‬ ِ ُ‫ِهجْ َرتُهُ لِ ُد ْنيَا ي‬

 “Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Segala amal itu
tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barang
siapa yang hijrahnya  kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan
Rasul- Nya. Barang siapa yang hijrahnya itu Karena kesenangan dunia atau karena seorang
wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya” (H.R.
Muslim)
Niat pada hakikatnya adalah kesadaran, kemantapan, serta kecondongan hati pada amal
dzahir, bukan hanya terletak pada ucapan saja. Niat yang benar adalah lillah, billah, minallah
dan ilallah.

Yaitu karena Allah, karena perintah Allah dan mengikuti Rasulullah, dan bertujuan karena
ingin bertemu dengan Allah, sehingga niat menjadi bersih karena jauh dari tujuan selain
Allah. Dengan akhlak yang baik sebagaimana Rasulullah diutus untuk menjadi suri teladan
dengan menebarkan nilai-nilai akhlak yang baik.

Demikianlah Kandungan Kitab Al hikam tentang akhlak terhadap diri sendiri, semoga
bermanfaat. (Penulis: Abdul Azis)

https://belimbingwening.com/kandungan-kitab-al-hikam-5-nilai-akhlak-terhadap-diri-
sendiri/3/

Makna dan Filosofi Gunungan Wayang Sadat


BELIMBINGWENING.COM – Pagelaran wayang, bukan sekadar mempersiapkan
wayangnya saja. Tapi semua perangkat peralatan pagelaran wayang purwo seperti kelir,
gedebok, blencong, cempaka, dan lainnya. Perangkat tersebut ternyata mengandung lambang
atau mempunyai makna tertentu. Seperti halnya gunungan wayang sadat.
Seperti makna dari gambar Gunungan dalam wayang. Ketentuan itu dapat kita jumpai dalam
kakawin Arjuna Wiwaha atau Serat Centini jilid IX, yang berbunyi:

Janma tama karya lejem mring pandulu


Sasmitaning Hyang sejati
Dhalang lan wayang dinunung
Pamanggone Hyang mawarna
Karya upameng pandulon
Kelir jagad gumelan wayang pinanggung
Asnapun mahlukin-Widi
Gedebug bantala wegung
Blencong padhanging uring
Gamelan gendinging lakon.
Gambar pohon dalam kayon melambangkan pohon surga, pohon hidup, pohon budi
pengetahuan), Kalpataru (pohon penghargaan). Dan merupakan bagian utama dari kekayon
yang diartikan sebagai sumber pengetahuan atau pohon pengayon.

Disebut gunungan karena bentuknya seperti gunung yang berisi mitos sangkang paraning
dumadi, yaitu asal mulanya kehidupan ini dan disebut juga kayon.

Gunungan memuat ajaran filsafat tentang ilmu kebijaksanaan. Hal ini menunjukkan bahwa
lakon wayang berisi tentang nilai-nilai yang tinggi dan mendalam. Gunungan dalam bahasa
Kawi disebut dengan meru atau mahameru artinya gunung besar Mahameru, sebagai
gambaran gunung Himalaya dengan segala penghuninya.

Mahameru dianggap sebagai gunung surga, kadang-kadang gunung dunia, kedua-duanya


bersifat kudus. Sehubungan dengan anggapan tersebut maka mahameru mengandung
berbagai unsur hidup dan unsur mati. Oleh karena itu, pada lazimnya mahameru dijadikan
pusat pemujaan.

Wayang gunungan merupakan lambang pusat kehidupan dan memeiliki filosofi sebagai
lambang pusat kehidupan. Bermakna sebagai lambang ketuhanan, ada pula yang
menyebutkan lambang alam bagi wayang dan mempunyai makna bahwa hidup yang melalui
mati atau hidup di alam fana.

Wayang Sadat
Gunungan (kayon) dalam wayang sadat merupakan salah satu pokok falsafah bagi wayang itu
sendiri. Gunungan menjadi baku wayang (dalam cerita wayang) atau ajaran inti dari falsafah
(wayang sadat) kesenian Islam. Mempunyai tujuan kesempurnaan hidup untuk mencapai
kebahagiaan dunia-akhirat.

Gunungan wayang sadat mempunyai fungsi sebagai pembuka dan penutup dalam pementasan
atau berfungsi sebagai batas singget. Dalam pertunjukan wayang sadat, wayang maupun
gunungan tidak diajarkan ke kanan dan ke kiri (seperti wayang purwo, tetapi cukup ditumpuk
dalam kotak).
Ciri Khas Gunungan Wayang Sadat
Gunungan wayang sadat di tengahnya tergambar sebuah masjid Demak dan bertuliskan
kalimat syahadat. Ciri khas dari gunungan wayang sadat yang menjadikan gunungan ini
berbeda dengan gunungan wayang kulit yang lain, diantaranya:

1. Puncak dari gunungan wayang sadat yang bertulis Allah menjadi tujuan utama dari cerminan
gunungan yaitu mencapai kesempurnaan hidup bahagia dunia-akhirat
2. Nilai yang terkandung dalam gunungan wayang sadat adalah ajaran Islam atau falsafah
kehidupan Islam tentang ketauhidan dan syari’at.
3. Gunungan wayang sadat memuat seni Islam yang mencerminkan falsafah kehidupan Islam.
Yakni tentang ketauhidan dan syariat dengan bentuk yang indah dan berisi ajaran yang luhur.
4. Setiap gambar mempunyai makna yang dalam terlihat dalam gunungan wayang sadat, dan
masing-masing gambar mempunyai makna yang sangat dalam.
Sebenarnya wayang sadat mempunyai gunungan yang berjumlah enam dan tiap-tiap
gunungan mempunyai lukisan dan fungsi yang berbeda-beda, yaitu:

1. Gunungan wayang sadat, terdapat gambar masjid Demak dan tulisan kalimat syahadat, yang
berfungsi sebagai pembuka dan penutup pagelaran dalam pertunjukan wayang.
2. Masjid, dalam gunungan ini terdapat gambar masjid dan gambar dua gunung (tugu monas dan
tugu pahlawan), mempunyai fungsi sebagai singgetan atau pembatas.
3. Gunungan simbul wayang, terdapat gambar flora dan fauna yang menggambarkan kehidupan
manusia dan gambar bunga dengan fungsi sebagai pembatas adegan.
4. Dan tiga gunungan lainnya memiliki corak lukisan yang sama dengan wayang gunungan
dalam wayang kulit purwo dan mempunyai fungsi yang sama pula yaitu sebagai singgetan.
Figur wayang gunungan jika dibandingkan dengan wayang yang lain adalah termasuk jenis
wayang yang paling rumit, penuh sunggingan, tatahan (patahan) serta penuh dengan makna.
Gagasan budaya jiwa yang tercermin dalam figur wayang gunungan adalah konsep
keseimbangan.

Konsep keseimbangan ini bagi masyarakat Jawa adalah sangat penting dan tercermin
aktivitas kebudayaan. Dan semua lukisan itu sebagai cerminan gagasan keseimbangan hidup.

Dunia pewayangan ikut serta dan ambil bagian dalam mendewasakan masyarakat berupa
pembekalan konsepsi-konsepsi yang mudah diresapi dan dirasakan oleh setiap orang.
Sehingga setiap orang mampu menghadapi persoalan hidup yang beraneka ragam, filsafat
pewayangan membuat para pendukungnya merenungkan hakikat hidup, asal dan tujuan
hidup.

Hubungan inti falsafah gunungan dalam wayang sadat ini adalah kesenian Islam dengan ciri
khas yang berbeda, salah satunya lama pertunjukan (pementasan), corak lukisan pada
gunungan dan lain sebagainya. Gelarnya gunungan wayang sadat ini adalah seni Islam yang
indah, isinya berupa ajaran luhur dan bertujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Unsur-unsur budaya Jawa yang termuat dalam wayang kulit dan wayang dalam wayang sadat
dapat diimplementasikan untuk peningkatan sumber daya manusia. Serta mengajarkan
kebijaksanaan serta melengkapi bagian-bagian kitab suci dari agama menuju terciptanya
manusia yang utuh baik lahir maupun batin.

Asal-Usul Gunungan Wayang Sadat


Masuknya kebudayaan India di Indonesia memberi pengaruh terhadap agama Islam ke
Indonesia sejak abad XIII. Memberi pengaruh besar terhadap budaya wayang terutama pada
konsep kepercayaan dan falsafah wayang itu sendiri. Pada awal abad XV yakni zaman
kerajaan Demak, mulai digunakan blencong dan wayang sebagai alat untuk berdakwah.

Sejak zaman Mataram di Kartosura gubahan wayang yang berinduk pada kisah Ramayana
dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Dari situlah masyarakat penggemar wayang
mengenal istilah tokoh wayang.

Gunungan pertama kali diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, seorang wali dari jajaran
sembilan Walisango pada zaman Demak tahun 1443 saka. Namun untuk gunungan wayang
sadat ini diciptakan pada tahun 1990 oleh seorang mubaligh atau da’i yang berasal dari
Klaten yaitu Ki Suryadi Wanasukarja.
Ide penciptaan gunungan wayang sadat ini bagian dari seni Islam. Ia merasa berkewajiban
untuk menampilkan seni Islam dan menggali konsepsi seni Islam itu ada dan diajarkan Nabi
Muhammad Saw.

Asal mulanya gunungan wayang sadat, menurut Ki Suryadi Wanasukarja merupakan


konsepsi seni Islam yang memuat falsafah kehidupan dan penjelmaan dari rasa pengabdian
kepada Allah Swt. Gunungan wayang sadar yang indah berisi ajaran luhur untuk mencapai
tujuan kesempurnaan hidup.

Gunungan wayang sadat memuat kalimat syahadat lambang dari ajaran luhur dengan arahnya
ke atas (puncak) yaitu Allah. Dan bertujuan mencapai kesempurnaan hidup sebagai konsepsi
Islam dengan menghadap kepada Allah (dekat pada-Nya).

Unsur atau nilai yang terkandung dalam gunungan wayang sadat ini adalah konsep dan ajaran
seni Islam serta falsafah kehidupan Islam. Bahwa masyarakat Islam pusat kehidupannya di
masjid artinya hidup orang Islam sehari-hari harus berpedoman pada ajaran masjid atau Islam
dengan tetap berpijak pada al-Qur’an dan hadits.

Gambaran konsepsi ad-din (agama) mengenai masjid sebagai lembaga yang pertama dengan
utama adalah sebagai tempat ibadah dari takwa dan dari kebudayaan. Islam menjadikan
masjid sebagai pusat kehidupannya.

Sedagnkan pusat kehidupan manusia adalah roh (jiwa). Ad-din (agama) adalah untuk
manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa masjid pusat kehidupan dan merupakan jiwa Islam.

Makna Ornamen Lukisan


Figur wayang gunungan menjadi sangat penting dalam setiap pertunjukan berbagai jenis
wayang kulit. Jenis wayang gunungan yang paling rumit, penuh sunggingan, tatahan
(pahatan) serta penuh akan makna ini bila dilihat dari kesenirupaan bentuk gunungan adalah
simbolik, dekonatif, ekspresif, dan tradisional.
Gunungan yang diciptakan oleh Ki Suryadi Wanasukarja ini mempunyai fungsi sebagai
media hiburan (tontonan). Media untuk meningkatkan pengetahuan agama Islam, media
dalam memberikan nasihat (petuah-pitutur). Menjadi media pendidikan masyarakat dan
sebagai media penyegaran iman.

Selain itu mempunyai maksud (makna). Juga tujuan yang sesuai dengan cita-cita penciptaan
dan yang selaras dengan ajaran Islam.

Wayang gunungan yang dimiliki wayang sadat ini berjumlah enam dengan ornamen dan
fungsi yang berbeda. Tiga gunungan yang menjadi ciri khas dari wayang sadat dengan
ornamen yang berbeda dengan jenis gunungan wayang kulit yang lain.

Dan tiga jenis gunungan yang lain sama halnya dengan gunungan jenis wayang kulit biasa.
Tiga jenis wayang gunungan yang mempunyai lukisan di dalamnya berbeda dengan
gunungan yang lain juga mempunyai nama tersendiri antara lain:

Gunungan syahadat, dengan berbagai gambar dan makna yaitu:

a. Kaligrafi syahadat (Tidak ada Tuhan selain Allah Muhammad Rasulullah), merupakan
suatu pernyataan sebagai kunci dalam memasuki gerbang Islam. Pernyataan bahwa Allah
(Yang Esa) satu-satunya Tuhan yang wajib disembah, merupakan pokok ajaran yang menjadi
misi segala Nabi yang pernah diutus oleh Allah ke bumi sepanjang sejarah kehidupan
manusia.

Syahadat diibaratkan sebagai ikatan janji antara seseorang kepada Allah dan rasul-Nya, yang
menjadikan seseorang menjadi muslim yaitu tunduk patuh, taat hanya kepada Allah dengan
mengikuti praktek-praktek yang telah di contohkan rasul-Nya itu. Kalimat syahadat ini dalam
gunungan wayang sadat merupakan isi dari kehidupan ajaran Islam.

Kalimat tauhid ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Saw:


Artinya: “Lafadz dzikir yang paling utama ialah kalimat “laa illaha illallahu” (tiada Tuhan
yang patut disembah kecuali Allah taala).

Hadits di atas dalam riwayat Ad-Dailami dari Anas ra bahwa dzikir kepada Allah Swt
merupakan obat hati. Yakni dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati, artinya dapat
menyembuhkan hati dari noda-noda kedzliman dan kelalaian.

b. Pada puncak gunungan bertuliskan ‫ﷲﺍ‬, merupakan tujuan dari seni Islam, bahwa orang
hidup akan mati (untuk kembali pada ‫ )ﷲﺍ‬dengan melaksanakan ibadah yang difardhukan
untuk lebih dekat dengan Allah dan kaidah sunnah apabila dikerjakan secara terus menerus
Allah akan mencintai manusia.

c. Sayap yang berada di kanan dan kiri masing-masing berjumlah lima merupakan lambang
dari rukun Islam.

Sebagaimana di dalaman Surat Ibrahim ayat 24:

ٌ ِ‫ب ٱهَّلل ُ َمثَاًل َكلِ َمةً طَيِّبَةً َك َش َج َر ٍة طَيِّبَ ٍة َأصْ لُهَا ثَاب‬
‫ت َوفَرْ ُعهَا فِى ٱل َّس َمٓا ِء‬ َ َ‫َألَ ْم تَ َر َك ْيف‬
َ ‫ض َر‬
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat
yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,.”
(QS. Ibrahim: 24)
Ayat di atas menggambarkan proses pendakian spiritual yang berpijak dari kehidupan sehari-
hari. Perumpamaan yang disebut adalah perkataan yang baik yaitu mengajak pada kebajikan
dan mencegah dari kemungkaran.

Kata-kata seperti itu diumpamakan dengan kalimat talbiyah sebagai pohon yang baik dalam
peradaban Indonesia. Digambarkan akarnya tempat bersila, batangnya tempat bersandar,
daunnya tempat bernaung, buahnya lezat dimakan, dan memberikan manfaat yang baik.

Ayat di atas berkaitan dengan ayat sesudahnya yaitu ayat 25-27 dari surat al-Ibrahim.

Artinya: “(25) Pohon itu memberikan buahnya pada setiap muslim dengan seijin Tuhannya.
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya selalu ingat. (26)
Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan
akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun. (27) Allah
meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam
kehidupan dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan
memperbuat apa yang dia kehendaki.”
Agama Islam mengajarkan kepada umatnya agar membiasakan diri mengucapkan yang baik
yang berfaedah bagi dirinya dan bermanfaat bagi orang lain. Ucapan seseorang menunjukkan
watak dan kepribadian serta adab dan sopan santunnya.

d. Gambar masjid Demak, merupakan gambar pusat kehidupan Islam (masyarakat Islam)
bukan hanya sekedar kegiatan sholat (ibadah), dan tiga tingkatan (atap masjid) menandakan
tiga pokok ajaran Islam yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak (Islam, iman, ikhsan), ketiganya
merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus dipegang secara bulat tanpa meninggalkan
salah satu diantaranya.

1. Gunungan Masjid
a. Pohon dan batang menggambarkan proses kehidupan manusia
b. Masjid Demak sebagai pusat kehidupan umat Islam dengan tiga
tingkatan yang merupakan pokok ajaran Islam: iman, Islam, ikhsan.
c. Dua tugu yaitu tugu monas dan tugu pahlawan sebagai ciri khas
dari Indonesia
d. Enam bintang di atas masjid dan akar pohon yang berjumlah enam
menunjukkan dari rukun iman
e. Sayap kanan dan kiri berjumlah masing-masing lima menunjukkan
rukun Islam.

2. Gunungan simbul wayang sadat


a. Pohon, batang serta gambar flora dan fauna yang menggambarkan
proses kehidupan manusia
b. Sayap yang berjumlah lima di kanan dan kiri menunjukkan dari
rukun Islam
c. Gambar bunga, menggambarkan keindahan dengan terdiri dari tiga
bagian yaitu: Iman ditunjukkan gambar lingkaran kecil ditengah. 2.
Islam ditunjukkan gambar kelopak dari bunga, dan 3. Ikhsan
ditunjukkan gambar bunga.

3. Tiga Gunungan
Tiga gunungan yang lain mempunyai ornamen yang sama dengan gunungan
wayang kulit yang lain, tiga gunungan ini mempunyai fungsi sebagai
singgetan dari pertunjukan wayang dan sangat jarang sekali untuk
dipergunakan.
a. Gambar raksasa, menurut ilmu watak benda berarti bilangan lima,
maksudnya bahwa rukun Islam itu ada lima perkara
b. Gambar gapura berwatak sembilan, menggambarkan jumlah walisongo
c. Kanan dan kiri pintu ada dua raksasa artinya bahwa manusia selalu
diawasi oleh dua malaikat raqib dan atit
d. Samping wuwung terdapat tatwa artinya kehidupan manusia
dipengaruhi oleh lingkungan
e. Kayon terdapat bermacam-macam binatang menggambarkan nafsu
manusia yaitu:
Harimau: nafsu amanah
Banteng: nafsu lawwamah
Kera: nafsu shufiyah
Burung: nafsu mutmainah.
Wayang Islam menginginkan konsep seni Islam dengan tujuan kesempurnaan hidup untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dan seni Islam itu muatannya indah (gelarnya),
isinya ajaran luhur.

Tujuannya mencapai kesempurnaan hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
dalam bentuk seni apa saja. Ajaran Islam itu harus dikembangkan dan diterapkan di dalam
kehidupannya, yang mencakup semua aspek kehidupan seperti ibadah, seni, dan lain
sebagainya. (Saufa Kurnia).

Sumber bacaan:
1. Suwaji Bastomi, Gelis Kenal Wayang, Semarang: IKIP Semarang Press, 1992
2. Wawancara dengan Ki Suryadi Wanasukarja
3. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jiwa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
4. Effendi Zarkasi, Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan, Solo: Mardikunto, 1977
5. Soetarno, et.all., Dewa Ruci Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, Surakarta: Program
Pendidikan Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)
6. Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono, Seni Dalam Masyarakat Indonesia Bunga
Rampai, Jakarta: PT. Gramedia, 1983
7. Suwaji Bastami, Kekerasan Dalam Pewayangan, Semarang: Seminar IAIN Walisongo, 2003
8. Sidi Gazaiba, Masjid Pusat Ibadah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, cet. v,
t.th
9. Kaelany HD, MA., Islam dan Aspek Kemasyarakatan, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000
10. A. Hafizh Dasuki, MA., dkk., Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid v, juz 13-14-15, Semarang: Citra
Effhar, 1993
https://belimbingwening.com/makna-dan-filosofi-gunungan-wayang-sadat/

Amalan dan Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga dalam Suluk Linglung


BELIMBINGWENING.COM – Secara etimologi “suluk” berarti mistis, atau jalan menuju
kesempurnaan batin. Di samping pengertian tersebut dalam perspektif lain suluk diartikan
sebagai “khalwat,” pengasingan diri dan ilmu-ilmu tentang tasawuf atau mistis.
Dalam sastra Jawa suluk berarti ajaran, falsafah untuk mencari hubungan dan persatuan
manusia dengan Tuhan, sedangkan dalam seni pendalangan suluk dapat diartikan sebagai
nyanyian dalang untuk menimbulkan suasana tertentu.

“Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup yang penuh cobaan dan
masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena segala yang muncul di
muka bumi karena Allah”

Dalam komunitas tarekat suluk diartikan sebagai perjalanan untuk membawa seseorang agar
dekat dengan Tuhan sedangkan orang yang melakukan perjalanan tarekat dinamakan salik.
Dalam tarekat pengertian suluk cenderung bersifat mistis dan aplikasi ritual tasawuf untuk
mencapai kehidupan rohani.

Linglung merupakan struktur bahasa Jawa yang artinya “bingung”. Bingung di sini diartikan
ketidakpastian, atau dapat diartikan sebagai kumpulan dari cerita, aplikasi ritual tasawuf
Sunan Kalijaga ketika ia mengalami kebingungan dalam mencapai hakekat kehidupan.

Suluk dalam Jawa adalah ajaran filsafat untuk mencari hubungan dan persatuan manusia
dengan Tuhan, suluk merupakan salah satu bentuk ajaran yang termanifestasikan dalam
sebuah kitab atau karya. Suluk Linglung Sunan Kalijaga merupakan salah satu dari sekian
ajaran filasafat yang digubah oleh Iman Anom.

Suluk Linglung merupakan salah satu karya sastra Sunan Kalijaga yang sampai saat ini masih
jarang ditemukan di literatur Jawa. Buku ini merupakan terjemahan dari kitab kuno warisan
dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng. Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang
keduanya adalah anak cucu Sunan Kalijaga yang ke-13 dan 14.

Kitab kuno yang diberi nama Suluk Linglung ini memuat tentang pengobatan dengan
menggunakan berbagai ramuan tradisional, azimah yang berbentuk rajah huruf arab serta
memakai isim, berbagai macam do’a. Disamping itu suluk merupakan sebuah goresan dalam
bentuk bibliografi dari proses kehidupan batin seseorang atau tokoh.

Buku kuno ini menggunakan simbol-simbol prasastri penulisan ngrasa sirna sarira aji yang
berarti bermakna 1806 caka bertepatan dengan tahun 1884 Masehi. Buku kuno ini ditulis di
atas kertas yang dibuat dari serat kulit hewan yang merupakan transliterasi dari kitab Duryat
yang diwariskan secara turun temurun oleh keluarga Sunan Kalijaga.

Kondisi Teks dan Ajaran Makrifat Sunan Kalijaga


Dalam kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui
beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar adalah
syari’at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan kesegaran jasmani.

Dalam syari’at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat, syariat dimaksudkan untuk
membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan kolektif, yang disebut umat, bangunan
persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau agama yang sama.

Begitu juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab Suluk
Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari’at Islam seperti yang
diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat
dan menjalankan ibadah haji.

Agar dapat menjalankan ajaran Islam yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya
harus melalui berbagai tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh pula. Dengan
begitu manusia akan dapat mengerti makna hidup sejati dan mencapai makrifat yang
diajarkan Sunan Kalijaga dalam suluk tersebut.

Adapun ajaran makrifat Sunan Kalijaga adalah sebagai berikut;

Pertama, Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula (Kumbang Menghisap Madu). Dalam
teks aslinya, “pawartane padhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah, pejah sajroning
uripe, sanget kepenginipun, pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan
uningeng luput, anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul
kewala.”

Artinya: “menceritakan tentang seorang alim ulama’ yang cerdik dan pandai yang sudah bisa
merasakan mati, mati dalam hidup yang mempunyai keinginan besar untuk memperoleh
petunjuk dari seorang yang sudah menemukan hakekat kehidupan dan perjalanan untuk tidak
memperdulikan dampak yang terjadi. Beliau bernafsu untuk mendapatkan petunjuk, petunjuk
yang dipegang oleh para nabi dan wali, itulah tujuan yang diharapkan semata-mata”.

Pada bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berhasrat besar untuk mencari ilmu yang
menjadi pegangan para Nabi dan wali. Dengan kondisi bimbang dan tidak menentu Sunan
Kalijaga selalu berusaha untuk mengabdi dan mencari petunjuk, salah satu usaha yang
ditempuh adalah dengan mengendalikan segala hawa nafsunya yang selanjutnya berserah diri
kepada Allah, yang diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu atau sari kembang.

Dalam hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk mengendalikan segala hawa nafsunya. Rendah
hati dalam bersikap, prihatin, tidak bermewah-mewah (memikirkan kehidupan dunia),
membunuh segala nafsu jiwa raga dan berserah diri pada Allah.

Maksud mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan oleh suksma. Dia tetap
kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda sampai
tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi, membunuh jiwa
raga.

Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan tentang Allah akan sampai
kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga. Manfaat orang yang suka prihatin,
seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah, apabila belajar ilmu akan mudah paham, apabila
mencari rizki akan mudah didapatkan dan apabila melakukan sesuatu pekerjaan akan cepat
selesai.

Demikian tapanya para ulama dan wali Allah yang telah sempurna tekadnya. Bila orang ingin
seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa, raga selalu disakiti lupakan tidur. Bila ingin tahu
tentang asal mulanya, jasadnya disiksa dengan maksud agar menyatu pada suksma.
Dalam teksnya dijelaskan:
“……Dennya amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat kabanjur kalantur, eca dhahar lawan
nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,…….

Artinya: “………berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi atau
mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur sebab hatinya
kalah perang dengan nafsunya”.

Kedua, Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih sayang pupuh asmara dana) pada
bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, serta wejangan-
wejangan (petunjuk-petunjuk) yang diterimanya.

Untuk memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai jenis tapa
agar diikuti para murid-muridnya. Sunan Kalijaga sendiri pernah menjadi petapa ketika
berguru kepada Sunan Bonang.

Pertama ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan kedua bertapa ngidang menyamar
menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal di hutan belantara.

Dalam teksnya dijelaskan:

Pada bait ketiga “wonten setengah wanadri, gennya ingkang gurdagurda. Pan sawarsa ing
lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen madyeng wana, setahun nulya dinudhuk, dateng
jeng suhunan benang”

Artinya: “berada ditengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang banyak
sekali, dengan tenggang waktu setahun lamanya, kemudian disuruh “ngaluwat” ditanam
ditengah hutan. Setahun kemudian dibongkar oleh kanjeng Sunan Bonang.”

Dan pada bait ketujuh belas, “pan angidang lampah neki, awor lan kidang manjangan, atenapi
yen asare pan aturu tumut, lir kadya sutaning kidang.”

Artinya: “untuk menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bilamana ingin
tidur, ia mengikuti cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau pergi mencari makan
seperti caranya anak kijang”.

Tapa-tapa yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:

Badan: tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan.


Hati atau budi: tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk.
Nafsu: tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara dan mudah
mengampuni kesalahan orang.
Nyawa atau roh: tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan tidak
mencela.
Rahsa: tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan atau bertaubat.
Cahaya ata Nur: tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas.
Atma atau hayu: tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat. Di samping itu diajarkan
pula tapa dan perbuatan yang berhubungan dengan tujuh anggota badan;
Mata: tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain.
Telinga: tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan perkataan-perkataan
yang buruk
Hidung: tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang lain
Lisan: tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan menghindari perkataan-perkataan buruk
Aurat: tapanya menahan syahwat dan zakatnya menghindari perbuatan zina
Tangan: tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memkul orang lain
Kaki: tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan dan zakatnya menyukai berjalan untuk
istirahat dan intropeksi.

Ketiga, Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan Kalijaga yang diperintahkan ibadah haji
ke Makkah dan bertemu dengan nabi Khidir di tengah samudera. Dalam teks tersebut
disebutkan:
“Sang pendeta wus lajeng hing lampahira, mring benang dhepok sepi, nyata kawuwusa,
Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing makkah, lampahnya murang
margi”.

Artinya, ” Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkahkan kaki, menuju desa Benang yang
sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeikh Malaya, yang berkehendak naik haji
menuju Makkah dia menempuh jalan pintas
.
Setelah melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian menyuruh Sunan Kalijaga untuk
pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang kemudian diperintahkan untuk bertemu nabi
Khidzir dan berguru kepadanya. Sunan Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera
yang kemudian nabi khidzir memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang
Hidayatullah (petunjuk Allah).

Hidayatullah dapat diartikan sebagai petunjuk Allah. Petunjuk merupakan sebuah anugerah
yang tidak diterima oleh setiap orang. Sebagaimana dalam teks tersebut dijelaskan “nyuwun
wikan kang sifat hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga suci,” artinya bahwa
untuk mencapai petunjuk dari Allah manusia harus dalam kondisi suci, suci secara dhahiriyah
dan bathiniah dan dilakukan hati tulus dan ikhlas.

Sebagaimana Sunan Bonang menyarankan kepada Sunan Kalijaga untuk mencari kepandaian
dan hidayatullah di Makkah. Makkah merupakan kota suci, kota sebagai kiblat bagi seluruh
umat Islam yang mampu naik haji, sehingga dalam Islam pun diwajibkan bagi umat Islam
yang mampu naik haji sebagai perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.

Keempat, sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula), mengupas tentang dialog antara Syeh
Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan kematian
dengan berbagai aspeknya.Dalam teks aslinya:
“….nadyan wus haji iku yen tan weruh paraning kaji ,…margone tan kanggo lunga, mring
ka’bah yen arsa wruh ing ka’bah jati, jati iman hidayat”.

Artinya, “…oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji bila belum tahu tujuan yang
sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan rugi besar…ka’bah yang hendak kau kunjungi itu
sebenarnya ka’batullah (ka’bah Allah). Demikian itu sesungguhnya iman hidayat yang harus
kamu yakinkan dalam hati.”
Kalau seseorang akan melakukan ibadah haji, maka harus diketahui tujuan yang sebenarnya,
kalau tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah yang dinamakan iman hidayat. Dan
sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah diteliti agar tidak tertipu oleh nafsu, supaya
tetap dalam jati diri yang asli (pancamaya).

Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi penghalang
tersebut akan berhasil menyatukan dirinya dengan yang ghaib. Yang dimaksud dengan
penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara murka, sombong dan semacam itu.

Dalam teksnya dijelaskan, “pan isine jagad amepeki, iya iku kang telung prakara, pamurunge
laku kabeh kang bisa pisah iku, yekti bisa amoring ghaib, iku mungsuhe tapa, ati kang tetelu,
ireng, abang, kuningsamya, angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya.”

Artinya: “sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga golongan,
semuanya adalah penghalang tingkah laku kalau mampu menjauhi itu, pasti dapat berkumpul
dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri, hati yang tiga macam, hitam,
merah, kuning, semua itu, menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan
menyatunya dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia.”

Godaan yang berat digambarkan empat penari pada keempat sudut itu, yaitu nafsu-nafsu yang
timbul dari badan kita sendiri, pertama, amarah, yaitu nafsu yang menimbulkan rasa ingin
marah, ingin menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan kejam, segala tindakannya selalu
merugikan orang lain.

Dalam ilmu Jawa, pertama, nafsu amarah biasa digambarkan dengan sinar (cahaya) yang
berwarna merah. Kedua, aluamah, nafsu yang menimbulkan keinginan untuk makan dan
minum secara berlebihan. Orang yang menuruti nafsu aluamah gemar makan yang enak-
enak, rakus, tak pernah merasa puas, dan malas bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan
sinar (cahaya) yang berwarna hitam.

Ketiga sufi’ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan iri hati. Orang dengan nafsu ini
selalu menggerutu dan iri hati kepada temanya yang kaya dan pandai, tetapi ia sendiri tidak
mau berusaha. Sifat sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya) berwarna kuning.

Keempat, mutmainnah, nafsu yang pada dasarnya baik, suka memberi, penyayang. Orang
yang menuruti hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi orang lain tanpa perhitungan. Hal
ini dapat menjadikan dirinya celaka dan orang yang diberi juga ikut celaka. Sifat mutmainnah
digambarkan dengan sinar (cahaya) putih.

Si penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan menguasai empat nafsu itu, dan
disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar dapat memiliki (mencapai) waranggana (cita-cita
yang mulia) yang dikejarnya. Nafsu amarah disertai keberanian dan terpelihara, dapatlah ia
mencapai martabat yang tinggi dan tidak akan berbuat kejam.

Nafsu aluamah disertai rajin dan menjaga kesehatan dapatlah ia mencapai kecukupan
hidupnya dan badan tetap terpelihara. Nafsu sufiah, disertai usaha maka ia sanggup mencapai
apa yang diinginkan. Nafsu mutmainah, disertai perhitungan, akan mendatangkan
ketenteraman hidup, tertolong sebagaimana mestinya.
Kelima, Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari enam puluh bait yang berisikan tentang
ajaran nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul yakin, haqqul yakin,
makrifatul yaqin dan iman hidayat serta sifat-sifat yang terpuji. Dalam teks aslinya:
disebutkan:

“urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng johar awal, pagene sholat sireki, ya ora
ing ndalem ndoya, purwane sholat puniki.”

Artinya: “jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh johar itu, telah memuat
garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam johar awal. Dari keterangan
tentang johar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya; mengapa kamu
wajib sholat, di dalam dunia ini?”.

Pada bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin serta
makrifat, yang kemudian nabi Khidzir memberikan contoh tentang sholat sebagai bukti
keyakinan manusia tentang adanya Tuhan atau Allah yang harus disembah.

Pada prinsipnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ada yang menciptakan. Begitu
pun juga manusia, eksistensi manusia di bumi karena adanya sang pencipta yaitu Allah.
Adanya manusia itulah yang membuktikan adanya Allah, dan tanda-tanda adanya Allah
adalah pada dirimu kata Nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga.

Sebenarnya tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri manusia sendiri, barang siapa yang
mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya, jadi dengan bertafakkur atas
diri dan sifat-sifatnya sendiri, manusia mengetahui bahwa ia sebenarnya dijadikan dari setetes
air yang tidak mempunyai akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran,
penglihatan, kaki, tangan, kepala dan sebagainya.

Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan terang dan nyata bawa tingkat kesempurnaan
yang ia capai bukan ia sendiri yang membuatnya melainkan Allah lah yang menciptakan
karena sehelai rambut manusia tidak akan sanggup membuatnya.

Manusia harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam ayat Al-Qur’an menjelaskan bahwa
pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan makrifat, kalau tidak makrifat berarti tidak
menghargai Allah. Allah berfirman, “… dan tiada mereka mengagungkan Allah sebagaimana
mestinya” (QS. Al-An-‘am: 91).

Yang dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak makrifat kepada-Nya.
Makrifat merupakan sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan ajarannya dalam perbuatan.

Selain itu makrifat dapat membersihkan diri dari akhlak yang rendah dan dosa-dosa, yang
kemudian lama-lama dapat mengetuk “pintu” Allah dengan hati yang istiqomah, dia
melakukan makrifat untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh hidayah dari
Allah.Yang kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat.

Dalam teksnya dijelaskan:


“…tauhid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru’yat minangka seksi” artinya tauhid
adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada Allah juga makrifat harus kita
miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya rukyat (ya dengan melihat pakai mata
telanjang) sebagai saksi adanya terlihat dengan nyata.”

Keenam, Pupuh Dhandhang Gula yang terdiri dari lima puluh dua bait, pada bagian ini berisi
tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya disebutkan
” kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging cipta, rupa ingkang sabenere,
sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan antara mangsa, iya anaripun, pas wus ana
ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan sireki, tan kena pisahenna.

Artinya; “cobaan hidup yang menuju kematian. ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk yang
sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi
kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukanlah sudah berada ditubuh?
Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan

Pada bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup yang
penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena
segala yang muncul di muka bumi karena Allah. Allah adalah sumber kebahagiaan, sumber
kedamaian, sumber keselamatan, meskipun demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa
menangkap kebahagiaan itu.

Hakikat rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan
untuk melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang jiwa
menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.

Manusia harus menghadap realita mutlak (kebenaran sejati) yang berada dalam diri manusia
sendiri, sehingga di dalam Suluk Linglung dinamakan “tunggal lawan sang hyang widi”,
hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini disebut dalam Pupuh
Kinanthi bait 53;

” Thaukid hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga
donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki.”

Artinya: “Thaukid hidayat yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan yang terpilih.
Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa
bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”.

Ajaran makrifat yang di ajarkan oleh Sunan Kalijaga tidak hanya melibatkan dunia dalam
microkosmos tetapi juga memandang dunia secara macrokosmos (misalnya alam semesta,
kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan sampai melupakan tujuan hidup manusia yang
sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.

Bagi sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya dapat
bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan dia harus lebih
dahulu menghancurkan dirinya.

Selama dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia tidak akan
dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut fana (hilang,
hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri, yaitu hancurnya peranan dan
kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.

Jika seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti tak
disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu
dengan Tuhan. Kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini terjadi langsung setelah tercapainya
fana’ tak ubahnya dengan fana’ tentang kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan
hancurnya hal-hal buruk ini, maka yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik.
(Siami Nahri)

Sumber bacaan:
Suluk Linglung, terjemahan dari kitab kuno warisan dari sepuh Kadilangu Demak, R.Ng.
Noto Subroto kepada ibu R.A.Y Supratini Mursidi, yang keduanya adalah anak cucu Sunan
Kalijaga yang ke-13 dan 14
Rus’an , Mutiara Ihya’ Ulumuddin Iman Al-Ghozali, (Semarang: Wicaksana, 1984)
Sudirman Tebba, Kecerdasan Sufistik; Jembatan Menuju Makrifat, (Jakarta: Kencana, 2004)
http : // www. Serambi.Co.id / modules.
Ahmad Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, (Jakarta: PT Serambi IlmuSemesta,
2004)
Iman Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya), (Jakarta : Balai Pustaka,
Purwadi dan Siti Maziyah, Hidup dan Spiritual Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : Panji Pustaka
2005)
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga ” Penyebaran Agama Islam di Jawa berbasis kultural,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)

Tokoh Sufi Syaikh Ibnu 'Atha'illah dan Kitabnya al-Hikam


Oleh: Prof. Dr. H. Syihabuddin Qalyubi, Lc. M.Ag

(Guru Besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Syeikh Ibn ‘Atha’illah dengan nama lengkapnya Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin
Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho’ as-Sakandari al-Judzami al-Maliki al-Syadzili berasal
dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan
yang berujung pada Bani Ya’rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-
Aa’ribah. Lahir di kota Iskandariah tahun 648 H/1250 M, lalu pindah ke Cairo dan meninggal
di di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro Mesir pada 1309 M. Julukan as-Sakandari merujuk
kota kelahirannya itu.

Ia merupakan ulama yang ahli dalam bidang tasawuf pada zamannya, namun tidak
menafikan ilmu-ilmu lainnya, diantaranya ilmu tafsir, ilmu hadist dan ilmu ushul fiqih. Ibn
‘Atha’illah memiliki dua guru yang berpengaruh besar terhadap dirinya dalam menjajaki
ilmu tasawuf: Syekh Abu al Abbas Ahmad Ibn Umar Ibn Muhammad al Mursi dan Syekh Abu
al Hasan Ali Ibn Abdillah As Syadzili, pendiri Thariqah al-Syadziliyyah. Ibn ‘Athaillah tergolong
ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang
tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang
paling terkenal adalah kitab al-Hikam.

Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah.
Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibn Ibad ar Rundi, Abdullah Syarqowi, Syaikh
Ahmad Zarruq, Ahmad ibn Ajibah dan Muhammad Sa’id Ramadhan al Būthi. Kitab Al-Hikam
merupakan karya monumental mursyid ke tiga tarekat As-Syadziliyyah, sehingga menjadi
sumber utama untuk memahami ajaran tarikat AsSyadziliyyah dan termasuk disiplin ilmu
dalam memahami kajian tasawuf, sehingga kitab ini menjadi karya terbaik dan
komprehensif yang dikarang oleh Ibn ‘Athaillaah As-Sakandari.

Kitab ini ditulis penulisnya secara ‘hemat’ karena tidak mencantumkan rujukan berupa
dukungan ayat Alquran, Alhadits dan berbagai argumentasi lainnya. Lebih dari itu, kitab ini
sepertinya ditulis sebagai refleksi atas pengalaman penghayatan spiritualitas penulisnya.
Namun penyajiannya menjadi keunggulan tersendiri bagi Al-Hikam, karena di satu sisi,
kekayaan (kedalaman) makna yang dikandungnya tetap terjaga hingga ratusan tahun,
kemudian baru bisa digali dengan sejumlah karya komentar (syarh) yang mencoba
mengelaborasikan kekayaan maknanya. Al-Hikam adalah sebuah kitab yang diperuntukkan
bagi para pejalan (sâlik), yang di dalamnya berisi panduan lanjut bagi setiap pejalan untuk
menempuh perjalanan spiritual. AlHikam berisi berbagai terminologi suluk yang ketat, yang
merujuk pada berbagai istilah dalam AlQur'an. Kitab ini merupakan kumpulan mutiara-
mutiara cemerlang untuk meningkatkan kesadaran spiritual, tidak hanya bagi para salik dan
murid-murid tasawuf, tetapi juga untuk umumnya para peminat olah batin Kitab al-Hikam
juga dipandang sebagai kitab kelas berat bukan saja karena struktur kalimatnya yang
bersastra tinggi, melainkan juga kedalaman makrifat yang dituturkan lewat kalimat-
kalimatnya yang singkat. Ia menjadi kitab yang bahasanya luar biasa indah. Kata dan makna
saling mendukung melahirkan ungkapan-ungkapan yang menggetarkan. Kitab ini menjadi
tuntunan praktis bagi seorang muslim di tengah-tengah kesibukan dan gelombang
materalisme yang kuat.
Belakangan ini, kitab al-Hikam tak hanya dikaji santri pondok pesantren melainkan juga
para eksekutif muslim dan kalangan sosialita di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung
dan kota besar lainnya. Saya menangkap ini sebagai fenomena positif, bahwa di tengah
guncangan moral yang menimpa publik Indonesia, ada individu- individu yang bersemangat
untuk meningkatkan moral privat. Mereka tak hanya berkehendak untuk menjalani ritual
peribadatan secara rutin, melainkan juga bagaimana ibadah ritual itu berdampak secara
sosial. Untaian Mutiara kitab al-Hikam telah mempesona jutaan hamba pencari keindahan
Sang Maha Indah. Hidup akan diliputi kegamangan bila kita tidak tahu tujuan hidup. Dalam
buku ini, kita diajak menyelami isi kandungannya agar hidup kita menjadi bermakna,
tenteram dan indah. al-Hikam menyediakan arahan kepada kaum beriman untuk berjalan
menuju Allah Swt, lengkap dengan rambu-rambu peringatan, dorongan dan penggambaran
keadaan tahapan serta kedudukan rohani.

Kitab al-Hikam mengandung beberapa ajaran penting tentang pengelolaan diri, antara lain:

1. Orang yang arif adalah orang yang tidak membanggakan amal ibadahnya. Orang yang
bangga dengan amalnya kurang pengharapan kepada Allah, sehingga apa saja yang
diperolehnya dianggap karena amal ibadahnya, bukan karena rahman dan rahimnya Allah.
Sedangkan orang yang arif/ bijaksana, dalam meneguhkan imannya kepada Allah, selalu
berpegang teguh kepada kekuasaan dan iradah yang ada pada Allah SWT.

2. Amal ibadah yang kuat tegak dan kokoh ikatannya dengan iman ialah ibadah yang
dilaksanakan oleh hati yang ikhlas. Karena ikhlas adalah ruh amal, dan amal seperti itu
menunjukkan tegaknya iman. Apabila amal ibadah tidak dilandasi keikhlasan maka akan
membawa si hamba menjadi angkuh dan lupa diri.

3. Hati yang di dalamnya hidup dengan keimanan akan merasa sedih apabila iman dan ta’at
itu hilang dari padanya. Hati yang beriman itu sangatlah senang apabila ia telah
melaksanakan kebaikan atau ketaatan.

4. Orang yang beramal dengan menanti-nanti waktu senggang sama halnya dengan orang
yang dipermainkan oleh waktu. Waktu berjalan terus, sedangkan waktu luang pun belum
juga ada, sehingga amal pun belum dilaksanakan. Apabila waktu beramal sangat sempit,
maka peluang untuk beramal pun boleh jadi tidak mencukupinya.

5. Apabila manusia memahami suatu cobaan yang datang dari Allah dan diterima dengan
keridhaan hati, maka cobaan itu akan dirasakannya menjadi sesuatu yang sangat ringan.
Allah memberi cobaaan kepada para hamba-Nya, tidaklah berarti Allah membencinya, akan
tetapi Allah menunjukkan kasih sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu.
Kitab al-Hikam merupakan bahan ajar yang dipelajari hampir di setiap Pondok Pesantren di
Indonesia. Melalui media koran ini penulis bermaksud untuk mencoba menguraikannya
sebatas pengetahuan penulis dengan merujuk kepada kitab al-Hikam beserta beberapa
syarahnya. Diusahakan uraian ini akan muncul pada setiap hari Jumat, dengan harapan bisa
dijadikan pedoman oleh penulis dan para pembaca yang berminat. Semoga bermanfaat.
(Diambil dari berbagai sumber)

https://uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/168/tokoh-sufi-syaikh-ibnu-athaillah-dan-kitabnya-al-
hikam

Anda mungkin juga menyukai