TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam
Oleh
Badru Tamam
NIM : 04.2.00.1.05.01.0007
Dosen pembimbing
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H / 2008 M
SURAT PERNYATAAN
Adalah benar merupakan karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan
sumbernya. Apabila ternyata di kemudian hari tidak benar maka yang
bersangkutan bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.
Badru Tamam
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Jakarta: ………………..
Pembimbing
iii
KETERANGAN
Penguji Penguji
iv
Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Abdul Aziz
Dahlan, MA.
Tgl : Tgl :
ABSTRAK
Badru Tamam:
“Corak Pemikiran Kalam Muhammad Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Mishbãh” Tesis Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
v
kebebasan itu tidak melebihi batas kemanusiannya dan sunnatullah yang
telah diciptakan Allah. Dengan demikian pandangannya sejalan dengan
pendirian Mu`tazilah.
Sedangkan mengenai masalah antropomorfisme, ia tidak
menafsirkannya menurut arti harfiah, tetapi menafsirkannya menurut arti
majazi (metaforis). Dengan demikian, pandangannya itu sejalan dengan
pendirian aliran rasional.
Adapun mengenai masalah iman, ia berpandangan bahwa iman tidak
cukup hanya dengan taédîq, tetapi harus sejalan dengan pembenaran
dengan hati, ucapan dengan lidah dan penyerahan jiwa dengan ditandai
dengan amal (perbuatan). Dengan demikian, pandangannya sejalan dengan
pendirian Mu`tazilah.
vi
Sumber data yang menghasilkan kesimpulan di atas dikaji dengan
pendekatan analisis kritis terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish
Shihab tentang masalah-masalah kalam. Analisis kritis ini dihubungkan
dengan pemikiran-pemikiran kalam dalam berbagai aliran: Mu’tazilah, al-
Asy’ariyyah, Mãturidiyyah Samarkand dan Mãturîdiyyah Bukhara, sehingga
akan tampak corak atau kecenderungan pemikiran kalam Muhammad
Quraish Shihab tersebut.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
tentang pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab. Perbedaanya terletak
pada sumber data primer yang digunakan, dan kesimpulan yang
dihasilkannya. Dalam penelitian ini digunakan Tafsir al-Mishbãh sebagai
sumber data primer, dan dihasilkan kesimpulan bahwa corak pemikiran
kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh adalah rasional;
sebaliknya dalam penelitian sebelumnya, seperti Mustafa P, tidak digunakan
Tafsir al-Mishbãh, dan kesimpulan yang dihasilkannya pun berbeda, justru
corak pemikiran kalam Muhammad Quraish Shibah adalah tradisional-
normatif.
vii
viii
ABSTRACT
Badru Tamam:
“The Theological Thinking Pattern of Muhammad Quraish Shihab in Tafsir
Al-Mishbãh”
ix
The data sources are approached by critical analysis to Muhammad
Quraish Shihab’s opinion concerning problem of kalam. This critical analysis
attributed to the idea of kalam in many streams: Mu'tazilah, al-Asy'ariyyah,
Mãturîdiyyah Samarkand, and Mãturîdiyyah Bukhara. This approach would
show the tendency of kalam idea of Muhammad Quraish Shihab.
This research differs from the previous researches about kalam views
of Muhammad Quraish Shihab. The main difference is the primary source
and conclusion. This research concludes that the pattern of kalam of
Muhammad Quraish Shihab in his tafsir is rational. On the contrary, the
other researches like Mustafa P which Tafsir al-Mishbãh is not applied, the
main conclusion drawn is do different. The pattern of kalam view of
Muhammad Quraish Shibah is tradisional-normatif.[]
x
ﻣﻠﺨﺺ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ
ﺑﺪر ﺗﻤﺎم
" ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب " رﺳﺎﻟﺔ
اﻟﻤﺎﺟﺴﺘﺮ ﺑﺎﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣ ﺔ اﻟﺤﻜﻮﻣ ﺔ " ﺷﺮ ﻒ ªﺪا ﺔ اﷲ " ﺟﺎﻛﺮﺗﺎ .2008
و ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ اﻟﺪراﺳﺔ ﻧﺠﺪ أن ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ
اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ªﻮ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ اﻟﻌﻘﻠﻰ ،ﻷن أراءه ﻗﺪ اﺗﻔﻖ ﻓﻰ ﻛﺜ ﺮ ﻣﻦ ﻧﺘﺎﺋﺞ
ﻣﺎ وﺻﻞ اﻟ ﻣﻊ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ ﻣﻨ ﺎ إﻟﻰ أراء اﻻﺷﻌﺮ ﺔ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺒﺨﺎرى.
اﻹﺳﺘﻨﺒﺎط ﻣﻦ ذﻟﻚ ﺴﺘﺨﺪﻣ اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻓﻰ ﺑﺤﺜ وﻣﺼﺪر اﻟﻤﺮاﺟﻊ ﻋﻨ ªﻮ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح
ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻓﻰ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻟﻜﻼم ﻣﻨ ﺎ : :ﻗﻀ ﺔ اﻟﻘﺪرة و اﻻرادة اﻹﻟ ﺔ ،ﻗﻀ ﺔ اﻟﻌﺪل اﻹﻟ ﻰ ،ﻣﺴﺄﻟﺔ
أﻓﻌﺎل اﷲ ،ﻗﻀ ﺔ أﻓﻌﺎل اﻟﻌﺒﺎد ،ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﺘﺠﺴ ﻢ أو اﻟﺘﺸﺒ ،و ﻗﻀ ﺔ اﻻ ﻤﺎن.
اﻟﺨﻼﺻﺔ اﻟﻤﺬﻛﻮرة ﺆ ﺪªﺎ اﻟﻶﺗ ﺔ :ﻗﻀ ﺔ اﻟﻘﺪرة و اﻻرادة اﻹﻟ ﺔ ﺮوﻧ ﺎ ﻻ ﺼﻠﺢ
ﺟﻤ ﻌ ﺎ و ﺑﺬﻟﻚ ﻤ ﻞ ﻓﻰ رأ ﻣﺎ ﻋﻠ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ.
و ﻗﻀ ﺔ اﻟﻌﺪل اﻹﻟ ﻰ ªﻮ ﻨﻈﺮ إﻟ ﻣﻦ ﻧﺎﺣ ﺔ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧ ﺔ و ﻌﻠﻘ ﺎ ﺑﺎﻟﺜﻮاب و
اﻟﻌﻘﺎب اﻟﺬى ﺠﺐ أن ﺤﺼﻞ ﻋﻠ اﻹﻧﺴﺎن ،و ﺑﺬﻟﻚ ﻤ ﻞ إﻟﻰ ﻣﺎ ﻋﻠ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ.
و ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺔ أﻓﻌﺎل اﷲ اﻟﺘﻰ ﺗﻌﻨﻰ اﻟﻤﻘﺼﻮد و اﻟﻐﺎ ﺔ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ اﷲ و اﻟﺘﻜﻠ ﻒ ﻣﺎ ﻻ ﻄﺎق،
وﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﻮﻋﺪ و اﻟﻮﻋ ﺪ ﺮوﻧ ﺎ ﺑﻌﻨﺼﺮ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧ ﺔ ،أن اﻟﻔﻌﻞ اﻹﻟ ﻰ ﻻﺑﺪ أن ﻜﻮن ﻓ
ﺧ ﺮ و ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎن ،و أن أﻓﻌﺎﻟ ﺳﺒﺤﺎﻧ و ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺗﻜﻮن ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺘﻀﻰ اﻟﺤﻜﻤﺔ ،و أن اﷲ
ﻻ ﻜﻠﻔ ﻢ ﻣﺎ ﻻ ﻄ ﻘﻮن و أن اﷲ ﻻ ﺨﻠﻒ اﻟﻤ ﻌﺎدª .ﺬا اﻟﺮأى ﻮاﻓﻖ ﻋﻠ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ.
ﻛﻤﺎ ªﻮ و أﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﺘﺠﺴ ﻢ ،ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ﻔﺴﺮه ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﻰ اﻟﻤﺠﺎزى ،ﻓﺮأ
رأ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ .و أﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ أﻓﻌﺎل اﻟﻌﺒﺎد ªﻮ ﺮى أن اﻻﻧﺴﺎن ﻋﻠ اﻟﺘﺨﻄ ﻞ
xi
و اﻻرادة و اﻟﺴﻌﻰ و اﻻﺧﺘ ﺎر و ﻓﻌﻞ ﻛﻞ ﻣﺎ ﺤﻘﻖ ﻟ اﻟﺨ ﺮ و ﻀﻤﻦ ﻟ اﻟﺮﻓﺎه و ذﻟﻚ ﻓﺮأ ﻛﻤﺎ
ªﻮ رأ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ.
و اﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻻ ﻤﺎن ،ﺮى ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب أن اﻻ ﻤﺎن ªﻮ ﺗﺼﺪ ﻖ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ و إﻗﺮار
ﺑﺎﻟﻠﺴﺎن و ﻋﻤﻞ ﺑﺎﻻرﻛﺎن.
أﻣﺎ ﻣﺼﺎدر ﺑ ﺎﻧﺎت ªﺬا اﻟﺒﺤﺚ و ﺳ ﻜﻮن ªﻨﺎك ﻃﺮ ﻖ ﻟﻠﺒﺤﺚ ﺗﺤﻠ ﻞ أﻓﻜﺎر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ
ﺷ ﺎب و أراءه ﻋﻦ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻟﻜﻼم ﺑﺎﺳﺘﺨﺪام ﻣﻨ ﺞ اﻟﻤﻘﺎرن و اﻟﺘﺤﻠ ﻞ ،ﻌﻨﻰ اﻟﻤﻘﺎرﻧﺔ ﺑ ﻦ أﻓﻜﺎره و
أراءه ﺑﺄراء ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻜﻼم اﻟﺴﺎﺑﻘ ﻦ :اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ ،اﻷﺷﻌﺮ ﺔ ،اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ
اﻟﺒﺨﺎرى ،ﻣﻦ أﺟﻞ ذﻟﻚ ﻈ ﺮ اﻟﺒﺤﺚ إﻟﻰ اﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح
ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب.
ﻔﺮق ªﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻣﻦ اﻟﺒﺎﺣﺜ ﻦ اﻟﺴﺎﺑﻘ ﻦ أن ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر
ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ،اﻻﻓﺘﺮاﻗﺎت ﻓ ﺎ ﻣﻦ اﻟﻤﺼﺎدر و ﺗﻨﺘﺞ اﻻﺳﺘﻨﺒﺎط .أﻣﺎ ªﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﺴﺘﺨﺪﻣ
اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻓﻰ ﺑﺤﺜ ﻣﻦ ﻣﺼﺪر اﻟﻤﺮاﺟﻊ ﻋﻨ ªﻮ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ،و ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ اﻟﺪراﺳﺔ أﺟﺪ ان ﻟﻮن
اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ªﻮ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ
ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ اﻟﻌﻘﻠﻰ ،ﻋﻠﻰ اﻟﻌﻜﺲ ﻣﻦ اﻟﺒﺎﺣﺜ ﻦ اﻟﺴﺎﺑﻘ ﻦ ﻣﻨ ﺎ :ﻣﺼﻄﻔﻰ ﻻ ﺴﺘﺨﺪم ﻓﻰ ﺑﺤﺜ
اﻟﻤﺼﺒﺎح ،ﻣﺒﺎﺷﺮة ﻔﺮق ﻋﻠﻰ ﻧﺘ ﺠﺔ اﻻﺳﺘﻨﺒﺎط أن ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ
ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ªﻮ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ اﻟﻨﻘﻠﻰ اﻻدﺑﻲ.
xii
KATA PENGANTAR
xiii
terima kasih banyak untuk Umi dan Babah karena memberikan keluarga
baru yang harmonis sehingga menguatkan penulis untuk terus berjuang
menyelesaikan kuliah ini.
Istri tercinta Hj. Nur Arfiyah Febriani, MA, penulis menyampaikan
penghargaan dan penghormatan yang sedalam-dalamnya atas dorongan dan
semangat serta ketabahannya mengikuti suami selama mengikuti program
S2, terutama dalam menyelesaikan tulisan ini.
Kepada Bapak pembimbing, Prof. Dr. H. Muhammad Yunan Yusuf, MA.
Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki bapak terus memberikan
motivasi dan masukan yang sangat membantu penulis dan telah banyak
memberikan bimbingan yang amat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
Kepada tiga saudaraku, dr. H. Wawan Anwarudin, dr. Aziz Ghafur
dan Ali Nurdin, ST. Terimakasih atas atensi, motivasi dan advise yang
diberikan selama ini kepada penulis, sehingga menambah semangat penulis
dalam menyelesaikan kuliah ini.
Kepada Bapak Rektor, Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen
dan staf civitas akademika Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pendidikan yang baru
kepada penulis, sehingga penulis dapat lebih konsen dalam mengkaji ilmu
pengetahuan yang dipilih meski tidak akan pernah cukup.
Kepada Bapak kepala beserta staf Perpustakaan Utama, dan
Perpustakaan Pasca Sarjana UIN (Mr. Suali and Mr. Syukron), atas
penyediaan buku-buku yang menjadi referensi otoritatif dalam penulisan
ini. Begitu pula kepada teman-teman konsentrasi Tafsir Hadis angkatan 2004
yang sangat rajin menanyakan perkembangan tesis penulis serta menjadi
teman diskusi.
xiv
Penulis hanya dapat memanjatkan doa, memohon kepada Allah swt.
Semoga Ia berkenan menerima dan membalas segala jasa dan budi baik
mereka kepada penulis serta memberikan balasan yang hanya kepada-Nya
penulis serahkan, Ämîn Yã Rabb al-'Älamîn,.
Badru Tamam
xv
DAFTAR ISI
xvi
C. Keadilan Tuhan ................................................... 101
D. Perbuatan Tuhan ................................................. 111
BAB IV PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
TENTANG MANUSIA ................................................... 123
A. Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu .......................... 123
B. Perbuatan Manusia ............................................... 141
C. Konsep Iman ....................................................... 161
BAB V PENUTUP ................................................................ 170
A. Kesimpulan ......................................................... 170
B. Saran-saran ........................................................ 176
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 177
LAMPIRAN
xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hijaiyah
أ = a ب = b
ت = t ث = ê
ج = j ح = è
خ = kh د = d
ذ = í ر = r
ز = z س = s
ش = sy ص = é
ض = ç ط = ë
ظ = ì ع = `
غ = g ف = f
ق = q ك = k
ل = l م = m
ن = n و = w
ه = h ء = ‘
ي = y
Saddah
Penulisan saddah menggunakan konsonan rangkap seperti اﻟﻜﺸّﺎفditulis
al-kasysyãf
Maddah
ـــَﺎ = ã
ْــِﻲ = î
ْــُﻮ = ü
Diftong
ْ َـ
ﻲ = ai seperti ﺑ ﻦditulis baina
ْـَﻮ = au seperti اﻟ ﻮمditulis al-yaum
xviii
DAFTAR SINGKATAN
xix
ABSTRAK
CORAK PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD QURAISH
SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBÄH
Oleh
Badru Tamam
NIM : 04.2.00.1.05.01.0007
Dosen pembimbing
1
2 25
KATA PENGANTAR
24 1
Istri tercinta Hj. Nur Arfiyah Febriani, MA, CURICULUM VITAE
penulis menyampaikan penghargaan dan
penghormatan yang sedalam-dalamnya atas
dorongan dan semangat serta ketabannya mengikuti
Nama : Badru Tamam.
suami selama mengikuti program S2, terutama
dalam menyelesaikan tulisan ini. Tempat, tgl lahir : Karawang, 28 Desember 1976.
Kepada Bapak pembimbing, Prof. Dr. H.
Alamat : Jl. Pramuka 24 Krajan II
Muhammad Yunan Yusuf, MA. Dengan segala keter-
batasan yang penulis miliki bapak terus memberikan Rt/w: 06/05 Talagasari
motivasi dan masukan yang sangat membantu
Karawang Jawa Barat
penulis dan telah banyak memberikan bimbingan
yang amat berarti bagi penulis dalam Istri : Hj. Nur Arfiyah Febriani, MA.
menyelesaikan tesis ini.
Ayah / Mertua : H. Waktar / H. Murhain (alm)
Kepada tiga saudaraku, dr. H. Wawan
Anwarudin, dr. Aziz Ghafur dan Ali Nurdin, ST. Ibu / Mertua : Hj. Alsih / Hj. Mariyam Thaib
Terimakasih atas atensi, motivasi dan advise yang
diberikan selama ini kepada penulis, sehingga
menambah semangat penulis dalam menyelesaikan Pendidikan Formal :
kuliah ini.
§ Sekolah Dasar Negeri 1 Talagasari-Karawang,
Kepada Bapak Rektor, Direktur Pascasarjana
beserta seluruh dosen dan staf civitas akademika (1984-1990)
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
§ Madrasah Tsanawiyah Darussalam-Ciamis-Jawa
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
pendidikan yang baru kepada penulis, sehingga Barat, (1990-1993)
penulis dapat lebih konsen dalam mengkaji ilmu
§ Madrasah Aliyah Program Khusus Negeri (MAPKN)
pengetahuan yang dipilih meski tidak akan pernah
cukup. Darussalam-Ciamis-Jawa Barat, (1993-1996)
Kepada Bapak kepala beserta staf
§ S1, Fak. Uéuluddin Universitas Al-Azhar Kairo,
Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan Pasca
Sarjana UIN (Mr. Suali and Mr. Syukron), atas Tamat 2003.
penyediaan buku-buku yang menjadi referensi
§ S2 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
otoritatif dalam penulisan ini. Begitu pula kepada
teman-teman konsentrasi Tafsir Hadis angkatan 2004-sekarang.
2004 yang sangat rajin menanyakan perkembangan
tesis penulis serta menjadi teman diskusi.
2 23
Tafsir Al-Manar Jakarta: Lentera Hati, 2006. Penulis hanya dapat memanjatkan doa,
--------------, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama al-
memohon kepada Allah swt. Semoga Ia berkenan
menerima dan membalas segala jasa dan budi baik
Qur`an, Bandung: Mizan, 2007.
mereka kepada penulis serta memberikan balasan
--------------, Sejarah dan `Ulüm Al-Qur`an, Jakarta: yang hanya kepada-Nya penulis serahkan, Ämîn Yã
Pustaka Firdaus, 2001. Rabb al-'Älamîn,.
--------------, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan
Pemikiran , Jakarta: Lentera Hati, 2007. Jakarta, April 2008
4 21
al-Dãr al-Kuwaitiyyah, 1968. pahala dan sanksi yang harus diterima manusia.
Pandangannya ini sejalan dengan pendirian
Madkür, Ibrãhîm, Fi al-Falsafah al-Islãmiyyah,
Mu`tazilah.
Manhaj wa Tathbiquh, Maéri: Dãr al-Ma`ãrif,
Mengenai perbuatan Tuhan, yakni maksud
t.th.
dan tujuan Tuhan menciptakan segala sesuatu,
Müsa, Muhammad Yüsuf, al-Islãm wa Hãjah al- beban di luar batas kemampuan manusia, serta
Insãniyyah Ilaihy, Qãhirah: al-Majlis al-A`la li janji dan ancaman Tuhan, menurut Shihab juga
al-Su`ün al-Islãmiyyah, 1999. dihubungkan dengan aspek kepentingan manusia,
--------------, Al-Qur`an wa al-Falsafah, Qãhirah: Dãr yakni perbuatan Tuhan itu hanya diperuntukkan
al-Ma`ãrif, 1996. buat manusia, dan Tuhan tidak membebani manusia
terhadap sesuatu yang tidak bisa ia kerjakan; serta
Najjãr, Amir, Aliran Khawarij Mengungkap Akar janji dan ancaman Tuhan itu pasti terlaksana.
Perselisihan Umat, terjemahan oleh A. Dengan demikian, pandangannya itu sejalan dengan
Salihin Rasyidi dan Afif Muhammad, Jakarta: pendirian Mu`tazilah.
Lentera, 1993. Mengenai perbuatan manusia, ia
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan
Jakarta: UI Press, 1986. dalam memilih dan melakukan perbuatannya,
namun kebebasan itu tidak melebihi batas
--------------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
kemanusiannya dan sunnatullah yang telah
Mu`tazilah, Jakarta: UI-Press, 1987. diciptakan Allah. Dengan demikian pandangannya
Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta:
--------------, sejalan dengan pendirian Mu`tazilah.
Bulan Bintang, 1982. Sedangkan mengenai masalah
antropomorfisme, ia tidak menafsirkannya menurut
--------------,Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
arti harfiah, tetapi menafsirkannya menurut arti
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press,
majazi (metaforis). Dengan demikian,
1986.
pandangannya itu sejalan dengan pendirian aliran
Nasysyãr, `Ali Sãmi, Nasy`ah al-Fikr al-Falsafi fi al- rasional.
Islãm, Iskandariah, Dãr al-Ma`ãrif, 1965. Adapun mengenai masalah iman, ia
Qãsim, Maèmüd, Dirãsah fi al-Falsafah al- berpandangan bahwa iman tidak cukup hanya
Islãmiyyah, Qãhirah: Dãr al-Ma`ãrif, 1972. dengan taédîq, tetapi harus sejalan dengan
pembenaran dengan hati, ucapan dengan lidah dan
--------------, Manãhij al-Adillalh fi `Aqãid al-Millah li penyerahan jiwa dengan ditandai dengan amal
Ibn Rusyd ma`a Muqaddimah fi Naqd Madãris (perbuatan). Dengan demikian, pandangannya
`Ilm al-Kalãm, Qãhirah: Maktabah al-Anglo sejalan dengan pendirian Mu`tazilah.
al-Misriyyah, 1963.
20 5
Sumber data yang menghasilkan kesimpulan Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah dalam
di atas dikaji dengan pendekatan analisis kritis Islam, Padang: IAIN-IB Press, 2001.
terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New
Shihab tentang masalah-masalah kalam. Analisis York: Columbia University Press, 1983.
kritis ini dihubungkan dengan pemikiran-pemikiran
kalam dalam berbagai aliran: Mu’tazilah, al- Federspeil, Howard M., Kajian al-Qur’an di
Asy’ariyyah, Mãturidiyyah Samarkand dan Indonesia: Dari Mahmud Yünus hingga
Mãturîdiyyah Bukhara, sehingga akan tampak corak Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, Bandung:
atau kecenderungan pemikiran kalam Muhammad Mizan, 1996.
Quraish Shihab tersebut. Ghurãbah, Hamüdah, Abu Èasan Asy`ari, Qãhirah:
Penelitian ini berbeda dengan penelitian- Majma` al-Buhüê al-Islãmiyyah, 1973.
penelitian sebelumnya tentang pemikiran kalam
Muhammad Quraish Shihab. Perbedaanya terletak Heizer, Herman, Tafsir al-Mishbãh Lentera Bagi
pada sumber data primer yang digunakan, dan Umat Islam Indonesia, Majalah Êaqafah,
kesimpulan yang dihasilkannya. Dalam penelitian ini Jakarta vol. 1. No. 3. 2003.
digunakan Tafsir al-Mishbãh sebagai sumber data Hidayat, Qomarudin, Membaca Sosok Quraish
primer, dan dihasilkan kesimpulan bahwa corak Shihab, Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr.
pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab dalam H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa
Tafsir al-Mishbãh adalah rasional; sebaliknya dalam Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta. Aula
penelitian sebelumnya, seperti Mustafa P, tidak fatahillah, 28 September 1996.
digunakan Tafsir al-Mishbãh, dan kesimpulan yang
dihasilkannya pun berbeda, justru corak pemikiran Ibn Khaldün, `Abd al-Raèmãn, Muqaddimah Ibn
kalam Muhammad Quraish Shibah adalah Khaldün, Beirut: Dãr al-Fikr, 1981.
tradisional-normatif. Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab
Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Tesis Program
Pascasarjana UIN Jakarta, 2002.
Izutsu, Toshiko, God and Man in the Qur`an, Tokyo:
Keiko University, 1964.
Kamal, Zainun, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab,
M.A. Pemikirannya dalam bidang Tafsir dan
Teologi. Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr.
H.M. Quraish Shihab, M.A, Ciputat-Jakarta,
1996.
Khalãf, `Abdul Wahãb, `Ilm Uéül al-Fiqh, Kuwait:
6 19
Khalif, Istambul: al-Maktabat al-Islãmiyah,
1979.
--------------, Ta`wîil al-Sunnah, Qãhirah: Dã al-
Kutub al-Misriyyah, t.th.
Al-Syahrastãi, Muèmmad Ibn `Abdul Karîm, al-Milal
wa al-Nihal, Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th.
--------------, Nihãyat al-Iqdãm fi `Ilm al-Kalãm, (Ed.),
Alfred Guillaume, London, Oxford University
Press, 1934.
Al-Syãëibi, Abu Isèãq, al-Muwãfaqãt fi Uéül al-
Syar`îyyah, Maéri: al-Maktabat al-Tijãriyyah
al-Kubra, 1975.
Al-Zamakhsari, Abu al-Qãsim Jãr Allah Maèmüd Ibn
`Umar al-Khawãrizmi, al-Kasysyãf `an
Haqã`iq Gawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-
Aqãwîl fi Wujüh al-Ta`wîl, Beirut: Dãr al-
Kutub al-`Ilmiyyah, 1995.
Al-Zarqãni, Muèammad Abdul Aìîm Manãhil al-Irfãn
fi `Ulüm al-Qur`an, Beirut: Dãr al-Kutub al-
Ilmiah, 1996.
Amîn, Aèmad, Fajrul al-Islãm, Qãhirah: Maktabat
al-Usrah, 2000.
Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir
al-Mishbãh, Disertasi Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2006.
Anwar, Hamdani, Mimbar Agama dan Budaya
(selanjutnya tertulis Mimbar Agama) vol. xix,
no. 2, 2002
Baidan, Nasharuddin, Metodologi Penafsiran al-
Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
18 7
ABSTRACT --------------, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-
zaig wa al-Bida`, Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2000, cet 1.
Badru Tamam: --------------, Mãqãlat al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-
“The Theological Thinking Pattern of Muhammad Muéallîn, (Ed) Muèammad Muhyiddîn Abdul
Quraish Shihab in Tafsir Al-Mishbãh” Hamîd, Beirut: Maktabat al-Asriyyah, 1990.
This research proves that the theological Al-Bagdãdi, Abu Manéür `Abd al-Qãhir Ibn Ëãhir al-
pattern of Muhammad Quraish Shihab in Tafsir al- Tamîmi, Kitãb Uéüluddîn, Beirut: Dãr al-
Mishbãh is rational, because several problems of Madînah, 1928.
kalam in his tafsir are similar to the kalam ideas --------------, Al-Farq bain al-Firaq, (Ed.) Muèammad
Mu`tazilah and Mãturîdiyyah Samarkand. On the Muhy al-Dîn `Abd al-Hamîd, Beirut: Maktabat
contrary, the similarity is less than the idea of al-`Asriyyah, 1990.
traditional kalam, Asy`ariyyah and Mãturîdiyyah
Al-Bayãdi, Kamal al-Dîn Aèmad, Isyãrat al-Marãm
Bukhara.
min Ibãrat al-Imãm, (Ed), Yusuf Abd al-
That conclusion is drawn from al-Mishbãh as
Razzaq, Qãhirah: Mustafa al-Bãbi al-Halabi
the main source that studying kalam verses that
wa Aulãduh, 1949.
constitute the power and the will of God, the
justice, the act of God, the act of human, Al-Bazdãwi, Abu Yusr Muèammad, Kitãb
anthropomorphism, and doctrine of believe. Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss, Qãhirah:
That conclusion is supported by the following Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963.
data: the problem of the absolute power and will of Al-Farmawi, Abd al-Èayy, al-Bidãyah fi al-Tafsîr al-
God by Muhammad Quraish Shihab is not absolute. Mauçü`i Dirãsah Manhajiyyah Maudüiyyah,
This opinion is similar to Mu`tazilah’s and T.tp, T.p, 1976.
Maturidiyyah Samarkand’s standing point.
Related to the justice of God, Muhammad Al-Ghazãli, Abu Èamîd, Al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd,
Quraish Shihab sees it from the importance and the Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1988.
goodness of mankind point of view. It relates to the Al-Hasani, Sayyid Muèammad Ibn `Alawi al-Maliki,
sanction and reward being received by man. This al-Manhal al-Laëîf fi Uéül al-Hadîê al-Sarîf,
point of view is similar to Mu`tazilah point of view. Mekah: Wizãrat al-I`lãm, 1990.
Concerning to the act of God, namely God’s
purposes and objectives in creating everything, Al-Ïji, Abdurraèmãn Ibn Aèmad, al-Mawãqif Fi `Ilm
beyond human ability. God’s threat and promise al-Kalãm, Beirut: `Alam al-Kutub, t.t
according to Muhammad Quraish Shihab also related Al-Mãtürîdi, Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad
to the important aspect of human, namely the act Ibn Maèmüd, Kitãb al-Tauèîd, (Ed), Fatèullah
8 17
DAFTAR PUSTAKA of God only destining man Create, and God does not
burden human which he can not do; and also God’s
threat and promise have to be happened. Thereby,
`Abdul Jabbãr, Al-Qãçi, al-Mughnî Fi Abwãb al- that opinion is similar to Mu`tazilah's point of view.
Tauhîd wa al-`Adl, Maéri: al-Dãr al-Misriyyah Related to the act of man, Muhammad
li al-Ta`lîf wa al-Tarjamah, 1965. Quraish Shihab views that human has a freedom to
choose and act, but the freedom does not beyond
Syarè al-Ushül al-Khamsah, Qãhirah:
--------------,
the human’s ability and sunnatullah. Thereby, His
Maktabat Wahbah, 1996.
view is similar to the Mu`tazilah’s point of view.
--------------, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Related to the anthropomorphism,
Muèammad Zarzawar, Qãhirah: Dãr al-Turãs, Muhammad Quraish Shihab does not interpret it
1969. literally, but interpret it metaphorically. Thereby,
--------------, Tanzîh al-Qur`an `an al-Mathîn, Beirut: his opinion is similar to the rational school.
Dãr al-Nahdhah al-Hadîê, t.th. Concerning to the problem of faith, he sees
that the faith is not only by tasdîq, but also by
Abidat, Abdul Karîm Naufãn`, Al-Dilãlat al- justification of heart, utterance by tongue, and
`Aqliyyah fi al-Qur`an wa Makãnatuhu fi delivery of soul marked by charitable. Thereby, his
Masãil al-`Aqîdat al-Islãmiyyah, Ummãn: Dãr opinion is similar to the Mu`tazilah's point of view.
al-Nafã`is, 1420 H/ 2000 M. The data sources are approached by critical
Abü Zahrah, Muèammad, Tãrikh al-Maíãhib al- analysis to Muhammad Quraish Shihab’s opinion
Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-Aqã`id, concerning problem of kalam. This critical analysis
Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th. attributed to the idea of kalam in many streams:
Mu'tazilah, al-Asy'ariyyah, Mãturîdiyyah Samarkand,
--------------, Maíahib al-Islãmiyyah, Maéri: Matba`at
and Mãturîdiyyah Bukhara. This approach would
al-Namüíajiyyah, t.th. show the tendency of kalam idea of Muhammad
Al-Ahwãni, Aèmad Fuãd, al-Falsafah al-Islãmiyyah, Quraish Shihab.
Qãhirah: al-Muassasah al-Miériyyah al-‘Ämah. This research differs from the previous
1962. researches about kalam views of Muhammad
Quraish Shihab. The main difference is the primary
Al-Amîdi, Saif al-Dîn Abi al-Èasan `Ali bin Ali bin
source and conclusion. This research concludes that
Muèammad, al-Ièkãm fi Uéül al-Aèkãm,
the pattern of kalam of Muhammad Quraish Shihab
Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1958.
in his tafsir is rational. On the contrary, the other
Al-Asy`ari, Abu al-Èasan Ismãil, al-Ibãnat an Uéül researches like Mustafa P which Tafsir al-Mishbãh is
al-Diyãnah, Beirut: Maktabat Dãr al-Bayãn, not applied, the main conclusion drawn is do
1999.
16 9
different. The pattern of kalam view of Muhammad
Quraish Shibah is tradisional-normatif.[]
ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﺗﻔﺴ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻟﺘﻔﻜ " ﻟﻮ D. Perbuatan Tuhan ................... 111
BAB IV PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH
" ﺳﺎﻟﺔ ﳌﺎﺟﺴﺘﺮ ﺑﺎﳉﺎﻣﻌﺔ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻟﺪﻛﺘﻮ SHIHAB TENTANG MANUSIA ............. 123
.2008 ﻻﺳﻼﻣﻴﺔ ﳊﻜﻮﻣﻴﺔ " ﺷﺮﻳﻒ ﻫﺪ ﻳﺔ ﷲ " ﺟﺎﻛﺮﺗﺎ A. Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu
10 15
DAFTAR ISI ﻹ ﻰ ،ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻌﺎ ﷲ ،ﻗﻀﻴﺔ ﻓﻌﺎ ﻟﻌﺒﺎ ،ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﺘﺠﺴﻴﻢ
SURAT PERNYATAAN ................................. ii
ﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ،ﻗﻀﻴﺔ ﻻﳝﺎ .
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................... iii ﳋﻼﺻﺔ ﳌﺬﻛﻮ ﻳﺆﻳﺪﻫﺎ ﻟﻶﺗﻴﺔ :ﻗﻀﻴﺔ ﻟﻘﺪ
ABSTRAK ..........................................iv ﻳﻪ ﻣﺎ ﻻ ﻹ ﻴﺔ ﻳﺮ ﺎ ﻻﻳﺼﻠﺢ ﻴﻌﻬﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﳝﻴﻞ
KATA PENGANTAR .................................... x
.
ﻋﻠﻴﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ
DAFTAR ISI .......................................... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................... xiv ﻗﻀﻴﺔ ﻟﻌﺪ ﻹ ﻰ ﻫﻮ ﻳﻨﻈﺮ ﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﳌﺼﻠﺤﺔ
DAFTAR SINGKATAN .................................. xv ﺼﻞ ﻟﻌﻘﺎ ﻟﺬ ﺐ ﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ ﻳﻌﻠﻘﻬﺎ ﺑﺎﻟﺜﻮ
BAB I PENDAHULUAN............................. 1
ﻋﻠﻴﻪ ﻹﻧﺴﺎ ،ﺑﺬﻟﻚ ﳝﻴﻞ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ.
A. Latar Belakang Masalah ............. 1
B. Pokok Permasalahan ................. 8
ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻌﺎ ﷲ ﻟ ﺗﻌ ﳌﻘﺼﻮ ﻟﻐﺎﻳﺔ ﻣﻦ
C. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ﻓﻌﻞ ﷲ ﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﻣﺎ ﻻﻳﻄﺎ ،ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﻮﻋﺪ ﻟﻮﻋﻴﺪ
9 ﻟﻔﻌﻞ ﻹ ﻰ ﻻﺑﺪ ﻳﺮ ﺎ ﺑﻌﻨﺼﺮ ﳌﺼﻠﺤﺔ ﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ،
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .... 10
ﻓﻌﺎﻟﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎ ، ﻳﻜﻮ ﻓﻴﻪ ﺧ
E. Kajian Pustaka ........................ 11
F. Metodologi Penelitian ............... 13 ﷲ ﻻﻳﻜﻠﻔﻬﻢ ﻣﺎ ﺗﻌﺎ ﺗﻜﻮ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﳊﻜﻤﺔ،
G. Sistematika Penulisan ............... 14 ﻳﻮ ﻓﻖ ﻋﻠﻴﻪ ﷲ ﻻ ﻠﻒ ﳌﻴﻌﺎ .ﻫﺬ ﻟﺮ ﻻﻳﻄﻴﻘﻮ
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH
ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ.
SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÄH...... 16
A. Biografi M. Quraish Shihab.......... 16
ﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﺘﺠﺴﻴﻢ ،ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻳﻔﺴﺮ
B. Karya-karyanya ...................... 27 ﺎ ،ﻓﺮ ﻳﻪ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻳﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻌ
C. Tafsir Al-Mishbãh .................... 32 ﻻﻧﺴﺎ ﻋﻠﻴﻪ .ﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻌﺎ ﻟﻌﺒﺎ ﻫﻮ ﻳﺮ
ﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ
14 11
ﻟﺴﻌﻰ ﻻﺧﺘﻴﺎ ﻓﻌﻞ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻘﻖ ﻟﺘﺨﻄﻴﻞ ﻻ ﺜﻪ ﺗﻔﺴ ﻟﺒﺎﺣﺜﲔ ﻟﺴﺎﺑﻘﲔ ﻣﻨﻬﺎ :ﻣﺼﻄﻔﻰ ﻻ ﻳﺴﺘﺨﺪ
.ﻟﻪ ﳋ ﻳﻀﻤﻦ ﻟﻪ ﻟﺮﻓﺎ ﻟﻚ ﻓﺮ ﻳﻪ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻳﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﳌﺼﺒﺎ ،ﻣﺒﺎﺷﺮ ﻳﻔﺮ ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻻﺳﺘﻨﺒﺎ
ﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻻﳝﺎ ،ﻳﺮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻫﻮ ﻟﻮ
ﻻﳝﺎ ﻫﻮ ﺗﺼﺪﻳﻖ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ ﻗﺮ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎ ﻋﻤﻞ ﺑﺎﻻ ﻛﺎ . ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻟﻨﻘﻠﻰ ﻻ .
ﻣﺎ ﻣﺼﺎ ﺑﻴﺎﻧﺎ ﻫﺬ ﻟﺒﺤﺚ ﺳﻴﻜﻮ ﻫﻨﺎ ﻃﺮﻳﻖ
ﻋﻦ ﻣﺴﺎﺋﻞ ﻟﻠﺒﺤﺚ ﲢﻠﻴﻞ ﻓﻜﺎ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ
ﻟﺘﺤﻠﻴﻞ ،ﻳﻌ ﳌﻘﺎ ﻧﺔ ﺑﲔ ﻟﻜﻼ ﺑﺎﺳﺘﺨﺪ ﻣﻨﻬﺞ ﳌﻘﺎ
ﺑﺄ ﻋﻠﻤﺎ ﻟﻜﻼ ﻟﺴﺎﺑﻘﲔ :ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ، ﻓﻜﺎ
ﻷﺷﻌﺮﻳﺔ ،ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻟﺒﺨﺎ ،ﻣﻦ ﺟﻞ
ﻟﻚ ﻳﻈﻬﺮ ﻟﺒﺤﺚ ﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ
ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ .
ﻟﻮ ﻳﻔﺮ ﻫﺬ ﻟﺒﺤﺚ ﻣﻦ ﻟﺒﺎﺣﺜﲔ ﻟﺴﺎﺑﻘﲔ
ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ،
ﺗﻨﺘﺞ ﻻﺳﺘﻨﺒﺎ .ﻣﺎ ﻫﺬ ﻻﻓﺘﺮ ﻗﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﳌﺼﺎ
ﺜﻪ ﻣﻦ ﻣﺼﺪ ﳌﺮ ﺟﻊ ﻋﻨﻪ ﻫﻮ ﻟﺒﺤﺚ ﻳﺴﺘﺨﺪﻣﻪ ﻟﺒﺎﺣﺚ
ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ،ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ ﻟﺪ ﺳﺔ ﺟﺪ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ
ﻟﻜﻼﻣﻰ ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ
ﺷﻬﺎ ﻫﻮ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻟﻌﻘﻠﻰ ،ﻋﻠﻰ ﻟﻌﻜﺲ ﻣﻦ
12 13
BAB I
PENDAHULUAN
1
Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik
untuk keperluan di dunia maupun untuk kepentingan di akhirat kelak.
2
Muèammad Abdul Aìîm al-Zarqãni, Manãhil al-Irfãn fi `Ulüm al-Qur`an, (Beirut:
Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1996), Jilid I, h. 21.
3
Sayyid Muèammad Ibn `Alawi al-Maliki al-Èasani, al-Manhal al-Laëîf fi Uéül al-
Hadîs al-Syarîf, (Makkah: Wizarat al-I`lam, 1990), h. 8.
1
2
terhadap ajaran yang dibawa oleh al-Qur`an. Berdasarkan dua sumber ini
Islam berkembang di sepanjang sejarahnya.
Sepeninggalan Nabi Muhammad saw. tidak ada seorangpun yang
dapat berperan sebagai referensi dan rujukan keagamaan dengan kadar
yang mutlak sifatnya, maka upaya pemahaman terhadap ajaran Islam,
khususnya terhadap hal-hal yang tidak bersifat qaë’î al-dilãlah (teks yang
tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfiahnya) 4 yang
terdapat dalam al-Qur`an, dilakukan melalui mekanisme kegiatan
intelektual yang dalam istilah teknisnya disebut ijtihãd. 5 Suatu hal yang
tidak dapat dihindarkan, sebagai konsekuensi logis dari kerja ijtihad
tersebut adalah timbulnya perbedaan paham dan pendapat di kalangan
ulama Islam dalam memberikan penafsiran terhadap konsep-konsep
keagamaan yang bersifat ijtihãdî, sebagaimana yang terdapat di dalam al-
Qur`an, dan inilah yang melahirkan mazhab-mazhab atau aliran-aliran
dalam Islam.6
4
Qaë`î al-Dilãlah yang hakikatnya, menurut ‘Abdul Wahãb Khalãf, adalah yang
menunjukkan kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks); tidak
mengandung kemungkinan ta`wil serta tidak ada tempat atau peluang untu memahami
makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut). ‘Abdul Wahãb Khalãf, `Ilm Uéül al-
Fiqh, (Kuwait: al-Dãr al-Kuwaitiyyah, 1968), cet VIII, h 35. Naé qaë’î menurut al-Syãëibî
adalah nas yang tidak diragukan lagi pemahamannya, seperti dalil tentang kewajiban
shalat, zakat, puasa, haji. Al- Syãëibî, al-Muwafaqãt fi Uéül al-Syar`iyyah, Jilid IV(Masri:
al-Maktabat al-Tijãriyyah al-Kubrã, 1975), h. 16.
5
Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk mencari ìannî melalui dalil-dalil
taféilî (terperinci).
6
Hal ini memang wajar dan mungkin terjadi di dalam Islam karena al-Qur`an yang
merupakan sumber utama ajaran Islam, sebagian dari ayat-ayatnya memungkinkan untuk
diberi lebih dari satu macam interpretasi atau penafsiran. Sebagimana diketahui, seluruh
ayat al-Qur`an bersifat absolut benar dari Allah (qaë’î al-wurüd), akan tetapi tidak semua
ayat itu mengandung arti qaë’î. karena itu para ulama membuat perbedaan antara nas ayat
yang artinya boleh lebih dari satu kemungkinan interpretasi (ìanni al-dilãlah). Terhadap
nas-nas ìannî al-dilãlah ini, para ulama dapat berbeda paham dan berlainan pendapat
tentang arti dan interpretasinya. Dan hal ini pulalah menyebabkan timbulnya mazhab-
mazhab dan aliran-aliran dalam Islam. Tetapi perbedaan-perbedaan yang terdapat di
antara aliran itu tidaklah mengenai dasar-dasar agama, akan tetapi perbedaan itu pada
umumnya mengenai cabang (furu'`) dari dasar-dasar agama. Lihat Harun Nasution, Akal
dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet ke-2, h. 34.
3
7
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yünus hingga
Quraish Shihab, dalam edisi terjemahan oleh: Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996). h.74.
4
8
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur`an, (selanjutnya tertulis Tafsir al-Mishbãh). (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet V, vol I,
h. ix. Herman Heizer, Tafsir al-Mishbãh Lentera bagi Umat Islam Indonesia, Majalah
Êaqafah, Jakarta vol. 1. No. 3. 2003. h. 91.
9
Teks ayat:
žwÎ) |=»tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uZø9t“Rr& !$tBur
ÏmŠÏù (#qàÿn=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞOçlm; tûÎiüt7çFÏ9
ÇÏÍÈ šcqãZÏB÷sム5Qöqs)Ïj9 ZpuH÷qu‘ur “Y‰èdur
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. al-Naèl [16]: 64).
10
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1993), cet
V, h. 72.
5
dengan itu, maka tafsir al-Qur`an sebagai upaya dalam memahami dan
mengungkap isi serta prinsip-prinsip ajaran Islam, termasuk ajaran yang
berkaitan dengan akidah memperlihatkan pula kecenderungan aliran kalam
penafsirnya. Dalam terminologi Islam, ilmu yang sejenis itu disebut ilmu
Usuluddin atau ilmu Tauhid. Aèmad Fuãd al-Ahwãni menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan ilmu kalam ialah ilmu yang memperkuat akidah-
akidah agama Islam dengan menggunakan berbagai argumentasi rasional. 11
Menurut Abdurrahman al-Ïji ilmu kalam ialah ilmu yang mampu menguatkan
teologi keagamaan terhadap orang lain dan mampu menghilangkan keraguan
dengan menggunakan argumentasi.12 Sementara Ibn Khaldün mendefinisikan
ilmu kalam ialah ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-
dalil rasional serta kritik terhadap ahli bid’ah yang melakukan
penyimpangan teologis dari mazhab salaf dan ahlussunnah.13 Lebih lanjut,
membawa kita kepada pertanyaan, bagaimana sebenarnya corak pemikiran
kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut, di samping akan membantu
kita dalam menempatkan posisi pemikiran Muhammad Quraish Shihab di
tengah-tengah para teolog Islam yang lain, juga akan membantu kita dalam
mengidentifikasi aliran pemikiran kalamnya.
Tokoh seperti Muhammad Quraish Shihab amat menarik untuk
dijadikan objek kajian dan penelitian bukan hanya karena perlu membuat
deskripsi dan analisis mengenai kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitasnya
dalam menjalankan peran dan fungsi keulamaannya saja, tetapi juga karena
perlu diungkapkan dan dibahas pemikiran keagamaan yang seperti apa yang
dibawa dan disodorkan oleh Muhammad Quraish Shihab ini kepada
11
Aèmad Fuãd al-Aèwãni, al-Falsafah al-Islãmiyyah, (Kairo: al-Muassasah al-
Miériyyah al-‘Ämah. 1962), h. 18.
12
Abdurraèmãn Ibn Aèmad al-Ïji, al-Mawãqif Fi `Ilm al-Kalãm, (Beirut: Alam al-
Kutub, t.t), h. 7.
13
Ibn Khaldün, Muqaddimah Ibn Khaldün, (Beirut: Dãr al-Fikr, 1981), h. 580.
6
Quraish Shihab. Aspek ini diambil sebagai fokus bahasan karena aspek ini
dipandang cukup kuat pengaruhnya terhadap pembentukan keyakinan, sikap
dan pandangan hidup manusia.
Jika hanya dilihat dari pernyataannya sebagaimana terdapat dalam
tulisan-tulisannya, Muhammad Quraish Shihab memang mengidentifikasi
dirinya sebagai penganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Oleh karena
itu aliran Asy`ariyyah dipandang sebagai aliran teologi Islam yang
berkembang secara umum di Indonesia maka dengan mudah pula orang akan
menyatakan bahwa Muhammad Quraish Shihab ini tergolong penganut aliran
tersebut. Tetapi persoalan yang timbul adalah; apakah benar demikian
keadaan yang sesungguhnya? Persoalan ini timbul ketika dihubungkan antara
analisis teoritis dari implikasi teologi Asy`ariyyah dan kenyataan Muhammad
Quraish Shihab ini. Sebagaimana diketahui, teologi Asy`ariyyah pada
prinsipnya bersifat tradisional, dan implikasi dari ajaran-ajarannya dapat
membuat penganut-penganutnya menjadi individu-individu atau masyarakat
statis. Paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yang terdapat dalam
teologi Asy`ariyyah, sebagai contoh dapat mematikan kreatifitas manusia
dan menjurus kepada pembentukan pribadi yang serba ditentukan karena
manusia menurut paham ini, tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan
dan perbuatan-perbuatannya. Manusia yang menganut paham ini cepat
menyerah kepada apa yang disebut nasib dan takdir. Sikap itu sering pula
dibarengi oleh rasa pasrah dan enggan untuk berusaha.14
Sepertinya, kesan yang seperti itu sulit dikenakan kepada Muhammad
Quraish Shihab apabila dilihat kenyataan kreatifitas hidupnya. Dari hasil
penelitian mengenai biografi dan perjuangannya, diperoleh kesan kuat
14
Meskipun Asy`ari, pendiri aliran Asy`ariyyah berusaha membuat semacam modus
vivendi antara paham Jabariyah dan Qadariyah dengan mengemukakan konsep kasb
(acquisition), namun dia dengan konsep tersebut ternyata lebih dekat kepada paham
Jabariyah. Muèammad Yüsuf Müsã, al-Qur`ãn wa al-Falsafah, (Kairo: Dãr al-Ma`ãrif, 1958),
h. 97
8
15
Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. (QS. al-Baqarah [2]: 272)
16
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 584.
9
bahwa ia telah menakwilkan atau menafsirkan wajah Allah pada ayat di atas
dengan arti majãzi (metaforis), yaitu keridhaan Allah. Tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi menakwilkannya
kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian Allah dari sifat-sifat
yang tidak layak bagi-Nya. Uraian di atas memperkuat hipotesa bahwa
Muhammad Quraish Shihab sebenarnya dapat digolongkan sebagai penganut
paham rasional dalam pemikiran kalam. Hipotesa tersebut akan diuji lebih
lanjut dalam corak penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-
ayat kalam dalam tesis ini yang diberi judul: “Corak Pemikiran Kalam
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh.”
B. Permasalahan Pokok
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam dikenal adanya dua
corak pemikiran kalam, yaitu pemikiran kalam yang bercorak rasional dan
pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam bercorak
rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan daya yang kuat kepada
akal, kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna literal,
mengambil arti metaforis dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-
Qur`an, dan bersifat dinamis dalam sikap dan berpikir. Pendirian ini
terdapat dalam aliran Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.17
Sebaliknya, pemikiran kalam bercorak tradisional adalah pemikiran
kalam yang menekankan kemampuan akal yang rendah, ketidakbebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan, kekuasaan dan kehendak Tuhan
yang berlaku semutlak-mutlaknya, terikat kepada arti harfiah atas terks
17
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 150.
10
wahyu, serta statis dalam sikap dan berpikir. Paham ini terdapat dalam
aliran Asy`ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.18
Muhammad Quraish Shihab terlahir di tengah keluarga yang harmonis,
beliau lahir di sebuah daerah bernama Rappang, Sulawesi Selatan pada
19
tanggal 16 Pebruari, tahun 1944. Dalam dunia tafsir al-Qur`an di
Indonesia, disiplin ilmu ini tidak terlepas dari salah satu nama ulama yang
sangat populer ini. Karena kiprah ulama kreatif ini, tidak hanya
berkonsentrasi dalam bidang tafsir al-Quran saja, akan tetapi dalam
berbagai bidang yang lain. Di antara kiprahnya dalam kancah dunia ilmu
antara lain adalah produktif di dalam mengarang buku. Buku-buku yang
beliau karang adalah buku dengan judul yang sangat menarik dan dapat
dipahami isinya oleh masyarakat pada umumnya. Dengan gaya bahasa yang
lugas dan sederhana, pengarang kenamaan " Tafsir al-Mishbãh " ini,
berhasil menyampaikan da'wahnya kepada masyarakat dengan berbagai
macam metode. Baik di dalam kelas, forum diskusi, pengajian, acara-acara
di televisi atau karya-karyanya dalam bentuk tulisan yang hampir
keseluruhan dari karya-karyanya menjadi "Best Seller” .
Diantara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir al-
Mishbãh bisa dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri dari
15 volume ini mulai ditulis pada tahun 1999 sampai 2004. Kehadiran tafsir
ini kiranya semakin mengukuhkan Muhammad Quraish Shihab sebagai tokoh
tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Sehubungan dengan itu, maka masalah pokok yang menjadi kajian
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: bagaimana corak
pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh ?
Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbãh
18
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 151.
19
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1993) Cet.
ke-5, h. 6.
11
E. Kajian Pustaka
Sepanjang penelitian penulis, ada beberapa orang yang mengkaji
pemikiran Muhammd Quraish Shihab, namun penulis berbeda dengan penulis
sebelumnya. Beberapa contoh tulisan ilmiah dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Howard M. Federspiel membuat sebuah kajian singkat tentang
Muhammad Quraish Shihab dengan mendasarkan pada tiga karyanya,
yaitu Membumikan al-Qur’an, Lentera Hati dan Wawasan al-Qur’an.
Kajian tersebut khusus dipersiapkan Howard M. Federspiel untuk edisi
terjemahan Indonesia dari bukunya dimaksud (edisi asli dalam bahasa
Inggris berjudul: Popular Indonesian Literature of the Qur’an, terbit
tahun 1994). Dalam kajiannya Howard M. Federspiel menggambarkan
bahwa buku pertama dari tiga karya Muhammad Quraish Shihab di atas
adalah “memberikan ikhtiar nilai-nilai agama yang baru”, buku kedua “
meletakkan dasar bagi kepercayaan dan praktik Islam yang benar”,
sementara buku ketiga memberikan wawasan tentang “perilaku dan al-
Qur’an”. Secara keseluruhan kajian Howard tidak menyentuh secara
mendalam substansi pemikiran Muhammad Quaish Shihab.20
2. Disertasi yang ditulis oleh Anshori pada tahun 2006 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berjudul Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam
Tafsir al-Mishbãh. Disertasi ini menyebutkan cara dan langkah yang
ditempuh Oleh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbãh. Disertasi ini tidak menganalisis corak
20
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yünus hingga
Quraish Shihab, dalam edisi terjemahan oleh: Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), h. 293-
300.
14
21
Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al-Mishbãh, Disertasi
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006)
22
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan Al-Qur’an,
Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002.
23
Mustafa P, “Corak pemikiran Kalam M. Quraish Shihab (1984-1999), Tesis
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001), h. 16.
15
F. Metodologi Penelitian
Kajian yang penulis lakukan ini adalah kajian kepustakaan (library
research). Karena itu, kajian tersebut hanya menggunakan sumber-sember
kepustakaan yang ada kaitannya dengan masalah pokok. Metode yang
penulis pakai dalam melaksanakan kajiannya adalah sebagai berikut:
Pertama, mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang telah dijadikan argumen
oleh setiap aliran kalam dalam Islam untuk memperkuat pendirian dan
paham masing-masing terhadap masalah-masalah teologi. Yang dimaksud
dengan aliran-aliran di sini adalah Mu’tazilah, al-Asy’ariyyah, Maturidiyyah
Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara.
Kedua, menentukan ayat-ayat yang dianggap mewakili ayat-ayat yang
telah dijadikan argumen oleh setiap aliran jika terdapat persamaan antar
ayat tersebut, baik dari segi teksnya maupun isinya.
16
G. Sistematika Penulisan
Agar mencapai tujuan yang diinginkan, penulisan tesis ini
menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama atau pendahuluan, mencakup latar belakang masalah,
masalah pokok, ruang lingkup dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metodologi, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, biografi Muhammad Quraish Shihab dan Tafsir al-Mishbãh
memuat biografi Muhammad Quraish Shihab, karya-karyanya, dan Tafsir al-
Mishbãh.
Pada bab ketiga dan keempat baru dijelaskan pemikiran kalam
Muhammad Quraish Shihab tentang masalah-masalah kalam, yang diperoleh
melalui penafsirannya di dalam Tafsir al-Mishbãh terhadap ayat-ayat kalam.
Pemikiran Muhammad Quraish Shihab tersebut langsung dianalisis satu
persatu pada kedua bab tersebut. Pada bab ketiga, khusus dikemukakan
pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang ketuhanan. Masalah-masalah
tersebut mencakup sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
keadilan Tuhan, dan perbuatan Tuhan. Pada bab keempat, dikemukakan
pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang manusia. Masalah-masalah
tersebut mencakup kemampuan akal dan fungsi wahyu, perbuatan manusia,
dan konsep iman.
Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-
saran.
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
DAN TAFSIR AL-MISHBÄH
1
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1993), cet.
ke-5, h. 6.
18
19
2
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, (selanjutnya tertulis Tafsir Yang Membumi)
Majalah Êaqafah, Jakarta Vol. 1. No. 3. 2003. h. 82.
3
Zainun Kamal, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A. Pemikirannya dalam bidang
Tafsir dan Teologi. Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta. Aula Fatahillah, 28 September 1996. h. 3.
4
Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), h.
295
5
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
20
6
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
7
Hamdani Anwar, Mimbar Agama dan Budaya (selanjutnya tertulis Mimbar Agama)
vol. xix, no. 2, 2002, h. 170.
8
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
21
9
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 170
10
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 82.
11
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 170
12
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 14.
22
13
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 170
14
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
23
15
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
16
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 6.
17
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
24
18
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
25
19
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
20
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
26
21
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 6.
27
22
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 6.
23
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 86.
24
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 87.
28
25
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 87.
26
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, h. 6
29
27
Komarudin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, Seminar Sehari: Pemikiran
Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta.
Aula Fatahillah, 28 September 1996, h. 3.
28
Komarudin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, h. 3
29
Komarudin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, Seminar Sehari: Pemikiran
Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta.
Aula Fatahillah, 28 September 1996, h. 3.
30
30
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an. h. 6.
31
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 7.
32
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 7.
31
33
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan Al-Qur’an,
(selanjutnya tertulis Metodologi Muhammad Quraish Shihab) (Jakarta: Tesis Program
Pascasarjana Jurusan Tafsir Hadiê UIN Jakarta, 2002), h. 19.
34
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab, h. 19.
32
35
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur`an Studi Kritis atas Tafsir Al-
Manar (selanjutnya tertulis Rasionalitas Al-Qur`an) (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet ke-1,
h. 3.
33
Agama Tarmizi Taher pada tanggal 3 Juli 1993. Materi yang terhimpun
dalam karya ini adalah makalahnya sampai tahun 1996.
• Menyingkap Tabir Ilahi: Al-Asmã Al-Husnã dalam Perspektif Al-Qur`an
(Jakarta: Lentera Hati, 1998). Isi buku ini khusus menjelaskan
pengertian Al-Asmã Al-Husnã yang jumlahnya 99.
• Mahkota Tuntunan Ilahi Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Untagama,
1998). Isinya merupakan uraian dari kandungan surat al-Fatihah. Latar
belakang terbitnya buku ini antara lain karena surat al-Fatihah sebagai
ummul Qur`an yang mengandung pengakuan tauhid, pengakuan atas ke
Esaan Allah swt, pengakuan akan adanya hari kemudian, dan semua
pengabdian hanya tertuju kepada Allah swt.36
• Mukjizat Al-Qur`an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997). Isinya berupa uraian tentang
segi-segi keistimewaan dari Al-Qur`an dan juga unsur kemukjizatannya.
• Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat (Jakarta: Lentera Hati,
1999). Isinya berupa uraian tentang persoalan-persoalan yang gaib yang
ada di sekitar kita.
• Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur`an (Bandung: Mizan,
1999). Buku ini merupakan rangkuman dari ceramah-ceramah
Muhammad Quraish Shihab pada pengajian yang diselenggarakan di
Departemen Agama, Masjid Istiqlal, dan forum Konsultasi dan
Komunikasi Badan Pembinaan Rohani Islam (FOKUS BAPINROHIS) tingkat
pusat untuk para eksekutif.
• Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil
(Jakarta: Lentera Hati, 2001). Buku ini berbicara tentang alam sesudah
adanya kematian, dan mengajak pembaca untuk membayangkan
36
Muhammad Quraish Shihab, Mahkota Tuntunan Ilahi, (Jakarta: Untagama, 1998),
h. 1.
34
37
Muhammad Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah
swt. (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. ke-3, h. vi.
38
Muhammad Quraish Shihab, Dia Dimana-mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. ke-
1, h. ix.
35
C. Tafsir al-Mishbãh
Di antara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir al-
Mishbãh bisa dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri dari
15 volume ini mulai ditulis pada tahun 1999 sampai 2004. Kehadiran tafsir
ini kiranya semakin mengukuhkan Muhammad Quraish Shihab sebagai tokoh
tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Nama lengkap tafsir ini adalah Tafsir al-Mishbãh: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur`an. Ada pun penamaan tafsirnya dengan al- Mishbãh, bila
dilihat dari kata pengantarnya ada penjelasan yaitu, al-Mishbãh berarti
lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yang memberi
penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Muhammad Quraish
39
Muhammad Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.ke-1, h. vii-
viii.
40
Muhammad Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur`an: Kalung Permata Buat Anak-
anakku (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. ke-1, h. xii.
38
41
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 176.
42
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 177.
39
43
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. ix.
40
46
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. xiii.
47
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 180-181.
48
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain: (1) Ruang lingkup yang luas,
karena metode ini dapat digunakan dalam dua bentuk yaitu ma`sur dan ra`yi. Bentuk al-
Ra`yi dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing mufassir. (2) Memuat berbagai ide. Mufassir mempenyai kebebasan dalam
memajukan ide-ide dan gagasan baru dalam menafsirkan al-Qur`an. Adapun kekurangan
metode ini diantaranya adalah: (1) Menjadikan petunjuk al-Qur`an bersifar parsial atau
terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur`an memberikan pedoman secara tidak
utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari
penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan
42
tersebut terutam disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau
sama dengannya. (2) Melahirkan penafsiran subyektif. (3) Masuk pemikiran Isrãiliyyat. Lihat
Nasharuddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), cet ke-2, h. 53-60.
49
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidãyah fi al-Tafsîr al-Mauçü`i Dirãsah Manhajiyyah
Mauçüiyyah, (T.tp, T.p, 1976)
50
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. xii.
51
Tafsir yang membahas satu surat al-Qur`an secara menyeluruh, memperkenalkan
dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara
menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau antara satu pokok masalah
dengan pokok masalah yang lain. Definisi dengan redaksi lain, tafsir mauçü`i adalah tafsir
yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki kesamaan arah dan
tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu
bahasan tema tertentu. Lihat Muhammad Quraish Shihab, Sejarah dan `Ulüm Al-Qur`an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. ke-3, h. 192-193.
52
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. ix.
43
53
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab, h. 136
44
italic letter (garis miring). Dan tafsirnya atau sisipan dengan tulisan normal
(tegak).54
Walaupun keserasian bagian-bagian al-Qur`an merupaka ijtihadi,
tetapi ia tidak memberikan penjelasan-penjelasan dengan hasil pemikiran
sendiri. Akan tetapi dengan jujur, ia mengakui bahwa pada umumnya
keserasian atau hubungan ayat dengan ayat yang ia paparkan di dalam
Tafsir al-Mishbãh merupakan saduran dari mufassir sebelumnya.55
54
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab, h. 139-140.
55
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. xiii
BAB III
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG
KETUHANAN
A. Sifat-sifat Tuhan
1. Antropomorfisme
Di dalam al-Qur`an ada beberapa ayat yang menegaskan bahwa Allah
mempunyai organ tubuh dan sifat-sifat jasmani seperti yang dimiliki
manusia (antropomorfisme), seperti memiliki wajah, mata, tangan, kaki,
berada di langit dan di bumi, berada di atas makhluk-Nya, mendatangi
hamba-hamba-Nya, dan bersemayam di atas arasy.
Ayat-ayat yang menyucikan Allah dari adanya keserupaan dengan
makhluk-Nya dan yang menyucikan-Nya dari kejisiman dalam terminologi
Islam disebut ayat-ayat tanzîh. Sebaliknya, ayat-ayat antropomorfisme
disebut ayat-ayat tasybîh (adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk)
dan ayat-ayat tajsîm (adanya kejisiman pada zat Allah).
Imam Asy'ari menolak pemahaman bahwa Allah mempunyai sifat-sifat
jasmani, jika sifat-sifat jasmani itu dipandang sebagai sama dengan sifat-
sifat jasmani manusia. Namun pada waktu yang sama dia juga menolak
untuk menakwilkan gambaran yang disebutkan di dalam al-Qur`an bahwa
Allah mempunyai wajah, mata, tangan, berada di langit dan di bumi,
45
46
1
Abu al-Èasan `Alî Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat an Uéül al-Diyãnah, (Beirut:
Maktabat Dãr al-Bayãn, 1999), h. 97-112.
2
Abu al-Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat an Ushül al-Diyãnah, h. 97-112.
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press 1986) h. 137-138
3
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press 1986), h. 138
4
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 138
47
5
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, (Qãhirah: Maktabat Wahbah,
1996),h. 216
6
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 217. Lihat juga Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 137.
7
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 227.
8
Al-Zamakhsari, al-Kasysyãf `an Haqã`iq Ghawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-Aqãwîl
fi Wujüh al-Ta`wîl, vol 1 (Beirut: Dãr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995), h. 179.
9
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (Q.S. al-Baqarah [2]:
115)
10
Dan orang-orang yang bersabar demi wajah Tuhan mereka. ( Q.S. al-Ra`d [13]:
22)
11
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarèal-Uéül al-Khamsah, h. 227.
12
Dan supaya engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Q.S. Ëãhã [20]: 39)
48
13
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 228. Lihat juga Al-Qãdhi
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, (Kairo: Dãr al-Turãs, t.th), h. 231.
14
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka
katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan
sebagaimana Dia kehendaki. (QS. Mãidah [5]: 64)
15
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.( QS. Éãd [38]: 75)
16
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, (Kairo: Dãr al-Turãs, t.th), h. 380.
17
Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (Q.S. al-An`ãm
[6]: 3).
18
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an `an al-Maëãîn, (Beirut: Dãr al-Nahçah
al-Hadîs, t.th.), h. 132.
19
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya. (al-
An`ãm [6]: 61).
49
20
Al-Qãçî Abdul Jabbãr , Syarèal-Uéül al-Khamsah, h. 230. Lihat juga: Al-
Zamakhsari, al-Kasysyãf `an Haqã`iq Gawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-Aqãwîl fi Wujüh al-
Ta`wîl,vol 1, h. 250-251.
21
Dan datanglah Tuhanmu. (al-Fajr [89]: 22).
22
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah. (al-Baqarah [2]:
210).
23
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 226.
24
Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. (Ëãhã [20]: 5).
25
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-
Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th), vol 1, h. 207.
26
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf [50]:
16.
50
27
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-
Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th.), vol 1, h. 207.
28
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, vol 1, h. 208.
29
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 139.
30
Abu Yusr Muèammad al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn (Ed.) Hasn Peter Linss,
(Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 26.
31
Al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn , h. 28. Harun Nasution, Teologi Islam, h. 138.
51
[68]: 42, al-An`ãm [6]: 3, al-An`ãm [6]: 61, al-Fajr [89]: 22, al-Baqarah
[2]:, al-A`rãf [7]: 54, Ëãhã [20]: 5.
Pertama, yang berkenaan dengan wajah Allah. Surat al-Baqarah [2]:
115, 272, al-Ra`d [13]: 22, al-Qaéaé [28]: 88. Menurut Muhammad Quraish
Shihab dalam penjelasannya terhadap surat al-Baqarah [2]: 11532
çmô_ur §NsVsù (#q—9uqè? $yJuZ÷ƒr'sù
(115 :!« )اﻟﺒﻘﺮة$#
seluruh arah adalah milik-Nya, maka karena itu kemana pun kamu
menghadap yakni ke arah mana pun kamu menghadap selama ini
sebagaimana Dia perintahkan, maka di situlah kamu menemukan wajah
Allah yakni arah yang Dia restui.33
Dalam penjelasannya terhadap surat al-Ra`d [13]: 2234
(#rçŽy9|¹ tûïÏ%©!$#ur
: )اﻟﺮﻋﺪöNÍkÍh5u‘ Ïmô_ur uä!$tóÏGö/$#
(22
Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan
sebagian dari ciri-ciri dan sifat Ülul Albãb, yaitu orang-orang yang bersabar
melaksanakan perintah, menjauhi larangan serta menghadapi petaka demi
wajah Tuhan mereka, yakni mencari keridhaan Allah.35
Berkenaan dengan firman Allah di surat al-Baqarah [2]: 272:36
žwÎ) šcqà)ÏÿZè? $tBur
(272 :!« )اﻟﺒﻘﺮة$# Ïmô_ur uä!$tóÏFö/$#
Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa firman Allah,
“janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. Dengan demikian penggalan ayat ini menegaskan, bahwa
32
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
33
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol. 1, h. 302.
34
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya.( Q.S. al-Ra`d
[13]: 22)
35
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 590.
36
Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. (QS. al-Baqarah [2]: 272)
52
37
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 584.
38
Dan buatlah bahtera dengan pengawasan Kami. (Q.S. Hüd [11]: 37)
53
39
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 251
40
Dan supaya engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Q.S. Ëãhã [20]: 39)
41
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 297-298.
54
42
Dan Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu". Tangan merekalah
yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan
itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana
Dia kehendaki. (Mãidah [5]: 64)
43
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 145.
44
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 3, h. 145.
55
kebijaksaan-Nya.45
Ucapan orang-orang Yahudi di atas, boleh jadi juga menanggapi
keadaan sementara kaum muslimin yang ketika itu serba kekurangan atau
menanggapi firman Allah (QS. al-Èadîd [57]: 11):46
©!$# ÞÚÌ•ø)ム“Ï%©!$# #sŒ ƨB
¼çmxÿÏ軟Òã‹sù $YZ|¡ym $·Êö•s%
: )اﻟﺤﺪ ﺪÒOƒÌ•x. Ö•ô_r& ÿ¼ã&s!ur ¼çms9
(11
45
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 3, h. 145.
46
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak. (QS. al-Èadîd [57]: 11)
47
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 146.
48
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
56
49
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
50
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
51
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
52
Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sebenarnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. ( QS. al-Fatè [48]: 10)
53
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 186.
57
54
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 186.
55
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 186.
56
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 187.
57
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.( QS. Éãd [38]: 75)
58
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 169.
58
jalan pintas, lantas berkata bahwa ada sifat khusus yang disandang Allah
dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat
59
kebendaan/jasmani dan keserupaan dengan mahlukh. Lebih lanjut
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, ada juga yang memahami kata
tangan dalam arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekadar untuk
menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah
duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau sebagai
isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu tanah
juga ruh Ilahi.60
Setelah menuangkan interpretasinya pada ayat di atas, Muhammad
Quraish Shihab kemudian menegaskan bahwa pendapat yang lebih
memuaskan adalah memahami kata tersebut sebagai isyarat tentang betapa
manusia memperoleh penanganan khusus dan penghormatan dari sisi Allah
swt. Dari sini pula sehingga ayat ini tidak menggunakan bentuk tunggal
untuk kata tangan tetapi bentuk dual yakni yudayya / kedua tangan-Ku.61
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab tersebut dapat diketahui
bahwa ia tidak memahami kata tangan Allah menurut arti harfiahnya seperti
yang dilakukan oleh Asy'ariyyah. Tetapi ia telah menafsirkan kata tangan
Allah di tiga ayat di atas dengan penafsiran yang senada dengan penafsiran
Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, yang
memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut arti harfiahnya, tetapi
menurut arti majazi (metaforis). Misalnya, Muhammad Quraish Shihab telah
menafsirkan kata kedua tangan-Nya di surat al-Mãidah [5]: 64 untuk
menunjukkan betapa luasnya anugerah dan kekuasaan-Nya. Selanjutnya,
Muhammad Quraish Shihab telah menafsirkan tangan Allah di surat al-Fatè
59
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh vol. 12, h. 170.
60
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 170.
61
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 170.
59
62
Dan Dialah Allah di langit dan di bumi; Dia mengetahui rahasia Kamu dan lahir
Kamu dan mengetahui (pula) apa yang Kamu usahakan. (QS. al-An`ãm [6]: 3)
63
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 14.
64
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 14.
60
65
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 15.
66
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 15.
67
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 15.
68
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 16.
61
ayat di atas dengan arti majazi (metaforis), yaitu dengan kekuasaan dan
cakupan pengetahuan-Nya.
Kelima, berkenaan dengan Allah di atas hamba-hamba-Nya. Dalam
surat al-An`ãm [6]: 6169 diterangkan:
s-öqsù ã•Ïd$s)ø9$# uqèdur
(61 :¾ )اﻻﻧﻌﺎمÍnÏŠ$t6Ïã
Menurut Muhammad Quraish Shihab ayat ini menjelaskan bahwa
kekuasaan Allah yang tidak terbendung dalam menjinakkan, menundukkan
dan mencegah siapa dan apa pun guna mencapai tujuan-Nya. Tidur yang
antara lain dibicarakan oleh ayat yang lalu, merupakan salah satu bukti
kemahakuasaan Allah yang diuraikan ayat ini, yakni Dan hanya Dialah (al-
Qãhir) Penguasa di atas semua hamba-hamba-Nya, yang menundukkan,
menjinakkan serta mengalahkan mereka, guna mencapai tujuan yang
dirancang-Nya.70
Keterangan yang serupa dapat pula dijumpai surat al-An`ãm [6]: 18 71
menyatakan:
s-öqsù ã•Ïd$s)ø9$# uqèdur
ãLìÅ3ptø:$# uqèdur 4 ¾ÍnÏŠ$t6Ïã
(18 : )اﻻﻧﻌﺎم玕Î7sƒø:$#
Ketika menjelaskan ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab
menyatakan bahwa, Dan Dialah Penguasa atas semua hamba-hamba-Nya.
Semua kehendak-Nya berlaku, sedang kehendak hamba-hamba-Nya yang
tidak sejalan dengan kehendak-Nya tidak mungkin terlaksana. 72 Kendati
demikian, lanjut Muhammad Quraish Shihab, apa yang dilakukan-Nya
bukanlah kesewenang-wenangan, tetapi tindakan yang penuh dengan
hikmah kebijaksanaan, karena Dialah Yang Maha Bijaksana, sehingga apa
69
Dan Dialah Penguasa di atas semua hamba-hamba-Nya. (al-An`ãm [6]: 61).
70
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 135.
71
Dan Dialah Penguasa atas semua hamba-hamba-Nya. Dan DialahYang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An`ãm [6]: 18)
72
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 41.
62
73
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 41-42.
74
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 42.
75
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 4, h. 42.
76
Allah swt. berfirman dalam QS. Fuééilat [41]: 11.
(11 : )ﻓﺼﻠﺖ$\dö•x. ÷rr& %·æöqsÛ $u‹ÏKø•$#
77
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 42.
63
78
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 42.
79
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 43.
64
80
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 43.
81
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 43.
82
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. (al-Fajr [89]: 22).
83
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 15, h. 254.
84
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah. (al-Baqarah [2]:
210).
65
85
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 451.
86
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 451.
87
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy. (al-A`rãf [7]: 54)
66
kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian Allah dari sifat-sifat
yang tidak layak bagi-Nya.
Dari keseluruhan pembahasan tentang antropomorfisme di atas,
dapat diketahui dari kedelapan bahasan yang berkenaan dengan:
1) Wajah Allah: Muhammad Quraish Shihab menafsirkannya dalam artian
ridha Allah, artinya Muhammad Quraish Shihab menafsirkan kalimat
wajah Allah tidak secara harfiyah, hal ini sejalan dengan pemikiran dari
golongan Mu'tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara
yang memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut harfiyahnya,
tetapi menurut arti majazi (metaforis).
2) A'yun (beberapa mata), menurutnya mata antara lain digunakan untuk
mengawasi dan memperhatikan sesuatu, dan inilah yang dimaksud
dengan kata a'yun, dengan otomatis kali ini Muhammad Quraish Shihab
juga sejalan dengan kalangan Mu'tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan
Maturidiyyah Bukhara.dalam menta'wilkan mata dengan arti majazi.
3) Tangan Allah, Muhammad Quraish Shihab ketika memahami kata tangan
Allah tidak menurut arti harfiahnya akan tetapi dalam artian kekuasaan
Allah. Pandangan Muhammad Quraish Shihab kali inipun kembali sejalan
dengan pendapat dari golongan Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand
dan Maturidiyyah Bukhara.
4) Pernyataan Allah ada di langit dan di bumi. Menurut Muhammad Quraish
Shihab kata ini menjelaskan tentang kekuasaan dan cakupan
pengetahuan-Nya, Dia mengetahui rahasia kamu sejak kamu lahir hingga
meninggal dunia, dan mengetahui juga lahir kamu, yakni yang tidak
kamu rahasiakan, dalam tingkat pengetahuan yang sama. Bukannya yang
nyata lebih jelas bagi-Nya dari rahasia, dan di samping itu Dia
mengetahui (pula) apa yang sedang dan akan kamu usahakan. Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa Muhammad Quraish Shihab telah
68
menafsirkan pernyataan Allah ada di langit dan di bumi pada ayat di atas
dengan arti majazi (metaforis), yaitu dengan kekuasaan dan cakupan
pengetahuan-Nya, sejalan dengan yang telah ditempuh oleh Mu`tazilah,
Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi
menakwilkannya kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian
Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
5) Allah berada di atas hamba-hamba-Nya. Dari penjelasan yang telah
dikutip didepan dapat diketahui bahwa Muhammad Quraish Shihab telah
menafsirkan pernyataan keberadaan Allah di atas hamba-hamba-Nya
pada ayat di atas dengan arti majazi (metaforis), kekuasaan Allah di atas
semua hamba-hamba-Nya, yakni kekuasaan Allah yang tidak terbendung
dalam menjinakkan, menundukkan dan mencegah siapa dan apa pun
guna mencapai tujuan-Nya. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari
golongan Mu'tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara
yang memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut harfiyahnya,
tetapi menurut arti majazi (metaforis).
6) Berkenaan dengan kedatangan Allah, Muhammad Quraish Shihab
memberikan dua bentuk penafsiran, satu sisi memberikan penafsiran
secara literal dan di sisi yang lain memberikan penafsiran secara
metaforis. Tampaknya lebih cenderung untuk tidak menakwilkannya,
namun ia juga tidak mau terjebak kepada tasybîh (penyerupaan Tuhan
dengan makhluk). Pendapat-pendapat ulama yang dikutip Muhammad
Quraish Shihab di atas merupakan dasar pendiriannya itu. Kedatangan
Allah itu adalah yang layak dan sesuai dengan kebesaran-Nya dan tidak
dapat kita deskripsikan bagaimana caranya.
7) Allah bersemayam di atas arasy, dari penjelasan Muhammad Quraish
Shihab dapat diketahui bahwa ia telah menakwilkan atau menafsirkan
69
Allah bersemayam di atas `arasy pada ayat di atas dengan arti majazi,
yaitu berkuasa penuh di atas `arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya.
Pada poin terakhir ini Muhammad Quraish Shihab juga memiliki
pandangan yang sejalan dengan pandangan yang telah ditempuh oleh
Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi
menakwilkannya kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian
Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
91
(103
Ketika menafsirkan surat al-An`ãm [6]:103 di atas, Muhammad
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini merupakan kelanjutan dari
sifat-sifat Allah yang dijelaskan oleh ayat-ayat lalu sekaligus berfungsi
meluruskan anggapan keliru kaum musyrikin, yang boleh jadi lahir dari
pernyataan bahwa Allah wakil terhadap segala sesuatu. Kaum musyrikin
dengan kebodohan mereka boleh jadi menduga bahwa karena Dia adalah
wakil maka tentu saja Dia dapat terjangkau atau terlihat.92 Oleh karena itu,
lanjut Muhammad Quraish Shihab, angapan ini dibantah oleh ayat di atas
dengan menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat dijangkau dalam
bentuk apa pun oleh pengelihatan mata, sedang apa yang kamu
persekutukan dengan-Nya dapat dijangkau oleh pandangan mata, seperti Isa
as. atau berhala-berhala bahkan jin menurut kepercayaan kamu wahai kaum
musyrikin sedang Dia yakni Allah dapat menjangkau, yakni mengetahui dan
melihat segala pengelihatan dan Dialah Yang Maha Tersembunyi sehinga
tidak dapat dilihat Lagi Maha Mengetahui sehingga dapat melihat segala
sesuatu.93
Kata ( ) ﺗﺪركtudriku atau yudriku terambil dari kata ( ) دركdaraka
yang hakikatnya adalah mencapai apa yang diharapkan. Ia dipahami dalam
kaitannya dengan makhluk sebagai terjangkaunya dengan indera sesuatu
yang inderawi dan dengan akal sesuatu yang ma’kul. 94 Dengan demikian,
menurut ayat ini manusia tidak dapat menjangkau hakikat Dzat Allah dan
sifat-Nya dengan pandangan mata atau panca indera tidak juga dengan
akal.
91
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. al-An`ãm [6]:103
92
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 224.
93
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 224.
94
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
71
95
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
96
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
97
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
72
98
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 226.
99
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 226.
73
100
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 226.
101
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
102
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
74
103
“Sesungguhnya Allah Laëîf terhadap hamba-hamba-Nya, Dia memberi rezeki
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia Maha Kuat lagi Maha Mulia. (QS. al-Syürã [42]: 19).
104
“Sesungguhnya Tuhanku Laëîf terhadap apa yang Dia kehendaki” (QS. Yusuf
[12]: 100).
105
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
106
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
75
Allah akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti,
karena setiap yang berwujud dapat dilihat. Allah mempunyai wujud, maka
Allah dapat dilihat. 107 Dari segi akal, menurut mereka tidak ada halangan
bagi kemungkinan manusia untuk dapat melihat Allah nanti di akhirat,
karena yang demikian itu tidaklah akan membawa kepada keyakinan bahwa
Allah akan menjadi baru atau serupa dengan yang baru.108
Dalam penafsirkan surat al-An’ãm [6]: 103, dipahami oleh Asy’ari
bahwa: Tuhan tidak dapat dilihat oleh manusia baik oleh orang yang
beriman ataupun orang yang kafir di dunia. Sedangkan untuk di akhirat,
Asy’ariyah juga berpendapat hanya orang-orang yang beriman yang dapat
melihat Allah dengan mata kepala.109
Hal ini sejalan dengan pendapat dari golongan Maturidiyah
Samarkand. 110 Karena Abu Manéür al-Mãturîdi menyatakan bahwa melihat
Allah adalah merupakan hal yang benar, tetapi tidak bisa dijelaskan
bagaimana caranya, 111 karena hal itu merupakan bagian dari situasi hari
kiamat yang cara dan keadaannya hanya diketahui oleh Allah sendiri.112 Al-
Maturidi menafsirkan ayat di atas bahwa bila Tuhan tidak dapat dilihat,
maka penafsiran al-idrãk di sini tidak ada maknanya. Oleh karena itu, Tuhan
dapat dilihat dengan mata.113
Begitu juga dengan pendapat dari golongan Mãturîdiyah Bukhara,
yang sama-sama menyatakan bahwa Allah akan dapat dilihat kelak di
107
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat an Uéül al-Diyãnah, (Beirut:
Maktabat Dãr al-Bayãn, 1999), cet. ke-4, h. 66.
108
Abu al-Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-
zaig wa al-Bida`, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000), cet 1, h. 32-33.
109
Abu al-Èasan al-Asy’ari, al-Ibãnah ‘an Uéül al-Diyãnah, h. 63
110
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-
Tauèîd, (Ed), Fatèullah Khalif, (Istambul: al-Maktabat al-Islãmiyah, 1979), h. 77
111
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd,
h. 77.
112
Muèammad Abu Zahrah, Tarîkh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, vol. I, h. 208.
113
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-
Tauèîd, h. 77
76
akhirat. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Harun Nasution dari kitab Uéül
al-Dîn karangan al-Bazdawi.114
Namun, interpretasi Muhammad Quraish Shihab di atas berbeda
bahkan bertentangan dengan golongan Mu`tazilah yang menyatakan bahwa
Allah tidak akan dapat dilihat dengan kasat mata kelak di akhirat. Pendapat
ini merupakan implikasi logis dari pandangan mereka yang menetapkan
bahwa Allah bersifat immateri. Oleh karena itu, Allah bagi mereka tidak
mungkin menjadi obyek tanggapan inderawi karena Dia tidak menempati
ruang.115 Seandainya Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, Dia
akan dapat pula dilihat di dunia ini. Tetapi kenyataannya, orang tidak
pernah melihat-Nya.116
Dalam memahami ayat di atas, Abdul Jabbãr berpendapat bahwa:
mustahil Allah Maha Gaib dan immateri itu dapat dilihat dengan mata
kepala. Sebab, untuk dapat dilihat, Allah harus berjisim, sedangkan Dia
tidak berjisim. 117 Abdul Jabbãr menambahkan, seandainya Allah dapat
dilihat di akhirat dengan mata kepala, Dia akan dapat pula dilihat di dunia
ini. Untuk kata al-idrãk (mengetahui) menurutnya, jika digandengkan
dengan kata al-baéar (penglihatan) artinya menjadi: al-ru’yah bi al-abéãr
(melihat dengan mata). Jadi, dengan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia
tidak dapat dilihat. Kata al-idrãk yang digandengkan dengan al-abéar harus
diartikan dengan ru`yah, karena orang yang melihat sesuatu sama dengan
orang mengetahuinya (al-mudrik).118
114
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140.
115
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, (Kairo: Maktabat Wahbah,
1996) cet. Ke-3, h. 249.
116
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 253.
117
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 233. Lihat juga Al-Qaçî
Abdul Jabbãr, al-Mughnî Fi Abwãb al-Tauhîd wa al-`Adl, (Maéri: al-Dãr al-Misriyyah li al-
Ta`lîf wa al-Tarjamah 1965), Jilid 4, h. 115.
118
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 233.
77
kembali, dia yakin bahwa dia tidak dapat melihat-Nya di dunia ini
dengan cara apa pun dan dia berkata: Maha Suci Engkau, lagi Maha
Agung, sehingga tidak mungkin Engkau dapat dijangkau oleh
pandangan siapapun, aku telah bertaubat kepada-Mu, yakni aku
tidak akan mengulangi lagi permintaan itu, dan menyesal mengapa
aku bermohon demikian dan aku adalah yang pertama dari orang-
orang mukmin yang percaya bahwa Engkau tidak dapat dilihat seperti
yang kumohonkan, atau aku adalah orang pertama yang bergegas
masuk dalam kelompok mereka, karena aku sedemikian yakin tentang
kebenaran, bukan seperti orang-orang yang ragu untuk melangkah.120
dan tempat, tidak ada juga yang serupa dengan-Nya, kendati dalam
khayal.123 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata
“nampakkan” yang beliau maksud pastilah bukan yang demikian itu, dan
memang kata yang beliau gunakan dan diabadikan oleh ayat ini digunakan
oleh al-Quran dan bahasa Arab dalam banyak pengertian124.
Jika Anda berkata: “Saya melihat Anda senang pada si A”, maka
maknanya adalah antara lain adalah bahwa saya melihat dari sikap dan
keadaan anda yang menjadikan saya berkesimpulan bahwa Anda senang
padanya. Jika Anda berkata: “Saya melihat dia mampu”, maka ini tidak
berkaitan dengan pandangan mata, tetapi pengetahuan dalam kenyataan
yang mengantar kepada kesimpulan itu. Makna perlu digarisbawahi dalam
memahami permohonan Nabi Musa as.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, pendapat di atas benar, karena
itu boleh jadi maksud Nabi Musa as. itu adalah melihat Allah dengan
nalarnya. Betapapun dan penampakan apapun yang beliau maksudkan,
namun yang jelas adalah permohonan tersebut tidak diperkenankan Allah
swt.125
Menurut Muhammad Quraish Shihab selanjutnya, pengertian yang
telah dikemukakannya itu senada dengan surat al-Syürã [42]: 11126:
uqèdur ( Öäï†x« ¾ÏmÎ=÷WÏJx. }§øŠs9
: )اﻟﺸﻮرىÇÊÊÈ çŽ•ÅÁt7ø9$# ßìŠÏJ¡¡9$#
(11
Dengan membaca dan menyadari makna ayat ini, luluh semua
gambaran yang dapat dijangkau oleh indera dan imajinasi manusia tentang
123
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
124
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
125
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
126
“Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”(QS. al-Syürã [42]: 11
80
Zat Yang Maha Sempurna. Ini karena manusia sangat lemah, kemampuan
inderanya sangat terbatas.127
Dalam uraian selanjutnya, Muhammad Quraish Shihab mengatakan
bahwa: Mata makhluk bukan saja tidak dapat melihat dengan mata
kepalanya sesuatu yang sangat kecil dan halus, tetapi yang sangat jelaspun
terkadang tidak dapat dilihatnya. Kelelawar tidak mampu melihat di siang
hari karena terangnya cahaya matahari, ia baru bisa melihat pada saat
malam hari pada saat remang-remang. Manusiapun serupa, tidak mampu
menatap matahari, apalagi untuk menatap Pencipta matahari, bahkan
Pencipta seluruh cahaya yang terang benderang di jagad raya ini.128
Muhammad Quraish Shihab menyertakan enunsiasi al-Ghazali yang
menyatakan bahwa: Manusia pun tidak dapat melihat dalam arti
menjangkau hakikat Alah dalam nalarnya. Ketuhanan adalah sesuatu yang
hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam benak sesuatu yang
mengenalnya kecuali Allah/ yang sama dengan-Nya, dan karena tidak ada
yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya kecuali Allah.129
127
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
128
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
129
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
81
Ali bin Abi Thalib ra. Pernah ditanya oleh sahabatnya Zi`lib al-
Yamani: “Amirul Mukminin, apakah engkau pernah melihat Tuhan-Mu?”
“Bagaimana aku menyembah apa yang tidak kulihat?” jawab beliau.
“Bagaimana engkau melihat-Nya?” tanya Zi`lib.
“Dia tidak dapat dilihat dengan pangangan mata, tetapi dijangkau
oleh akal dengan hakikat keimanan.”
Yang beliau maksud dengan akal di sini adalah akal dalam pengertian
gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan “ikatan”
yang menghalangi manusia melakukan hal-hal negatif. Ungkapan beliau ini
itu menunjukkan bahwa jangkauan itu bukan jangkauan nalar secara
langsung, tetapi jangkauan nalar dan kalbu berdasar keimanan tentang
sesuatu yang tidak dapat terjangkau. Jawaban ini serupa dengan jawaban
Abu Bakar al-Siddiq ra: ( “ ) اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻻدراك إدراكKetidakmampuan mengenal-
Nya adalah pengenalan”.131
Muhammad Quraish Shihab lebih menegaskan lagi penjelasannya
dengan mengupas makna dari kata ( ) ﺗﺠﻠﻰtajalla, menurut Muhammad
130
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 240.
131
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 241.
82
Quraish Shihab:
kata ( ) ﺗﺠﻠﻰtajalla mengandung makna menampakkan sesuatu dengan
menjauhkan faktor-faktor yang dapat menghalangi
ketidaknampakkannya. Yang dimaksud oleh ayat ini adalah
menyingkirkan sebab-sebab yang menghalangi nabi Musa melihat
sesuatu yang secara normal dan sesuai potensinya tidak dapat
dilihatnya. Allah melakukan hal tersebut dahulu ke gunung, yang dari
segi jasmaniyah jauh lebih tegar dari manusia, agar nabi Musa as.
Lebih yakin bahwa ia benar-benar tidak akan mampu. Tetapi perlu
diingat bahwa tajalli Allah itu belum lagi mencampai puncaknya.
Ketika Rasulullah saw. membaca firman-Nya ( ) ﻓﻠﻤّﺎ ﺗﺠﻠﻰ رﺑّ ﻟﻠﺠﺒﻞ
falammã tajalla rabbuhu lil jabali beliau mendekatkan ibu jari beliau
ke ujung jari kelingkingnya untuk menjelaskan betapa kecil dan
sedikit tajalli itu. (HR. al-Tirmizi dan lain-lain melalui Anas bin Malik)
Yakni bahwa penampakkan itu masih sangat sedikit, dan masih
terlalu banyak faktor dalam diri makhluk yang menghalangi
kemampuan mereka untuk melihat.132
Di sisi lain perlu diingat, bahwa dalam peristiwa di atas, Allah tidak
bertajalli kepada nabi Musa, tetapi kepada gunung, dan karena itu Nabi
Musa bukan jatuh pingsan karena tajalli Tuhan tetapi karena melihat gunung
yang merupakan makhluk Ilahi yang tegar itu hancur lebur saat mengalami
tajalli. Dalam arti melihat objek tajalli (gunung) saja beliau sudah tidak
mampu, apalagi mengalaminya sendiri.133
Surat al-A`rãf [7]: ayat 143 dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab
dalam konteks kehidupan di dunia, bukan di akhirat. Nabi Musa as.
(termasuk manusia lain) tidak akan dapat melihat Tuhan dengan mata
kepala di dunia ini, baik sekarang maupun di masa yang akan datang, sebab
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Untuk membuktikan
ketidakmampuan Musa as. itu. Tuhan menyuruh Nabi Musa memperhatikan
gunung. Kalau gunung tersebut masih tetap ditempatnya berarti Nabi Musa
akan bisa melihat Tuhan. Tatkala Tuhan menampakkan diri-Nya pada
132
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 241.
133
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 242.
83
gunung tersebut, ternyata gunung itu hancur luluh. Kalau gunung yang
begitu kuat dan kokoh tidak mampu menerima tajalli (penampakkan diri)
Tuhan, tentu manusia yang lemah ini lebih tidak mampu lagi. Keduanya
sama-sama materi alam yang akan hancur.
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menegaskan bahwa: yang
pasti, tidak seorangpun – paling tidak di dunia ini – yang pernah melihat
Allah swt. “Siapa yang berkata bahwa Nabi Muhammad saw. melihat
Tuhannya, maka ia telah berbohong”. Begitu ucap Aisyah ra.134
Dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhapat surat al-A’rãf
[7]: 143 di atas dapat diketahui bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan,
dia menggarisbawahi dengan menyisipkan kembali keterangan “paling tidak
di dunia ini”. Dengan menyisipkan keterangan “paling tidak di dunia ini”,
Muhammad Quraish Shihab meruntuhkan argumen-argumen sebelumnya
tentang ketidakmungkinan manusia melihat Tuhan, jika hal itu diterapkan
ke dalam konteks kehidupan di akhirat.
Penafsiran yang telah dikemukakan Muhammad Quraish Shihab
tersebut, tidak berbeda dengan golongan Asy`ariyyah. Asy`ari
mengemukakan argumennya, antara lain, bahwa segala yang maujud pasti
dapat dilihat. Allah adalah maujud dan, oleh karena itu, tidak mustahil
Allah memperlihatkan diri-Nya kepada kita. Lebih lanjut Asy`ari
menyatakan, Allah dapat melihat segala sesuatu dan melihat diri-Nya.
Karena Ia dapat melihat diri-Nya, maka Ia pasti dapat pula memperlihatkan
diri-Nya kepada kita.135
Asy`ari mengatakan bahwa ayat di atas menjelaskan, tidak mungkin
Nabi Musa meminta sesuatu yang mustahil. 136 Dengan penjelasannya ini,
Asy`ari ingin menjelaskan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang
134
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
135
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 66.
136
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 61.
84
mungkin. Kalau melihat Allah itu suatu hal yang mustahil, maka tidak
mungkin Nabi Musa tidak tahu dan meminta hal tersebut.
Di pihak lain, Maturidiyyah Samarkand sependapat dengan
Asy'ariyyah. Abu Manéür al-Mãturîdi mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat
karena bila Tuhan tidak dapat dilihat, tentulah permintaan Musa untuk
melihat tuhan itu suatu perbuatan orang bodoh. Padahal Musa bukanlah
seorang yang bodoh, sebab beliau adalah pengemban risalah dan penerima
wahyu dari Allah.137
Penafsiran yang telah dikemukakan oleh kalangan Asy'ariyyah dan
Maturidiyyah tersebut ditolak oleh Mu’tazilah. Menurut mereka, bahwa
permintaan melihat Tuhan sebenarnya bukan datang dari Nabi Musa, tetapi
dari para pengikutnya yang belum juga mau percaya138.
Tuhan menyuruh Nabi Musa as. memandang kepada gunung. Kalau
gunung masih tetap di tempatnya dan tidak bergerak berarti Musa akan
dapat melihat Tuhan. Tetapi ternyata gunung tersebut tidak tetap di
tempatnya, bahkan menjadi hancur dan Musa sendiri jatuh pingsan. Ini
menjunjukkan bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat, sebagimana mustahilnya
berhimpun gerak dan diam gunung pada satu masa di satu tempat.139 Makna
lan tarãnî menurut Abdul Jabbãr berarti selamanya Tuhan tidak bisa dilihat.
Karena hurup lan disini lita’bid (selamanya). Ini meunjukkan, bahwa Tuhan
mustahil dapat dilihat140.
(#qãZ|¡ômr& tûïÏ%©#Ïj9 *
Ÿwur ( ×oyŠ$tƒÎ—ur 4Óo_ó¡çtø:$#
137
Abu Manéür al-Mãturîdî, al-Tauèîd, h. 78
138
Al-Qaçî Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 262.
139
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 265.
140
Al-Qaçî Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 264.
85
Kedua, kata ziyãdah dalam arti ridha Ilahi, dengan merujuk kepada
firman-Nya QS. al-Taubah [9]: 72142:
141
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Yünus
[10]: 26).
142
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan
(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih
besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (Q.S. al-Taubah [9]: 72).
86
Yakni ridha Allah swt. lebih besar dari surga yang dilukiskan ini.
Ketiga, kata ziyãdah dalam arti penambahan dan peligatgandaan ganjaran
kebaikan. Agaknya menggabung pendapat-pendapat di atas lebih bijaksana,
apalagi semua dapat dicakup oleh kata ziyadah.143
Ketika menafsirkan surat Yünus [10]: 26 itu, Muhammad Quraish
Shihab tidak menjelaskan apakah firman Allah itu dapat dijadikan argumen
tentang adanya atau tidak adanya kemungkinan orang beriman melihat
Allah di akhirat nanti seperti yang dikemukakan oleh para teolog Islam dari
aliran Mu`tazilah, Asy'ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah
Bukhara. Misalnya ayat ini dipahami oleh Asy'ari bahwa orang mukmin akan
mendapat tambahan nikmat di akhirat, yaitu melihat Tuhan yang
144
merupakan puncak nikmat di dalam surga. Sementara Zamahsyari
mewakili dari golongan Mu`tazilah menafsirkan kata ziyãdah dengan
tambahan karunia dari Allah.145 Abu Manéür al-Mãturîdi sependapat dengan
Asy'ariyyah, bahwa yang dimaksud dengan ziyãdah adalah melihat wajah
Allah swt. sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw.146
143
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 62.
144
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 63.
145
Zamahsari, Tafsîr al-Kasysyãf, h. 330.
146
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, h. 79.
87
147
Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya (meraka) melihat.
(QS. al-Qiyãmah [75]: 22-23)
148
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 14, h. 637.
149
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 14, h. 637.
88
bahwa: suatu ketika Nabi saw duduk bersama-sama sahabat pada saat
bulan sedang purnama lalu bersabda: "Sesungguhnya kamu akan melihat
Tuhan kamu sebagaimana kamu melihat bulan purnama ini". Hadis ini juga
banyak diriwayatkan oleh periwayat lain.150
Hal ini senada dengan kaum Asy`ariyyah berpendapat bahwa Allah
akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti karena
setiap yang berwujud dapat dilihat, Allah mempunyai wujud, maka Allah
dapat dilihat. 151 Dari segi akal, menurut Asy`ariyyah, tidak ada halangan
bagi kemungkinan manusia untuk melihat Allah nanti di akhirat, karena yang
demikian itu tidaklah akan membawa kepada keyakinan bahwa Allah akan
menjadi baru atau serupa dengan yang baru.152
Menurut Asy`ari dalam bahasa arab lafal al-naìr yang merupakan asal
dari lafal naìirah itu bisa berarti i`tibãr (pelajaran), intiìãr (menunggu),
ta`attaf (melihat dengan iba), ru`yah (melihat). Melihat Allah yang
dinyatakan dengan kata naìirah, dalam ayat di atas, maksudnya benar-
benar melihat dengan mata kepala, bukan dengan makna yang lain.153
Kata nãìirah dalam ayat ini tak bisa berarti tafkîr (memikirkan) dan
i`tibãr (pelajaran), karena mustahil di akhirat nanti dijadikan i`tibar
mengingat akhirat bukan tempat untuk mengambil i`tibãr. Juga tidak bisa
berarti melihat dengan rasa iba, karena tidak mungkin makhluk melihat
Khaliknya dengan rasa iba. Juga kata naìar tidak dapat diberi makna intiìãr
(menunggu), karena pekerjaan menunggu tidak ada di surga. 154 Kemudian
Asy`ari menambahkan, dikatakan demikian, karena menunggu adalah
pekerjaan yang menimbulkan rasa cemas dan gelisah pada orang yang
150
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 14, h. 637.
151
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, (Beirut:
Maktabat Dãr al-Bayãn, 1999), cet. ke-4, h. 66.
152
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Luma` h. 32-33.
153
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 58.
154
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 59-60.
89
melakukannya, padahal keadaan para penghuni surga jauh dari rasa cemas
dan gelisah. Sebaliknya, keadaan mereka selalu dipenuhi kesenangan dan
kegembiraan. Bahkan, setiap kali muncul keinginan pada mereka untuk
menikmati sesuatu, keinginan itu segera terpenuhi, tanpa harus
menunggunya terlebih dahulu. Dengan demikian, kata nazhirah pada ayat di
atas hanya bisa diartikan dengan melihat. Apalagi kata Nãìirah itu dikaitkan
dengan kata “wujüh” maka maknanya adalah melihat dengan dua mata
yang terletak pada wajah.155
Abdul Jabbãr menolak argumentasi al-Asy`ari yang menyatakan
bahwa perbuatan menunggu adalah perbuatan yang mencemaskan. Kata
Abdul Jabbãr, tidak semua yang dikatakan menunggu itu mencemaskan.
Kalau yang ditunggu adalah sesuatu yang tidak pasti, apalagi yang tidak
disukai, memang orang yang menunggunya akan merasa cemas. Tetapi,
kalau yang ditunggu itu adalah sesuatu yang pasti disenangi, orang yang
menunggunya akan merasa senang. 156 Atau dengan kata lain, begitu juga
perasaan yang akan dialami oleh para penghuni surga di akhirat nanti ketika
mereka menunggu nikmat yang akan dianugerahkan Allah kepada mereka.
Bahkan, perasaan mereka jauh melebihi kesenangan yang pernah dirasakan
sewaktu mereka masih di dunia.157
Maturidiyyah Bukhara juga sependapat dengan Asy`ariyyah bahwa
Allah dapat dilihat dengan kasat mata di akhirat nanti. 158 Harun Nasution
mengutip dari al-Bazdawi bahwa Allah dapat dilihat, walaupun tidak
mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tak terbatas.159
Maturidiyyah Samarkand sependapat dengan Asy`ariyyah dan
155
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 59-60.
156
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 245.
157
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 245.
158
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB
PRESS, 2001), h. 136.
159
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140.
90
Maturidiyyah Bukhara dalam hal Allah dapat dilihat dengan kasat mata di
akhirat. Abu Manéür al-Mãturîdi menyatakan bahwa melihat Allah itu
merupakan hal yang benar, tetapi tidak bisa dijelaskan bagaimana
caranya,160 karena hal itu merupakan bagian dari situasi hari kiamat yang
cara dan keadaannya hanya diketahui oleh Allah sendiri.161
Ayat 22-23 surat al-Qiyãmah dipahami oleh al-Mãturîdi, bahwa
wajah-wajah bukan menunggu, tetapi melihat dengan mata kepala kepada
Allah. Pendapat itu berdasarkan argumen-argumen berikut:
a. Akhirat bukanlah waktu menunggu. Waktu menunggu adalah di dunia,
tempat terjadi dan adanya peristiwa.
b. Akhirat tempat untuk menerima balasan.
c. Huruf jar ila bila dihubungkan dengan kata al-naìr bukan artinya
menunggu, tetapi melihat atau memandang.
d. Melihat kepada yang indah merupakan kenikmatan yang besar, tetapi
jika hanya menunggu bukan merupakan nikmat yang besar. Oleh karena
itu, arti ayat tersebut mestilah melihat Allah dengan mata kepala
sendiri.162
160
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, h.
77. Lihat juga Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB
PRESS, 2001), h. 133.
161
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maìãhib al-Islãmiyyah, vol. I, h. 208.
162
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, h.
79.
163
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 244.
91
dengan arti yang lain. Misalnya, ( ﻧﻈﺮت اﻟ ﻼل ﻓﻠﻢ أرهaku menunggu / menanti
bulan, tetapi tidak melihatnya). Di samping itu, mereka juga telah
menggunakan kata ru`yah untuk arti kesudahan dari al-naìr (memandang).
Misalnya, mereka mengatakan, “ “ ﻧﻈﺮت ﺣﺘﻰ رأ ﺖyang berarti aku
memandang hingga aku melihat. Kalau al-naìr dan al-ru`yah itu sinonim dan
sama-sama berarti melihat, tentu arti ucapan mereka itu menjadi “aku
melihat hingga aku melihat”. Kalimat yang seperti itu bukanlah kalimat
yang efektif, melainkan kalimah mubazir karena apa yang telah disebutkan
sebelumnya, disebutkan lagi dalam kalimat yang sama.164
164
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 242-243.
165
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 73. lihat
juga Al-Qadhi Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 531.
166
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 72-77.
92
kata-kata kun yang terus menerus itu mustahil terjadi, berarti kalam Allah
itu bukan makhluk. 175 Di samping itu, kata al-Asy'ari kalau al-Qur`an itu
dikatakan makhluk, asma (nama-nama) Allah yang terdapat didalamnya juga
makhluk. Kalau nama-nama Allah makhluk, sifat kemahaesaan-Nya juga
makhluk. Padahal, yang demikian itu mustahil terjadi.176
Ayat 109 surat al-Kahfi dipahami oleh al-Asy'ari bahwa sekalipun
semua lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah,
niscaya semua air laut tersebut akan habis, sementara kalimat Allah tidak
akan habis tertulis, sebagaimana tidak habis-habisnya ilmu Allah. Karena
bila kalimat-kalimat Allah itu habis ditulis berarti kalam Allah akan habis,
Allah akan diam, dan ini adalah mustahil.177
Selanjutnya, al-Asy'ari mengatakan bahwa surat al-Raèmãn [55]: 1-3
di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa 'allama (mengajarkan)
dan khalaqa (menciptakan) tidak sama. Dengan demikian, al-Qur`an itu
bukan makhluk sebab jika makhluk, firman Allah tersebut tidak lagi, “al-
Raèmãn `allama al-Qur`ãn wa khalaqa al-insãn”, tetapi, “ al-Raèmãn
khalaqa al-Qur`ãn wa khalaqa al-insãn”.178
Kaum Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand sependapat
dengan Asy'ariyyah bahwa kalam Allah bukan makhluk. Mereka berpendapat
demikian karena kalam adalah sifat yang ada pada zat Allah dan dengan
sifat itulah Allah berbicara sesuai dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.
Oleh karena sifat yang ada pada zat Allah itu bukan makhluk, kalam Allah
itupun bukan makhluk yang terpisah dari zat-Nya.179
Kalam Allah, menurut Maturidiyyah Samarkand adalah makna yang
175
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 73-74.
176
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 86.
177
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 86.
178
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah , h. 85.
179
Al-Thiyyib bin `Umar al-Jakni, Al-Aqîdah al-Salãfiyyah wa Radd `ala al-
Munharifîn minhã, (Beirut: al-Maktab al-Islãmi, 1999), h. 98.
95
berdiri di atas zat Allah, kalam merupakan salah satu sifat yang menyatu
dengan zat-Nya, ia kekal bersama kekal-Nya zat yang Maha Tinggi, tidak
tersusun dari huruf-huruf dan kalimat-kalimat.180 Karena huruf dan kalimat
adalah diciptakan dan tidak berdiri sendiri di atas zat Tuhan yang wajib
wujud. Sedangkan al-Qur`an yang terdiri dari huruf-huruf dan kalimat-
kalimat yang bisa dibaca adalah baru dan sebagai tanda atas makna abstrak
yang qadim tersebut.
Menurut Maturidiyyah Bukhara, sebagaiman yang dijelaskan oleh al-
Bazdawi, kalam Allah (al-Qur`an) adalah sesuatu yang berdiri sendiri di
atas zat-Nya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk huruf, kalimat dan
surat bukanlah kalam Allah secara hakiki, tetapi dinamakan al-Qur`an atau
kitabullah. Adapun penamaannya dengan kalam Allah adalah dalam arti
kiasan, karena ia sebagai tanda atas adanya kalam nafsi.181 Jadi al-Bazdawi
lebih cenderung menggunakan istilah kalam Allah pada makna abstrak yang
berdiri atas zat Allah yang tidak berhuruf dan bersuara, sedangkan kalam
yang terdiri dari huruf dan suara yang bisa dibaca dinamakannya al-Qur`an
atau kitabullah.
Sedangkan aliran Mu`tazilah mengatakan bahwa kalam Allah
bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian al-Qur`an
bukanlah bersifat kekal, tetapi bersifat baru dan diciptakan Tuhan. Al-
Qur`an juga tersusun dari bagian-bagian berupa huruf-huruf, kata-kata,
ayat-ayat dan surat-surat, huruf yang satu mendahului yang lain, ayat yang
satu mendahului ayat yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain.
Seperti huruf hamzah dalam kalimat al-hamdulillah, mendahului huruf lam
dan huruf lam mendahului huruf ha. Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu
180
Muèammad Abu Zahrah, Maíahib al-Islãmiyyah, (Maéri: Matba`at al-
Namüíajiyyah, t.th), vol 1. h. 207.
181
Abu Yusr Muèammad Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss,
(Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 61.
96
dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bersifat qadim, yaitu
tak bermula, karena qadim tak didahului oleh apapun.182 Untuk memperkuat
pendapatnya tersebut, Mu`tazilah juga merujuk kepada beberapa ayat,
yaitu surat al-Hijr [15]: 9, Hüd [11]: 1, al-Zumar [39]: 23:
t•ø.Ïe%!$# $uZø9¨“tR ß`øtwU $¯RÎ)
: )اﻟﺤﺠﺮÇÒÈ tbqÝàÏÿ»ptm: ¼çms9 $¯RÎ)ur
183
(9
ôMyJÅ3ômé& ë=»tGÏ. 4 •!9#
`ÏB ôMn=Å_Áèù §NèO ¼çmçG»tƒ#uä
184
(1 :ﻮدª) ÇÊÈ AŽ•Î7yz AOŠÅ3ym ÷bà$©!
Ï]ƒÏ‰ptø:$# z`|¡ômr& tA¨“tR ª!$#
u’ÎT$sW¨B $YgÎ6»t±tF•B $Y6»tGÏ.
185
(23 :” )اﻟﺰﻣﺮÇËÌÈ
Adapun dalam memberikan interpretasi pada surat al-Èijr [15]: 9,
menurut Abdul Jabbãr ayat ini menunjukkan deklarasi Allah, bahwa Allah-
lah yang menurunkan al-Qur`an. Menurunkan berarti memindahkan dari
satu tempat ketempat yang lain yang lebih rendah. Oleh karena setiap yang
berpindah-pindah itu baru, berarti al-Qur`an juga adalah baru atau
makhluk. Apa lagi ayat ini dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan wa innã
lahu lahãfiìün (dan sesungguhnya Kami benar-benar baginya adalah para
Pemelihara), berarti al-Qur`an itu baru. Sebab bila al-Qur`an itu qadim
tentulah kitab suci itu tidak memerlukan pemeliharaan. 186Pada surat Hüd
[11]: 1, Allah menjelaskan bahwa al-Qur`an itu terdiri dari ayat-ayat yang
tersusun dengan rapi. Oleh karena setiap yang berbagi dan tersusun rapi itu
182
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 531.
183
Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-
benar baginya adalah para Pemelihara (QS. al-Hijr [15]: 9).
184
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha tahu (QS. Hüd [11]: 1).
185
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang (QS. al-Zumar [39]: 23)
186
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 532. Lihat juga Muèammad
Yüsuf Müsã, al-Qur`an wa al-Falsafah, (Kairo: Dar al-Maarif, 1996), h. 90.
97
baru dan makhluk, al-Qur`an itupun adalah baru dan makhluk tidak bersifat
kekal dalam arti qadîm.187 Pada surat al-Zumar [39]: 23, Allah menjelaskan
bahwa al-Qur`an merupakan sebaik-baik berita, dan juga dikatakan sebagai
kitab yang tertulis, serupa sebagiannya dengan sebagian yang lain dari segi
i`jãz dan dalãlahnya, serta diulang-ulang. Sifat-sifat tersebut merupakan
sifat baru tidak bersifat kekal.188
Ayat- ayat yang dijadikan dasar oleh aliran Asy`ariyyah dan
Mu`tazilah dalam mempertahankan pendapat mereka, ternyata tidak
dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab sebagaimana yang dipahami
mereka.
Ayat 54 surat al-A’rãf yang dijadikan dasar oleh Asy`ari bahwa
“hanya bagi Allah hak memerintah”, maka hal itu telah mencakup seluruh
makhluk, sedangkan dalam firman-Nya: “dan memerintah”, Dia
menyebutkan hal yang bukan makhluk. Hal ini menunjukkan bahwa perintah
Allah itu bukan makhluk. Ini mengandung arti bahwa perintah Tuhan
bukanlah ciptaan Tuhan, dan karena bukan ciptaan berarti al-Qur`an qadim
(kekal), tidak dijelaskan oleh Muhammad Quraish Shihab seperti itu.
Menurut Muhammad Quraish Shihab surat al-A’rãf [7]: 54: أﻻ ﻟ اﻟﺨﻠﻖ و
( اﻻﻣﺮ ﷲIngatlah! Menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah) di atas
menjelaskan bahwa Allah yang menundukkan semua isi alam raya untuk
dimanfaatkan manusia. Jika demikian, bukan manusia yang
menundukkannya, dan dengan demikian, manusia tidak boleh merasa
angkuh terhadap alam, tetapi hendaknya bersahabat dengannya sambil
mensyukuri Allah dengan jalan mengikuti semua tuntunan-Nya, baik yang
berkaitan dengan alam raya, maupun diri manusia sendiri. Karena itu, Islam
tidak mengenal istilah penundukan alam, apalagi istilah tersebut memberi
187
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 532.
188
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 532.
98
kesan permusuhan dan penindasan. 189 Setelah itu M. Quraish Shihab tidak
lagi menganalisis pemisahan kata al-khalqu dan al-amru dengan hurup wau,
baik seperti yang dilakukan oleh al-Asy'ariyyah maupun Mu`tazilah.
Selanjutnya surat al-Naèl [16]: 40 yang dijadikan argumen oleh
Asy`ari bahwa al-Qur`an adalah qadîm (kekal), sebab segala sesuatu
tercipta dengan kata “kun”. Kalau kalam Allah tidak qadim tentu kata
“kun” ini memerlukan kata “kun” yang lain. Begitulah seterusnya sehingga
terjadi rentetan kata “kun” tanpa henti-hentinya. Dengan demikian, kata-
kata kun yang tasalsul (berantai, tanpa kesudahan) akan terjadi. Oleh
karena kata-kata kun yang terus menerus itu mustahil terjadi, berarti kalam
Allah itu bukan makhluk.
Ayat ini tidak juga dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab seperti
itu. Menurut Muhammad Quraish Shihab maksud ayat ini adalah bahwa
kuasa Allah dan betapa mudahnya kebangkitan setelah kematian dan lain-
lain yang dikehendaki-Nya terlaksana. Betapa tidak, padahal sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya: Kun (jadilah), maka jadilah ia.190
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, kata ( ) ﻛﻦkun / jadilah
dalam ayat ini digunakan untuk menggambarkan betapa mudah Allah swt.
menciptakan dan mewujudkan sesuatu dan betapa cepat terciptanya
sesuatu bila Dia kehendaki. Cepat dan mudahnya itu, diibaratkan dengan
mengucapkannya, karena Dia tidak memerlukan suatu apa pun untuk
mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya.191 Lebih lanjut Muhammad Quraish
Shihab menjelaskan, bahwa kata kun hanya melukiskan kepada manusia
betapa Allah tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya
dan betapa cepat sesuatu dapat Dia wujudkan, sama bahkan lebih cepat –
189
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 121.
190
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 228.
191
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 228.
99
192
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 228.
193
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 140.
194
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 140.
100
195
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 493.
196
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 494.
197
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 494.
198
3“uqà)ø9$# ‰ƒÏ‰x© ¼çmuH©>tã (Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat).
199
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 494.
101
sebagai keseluruhan ayat-ayatnya yang enam ribu lebih itu, dan dapat juga
digunakan untuk menunjuk walau satu ayat saja atau bagian dari satu
ayat. 200 Allah al-Raèmãn yang mengajarkan al-Qur`an itu Dialah yang
menciptakan manusia makhluk yang paling membutuhkan tuntunan-Nya,
sekaligus yang paling berpotensi memanfaatkan tuntunan itu dan
mengajarnya ekpresi yakni kemampuan menjelaskan apa yang ada dalam
benaknya, dengan berbagai cara utamanya adalah bercakap dengan baik
dan benar.201
Muhammad Quraish Shihab menambahkan penjelasannya di atas
dengan artikulasi yang logis dan sangat gamblang, menurutnya:
Kita tidak perlu menyatakan bahwa pengajaran Allah melalui ilham-
Nya itu adalah pengajaran bahasa. Ia adalah penciptaan potensi pada
diri manusia dengan jalan menjadikannya tidak dapat hidup sendiri,
atau dengan kata lain menciptakannya sebagai makhluk sosial. Itulah
yang mendorong manusia untuk saling berhubungan, dan ini pada
gilirannya melahirkan aneka suara yang disepakati bersama maknanya
oleh satu komunitas, dan aneka suara itulah yang merupakan bahasa
mereka. Memang kata (' )ﻋﻠّﻢallama / mengajar tidak selalu dalam
bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata juga ide,
tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta
didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat
melahirkan aneka pengetahuan.202
200
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 496.
201
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 496.
202
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 496.
102
203
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 95.
204
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 95.
103
swt., yakni malaikat Jibril as., dalam menurunkannya dan kaum muslimin
dalam pemeliharaannya.205
Kaum muslimin juga ikut memelihara otentistas al-Qur`an dengan
banyak cara. Baik dengan menghafalnya, menulis dan membukukannya,
merekamnya dalam berbagai alat seperti piringan hitam, kaset, CD dan lain-
lain. Ini di samping memelihara makna-makna yang dikandungnya. Karena
itu bila ada yang salah dalam menafsirkan maknanya – kesalahan yang tidak
dapat ditoleransi – atau keliru dalam membacanya, maka akan tampil sekian
banyak orang yang meluruskan kesalahan dan kekeliruan itu. Apa yang
dilakukan manusia itu, tidak terlepas dari taufik dan bantuan Allah swt.
guna pemeliharaan kitab suci umat Islam itu.
Sejak dahulu hingga kini-bahkan anak-anak sebelum dewasa-telah
mampu menghapal keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an, bahkan sekian banyak
di antara mereka yang menghapalnya adalah orang-orang yang tidak
memahami artinya. Bahkan tidak jarang mereka yang berhasil meraih juara
dalam musabaqah-musabaqah tilawatil Qur`an pada tingkat internasional
adalah pemuda-pemuda yang bahasa ibunya bukan bahasa al-Qur`an .
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menulis:
Dari hari ke hari bertambah jelas bukti-bukti kebenaran janji
tersebut, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
digunakan dalam pemeliharaannya. Dahulu ketika turunnya ayat ini,
pernyataan tersebut baru merupakan janji sebagaiman dipahami dari
bentuk kata ( ) ﻟﺤﺎﻓﻈﻮنlaèãfiìün, tetapi kini setelah berlalu lebih dari
seribu lima ratus tahun, janji itu telah menjadi kenyataan walaupun
sekian banyak upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk
mengubah atau menghapusnya, dan walaupun upaya tersebut
dilaksanakan pada masa-masa umat Islam dalam keadaan lemah dan
dijajah. Orang-orang Yahudi yang memiliki pengalaman dan keahlian
dalam mengubah dan memalsukan kitab suci, kendati berhasil
memalsukan ribuan hadis-hadis Nabi Muhammad saw., serta
memutarbalikkan sejarah Islam, tetapi sedikit pun mereka tidak
205
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 95.
104
Surat Hüd [11]: 1 yang juga dijadikan dalil oleh Mu`tazilah bahwa al-
Qur`an itu baru, karena keadaan al-Qur`an yang tersusun dari hurup-hurup
serta terkumpul dalam tulisan tidak bisa dikatakan qadîm. Tidak pula
dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab, firman-Nya: Alif, Lãm, Rã. Inilah
yang terdiri dari huruf-huruf semacam huruf-huruf itu, yang menghasilkan
suatu kitab yang agung tuntunannya dan yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi oleh Allah swt. sendiri tanpa campur tangan makhluk, kemudian
setelah keistimewaannya yang demikian agung dalam kedudukannya sebagai
207
satu kitab yang utuh, lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, bahwa ia bertambah istimewa lagi karena ayat-ayatnya
dijelaskan secara terperinci juga oleh Allah swt. dan oleh Rasul-Nya yang
sejak semula diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu kepadamu, wahai Muhammad.208
Muhammad Quraish Shihab tidak menyebut ayat ini yang dijadikan
dalil oleh Mu`tazilah menjadi argumennya untuk membuktikan bahwa al-
Qur`an itu makhluk. Ayat 23 surat al-Zumar menurut pemahaman
Mu`tazilah menunjukkan sifat-sifat al-Qur`an yang baru tidak kekal, tidak
pula dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab seperti itu. Ayat di atas
menurut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan tentang al-Qur`an serta
dampaknya terhadap mereka yang terbuka hatinya.
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menambahkan bahwa: Allah
telah menurunkan secara bertahap sedikit demi sedikit perkataan yang
paling baik yaitu firman-firman-Nya yang terhimpun dalam kitab agung
yakhi al-Qur`an yang serupa mutu ayat-ayatnya. Kesemuanya mencapai
206
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 97.
207
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 181.
208
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 181.
105
209
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 217.
210
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 218.
211
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 218.
106
212
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-
Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th), h. 225.
213
Abu Èamid al-Ghazãlî, Al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd, (Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah,
1988), h. 180-182.
107
99, surat al-Sajdah ayat 13, surat al-An`ãm ayat 112 dan surat al-Baqarah
ayat 253:214
215
ÇÊÏÈ ß‰ƒÌ•ãƒ $yJÏj9 ×A$¨èsù
’Îû `tB z`tBUy y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur
4 $·èŠÏHsd öNßg•=à2 ÇÚö‘F{$#
4Ó®Lym }¨$¨Z9$# çnÌ•õ3è? |MRr'sùr&
216
ÇÒÒÈ šúüÏZÏB÷sãB (#qçRqä3tƒ
C§øÿtR ¨@ä. $oY÷•s?Uy $oYø¤Ï© öqs9ur
¨,ym ô`Å3»s9ur $yg1y‰èd
¨bV|øBV{ ÓÍh_ÏB ãAöqs)ø9$#
Ïp¨YÉfø9$# šÆÏB zO¨Yygy_
217
ÇÊÌÈ šúüÏèuHødr& Ĩ$¨Z9$#ur
çnqè=yèsù $tB y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur
šcrçŽtIøÿtƒ $tBur öNèdö‘x‹sù (
218
ÇÊÊËÈ
Ÿ@tGtGø%$# $tB ª!$# uä!$x© öqs9ur
.`ÏiB NÏdω÷èt/ .`ÏB tûïÏ%©!$#
ÞOßgø?uä!%y` $tB ω÷èt/
Ç`Å3»s9ur àM»oYÉi•t6ø9$#
ô`¨B Nåk÷]ÏJsù (#qàÿn=tG÷z$#
4 t•xÿx. `¨B Nåk÷]ÏBur z`tB#uä
$tB ª!$# uä!$x© öqs9ur
©!$# £`Å3»s9ur (#qè=tGtGø%$#
219
ÇËÎÌÈ ß‰ƒÌ•ãƒ $tB ã@yèøÿtƒ
214
Abu al-Èasan Ismãil Al-Asy`ari, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-zaig wa al-
Bida`, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000), cet 1h. 47-59.
215
Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Burüj [85]: 16).
216
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yünus [10]: 99).
217
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa
petunjuk, akan tetapi telah tetaplah Perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan aku
penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (QS. Al-Sajdah [32]:
13).
218
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka
tinggalkan-lah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An`ãm [6]: 112).
219
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang
(yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, Maka ada di antara mereka yang beriman dan
ada (pula) di antara mereka yang kafir. seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka
108
berbunuh-bunuhan. akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Baqarah
[2]: 253).
220
Abu Hasan Asy`ari, Kitab al-Luma', h 37.
221
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup
Kami memikulnya. (QS. al-Baqarah [2]: 286).
222
Abu Said Abdullah al-Baidhawi, Anwãr al-Tanzîl wa Asrãr al-Ta`wîl, (Beirut: Dãr
al-Fikr, t.th), h 274.
223
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 130.
224
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 126-130.
109
225
Harun Nasution, Teologi Islam, h 119-120.
226
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.
(QS. al-Ahzãb [33]: 62)
227
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, h 225. Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 122.
110
228
Abu mansur al-Mãturîdî, Al-Tauèîd, h. 287-289.
229
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Mãidah [5]:
48).
230
Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia
menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya. (QS. Al-An`ãm [6]:
149).
231
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yünus [10]: 99).
232
Abu Mansur al-Mãturîdî, Al-Tauèîd, h. 289.
111
233
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an Tafsir Maudhui`i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan 1996), h. 35. Muhammad Quraish Shihab, Menyibak Tabir
Ilahi Al-Asma al-Husna Dalam Perspektif al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 318.
234
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 35.
235
Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (QS. surat Fãthir [35]: 43)
112
yang menyatakan bahwa siapa pun tidak akan mampu mengalihkan hukum
Allah dari arah yang telah ditentukannya. Bagi yang mendinginkan air hingga
mencapai nol derajat Celcius tidak mungkin dapat menjadikan air yang lain
menjadi beku. Bagi yang bekerja keras, tidak mungkin sukses usahanya
diraih oleh yang malas. 236 Itu adalah sunnah Allah yang diberlakukan-Nya
terhadap apa, siapa dan kapan pun. Karena ia adalah sunnah yang tidak
menyimpang dari arah yang ditetapkan.
Adapun surat al-Burüj [85]: 16, 237 ditafsirkan Muhammad Quraish
Shihab dengan mengatakan bahwa kalimat fã`ãl limã yurîd dari segi
redaksional berarti Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya dan
ini mencakup segala sesuatu, namun demikian kata fa`ala apabila
pelakunya adalah Allah, maka sering kali yang dimaksud adalah siksa atau
ancaman siksa. 238 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan
bahwa kata fa`ala yang pelakunya manusia, sering kali yang dimaksud
adalah kelakukan buruk.239
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga tidak lagi berlaku
semutlak-mutlaknya, karena sudah dibatasi oleh kebebasan dan ikhtiar yang
diberikan Tuhan kepada manusia. Seperti masalah iman dan kufur,
seandainya kalau Tuhan menghendaki agar semua manusia beriman atau
taat seperti malaikat, pasti Tuhan sanggup melakukannya. Tetapi atas dasar
hikmat dan kebijaksanaan, Tuhan sengaja tidak melakukannya, masalah
iman dan kufur diletakkan-Nya atas ikhtiar manusia, sehingga sebagian
236
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h. 494.
237
Teks ayat:
ÇÊÏÈ ß‰ƒÌ•ãƒ $yJÏj9 ×A$¨èsù
Maha pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Burüj [85]: 16).
238
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 163.
239
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 163.
113
manusia ada yang beriman dan sebagian yang lain kafir. 240 Demikianlah
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan ketika ia menafsirkan surat Yünus
[10]: 99. Jadi walaupun Tuhan berkuasa menjadikan semua manusia
beriman, tetapi itu tidak dikehendakinya, karena Dia bermaksud menguji
manusia dan memberi mereka kebebasan beragama dan bertindak. Dia
menganugerahkan manusia potensi akal agar mereka menggunakannya
untuk memilah dan memilih.
Lebih tegas lagi, Muhammad Quraish Shihab ketika menjelaskan surat
al-An`ãm [6]: 107:
!$tB ª!$# uä!$x© öqs9ur
y7»oYù=yèy_ $tBur 3 (#qä.uŽõ°r&
|MRr& !$tBur ( $ZàŠÏÿym öNÎgøŠn=tæ
241
ÇÊÉÐÈ 9@‹Ï.uqÎ/ NÍköŽn=tã
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan ayat di atas dengan
menyatakan bahwa keimanan dan kekufuran seseorang tidak berada dalam
kehendak mutlak Allah, sehingga menjadikan mereka bebas dari tanggung
jawab. Ayat ini untuk menguji manusia agar beriman melalui kesadaran
mereka sendiri pada tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka temukan di
alam raya ini. Muhammad Quraish Shihab mengungkapkan:
Ayat ini telah menjelaskan kepada kita bahwa ayat ini tidak dapat
dijadikan dalih oleh siapa pun bahwa dalam hal keimanan dan
kekufuran mereka berada dalam lingkungan kehendak mutlak Allah,
sehingga menjadikan mereka bebas dari tanggung jawab. Penggalan
ayat ini lebih banyak dimaksudkan untuk menghibur Rasul saw. yang
sangat sedih dengan kedurhakaan mereka. Untuk itu Allah
menyatakan bahwa sebenarnya Allah kuasa menjadikan mereka
beriman dan taat dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan
mencabut hak pilih mereka, sehingga mereka langsung dapat percaya
atau menghidangkan hal-hal yang luar biasa, atau mencabut ciri-ciri
240
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h. 1164.
241
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan (Nya). Dan
Kami tidak menjadikan engkau pengawas bagi mereka; dan engkau sekali-kali bukanlah
pemelihara bagi mereka. (QS. al-An`ãm [6]: 107).
114
242
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 239.
243
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 335.
115
ada yang tidak diberinya petunjuk seperti kamu karena kalian lebih memilih
jalan kesesatan.244 Dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas,
jelaslah bahwa dalam melaksanakan kehendak-Nya, baik memberi petunjuk
dan menyesatkan hamba-Nya atau menjadikan mereka itu beriman, baik,
kafir, dan jahat, Allah tidak menggunakan cara yang semena-mena atau
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan memaksakannya pada orang-
orang yang dikehendaki-Nya tersebut sejak awal, tetapi dengan cara yang
sesuai dengan sunah-Nya. Sunnatullah dalam memberi petunjuk dan
menyesatkan hamba-hamba-Nya atau menjadikan mereka beriman, kafir,
baik, dan jahat adalah mengacu kepada perilaku dan sikap mereka sendiri.
Begitu juga dalam rezeki, Tuhan sebenarnya mampu memberikan
rezeki kepada seluruh makhluk tanpa usaha mereka, tetapi Tuhan tidak
melakukan hal itu, mesti dihubungkannya dengan usaha dan ikhtiar. Ini
dapat dilihat dalam penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap surat
Hüd [11]: 6
ÇÚö‘F{$# ’Îû 7p-/!#yŠ `ÏB $tBur
$ygè%ø—Í‘ «!$# ’n?tã žwÎ)
$yd§•s)tFó¡ãB ÞOn=÷ètƒur
5=»tGÅ2 ’Îû @@ä. 4 $ygtãyŠöqtFó¡ãBur
245
ÇÏÈ &ûüÎ7•B
Jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada makhluk-Nya bukan
berarti memberinya tanpa usaha. Kita harus sadar bahwa yang menjamin itu
adalah Allah swt. yang menciptakan makhluk serta hukum-hukum yang
mengatur makhluk dan kehidupannya. Ketetapan hukum-hukum-Nya yang
telah mengikat manusia juga berlaku untuk seluruh makhluk.246 Berdasarkan
244
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 335.
245
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Hüd [11]:
6)
246
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 194.
116
C. Keadilan Tuhan
117
247
Al-Syahrastãnî, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h.
58.
248
Al-Syahrastãnî, Al-Milal wa al-Nièal, h. 58.
118
249
sekehendak hati-Nya. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah
mengandung arti bahwa dibalik perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat
hikmah-hikmah dan manfaat, baik untuk diri-Nya ataupun untuk yang
lain. 250 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa alam tidak diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia. Keadilan Tuhan bukan dipandang pada
kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai Pemilik Mutlak.
Mu`tazilah, yang mengakui kebebasan manusia tetapi menolak
kekuasaan dan kehendak mutlak Allah, memahami keadilan Allah dari sudut
kepentingan manusia. 251 Bagi mereka, sebagaimana yang dijelaskan Abdul
Jabbãr, keadilan itu erat hubungannya dengan hak. Karena itu, mereka
mengartikan keadilan dengan “memberikan kepada seseorang akan
haknya. 252 Kalau dikatakan Allah adalah Tuhan yang Maha Adil, berarti
semua perbuatannya adalah baik dan Dia tidak dapat berbuat buruk atau
mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya tehadap manusia.253 Sesuai dengan
pengertian keadilan yang telah mereka kemukakan itu, maka menurut
Mu`tazilah, Allah tidak dapat berbuat zalim dan sewenang-wenang dalam
memberi hukuman kepada hamba-hamba-Nya, tidak dapat menghukum
anak-anak dari orang musyrik lantaran dosa para orang tua mereka, tidak
akan membebani manusia dengan taklif yang melebihi batas kemampuan
mereka, dan mesti memberi balasan baik kepada orang yang beriman dan
taat kepada-Nya. Sebaliknya juga, ia akan menghukum orang-orang yang
menentang perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya.254
Untuk mendukung pendapat di atas kaum Mu`tazilah mempergunakan
249
Al-Bazdawî, Kitãb Uéül al-Dîn, h 130. Harun Nasution, Teologi Islam, h. 124.
250
Al-Bazdawî, Kitãb Uéül al-Dîn, h 130.
251
Muèammad ibn ‘Abdul Karîm Al-Syahrastãni, Nihãyat al-Iqdãm fi `Ilm al-Kalãm,
(Ed.), Alfred Guillaume, (London, Oxford University Press, 1934), h. 397-398.
252
Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an 'an al-Maëã'in, h 302.
253
Abdul Jabbãr, Syarè Uéül al-Khamsah, h 316. Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an
`an al-Mathîn, (Beirut: Dãr al-Nahdhah al-Hadîê, t.th), h. 302.
254
Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an 'an al-Maëã'in, h. 302.
119
dalil al-Qur`an, surat al-Anbiyã' [21]: 47,255 surat Yãsin [36]: 54256:
tûïΗºuqyJø9$# ßìŸÒtRur
ÏQöqu‹Ï9 xÝó¡É)ø9$#
Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿxsù ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
tA$s)÷WÏB šc%Ÿ2 bÎ)ur ( $\«ø‹x©
$oY÷•s?r& @AyŠö•yz ô`ÏiB 7p¬6ym
šúüÎ7Å¡»ym $oYÎ/ 4’s"x.ur 3 $pkÍ5
257
(47 : )اﻻﻧﺒ ﺎءÇÍÐÈ
Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿw tPöqu‹ø9$$sù
$tB žwÎ) šc÷rt“øgéB Ÿwur $\«ø‹x©
258
(54 : ) ﺲÇÎÍÈ tbqè=yJ÷ès? óOçFZà2
255
Abdul Jabbãr, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Muèammad Zarzuwar,
(Qãhirah: Dãr al-Turãs, 1969), h. 500.
256
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h. 576.
257
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti
Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (QS. al-
Anbiyã' [21]: 47).
258
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak
dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yãsin [36]: 54).
259
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 500-501.
260
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 500-501.
120
261
Harun Nasution, Teologi Islam, h 124.
262
Harun Nasution, Teologi Islam, h 124.
263
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah, jilid 1, h 204 dan 308.
264
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah, jilid 1, h 204 dan 308.
265
Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi
pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan). (QS. al-An`ãm [6]: 160).
266
Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima
pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menyalahi janji. (QS. Äli Imrãn [3]: 9).
267
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah, jilid 1, h 204 dan 308.
121
268
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah , jilid 1, h 204 dan 308.
269
Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Ta`bir Ilahi, h 152.
270
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h 110.
271
Teks ayat:
ÏQöqu‹Ï9 xÝó¡É)ø9$# tûïΗºuqyJø9$# ßìŸÒtRur
bÎ)ur ( $\«ø‹x© Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿxsù ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
$oY÷•s?r& @AyŠö•yz ô`ÏiB 7p¬6ym tA$s)÷WÏB šc%Ÿ2
ÇÍÐÈ šúüÎ7Å¡»ym $oYÎ/ 4’s"x.ur 3 $pkÍ5
122
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.
272
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 460.
273
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 460.
274
Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Ta`bir Ilahi, h 152.
275
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 460.
276
Teks ayat:
Ÿwur $\«ø‹x© Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿw tPöqu‹ø9$$sù
ÇÎÍÈ tbqè=yJ÷ès? óOçFZà2 $tB žwÎ) šc÷rt“øgéB
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi,
kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yãsin [36]: 54).
277
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 557.
123
hari itu seseorang yang taat maupun yang durhaka tidak akan dirugikan
sedikit pun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu
kerjakan. Penganiayaan adalah menempatkan sesuatu bukan pada
tempatnya, atau memberi kurang dari hak yang semestinya diberikan.
Sedang di sini yang bersangkutan diberikan persis sesuai dengan hak dan apa
yang dilakukannya. 278 Dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab di atas,
dapat dipahami bahwa pada hari Kiamat tidak akan dikurangi balasan
amalan setiap orang, amal yang baik atau amal buruk, juga tidak akan
dipikulkan kepada seseorang dosa orang lain. Tetapi setiap orang akan
menerima balasan yang mereka kerjakan. Sebaliknya, seseorang tidak akan
disiksa kecuali atas perbuatan buruk yang ia lakukan, sebagai balasan yang
sesuai dengan perbuatannya di dunia. Jadi, Tuhan benar-benar adil dalam
memberikan balasan, dan tidak seorang pun merasa dirugikan pada hari
Kiamat.
Adapun surat Fuééilat [41]:46, 279 ditafsirkan Muhammad Quraish
Shihab dengan perbuatan seseorang berkaitan dengan pelakunya secara
menyifatinya. Kalau baik dan bermanfaat, maka dirinya sendiri yang
menarik manfaatnya, dan kalau buruk, maka dia pula yang memperoleh
keburukan. Di sini Muhammad Quraish Shihab menafsirkan dengan
memberikan kebebasan kepada manusia dalam memilih apakah akan
melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk. Keadaan memilih mana
yang baik dan mana buruk bagi manusia, Tuhan akan memberikan pahala
dan siksa menurut pilihan mereka, menunjukkan bahwa pandangan keadilan
278
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 558.
279
Teks ayat:
ô`tBur ( ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù $[sÎ=»|¹ Ÿ@ÏHxå ô`¨B
5O»¯=sàÎ/ y7•/u‘ $tBur 3 $ygøŠn=yèsù uä!$y™r&
ÇÍÏÈ Ï‰‹Î7yèù=Ïj9
Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka untuk dirinya sendiri, dan barang
siapa yang berbuat jahat maka atas dirinya, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Maha
Pengniaya hamba-hamba. (QS. Fuééilat [41]:46).
124
Tuhan yang dianut Muhammad Quraish Shihab adalah paham keadilan bagi
kepentingan manusia. Untuk memperjelas penafsirannya, Muhammad
Quraish Shihab mengatakan: “…barang siapa yang mengerjakan amal yang
saleh maka manfaat dan pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri. Allah
tidak akan menyia-nyiakan amal baik tanpa ganjaran dan tidak juga
membiarkan satu dosa tanpa perhitungan dan dosa amalnya atas dirinya
sendiri pula. Dia yang akan memikulnya, bukan orang lain. 280 Dengan
demikian, ayat tersebut menurut Muhammad Quraish Shihab memberikan
penjelasan bahwa Tuhan tidak berlaku zalim kepada hamba-hamba-Nya,
tetapi benar-benar adil dalam memberikan balasan untuk kepentingan
manusia.
Selanjutnya ketika menafsirkan surat Ghãfir [40]: 17,281 Muhammad
Quraish Shihab berpendapat bahwa tiap-tiap apa yang diusahakannya,
setelah Allah melakukan perhitungan yang teliti atas setiap orang. Tidak
ada sedikit pun penganiayaan pada hari Kiamat itu; tidak ada kecurangn
dengan pengurangan pahala atau penambahan siksa, semua ditempatkan
pada tempat yang semestinya. itu semua berjalan dengan cepat karena
sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.282 Lebih lanjut Muhammad
Quraish Shihab mengatakan, bahwa kecepatan perhitungan itu
mengisyaratkan pula sempurnanya keadilan, karena salah satu makna
keadilan adalah penyerahan hak kepada pemiliknya melalui cara yang
tercepat. 283 Jadi, pada hari Kiamat akan diberi balasan setiap orang yang
280
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 431.
281
Teks ayat:
Ÿw 4 ôMt6|¡Ÿ2 $yJÎ/ ¤§øÿtR ‘@ä. 3“t“øgéB tPöqu‹ø9$#
ßìƒÎŽ| ©!$# žcÎ) 4 tPöqu‹ø9$# zNù=àß
ÇÊÐÈ É>$|¡Ïtø:$#
Pada hari itu tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada
penganiayaan pada hari itu; sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ghãfir
[40]: 17)
282
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 302.
283
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 303.
125
284
Teks ayat:
à7s? bÎ)ur ( ;o§‘sŒ tA$s)÷WÏB ãNÎ=ôàtƒ Ÿw ©!$# ¨bÎ)
çm÷Rà$©! `ÏB ÅV÷sãƒur $ygøÿÏ軟ÒムZpuZ|¡ym
ÇÍÉÈ $VJŠÏàtã #·•ô_r&
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala
yang besar dari sisi-Nya. (QS. al-Nisã' [4]: 40).
285
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol II, h 446.
286
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 446.
126
291
Teks ayat:
`s9ur É>#x‹yèø9$$Î/ y7tRqè=Éf÷ètGó¡o„ur
y‰YÏã $·Böqtƒ žcÎ)ur 4 ¼çny‰ôãur ª!$# y#Î=øƒä†
ÇÍÐÈ šcr‘‰ãès? $£JÏiB 7puZy™ É#ø9r(x. y7În/u‘
š†Éfur $olm; àMø‹n=øBr& >ptƒö•s% `ÏiB ûÉiïr(Ÿ2ur
¥’n<Î)ur $pkèEõ‹s{r& ¢OèO ×pyJÏ9$sß
ÇÍÑÈ çŽ•ÅÁyJø9$#
Dan mereka meminta kepadamu agar disegerakan azab, padahal Allah sekali-kali tidak akan
menyalahi janji-Nya, dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun
menurut perhitungan kamu. Dan berapa banyak kota yang Aku tangguhkan kepadanya,
padahal ia berbuat zalim, kemudian Aku menyiksanya, dan hanya kepada-Ku-lah kembali
(segala sesuatu). (QS. al-Èajj [22]: 47-48)
292
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 208.
293
Teks ayat:
yŠ$yè‹ÏJø9$# ª!$# ß#Î=øƒä† Ÿw ( «!$# y‰ôãur
ÇËÉÈ
Janji Allah, Allah tidak akan memungkiri janji. (QS. al-Zumar [39]: 20).
128
adala keberania, maka ketika itu seluruh aspek dan isi dari makna
keberanian telah berada dan tampil pada dirinya, atau dengan kata
lain keberaniannya telah mencapai tingkat 100 %. Demikian juga
dengan kata wa`d / janji yakni segala makna substansi dan
konsekuensi dari janji telah terpenuhi, apalagi Allah tidak akan
pernah memungkiri janji.294
D. Perbuatan Tuhan
Setiap aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan
melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi
295
logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Sebagaimana para teolog Islam dari berbagai aliran telah membahasnya,
Muhammad Quraish Shihab juga ikut membahasnya meskipun hanya dalam
rangka menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang telah dijadikan argumen oleh
para teolog itu dalam memperkuat pendirian masing-masing.
Persoalan yang timbul tentang perbuatan Tuhan adalah, apakah
perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah
perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga
294
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 210.
295
Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 324.
129
296
Maèmüd Qãsim, Manãhij al-Adillalh fi `Aqã'id al-Millah li Ibn Rusyd ma`a
Muqaddimah fi Naqd Madãris `Ilm al-Kalãm, (Qãhirah: Maktabah al-Anglo al-Misriyyah,
1963), h. 93. Harun Nasution, Teologi Islam, h 117.
297
Maèmüd Qãsim, Manãhij al-Adillalh fi `Aqã'id al-Millah li Ibn Rusyd ma`a
Muqaddimah fi Naqd Madãris `Ilm al-Kalãm , (Qãhirah: Maktabah al-Anglo al-Misriyyah,
1963).h 93. Harun Nasution, Teologi Islam, h 117.
298
Abu Hãmid al-Ghazãli, Al-Iqtiéãd fi al-I`tiqãd, h 112.
130
tidak mutlak lagi. Allah bebas berbuat apa saja yang dikehendaki dan bebas
tidak berbuat apa yang tidak dikehendaki-Nya. Perbuatan Allah tidak
didorong atau dilatarbelakangi oleh suatu sebab ( ) ﻋﻠّﺔyang mewajibkan-
Nya berbuat sesuatu.
Adapun pendirian Maturidiyyah Bukhara sejalan dengan pendirian
Asy`ariyyah tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Oleh
karena itu Tuhan tidak wajib berbuat baik kepada manusia, dan tidak wajib
mengirim rasul-rasul. Tuhan juga dapat memberi beban yang tak terpikul
oleh manusia.299 Kaum Maturidiyyah Bukhara agak berbeda dengan golongan
Asy`ariyyah. Bagi Maturidiyyah Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar
janji-Nya memberi ganjaran kepada yang berbuat baik, tetapi sebaliknya,
bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi
hukuman kepada orang yang berbuat jahat. 300 Sedang bagi Asy`ariyyah,
kedua bentuk janji tersebut mungkin saja dilanggar Tuhan, karena Tuhan
tidak berkewajiban untuk menepatinya.
Menurut Mu`tazilah, perbuatan Tuhan hanyalah terbatas pada hal-hal
yang baik saja. Ia tidak pernah melakukan dan memilih perbuatan buruk,
dan tidak pula pernah menyia-nyiakan kewajiban-Nya.301 Ini sesuai dengan
prinsip Mu`tazilah bahwa Tuhan wajib berbuat baik, bahkan terbaik bagi
kepentingan manusia, yang dikenal dengan istilah wujub al-éalah wa al-
aélah.
Untuk melegitimasi pendapat tersebut, Mu`tazilah merujuk kepada
surat al-Anbiyã' [21]: 23 dan al-Rüm [30]: 8:
öNèdur ã@yèøÿtƒ $¬Hxå ã@t«ó¡ç„ Ÿw
302
(23 :)اﻷﻧﺒ ﺎء ÇËÌÈ šcqè=t«ó¡ç„
299
Harun Nasution, Teologi Islam, h 128-134.
300
Harun Nasution, Teologi Islam, h 128-134.
301
Abdul Jabbãr, Syarè al-Ushül al-Khamsah, h 301.
302
Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, dan merekalah yang akan
ditanya. (QS. al-Anbiyã' [21]: 23).
131
303
Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
melainkan dengan yang haq. (QS. al-Rüm [30]: 8).
304
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 497.
305
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 552.
306
Abdul Jabbãr, Syarè Uéül al-Khamsah, h 563-564. Harun Nasution, Teologi Islam,
h 131.
307
Harun Nasution, Teologi Islam, h 129.
132
308
Abdul Jabbãr, Syarè Uéül al-Khamsah , h 129.
309
Kamãl al-Dîn Aèmad al-Bayãdi, Isyãrat al-Marãm min Ibarãt al-Imãm, (Ed), Yüsuf
‘Abd al-Razzãq, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1949), h 312.
310
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, h 203.
311
Harun Nasution, Teologi Islam, h 132. Kamãl al-Dîn Aèmad al-Bayãdi, Isyãrat al-
Marãm min 'Ibãrat al-Imãm, (Ed), Yusuf Abd al-Razzãq, (Kairo: Mustafa al-Bãbi al-Halabî wa
Aulãduh, 1949), h 312.
312
Teks ayat:
šcqè=t«ó¡ç„ öNèdur ã@yèøÿtƒ $¬Hxå ã@t«ó¡ç„ Ÿw
ÇËÌÈ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai. (QS.
al-Anbiyã [21]: 23).
313
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 433.
133
ditanya kelak di hari Kemudian tentang apa yang mereka telah lakukan. 314
Dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas, jelaslah bahwa
dalam melakukan perbuatan-Nya, Allah tidak bertanggungjawab kepada
siapa pun, karena Dia pemilik dan penguasa serta segala perbuatan-Nya
sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan, karena itu apa pun yang
dilakukan-Nya tidak perlu Dia pertanggungjawabkan, tidak juga wajar
dikecam atau dikritik, berbeda dengan manusia. Dengan lebih jelas
Muhammad Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut:
Mengisyaratkan Kepemilikan, Kuasa, serta Ilmu Allah yang Maha
Mutlak, sekaligus mengisyaratkan kedudukan manusia sebagai
makhluk bertanggung jawab. Allah Maha Pemilik mutlak lagi Maha
Kuasa, serta segala perbuatan-Nya sesuai dengan hikmah dan
kemaslahatan, karena itu apa pun yang dilakukan-Nya tidak perlu Dia
pertanggungjawabkan, tidak juga wajar dikecam atau dikritik,
berbeda dengan manusia. Bukankah jika kita memiliki–katakanlah-
sebuah cangkir, kita tidak bebas melempar atau memecahkannya,
karena jika itu kita lakukan maka paling sedikit pertanyaan yang
mengandung permintaan pertanggungjawaban akan ditujukan kepada
kita, bahkan boleh jadi kecaman akan terlontar kepada kita. Ini
karena kepemilikan manusia terhadap sesuatu bukanlah kepemilikan
mutlak. Di samping itu, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk
bertanggung jawab. Ini berbeda dengan Allah, Tuhan Yang Maha
Kuasa, Dia adalah Pemilik Mutlak, Dia tidak dikecam atas apa pun
yang dilakukan-Nya, apalagi pertimbangan pikiran manusia tidak
dapat menjadi ukuran yang pasti terhadap perbuatan-perbuatan-Nya.
Isi hati dan motif pelaku mempunyai peranan yang besar dalam
menerima atau menolak, mengkritik atau memuji satu kebijaksanaan
atau tindakan. Allah Maha Mengetahui, tidak ada sesuatu yang
bersumber dari-Nya buruk. Memang boleh jadi itu terlihat buruk oleh
mata manusia yang pengetahuannya terbatas, tetapi hakikatnya tidak
demikian. Karena itu Allah tidak wajar dimintai pertanggungjawaban,
tidak juga dikritik. Sebaliknya Allah mengetahui isi hati manusia dan
motif-motifnya, mengetahui rincian amal-amal mereka, dan sebelum
itu Dia telah menetapkan bahwa manusia adalah makhluk
314
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 434.
134
315
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 436.
316
Teks ayat:
$¨B 3 NÍkŦàÿRr& þ’Îû (#rã•©3xÿtGtƒ öNs9urr&
$tBur uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»uK¡¡9$# ª!$# t,n=y{
‘wK|¡•B 9@y_r&ur Èd,ysø9$$Î/ žwÎ) !$yJåks]øŠt/
ÇÑÈ
Dan apakah mereka tidak memikirkan tentang diri mereka? Allah tidak menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan yang haq dan batas
waktu yang ditentukan. (QS. al-Rüm [30]: 8).
317
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 15.
318
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 16.
135
dan ciptaan Allah membawa hikmah dan kebaikan kepada manusia. Dengan
demikian, tidak ada satu pun dari perbuatan dan ciptaan-Nya itu yang
membawa keburukan. Kalau pun ternyata di dunia ini banyak dijumpai
keburukan yang menimpa manusia, menurut Muhammad Quraish Shihab,
keburukan itu bukan berasal dari Allah, melainkan berasal dari kesalahan
manusia sendiri sebab utuk memperoleh kebaikan dan menghindari
keburukan, Allah sudah membuatkan sunah-sunah-Nya tentang kebaikan dan
keburukan tersebut. 319 Demikian penjelasan Muhammad Quraish Shihab
ketika menafsirkan surat al-Nisã' [4]: 79.320 Kalau kebetulan manusia selalu
mengikuti sunnatullah yang berkenaan dengan kebaikan, baik secara
sengaja maupun tidak sengaja, ia akan selalu memperoleh kebaikan dalam
kehidupannya. Sebaliknya, kalau ia mengikuti sunah-sunah yang berkenaan
dengan keburukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, ia juga akan
menerima keburukan dalam kehidupannya. Secara lebih jelas Muhammad
Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut:
Awal kehadiran kebajikan dari Allah swt. sedang awal terjadinya
kejahatan adalah dari manusia sendiri. Bukankah Allah sejak semula
menginginkan kebaikan, dan kalau manusia mengusahakannya maka
insya Allah akan terjadi. Selanjutnya bukankah manusia yang salah
atau keliru sehingga kejahatan terjadi?321
319
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 520-521.
320
Teks ayat:
( «!$# z`ÏJsù 7puZ|¡ym ô`ÏB y7t/$|¹r& !$¨B
4 y7Å¡øÿ¯R `ÏJsù 7py¥Íh‹y™ `ÏB y7t/$|¹r& !$tBur
4’s"x.ur 4 Zwqß™u‘ Ĩ$¨Z=Ï9 y7»oYù=y™ö‘r&ur
ÇÐÒÈ #Y‰‹Íky- «!$$Î/
Apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada
segenap manusia. (QS. al-Nisã' [4]: 79).
321
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 521.
136
322
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 100.
323
Teks ayat:
ÇÍËÈ !$ygyèó™ãr žwÎ) $²¡øÿtR ß#Ïk=s3çR Ÿw
Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.
(QS. al-A`rãf [7]: 42).
324
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 100.
325
Teks ayat:
$ygs9 4 $ygyèó™ãr žwÎ) $²¡øÿtR ª!$# ß#Ïk=s3ムŸw
3 ôMt6|¡tFø.$# $tB $pköŽn=tãur ôMt6|¡x. $tB
÷rr& !$uZŠÅ¡®S bÎ) !$tRõ‹Ï{#xsè? Ÿw $oY-/u‘
!$uZøŠn=tã ö@ÏJóss? Ÿwur $oY-/u‘ 4 $tRù'sÜ÷zr&
`ÏB šúïÏ%©!$# ’n?tã ¼çmtFù=yJym $yJx. #\•ô¹Î)
sps%$sÛ Ÿw $tB $oYù=ÏdJysè? Ÿwur $uZ-/u‘ 4 $uZÎ=ö6s%
$oYs9 ö•Ïÿøî$#ur $¨Ytã ß#ôã$#ur ( ¾ÏmÎ/ $oYs9
$tRö•ÝÁR$$sù $uZ9s9öqtB |MRr& 4 !$uZôJymö‘$#ur
ÇËÑÏÈ šúïÍ•Ïÿ»x6ø9$# ÏQöqs)ø9$# ’n?tã
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kelapangan / kesanggupannya.
Baginya apa yang telah diusahakan, dan atasnya apa yang telah ia usahakan. (Mereka
berdoa), “Tuhan kami! Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.
137
Tuhan kami! Jangalah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaian Engkau
bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; lindungi kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka menangkanlah kami atas kaum yang
kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 286).
326
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 621.
327
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 621.
138
328
Teks ayat:
tbqä3tƒ žxy¥Ï9 tûïÍ‘É‹YãBur tûïÎŽÅe³t6•B Wxß™•‘
4 È@ß™”•9$# y‰÷èt/ 8p¤fãm «!$# ’n?tã Ĩ$¨Z=Ï9
ÇÊÏÎÈ $VJŠÅ3ym #¹“ƒÍ•tã ª!$# tb%x.ur
Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan
bagi manusia membantah Allah sesudah Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. al-Nisã' [4]: 165).
329
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 666.
139
330
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 667.
331
Teks ayat:
ôMtB£‰s% $yJÎ/ 8pt7ŠÅÁ•B Nßgt6ŠÅÁè? br& Iwöqs9ur
Iwöqs9 $oY-/u‘ (#qä9qà)u‹sù öNÍgƒÏ‰÷ƒr&
yìÎ7®KuZsù Zwqß™u‘ $uZøŠs9Î) |Mù=y™ö‘r&
ÇÍÐÈ tûüÏZÏB÷sßJø9$# šÆÏB šcqä3tRur y7ÏG»tƒ#uä
Dan seandainya mereka ketika mereka ditimpa musibah disebabkan apa yang mereka
kerjakan: “Tuhan kami, mengapa Engkau tidka mengutus seorang rasul kepada kami
sehingga kami mengikuti ayat-ayat-Muhammad dan jadilah kami termasuk orang-orang
mukmin. (QS. al-Qaéaé [28]: 47).
140
Kami mengutusmu sehingga tidak ada lagi dalih yang dapat mereka
ajukan.332
Dari uraia-uraian di atas menunjukkan, bahwa pengiriman rasul
menurut Muhammad Quraish Shihab adalah keniscayaan dan sangat
dibutuhkan untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan manusia.
Pandangan Muhammad Quraish Shihab ini sejalan dengan pemikiran kalam
rasional yang dianut oleh Mu`tazilah333 dan Maturidiyyah Samarkand bahwa
pengiriman rasul merupakan kewajiban Tuhan untuk memberikan
kemaslahatan bagi manusia.
Berikut ini dikemukakan pula pandangan Muhammad Quraish Shihab
mengenai masalah janji dan ancaman (al-wa`d wa al-wa`îd). Bagaimana
pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang hal ini? Seperti pada
pembahasan mengenai keadilan Tuhan, dalam pandangan Muhammad
Quraish Shihab, Tuhan mempunyai janji-janji yang mesti Ia tepati. Allah
sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji-Nya pasti terlaksana pada
waktu yang Dia kehendaki, cepat atau lambat, sesuai dengan
kebijaksanaan-Nya. Demikian penjelasan Muhammad Quraish Shihab ketika
menafsirkan surat al-Èajj [22]: 47-48. 334 Pada bagian lain dari tafsirnya,
332
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol X, h 360.
333
Meskipun golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, namun pengiriman para rasul menurut mereka adalah
wajib.
334
Teks ayat:
`s9ur É>#x‹yèø9$$Î/ y7tRqè=Éf÷ètGó¡o„ur
y‰YÏã $·Böqtƒ žcÎ)ur 4 ¼çny‰ôãur ª!$# y#Î=øƒä†
ÇÍÐÈ šcr‘‰ãès? $£JÏiB 7puZy™ É#ø9r(x. y7În/u‘
š†Éfur $olm; àMø‹n=øBr& >ptƒö•s% `ÏiB ûÉiïr(Ÿ2ur
¥’n<Î)ur $pkèEõ‹s{r& ¢OèO ×pyJÏ9$sß
ÇÍÑÈ çŽ•ÅÁyJø9$#
Dan mereka meminta kepadamu agar disegerakan azab, padahal Allah sekali-kali tidak akan
menyalahi janji-Nya, dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun
menurut perhitungan kamu. Dan berapa banyak kota yang Aku tangguhkan kepadanya,
141
padahal ia berbuat zalim, kemudian Aku menyiksanya, dan hanya kepada-Ku-lah kembali
(segala sesuatu). (QS. al-Èajj [22]: 47-48)
335
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 208.
336
Teks ayat:
yŠ$yè‹ÏJø9$# ª!$# ß#Î=øƒä† Ÿw ( «!$# y‰ôãur
ÇËÉÈ
Janji Allah, Allah tidak akan memungkiri janji. (QS. al-Zumar [39]: 20).
142
143
144
adalah surat Thaha[20]: 134, al-Isrã' [17]: 15, dan surat al-Mulk [67]: 8-9:1
Nßg»oYõ3n=÷dr& !$¯Rr& öqs9ur
¾Ï&Î#ö7s% `ÏiB 5>#x‹yèÎ/
Iwöqs9 $uZ-/u‘ (#qä9$s)s9
Zwqß™u‘ $uZø‹s9Î) |Mù=y™ö‘r&
ìÎ7®KuZsù
¤AÉ‹¯R br& È@ö7s% `ÏB y7ÏG»tƒ#uä
2
(134: )ﻃÇÊÌÍÈ 2”t“øƒwUur
$yJ¯RÎ*sù 3“y‰tF÷d$# Ç`¨B
¨@|Ê `tBur ( ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 “ωtGöku‰
Ÿwur 4 $pköŽn=tæ ‘@ÅÒtƒ $yJ¯RÎ*sù
3 3“t•÷zé& u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s?
4Ó®Lym tûüÎ/Éj‹yèãB $¨Zä. $tBur
3
(15 : )اﻻﺳﺮاءÇÊÎÈ Zwqß™u‘ y]yèö6tR
( Åáø‹tóø9$# z`ÏB 㔨•yJs? ߊ%s3s?
Ólöqsù $pkŽÏù u’Å+ø9é& !$yJ¯=ä.
óOs9r& !$pkçJtRt“yz öNçlm;r'y™
(#qä9$s% ÇÑÈ Ö•ƒÉ‹tR ö/ä3Ï?ù'tƒ
Ö•ƒÉ‹tR $tRuä!%y` ô‰s% 4’n?t/
tA¨“tR $tB $uZù=è%ur $uZö/¤‹s3sù
žwÎ) óOçFRr& ÷bÎ) >äóÓx« `ÏB ª!$#
4
(9-8 : )اﻟﻤﻠﻚÇÒÈ 9Ž•Î7x. 9@»n=|Ê ’Îû
1
Abu Yusr Muèammad Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss,
(Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 209.
2
Dan Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu
(diturunkan), tentulah mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa tidak Engkau utus
seorang Rasul kepada Kami, lalu Kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum Kami menjadi
hina dan rendah?". (QS. Thaha [20]: 134).
3
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia
berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka
Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak
dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul. (QS. al-Isrã' [17]: 15).
4
Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali
dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu)
bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang
pemberi peringatan?" Mereka menjawab: "Benar ada", Sesungguhnya telah datang kepada
Kami seorang pemberi peringatan, Maka Kami mendustakan(nya) dan Kami katakan: "Allah
tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar".
(QS. al-Mulk [67]: 8-9).
145
atau siksa kecuali setelah Rasul diutus.5 Ini menunjukkan bahwa kewajiban-
kewajiban tidak ada kecuali setelah diutusnya Rasul. Dengan demikian iman
tidaklah wajib sebelum Rasul diutus. Karena kewajiban-kewajiban tidak
terwujud kecuali kalau diwajibkan oleh Allah, sedang kewajiban dari Allah
tidak dapat diketahui dengan berita seseorang yang diutus oleh Allah. Oleh
karena itu tidaklah tergambar adanya kewajiban-kewajiban sebelum Rasul
diutus.6
10
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu? (QS. Fuééilat [41]: 53).
11
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan. (QS.
al-Ghãsyiyah [88]: 17).
12
Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka
kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu? (QS. al-A`rãf [7]:
185).
13
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, 209.
147
14
Al-Èaris bin Asad al-Muèãsibî, seorang sufi besar, sekaligus pakar hukum dan
hadis serta sastrawan yang wafat di Bagdad pada tahun 857 M berkata bahwa: “Akal adalah
insting yang diciptakan Allah swt. pada kebanyakan makhluk-Nya, yang (hakikatnya) oleh
hamba-hamba-Nya- baik melalui (pengajaran) sebagian untuk sebagian yang lain, tidak juga
mereka secara berdiri sendiri- (mereka semua) tidak dapat menjangkaunya dengan
pandangan, indera, rasa, atau cicipan. Allah yang memperkenalkan (insting itu) melalui
akal itu (dirinya sendiri).”
Lebih lanjut al-Muèãsibi berkata, “Dengan akal itulah hamba-hamba Allah
mengenal-Nya. mereka menyaksikan wujud-Nya dengan akal itu, yang mereka kenal dengan
akal mereka juga. Dan dengannya mereka mengetahui apa yang bermanfaat bagi mereka
dan dengannya pula mereka mengetahui apa yang membahayakan bagi mereka. Karena itu
siapa yang mengetahui dan dapat membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang
berbahaya baginay dalam urusan kehidupan dunianya, maka dia telah mengetahui bahwa
Allah telah menganugerahinya dengan akal yang dicabutnya dari orang gila atau yang
tersesat dan juga dari sekian banyak orang picik yang hanya sedikit memiliki akal.”
Ada lagi yang berpendapat bahwa akal terdiri dari dua macam. Akal yang
merupakan anugerah Allah dan akal yang dapat diperoleh dan dikembangkan oleh manusia
melalui penalaran, pendidikan, dan pengalaman hidup.
Al-Ghazãlî, sufi yang filosof itu, mengingatkan bahwa kata “akal” mempunyai
banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan
yang menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Makna ini tidak
jauh berbeda dengan pendapat al-Muhasibi di atas. akal juga berarti pengetahuan yang
dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa, di mana- misalnya- ia dapat
mengetahui bahwa sesuatu tidak mungkin ada pada sesuatu yang pada saat yang sama ia
tidak ada juga di temat itu, atau dua itu lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari akal,
menurut al-Ghazali, adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasar pengalaman
yang dilaluinya dan yang pada gilirannya memperhalus budinya. Menurut kebiasaan, orang
yang demikian ini dinamai “orang berakal”, sedang orang yang kasar budinya dinamai
“tidak berakal”. Makna keempat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan
seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan
hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya. Muhammad Quraish
Shihab, Logika Agama, Kedudukan Wahyu Dan Batas-batas Akal Dalam Islam, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), h. 86-88.
148
17
Muhammad Quraish Shihab, Dia Di mana-mana “Tangan” Tuhan Di balik Setiap
Fenomena, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 135.
18
Teks ayat:
þ’Îûur É-$sùFy$# ’Îû $uZÏF»tƒ#uä óOÎgƒÎŽã\y™
çm¯Rr& öNßgs9 tû¨üt7oKtƒ 4Ó®Lym öNÍkŦàÿRr&
¼çm¯Rr& y7În/t•Î/ É#õ3tƒ öNs9urr& 3 ‘,ptø:$#
ÇÎÌÈ î‰‹Íky- &äóÓx« Èe@ä. 4’n?tã
Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri
mereka sendiri, sehingga bagi mereka bahwa ia adalah benar. Dan apakah belum cukup
bahwa Tuhanmu Maha Menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fuééilat [41]: 53).
19
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol 12, h 440.
20
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol 12, h 440.
150
21
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 441.
22
Muhammad Quraish Shihab, Dia Di mana-mana, h. ix.
23
Sesungguhnya yang takut (kagum) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. (QS. Fãthir [35]: 28).
24
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h. 466. Muhammad Quraish
Shihab, Dia Dimana-mana, h. ix.
151
25
Muhammad Quraish Shihab, Dia Dimana-mana, h. xi.
26
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 383.
27
Taklid biasa diartikan dengan menerima dan mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengetahui alasan atau dalilnya. Lihat Ibnu Manìür, Lisãn al-Arab, vol XII (Beirut: Dãr
Éãdir, 2000), h. 173. Mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya disebut
ittiba.
28
Teks ayat:
tAt“Rr& !$tB (#qãèÎ7®?$# ãNßgs9 Ÿ@ŠÏ% #sŒÎ)ur
$uZø‹xÿø9r& !$tB ßìÎ6®KtR ö@t/ (#qä9$s% ª!$#
šc%x. öqs9urr& 3 !$tRuä!$t/#uä Ïmø‹n=tã
Ÿwur $\«ø‹x© šcqè=É)÷ètƒ Ÿw öNèdät!$t/#uä
ÇÊÐÉÈ tbr߉tGôgtƒ
Apabila dikatakan kepada mereka (oleh siapa pun): “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. Apakah (mereka akan mengikuti juga)
152
walaupun nenek moyang mereka itu tidak memahami sesuatu berdasar petunjuk akal dan
tidak juga mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah [2]: 170).
29
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 383.
30
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, h. 126.
31
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, h. 126.
32
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 580.
153
33
Teks ayat:
|N÷sム`tBur 4 âä!$t±o„ `tB spyJò6Åsø9$# ’ÎA÷sãƒ
3 #ZŽ•ÏWŸ2 #ZŽö•yz u’ÎAré& ô‰s)sù spyJò6Åsø9$#
ÇËÏÒÈ É=»t6ø9F{$# (#qä9'ré& HwÎ) ã•ž2¤‹tƒ $tBur
Dia menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang
dianugerahi al-Hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Dan hanya
Ulu al-Albãb yang dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2]: 269).
34
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 581.
35
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 581.
36
Teks ayat:
154
40
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 666.
156
41
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 667.
42
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 667.
43
Teks ayat:
¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 “ωtGöku‰ $yJ¯RÎ*sù 3“y‰tF÷d$# Ç`¨B
Ÿwur 4 $pköŽn=tæ ‘@ÅÒtƒ $yJ¯RÎ*sù ¨@|Ê `tBur (
$¨Zä. $tBur 3 3“t•÷zé& u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s?
ÇÊÎÈ Zwqß™u‘ y]yèö6tR 4Ó®Lym tûüÎ/Éj‹yèãB
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat
itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul
dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
(QS. al-Isrã [17]: 15).
44
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 429.
157
45
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 429.
46
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 430.
47
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa [4]: 96).
48
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 430.
158
49
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), h. 90.
50
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 99. Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran
Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam,
(Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989), h. 88.
159
51
Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, h 88. Abu
Manéür `Abd al-Qãhir Ibn Ëãhir al-Tamîmi Al-Bagdãdi, Kitãb Uéüluddîn, (Beirut: Dãr al-
Madînah, 1928), h. 24. Abu Èamîd Al-Ghazãli, al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd, (Beirut: Dãr al-Kutub
al-Ilmiah, 1988), h. 184.
160
52
Muhammad Quraish Shihab secara bahasa adalah isyarat , ketika
53 54
menafsirkan surat Maryam [19]: 11, dan bisikan berupa ilham , seperti
dalam surat al-Qaéaé [28]: 7, 55 dan juga berarti naluri 56 , seperti dalam
surat al-Naèl [16]: 68, 57 dan bisikan 58 , seperti dalam surat al-An`ãm [6]:
112.59
Sedang wahyu secara istilah menurut Muhammad Quraish Shihab
adalah informasi yang diyakini sumbernya dari Allah yang disampaikan-Nya
52
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h. 158.
53
Teks ayat:
É>#t•ósÏJø9$# z`ÏB ¾ÏmÏBöqs% 4’n?tã ylt•sƒmú
Zot•õ3ç/ (#qßsÎm7y™ br& öNÍköŽs9Î) #Óyr÷rr'sù
ÇÊÊÈ $|‹Ï±tãur
Maka dia keluar menuju kaumnya dari mihrab, lalu dia memberi isyarat kepada mereka;
hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. (QS. Maryam [19]: 11).
54
Ilham adalah informasi yang diyakini sangat akurat, namun yang diilhami tidak
mengetahui secara pasti dari mana sumber informasi itu.Muhammad Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbãh, vol X, h 310.
55
Teks ayat:
ÇÐÈ #Óy›qãB ÏdQé& #’n<Î) !$uZøŠym÷rr&ur
Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa. (QS. al-Qaéaé [28]: 7).
56
Potensi yang bersifat naluriah yang dianugerahkan Allah kepada lebah sehingga
secara sangat rapi dan mudah melakukan kegiatan-kegiatan serta memproduksi hal-hal
yang mengagumkan. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VII, h. 280.
57
Teks ayat:
Èbr& È@øtª[“$# ’n<Î) y7•/u‘ 4‘ym÷rr&ur
z`ÏBur $Y?qã‹ç/ ÉA$t6Ågø:$# z`ÏB “ɋσªB$#
ÇÏÑÈ tbqä©Ì•÷ètƒ $£JÏBur Ì•yf¤±9$#
Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah. (QS. al-Naèl [16]: 68).
58
Yang dimaksud dengan wahyu setan jin kepada manusia adalah rayuan dan
bisikan-bisikan buruk, sedang yang dimaksud dengan wahyu setan manusia kepada
selainnya adalah bisikan tipuan, dorongan untuk melakukan keburukan dengan ucapan
indah yang beracun sehingga mangsanya tertipu. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-
Mishbãh, vol IV, h. 255.
59
Teks ayat:
#xr߉tã @cÓÉ<tR Èe@ä3Ï9 $oYù=yèy_ y7Ï9ºx‹x.ur
ÓÇrqムÇd`Éfø9$#ur ħRM}$# tûüÏÜ»u‹x©
ÉAöqs)ø9$# t$ã•÷zã— <Ù÷èt/ 4’n<Î) öNßgàÒ÷èt/
( çnqè=yèsù $tB y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur 4 #Y‘rá•äî
ÇÊÊËÈ šcrçŽtIøÿtƒ $tBur öNèdö‘x‹sù
Dan demikian itulah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh, yaitu setan-setan manusia dan
jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah untuk menipu. Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. al-
An`ãm [6]: 112).
161
60
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol X, h. 310.
61
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 529.
62
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 530.
63
Teks ayat:
ô`ÏiB %[nrâ‘ y7ø‹s9Î) !$uZø‹ym÷rr& y7Ï9ºx‹x.ur
Ÿwur Ü=»tGÅ3ø9$# $tB “Í‘ô‰s? |MZä. $tB 4 $tRÌ•øBr&
“ωök¨X #Y‘qçR çm»oYù=yèy_ `Å3»s9ur ß`»yJƒM}$#
y7¯RÎ)ur 4 $tRÏŠ$t6Ïã ô`ÏB âä!$t±®S `tB ¾ÏmÎ/
ÇÎËÈ 5OŠÉ)tGó¡•B :ÞºuŽÅÀ 4’n<Î) ü“ωöktJs9
Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu ruh dari urusan Kami. Sebelumnya
engkau tidak mengetahui apakah al-Kitab dan tidak (pula) al-iman tetapi Kami
menjadikannya cahaya, yang Kami menunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke
jalan lebar yang lurus. (QS. al-Syürã [42]: 52).
162
kepada Allah swt., tetapi yang dinafikan ayat di atas adalah tentang iman
dalam perinciannya. Itu sebabnya ayat di atas tidak menyatakan
sebelumnya engkau bukanlah seorang mukmin.64
Wahyu juga bukan hanya sumber informasi dalam masalah-masalah
agama, tetapi juga dalam masalah-malasah dunia seperti al-Qur`an
menginformasikan bahwa Allah swt. yang mengajarkan kepada Nabi Daud
as. kemahiran dan keterampilan membuat baju-baju yang terbuat dari besi
/ perisai. Pengajaran itu setelah sebelumnya Allah swt. mengajarkan
kepada beliau cara melunakkan besi. 65 Hal ini di ungkapkan Muhammad
Quraish Shihab waktu menafsirkan surat al-Anbiyã' [21]: 80.66
Begitu pentingnya wahyu bagi manusia menurut Muhammad Quraish
Shihab, adalah banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam manusia.
Namun, sebagian pertanyaan itu tidak mampu dijawab walau oleh mereka
yang cendikia sekalipun. Ini dapat menggelisahkan karena semua manusia
memiliki naluri ingin tahu. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
67
dengan alam sesudah mati. Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab
mengatakan:
Potensi akal manusia, karena keterbatasannya, tidak akan mampu
menjawab. Ini disebabkan karena akal manusia tidak dapat
mengetahui sesuatu di liar akal sensorinya. Dalam hidup ini, ada yang
dinamai phenomena dan ada juga nomena. Yang pertama adalah
wujud realitas yang dapat terjangkau oleh indra atau nalar,
64
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 530.
65
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h. 486. Muhammad Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h. 251. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol
XI, h. 356.
66
Teks ayat:
öNà6©9 <¨qç7s9 spyè÷Y|¹ çm»oY÷K¯=tæur
öNçFRr& ö@ygsù ( öNä3Å™ù't/ .`ÏiB Nä3oYÅÁósçGÏ9
ÇÑÉÈ tbrã•Å3»x©
Dan Kami telah mengajarkan kepada Daud pembuatan perisai untuk kamu, guna
memelihara kamu dalam peperangan kamu, maka apakah kamu orang-orang yang
bersyukur. (QS. al-Anbiyã' [21]: 80).
67
Muhammad Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi al-Qur`an Dan Dinamika
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) cet I, h. 291.
163
68
Muhammad Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 292.
69
Muhammad Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 293.
164
B. Perbuatan Manusia
Di dalam teologi Islam, terdapat dua macam pendapat mengenai
perbuatan manusia. Pendapat pertama mengatakan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan Tuhan semenjak azali, artinya manusia berbuat
menurut ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan jauh sebelum mereka ada.
Dalam hal ini, manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak dan
kemauannya. Manusia hanya seperti wayang yang dijalankan oleh dalangnya
yaitu Tuhan. Pendapat seperti ini di dalam teologi Islam disebut paham
Jabariyah. Paham ini di anut oleh aliran Asy`ariyyah dan Maturidiyyah
Bukhara.Pendapat kedua mengatakan bahwa manusia mempunyai
kebebasan berbuat, walaupun kebebasannya terbatas, sesuai dengan
keterbatasan manusia. Artinya, manusia bebas menentukan kehendak dan
perbuatannya, tetapi di dalam batas-batas tertentu. Dalam teologi Islam,
paham seperti ini disebut paham Qadariyah. Paham ini, dianut oleh aliran
Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Aliran Mu`tazilah, berpendirian seperti dijelaskan oleh al-Qadhi
abdul Jabbar (w. 415 H), perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan
pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan
165
perbuatannya. 70 Berbuat baik dan berbuat buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan, adalah atas kehendak dan kemauan manusia itu sendiri.
Sedangkan daya (al-istitã`ah) untuk mewujudkan kehendak tersebut telah
terdapat dalam diri manusia sebelum manusia melakukan perbuatan.71
Bagi aliran Maturidiyyah Samarkand sebagai yang dikemukakan oleh
al-Mãturîdi, ada dua macam perbutan manusia, perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya
dalam diri manusia, dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan
manusia. 72 Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, jadi tidak
sebelum perbuatan sebagai dikatakan kaum Mu`tazilah. Perbuatan manusia
adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti
kiasan. 73 Dengan demikian manusia diberi pahala atas pemakaian yang
benar dari daya, dan diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya
tersebut.
Ayat-ayat al-Qur`an yang dijadikan dalil oleh aliran kalam rasional
untuk melegitimasi pendapat mereka ialah surat al-Baqarah [2]: 108,74 Äli
Imrãn [3]: 133,75 al-Nisã' [4]: 79,76 al-Ahqãf [46]: 14, al-Taubah [9]: 82, al-
Kahfi [18]: 29, al-Taghãbun [64]: 2:77
t•øÿà6ø9$# ÉA£‰t7oKtƒ `tBur
uä!#uqy™ ¨@|Ê ô‰s)sù Ç`»oÿ‡M}$$Î/
78
(108 : )اﻟﺒﻘﺮةÇÊÉÑÈ È@‹Î6¡¡9$#
;ot•ÏÿøótB 4’n<Î) (#þqããÍ‘$y™ur *
79
(133 : )ال ﻋﻤﺮانÇÊÌÌÈ öNà6În/§‘ `ÏiB
70
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, (Qãhirah: Maktabat Wahbah,
1996), h. 323.
71
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 324-325.
72
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112.
73
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112.
74
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Muèammad
Zarzuwar, (Qãhirah: Dãr al-Turãs, 1969), jilid I, h. 104.
75
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 161.
76
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 198.
77
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, h. 361- 362.
78
Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu
telah sesat dari jalan yang lurus. (QS. al-Baqarah [2]: 108).
166
79
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (QS. Äli Imrãn [3]: 133).
80
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (QS. al-Nisã' [4]: 79).
81
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai
balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-Ahqãf [46]: 14).
82
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. al-Taubah [9]: 82).
83
Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (QS. al-Kahfi [18]: 29).
84
Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di
antaramu ada yang mukmin. (QS. al-Taghãbun [64]: 2).
85
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 104.
167
kebohongan semata. 86 Oleh sebab itu, lanjut Abdul Jabbãr, pilihan atas
kufur dan iman terletak di tangan manusia sendiri, bukan oleh perbuatan
dan kehendak Tuhan.87
Surat Äli Imrãn ayat 133 menurut Abdul Jabbãr menunjukkan bahwa
manusia adalah pelaku perbuatannya sendiri yang bebas memilih. Sebab bila
Tuhanlah yang menciptakan gerak menusia, bukan manusia sendiri, tentu (
) ﺳﺎرﻋﻮاsãri`ü / bersegera haruslah digantungkan pada Tuhan, mewujudkan
atau meniadakannya. Dan itu berarti tidak sesuai dengan rangsangan Tuhan
bagi manusia untuk bersegera memperoleh ampunan.88 Surat berikutnya al-
Nisã' ayat 79 juga menunjukkan bahwa manusialah, bukan Tuhan, demikian
Abdul Jabbãr, yang melakukan perbuatan jahat. Apabila Tuhan yang
melakukan kejahatan itu, tentulah perbuatan jahat tersebut tidak
dinisbatkan kepada manusia.89
Surat al-Taubah ayat 82 menunjukkan, sekiranya perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentulah pemberian
balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, tidak ada artinya. Agar ayat ini
tidak mengandung dusta, demikian Abdul Jabbãr, perbuatan-perbuatan
manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia.90
Surat al-Kahfi ayat 29 dan surat al-Taghãbun ayat 2 memberi
kebebasan kepada manusia untuk percaya atau tidak. Dengan kata lain,
pilihan untuk menjadi mukmin atau kafir diserahkan Tuhan kepada manusia.
Kalau bukan begitu maksudnya, tentu ayat ini tidak ada artinya, dan sama
saja dengan mengatakan siapa yang ingin hitam hendaklah ia hitam, dan
86
Al-Qãçî Abdul Jabbãr , Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 361.
87
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 362.
88
Al-Qãçî Abdul Jabbãr , Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 362.
89
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 198.
90
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, h. 361.
168
siapa yang ingin putih hendaklah ia putih. Padahal warna kulit hitam atau
putih bukan atas kemauan dan pilihan manusia.91
Aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada
akal manusia, menempatkan manusia pada posisi yang lemah serta banyak
bergantung pada kekuatan dan kehendak mutlak Tuhan. Karena manusia
dipandang lemah, paham qadariyyah tidak terdapat dalam aliran ini.
Untuk menggambarkan hubungan antara daya dan kehendak yang
terdapat dalam diri manusia dengan terwujudnya suatu perbuatan, al-
Asy`ari (260-324 H / 873-935 M) mengemukakan teori kasb (perolehan).
Yang dimaksud dengan kasb, menurut Asy`ari, adalah berbarengan daya dan
kehendak manusia dengan perbuatan Allah. 92 Maksudnya, jika seseorang
hendak berbuat, pada saat itu juga Allah menciptakan daya padanya untuk
terwujudnya perbuatan itu. Namun, yang dimaksud dengan terwujudnya
perbuatan itu bukanlah dalam arti menciptakannya, melainkan memperoleh
perbuatan yang diciptakan Allah.93
Asy`ari mengemukakan teori kasb tersebut beranjak dari dasar
pemikirannya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Mahakuasa atas segala
sesuatu. Karena itu, kalau ada di antara makhluk-Nya yang telah mencipta,
berarti Allah bukan lagi Tuhan Yang Mahakuasa.94 Namun, di sisi lain tidak
pula dapat dipungkiri bahwa manusia merasakan adanya daya dan kehendak
dalam dirinya untuk melakukan suatu perbuatan. Oleh karena
berpengaruhnya dua macam daya dalam suatu perbuatan tidak dapat
diterima oleh akal pikiran, untuk memecahkan problem tersebut
dikemukakanlah teori kasb. Selain itu, kata Asy`ari, akal juga dapat
91
Al-Bazdawi Kitãb Ushüluddin, h. 362.
92
Abu al-Èasan Ismã’îl, Mãqãlat al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-Muéallîn, (Ed)
Muhammad Muèyi al-Dîn ‘Abd al-Èamîd, jilid II, (Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 1990), h.
221.
93
Maèmüd Qãsim, Mãnãhij al-Adillah fi `Aqãid al-Millah li Ibn Rusyd, (Kairo:
Maktabat al-Anglo al-Misriyyah, 1963), h 109. Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107.
94
Maèmüd Qãsim, Mãnãhij al-Adillah, h. 109.
169
95
Maèmüd Qãsim, Mãnãhij al-Adillah, h. 110.
96
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS.
al-Éãffãt [37]: 96).
97
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
(QS. al-Insãn [76]: 30).
98
Abu al-Èasan al-Asy`ãri, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-zaig wa al-Bida`,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000), cet 1, h. 43.
99
Abu al-Èasan al-Asy`ãri, Kitab al-Luma', h. 45.
100
Abu al-Èasan al-Asy`ãri, Kitab al-Luma', h. 75.
170
kehendak Tuhan.101
Adapun Maturidiyyah Bukhara, bagi mereka kehendak berbuat adalah
sama dengan kehendak yang terdapat dalam golongan Maturidiyyah
Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham kehendak dan
kerelaan Tuhan. 102 Mengenai daya juga sama, yaitu daya yang diciptakan
bersama-sama dengan perbuatan.103 Golongan ini berpendapat bahwa untuk
mewujudkan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya
untuk menciptakan. Daya yang ada pada manusia hanya bisa untuk
melakukan perbuatan. Yang dapat mencipta hanya Tuhan 104 dan dalam
ciptaan-Nya itu termasuk perbuatan manusia.105
Dengan demikian manusia hanya melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan baginya. Maturidiyyah Bukhara juga mengakui adanya dua
perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbedaannya dengan
Maturidiyyah Samarkand ialah perbuatan Tuhan bagi Maturidiyyah Bukhara
penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Perbuatan ini
disebut maf`ul.106 Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang
diciptakan itu. Perbuatan ini disebut fi`il.107 Sedang menurut Maturidiyyah
Samarkand, perbuatan Tuhan adalah menciptakan daya, bukan menciptakan
perbuatan manusia.
Aliran Maturidiyyah Bukhara, sebagai yang dikemukakan oleh al-
Bazdawi, menguatkan pendapat mereka dengan surat al-Mulk [67]: 13-14,
al-Rüm [30]:22 dan surat al-Ra`d [13]: 16.108
101
Harun Nasution, Teologi Islam, h 110.
102
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 42.
103
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn , h 115.
104
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 106-107.
105
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 104.
106
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn h 106.
107
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 106.
108
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn , h 102-104.
171
109
Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; Sesungguhnya Dia Maha
mengetahui segala isi hati. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang
kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (QS. al-Mulk
[67]: 13-14).
110
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.(QS. al-Rüm [30]:22).
111
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah:
"Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka
tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita
dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan
mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa". (QS. al-Ra`d [13]: 16).
172
115
Jabariah adalah paham yang diajarkan oleh Ja`ad Ibn Dirham (w. 116 H / 735 M)
kemudian dikembangkan oleh Jahm ibn Shafwan (w. 127 H / 745 M). Menurut paham ini,
perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Karena itu, berkenaan dengan perbuatannnya
itu, manusia selalu dalam keadaan terpaksa (majbür), tidak memiliki daya, kemampuan,
dan kehendak untuk memilih dan melakukan perbuatan-perbuatannya. Allah menciptakan
perbuatan-perbuatan manusia seperti Dia telah menciptakan benda-benda mati, kemudian
perbuatan-perbuatan tersebut dinisbahkannya kepada manusia secara majazi sebagaimana
penisbahannya kepada benda-benda mati, seperti daun kelapa melambai, pohon kayu
bergoyang,dan batu bergulir. Kehidupan manusia di dunia ini, menurut Jabariah, tidak
berbeda denga sehelai bulu yang ditiup angin atau sekeping papan yang diombang-ambing
gelombang. Sebagaimana perbuatannya, pahala dan hukuman yang diterima manusia juga
bersifat paksaan sebab pahala dan hukuman yang diterima manusia itu tidak ada
hubungannya dengan perbuatannya. Allah telah mentakdirkan pada setiap orang melakukan
ini dan itu dan telah pula mentakdirkan untuknya pahala dan hukuman yang bakal
diterimanya. Dengan demikian, nama Jabariah yang berasal dari kata Jabbara yang berarti
memaksa itu sesuai dengan paham yang dianut oleh para penganutnya. Amir Najjar, Aliran
Khawarij Mengungkap Akar Perselisihan Umat, terjemahan oleh A. Salihin Rasyidi dan Afif
Muhammad, (Jakarta: Lentera, 1993), h. 34-35. Lihat juga Harun Naution, Teologi Islam, h.
33.
174
116
Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. (QS. al-Anfãl [8]: 53).
117
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. al-Ra`d [13]: 11).
118
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Äli
Imrãn [3]: 133).
119
Maka barang siapa yang ingin maka hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin biarlah ia kafir. (QS. al-Kahfi [18]: 29)
120
Dialah Yang menciptakan kamu, lalu sebagian kamu kafir dan sebagian kamu
mukmin dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan Maha Melihat (QS. al-Taghãbun [ 64]:
2).
175
121
Allah telah menunci mati hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan
ada penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (QS. al-Baqarah [2]: 7).
122
Dan tidaklah bermanfaat bagi kamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat
bagi kamu, sekiranya Allah hendak menyesatka kamu. Dia adalah Tuhan kamu dan kepada-
Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Hüd [11]: 34).
123
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 473.
124
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 473.
176
125
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 474.
126
Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama al-Qur`an,
(Bandung: Mizan, 2007), h. 480. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h.
475.
177
masyarakat. 127 Jadi, dengan kata lain, ayat tersebut menurut Muhammad
Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa tanpa perubahan yang
dilakukan masyarakat dalam diri mereka terlebih dahulu, maka mustahil
akan terjadi perubahan sosial. Memang boleh saja terjadi perubahan
penguasa, atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak
berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika
demikian, yang paling pokok dalam keberhasilan perubahan sosial adalah
perubahan sisi dalam manusia, karena sisi dalam manusia itulah yang
melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif.
Ayat di atas, di samping meletakkan tanggung jawab yang besar
terhadap manusia, karena darinya dipahami bahwa kehendak Allah atas
manusia yang telah Dia tetapkan melalui sunnah-sunnah-Nya berkaitan erat
dengan kehendak dan sikap manusia. Di samping tanggung jawab itu, ayat
ini juga menganugerahkan kepada manusia penghormatan yang demikian
besar. Betapa tidak? Bukankah ayat ini menegaskan bahwa perubahan yang
dilakukan Allah atas manusia, tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih
dahulu melangkah. Demikian sikap dan kehendak manusia menjadi “syarat”
yang mendahului perbuatan Allah swt. Sungguh ini merupakan
penghormatan yang luar biasa!
Dalam penjelasannya itu Muhammad Quraish Shihab menegaskan
bahwa perubahan yang ada pada manusia itu adalah manusia sendiri yang
melakukannya, memberi petunjuk bahwa Muhammad Quraish Shihab
menganut paham manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak dan
perbuatan. Jelas pandangan seperti itu sejalan dengan paham Qadariah.
Sikap yang sama telah pula dilakukan oleh Muhammad Quraish Shihab
ketika menafsirkan surat Äli Imrãn [3]: 133: dengan ayat ini menganjurkan
kepada manusia bahwa ketaatan yang dilakukan manusia kepada Allah swt
127
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 475.
178
128
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 219.
129
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 219.
179
130
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 52.
131
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XIV, h 263.
132
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XIV, h. 263.
180
berikut:
Kata ( ) ﻣﺎmã pada firman-Nya: ( ) وﻣﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮنwa mã ta`malün, dapat
mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti yang, sehingga ayat di atas
berarti: Padahal Allah yang telah menciptakan kamu dan yang kamu
buat itu. Maksudnya Allah juga yang menciptakan kayu dan batu yang
merupakan bahan yang kamu pahat. Ia dapat juga berarti apa yang
digunakan bertanya. Dengan makna ayat di atas mengecam dan
merendahkan mereka bagaikan menyatakan: Apa sih yang kamu buat
itu, sama sekali tidak ada arti dan maknanya. Ia hanya batu dan
kayu. Pendapat ketiga memahaminya dalam arti tidak. Penganut
pendapat ini menjadikan ayat di atas bagaikan berkata: Padahal
Allah yang menciptakan kamu, dan kamu tidak melakukan suatu
apapun. Banyak ulama yang berkecimpung dalam studi teologi
berusaha mengukuhkan pendapat Ahl al-Sunnah menyangkut
perbuatan manusia. Mereka berpendapat bahwa kata ma di sini
berfungsi mengalihkan kata kerja menjadi kata jadian (infinitive
noun), sehingga kalimat wa mã ta`malün berarti dan pekerjaan
kamu. Manusia dan juga amal-amal perbuatannya adalah ciptaan
Allah. Manusia hanya memiliki apa yang diistilahkan dengan kasab
tanpa memiliki daya mencipta walau amalnya sendiri.133
Kalau kita melihat konteks uraian Nabi Ibrahim as. di sini, maka
agaknya pendapat pertama yang penulis kemukakan di atas – lebih
dekat kepada kebenaran – terlepas dari perbedaan pendapat para
teolog antara penganut paham Fatalisme (Jabariyah) atau penganut
paham kebebasan manusia (Qadariyah) ataukah penganut paham
kasab yang berusaha menengahi kedua pendapat sebelumnya. Nabi
Ibrahim as. dalam ayat ini bermaksud mengecam kaumnya karena
mempersekutukan Allah, padahal Dia adalah Pencipta segala sesuatu,
baik secara langsung maupun melalui pelimpahan daya kepada
manusia.134
133
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 59.
134
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 59.
181
135
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan
ada penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (QS. al-Baqarah [2]: 7).
136
Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah yang membunuh
mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang
melempar. (QS. al-Anfãl [8]: 17).
137
Dan tidaklah bermanfaat bagi kamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat
bagi kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Di adalah Tuhan kamu dan kepada-
Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Hüd [11]: 34).
182
138
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 96.
139
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 96.
140
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 402
183
141
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 402
142
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 244.
143
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 245.
144
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 246.
184
145
Harun Nasution, Teologi Islam, h 120.
146
Teks ayat:
`s9ur ( WxƒÏ‰ö7s? «!$# ÏM¨YÝ¡Ï9 y‰ÅgrB `n=sù 4
ÇÍÌÈ ¸xƒÈqøtrB «!$# ÏM¨YÝ¡Ï9 y‰ÅgrB
Maka sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnah Allah satu pergantian pun dan
sekali-kali engkau tidak (pula) akan mendapatkan bagi sunnah Allah sedikit penyimpangan
pun. (QS. Fãthir [35]: 43).
185
147
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 494.
148
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h. 494.
149
Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan,
(Bandung: Mizan, 2006), cet XXX, h. 98.
150
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan 1996), h. 61.
186
151
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 201.
152
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 201.
153
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h 201.
154
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h 201.
187
“Saya menghindar dari takdir Tuhan yang satu ke takdir Tuhan yang lain”. 155
Atau, dengan kata lain, berjangkitnya penyakit akibat wabah, merupakan
takdir Allah, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya dan bila
seseorang tidak menghindar maka ia akan menerima akibatnya. Akibat yang
menimpa, itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari
marabahaya maka itupun takdir. Bukankah Tuhan telah menetapkan bahwa
manusia dapat memilih, dan kemampunan memilih tersebut antara lain
merupakan ketetapan / takdir yang dianugerahkan-Nya kepada manusia.
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab di atas dapat diketahui
bahwa menurut Muhammad Quraish Shihab takdir Allah tidak menyebabkan
manusia terpaksa dalam perbuatannya dan tidak pula menyebabkan
terpasung dalam kehendak-Nya. Bahkan, manusia, kata Muhammad Quraish
Shihab, bebas memilih dan melakukan perbuatan selama kebebasan itu
masih dalam batas-batas kekuasaannya dan sesuai dengan sunnatullah.
Sebab, takdir Allah itu tidak lain adalah ketentuan dan hukum yang pasti
yang telah ditetapkan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta
dan makhluk-Nya.
Dari beberapa penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-
ayat kadar dan jabar di atas, dapat diketahui bahwa perbuatan manusia itu
memang Allah yang telah menciptakannya, namun bukan dalam pengertian
menciptakannya secara langsung, melainkan menciptakan sebab-sebab yang
memungkinkan manusia bebas memilih dan melakukan perbuatannya.
Karena itu, manusia tidak dalam keadaan terpaksa dalam melakukan
perbuatannya yang ikhtiari. Atas dasar itulah adanya taklif untuk manusia
dan atas dasar itu pula manusia kelak akan menerima balasan dari Allah
swt. di akhirat. Dengan demikian kudrah (daya) yang dianugerahkan kepada
manusia dan yang dimilikinya itu mempunyai pengaruh dalam melakukan
155
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h 202.
188
C. Konsep Iman
Sebagaimana diketahui, persoalan iman telah menjadi isu teologis,
yang tergolong paling awal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam,
dan bahkan kalau kita melihat ke dalam sejarah, maka tidaklah berlebihan
apabila ada orang yang mengatakan bahwa munculnya disiplin kalãm
(teologi) pada dasarnya berawal dari timbulnya situasi yang mendesak umat
Islam, terutama kaum mutakallimin / para teolog Islam untuk merumuskan
konsep iman yang tepat sebagai lawan dari konsep kufur. Sebagai ilustrasi,
189
156
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah, (Jakarta:
UI-Press, 1987), h. 89.
157
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 147.
158
Al-Asy`ãri, Maqãlãt al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-Muéallîn, Jld I, (ed. Muèammad
Muèyi al-Dîn `Abd al-Èamîd), (Beirut: Dãr al-`Asriyyah, 1990), h. 329. Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 147.
190
159
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. al-Anfãl [8]:
2).
160
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h. 312.
161
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 148.
191
162
Orang-orang Arab Badui berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu
belum berian. Tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk (kepadamu)” karena iman belum
masuk ke dalam hati kamu. (QS. al-Hujurãt [49]: 14).
163
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah padaku
bagaimana Engkau menghidupkan yang mati,” Allah berfirman: “Belum percayakah engkau?
“Ibrahim menjawab, “Aku telah percaya, akan tetapi agar hatiku mantap. (QS. al-Baqarah
[2]: 260)
164
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, (Ed), Fatèullah Khalif, (Istambul: al-
Maktabat al-Islãmiyah, 1979), h. 373.
165
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitab al-Tauèîd, h. 373.
166
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitab al-Tauèîd, h. 380.
192
167
Abu Èasan al-Asy`ãri, Al-Luma`, h. 75.
168
Abu Yusr Muèammad al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn, diedit oleh Hans Peter Lins,
(Kairo: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 146.
169
Abu Èasan al-Asy`ãri, Al-Luma`, h. 78.
193
170
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya. (QS.
Ibrãhîm [14]: 4).
171
Dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. al-Syu`arã` [26]: 195).
172
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun Kami adalah
orang-orang yang benar. (QS. Yüsuf [12]: 17).
173
Abu Èasan al-Asy`ãri, Al-Luma`, h 78.
174
Abu Èasan al-Asy`ãri , Al-Luma`, h 123.
175
Al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn, h 146.
194
176
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Qur`an al-Karîm Tafsir atas Surat-surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, cet ke-2, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),
h. 301. selanjutnya tertulis: Tafsir al-Qur`an al-Karim.
177
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbhãh, vol XV, h. 505.
178
Teks ayat:
(#qè=ÏJtãur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# žwÎ)
Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
ÇÌÈ ÎŽö9¢Á9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur
Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal yang saleh serta saling berwasiat tentang
kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran. (QS. al-`Aér [103]: 3).
195
suatu bahaya yang mungkin akan menimpa seseorang, maka ketika itu
shalat harus kita ditangguhkan demi memelihara jiwa atau keselamatan
orang tersebut.179
179
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbhãh, vol XV, h. 505.
180
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 375.
181
Teks ayat:
t•Ï.èŒ #sŒÎ) tûïÏ%©!$# šcqãZÏB÷sßJø9$# $yJ¯RÎ)
ôMu‹Î=è? #sŒÎ)ur öNåkæ5qè=è% ôMn=Å_ur ª!$#
$YZ»yJƒÎ) öNåkøEyŠ#y— ¼çmçG»tƒ#uä öNÍköŽn=tã
ÇËÈ tbqè=©.uqtGtƒ óOÎgÎn/u‘ 4’n?tãur
Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila disebut Allah gentar hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ia menambah iman mereka dan kepada
Tuhan mereka, mereka berserah diri. (QS. al-Anfãl [8]: 2).
182
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 375.
196
183
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol I, h. 562.
184
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol IV, h. 162.
185
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol IV, h. 162.
197
186
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol I, h. 563.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran kalam yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbãh adalah bercorak
rasional. Karena dari beberapa masalah kalam yang diangkat dalam tesis
ini ternyata pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab dalamTafsir al-
Mishbãh lebih banyak persamaannya dengan pemikiran yang terdapat
dalam aliran Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Persamaan Muhammad Quraish Shihab dengan pemikiran kalam
rasional dapat dilihat dalam hal-hal berikut:
a. Dalam masalah yang berkenaan dengan antropomorfisme, Muhammad
Quraish Shihab memberikan penafsiran yang sama dengan penafsiran
yang diberikan oleh aliran kalam rasional, yaitu tidak menafsirkannya
menurut arti harfiahnya, tetapi menafsirkannya menurut arti majãzi
(metaforis). Kata Wajah Allah diberi takwil oleh Muhammad Quraish
Shihab dengan ridha Allah. Kata A'yun (beberapa mata) diberi takwil
untuk mengawasi dan memperhatikan sesuatu. Kata Tangan Allah
diberi takwil dengan kekuasaan Allah. Pernyataan Allah ada di langit
dan di bumi diberi takwil dengan kekuasaan dan cakupan
pengetahuan-Nya. Allah berada di atas hamba-hamba-Nya diberi
takwil dengan kekuasaan Allah di atas semua hamba-hamba-Nya,
yakni kekuasaan Allah yang tidak terbendung dalam menjinakkan,
menundukkan dan mencegah siapa dan apa pun guna mencapai
tujuan-Nya. Allah bersemayam di atas arasy diberi takwil dengan
berkuasa penuh di atas `arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya.
198
199
B. Saran-saran
Penelitian tentang corak pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Mishbãh telah diusahakan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan yang ada, tetapi bukan berarti tulisan ini bersifat final.
Besar kemungkinan dalam penelitian ini masih banyak faktor yang belum
terungkap. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala yang penulis temui,
antara lain dari segi keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan
penulis sendiri. Dengan demikian, mungkin sekali hasil penelitian ini jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, disarankan kepada peneliti lain untuk
mengkaji pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Mishbãh, baik dalam pemikirannya yang lain, ataupun dalam persoalan yang
sama dengan ruang lingkup yang lebih luas dan dengan bahan bacaan yang
lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
`Abdul Jabbãr, Al-Qãçi, Tanzîh al-Qur`an `an al-Mathîn, Beirut: Dãr al-
Nahdhah al-Hadîê, t.th.
Al-Amîdi, Saif al-Dîn Abi al-Èasan `Ali bin Ali bin Muèammad, al-Ièkãm fi
Uéül al-Aèkãm, Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1958.
Anwar, Hamdani, Mimbar Agama dan Budaya vol. xix, no. 2, 2002
Al-Asy`ari, Abu al-Èasan Ismãil, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-zaig
wa al-Bida`, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000, cet 1.
206
207
Al-Bagdãdi, Abu Manéür `Abd al-Qãhir Ibn Ëãhir al-Tamîmi, Al-Farq bain al-
Firaq, (Ed.) Muèammad Muhy al-Dîn `Abd al-Hamîd, Beirut: Maktabat
al-`Asriyyah, 1990.
Al-Bayãdi, Kamal al-Dîn Aèmad, Isyãrat al-Marãm min Ibãrat al-Imãm, (Ed),
Yusuf Abd al-Razzaq, Qãhirah: Mustafa al-Bãbi al-Halabi wa Aulãduh,
1949.
Al-Bazdãwi, Abu Yusr Muèammad, Kitãb Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss,
Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963.
Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah dalam Islam, Padang: IAIN-IB Press,
2001.
Ibn Khaldün, `Abd al-Raèmãn, Muqaddimah Ibn Khaldün, Beirut: Dãr al-Fikr,
1981.
Izutsu, Toshiko, God and Man in the Qur`an, Tokyo: Keiko University, 1964.
Al-Mãtürîdi, Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd, Kitãb al-
Tauèîd, (Ed), Fatèullah Khalif, Istambul: al-Maktabat al-Islãmiyah,
1979.
--------------, Tafsir
al-Qur`an al-Karîm Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah,
1997.
Subhan, Arif, Tafsir Yang Membumi, Majalah Êaqafah, Jakarta Vol. 1. No. 3.
2003.