Anda di halaman 1dari 246

CORAK PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

DALAM TAFSIR AL-MISHBÄH

TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Magister Dalam Ilmu Agama Islam

Oleh

Badru Tamam
NIM : 04.2.00.1.05.01.0007

Dosen pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammad Yunan Yusuf, MA

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1429 H / 2008 M
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Badru Tamam


No Pokok : 04.2.00.1.05.01.0007
Tempat / Tanggal lahir : Karawang, 28 Desember 1976

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul:

CORAK PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD QURAISH SHIHAB


DALAM TAFSIR AL-MISHBÄH

Adalah benar merupakan karya asli saya, kecuali kutipan yang disebutkan
sumbernya. Apabila ternyata di kemudian hari tidak benar maka yang
bersangkutan bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya.

Jakarta, 17 April 2008

Badru Tamam

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Tesis dengan judul “CORAK PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD QURAISH SHIHAB


DALAM TAFSIR AL-MISHBÄH,” yang ditulis oleh: Badru Tamam, dengan
nomor induk: 04.2.00.1.05.01.0007 konsentrasi Tafsir Hadis telah disetujui
untuk dibawa ke dalam ujian tesis.

Jakarta: ………………..

Pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammad Yunan Yusuf, MA

iii
KETERANGAN

Tesis dengan judul “CORAK PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD QURAISH


SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBÄH” yang ditulis oleh:
Nama : Badru Tamam
NIM : 04.2.00.1.05.01.0007
Program Studi : Pengkajian Islam
Konsentrasi : Tafsir Hadis
Telah diujikan pada sidang Munaqasyah Tesis yang dilaksanakan pada
Hari Senin, 28 April 2008. Tesis tersebut telah diperbaiki sesuai dengan
petunjuk pembimbing dan para penguji serta diterima sebagai salah satu
syarat untuk meraih gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam pada Program
Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.

Jakarta, 6 Mei 2008


Tim Penguji

Ketua Sidang / Penguji Pembimbing / Penguji

DR. Yusuf Rahman, MA. Prof. DR. H. Muhammad Yunan Yusuf,


MA.
Tgl : Tgl :

Penguji Penguji

iv
Prof. DR. Ahmad Thib Raya, MA. Prof. Dr. Abdul Aziz
Dahlan, MA.
Tgl : Tgl :

ABSTRAK

Badru Tamam:
“Corak Pemikiran Kalam Muhammad Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-
Mishbãh” Tesis Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.

Penelitian ini membuktikan bahwa pemikiran kalam Muhammad


Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh adalah bercorak rasional, karena
beberapa masalah kalam yang diangkat dalam tesis ini ternyata lebih
banyak persamaannya dengan pemikiran kalam yang terdapat dalam aliran
Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand. Sebaliknya, sedikit sekali
persamaannya dengan pemikiran kalam tradisional, yaitu Asy`ariyyah dan
Maturidiyyah Bukhara.
Kesimpulan tersebut dihasilkan melalui sumber data primer Tafsir al-
Mishbãh yang membahas ayat-ayat tentang tema-tema kalam, seperti
masalah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan Tuhan,
perbuatan-perbuatan Tuhan, perbuatan manusia, antropomorpisme, dan
masalah iman.
Kesimpulan tersebut didukung oleh data-data sebagai berikut: pada
masalah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, misalnya, menurut
Muhammad Quraish Shihab tidak berlaku semutlak-mutlaknya, sebagaimana
pendirian Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Tentang masalah keadilan Tuhan, menurutnya dilihat dari perspektif
kepentingan dan kemaslahatan manusia, yang dihubungkan dengan pahala
dan sanksi yang harus diterima manusia. Pandangannya ini sejalan dengan
pendirian Mu`tazilah.
Mengenai perbuatan Tuhan, yakni maksud dan tujuan Tuhan
menciptakan segala sesuatu, beban di luar batas kemampuan manusia, serta
janji dan ancaman Tuhan, menurut Shihab juga dihubungkan dengan aspek
kepentingan manusia, yakni perbuatan Tuhan itu hanya diperuntukkan buat
manusia, dan Tuhan tidak membebani manusia terhadap sesuatu yang tidak
bisa ia kerjakan; serta janji dan ancaman Tuhan itu pasti terlaksana.
Dengan demikian, pandangannya itu sejalan dengan pendirian Mu`tazilah.
Mengenai perbuatan manusia, ia berpandangan bahwa manusia
memiliki kebebasan dalam memilih dan melakukan perbuatannya, namun

v
kebebasan itu tidak melebihi batas kemanusiannya dan sunnatullah yang
telah diciptakan Allah. Dengan demikian pandangannya sejalan dengan
pendirian Mu`tazilah.
Sedangkan mengenai masalah antropomorfisme, ia tidak
menafsirkannya menurut arti harfiah, tetapi menafsirkannya menurut arti
majazi (metaforis). Dengan demikian, pandangannya itu sejalan dengan
pendirian aliran rasional.
Adapun mengenai masalah iman, ia berpandangan bahwa iman tidak
cukup hanya dengan taédîq, tetapi harus sejalan dengan pembenaran
dengan hati, ucapan dengan lidah dan penyerahan jiwa dengan ditandai
dengan amal (perbuatan). Dengan demikian, pandangannya sejalan dengan
pendirian Mu`tazilah.

vi
Sumber data yang menghasilkan kesimpulan di atas dikaji dengan
pendekatan analisis kritis terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish
Shihab tentang masalah-masalah kalam. Analisis kritis ini dihubungkan
dengan pemikiran-pemikiran kalam dalam berbagai aliran: Mu’tazilah, al-
Asy’ariyyah, Mãturidiyyah Samarkand dan Mãturîdiyyah Bukhara, sehingga
akan tampak corak atau kecenderungan pemikiran kalam Muhammad
Quraish Shihab tersebut.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
tentang pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab. Perbedaanya terletak
pada sumber data primer yang digunakan, dan kesimpulan yang
dihasilkannya. Dalam penelitian ini digunakan Tafsir al-Mishbãh sebagai
sumber data primer, dan dihasilkan kesimpulan bahwa corak pemikiran
kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh adalah rasional;
sebaliknya dalam penelitian sebelumnya, seperti Mustafa P, tidak digunakan
Tafsir al-Mishbãh, dan kesimpulan yang dihasilkannya pun berbeda, justru
corak pemikiran kalam Muhammad Quraish Shibah adalah tradisional-
normatif.

vii
viii
ABSTRACT

Badru Tamam:
“The Theological Thinking Pattern of Muhammad Quraish Shihab in Tafsir
Al-Mishbãh”

This research proves that the theological pattern of Muhammad


Quraish Shihab in Tafsir al-Mishbãh is rational, because several problems of
kalam in his tafsir are similar to the kalam ideas Mu`tazilah and
Mãturîdiyyah Samarkand. On the contrary, the similarity is less than the
idea of traditional kalam, Asy`ariyyah and Mãturîdiyyah Bukhara.
That conclusion is drawn from al-Mishbãh as the main source that
studying kalam verses that constitute the power and the will of God, the
justice, the act of God, the act of human, anthropomorphism, and doctrine
of believe.
That conclusion is supported by the following data: the problem of
the absolute power and will of God by Muhammad Quraish Shihab is not
absolute. This opinion is similar to Mu`tazilah’s and Maturidiyyah
Samarkand’s standing point.
Related to the justice of God, Muhammad Quraish Shihab sees it from
the importance and the goodness of mankind point of view. It relates to the
sanction and reward being received by man. This point of view is similar to
Mu`tazilah point of view.
Concerning to the act of God, namely God’s purposes and objectives
in creating everything, beyond human ability. God’s threat and promise
according to Muhammad Quraish Shihab also related to the important
aspect of human, namely the act of God only destining man Create, and
God does not burden human which he can not do; and also God’s threat and
promise have to be happened. Thereby, that opinion is similar to
Mu`tazilah's point of view.
Related to the act of man, Muhammad Quraish Shihab views that
human has a freedom to choose and act, but the freedom does not beyond
the human’s ability and sunnatullah. Thereby, His view is similar to the
Mu`tazilah’s point of view.
Related to the anthropomorphism, Muhammad Quraish Shihab does
not interpret it literally, but interpret it metaphorically. Thereby, his
opinion is similar to the rational school.
Concerning to the problem of faith, he sees that the faith is not only
by tasdîq, but also by justification of heart, utterance by tongue, and
delivery of soul marked by charitable. Thereby, his opinion is similar to the
Mu`tazilah's point of view.

ix
The data sources are approached by critical analysis to Muhammad
Quraish Shihab’s opinion concerning problem of kalam. This critical analysis
attributed to the idea of kalam in many streams: Mu'tazilah, al-Asy'ariyyah,
Mãturîdiyyah Samarkand, and Mãturîdiyyah Bukhara. This approach would
show the tendency of kalam idea of Muhammad Quraish Shihab.
This research differs from the previous researches about kalam views
of Muhammad Quraish Shihab. The main difference is the primary source
and conclusion. This research concludes that the pattern of kalam of
Muhammad Quraish Shihab in his tafsir is rational. On the contrary, the
other researches like Mustafa P which Tafsir al-Mishbãh is not applied, the
main conclusion drawn is do different. The pattern of kalam view of
Muhammad Quraish Shibah is tradisional-normatif.[]

x
‫ﻣﻠﺨﺺ اﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬
‫ﺑﺪر ﺗﻤﺎم‬
‫" ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب " رﺳﺎﻟﺔ‬
‫اﻟﻤﺎﺟﺴﺘﺮ ﺑﺎﻟﺠﺎﻣﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣ ﺔ اﻟﺤﻜﻮﻣ ﺔ " ﺷﺮ ﻒ ‪ª‬ﺪا ﺔ اﷲ " ﺟﺎﻛﺮﺗﺎ ‪.2008‬‬
‫و ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ اﻟﺪراﺳﺔ ﻧﺠﺪ أن ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ‬
‫اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ‪ª‬ﻮ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ اﻟﻌﻘﻠﻰ‪ ،‬ﻷن أراءه ﻗﺪ اﺗﻔﻖ ﻓﻰ ﻛﺜ ﺮ ﻣﻦ ﻧﺘﺎﺋﺞ‬
‫ﻣﺎ وﺻﻞ اﻟ ﻣﻊ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ ﻣﻨ ﺎ إﻟﻰ أراء اﻻﺷﻌﺮ ﺔ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺒﺨﺎرى‪.‬‬
‫اﻹﺳﺘﻨﺒﺎط ﻣﻦ ذﻟﻚ ﺴﺘﺨﺪﻣ اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻓﻰ ﺑﺤﺜ وﻣﺼﺪر اﻟﻤﺮاﺟﻊ ﻋﻨ ‪ª‬ﻮ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح‬
‫ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻓﻰ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻟﻜﻼم ﻣﻨ ﺎ‪ : :‬ﻗﻀ ﺔ اﻟﻘﺪرة و اﻻرادة اﻹﻟ ﺔ‪ ،‬ﻗﻀ ﺔ اﻟﻌﺪل اﻹﻟ ﻰ‪ ،‬ﻣﺴﺄﻟﺔ‬
‫أﻓﻌﺎل اﷲ‪ ،‬ﻗﻀ ﺔ أﻓﻌﺎل اﻟﻌﺒﺎد‪ ،‬ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﺘﺠﺴ ﻢ أو اﻟﺘﺸﺒ ‪ ،‬و ﻗﻀ ﺔ اﻻ ﻤﺎن‪.‬‬
‫اﻟﺨﻼﺻﺔ اﻟﻤﺬﻛﻮرة ﺆ ﺪ‪ª‬ﺎ اﻟﻶﺗ ﺔ‪ :‬ﻗﻀ ﺔ اﻟﻘﺪرة و اﻻرادة اﻹﻟ ﺔ ﺮوﻧ ﺎ ﻻ ﺼﻠﺢ‬
‫ﺟﻤ ﻌ ﺎ و ﺑﺬﻟﻚ ﻤ ﻞ ﻓﻰ رأ ﻣﺎ ﻋﻠ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ‪.‬‬
‫و ﻗﻀ ﺔ اﻟﻌﺪل اﻹﻟ ﻰ ‪ª‬ﻮ ﻨﻈﺮ إﻟ ﻣﻦ ﻧﺎﺣ ﺔ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧ ﺔ و ﻌﻠﻘ ﺎ ﺑﺎﻟﺜﻮاب و‬
‫اﻟﻌﻘﺎب اﻟﺬى ﺠﺐ أن ﺤﺼﻞ ﻋﻠ اﻹﻧﺴﺎن‪ ،‬و ﺑﺬﻟﻚ ﻤ ﻞ إﻟﻰ ﻣﺎ ﻋﻠ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ‪.‬‬
‫و ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺔ أﻓﻌﺎل اﷲ اﻟﺘﻰ ﺗﻌﻨﻰ اﻟﻤﻘﺼﻮد و اﻟﻐﺎ ﺔ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ اﷲ و اﻟﺘﻜﻠ ﻒ ﻣﺎ ﻻ ﻄﺎق‪،‬‬
‫وﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﻮﻋﺪ و اﻟﻮﻋ ﺪ ﺮوﻧ ﺎ ﺑﻌﻨﺼﺮ اﻟﻤﺼﻠﺤﺔ اﻹﻧﺴﺎﻧ ﺔ‪ ،‬أن اﻟﻔﻌﻞ اﻹﻟ ﻰ ﻻﺑﺪ أن ﻜﻮن ﻓ‬
‫ﺧ ﺮ و ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎن‪ ،‬و أن أﻓﻌﺎﻟ ﺳﺒﺤﺎﻧ و ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺗﻜﻮن ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺘﻀﻰ اﻟﺤﻜﻤﺔ‪ ،‬و أن اﷲ‬
‫ﻻ ﻜﻠﻔ ﻢ ﻣﺎ ﻻ ﻄ ﻘﻮن و أن اﷲ ﻻ ﺨﻠﻒ اﻟﻤ ﻌﺎد‪ª .‬ﺬا اﻟﺮأى ﻮاﻓﻖ ﻋﻠ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ‪.‬‬
‫ﻛﻤﺎ ‪ª‬ﻮ‬ ‫و أﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻟﺘﺠﺴ ﻢ‪ ،‬ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ﻔﺴﺮه ﻋﻠﻰ ﻣﻌﻨﻰ اﻟﻤﺠﺎزى‪ ،‬ﻓﺮأ‬
‫رأ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ‪ .‬و أﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ أﻓﻌﺎل اﻟﻌﺒﺎد ‪ª‬ﻮ ﺮى أن اﻻﻧﺴﺎن ﻋﻠ اﻟﺘﺨﻄ ﻞ‬

‫‪xi‬‬
‫و اﻻرادة و اﻟﺴﻌﻰ و اﻻﺧﺘ ﺎر و ﻓﻌﻞ ﻛﻞ ﻣﺎ ﺤﻘﻖ ﻟ اﻟﺨ ﺮ و ﻀﻤﻦ ﻟ اﻟﺮﻓﺎه و ذﻟﻚ ﻓﺮأ ﻛﻤﺎ‬
‫‪ª‬ﻮ رأ اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ‪.‬‬
‫و اﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻻ ﻤﺎن‪ ،‬ﺮى ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب أن اﻻ ﻤﺎن ‪ª‬ﻮ ﺗﺼﺪ ﻖ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ و إﻗﺮار‬
‫ﺑﺎﻟﻠﺴﺎن و ﻋﻤﻞ ﺑﺎﻻرﻛﺎن‪.‬‬
‫أﻣﺎ ﻣﺼﺎدر ﺑ ﺎﻧﺎت ‪ª‬ﺬا اﻟﺒﺤﺚ و ﺳ ﻜﻮن ‪ª‬ﻨﺎك ﻃﺮ ﻖ ﻟﻠﺒﺤﺚ ﺗﺤﻠ ﻞ أﻓﻜﺎر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ‬
‫ﺷ ﺎب و أراءه ﻋﻦ ﻣﺴﺎﺋﻞ اﻟﻜﻼم ﺑﺎﺳﺘﺨﺪام ﻣﻨ ﺞ اﻟﻤﻘﺎرن و اﻟﺘﺤﻠ ﻞ‪ ،‬ﻌﻨﻰ اﻟﻤﻘﺎرﻧﺔ ﺑ ﻦ أﻓﻜﺎره و‬
‫أراءه ﺑﺄراء ﻋﻠﻤﺎء اﻟﻜﻼم اﻟﺴﺎﺑﻘ ﻦ‪ :‬اﻟﻤﻌﺘﺰﻟﺔ‪ ،‬اﻷﺷﻌﺮ ﺔ‪ ،‬اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ اﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ و اﻟﻤﺎﺗﺮ ﺪ ﺔ‬
‫اﻟﺒﺨﺎرى‪ ،‬ﻣﻦ أﺟﻞ ذﻟﻚ ﻈ ﺮ اﻟﺒﺤﺚ إﻟﻰ اﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح‬
‫ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب‪.‬‬
‫ﻔﺮق ‪ª‬ﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﻣﻦ اﻟﺒﺎﺣﺜ ﻦ اﻟﺴﺎﺑﻘ ﻦ أن ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر‬
‫ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب‪ ،‬اﻻﻓﺘﺮاﻗﺎت ﻓ ﺎ ﻣﻦ اﻟﻤﺼﺎدر و ﺗﻨﺘﺞ اﻻﺳﺘﻨﺒﺎط‪ .‬أﻣﺎ ‪ª‬ﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﺴﺘﺨﺪﻣ‬
‫اﻟﺒﺎﺣﺚ ﻓﻰ ﺑﺤﺜ ﻣﻦ ﻣﺼﺪر اﻟﻤﺮاﺟﻊ ﻋﻨ ‪ª‬ﻮ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح‪ ،‬و ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ اﻟﺪراﺳﺔ أﺟﺪ ان ﻟﻮن‬
‫اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻓﻰ ﺗﻔﺴ ﺮ اﻟﻤﺼﺒﺎح ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ‪ª‬ﻮ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ‬
‫ﺗﻔﺴ ﺮ‬ ‫اﻟﻜﻼﻣﻰ اﻟﻌﻘﻠﻰ‪ ،‬ﻋﻠﻰ اﻟﻌﻜﺲ ﻣﻦ اﻟﺒﺎﺣﺜ ﻦ اﻟﺴﺎﺑﻘ ﻦ ﻣﻨ ﺎ‪ :‬ﻣﺼﻄﻔﻰ ﻻ ﺴﺘﺨﺪم ﻓﻰ ﺑﺤﺜ‬
‫اﻟﻤﺼﺒﺎح‪ ،‬ﻣﺒﺎﺷﺮة ﻔﺮق ﻋﻠﻰ ﻧﺘ ﺠﺔ اﻻﺳﺘﻨﺒﺎط أن ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ اﻟﻌﻼﻣﺔ اﻟﺪﻛﺘﻮر ﻣﺤﻤﺪ‬
‫ﻗﺮ ﺶ ﺷ ﺎب ‪ª‬ﻮ ﻟﻮن اﻟﺘﻔﻜ ﺮ اﻟﻜﻼﻣﻰ اﻟﻨﻘﻠﻰ اﻻدﺑﻲ‪.‬‬

‫‪xii‬‬
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣ ﻢ‬


Al-Èamdulillah, segala puji dan syukur ke hadirat Allah swt atas
Rahmat, Hidayah dan Inayah yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis,
sehingga penelitian yang penulis beri judul: "Corak Pemikiran Kalam
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbãh" ini, dapat penulis
selesaikan setelah sekian lama penulis menghadapi berbagai ujian dan
hambatan. Êalawat serta salam, semoga senantiasa terlimpahkan kepada
junjungan Nabi Muhammad saw. beserta keluarganya yang mulia dan para
sahabatnya yang setia dalam mensyiarkan agama Islam dan ajaran yang
terkandung di dalamnya demi kemaslahatan umat manusia.
Sungguh merupakan sebuah hasil karya yang tidak mungkin penulis
berhasil hantarkan, tanpa bantuan moril dan meteriil, motivasi serta
cambukan dari berbagai pihak, yang membuat penulis tidak akan melupakan
budi baik mereka dalam penulisan tesis ini. Untuk itulah, penulis
menyampaikan rasa terimakasih yang tidak terhingga kepada mereka yang
sangat berjasa, terutama:
Kepada Ema Hj. Alsih dan Bapak H. Waktar, orangtua sekaligus teman
setia bagi penulis yang tidak pernah lelah merawat penulis dengan penuh
cinta kasih, curahan perhatian dan motivasi, serta untaian do'a sehingga
menguatkan penulis untuk terus berjuang menyelesaikan kuliah ini. Untaian
kata tidak akan pernah dapat mewakili rasa terimakasih penulis kepada Ema
dan Bapak atas segala pengorbanan yang telah Ema dan Bapak berikan sejak
penulis masih dalam kandungan hingga entah sampai kapan. Begitu pula,
kepada Babah H. Murhain, (alm) dan Umi Hj. Siti Mariyam, yang telah
memberikan restu kepada penulis untuk melanjutkan hidup dengan seorang
pasangan yang terbaik, yang mendukung penuh penulis dalam penulisan ini,

xiii
terima kasih banyak untuk Umi dan Babah karena memberikan keluarga
baru yang harmonis sehingga menguatkan penulis untuk terus berjuang
menyelesaikan kuliah ini.
Istri tercinta Hj. Nur Arfiyah Febriani, MA, penulis menyampaikan
penghargaan dan penghormatan yang sedalam-dalamnya atas dorongan dan
semangat serta ketabahannya mengikuti suami selama mengikuti program
S2, terutama dalam menyelesaikan tulisan ini.
Kepada Bapak pembimbing, Prof. Dr. H. Muhammad Yunan Yusuf, MA.
Dengan segala keterbatasan yang penulis miliki bapak terus memberikan
motivasi dan masukan yang sangat membantu penulis dan telah banyak
memberikan bimbingan yang amat berarti bagi penulis dalam menyelesaikan
tesis ini.
Kepada tiga saudaraku, dr. H. Wawan Anwarudin, dr. Aziz Ghafur
dan Ali Nurdin, ST. Terimakasih atas atensi, motivasi dan advise yang
diberikan selama ini kepada penulis, sehingga menambah semangat penulis
dalam menyelesaikan kuliah ini.
Kepada Bapak Rektor, Direktur Pascasarjana beserta seluruh dosen
dan staf civitas akademika Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan pendidikan yang baru
kepada penulis, sehingga penulis dapat lebih konsen dalam mengkaji ilmu
pengetahuan yang dipilih meski tidak akan pernah cukup.
Kepada Bapak kepala beserta staf Perpustakaan Utama, dan
Perpustakaan Pasca Sarjana UIN (Mr. Suali and Mr. Syukron), atas
penyediaan buku-buku yang menjadi referensi otoritatif dalam penulisan
ini. Begitu pula kepada teman-teman konsentrasi Tafsir Hadis angkatan 2004
yang sangat rajin menanyakan perkembangan tesis penulis serta menjadi
teman diskusi.

xiv
Penulis hanya dapat memanjatkan doa, memohon kepada Allah swt.
Semoga Ia berkenan menerima dan membalas segala jasa dan budi baik
mereka kepada penulis serta memberikan balasan yang hanya kepada-Nya
penulis serahkan, Ämîn Yã Rabb al-'Älamîn,.

Jakarta, April 2008

Badru Tamam

xv
DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ............................................................... ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN .....................................................
iv
ABSTRAK ........................................................................v
KATA PENGANTAR .................................................................. xi
DAFTAR ISI ........................................................................ xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................ xvi
BAB I PENDAHULUAN.......................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah........................................... 1
B. Permasalahan Pokok .............................................. 8
C. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah ........................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................. 10
E. Kajian Pustaka ..................................................... 11
F. Metodologi Penelitian............................................. 13
G. Sistematika Penulisan............................................. 14
BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
DAN TAFSIR AL-MISHBÄH.............................................. 16
A. Biografi M. Quraish Shihab ....................................... 16
B. Karya-karyanya .................................................... 27
C. Tafsir Al-Mishbãh ................................................. 32
BAB III PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
TENTANG KETUHANAN .............................................. 39
A. Sifat-sifat Tuhan .................................................. 39
B. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan ...................... 91

xvi
C. Keadilan Tuhan ................................................... 101
D. Perbuatan Tuhan ................................................. 111
BAB IV PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
TENTANG MANUSIA ................................................... 123
A. Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu .......................... 123
B. Perbuatan Manusia ............................................... 141
C. Konsep Iman ....................................................... 161
BAB V PENUTUP ................................................................ 170
A. Kesimpulan ......................................................... 170
B. Saran-saran ........................................................ 176
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 177
LAMPIRAN

xvii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Hijaiyah
‫أ‬ = a ‫ب‬ = b
‫ت‬ = t ‫ث‬ = ê
‫ج‬ = j ‫ح‬ = è
‫خ‬ = kh ‫د‬ = d
‫ذ‬ = í ‫ر‬ = r
‫ز‬ = z ‫س‬ = s
‫ش‬ = sy ‫ص‬ = é
‫ض‬ = ç ‫ط‬ = ë
‫ظ‬ = ì ‫ع‬ = `
‫غ‬ = g ‫ف‬ = f
‫ق‬ = q ‫ك‬ = k
‫ل‬ = l ‫م‬ = m
‫ن‬ = n ‫و‬ = w
‫ه‬ = h ‫ء‬ = ‘
‫ي‬ = y

Saddah
Penulisan saddah menggunakan konsonan rangkap seperti ‫ اﻟﻜﺸّﺎف‬ditulis
al-kasysyãf

Maddah
‫ـــَﺎ‬ = ã
ْ‫ــِﻲ‬ = î
ْ‫ــُﻮ‬ = ü

Kata Sandang ‫ال‬


Kata sandang ‫ ال‬baik diikuti huruf syamsiah maupun qamariah ditulis
dengan al seperti ‫ اﻟﺮﺟﺎل‬ditulis al-rijal, ‫ اﻟﺒ ﺖ‬ditulis al-bait.

Diftong
ْ َ‫ـ‬
‫ﻲ‬ = ai seperti ‫ ﺑ ﻦ‬ditulis baina
ْ‫ـَﻮ‬ = au seperti ‫ اﻟ ﻮم‬ditulis al-yaum

xviii
DAFTAR SINGKATAN

swt. Subhãnah wa ta'ãla


saw. Éalla Allah 'alaih wa sallam
t.th. tanpa tahun
t.p. tanpa penerbit
t.tp. tanpa tempat
as 'Alaih salam
ra Raçia Allah 'anh
H.R. Hadits Riwayat
M. Masehi
H. Hijriyah
h. halaman

xix
ABSTRAK
CORAK PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD QURAISH
SHIHAB DALAM TAFSIR AL-MISHBÄH

Oleh

Badru Tamam
NIM : 04.2.00.1.05.01.0007

Dosen pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammad Yunan Yusuf, MA

KONSENTRASI TAFSIR HADIS


SEKOLAH PASCASARJANA UIN
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2008

1
2 25
KATA PENGANTAR

‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣ ﻢ‬

Al-Èamdulillah, segala puji dan syukur ke


hadirat Allah swt atas Rahmat, Hidayah dan
Inayah yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis.
Shalawat serta salam, semoga senantiasa
terlimpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad
saw. beserta keluarganya yang mulia dan para
sahabatnya yang setia dalam mensyiarkan agama
Islam dan ajaran yang terkandung di dalamnya demi
kemaslahatan umat manusia.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
Ema Hj. Alsih dan Bapak H. Waktar, orangtua
sekaligus teman setia bagi penulis yang tidak
pernah lelah merawat penulis dengan penuh cinta
kasih, curahan perhatian dan motivasi, serta
untaian do'a sehingga menguatkan penulis untuk
terus berjuang menyelesaikan kuliah ini. Untaian
kata tidak akan pernah dapat mewakili rasa
terimakasih penulis kepada Ema dan Bapak atas
segala pengorbanan yang telah Ema dan Bapak
berikan sejak penulis masih dalam kandungan
hingga entah sampai kapan. Begitu pula, kepada
Babah H. Murhain, (alm) dan Umi Hj. Siti Mariyam,
yang telah memberikan restu kepada penulis untuk
melanjutkan hidup dengan seorang pasangan yang
terbaik, yang mendukung penuh penulis dalam
penulisan ini, terima kasih banyak untuk Umi dan
Babah karena memberikan keluarga baru yang
harmonis sehingga menguatkan penulis untuk terus
berjuang menyelesaikan kuliah ini.

24 1
Istri tercinta Hj. Nur Arfiyah Febriani, MA, CURICULUM VITAE
penulis menyampaikan penghargaan dan
penghormatan yang sedalam-dalamnya atas
dorongan dan semangat serta ketabannya mengikuti
Nama : Badru Tamam.
suami selama mengikuti program S2, terutama
dalam menyelesaikan tulisan ini. Tempat, tgl lahir : Karawang, 28 Desember 1976.
Kepada Bapak pembimbing, Prof. Dr. H.
Alamat : Jl. Pramuka 24 Krajan II
Muhammad Yunan Yusuf, MA. Dengan segala keter-
batasan yang penulis miliki bapak terus memberikan Rt/w: 06/05 Talagasari
motivasi dan masukan yang sangat membantu
Karawang Jawa Barat
penulis dan telah banyak memberikan bimbingan
yang amat berarti bagi penulis dalam Istri : Hj. Nur Arfiyah Febriani, MA.
menyelesaikan tesis ini.
Ayah / Mertua : H. Waktar / H. Murhain (alm)
Kepada tiga saudaraku, dr. H. Wawan
Anwarudin, dr. Aziz Ghafur dan Ali Nurdin, ST. Ibu / Mertua : Hj. Alsih / Hj. Mariyam Thaib
Terimakasih atas atensi, motivasi dan advise yang
diberikan selama ini kepada penulis, sehingga
menambah semangat penulis dalam menyelesaikan Pendidikan Formal :
kuliah ini.
§ Sekolah Dasar Negeri 1 Talagasari-Karawang,
Kepada Bapak Rektor, Direktur Pascasarjana
beserta seluruh dosen dan staf civitas akademika (1984-1990)
Sekolah Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri
§ Madrasah Tsanawiyah Darussalam-Ciamis-Jawa
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan
pendidikan yang baru kepada penulis, sehingga Barat, (1990-1993)
penulis dapat lebih konsen dalam mengkaji ilmu
§ Madrasah Aliyah Program Khusus Negeri (MAPKN)
pengetahuan yang dipilih meski tidak akan pernah
cukup. Darussalam-Ciamis-Jawa Barat, (1993-1996)
Kepada Bapak kepala beserta staf
§ S1, Fak. Uéuluddin Universitas Al-Azhar Kairo,
Perpustakaan Utama, dan Perpustakaan Pasca
Sarjana UIN (Mr. Suali and Mr. Syukron), atas Tamat 2003.
penyediaan buku-buku yang menjadi referensi
§ S2 Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
otoritatif dalam penulisan ini. Begitu pula kepada
teman-teman konsentrasi Tafsir Hadis angkatan 2004-sekarang.
2004 yang sangat rajin menanyakan perkembangan
tesis penulis serta menjadi teman diskusi.

2 23
Tafsir Al-Manar Jakarta: Lentera Hati, 2006. Penulis hanya dapat memanjatkan doa,
--------------, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama al-
memohon kepada Allah swt. Semoga Ia berkenan
menerima dan membalas segala jasa dan budi baik
Qur`an, Bandung: Mizan, 2007.
mereka kepada penulis serta memberikan balasan
--------------, Sejarah dan `Ulüm Al-Qur`an, Jakarta: yang hanya kepada-Nya penulis serahkan, Ämîn Yã
Pustaka Firdaus, 2001. Rabb al-'Älamîn,.
--------------, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan
Pemikiran , Jakarta: Lentera Hati, 2007. Jakarta, April 2008

Lentera Hati, Kisah dan


--------------, Hikmah
Kehidupan, Bandung: Mizan, 2006. Badru Tamam
--------------, Tafsiral-Mishbãh Pesan, Kesan dan
Keserasian al-Qur`an, Jakarta: Lentera Hati,
2005.
--------------, Tafsir al-Qur`an al-Karîm Tafsir atas
Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan
Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah,
1997.
Subhan, Arif, Tafsir Yang Membumi, Majalah
Êaqafah, Jakarta Vol. 1. No. 3. 2003.
`Usman, `Abd al-Karim, Nazariyyat al-Taklif,
Beirut: Muassat al-Risalah, 1391 H.
Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of The
Kalam, Harvard: University Press, Cambridge,
1976.
Yusuf, Muhammad Yunan, Alam Pikiran Islam,
Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990.
--------------, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar,
Sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka
Dalam Teologi Islam, Disertasi Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1989.
22 3
ABSTRAK Shihab, Muhammad Quraish, Lentera Hati Kisah dan
Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 2006.
--------------, Dia Dimana-mana, Tangan Tuhan Di Balik
Badru Tamam: Setiap Fenomena, Jakarta: Lentera Hati,
“Corak Pemikiran Kalam Muhammad Quraish 2004), cet 1.
Shihab Dalam Tafsir Al-Mishbãh” Tesis
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, --------------, Logika Agama, Kedudukan Wahyu Dan
2008. Batas-batas Akal Dalam Islam, Jakarta:
Lentera Hati, 2005.
Penelitian ini membuktikan bahwa pemikiran --------------, Fatwa-fatwa Seputar Tafsir al-Qur`an,
kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al- Bandung: Mizan, 2001.
Mishbãh adalah bercorak rasional, karena beberapa
Mahkota Tuntunan
--------------, Ilahi, Jakarta:
masalah kalam yang diangkat dalam tesis ini
Untagama, 1998.
ternyata lebih banyak persamaannya dengan
pemikiran kalam yang terdapat dalam aliran --------------, Membumikan al-Qur`an Fungsi Dan Peran
Mu`tazilah dan Mãturîdiyyah Samarkand. Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
Sebaliknya, sedikit sekali persamaannya dengan Bandung: Mizan, 1993.
pemikiran kalam tradisional, yaitu Asy`ariyyah dan --------------, Menabur Pesan Ilahi al-Qur`an Dan
Mãturîdiyyah Bukhara. Dinamika Kehidupan Masyarakat, Jakarta:
Kesimpulan tersebut dihasilkan melalui Lentera Hati, 2006.
sumber data primer Tafsir al-Mishbãh yang
membahas ayat-ayat tentang tema-tema kalam, --------------,Menjemput Maut: Bekal Perjalanan
seperti masalah kekuasaan dan kehendak mutlak Menuju Allah swt., Jakarta: Lentera Hati,
Tuhan, keadilan Tuhan, perbuatan-perbuatan 2004.
Tuhan, perbuatan manusia, antropomorpisme, dan --------------, Menyibak Ta`bir Ilahi, al-Asma al-Husna
masalah iman. Dalam Perspektif al-Qur`an, Jakarta:
Kesimpulan tersebut didukung oleh data-data Lentera Hati, 2006.
sebagai berikut: pada masalah kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan, misalnya, menurut --------------, Mukjizat al-Qur`an Ditinjau dari Aspek
Muhammad Quraish Shihab tidak berlaku semutlak- Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan
mutlaknya, sebagaimana pendirian Mu`tazilah dan Gaib, Bandung: Mizan, 2006.
Maturidiyyah Samarkand. --------------, Pengantin Al-Qur`an: Kalung Permata
Tentang masalah keadilan Tuhan, Buat Anak-anakku Jakarta: Lentera Hati,
menurutnya dilihat dari perspektif kepentingan dan 2007.
kemaslahatan manusia, yang dihubungkan dengan
--------------, Rasionalitas Al-Qur`an Studi Kritis atas

4 21
al-Dãr al-Kuwaitiyyah, 1968. pahala dan sanksi yang harus diterima manusia.
Pandangannya ini sejalan dengan pendirian
Madkür, Ibrãhîm, Fi al-Falsafah al-Islãmiyyah,
Mu`tazilah.
Manhaj wa Tathbiquh, Maéri: Dãr al-Ma`ãrif,
Mengenai perbuatan Tuhan, yakni maksud
t.th.
dan tujuan Tuhan menciptakan segala sesuatu,
Müsa, Muhammad Yüsuf, al-Islãm wa Hãjah al- beban di luar batas kemampuan manusia, serta
Insãniyyah Ilaihy, Qãhirah: al-Majlis al-A`la li janji dan ancaman Tuhan, menurut Shihab juga
al-Su`ün al-Islãmiyyah, 1999. dihubungkan dengan aspek kepentingan manusia,
--------------, Al-Qur`an wa al-Falsafah, Qãhirah: Dãr yakni perbuatan Tuhan itu hanya diperuntukkan
al-Ma`ãrif, 1996. buat manusia, dan Tuhan tidak membebani manusia
terhadap sesuatu yang tidak bisa ia kerjakan; serta
Najjãr, Amir, Aliran Khawarij Mengungkap Akar janji dan ancaman Tuhan itu pasti terlaksana.
Perselisihan Umat, terjemahan oleh A. Dengan demikian, pandangannya itu sejalan dengan
Salihin Rasyidi dan Afif Muhammad, Jakarta: pendirian Mu`tazilah.
Lentera, 1993. Mengenai perbuatan manusia, ia
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, berpandangan bahwa manusia memiliki kebebasan
Jakarta: UI Press, 1986. dalam memilih dan melakukan perbuatannya,
namun kebebasan itu tidak melebihi batas
--------------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
kemanusiannya dan sunnatullah yang telah
Mu`tazilah, Jakarta: UI-Press, 1987. diciptakan Allah. Dengan demikian pandangannya
Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta:
--------------, sejalan dengan pendirian Mu`tazilah.
Bulan Bintang, 1982. Sedangkan mengenai masalah
antropomorfisme, ia tidak menafsirkannya menurut
--------------,Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah
arti harfiah, tetapi menafsirkannya menurut arti
Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press,
majazi (metaforis). Dengan demikian,
1986.
pandangannya itu sejalan dengan pendirian aliran
Nasysyãr, `Ali Sãmi, Nasy`ah al-Fikr al-Falsafi fi al- rasional.
Islãm, Iskandariah, Dãr al-Ma`ãrif, 1965. Adapun mengenai masalah iman, ia
Qãsim, Maèmüd, Dirãsah fi al-Falsafah al- berpandangan bahwa iman tidak cukup hanya
Islãmiyyah, Qãhirah: Dãr al-Ma`ãrif, 1972. dengan taédîq, tetapi harus sejalan dengan
pembenaran dengan hati, ucapan dengan lidah dan
--------------, Manãhij al-Adillalh fi `Aqãid al-Millah li penyerahan jiwa dengan ditandai dengan amal
Ibn Rusyd ma`a Muqaddimah fi Naqd Madãris (perbuatan). Dengan demikian, pandangannya
`Ilm al-Kalãm, Qãhirah: Maktabah al-Anglo sejalan dengan pendirian Mu`tazilah.
al-Misriyyah, 1963.

20 5
Sumber data yang menghasilkan kesimpulan Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah dalam
di atas dikaji dengan pendekatan analisis kritis Islam, Padang: IAIN-IB Press, 2001.
terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New
Shihab tentang masalah-masalah kalam. Analisis York: Columbia University Press, 1983.
kritis ini dihubungkan dengan pemikiran-pemikiran
kalam dalam berbagai aliran: Mu’tazilah, al- Federspeil, Howard M., Kajian al-Qur’an di
Asy’ariyyah, Mãturidiyyah Samarkand dan Indonesia: Dari Mahmud Yünus hingga
Mãturîdiyyah Bukhara, sehingga akan tampak corak Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, Bandung:
atau kecenderungan pemikiran kalam Muhammad Mizan, 1996.
Quraish Shihab tersebut. Ghurãbah, Hamüdah, Abu Èasan Asy`ari, Qãhirah:
Penelitian ini berbeda dengan penelitian- Majma` al-Buhüê al-Islãmiyyah, 1973.
penelitian sebelumnya tentang pemikiran kalam
Muhammad Quraish Shihab. Perbedaanya terletak Heizer, Herman, Tafsir al-Mishbãh Lentera Bagi
pada sumber data primer yang digunakan, dan Umat Islam Indonesia, Majalah Êaqafah,
kesimpulan yang dihasilkannya. Dalam penelitian ini Jakarta vol. 1. No. 3. 2003.
digunakan Tafsir al-Mishbãh sebagai sumber data Hidayat, Qomarudin, Membaca Sosok Quraish
primer, dan dihasilkan kesimpulan bahwa corak Shihab, Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr.
pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab dalam H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa
Tafsir al-Mishbãh adalah rasional; sebaliknya dalam Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta. Aula
penelitian sebelumnya, seperti Mustafa P, tidak fatahillah, 28 September 1996.
digunakan Tafsir al-Mishbãh, dan kesimpulan yang
dihasilkannya pun berbeda, justru corak pemikiran Ibn Khaldün, `Abd al-Raèmãn, Muqaddimah Ibn
kalam Muhammad Quraish Shibah adalah Khaldün, Beirut: Dãr al-Fikr, 1981.
tradisional-normatif. Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab
Dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Tesis Program
Pascasarjana UIN Jakarta, 2002.
Izutsu, Toshiko, God and Man in the Qur`an, Tokyo:
Keiko University, 1964.
Kamal, Zainun, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab,
M.A. Pemikirannya dalam bidang Tafsir dan
Teologi. Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr.
H.M. Quraish Shihab, M.A, Ciputat-Jakarta,
1996.
Khalãf, `Abdul Wahãb, `Ilm Uéül al-Fiqh, Kuwait:

6 19
Khalif, Istambul: al-Maktabat al-Islãmiyah,
1979.
--------------, Ta`wîil al-Sunnah, Qãhirah: Dã al-
Kutub al-Misriyyah, t.th.
Al-Syahrastãi, Muèmmad Ibn `Abdul Karîm, al-Milal
wa al-Nihal, Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah,
t.th.
--------------, Nihãyat al-Iqdãm fi `Ilm al-Kalãm, (Ed.),
Alfred Guillaume, London, Oxford University
Press, 1934.
Al-Syãëibi, Abu Isèãq, al-Muwãfaqãt fi Uéül al-
Syar`îyyah, Maéri: al-Maktabat al-Tijãriyyah
al-Kubra, 1975.
Al-Zamakhsari, Abu al-Qãsim Jãr Allah Maèmüd Ibn
`Umar al-Khawãrizmi, al-Kasysyãf `an
Haqã`iq Gawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-
Aqãwîl fi Wujüh al-Ta`wîl, Beirut: Dãr al-
Kutub al-`Ilmiyyah, 1995.
Al-Zarqãni, Muèammad Abdul Aìîm Manãhil al-Irfãn
fi `Ulüm al-Qur`an, Beirut: Dãr al-Kutub al-
Ilmiah, 1996.
Amîn, Aèmad, Fajrul al-Islãm, Qãhirah: Maktabat
al-Usrah, 2000.
Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir
al-Mishbãh, Disertasi Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2006.
Anwar, Hamdani, Mimbar Agama dan Budaya
(selanjutnya tertulis Mimbar Agama) vol. xix,
no. 2, 2002
Baidan, Nasharuddin, Metodologi Penafsiran al-
Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

18 7
ABSTRACT --------------, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-
zaig wa al-Bida`, Beirut: Dar al-Kutub al-
Islamiyyah, 2000, cet 1.
Badru Tamam: --------------, Mãqãlat al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-
“The Theological Thinking Pattern of Muhammad Muéallîn, (Ed) Muèammad Muhyiddîn Abdul
Quraish Shihab in Tafsir Al-Mishbãh” Hamîd, Beirut: Maktabat al-Asriyyah, 1990.
This research proves that the theological Al-Bagdãdi, Abu Manéür `Abd al-Qãhir Ibn Ëãhir al-
pattern of Muhammad Quraish Shihab in Tafsir al- Tamîmi, Kitãb Uéüluddîn, Beirut: Dãr al-
Mishbãh is rational, because several problems of Madînah, 1928.
kalam in his tafsir are similar to the kalam ideas --------------, Al-Farq bain al-Firaq, (Ed.) Muèammad
Mu`tazilah and Mãturîdiyyah Samarkand. On the Muhy al-Dîn `Abd al-Hamîd, Beirut: Maktabat
contrary, the similarity is less than the idea of al-`Asriyyah, 1990.
traditional kalam, Asy`ariyyah and Mãturîdiyyah
Al-Bayãdi, Kamal al-Dîn Aèmad, Isyãrat al-Marãm
Bukhara.
min Ibãrat al-Imãm, (Ed), Yusuf Abd al-
That conclusion is drawn from al-Mishbãh as
Razzaq, Qãhirah: Mustafa al-Bãbi al-Halabi
the main source that studying kalam verses that
wa Aulãduh, 1949.
constitute the power and the will of God, the
justice, the act of God, the act of human, Al-Bazdãwi, Abu Yusr Muèammad, Kitãb
anthropomorphism, and doctrine of believe. Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss, Qãhirah:
That conclusion is supported by the following Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963.
data: the problem of the absolute power and will of Al-Farmawi, Abd al-Èayy, al-Bidãyah fi al-Tafsîr al-
God by Muhammad Quraish Shihab is not absolute. Mauçü`i Dirãsah Manhajiyyah Maudüiyyah,
This opinion is similar to Mu`tazilah’s and T.tp, T.p, 1976.
Maturidiyyah Samarkand’s standing point.
Related to the justice of God, Muhammad Al-Ghazãli, Abu Èamîd, Al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd,
Quraish Shihab sees it from the importance and the Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1988.
goodness of mankind point of view. It relates to the Al-Hasani, Sayyid Muèammad Ibn `Alawi al-Maliki,
sanction and reward being received by man. This al-Manhal al-Laëîf fi Uéül al-Hadîê al-Sarîf,
point of view is similar to Mu`tazilah point of view. Mekah: Wizãrat al-I`lãm, 1990.
Concerning to the act of God, namely God’s
purposes and objectives in creating everything, Al-Ïji, Abdurraèmãn Ibn Aèmad, al-Mawãqif Fi `Ilm
beyond human ability. God’s threat and promise al-Kalãm, Beirut: `Alam al-Kutub, t.t
according to Muhammad Quraish Shihab also related Al-Mãtürîdi, Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad
to the important aspect of human, namely the act Ibn Maèmüd, Kitãb al-Tauèîd, (Ed), Fatèullah

8 17
DAFTAR PUSTAKA of God only destining man Create, and God does not
burden human which he can not do; and also God’s
threat and promise have to be happened. Thereby,
`Abdul Jabbãr, Al-Qãçi, al-Mughnî Fi Abwãb al- that opinion is similar to Mu`tazilah's point of view.
Tauhîd wa al-`Adl, Maéri: al-Dãr al-Misriyyah Related to the act of man, Muhammad
li al-Ta`lîf wa al-Tarjamah, 1965. Quraish Shihab views that human has a freedom to
choose and act, but the freedom does not beyond
Syarè al-Ushül al-Khamsah, Qãhirah:
--------------,
the human’s ability and sunnatullah. Thereby, His
Maktabat Wahbah, 1996.
view is similar to the Mu`tazilah’s point of view.
--------------, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Related to the anthropomorphism,
Muèammad Zarzawar, Qãhirah: Dãr al-Turãs, Muhammad Quraish Shihab does not interpret it
1969. literally, but interpret it metaphorically. Thereby,
--------------, Tanzîh al-Qur`an `an al-Mathîn, Beirut: his opinion is similar to the rational school.
Dãr al-Nahdhah al-Hadîê, t.th. Concerning to the problem of faith, he sees
that the faith is not only by tasdîq, but also by
Abidat, Abdul Karîm Naufãn`, Al-Dilãlat al- justification of heart, utterance by tongue, and
`Aqliyyah fi al-Qur`an wa Makãnatuhu fi delivery of soul marked by charitable. Thereby, his
Masãil al-`Aqîdat al-Islãmiyyah, Ummãn: Dãr opinion is similar to the Mu`tazilah's point of view.
al-Nafã`is, 1420 H/ 2000 M. The data sources are approached by critical
Abü Zahrah, Muèammad, Tãrikh al-Maíãhib al- analysis to Muhammad Quraish Shihab’s opinion
Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-Aqã`id, concerning problem of kalam. This critical analysis
Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th. attributed to the idea of kalam in many streams:
Mu'tazilah, al-Asy'ariyyah, Mãturîdiyyah Samarkand,
--------------, Maíahib al-Islãmiyyah, Maéri: Matba`at
and Mãturîdiyyah Bukhara. This approach would
al-Namüíajiyyah, t.th. show the tendency of kalam idea of Muhammad
Al-Ahwãni, Aèmad Fuãd, al-Falsafah al-Islãmiyyah, Quraish Shihab.
Qãhirah: al-Muassasah al-Miériyyah al-‘Ämah. This research differs from the previous
1962. researches about kalam views of Muhammad
Quraish Shihab. The main difference is the primary
Al-Amîdi, Saif al-Dîn Abi al-Èasan `Ali bin Ali bin
source and conclusion. This research concludes that
Muèammad, al-Ièkãm fi Uéül al-Aèkãm,
the pattern of kalam of Muhammad Quraish Shihab
Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1958.
in his tafsir is rational. On the contrary, the other
Al-Asy`ari, Abu al-Èasan Ismãil, al-Ibãnat an Uéül researches like Mustafa P which Tafsir al-Mishbãh is
al-Diyãnah, Beirut: Maktabat Dãr al-Bayãn, not applied, the main conclusion drawn is do
1999.

16 9
different. The pattern of kalam view of Muhammad
Quraish Shibah is tradisional-normatif.[]

BAB III PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH


SHIHAB TENTANG KETUHANAN ......... 39
A. Sifat-sifat Tuhan ..................... 39
B. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak
‫ﻣﻠﺨﺺ ﻟﺮﺳﺎﻟﺔ‬ Tuhan .................................. 92
‫ﺑﺪ ﲤﺎ‬ C. Keadilan Tuhan ...................... 101

‫ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ‬ ‫ﺗﻔﺴ‬ ‫ﻟﻜﻼﻣﻰ‬ ‫ﻟﺘﻔﻜ‬ ‫" ﻟﻮ‬ D. Perbuatan Tuhan ................... 111
BAB IV PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH
‫" ﺳﺎﻟﺔ ﳌﺎﺟﺴﺘﺮ ﺑﺎﳉﺎﻣﻌﺔ‬ ‫ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ‬ ‫ﻟﺪﻛﺘﻮ‬ SHIHAB TENTANG MANUSIA ............. 123
.2008 ‫ﻻﺳﻼﻣﻴﺔ ﳊﻜﻮﻣﻴﺔ " ﺷﺮﻳﻒ ﻫﺪ ﻳﺔ ﷲ " ﺟﺎﻛﺮﺗﺎ‬ A. Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu

‫ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ ﻟﺪ ﺳﺔ ﳒﺪ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ‬ 123


B. Perbuatan Manusia .................. 137
‫ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻫﻮ‬
C. Konsep Iman .......................... 158
‫ﻗﺪ ﺗﻔﻖ ﻛﺜ ﻣﻦ‬ ‫ ﻷ‬،‫ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻟﻌﻘﻠﻰ‬ BAB V PENUTUP ................................... 166
‫ﻧﺘﺎﺋﺞ ﻣﺎ ﺻﻞ ﻟﻴﻪ ﻣﻊ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ ﻣﻨﻬﺎ‬ A. Kesimpulan ........................... 166

. ‫ﻻﺷﻌﺮﻳﺔ ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻟﺒﺨﺎ‬ B. Saran-saran ........................... 172


DAFTAR PUSTAKA .................................... 173
‫ﺜﻪ‬ ‫ﻹﺳﺘﻨﺒﺎ ﻣﻦ ﻟﻚ ﻳﺴﺘﺨﺪﻣﻪ ﻟﺒﺎﺣﺚ‬ LAMPIRAN
‫ﻣﺼﺪ ﳌﺮ ﺟﻊ ﻋﻨﻪ ﻫﻮ ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ﺧﺼﻮﺻﺎ ﻣﺴﺎﺋﻞ‬
‫ ﻗﻀﻴﺔ ﻟﻌﺪ‬،‫ﻹ ﻴﺔ‬ ‫ﻻ‬ ‫ ﻗﻀﻴﺔ ﻟﻘﺪ‬: :‫ﻟﻜﻼ ﻣﻨﻬﺎ‬

10 15
‫‪DAFTAR ISI‬‬ ‫ﻹ ﻰ‪ ،‬ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻌﺎ ﷲ‪ ،‬ﻗﻀﻴﺔ ﻓﻌﺎ ﻟﻌﺒﺎ ‪ ،‬ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﺘﺠﺴﻴﻢ‬
‫‪SURAT PERNYATAAN .................................‬‬ ‫‪ii‬‬
‫ﻟﺘﺸﺒﻴﻪ‪ ،‬ﻗﻀﻴﺔ ﻻﳝﺎ ‪.‬‬
‫‪PERSETUJUAN PEMBIMBING .........................‬‬ ‫‪iii‬‬ ‫ﳋﻼﺻﺔ ﳌﺬﻛﻮ ﻳﺆﻳﺪﻫﺎ ﻟﻶﺗﻴﺔ‪ :‬ﻗﻀﻴﺔ ﻟﻘﺪ‬
‫‪ABSTRAK‬‬ ‫‪..........................................iv‬‬ ‫ﻳﻪ ﻣﺎ‬ ‫ﻻ ﻹ ﻴﺔ ﻳﺮ ﺎ ﻻﻳﺼﻠﺢ ﻴﻌﻬﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﳝﻴﻞ‬
‫‪KATA PENGANTAR ....................................‬‬ ‫‪x‬‬
‫‪.‬‬
‫ﻋﻠﻴﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ‬
‫‪DAFTAR ISI‬‬ ‫‪..........................................‬‬ ‫‪xii‬‬
‫‪PEDOMAN TRANSLITERASI ...........................‬‬ ‫‪xiv‬‬ ‫ﻗﻀﻴﺔ ﻟﻌﺪ ﻹ ﻰ ﻫﻮ ﻳﻨﻈﺮ ﻟﻴﻪ ﻣﻦ ﻧﺎﺣﻴﺔ ﳌﺼﻠﺤﺔ‬
‫‪DAFTAR SINGKATAN ..................................‬‬ ‫‪xv‬‬ ‫ﺼﻞ‬ ‫ﻟﻌﻘﺎ ﻟﺬ ﺐ‬ ‫ﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ ﻳﻌﻠﻘﻬﺎ ﺑﺎﻟﺜﻮ‬
‫‪BAB I‬‬ ‫‪PENDAHULUAN.............................‬‬ ‫‪1‬‬
‫ﻋﻠﻴﻪ ﻹﻧﺴﺎ ‪ ،‬ﺑﺬﻟﻚ ﳝﻴﻞ ﻣﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ‪.‬‬
‫‪A. Latar Belakang Masalah .............‬‬ ‫‪1‬‬
‫‪B. Pokok Permasalahan .................‬‬ ‫‪8‬‬
‫ﻋﻦ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻌﺎ ﷲ ﻟ ﺗﻌ ﳌﻘﺼﻮ ﻟﻐﺎﻳﺔ ﻣﻦ‬
‫‪C. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah‬‬ ‫ﻓﻌﻞ ﷲ ﻟﺘﻜﻠﻴﻒ ﻣﺎ ﻻﻳﻄﺎ ‪ ،‬ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﻮﻋﺪ ﻟﻮﻋﻴﺪ‬
‫‪9‬‬ ‫ﻟﻔﻌﻞ ﻹ ﻰ ﻻﺑﺪ‬ ‫ﻳﺮ ﺎ ﺑﻌﻨﺼﺮ ﳌﺼﻠﺤﺔ ﻹﻧﺴﺎﻧﻴﺔ‪،‬‬
‫‪D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....‬‬ ‫‪10‬‬
‫ﻓﻌﺎﻟﻪ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ‬ ‫ﻣﺼﻠﺤﺔ ﻟﻺﻧﺴﺎ ‪،‬‬ ‫ﻳﻜﻮ ﻓﻴﻪ ﺧ‬
‫‪E. Kajian Pustaka ........................‬‬ ‫‪11‬‬
‫‪F. Metodologi Penelitian ...............‬‬ ‫‪13‬‬ ‫ﷲ ﻻﻳﻜﻠﻔﻬﻢ ﻣﺎ‬ ‫ﺗﻌﺎ ﺗﻜﻮ ﻋﻠﻰ ﻣﻘﺘﻀﻰ ﳊﻜﻤﺔ‪،‬‬
‫‪G. Sistematika Penulisan ...............‬‬ ‫‪14‬‬ ‫ﻳﻮ ﻓﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫ﷲ ﻻ ﻠﻒ ﳌﻴﻌﺎ ‪ .‬ﻫﺬ ﻟﺮ‬ ‫ﻻﻳﻄﻴﻘﻮ‬
‫‪BAB II‬‬ ‫‪BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH‬‬
‫ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ‪.‬‬
‫‪SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÄH......‬‬ ‫‪16‬‬
‫‪A. Biografi M. Quraish Shihab..........‬‬ ‫‪16‬‬
‫ﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻟﺘﺠﺴﻴﻢ‪ ،‬ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻳﻔﺴﺮ‬
‫‪B. Karya-karyanya ......................‬‬ ‫‪27‬‬ ‫ﺎ ‪ ،‬ﻓﺮ ﻳﻪ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻳﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ‬ ‫ﻋﻠﻰ ﻣﻌ‬
‫‪C. Tafsir Al-Mishbãh ....................‬‬ ‫‪32‬‬ ‫ﻻﻧﺴﺎ ﻋﻠﻴﻪ‬ ‫‪ .‬ﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻓﻌﺎ ﻟﻌﺒﺎ ﻫﻮ ﻳﺮ‬
‫ﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ‬

‫‪14‬‬ ‫‪11‬‬
‫ﻟﺴﻌﻰ ﻻﺧﺘﻴﺎ ﻓﻌﻞ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻘﻖ‬ ‫ﻟﺘﺨﻄﻴﻞ ﻻ‬ ‫ﺜﻪ ﺗﻔﺴ‬ ‫ﻟﺒﺎﺣﺜﲔ ﻟﺴﺎﺑﻘﲔ ﻣﻨﻬﺎ‪ :‬ﻣﺼﻄﻔﻰ ﻻ ﻳﺴﺘﺨﺪ‬
‫‪.‬‬‫ﻟﻪ ﳋ ﻳﻀﻤﻦ ﻟﻪ ﻟﺮﻓﺎ ﻟﻚ ﻓﺮ ﻳﻪ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻳﻪ ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ‬ ‫ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ‬ ‫ﳌﺼﺒﺎ ‪ ،‬ﻣﺒﺎﺷﺮ ﻳﻔﺮ ﻋﻠﻰ ﻧﺘﻴﺠﺔ ﻻﺳﺘﻨﺒﺎ‬
‫ﻣﺎ ﻣﺴﺄﻟﺔ ﻻﳝﺎ ‪ ،‬ﻳﺮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ‬ ‫ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ﻫﻮ ﻟﻮ‬
‫ﻻﳝﺎ ﻫﻮ ﺗﺼﺪﻳﻖ ﺑﺎﻟﻘﻠﺐ ﻗﺮ ﺑﺎﻟﻠﺴﺎ ﻋﻤﻞ ﺑﺎﻻ ﻛﺎ ‪.‬‬ ‫ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻟﻨﻘﻠﻰ ﻻ ‪.‬‬
‫ﻣﺎ ﻣﺼﺎ ﺑﻴﺎﻧﺎ ﻫﺬ ﻟﺒﺤﺚ ﺳﻴﻜﻮ ﻫﻨﺎ ﻃﺮﻳﻖ‬
‫ﻋﻦ ﻣﺴﺎﺋﻞ‬ ‫ﻟﻠﺒﺤﺚ ﲢﻠﻴﻞ ﻓﻜﺎ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ‬
‫ﻟﺘﺤﻠﻴﻞ‪ ،‬ﻳﻌ ﳌﻘﺎ ﻧﺔ ﺑﲔ‬ ‫ﻟﻜﻼ ﺑﺎﺳﺘﺨﺪ ﻣﻨﻬﺞ ﳌﻘﺎ‬
‫ﺑﺄ ﻋﻠﻤﺎ ﻟﻜﻼ ﻟﺴﺎﺑﻘﲔ‪ :‬ﳌﻌﺘﺰﻟﺔ‪،‬‬ ‫ﻓﻜﺎ‬
‫ﻷﺷﻌﺮﻳﺔ‪ ،‬ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻟﺴﻤﺮﻗﻨﺪ ﳌﺎﺗﺮﻳﺪﻳﺔ ﻟﺒﺨﺎ ‪ ،‬ﻣﻦ ﺟﻞ‬
‫ﻟﻚ ﻳﻈﻬﺮ ﻟﺒﺤﺚ ﻟﻜﺸﻒ ﻋﻦ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ‬
‫ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ‪.‬‬
‫ﻟﻮ‬ ‫ﻳﻔﺮ ﻫﺬ ﻟﺒﺤﺚ ﻣﻦ ﻟﺒﺎﺣﺜﲔ ﻟﺴﺎﺑﻘﲔ‬
‫ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ ﺷﻬﺎ ‪،‬‬
‫ﺗﻨﺘﺞ ﻻﺳﺘﻨﺒﺎ ‪ .‬ﻣﺎ ﻫﺬ‬ ‫ﻻﻓﺘﺮ ﻗﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﳌﺼﺎ‬
‫ﺜﻪ ﻣﻦ ﻣﺼﺪ ﳌﺮ ﺟﻊ ﻋﻨﻪ ﻫﻮ‬ ‫ﻟﺒﺤﺚ ﻳﺴﺘﺨﺪﻣﻪ ﻟﺒﺎﺣﺚ‬
‫ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ‪ ،‬ﻣﻦ ﺣﺎﺻﻞ ﻟﺪ ﺳﺔ ﺟﺪ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ‬
‫ﻟﻜﻼﻣﻰ ﺗﻔﺴ ﳌﺼﺒﺎ ﻋﻨﺪ ﻟﻌﻼﻣﺔ ﻟﺪﻛﺘﻮ ﻤﺪ ﻗﺮﻳﺶ‬
‫ﺷﻬﺎ ﻫﻮ ﻟﻮ ﻟﺘﻔﻜ ﻟﻜﻼﻣﻰ ﻟﻌﻘﻠﻰ‪ ،‬ﻋﻠﻰ ﻟﻌﻜﺲ ﻣﻦ‬

‫‪12‬‬ ‫‪13‬‬
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam merupakan agama dengan sistemnya yang utuh, mengandung
konsep yang menyeluruh1 untuk mengarahkan keyakinan, iman serta prilaku
manusia penganutnya untuk memenuhi hakikat dan tujuan hidupnya, yaitu
mengabdikan diri kepada Allah swt. semata. Prinsip pengabdian kepada
Allah semata itu, secara mendasar, lahir dari ajaran yang sangat esensial
dan fundamental sifatnya dalam Islam, yaitu ajaran tauhid.
Sebagaimana diketahui, sumber utama ajaran Islam adalah al-Qur`an
dan al-Hadis, yang disebut pertama merupakan kalam Allah yang
2
diwahyukan-Nya kepada Muhammad saw. melalui malaikat Jibril,
sedangkan yang kedua merupakan tradisi (sunnah) Nabi, baik dalam bentuk
ucapan, tingkah laku maupun ketetapan (taqrîr) dari Nabi.3 Kedua-duanya
(al-Qur`an dan al-Hadis), secara gradual menduduki posisi sentral dalam
bangunan ajaran Islam, atau dengan kata lain, berbicara tentang kandungan
ajaran Islam harus merujuk kepada al-Qur`an dan al-Hadis.
Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam al-Qur`an bersifat universal,
karena al-Qur`an tidak mengandung rincian-rincian yang mendetail dalam
ajaran-ajarannya, maka untuk memahaminya diperlukan penjelasan-
penjelasan yang terangkum dalam Hadis Nabi. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Hadis Nabi pada dasarnya mengandung penjelasan

1
Islam merupakan agama yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, baik
untuk keperluan di dunia maupun untuk kepentingan di akhirat kelak.
2
Muèammad Abdul Aìîm al-Zarqãni, Manãhil al-Irfãn fi `Ulüm al-Qur`an, (Beirut:
Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1996), Jilid I, h. 21.
3
Sayyid Muèammad Ibn `Alawi al-Maliki al-Èasani, al-Manhal al-Laëîf fi Uéül al-
Hadîs al-Syarîf, (Makkah: Wizarat al-I`lam, 1990), h. 8.

1
2

terhadap ajaran yang dibawa oleh al-Qur`an. Berdasarkan dua sumber ini
Islam berkembang di sepanjang sejarahnya.
Sepeninggalan Nabi Muhammad saw. tidak ada seorangpun yang
dapat berperan sebagai referensi dan rujukan keagamaan dengan kadar
yang mutlak sifatnya, maka upaya pemahaman terhadap ajaran Islam,
khususnya terhadap hal-hal yang tidak bersifat qaë’î al-dilãlah (teks yang
tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfiahnya) 4 yang
terdapat dalam al-Qur`an, dilakukan melalui mekanisme kegiatan
intelektual yang dalam istilah teknisnya disebut ijtihãd. 5 Suatu hal yang
tidak dapat dihindarkan, sebagai konsekuensi logis dari kerja ijtihad
tersebut adalah timbulnya perbedaan paham dan pendapat di kalangan
ulama Islam dalam memberikan penafsiran terhadap konsep-konsep
keagamaan yang bersifat ijtihãdî, sebagaimana yang terdapat di dalam al-
Qur`an, dan inilah yang melahirkan mazhab-mazhab atau aliran-aliran
dalam Islam.6

4
Qaë`î al-Dilãlah yang hakikatnya, menurut ‘Abdul Wahãb Khalãf, adalah yang
menunjukkan kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks); tidak
mengandung kemungkinan ta`wil serta tidak ada tempat atau peluang untu memahami
makna selain makna tersebut darinya (teks tersebut). ‘Abdul Wahãb Khalãf, `Ilm Uéül al-
Fiqh, (Kuwait: al-Dãr al-Kuwaitiyyah, 1968), cet VIII, h 35. Naé qaë’î menurut al-Syãëibî
adalah nas yang tidak diragukan lagi pemahamannya, seperti dalil tentang kewajiban
shalat, zakat, puasa, haji. Al- Syãëibî, al-Muwafaqãt fi Uéül al-Syar`iyyah, Jilid IV(Masri:
al-Maktabat al-Tijãriyyah al-Kubrã, 1975), h. 16.
5
Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan untuk mencari ìannî melalui dalil-dalil
taféilî (terperinci).
6
Hal ini memang wajar dan mungkin terjadi di dalam Islam karena al-Qur`an yang
merupakan sumber utama ajaran Islam, sebagian dari ayat-ayatnya memungkinkan untuk
diberi lebih dari satu macam interpretasi atau penafsiran. Sebagimana diketahui, seluruh
ayat al-Qur`an bersifat absolut benar dari Allah (qaë’î al-wurüd), akan tetapi tidak semua
ayat itu mengandung arti qaë’î. karena itu para ulama membuat perbedaan antara nas ayat
yang artinya boleh lebih dari satu kemungkinan interpretasi (ìanni al-dilãlah). Terhadap
nas-nas ìannî al-dilãlah ini, para ulama dapat berbeda paham dan berlainan pendapat
tentang arti dan interpretasinya. Dan hal ini pulalah menyebabkan timbulnya mazhab-
mazhab dan aliran-aliran dalam Islam. Tetapi perbedaan-perbedaan yang terdapat di
antara aliran itu tidaklah mengenai dasar-dasar agama, akan tetapi perbedaan itu pada
umumnya mengenai cabang (furu'`) dari dasar-dasar agama. Lihat Harun Nasution, Akal
dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI Press, 1986), cet ke-2, h. 34.
3

Pemahaman dan pengamalan suatu ajaran yang berkembang dalam


Islam, tidak terlepas dari usaha pengejawantahan produk pemikiran-
pemikiran keagamaan dalam Islam. Tradisi keilmuan dalam Islam
menunjukkan bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan itu berkaitan erat
dengan peran dan fungsi keulamaan yang telah tumbuh sejak dini dalam
sejarah Islam. Meskipun dengan kadar yang berbeda, namun tradisi itu
hampir dapat dipastikan berlanjut sepanjang sejarah Islam.
Di Indonesia, tradisi intelektual Islam tersebut juga tampak
teraplikasi pada kegiatan-kegiatan ulama dan kelompok cendikiawan Muslim
yang kreatif dalam mengembangkan nilai-nilai Islam di tengah-tengah
masyarakat melalui berbagai media yang memungkinkan bagi tugas itu.
Begitu juga, umat Islam Indonesia meyakini bahwa dirinya merupakan
bagian dari masyarakat Muslim dunia yang memiliki sistem peribadatan yang
sama, upacara-upacara yang sama, dan sejarah yang sama. Oleh karena itu,
ketika menulis dalam bidang-bidang keislaman, para intelektual Muslim
Indonesia merespons terhadap warisan sistem yang sama.7 Di antara nama
yang memberikan sumbangsih besar terhadap perkembangan tafsir di
Indonesia adalah Prof. DR. Muhammad Quraish Shihab, MA., seorang
cendekiawan Muslim, mufassir kontemporer yang telah melahirkan
beberapa karya tafsirnya, diantaranya adalah: Wawasan al-Qur`an, Tafsir
Surah-surah Pendek Berdasarkan urutan Turunnya Wahyu, Tafsir al-Amanah
dan Tafsir al-Mishbãh.
Tafsir al-Mishbãh merupakan salah satu karya Muhammad Quraish
Shihab yang dapat dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri
dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 1999 sampai 2004. Yang melatar
belakangi dan motivasi terbitnya Tafsir al-Mishbãh dikarenakan adanya

7
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yünus hingga
Quraish Shihab, dalam edisi terjemahan oleh: Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996). h.74.
4

antusias masyarakat terhadap al-Qur`an dengan cara membaca dan


melagukannya. Namun, dari segi pemahaman terhadap al-Qur`an masih
jauh dari memadai karena faktor bahasa dan ilmu yang kurang memadai.
Sehingga - Muhammad Quraish Shihab mengatakan – bahwa tidak jarang
orang membawa ayat-ayat tertentu untuk mengusir hal-hal gaib seperti jin
dan setan serta lainnya. 8 Padahal yang semestinya ayat-ayat itu harus
dijadikan sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia. Sesuai dengan pengakuan
al-Qur`an sendiri, kehadiran kitab suci ini dimaksudkan sebagai petunjuk
dan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia di sepanjang zaman dan di
segala tempat.9
Dalam penafsiran al-Qur`an – menurut Muhammad Quraish Shihab –
dikenal beberapa corak yaitu corak sastra bahasa, corak filsafat dan teologi,
corak penafsiran ilmiah, corak fiqih atau hukum, dan corak tasauf. Namun,
pada masa Syekh Muhammad Abduh (1849-1905), corak-corak tersebut
mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra
budaya dan kemasyarakatan (adab al-ijtimã`i). 10 yakni satu corak tafsir
yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan
langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk
menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka
berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mudah dimengerti. Berhubungan

8
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur`an, (selanjutnya tertulis Tafsir al-Mishbãh). (Jakarta: Lentera Hati, 2005), cet V, vol I,
h. ix. Herman Heizer, Tafsir al-Mishbãh Lentera bagi Umat Islam Indonesia, Majalah
Êaqafah, Jakarta vol. 1. No. 3. 2003. h. 91.
9
Teks ayat:
žwÎ) |=»tGÅ3ø9$# y7ø‹n=tã $uZø9t“Rr& !$tBur
ÏmŠÏù (#qàÿn=tG÷z$# “Ï%©!$# ÞOçlm; tûÎiüt7çFÏ9
ÇÏÍÈ šcqãZÏB÷sム5Qöqs)Ïj9 ZpuH÷qu‘ur “Y‰èdur
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan
rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. al-Naèl [16]: 64).
10
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1993), cet
V, h. 72.
5

dengan itu, maka tafsir al-Qur`an sebagai upaya dalam memahami dan
mengungkap isi serta prinsip-prinsip ajaran Islam, termasuk ajaran yang
berkaitan dengan akidah memperlihatkan pula kecenderungan aliran kalam
penafsirnya. Dalam terminologi Islam, ilmu yang sejenis itu disebut ilmu
Usuluddin atau ilmu Tauhid. Aèmad Fuãd al-Ahwãni menjelaskan bahwa
yang dimaksud dengan ilmu kalam ialah ilmu yang memperkuat akidah-
akidah agama Islam dengan menggunakan berbagai argumentasi rasional. 11
Menurut Abdurrahman al-Ïji ilmu kalam ialah ilmu yang mampu menguatkan
teologi keagamaan terhadap orang lain dan mampu menghilangkan keraguan
dengan menggunakan argumentasi.12 Sementara Ibn Khaldün mendefinisikan
ilmu kalam ialah ilmu yang berisi berbagai argumentasi teologis dan dalil-
dalil rasional serta kritik terhadap ahli bid’ah yang melakukan
penyimpangan teologis dari mazhab salaf dan ahlussunnah.13 Lebih lanjut,
membawa kita kepada pertanyaan, bagaimana sebenarnya corak pemikiran
kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh?
Jawaban terhadap pertanyaan tersebut, di samping akan membantu
kita dalam menempatkan posisi pemikiran Muhammad Quraish Shihab di
tengah-tengah para teolog Islam yang lain, juga akan membantu kita dalam
mengidentifikasi aliran pemikiran kalamnya.
Tokoh seperti Muhammad Quraish Shihab amat menarik untuk
dijadikan objek kajian dan penelitian bukan hanya karena perlu membuat
deskripsi dan analisis mengenai kegiatan-kegiatan dan aktivitas-aktivitasnya
dalam menjalankan peran dan fungsi keulamaannya saja, tetapi juga karena
perlu diungkapkan dan dibahas pemikiran keagamaan yang seperti apa yang
dibawa dan disodorkan oleh Muhammad Quraish Shihab ini kepada

11
Aèmad Fuãd al-Aèwãni, al-Falsafah al-Islãmiyyah, (Kairo: al-Muassasah al-
Miériyyah al-‘Ämah. 1962), h. 18.
12
Abdurraèmãn Ibn Aèmad al-Ïji, al-Mawãqif Fi `Ilm al-Kalãm, (Beirut: Alam al-
Kutub, t.t), h. 7.
13
Ibn Khaldün, Muqaddimah Ibn Khaldün, (Beirut: Dãr al-Fikr, 1981), h. 580.
6

masyarakat. Mengungkapkan dan mengkaji pemikiran keagamaan ulama ini


selain bermanfaat untuk melihat kontribusinya bagi perkembangan
pemikiran dalam Islam, juga sekaligus akan dapat memberikan gambaran
mengenai paham keagamaannya yang tentunya berkaitan erat dengan
prilaku hidupnya.
Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu kita harus
menelitinya pada karya-karya tulisnya yang membahas masalah-masalah
teologi. Namun, Muhammad Quraish Shihab sendiri – sepengetahuan penulis
sampai saat ini – tidak pernah menulis buku yang membahas masalah-
masalah teologi secara khusus. Meskipun demikian, Muhammad Quraish
Shihab dalam karya tulisnya yang menumental, Tafsir al-Mishbãh, terutama
ketika menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan akidah. Dalam
memberikan komentar dan penjelasannya itu, Muhammad Quraish Shihab
sering membahas dan menganalisis pendapat-pendapat para teolog dari
berbagai aliran, kemudian mengemukakan pandangan dan pahamnya
sendiri. Namun, karena komentar dan penjelasannya tentang masalah-
masalah kalam itu dalam rangka menafsirkan al-Qur`an, pembahasannya
pun masih berbaur dengan masalah-masalah lain dan tidak sistematis
seperti yang terdapat dalam buku-buku teologi Islam.
Oleh karena paham dan pandangan Muhammad Quraish Shihab
tentang masalah-masalah teologi belum diketahui secara jelas dan utuh,
penulis pun tertarik untuk meneliti masalah tersebut dengan judul Corak
Pemikiran Kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh.
Kajian komprehensip terhadap pemikiran keagamaan seorang tokoh
atau ulama tentulah melibatkan tinjauan dan pembahasan mengenai
pemikirannya. Tulisan ini tidak bermaksud untuk melakukan kajian yang
komprehensif semacam itu. Ruang lingkup kajian dalam tulisan ini terbatas
pada tinjauan dan pembahasan mengenai pemikiran kalam Muhammad
7

Quraish Shihab. Aspek ini diambil sebagai fokus bahasan karena aspek ini
dipandang cukup kuat pengaruhnya terhadap pembentukan keyakinan, sikap
dan pandangan hidup manusia.
Jika hanya dilihat dari pernyataannya sebagaimana terdapat dalam
tulisan-tulisannya, Muhammad Quraish Shihab memang mengidentifikasi
dirinya sebagai penganut paham Ahl al-Sunnah wa al-Jama`ah. Oleh karena
itu aliran Asy`ariyyah dipandang sebagai aliran teologi Islam yang
berkembang secara umum di Indonesia maka dengan mudah pula orang akan
menyatakan bahwa Muhammad Quraish Shihab ini tergolong penganut aliran
tersebut. Tetapi persoalan yang timbul adalah; apakah benar demikian
keadaan yang sesungguhnya? Persoalan ini timbul ketika dihubungkan antara
analisis teoritis dari implikasi teologi Asy`ariyyah dan kenyataan Muhammad
Quraish Shihab ini. Sebagaimana diketahui, teologi Asy`ariyyah pada
prinsipnya bersifat tradisional, dan implikasi dari ajaran-ajarannya dapat
membuat penganut-penganutnya menjadi individu-individu atau masyarakat
statis. Paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, yang terdapat dalam
teologi Asy`ariyyah, sebagai contoh dapat mematikan kreatifitas manusia
dan menjurus kepada pembentukan pribadi yang serba ditentukan karena
manusia menurut paham ini, tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan
dan perbuatan-perbuatannya. Manusia yang menganut paham ini cepat
menyerah kepada apa yang disebut nasib dan takdir. Sikap itu sering pula
dibarengi oleh rasa pasrah dan enggan untuk berusaha.14
Sepertinya, kesan yang seperti itu sulit dikenakan kepada Muhammad
Quraish Shihab apabila dilihat kenyataan kreatifitas hidupnya. Dari hasil
penelitian mengenai biografi dan perjuangannya, diperoleh kesan kuat

14
Meskipun Asy`ari, pendiri aliran Asy`ariyyah berusaha membuat semacam modus
vivendi antara paham Jabariyah dan Qadariyah dengan mengemukakan konsep kasb
(acquisition), namun dia dengan konsep tersebut ternyata lebih dekat kepada paham
Jabariyah. Muèammad Yüsuf Müsã, al-Qur`ãn wa al-Falsafah, (Kairo: Dãr al-Ma`ãrif, 1958),
h. 97
8

bahwa Muhammad Quraish Shihab tersebut merupakan seorang ulama yang


kreatif dan memiliki etos kerja yang cukup tinggi serta tidak mengenal
putus asa dalam berikhtiar. Berdasarkan kenyataan itu tentu ia tidak
menganut dan membawa paham teologi yang menggiringnya kepada
keadaan statis apalagi fatalistis, tetapi sebaliknya ia diperkirakan membawa
pemikiran dan paham yang berorientasi kepada èurriyat al-irãdah wa al-
fi`il (manusia mempunyai kebebasan dan berkehendak), suatu paham yang
banyak dikembangkan oleh kaum Mu`tazilah. Sejauh mana pula kebenaran
dugaan ini apabila dihadapkan kepada pemikiran kalam Muhammad Quraish
Shihab yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbãh?
Muhammad Quraish Shihab dikenal sebagai ulama yang lahir dari latar
belakang lingkungan terdidik dalam tradisi keagamaan dan berpikiran maju,
semestinya Muhammad Quraish Shihab menganut teologi yang bercorak
rasional. Dan salah satu ciri dari pemikiran kalam rasional adalah tidak
terikat kepada makna harfiah dalam memberi interpretasi ayat-ayat al-
Qur`an, tetapi lebih banyak mempergunakan arti majãzi (metaforis).
Pembuktian sementara hipotesa di atas dapat dilihat dari penafsiran
Muhammad Quraish Shihab pada surat surat al-Baqarah [2]: 272:15
žwÎ) šcqà)ÏÿZè? $tBur
(272 :‫!« )اﻟﺒﻘﺮة‬$# Ïmô_ur uä!$tóÏFö/$#
Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa firman Allah,
“janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. Dengan demikian penggalan ayat ini menegaskan, bahwa
membelanjakan harta, berinfak, dan bersedekah, hendaknya bertujuan
meraih ridha Allah bukan sesuatu yang bertentangan dengan ridha-Nya.16
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab di atas, dapat diketahui

15
Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. (QS. al-Baqarah [2]: 272)
16
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 584.
9

bahwa ia telah menakwilkan atau menafsirkan wajah Allah pada ayat di atas
dengan arti majãzi (metaforis), yaitu keridhaan Allah. Tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi menakwilkannya
kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian Allah dari sifat-sifat
yang tidak layak bagi-Nya. Uraian di atas memperkuat hipotesa bahwa
Muhammad Quraish Shihab sebenarnya dapat digolongkan sebagai penganut
paham rasional dalam pemikiran kalam. Hipotesa tersebut akan diuji lebih
lanjut dalam corak penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-
ayat kalam dalam tesis ini yang diberi judul: “Corak Pemikiran Kalam
Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh.”

B. Permasalahan Pokok
Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam dikenal adanya dua
corak pemikiran kalam, yaitu pemikiran kalam yang bercorak rasional dan
pemikiran kalam yang bercorak tradisional. Pemikiran kalam bercorak
rasional adalah pemikiran kalam yang memberikan daya yang kuat kepada
akal, kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat kepada makna literal,
mengambil arti metaforis dalam memberikan interpretasi ayat-ayat al-
Qur`an, dan bersifat dinamis dalam sikap dan berpikir. Pendirian ini
terdapat dalam aliran Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.17
Sebaliknya, pemikiran kalam bercorak tradisional adalah pemikiran
kalam yang menekankan kemampuan akal yang rendah, ketidakbebasan
manusia dalam kemauan dan perbuatan, kekuasaan dan kehendak Tuhan
yang berlaku semutlak-mutlaknya, terikat kepada arti harfiah atas terks

17
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 150.
10

wahyu, serta statis dalam sikap dan berpikir. Paham ini terdapat dalam
aliran Asy`ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.18
Muhammad Quraish Shihab terlahir di tengah keluarga yang harmonis,
beliau lahir di sebuah daerah bernama Rappang, Sulawesi Selatan pada
19
tanggal 16 Pebruari, tahun 1944. Dalam dunia tafsir al-Qur`an di
Indonesia, disiplin ilmu ini tidak terlepas dari salah satu nama ulama yang
sangat populer ini. Karena kiprah ulama kreatif ini, tidak hanya
berkonsentrasi dalam bidang tafsir al-Quran saja, akan tetapi dalam
berbagai bidang yang lain. Di antara kiprahnya dalam kancah dunia ilmu
antara lain adalah produktif di dalam mengarang buku. Buku-buku yang
beliau karang adalah buku dengan judul yang sangat menarik dan dapat
dipahami isinya oleh masyarakat pada umumnya. Dengan gaya bahasa yang
lugas dan sederhana, pengarang kenamaan " Tafsir al-Mishbãh " ini,
berhasil menyampaikan da'wahnya kepada masyarakat dengan berbagai
macam metode. Baik di dalam kelas, forum diskusi, pengajian, acara-acara
di televisi atau karya-karyanya dalam bentuk tulisan yang hampir
keseluruhan dari karya-karyanya menjadi "Best Seller” .
Diantara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir al-
Mishbãh bisa dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri dari
15 volume ini mulai ditulis pada tahun 1999 sampai 2004. Kehadiran tafsir
ini kiranya semakin mengukuhkan Muhammad Quraish Shihab sebagai tokoh
tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Sehubungan dengan itu, maka masalah pokok yang menjadi kajian
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: bagaimana corak
pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh ?
Apakah penafsiran-penafsiran yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbãh

18
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 151.
19
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1993) Cet.
ke-5, h. 6.
11

bercorak rasional seperti corak pemikiran kalam Mu`tazilah dan


Maturidiyyah Samarkand, ataukah bercorak tradisional seperti corak
pemikiran kalam Asy`ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara? Atau bisakah
ditemukan bahwa penafsiran-penafsiran yang dijumpai dalam Tafsir al-
Mishbãh bukan bercorak rasional ataupun tradisional, tetapi merupakan
gabungan dari keduanya?

C. Ruang lingkup dan Batasan Masalah


Dalam tesis ini penulis tidak akan mengemukakan pandangan
Muhammad Quraish Shihab dalam segala bidang, tetapi dibatasi pada
penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-ayat kalam, sesuai
dengan masalah-masalah kalam yang menjadi fokus penelitian ini. Maka
masalah yang akan dicari jawabannya adalah yang berkenaan dengan
pandangan Muhammad dalam menanggapi masalah-masalah yang
diperbincangkan dalam ilmu kalam. Namun, masalah-masalah yang diper-
bincangkan dalam ilmu kalam cukup banyak dan luas ruang lingkupnya.
Mengingat hal itu, maka masalah-masalah yang diteliti dibatasi pada
masalah-masalah yang berkenaan dengan ketuhanan. Masalah-masalah yang
berkenaan dengan ketuhanan dibatasi pada (a) sifat-sifat Tuhan, (b)
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, (c) keadilan Tuhan, dan (d)
perbuatan Tuhan. Masalah-masalah yang berkenaan dengan manusia
dibatasi pada (a) kemampuan akal dan fungsi wahyu, (b) perbuatan
manusia, dan (c) konsep iman.
Pemilihan dan pembatasan masalah tersebut atas pertimbangan
karena masalah-masalah itu merupakan rangkaian pembahasan sistematis
dalam kalam. Selain itu juga, masalah-masalah tersebut merupakan tema
aktual yang pernah menjadi topik pembicaraan bahkan perdebatan dari
masa ke masa, bahkan sampai saat ini.
12

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan yang terdapat
dalam perumusan masalah. Tujuan penelitian ini secara operasional untuk
mengetahui dan menemukan corak pemikiran kalam Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh.
Adapun manfaat penelitian ini:
1. Untuk mengungkap bahwa melalui kajian penafsiran ayat-ayat kalam
dapat diketahui kecenderungan pemikiran kalam penafsirnya.
2. Sebagai sumbangan pemikiran kepada masyarakat yang berminat
mendalami pemikiran kalam melalui kajian kitab tafsir, karena metode
seperti ini dapat pula diterapkan kepada kitab-kitab tafsir yang lain.
3. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan tentang pemikiran
kalam pada umumnya dan kajian seorang ahli tafsir terdapat pemikiran
kalam pada khususnya.
4. Menjadi sumber kepustakaan yang memadai bagi orang-orang yang ingin
mengetahui spesifik pemikiran kalam dan penafsiran dari Muhammad
Quraish Shihab terhadap ayat-ayat kalam.
13

E. Kajian Pustaka
Sepanjang penelitian penulis, ada beberapa orang yang mengkaji
pemikiran Muhammd Quraish Shihab, namun penulis berbeda dengan penulis
sebelumnya. Beberapa contoh tulisan ilmiah dapat dikemukakan sebagai
berikut:
1. Howard M. Federspiel membuat sebuah kajian singkat tentang
Muhammad Quraish Shihab dengan mendasarkan pada tiga karyanya,
yaitu Membumikan al-Qur’an, Lentera Hati dan Wawasan al-Qur’an.
Kajian tersebut khusus dipersiapkan Howard M. Federspiel untuk edisi
terjemahan Indonesia dari bukunya dimaksud (edisi asli dalam bahasa
Inggris berjudul: Popular Indonesian Literature of the Qur’an, terbit
tahun 1994). Dalam kajiannya Howard M. Federspiel menggambarkan
bahwa buku pertama dari tiga karya Muhammad Quraish Shihab di atas
adalah “memberikan ikhtiar nilai-nilai agama yang baru”, buku kedua “
meletakkan dasar bagi kepercayaan dan praktik Islam yang benar”,
sementara buku ketiga memberikan wawasan tentang “perilaku dan al-
Qur’an”. Secara keseluruhan kajian Howard tidak menyentuh secara
mendalam substansi pemikiran Muhammad Quaish Shihab.20
2. Disertasi yang ditulis oleh Anshori pada tahun 2006 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berjudul Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam
Tafsir al-Mishbãh. Disertasi ini menyebutkan cara dan langkah yang
ditempuh Oleh Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an dalam Tafsir al-Mishbãh. Disertasi ini tidak menganalisis corak

20
Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yünus hingga
Quraish Shihab, dalam edisi terjemahan oleh: Tajul Arifin (Bandung: Mizan, 1996), h. 293-
300.
14

pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab tetapi hanya terbatas pada


21
penafsiran ayat-ayat jender.
3. Karya Istianah yang berjudul “Metodologi Muhammad Quraish Shihab
Dalam Menafsirkan Al-Qur’an”.Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta,
2002. Tesis ini hanya terfokus pada metodologi Muhammad Quraish
Shihab dalam menafsirkan al-Qur’a namun tanpa menyinggung corak
pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab.22
4. Karya Edi Bahtiar yang berjudul “Mencari Format Baru Penafsiran Al-
Qur’an di Indonesia (Telaah Pemikiran Tafsir Muhammad Quraish
Shihab)”. Tesis (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 1999). Sebagaimana
yang ditunjuk dalam kajian pustaka Mustafa P. Kajian ini hanya
menyoroti corak pemikiran dan pendekatan tafsir Muhammad Quraish
Shihab. Menurut analisis Edi Bahtiar, penafsiran Al-Qur’an Muhammad
Quraish Shihab masih sangat setia dengan acuan normatif, walaupun
diakui pula bahwa pendekatan rasional tidaklah dinafikan oleh
Muhammad Quraish Shihab, yang terbukti dari kenyataan beliau
menggunakan ta’wil dalam penafsiran Al-Qur’an.23
5. Dalam seminar sehari pemikiran Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab,
M.A. yang dilaksanakan oleh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat,
Jakarta, tanggal 28 September 1996, ada enam makalah yang disajikan.
Dari enam makalah di atas, hanya makalah Zainun Kamal yang
mempunyai titik singgung dengan kajian ini. Tetapi telaah Zainun Kamal
terhadap pemikiran teologi M. Quraish Shihab hanya terbatas pada
persoalan takdir Tuhan.

21
Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al-Mishbãh, Disertasi
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006)
22
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan Al-Qur’an,
Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002.
23
Mustafa P, “Corak pemikiran Kalam M. Quraish Shihab (1984-1999), Tesis
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001), h. 16.
15

6. Karya Mustafa P yang berjudul Corak pemikiran Kalam M. Quraish Shihab


(1984-1999), Tesis (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2001). Kajian
terhadap corak pemikiran kalam M. Quraish Shihab yang dilakukan dalam
studi ini hanya mencakup periode antara tahun 1984 sampai 1999. Pada
pasca periode kajian ini telah terbit karya monumentalnya, Tafsir al-
Mishbãh.
Berdasarkan kajian pustaka di atas, jelas belum ada kajian yang
spesifik menyuguhkan dan mengidentifikasi corak pemikiran kalam
Muhammad Quraish Shihab dalam tafsirnya “al-Mishbãh”. Penulis hanya
terfokus pada penafsiran ayat-ayat kalam menurut Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh. Dengan demikian, penelitian ini bukan
pengulangan dari apa yang telah ditulis oleh peneliti lain sebelumnya. Oleh
karena itu, penelitian terhadap corak pemikiran kalam Muhammad Quraish
Shihab dalam Tafsir al-Mishbãh ini dipandang baru dan aktual.

F. Metodologi Penelitian
Kajian yang penulis lakukan ini adalah kajian kepustakaan (library
research). Karena itu, kajian tersebut hanya menggunakan sumber-sember
kepustakaan yang ada kaitannya dengan masalah pokok. Metode yang
penulis pakai dalam melaksanakan kajiannya adalah sebagai berikut:
Pertama, mengkaji ayat-ayat al-Qur’an yang telah dijadikan argumen
oleh setiap aliran kalam dalam Islam untuk memperkuat pendirian dan
paham masing-masing terhadap masalah-masalah teologi. Yang dimaksud
dengan aliran-aliran di sini adalah Mu’tazilah, al-Asy’ariyyah, Maturidiyyah
Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara.
Kedua, menentukan ayat-ayat yang dianggap mewakili ayat-ayat yang
telah dijadikan argumen oleh setiap aliran jika terdapat persamaan antar
ayat tersebut, baik dari segi teksnya maupun isinya.
16

Ketiga, memusatkan pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish Shihab


tentang masalah-masalah kalam dari penafsiran-penafsirannya di dalam
Tafsir al-Mishbãh. Satu-satunya sumber data yang digunakan untuk tahap
ketiga ini adalah Tafsir al-Mishbãh itu sendiri.
Di samping itu, untuk mempermudah dan memperjelas pemahaman
terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang masalah-
masalah kalam, penulis juga mempergunakan buku-bukunya yang lain, yang
ada relevansinya dengan masalah yang dibahas.
Keempat, menganalisis pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish
Shihab tentang masalah-masalah kalam itu dengan menggunakan metode
komparatif analisis kritis, yaitu dengan cara membandingkan pemikiran-
pemikiran tersebut dengan pendirian dari berbagai aliran kalam, yakni:
Mu’tazilah, al-Asy’ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Mãturîidiyyah
Bukhara.
Sumber utama dari aliran Mu’tazilah adalah Syarh al-Uéül al-
Khamsah, karya Qãçi Abdul Jabãr, dari aliran Asy’ariyyah (Ahl al-Sunnah dan
Jamã’ah) adalah: al-Ibãnah An Uéül al-Diyãnah, al-Luma’ Fi al-Radd Alã Ahl
al-Zaig wa al-Bidã’, karya Imam Abu Èasan al-Asy’ari. Aliran Maturidiyyah
Samarkand adalah Kitab al-Tauhîd, karya Imam Abu Mansür al-Mãturîdi.
Adapun dari aliran Maturidiyyah Bukhara adalah Kitab Uéül al-Dîn, karya
Abu Yusr Muèammad al-Bazdawi. Kepustakaan sumber kedua adalah al-Milal
wa al-Nihal karya Sahrastãni, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, karya Harun Nasution, al-Madzãhib al-Islãmiyyah, karya
Muèammad Abu Zahrah.
Kelima, mengklasifikasikan pemikiran-pemikiran kalam (teologi)
Muhammad Quraish Shihab, kemudian mengidentifikasikan dan
menganalisisnya dengan menggunakan deskriptif kritis analisis.
17

Keenam, membuat kesimpulan-kesimpulan yang menjadi jawaban


terhadap masalah-masalah penelitian yang telah dirumuskan di atas.

G. Sistematika Penulisan
Agar mencapai tujuan yang diinginkan, penulisan tesis ini
menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab pertama atau pendahuluan, mencakup latar belakang masalah,
masalah pokok, ruang lingkup dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metodologi, dan sistematika penulisan.
Bab kedua, biografi Muhammad Quraish Shihab dan Tafsir al-Mishbãh
memuat biografi Muhammad Quraish Shihab, karya-karyanya, dan Tafsir al-
Mishbãh.
Pada bab ketiga dan keempat baru dijelaskan pemikiran kalam
Muhammad Quraish Shihab tentang masalah-masalah kalam, yang diperoleh
melalui penafsirannya di dalam Tafsir al-Mishbãh terhadap ayat-ayat kalam.
Pemikiran Muhammad Quraish Shihab tersebut langsung dianalisis satu
persatu pada kedua bab tersebut. Pada bab ketiga, khusus dikemukakan
pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang ketuhanan. Masalah-masalah
tersebut mencakup sifat-sifat Allah, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
keadilan Tuhan, dan perbuatan Tuhan. Pada bab keempat, dikemukakan
pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang manusia. Masalah-masalah
tersebut mencakup kemampuan akal dan fungsi wahyu, perbuatan manusia,
dan konsep iman.
Bab kelima, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-
saran.
BAB II
BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
DAN TAFSIR AL-MISHBÄH

A. Biografi Muhammad Quraish Shihab


Dalam dunia Tafsir al-Qur`an di Indonesia, disiplin ilmu ini tidak
terlepas dari salah satu nama ulama yang sangat populer ini. Karena kiprah
ulama kreatif ini, tidak hanya berkonsentrasi dalam bidang Tafsir al-Quran
saja, akan tetapi dalam berbagai bidang yang lain. Di antara kiprahnya
dalam kancah dunia ilmu antara lain adalah produktif di dalam mengarang
buku. Buku-buku yang beliau karang adalah buku dengan judul yang sangat
menarik dan dapat dipahami isinya oleh masyarakat pada umumnya. Dengan
gaya bahasa yang lugas dan sederhana, pengarang kenamaan "Tafsir al-
Misbãh" ini, berhasil menyampaikan da'wahnya kepada masyarakat dengan
berbagai macam metode. Baik di dalam kelas, forum diskusi, pengajian,
acara-acara di televisi atau karya-karyanya dalam bentuk tulisan yang
hampir keseluruhan dari karya-karyanya menjadi "Best Seller” .
Terlahir di tengah keluarga yang harmonis, beliau diberi nama:
Muhammad Quraish Shihab. Muhammad Quraish Shihab terlahir di sebuah
daerah bernama Rappang, Sulawesi Selatan pada tanggal 16 Pebruari, tahun
1
1944. Ia berasal dari keluarga keturunan Arab terpelajar. Ayahnya,
Abdurrahman Shihab (1905-1986) adalah tamatan Jami’atul Khair, Jakarta.
Jami’atul Khair adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia
yang ikut meletakkan fondasi modernisme Islam di Indonesia. Jalinan
kerjasama lembaga pendidikan ini dengan pusat-pusat keilmuan Islam di
Timur Tengah, baik Hadramaut, Haramayn maupun Kairo, membawanya

1
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, (Bandung: Mizan, 1993), cet.
ke-5, h. 6.

18
19

pada posisi penting dalam gerakan Islam di Indonesia. Lembaga inilah


mengundang guru-guru dari kawasan Timur Tengah untuk mengajar.
Diantaranya-yang kemudian sangat berpengaruh terhadap perkembangan
Islam di negeri ini-adalah Syekh Ahmad Syurkati, ulama asal Sudan Afrika
Utara, pendiri al-Irsyad sebuah organisasi sosial keagamaan yang memiliki
banyak pengaruh di kalangan keturunan arab di Indonesia. 2 Dari latar
belakang keluarga dan pendidikan yang dilalui oleh Quraish Shihab itu, telah
menjadikannya seorang yang mempunyai kajian yang mendalam dan
menonjol dalam bidang tafsir di Indonesia3.
Demikian juga Howard M. Federspiel yang menyatakan: dengan latar
belakang keluarganya tersebut telah menjadikan ia terdidik lebih baik
dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam
"Popular Indonesian Literature of the Quran4."
Ayah Muhammad Quraish Shihab juga masuk dalam jajaran pejabat
akademis yang menjadi stickholder berdirinya sebuah kampus yang
dikhususkan sebagai tempatnya menimba ilmu bagi muslim Indonesia. 5
Abdurrahman Shihab pernah menjabat rektor IAIN (Institut Agama Islam
Negeri) Alauddin, Makassar, perguruan tinggi Islam yang mendorong
tumbuhnya Islam moderat di Indonesia. Ia juga salah seorang penggagas
berdirinya UMI (Universitas Muslim Indonesia), universitas terkemuka di
Makassar. Mengenang ayahnya, Muhammad Quraish Shihab menuturkan,
“beliau adalah pecinta ilmu. Walau sibuk berdagang, beliau selalu
menyempatkan diri untuk berdakwah dan mengajar. Bahkan beliau juga

2
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, (selanjutnya tertulis Tafsir Yang Membumi)
Majalah Êaqafah, Jakarta Vol. 1. No. 3. 2003. h. 82.
3
Zainun Kamal, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A. Pemikirannya dalam bidang
Tafsir dan Teologi. Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta. Aula Fatahillah, 28 September 1996. h. 3.
4
Howard M. Federspiel, Kajian al-Quran di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996), h.
295
5
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
20

mengajar di masjid. Sebagian hartanya benar-benar dipergunakan untuk


kepentingan ilmu. Beliau menyumbangkan buku-buku bacaan dan
membiayai lembaga-lembaga pendidikan Islam di wilayah Sulawesi”.6
Hamdani Anwar, dalam majalah "Mimbar Agama" menulis tentang
"background" dari keluarga Muhammad Quraish Shihab:
Muhammad Quraish Shihab adalah putra kelima dari dua belas
bersaudara. Ayahnya Abdurrahman Shihab seorang wiraswastawan
dan ulama yang cukup populer di kawasan Sulawesi Selatan. Ayahnya
seorang mubaligh yang sejak mudanya telah sering kali berdakwah
dan mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan. Dalam suasana yang
bernuansa agamis inilah Muhammad Qurais Shihab tumbuh dan
berkembang. Tak pelak lagi keharmonisan keluarga yang demikian
dan bimbingan orang tua yang selalu diberikan telah membekas dan
berpengaruh besar bagi pribadi dan perkembangan akademisnya pada
kemudian hari.7

Ayah Muhammad Quraish Shihab juga dikenal sebagai ahli tafsir,


keahlian yang mensyaratkan kemampuan yang memadai dalam bahasa Arab.
Muhammad Quraish Shihab sendiri mengaku bahwa dorongan untuk
memperdalam studi al-Qur`an, terutama tafsir, datang dari ayahnya.
Ayahnya senantiasa menjadi motivasi bagi Muhammad Quraish Shihab untuk
melanjutkan pendidikan lebih lanjut. Muhammad Quraish Shihab bercerita,
“sejak kecil, kira-kira sejak umur 6-7 tahun saya sudah harus ikut
mendengar ayah mengajar al-Qur`an. Pada saat-saat seperti itu, selain
menyuruh mengaji ayah juga menjelaskan secara sepintas kisah-kisah dalam
al-Qur`an. Dari sinilah benih kecintaan kepada studi al-Qur`an mulai
tumbuh”.8
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya (dahulu namanya Sekolah
Rakyat) di Ujung Pandang, Muhammad Quraish Shihab kemudian

6
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
7
Hamdani Anwar, Mimbar Agama dan Budaya (selanjutnya tertulis Mimbar Agama)
vol. xix, no. 2, 2002, h. 170.
8
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
21

melanjutkan studi ke Pondok Pesantren Dãr al-Èadîê al-Faqîhiyyah, yang


terletak di kota Malang, Jawa Timur. Di kota yang sejuk ini, ia nyantri
selama kurang lebih dua tahun.9
Pada tahun 1958, dalam usia 14 tahun, Muhammad Quraish Shihab
berangkat ke Kairo, Mesir. Keinginan untuk belajar ke Kairo ini terlaksana
atas bantuan beasiswa dari pemerintah daerah Sulawesi (waktu itu wilayah
Sulawesi belum di bagi menjadi Sulawesi Utara dan Selatan).10
Merujuk sebuah karyanya dengan judul "Membumikan al-Quran",
Muhammad Quraish Shihab menulis tentang otobiografinya, beliau menulis:
Dengan bekal ilmu yang berhasil diserap ketika studi di Malang,
Muhammad Quraish Shihab diterima di kelas II pada tingkat
Êanawiyyah al-Azhar. Setelah selesai pada tingkat tersebut, ia
berminat untuk melajutkan studi di Universitas al-Azhar di kota
tersebut. Jurusan yang dipilihnya adalah Tafsir Èadîs pada Fakultas
Ushuluddin, sesuai dengan kecintaannya terhadap bidang ini yang
telah tertanam sejak masa kecilnya, sebagai akibat langsung dari
pendidikan yang diterima dan kebanggaan terhadap sang ayah yang
ahli tafsir.11

Mengenai hal ini, Muhammad Quraish Shihab menulis sebagai berikut:


“Seringkali beliau mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat
yang seperti inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya.
Banyak dari petuah itu –yang kemudian saya ketahui sebagai ayat-ayat al-
Qur`an atau Nabi, sahabat, atau pakar-pakar al-Qur`an- yang hingga detik
ini masih terngiang di telinga saya.12
Dalam sejarah pendidikan Muhammad Quraish Shihab, Hamdani
Anwar menyertakan keterangan dalam tulisannya bahwa:

9
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 170
10
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 82.
11
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 170
12
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an Fungsi Dan Peran Wahyu
Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1993), h. 14.
22

Ternyata jurusan yang dipilih itu memerlukan persyaratan yang cukup


ketat, dan pada saat itu Muhammad Quraish Shihab dinilai belum
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan. Karenaya, ia rela dan
bersedia mengulang satu tahun lagi demi mendapatkan kesempatan
melanjutkan studinya di jurusan tafsir, meski pada saat yang sama
jurusan-jurusan lainnya pada fakultas lain sudah membuka lebar-
lebar untuknya. Studinya pada jurusan tafsir dan hadis ini dapat
ditempuh dengan lancar, dan pada tahun 1967, ia berhasil meraih
gelar Lc (setingkat dengan s 1).13

Muhammad Quraish Shihab di Mesir tidak banyak melibatkan diri


dalam aktivitas kemahasiswaan. Walaupun demikian, ia sangat aktif
memperluas pergaulannya, terutama dengan mahasiswa-mahasiswa dari
negara-negara lain. Mengenai kegiatannya ini Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, “dengan bergaul dengan mahasiswa asing, ada dua manfaat
yang dapat diambil. Pertama, dapat memperluas wawasan, terutama
mengenai kebudayaan bangsa-bangsa lain. Dan kedua, memperlancar
bahasa Arab”.14
Dalam proses belajarnya di Mesir, Arif Subhan juga menulis tentang
kesan yang diungkapkan Muhammad Quraish Shihab, seputar kebiasaan para
mahasiswa di Negara yang terkenal dengan bangunan Pyramid dan Spinksnya
sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia tersebut:
Belajar di Mesir, sangat menekankan aspek hapalan. Hal ini juga
dialami oleh Muhammad Quraish Shihab. Ia mengakui bahwa jika
jawaban ujian tidak persis dengan catatan, nilainya akan kurang.
Fenomena belajar di Mesir, dalam pengamatan Muhammad Quraish
Shihab, cukup unik. Pada musim ujian, banyak orang yang belajar
sambil berjalan-jalan. Suatu fenomena unik yang tak ditemukan di
Indonesia. Selain harus memahami teks yang sedang dipelajari,
mereka juga harus menghapalnya. Malam hari membaca dan
memahami teks, dan siang harinya menghafalnya. "Hal yang sama
juga saya lakukan. Biasanya, setelah shalat subuh saya memahami
teks, selanjutnya berusaha menghafalnya sambil berjalan-jalan”,

13
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 170
14
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
23

katanya. Soal hafalan ini, Muhammad Quraish Shihab sangat


mengagumi kuatnya hafalan orang-orang Mesir, khususnya dosen-
dosen al-Azhar. Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, belajar
dengan cara menghafal semacam itu bernilai positif, meskipun
banyak mendapat kritik dari para ahli pendidikan modern. Bahkan.
menurut dia, nilai positif ini akan bertambah jika kemampuan
hafalan itu dibarengi dengan kemampuan analisis. Masalahnya adalah
bagaimana menggabungkan kedua hal ini.15

Kemudian Muhammad Quraish Shihab segera mendaftarkan diri untuk


melanjutkan pendidikannya pada fakultas yang sama, dan pada tahun 1969,
ia berhasil meraih gelar MA (S2) untuk spesialisasi bidang tafsir al-Qur`an.
Tesis yang diajukannya sebagai penutup studi berjudul al-I`jaz al-Tasyrî`i li
al-Qur`an al-Karîm.16
Tentang alasannya dalam menulis judul tesis al-I`jaz al-Tasyrî`i li al-
Qur`an al-Karîm tersebut, Quraish Shihab tentu saja memiliki alasan yang
khusus. Berangkat dari analisanya tentang realita dalam masyarakat, yang
menurutnya kurang dapat memahami perbedaan antara Mu'jizat dengan
yang hanya merupakan keistimewaan. Oleh sebab itu, Qurais Shihab merasa
perlu untuk memberikan sebuah sumbangsih literature yang dapat
meluruskan fenomena rancu tersebut. Arif Subhan menulis dalam
artikelnya:
Pilihannya untuk menulis tesis mengenai mu`jizat al-Qur`an ini
bukan sesuatu yang kebetulan, tetapi memang didasarkan pada hasil
bacaan Muhammad Quraish Shihab terhadap realitas masyarakat
Muslim yang diamatinya. Menurut dia, gagasan tentang mu`jizat al-
Qur`an di kalangan masyarakat Muslim telah berkembang sedemikian
rupa sehingga sudah tidak jelas lagi mana yang mu`jizat dan mana
yang hanya merupakan keistimewaan. Mu`jizat dan keistimewaan,
menurut Muhammad Quraish Shihab merupakan dua hal yang
berbeda. Tetapi, keduanya masih sering di campur adukkan, bahkan
oleh kalangan ahli tafsir sekalipun.17

15
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 83.
16
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 6.
17
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
24

Dalam tujuannya untuk meluruskan pemahaman yang rancu


dikalangan masyarakat dan para ahli tafsir tersebut, Quraish Shibab
menjelaskan poin-poin yang menjadi bahasan utamanya. Seperti yang
dituliskan oleh Arif Subhan:
Muhammad Quraish Shihab menjumpai kenyataan bahwa terlalu
banyak sisi yang dianggap sebagai mu`jizat oleh kaum Muslim, jika
dianalisis lebih jauh ternyata tidak bisa disebut mu`jizat. Sebab, apa
yang dianggap sebagai mu`jizat itu sebenarnya lahir dari
subyektifitas kaum Muslim semata-mata. Muhammad Quraish Shihab
menunjuk beberapa ilustrasi. Pertama, dalam kitab manãhil al-Irfãn,
karangan Imam al-Zarqãni, dikatakan bahwa al-Qur`an itu mu`jizat
dari sisi memenuhi semua kebutuhan manusia. Pernyataan al-Zarqãni
ini, merupakan hasil subyektifitas sebagai Muslim. Sebab, pernyataan
seperti ini pasti akan ditolak oleh kalangan non-Muslim. Kedua,
dalam beberapa kitab tafsir dikatakan bahwa al-Qur`an itu mu`jizat
karena mampu menyentuh hati pembacanya. Pernyataan ini juga
perlu dipersoalkan, karena banyak pembaca al-Qur`an, bahkan kaum
Muslim sendiri ternyata tidak tersentuh hatinya. Kemudian ditemukan
juga pernyataan bahwa al-Qur`an it mu`jizat dari segi bahasa.
Memang, bahasa al-Qur`an itu mengandung sastra yang tinggi. Tetapi
ini hanya berlaku bagi bangsa Arab yang memahami bahasa Arab.
Kaum Muslim bukan Arab yang tidak paham bahasa Arab, seperti
bangsa Indonesia, jelas tidak akan tahu kandungan sastra al-Qur`an.
Ketiga, ada sementara kaum Muslim yang masih beranggapan bahwa
karena al-Qur`an itu mu`jizat, maka ia mampu melakukan segala
sesuatu di luar hukum kausalitas. Seperti dijadikan jimat, dipakai
mengusir anjing dan sebagainya. Pemahan-pemahan seperti itulah
yang ingin diluruskan.18

Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab sejumlah pernyataan itu


memang tak dapat dipungkiri. Tetapi, segera harus dikatakan bahwa hal-hal
semacam itu bukanlah mu`jizat, melainkan keistimewaan al-Qur`an. Hal ini
didasarkan pada pengertian mu`jizat itu sendiri. Menurut Muhammad
Quraish Shihab, mu`jizat itu ditujukan kepada kaum Muslim yang memang
sudah percaya. Mu`jizat merupakan bukti yang membungkam lawan. Sebab

18
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
25

tujuan mu`jizat adalah mengantarkan orang menjadi percaya. Mu`jizat al-


Qur`an pada masa modern sekarang, ialah para pakar al-Qur`an mampu
menggali dari al-Qur`an petunjuk-petunjuk yang bisa menjadi alternatif
guna memecahkan problem masyarakat. 19 Hal ini sebenarnya sekaligus
menjadi tantangan bagi kaum Muslim, terutama tertuju kepada kalangan
cemdekiawan. Jadi, mereka harus mampu merespon problematika
masyarakat modern sekaligus memberikan solusinya berdasarkan petunjuk-
petunjuk dari al-Qur`an. Di sinilah juga letak pentingnya ilmu-ilmu al-
Qur`an itu.
Mu`jizat al-Qur`an harus mampu membungkam lawan dan membuat
mereka percaya. Dari pendapatnya ini dapat disimpulkan bahwa konsep
mu`jizat merupakan sesuatu yang berkembang dan terus berkembang.
Sesuatu yang dulu merupakan mu`jizat, sekarang dalam waktu dan konteks
yang berbeda hanya menjadi keistimewaan al-Qur`an. Muhammad Quraish
Shihab menunjuk bahasa al-Qur`an sebagai salah satu contohnya. Gagasan
mu`jizat semacam itu, menurut Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan
klaim universalitas al-Qur`an.20
Dengan kemampuannya dalam mempertahankan sebuah tesis dengan
judul al-I`jaz al-Tasyrî`i li al-Qur`an al-Karîm, Qurais Shihab pulang ke
tanah air dengan menyandang gelar M.A. Setelah menamatkan studinya
pada jenjang pasca sarjana di Universitas al-Azhar Cairo, Muhammad
Quraish Shihab memulai debutnya dalam lingkungan kampus, yang kemudian
merambah pada kancah politik, bahkan memasuki bidang penelitian
lapangan di mana tempat ia ditugaskan. Muhammad Quraish Shihab
menjelaskan:
Setelah menyelesaikan studi pada tingkat master, Muhammad Quraish
Shihab mulai meniti karir dengan tugas-tugas yang diembannya, baik

19
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
20
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 84.
26

itu di lingkungan kampus, sebagai pejabat tinggi dalam


pemerintahan, maupun sebagai aktifis dari berbagai organisasi
kemasyarakatan. Masing-masing itu telah memberikan andil yang
cukup besar bagi pribadinya. Karirnya di dunia kampus dimulai sejak
tahun 1969, yaitu pada saat ia kembali dari Kairo dengan gelar MA.
Pada mulanya, ia diangkat sebagai dosen pengasuh materi tafsir dan
`ulum al-Qur`an pada IAIN Alauddin Ujungpandang. Kemudian ia
dipercaya untuk menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Akademis dan
Kemahasiswaan. Selain itu, pimpinan IAIN tempatnya berdedikasi
juga mengangkatnya sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta (KOPERTAIS) Wilayah VII Indonesia Bagian Timur,
maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian
Indonesia Timur dalam pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang
ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain,
penelitian dengan tema “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di
Indonesia Timur” 1975 dan “Masalah Waqaf Sulawesi Selatan” 1978.21

Tidak stagnan pada aktivitas padatnya, ternyata Muhammad Qurais


Shihab masih menyimpan animo besar yang sangat ingin ia wujudkan, yaitu
melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Walaupun sudah
menduduki sejumlah jabatan, semangat Muhammad Quraish Shihab untuk
melanjutkan pendidikannya tetap tinggi. “Ayah selalu berpesan agar saya
berhasil mencapai gelar doktor”, katanya. Pesan itu, selalu terngiang-
ngiang. Oleh karena itu, ketika kesempatan untuk melanjutkan studi itu
datang, tepatnya pada tahun 1980, Muhammad Quraish Shihab kembali ke
Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama,
Universitas al-Azhar. Pada tahun 1982, dengan disertasi berjudul Naìmu al-
Íurar li al-Biqã’i, Tahkîk wa Dirãsah” dia berhasil meraih gelar doktor dalam
ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan yudisium summa cum laude, disertasi
penghargaan tingkat 1 (mumtãz ma’a martabat al-syaraf al-`üla).
Muhammad Quraish Shihab merupakan orang pertama di Asia Tenggara yang

21
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 6.
27

meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Qur`an dari Universitas al-Azhar


Kairo. 22 Dalam disertasinya itu, Muhammad Quraish Shihab memilih untuk
membahas masalah korelasi antar ayat-ayat dan surat-surat al-Qur`an
sebagai fokus penelitian. Sebagai kasus dia mengambil kitab Naìm al-Íurar fî
Tanãsub al-Ayãt wa al-Suwar karangan seorang mufasir kenamaan yang
tergolong kontroversial, yaitu Ibrãhim Ibn Umar al-Biqã`i. “Saya tertarik
dengan tokoh ini karena ia hampir terbunuh gara-gara kitab tafsirnya itu”,
katanya. Al-Biqã`i juga dinilai oleh banyak pakar sebagai ahli tafsir yang
berhasil menyusun suatu karya yang sempurna dalam masalah perurutan,
atau korelasi antar ayat dan surat-surat al-Qur`an. Sementara ahli bahkan
menilai bahwa kitab tafsirnya itu merupakan ensiklopedi dalam bidang
keserasian ayat-ayat dan surat-surat al-Qur`an.23
Menurut Muhammad Quraish Shihab, masalah korelasi antara ayat-
ayat al-Qur`an ini layak mendapat perhatian khusus. Menurut dia, setidak-
tidaknya ini dilatarbelakangi oleh dua hal.24 Pertama, salah satu isu tentang
al-Qur`an yang sering terdengar sumbang, seperti dikemukakan sementara
orentalis, adalah sistematika perurutan ayat-ayat dan surat-suratnya
“sangat kacau”. Ia berpindah dari satu uraian ke satu uraian lain, walaupun
uraian pertama belum tuntas. Sedangkan uraian berikutnya sering tidak
mempunyai kaitan dengan uraian terdahulu. Kedua, terjadinya penafsiran
al-Qur`an yang bersifat parsial. Implikasi dari model penafsiran seperti ini,
seperti terlihat dalam sejarah Islam, telah melahirkan konflik, khususnya
dalam bidang teologi, yang cenderung tidak berkesudahan. Sebagai contoh,
Muhammad Quraish Shihab menunjuk pertentangan yang terjadi antara
golongan Sunni dan Mu`tazilah. Kedua golongan itu, seperti diketahui,

22
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 6.
23
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 86.
24
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 87.
28

mempunyai kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan secara diametral


padahal mereka sama-sama mendasarkan diri pada al-Qur`an bahkan pada
ayat-ayat yang sama. Jadi melalui pembahasan tentang korelasi ayat-ayat
ini akan didapatkan suatu pemahan terhadap al-Qur`an sebagai keutuhan
yang saling terkait.25
Dengan membahas Naìmu al-Íurar li al-Biqã’i, Tahkîk wa Dirãsah
yang berfokus dalam mengkaji korelasi antar ayat-ayat dan surat-surat al-
Qur`an sebagai tugas akhir dalam meraih gelar Doktor tersebut, Quraish
Shihab tentu dapat merasa lega, karena cita-cita yang telah ia dan
orangtuanya canangkan dapat terealisasi sudah. Mumtãz ma’a martabat al-
syaraf al-`üla adalah sebuah prestasi yang patut dibanggakan oleh
pribadinya bahkan Negara Indonesia, sebagai putera bangsa pertama yang
memiliki keistimewaan dalam prediket yang diraihnya tersebut.
Setelah menamatkan studinya, ia pun kembali berkutat dalam dunia
kampus yang telah menanti kedatangannya untuk mengamalkan ilmu yang
selama ini ia tuntut di Negara tempat Nabi Musa bertugas sebagai Nabi Allah
dalam mengajarkan ajaran Allah tersebut. Tidak hanya dalam dunia kampus,
sejumlah jabatan penting juga diraihnya sebagai bukti kiprahnya dalam
percaturan politik dan organisasi masyarakat. Hal ini dipaparkannya dalam
sebuah buku dengan menuliskan:
Sekembalinya ke Indonesia setelah meraih gelar Doktor dari Al-Azhar
1984, Muhammad Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Usuluddin dan
Fakultas Pascasarjana dan akhirnya menjadi Rektor IAIN yang sekarang
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1992-1998)26.
Komarudin Hidayat dalam sebuah seminar menulis dalam makalahnya
tentang keistimewaan Muhammad Quraish Shihab sebagai seorang dosen

25
Arif Subhan, Tafsir Yang Membumi, h. 87.
26
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an, h. 6
29

yang memiliki karakteristik unik dalam menyampaikan materi perkuliahan


yang membahas khusus tentang al-Quran. 27 Rupanya, kesan yang diambil
Komarudin Hidayat ini memang cukup beralasan, karena Muhammad Quraish
Shihab memang seorang da'i inovatif yang hadir dengan metode
penyampaian materi yang dapat diterima baik di lingkungan akademis dan
masyarakat awam pada umumnya. Menurutnya: Muhammad Quraish Shihab
telah menghadirkan al-Quran sebagai kawan dialog dan sebagai konsultan
yang ramah dan cerdas, tidak dengan semangat menggurui melainkan
dengan mengajak berdialog dan menawarkan alternatif bimbingan hidup,
bukannya juklak teknis yang kaku.28 Lebih lanjut beliau mejelaskan, bahwa
dikaitkan dengan posisinya sebagai dosen dan rektor IAIN Jakarta, jelas
sekali bahwa kehadirannya telah menciptakan gelombang baru dikalangan
intelektual kampus, khususnya di tingkat pasca sarjana, untuk
menumbuhkan apresiasi kritis terhadap hazanah tafsir al-Quran, terutama
berkenaan dengan metodologi penafsiran. Kalau Pak Harun Nasution layak
memperoleh kredit (penghargaan) karena memasukkan metodologi filsafat
dan semangat pembaharuan dalam melihat Islam, maka Muhammad Quraish
Shihab berjasa memperkenalkan dan menghidupkan wacana kritis tafsir al-
Quran.29
Selain itu, di luar kampus dia juga dipercayakan untuk menduduki
jabatan. Antara lain Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tahun (1985-
1998), anggota Lajnah Pentashih Al-Qur`an Departemen Agama sejak tahun

27
Komarudin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, Seminar Sehari: Pemikiran
Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta.
Aula Fatahillah, 28 September 1996, h. 3.
28
Komarudin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, h. 3
29
Komarudin Hidayat, Membaca Sosok Quraish Shihab, Seminar Sehari: Pemikiran
Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta.
Aula Fatahillah, 28 September 1996, h. 3.
30

1989 sampai sekarang, anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional


tahun (1989-1996).30 Anggota MPR RI 1982-1987, 1987-2002, anggota Badan
Akteditasi Nasional (1994-1998), Direktur Pengkaderan Ulama MUI (1994-
1997), anggota Dewan Riset Nasional (1994-1998), anggota Dewan Syarî`ah
Bank Mu`amalat Indonesia (1992-1999) dan Direktur Pusat Studi Al-Qur`an
(PSQ) Jakarta. Beliau juga pernah meraih Bintang Maha Putra.
Beliau juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional
antara lain: pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari`ah, pengurus Konsorsium
Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang
menjadi Departemen Pendidikan Nasional, Asisten Ketua Umum Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). 31 Di sela-sela kesibukannya itu, dia
juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.
Muhammad Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis menulis. Di
surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik “Pelita
Hati”. Dia juga mengasuh rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah dua
mingguan yang terbit di Jakarta yaitu majalah Amanah. Selain itu, dia juga
tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah `Ulumul Qur`an dan
Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta.32
Pengalaman lain dalam bidang politik, ulama yang piawai dalam
berdakwah ini ternyata juga piawai dalam berkampanye. Tercatat beliau
pernah menjadi JURKAM (juru kampanye) untuk partai golar yang
mengungguli Pemilihan Presiden dengan kandidat mantan Presiden
Soeharto pada tahun 1997 sebelum Soeharto tumbang dari jabatannya
dalam era reformasi pada tahun 1998. Muhammad Quraish Shihab juga
mengalami hal yang sama, karena jabatan Menteri Agama yang baru

30
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an. h. 6.
31
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 7.
32
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur`an, h. 7.
31

disandangnyapun, otomatis harus ia letakkan. Isti'anah dalam tesisnya


menuliskan:
Pada Pemilu 1997, beliau disebut-sebut menjadi juru kampanye
untuk Partai Golkar. Setelah Golkar meraih kemenangan dalam
struktur kementrian Kabinet Pembangunan VII tercantum nama
Muhammad Quraish Shihab sebagai Menteri Agama RI, sehingga dia
memegang jabatan rangkap, yaitu sekaligus menjabat rektor IAIN
Jakarta. Namun tidak lebih dari dua bulan, dia jatuh pada tanggal 21
Mei 1998, sehingga jabatan menteri agama RI tersebut lepas dari
tangannya seiring dengan angin reformasi yang melanda Indonesia.33

Kemudian pada tahun 1999, melalui kebijakan pemerintahan


transisional Habibie, Muhammad Quraish Shihab mendapat jabatan baru
sebagai duta besar Indonesia untuk Pemerintah Mesir, Jibuti dan Somalia. Di
situlah dia mulai menulis karya besarnya pada tanggal 18 Juni 1999 dan
selesai secara keseluruhan pada tahun 2004.34
Tidak hanya sampai di situ, seorang Muhammad Quraish Shihab terus
melanjutkan andilnya dalam berbagai kesempatan. Muhammad Quraish
Shihab juga aktif dalam berdakwah dengan berbagai media informasi
masyarakat. Selain aktifitasnya di berbagai organisasi, Muhammad Quraish
Shihab juga dikenal sebagai mubaligh yang cukup populer, terutama di
kalangan akademisi. Banyak pengajian yang diasuh, dan tidak sedikit pula
stasiun televisi yang menayangkan siraman ruhani yang diceramahkan.
Setiap bulan puasa ia selalu diminta untuk mengisi acara tetap yang
ditayangkan setiap hari, baik menjelang waktu maghrib, setelah isya
maupun sesudah subuh. Di samping siraman ruhani seperti itu, ia juga sering
berdakwah di kalangan pejabat tinggi pemerintah dan lembaga-lembaga
lain.

33
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan Al-Qur’an,
(selanjutnya tertulis Metodologi Muhammad Quraish Shihab) (Jakarta: Tesis Program
Pascasarjana Jurusan Tafsir Hadiê UIN Jakarta, 2002), h. 19.
34
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab, h. 19.
32

B. Karya-karya Muhammad Quraish Shihab


Karya yang telah ditulis Muhammad Quraish Shihab, baik yang berupa
artikel, rubrik maupun buku, sangat banyak. Di bawah ini disebutkan
sebagian diantaranya, khususnya yang berbentuk buku yang diterbitkan,
yaitu:
• Membumikan Al-Qur`an, fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992). Karya ini merupakan kumpulan dari
makalah-makalah yang pernah ditulisnya untuk keperluan seminar.
Makalah yang tercakup didalamnya adalah yang pernah dihasilkannya
selama rentang waktu antara 1976 sampai 1992.
• Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Muhammad
Rasyid Riça (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994). Edisi baru dengan judul
Rasionalitas Al-Qur`an Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:
Lentera Hati, 2006). Buku ini berusaha mengetengahkan dua tokoh
(Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Riça) tersebut di bidang tafsir
Al-Qur`an, metode dan penafsirannya serta keistimewaan dan
kelemahnya masing-masing.35
• Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994). Buku
ini berisikan tulisan-tulisan Muhammad Quraish Shihab yang pernah
dimuat di harian pelita, sejak tahum 1990 sampai awal 1993.
• Wawasan Al-Qur`an: Tafsir Mauçü`i Atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996). Isinya merupakan kumpulan makalah yang
disajikannya pada Pengajian Istiqlal untuk para Eksekutif, yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama, yang diresmikan oleh Menteri

35
Muhammad Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur`an Studi Kritis atas Tafsir Al-
Manar (selanjutnya tertulis Rasionalitas Al-Qur`an) (Jakarta: Lentera Hati, 2006), cet ke-1,
h. 3.
33

Agama Tarmizi Taher pada tanggal 3 Juli 1993. Materi yang terhimpun
dalam karya ini adalah makalahnya sampai tahun 1996.
• Menyingkap Tabir Ilahi: Al-Asmã Al-Husnã dalam Perspektif Al-Qur`an
(Jakarta: Lentera Hati, 1998). Isi buku ini khusus menjelaskan
pengertian Al-Asmã Al-Husnã yang jumlahnya 99.
• Mahkota Tuntunan Ilahi Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Untagama,
1998). Isinya merupakan uraian dari kandungan surat al-Fatihah. Latar
belakang terbitnya buku ini antara lain karena surat al-Fatihah sebagai
ummul Qur`an yang mengandung pengakuan tauhid, pengakuan atas ke
Esaan Allah swt, pengakuan akan adanya hari kemudian, dan semua
pengabdian hanya tertuju kepada Allah swt.36
• Mukjizat Al-Qur`an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997). Isinya berupa uraian tentang
segi-segi keistimewaan dari Al-Qur`an dan juga unsur kemukjizatannya.
• Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat (Jakarta: Lentera Hati,
1999). Isinya berupa uraian tentang persoalan-persoalan yang gaib yang
ada di sekitar kita.
• Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Qur`an (Bandung: Mizan,
1999). Buku ini merupakan rangkuman dari ceramah-ceramah
Muhammad Quraish Shihab pada pengajian yang diselenggarakan di
Departemen Agama, Masjid Istiqlal, dan forum Konsultasi dan
Komunikasi Badan Pembinaan Rohani Islam (FOKUS BAPINROHIS) tingkat
pusat untuk para eksekutif.
• Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil
(Jakarta: Lentera Hati, 2001). Buku ini berbicara tentang alam sesudah
adanya kematian, dan mengajak pembaca untuk membayangkan

36
Muhammad Quraish Shihab, Mahkota Tuntunan Ilahi, (Jakarta: Untagama, 1998),
h. 1.
34

perjalanan manusia menuju keabadian yang dimulai dengan kematian.


Selain itu juga menguraikan pesan ayat-ayat serta doa-doa tahlil.
• Tafsir Al-Qur`an atas Surah-surah pendek Berdasarkan Urutan Turunnya
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1997). Karya ini memuat 24 surah yang
dihidangkan disana.
• Tafsir al-Mishbãh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an (Jakarta:
Lentera Hati, 2000). Di dalamnya diuraikan maksud dan kandungan ayat-
ayat Al-Qur`an yang menjadikan kajian inti dari penelitian ini.
• Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt. (Jakarta: Lentera
Hati, 2002). Karya ini menguraikan tentang perjalanan manusia menuju
Allah swt. adalah perjalanan panjang dan mendaki. Karena panjangnya
perjalanan, maka setiap orang harus mempersiapkan bekal sekaligus
mengurangi beban.37
• Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan
Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004). Buku ini
menbahas atau mengetengahkan pandangan ulama dan cendekiawan
menyangkut busana muslimah, atau dengan kata lain aurat wanita dan
batas-batas yang boleh dinampakkan dari badannya kepada selain
mahramnya.
• Dia Di mana-mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004). Karya ini mengajak kita
untuk merenung dan berfikir secara tulus dan benar, pasti kita akan
menyadari bahwa Allah swt. hadir dimana-mana. Kita dapat
menemukan-Nya setiap saat dan di setiap tempat. Pengetahuan manusia
dapat mengantarnya kepada pengakuan tentang wujud dan kuasa-Nya.38

37
Muhammad Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah
swt. (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. ke-3, h. vi.
38
Muhammad Quraish Shihab, Dia Dimana-mana (Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet. ke-
1, h. ix.
35

• Mistik, Seks, dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004). Karya ini


merupakan kumpulan tanya jawab seputar mistik, seks dan Ibadah.
• Perempuan: Dari Cinta sampai Seks, Dari Nikah Mut`ah sampai Nikah
Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005).
Dalam buku ini dijelaskan berbagai persoalan yang menjadi bahan
pembicaraan dan diskusi tentang permpuan. Muhammad Quraish Shihab
mengharap kiranya buku ini merupakan sumbangsih yang dapat
menyingkap sebagian kekhilapan atau kesalahpahaman yang dulu dan
sekarang terdengar menyangkut perempuan, khususnya dalam kaitannya
dengan ajaran Islam.
• Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam
(Jakarta: Lentera Hati, 2005). Buku Logika Agama ini merekam gejolak
pemikiran Muhammad Quraish Shihab muda ketika sedang menuntut ilmu
di Unuversitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
• 40 Hadiê Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati, 2005). Buku ini
merupakan terjemahan Muhammad Quraish Shihab dari buku yang
berjudul “Forty Hadith Qudsi” karya Ezzeddin Ibrahim.
• Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Bandung: Mizan, 1999). Buku ini
merupakan hasil dari kumpulan jawaban atas pertanyaan yang diajukan
oleh pembaca harian Republika melalui rubrik “Dialog Jum`at” yang
hadir sejak tahun 1992. Buku tersebut berisi tentang shalat, puasa, zakat
dan haji.
• Fatwa-fatwa Seputar Tafsir Al-Qur`an (Bandung: Mizan, 2001). Buku ini
kumpulan fatwa yang merupakan jawaban-jawaban terhadap aneka
pertanyaan, baik yang diajukan oleh para pembaca harian Republika
maupun selain mereka. Dalam buku ini terdapat banyak jawaban yang
berkaitan dengan tafsir Al-Qur`an.
36

• Fatwa-fatwa Seputar Wawasan Agama (Bandung: Mizan, 1999). Buku ini


merupakan kumpulan fatwa, yakni jawaban-jawaban dari aneka
pertanyaan pembaca di harian Republika.
• Haji Bersama Muhammad Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1998). Karya
ini menguraikan tata cara melaksanakan ibadah haji juga untuk
mendalami hakikat, intisari, makna, dan hikmah dari setiap kegiatan
dalam ibadah haji.
• Sahur Bersama Muhammad Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1997). Buku
ini memuat 20 topik yang semuanya berkaitan dengan puasa dan dikemas
dengan metode dialog.
• Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur`an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat
(Jakarta: Lentera Hati, 2006). Buku ini merupakan upaya Muhammad
Quraish Shihab untuk menangguk pesan yang bisa diraihnya dari
kedalaman dan keluasan Al-Qur`an. Berasal dari 26 makalah yang ditulis
dan disampaikan pada pelbagai forum dalam rentang waktu 1992 hingga
2006.
• Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep
Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007). Uraian buku ini
pada mulanya adalah makalah yang disampaikan dalam Diskusi di Masjid
Al-Aqsha, Ujung Pandang, pada tahun 1980, yang ketika itu dihadiri oleh
banyak Mahasiswa baik dari Universitas Hasanuddin maupun Institut
Agama Islam Negeri Alauddin, Ujung Pandang. Buku ini membahas ajaran
murni dari kedua pihak sebagaimana ditemukan dalam buku-buku
terpercaya masing-masing kelompok. Ia dibahas dengan jiwa dan pikiran
37

serta keinginan menghindari lebih banyak lagi pertikaian antar sesama


umat Tauhid.39
• Pengantin Al-Qur`an: Kalung Permata Buat Anak-anakku (Jakarta:
Lentera Hati, 2007). Buku ini adalah gabungan dari tiga buku Muhammad
Quraish Shihab sebagai nasihat untuk tiga orang putrinya ketika masing-
masing mereka akan memasuki pintu perkawinan. Buku pertama,
Untaian Permata buat Anakku, yang diperuntukkan buat Najeela dan
Ahmad Fikri (menikah tahun 1995). Yang kedua, Pengantin Al-Qur`an:
Kado buat Anakku, diperuntukkan bagi Najwa dan Ibrahim (menikah
tahun 1997). Dan yang ketiga, Kalung Mutiara buat Anakku, yang disusun
dalam rangka pernikahan Nasywa dan Riza (tahun 2005).40
• Wawasan Al-Qur`an tentang Zikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006).
Karya ini menguraikan dua hal pokok yaitu zikir dan doa.

C. Tafsir al-Mishbãh
Di antara karya-karya Muhammad Quraish Shihab adalah Tafsir al-
Mishbãh bisa dikatakan sebagai karya monumental. Tafsir yang terdiri dari
15 volume ini mulai ditulis pada tahun 1999 sampai 2004. Kehadiran tafsir
ini kiranya semakin mengukuhkan Muhammad Quraish Shihab sebagai tokoh
tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara.
Nama lengkap tafsir ini adalah Tafsir al-Mishbãh: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur`an. Ada pun penamaan tafsirnya dengan al- Mishbãh, bila
dilihat dari kata pengantarnya ada penjelasan yaitu, al-Mishbãh berarti
lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yang memberi
penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Muhammad Quraish

39
Muhammad Quraish Shihab, Sunnah Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?
Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet.ke-1, h. vii-
viii.
40
Muhammad Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur`an: Kalung Permata Buat Anak-
anakku (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. ke-1, h. xii.
38

Shihab dalam tafsirnya berharap dapat memberikan penerangan dalam


mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang
mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur`an secara lansung
karena kendala bahasa.
Hamdani Anwar menuliskan dalam artikelnya,
Ada dua hal yang dapat dikemukakan sebagai alasan dari pemilihan
nama al- Mishbãh. Alasan pertama bahwa pemilihan nama itu
didasarkan pada fungsinya. Mishbãh berarti lampu yang gunanya
untuk menerangi kegelapan. Dengan memilih nama ini, penulisnya
berharap agar karyanya itu dapat dijadikan sebagai penerang bagi
mereka yang berada dalam suasana kegelapan dalam mencari
petunjuk yang dapat dijadikan pedoman hidup. Bukankah al-Qur`an
itu diwahyukan sebagai petunjuk bagi manusia sehingga mereka
dapat keluar dari kehidupan yang gelap tanpa pegangan menuju ke
arah yang terang dengan berbagai hidayah yang berasal dari Tuhan.
Namun demikian, karena al-Qur`an disampaikan dalam bahasa Arab,
maka banyak orang yang mengalami kesulitan ketika berupaya
memahaminya. Disinilah manfaat tafsir ini diharapkan, yaitu dapat
membantu mereka dalam menemukan petunjuk dari wahyu Ilahi,
sehingga kegelapan itu dapat dihilangkan dengan bantuan Tafsir al-
Mishbãh ini.41

Alasan kedua didasarkan pada awal kegiatan Muhammad Quraish


Shihab dalam hal tulis menulis di Jakarta. Pada saat dia tinggal di
Ujung Pandang, dia sudah aktif menulis dan banyak karya yang
dihasilkannya, namun produktifitasnya sebagai penulis dapat dinilai
mulai mendapat momentumnya setelah ia bermukim di Jakarta. Pada
tahun 1980-an ia diminta untuk menjadi pangasuh dari rubrik “Pelita
Hati” pada harian Pelita. Pada tahun 1994 kumpulan dari tulisannya
itu diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Lentera Hati” yang ternyata
menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Dari
sinilah kata Hamdani Anwar tampak pengambilan nama al- Mishbãh
itu berasal, bila dilihat dari maknanya.42

Latar belakang terbitnya tafsir al-Mishbãh ini adalah diawali oleh


penafsiran sebelumnya yang berjudul “Tafsir al-Qur`an al-Karim Tafsir atas

41
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 176.
42
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 177.
39

Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu” pada tahun 1997


yang dianggap kurang menarik minak orang banyak, bahkan sebagian
mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian kosa kata
atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya Muhammad Quraish Shihab
tidak melanjutkan upaya itu. Di sisi lain banyak kaum Muslimin yang
membaca surat-surat tertentu dari al-Qur`an, seperti surat Yasin, al-
Wãqiah, al-Raèmãn dan lain-lain yang merujuk kepada hadis çaîf, misalnya
bahwa membaca surat al-Wãqiah mengandung kehadiran rizki. Dalam tafsir
al-Mishbãh dijelaskan selalu tema-tema pokok surat-surat al-Qur`an atau
tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat itu agar
membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.43
Tentang motivasi Muhammad Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-
Misbah ini Hamdani Anwar menulis:
Motivasi Muhammad Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-
Mishbãh ketika ia menyadari bahwa al-Qur`an yang merupakan
petunjuk bagi manusia itu harus dipahami dan dimengerti maknanya.
Sementara itu, ternyata banyak umat Islam yang hanya puas dengan
membacanya saja dan bahkan mereka pun mengadakan lomba dalam
keindahan membacanya, tanpa diikuti dengan pemahaman dan
penghayatan akan makna dan petunjuk yang terkandung di dalamnya.
Ada pula di antara mereka yang memang tidak memahami isinya
dengan baik dan benar. Sementara itu, sebagian lagi memang sudah
berupaya untuk mengerti dan memahami kandungannya, tetapi
mereka terkendala oleh bahasa al-Qur`an yang bukan milik mereka.
Ada pula yang terhalang oleh berbagai hal yang tidak mudah diatasi,
seperti keterbatasan waktu untuk menelaahnya, kekurangan ilmu
dasar untuk menganalisisnya, kelangkaan buku rujukan yang sesuai
dengan kegiatannya, dan lain-lain. Semuanya itu merupakan
fenomena yang terjadi dan ternyata telah menjauhkan umat dari
pemahaman pelaksanaan petunjuk al-Qur`an yang dapat membawa
mereka kepada kesejahteraan dan kebahagiaan, sebagaimana yang
telah dijanjikan Tuhan dalam banyak ayat. Menyadari keadaan yang
demikian ini, sudah sewajarnya bila umat kemudian menengol

43
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. ix.
40

kepada para ulama untuk membantu mereka. Inilah motivasi


Muhammad Quraish Shihab dalam menulis Tafsir al-Mishbãh.44

Sebagai salah seorang mufassir di Indonesia dewasa ini, Muhammad


Quraish Shihab tidak menulis karya-karyanya berdasarkan selera dan
keinginan semata, melainkan ia selalu berangkat dari kebutuhan masyarakat
pembacanya. Sebagaimana tulisan-tulisannya yang lain, ia ingin bahwa al-
Qur`an sebagai hudan (petunjuk) dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh
semua kalangan masyarakat Islam.
Pendapat lain yang menyatakan tentang motivasi Quraish Shihab
dalam menulis karyanya ini adalah apa yang telah diungkapkan oleh Herman
Heizer, ia menyebutkan bahwa latar belakang penulisan Tafsir al-Mishbãh
ada dua alasan. Yaitu:
Pertama, keprihatinan terhadap kenyataan bahwa umat Islam
Indonesia mempunyai ketertarikan yang besar terhadap al-Qur`an,
tapi sebagian hanya berhenti pada pesona bacaannya saja ketika
dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini hanya untuk dibaca. Padahal
menurut Muhammad Quraish Shihab bacaan al-Qur`an hendaknya
disertai dengan kesadaran akan keagunyan-Nya di samping
pemahaman dan penghayatan yang disertai dengan taíakkur dan
tadabbur. Kedua, tidak sedikit umat Islam yang mempunyai
ketertarikan luar biasa terhadap makna-makna al-Qur`an, tetapi
menghadapi berbagai kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu yang
mendukung dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari
segi cakupan informasi, jelas, dan tidak bertele-tele.45

Sumber penafsiran yang dipergunakan pada Tafsir al-Mishbãh dapat


diambil dari pernyataan penulisnya sendiri yang mengungkapkan pada akhir
sekapur sirih yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang
ditulisnya adalah sebagai berikut:
Akhirnya, penulis merasa sangat perlu menyampaikan kepada
pembaca bahwa apa yang dihidangkan di sini bukan sepenuhnya
44
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 179.
45
Herman Heizer, Tafsir al-Mishbãh lentera bagi umat Islam Indonesia, Majalah
Êaqafah, Jakarta vol. 1. No. 3. 2003, h. 91.
41

ijtihad penulis. Hasil karya ulama-ulama terhahulu dan kontemporer,


serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil,
khususnya para pakar tafsir Ibrahim Ibn `Umar al-Biqãi (w. 885
H/1480 M) yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip
menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhar, Cairo, dua
puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir Pemimpin Tertinggi
al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muèammad Thanthãwi, juga Syekh
Mutawalli al-Sya`rãwi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quëub,
Muèammad Thãhir Ibn `Äsyür, Sayyid Muèammad Husein Ëabãëabã`i,
serta beberapa pakar tafsir yang lain.46

Pernyataan di atas mengisyaratkan dua hal. Yang pertama adalah


bahwa sumber penafsiran yang dipergunakan pada tafsir ini adalah ijtihad
penulisnya. Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam rangka menguatkan
ijtihadnya, ia juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal
dari pendapat dan fatwa para ulama, baik yang terdahulu maupun mereka
yang masih hidup dewasa ini.
Selain mengutip dari pendapat para ulama, Muhammad Quraish
Shihab juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis Nabi saw.
sebagai bagian dari penjelasan dari tafsir yang dilakukannya. Biasanya
rujukan dari ayat al-Qur`an ditulis dalam bentuk italic (miring), sebagai
upaya untuk membedakannya dari rujukan yang berasal dari pendapat
ulama atau ijtihadnya sendiri.47
Metode yang dipergunakan Muhammad Quraish Shihab dalam
48
tafsirnya adalah metode taèlîli. Metode taèlîli adalah tafsir yang

46
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. xiii.
47
Hamdani Anwar, Mimbar Agama, h. 180-181.
48
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain: (1) Ruang lingkup yang luas,
karena metode ini dapat digunakan dalam dua bentuk yaitu ma`sur dan ra`yi. Bentuk al-
Ra`yi dapat lagi dikembangkan dalam berbagai corak penafsiran sesuai dengan keahlian
masing-masing mufassir. (2) Memuat berbagai ide. Mufassir mempenyai kebebasan dalam
memajukan ide-ide dan gagasan baru dalam menafsirkan al-Qur`an. Adapun kekurangan
metode ini diantaranya adalah: (1) Menjadikan petunjuk al-Qur`an bersifar parsial atau
terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur`an memberikan pedoman secara tidak
utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang diberikan pada suatu ayat berbeda dari
penafsiran yang diberikan pada ayat-ayat lain yang sama dengannya. Terjadinya perbedaan
42

mengungkap ayat-ayat al-Qur`an dengan memaparkan segala makna dan


aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di
dalam mushaf al-Qur`an.49
Menafsirkan al-Qur`an dengan menggunakan metode taèlîli adalah
bagaikan hidangan prasmanan,50 masing-masing tamu memilih sesuai selera
serta mengambil kadar yang diinginkan dari meja yang telah ditata. Cara ini
tentu saja memerlukan waktu yang lama, karena pembahasannya lebih luas
dari pada metode mauçü`i.51 Hal ini bisa saja menimbulkan kebosanan, di
samping itu tidak semua yang dihidangkan dalam tafsir ini sesuai dengan
kebutuhan dan selera masyarakat sekarang. Tetapi metode tafsir taèlîli ini
masih tetap urgen buat masa sekarang.
Penulisan Tafsir al-Mishbãh dalam konteks memperkenalkan al-
Qur`an, Muhammad Quraish Shihab berusaha menghidangkan bahasan setiap
surat pada apa yang dinamai tujuan surat, atau tema pokok surat. Sebab,
menurut para pakar, setiap surat ada tema pokoknya. Pada tema itulah
berkisar uraian ayat-ayatnya. 52 Jika mampu memperkenalkan tema-tema
pokok itu, maka secara umum dapat memperkenalkan pesan utama setiap
surat, dan dengan memperkenalkan ke 114 surat, kitab suci ini akan dikenal
lebih dekat dan mudah.

tersebut terutam disebabkan oleh kurang diperhatikannya ayat-ayat lain yang mirip atau
sama dengannya. (2) Melahirkan penafsiran subyektif. (3) Masuk pemikiran Isrãiliyyat. Lihat
Nasharuddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), cet ke-2, h. 53-60.
49
‘Abd al-Hayy al-Farmawi, al-Bidãyah fi al-Tafsîr al-Mauçü`i Dirãsah Manhajiyyah
Mauçüiyyah, (T.tp, T.p, 1976)
50
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. xii.
51
Tafsir yang membahas satu surat al-Qur`an secara menyeluruh, memperkenalkan
dan menjelaskan maksud-maksud umum dan khususnya secara garis besar, dengan cara
menghubungkan ayat yang satu dengan ayat yang lain, atau antara satu pokok masalah
dengan pokok masalah yang lain. Definisi dengan redaksi lain, tafsir mauçü`i adalah tafsir
yang menghimpun dan menyusun ayat-ayat al-Qur`an yang memiliki kesamaan arah dan
tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan, di bawah satu
bahasan tema tertentu. Lihat Muhammad Quraish Shihab, Sejarah dan `Ulüm Al-Qur`an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), cet. ke-3, h. 192-193.
52
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. ix.
43

Muhammad Qurish Shihab memulai pembahasannya dengan


menguraikan keterangan tentang identitas surat yang meliputi sejarah
turunnya sebuah surat, kemudian ia melanjutkannya dengan penjelasan
tentang nama surat serta tema dan tujuan surat, dan jumlah ayat-ayatnya.
Juga menyebutkan masa turunnya sebuah surat berikut penjelasan yang
lebih lengkap tentang makna nama surat. Nama-nama lain - kalau memang
ada- dari surat tersebut.
Kemudian salah satu penekanan di dalam Tafsir al-Mishbãh adalah
menjelaskan tentang munãsabat (keserasian) antara ayat-ayat dan surat
dalam al-Qur`an maka dalam memulai bahasan sebuah surat menyertakan
keserasian antara surat yang sedang dibahas dengan surah sebelumnya.53
Seterusnya Muhammad Quraish Shihab mengelompokkan ayat-ayat
berdasarkan tema tanpa ada batasan yang tertentu jumlah ayat yang
ditempatkan pada kelompok yang sama. Mungkin pengelompokan ayat ini
dimaksudkan untuk memudahkan pembaca. Karena kelompok ayat tersebut
kemudian dijadikan sebagai judul yang juga diletakkan pada daftar isi. Hal
ini akan lebih memudahkan pembaca untuk mendapatkan informasi-
informasi al-Qur`an berdasarkan kebutuhan pada saat-saat tertentu.
Muhammad Quraish Shihab sebelum menjelaskan ayat demi ayat,
Quraish Shihab kembali menjelaskan keserasian antara kelompok ayat yang
sedang dibahas. Kadang-kadang juga keserasian tersebut ditempatkan pada
awal pembahasan kelompok ayat, dan kadang-kadang juga keserasian
tersebut ditempatkan di akhir pembahasan kelompok ayat. Ada juga, ia
memaparkan keserasian antar ayat ketika menjelaskan ayat demi ayat.
Kemudian Muhammad Quraish Shihab menjelaskan kandungan ayat demi
ayat secara berurutan. Kemudian memisahkan terjemahan makna al-Qur`an
dengan sisipan atau tafsirnya melalui penulisan terjemah maknanya dengan

53
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab, h. 136
44

italic letter (garis miring). Dan tafsirnya atau sisipan dengan tulisan normal
(tegak).54
Walaupun keserasian bagian-bagian al-Qur`an merupaka ijtihadi,
tetapi ia tidak memberikan penjelasan-penjelasan dengan hasil pemikiran
sendiri. Akan tetapi dengan jujur, ia mengakui bahwa pada umumnya
keserasian atau hubungan ayat dengan ayat yang ia paparkan di dalam
Tafsir al-Mishbãh merupakan saduran dari mufassir sebelumnya.55

54
Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab, h. 139-140.
55
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. xiii
BAB III
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB TENTANG
KETUHANAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang pemikiran Muhammad Quraish


Shihab dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang membahas masalah
ketuhanan. Pembahasan dalam bab ini terbagi ke dalam empat sub yaitu: 1)
Sifat-sifat Tuhan, 2) Kekuasaan dan kehendak Mutlak Tuhan, 3) Keadilan
Tuhan, dan 4) Perbuatan Tuhan.

A. Sifat-sifat Tuhan
1. Antropomorfisme
Di dalam al-Qur`an ada beberapa ayat yang menegaskan bahwa Allah
mempunyai organ tubuh dan sifat-sifat jasmani seperti yang dimiliki
manusia (antropomorfisme), seperti memiliki wajah, mata, tangan, kaki,
berada di langit dan di bumi, berada di atas makhluk-Nya, mendatangi
hamba-hamba-Nya, dan bersemayam di atas arasy.
Ayat-ayat yang menyucikan Allah dari adanya keserupaan dengan
makhluk-Nya dan yang menyucikan-Nya dari kejisiman dalam terminologi
Islam disebut ayat-ayat tanzîh. Sebaliknya, ayat-ayat antropomorfisme
disebut ayat-ayat tasybîh (adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk)
dan ayat-ayat tajsîm (adanya kejisiman pada zat Allah).
Imam Asy'ari menolak pemahaman bahwa Allah mempunyai sifat-sifat
jasmani, jika sifat-sifat jasmani itu dipandang sebagai sama dengan sifat-
sifat jasmani manusia. Namun pada waktu yang sama dia juga menolak
untuk menakwilkan gambaran yang disebutkan di dalam al-Qur`an bahwa
Allah mempunyai wajah, mata, tangan, berada di langit dan di bumi,

45
46

bersemayam di atas arasy dan mendatangi hamba-hamba-Nya.1 Lebih lanjut


Imam Asy`ari menjelaskan, bahwa gambaran yang disebutkan di dalam al-
Qur`an bahwa Allah mempunyai wajah, mata, tangan, berada di langit dan
di bumi, bersemayam di atas arasy dan mendatangi hamba-hamba-Nya itu
harus diterima menurut makna harfiahnya, tetapi dengan prinsip bahwa
wajah, mata Tuhan, serta sifat-sifat jasmani lainnya yang dinisbatkan
kepada Allah, tidak dapat diberikan gambaran dan definisi bagaimana
keadaan-Nya.2
Argumen kaum Asy'ariyyah dalam hal ini bahwa manusia adalah
lemah dan akalnya tak sanggup memberikan interpretasi jauh tentang sifat-
sifat jasmani Tuhan yang disebut dalam al-Qur`an sehingga meniadakan
sifat-sifat tersebut. Tetapi sebaliknya, sungguhpun akal manusia lemah,
akal tidak dapat menerima bahwa Tuhan mempunyai anggota badan seperti
yang disebut oleh kaum antropomor-phisme. 3 Oleh karena itu Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani seperti yang disebut dalam al-Qur`an tetapi
tidak diketahui bagaimana bentuknya. Al-Qur`an mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai tangan dan manusia harus menerima itu. Kalau manusia tak
dapat mengetahuinya, itu adalah karena Tuhan Mahakuasa dan dapat
mempunyai bahkan juga menciptakan hal-hal yang tak dapat diselami akal
manusia yang lemah.4
Berbeda dengan golongan Asy'ariyyah, golongan Mu`tazilah dengan
tegas menolak gambaran bahwa Allah mempunyai sifat-sifat jasmani. Bagi
golongan Mu`tazilah bahwa ayat-ayat al-Qur`an yang menggambarkan Allah

1
Abu al-Èasan `Alî Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat an Uéül al-Diyãnah, (Beirut:
Maktabat Dãr al-Bayãn, 1999), h. 97-112.
2
Abu al-Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat an Ushül al-Diyãnah, h. 97-112.
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI
Press 1986) h. 137-138
3
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press 1986), h. 138
4
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 138
47

mempunyai sifat jasmani harus ditakwilkan secara metaforis, dengan


pengertian yang layak bagi kebesaran dan keagungan Allah.5 Tuhan bersifat
immateri, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani. Menurut Abdul Jabbãr, Tuhan tidak dapat mempunyai badan
materi dan oleh karena itu tidak mempunyai sifat-sifat jasmani.6

Sesuai dengan pendirian mereka tersebut, maka kalangan Mu`tazilah


telah menakwilkan ayat antropomorfisme dengan arti majazi (metaforis)
yang biasa dipakai dalam bahasa Arab. Misalnya kata-kata wajah Allah
diartikan dengan zat Allah7 dan kadang-kadang diartikan dengan keridhaan-
Nya,8 seperti dalam surat al-Baqarah [2]: 115, 272, al-Ra`d [13]: 22:
çmô_ur §NsVsù (#q—9uqè? $yJuZ÷ƒr'sù
9
(115 :‫!« )اﻟﺒﻘﺮة‬$#
žwÎ) šcqà)ÏÿZè? $tBur
(272 :‫!« )اﻟﺒﻘﺮة‬$# Ïmô_ur uä!$tóÏFö/$#
(#rçŽy9|¹ tûïÏ%©!$#ur
:‫ )اﻟﺮﻋﺪ‬öNÍkÍh5u‘ Ïmô_ur uä!$tóÏGö/$#
10
(22
11
Kata mata diartikan dengan pengetahuan atau pengawasan, seperti
dalam surat Ëãhã [20]: 39:
12
(39 : ‫ )ﻃ‬ûÓÍ_ø‹tã 4’n?tã yìoYóÁçGÏ9ur
Kata tangan diartikan dengan kekuasaan atau nikmat,13 seperti dalam

5
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, (Qãhirah: Maktabat Wahbah,
1996),h. 216
6
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 217. Lihat juga Harun
Nasution, Teologi Islam, h. 137.
7
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 227.
8
Al-Zamakhsari, al-Kasysyãf `an Haqã`iq Ghawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-Aqãwîl
fi Wujüh al-Ta`wîl, vol 1 (Beirut: Dãr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995), h. 179.
9
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. (Q.S. al-Baqarah [2]:
115)
10
Dan orang-orang yang bersabar demi wajah Tuhan mereka. ( Q.S. al-Ra`d [13]:
22)
11
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarèal-Uéül al-Khamsah, h. 227.
12
Dan supaya engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Q.S. Ëãhã [20]: 39)
48

surat al-Mãidah [5]: 64, Éãd [38]: 75:


«!$# ߉tƒ ߊqåkuŽø9$# ÏMs9$s%ur
öNÍk‰É‰÷ƒr& ôM¯=äî 4 î's!qè=øótB
ö@t/ ¢ (#qä9$s% $oÿÏ3 (#qãYÏèä9ur
ß,ÏÿYムÈb$tGsÛqÝ¡ö6tB çn#y‰tƒ
14
(64 :‫ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬âä!$t±o„ y#ø‹x.
y7yèuZtB $tB ߧŠÎ=ö/Î*¯»tƒ tA$s%
àMø)n=yz $yJÏ9 y‰àfó¡n@ br&
15
(75 :‫ )ص‬£“y‰u‹Î/
Berkenaan dengan pernyataan Allah ada di langit dan di bumi
diartikan dengan hanya Dia yang mengendalikan dan yang mengatur semua
yang ada di langit dan di bumi atau ilmu-Nya meliputi semua yang ada pada
keduanya itu,16 Seperti dalam surat al-An`ãm [6]: 3:
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ’Îû ª!$# uqèdur
17
(3 :‫ )اﻻﻧﻌﺎم‬ÇÚö‘F{$# ’Îûur
Berkenaan dengan Allah di atas hamba-hamba-Nya diartikan dengan
18
kekuasaan-Nya melebihi kekuasaan hamba-hamba-Nya, seperti dalam
surat al-An`ãm [6]: 61:
s-öqsù ã•Ïd$s)ø9$# uqèdur
19
(61 :‫¾ )اﻻﻧﻌﺎم‬ÍnÏŠ$t6Ïã

13
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 228. Lihat juga Al-Qãdhi
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, (Kairo: Dãr al-Turãs, t.th), h. 231.
14
Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan
merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila'nat disebabkan apa yang telah mereka
katakan itu. (tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan
sebagaimana Dia kehendaki. (QS. Mãidah [5]: 64)
15
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.( QS. Éãd [38]: 75)
16
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, (Kairo: Dãr al-Turãs, t.th), h. 380.
17
Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi. (Q.S. al-An`ãm
[6]: 3).
18
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an `an al-Maëãîn, (Beirut: Dãr al-Nahçah
al-Hadîs, t.th.), h. 132.
19
Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya. (al-
An`ãm [6]: 61).
49

Berkenaan dengan kedatangan Allah diartikan dengan urusan


/perintah, azab, janji Allah yang datang,20 seperti dalam surat al-Fajr [89]:
22, al-Baqarah [2]: 210:
21
(22 :‫ )اﻟﻔﺠﺮ‬y7•/u‘ uä!%y`ur
ãNßguŠÏ?ù'tƒ br& HwÎ) tbrã•ÝàYtƒ ö@yd
22
(210 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬ª!$#
Allah bersemayam di atas arasy diartikan dengan Dia berkuasa di atas
arasy,23 seperti dalam surat Ëãhã [20]: 5:
ĸö•yèø9$# ’n?tã ß`»oH÷q§•9$#
24
(5 : ‫ )ﻃ‬3“uqtGó™$#
Selain Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand juga sependapat dengan
Mu`tazilah dalam menghadapi ayat-ayat antropomorfisme. Sebagai yang
dikatakan al-Mãturîdi terhadapat ayat ( ‫ ) ﺛﻢّ اﺳﺘﻮى ﻋﻠﻰ اﻟﻌﺮش‬ditafsirkan oleh
al-Mãturîdi sebagai yang dikutip Muhammad Abu Zahrah dengan: kemudian
Tuhan menuju `Arasy dan menciptakannya secara sempurna.25 Ayat 16 surat
Qaf:
z`»|¡SM}$# $uZø)n=yz ô‰s)s9ur
¾ÏmÎ/ â¨Èqó™uqè? $tB ÞOn=÷ètRur
Ü>t•ø%r& ß`øtwUur ( ¼çmÝ¡øÿtR
ωƒÍ‘uqø9$# È@ö7ym ô`ÏB Ïmø‹s9Î)
26
(16 :‫)ق‬

20
Al-Qãçî Abdul Jabbãr , Syarèal-Uéül al-Khamsah, h. 230. Lihat juga: Al-
Zamakhsari, al-Kasysyãf `an Haqã`iq Gawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-Aqãwîl fi Wujüh al-
Ta`wîl,vol 1, h. 250-251.
21
Dan datanglah Tuhanmu. (al-Fajr [89]: 22).
22
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah. (al-Baqarah [2]:
210).
23
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 226.
24
Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy. (Ëãhã [20]: 5).
25
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-
Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th), vol 1, h. 207.
26
Dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (Qaf [50]:
16.
50

Dipahami oleh al-Mãturîdi bahwa ayat ini merupakan isyarat tentang


27
kesempurnaan kekuasaan-Nya. Begitu seterusnya ayat-ayat
antropomorfisme lainnya tetap ditakwilkan oleh al-Mãturîdi, sebab Tuhan
tidak mempunyai jasmani, tidak bertempat dan tidak terikat oleh waktu.28
Al-Mãturîdî mengatakan, yang dikutip Harun Nasution bahwa yang
dimaksud dengan tangan, muka dan kaki adalah kekuasaan Tuhan. Tuhan
tidak mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan badan jasmani,
karena badan tersusun dari substansi dan accident (jauhar dan `ard).
Manusia berhajat pada anggota badan karena tanpa anggota badan manusia
menjadi lemah, adapun Tuhan, tanpa anggota badan, Ia tetap Mahakuasa.29
Selain Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand, Maturidiyyah Bukhara
juga mempunyai sikap dan pendirian yang sama dengan Mu`tazilah dan
Maturidiyyah Samarkand dalam menghadapi ayat-ayat antropomorfisme.
Sebagai yang dikatakan al-Bazdawi, bahwa kata istiwa diartikan dengan
menguasai sesuatu dan memaksanya.30 Begitu juga bahwa tangan, muka dan
mata Tuhan adalah sifat tertentu dan bukanlah anggota badan Tuhan, yaitu
sifat yang sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, daya dan
kemauan.31
Setelah mengemukakan pendirian dari empat aliran kalam dalam
Islam, berikut ini akan dikemukakan pendirian dari Muhammad Quraish
Shihab tentang masalah yang sama melalui penafsirannya terhadap ayat-
ayat antropomorfisme seperti surat al-Baqarah [2]: 115, 210, al-Ra`d [13]:
22, al-Raèmãn [55]: 27, Hüd [11]: 37, Ëãhã [20]: 39, al-Mãidah [5]: 64, al-
Fatè [48]: 10, Éãd [38]: 75, Äli `Imran [3]: 73, al-Èadîd [57]: 29, al-Qalam

27
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-
Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th.), vol 1, h. 207.
28
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, vol 1, h. 208.
29
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 139.
30
Abu Yusr Muèammad al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn (Ed.) Hasn Peter Linss,
(Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 26.
31
Al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn , h. 28. Harun Nasution, Teologi Islam, h. 138.
51

[68]: 42, al-An`ãm [6]: 3, al-An`ãm [6]: 61, al-Fajr [89]: 22, al-Baqarah
[2]:, al-A`rãf [7]: 54, Ëãhã [20]: 5.
Pertama, yang berkenaan dengan wajah Allah. Surat al-Baqarah [2]:
115, 272, al-Ra`d [13]: 22, al-Qaéaé [28]: 88. Menurut Muhammad Quraish
Shihab dalam penjelasannya terhadap surat al-Baqarah [2]: 11532
çmô_ur §NsVsù (#q—9uqè? $yJuZ÷ƒr'sù
(115 :‫!« )اﻟﺒﻘﺮة‬$#
seluruh arah adalah milik-Nya, maka karena itu kemana pun kamu
menghadap yakni ke arah mana pun kamu menghadap selama ini
sebagaimana Dia perintahkan, maka di situlah kamu menemukan wajah
Allah yakni arah yang Dia restui.33
Dalam penjelasannya terhadap surat al-Ra`d [13]: 2234
(#rçŽy9|¹ tûïÏ%©!$#ur
:‫ )اﻟﺮﻋﺪ‬öNÍkÍh5u‘ Ïmô_ur uä!$tóÏGö/$#
(22
Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan
sebagian dari ciri-ciri dan sifat Ülul Albãb, yaitu orang-orang yang bersabar
melaksanakan perintah, menjauhi larangan serta menghadapi petaka demi
wajah Tuhan mereka, yakni mencari keridhaan Allah.35
Berkenaan dengan firman Allah di surat al-Baqarah [2]: 272:36
žwÎ) šcqà)ÏÿZè? $tBur
(272 :‫!« )اﻟﺒﻘﺮة‬$# Ïmô_ur uä!$tóÏFö/$#
Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa firman Allah,
“janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. Dengan demikian penggalan ayat ini menegaskan, bahwa

32
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
33
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol. 1, h. 302.
34
Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya.( Q.S. al-Ra`d
[13]: 22)
35
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 590.
36
Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari
keridhaan Allah. (QS. al-Baqarah [2]: 272)
52

membelanjakan harta, berinfak, dan bersedekah, hendaknya bertujuan


meraih ridha Allah bukan sesuatu yang bertentangan dengan ridha-Nya.37
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab tersebut dapat diketahui
bahwa ia tidak memahami kata wajah Allah menurut arti harfiahnya seperti
yang dilakukan oleh Asy'ariyyah. Tetapi ia telah menafsirkan kata wajah
Allah di tiga ayat di atas dengan penafsiran yang senada dengan penafsiran
Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, yang
memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut arti harfiahnya, tetapi
menurut arti majãzi (metaforis) yang memungkinkan. Misalnya, Muhammad
Quraish Shihab telah menafsirkan kata wajah Allah di surat al-Baqarah [2]:
115 dengan arah yang Dia restui. Selanjutnya, Muhammad Quraish Shihab
telah menafsirkan wajah Allah di surat al-Baqarah [2]: 272 dan al-Ra`d [13]:
22 dengan keridhaan Allah. Begitu juga, Muhammad Quraish Shihab telah
menafsirkan wajah Allah di surat al-Qaéaé [28]: 88 dengan zat-Nya.
Kedua, yang berkenaan dengan a`yun (beberapa mata) dan `aini
(mata). Seperti surat Hüd [11]: 37, Ëãhã [20]: 39. Menurut Muhammad
Quraish Shihab dalam penjelasannya terhadap surat Hüd [11]: 3738
y7ù=àÿø9$# ÆìoYô¹$#ur
(37 :‫ﻮد‬ª) $uZÏ^ã‹ôãr'Î/
mengatakan bahwa kata ( ‫ ) ﺑﺄﻋ ﻨﻨﺎ‬bi a`yuninã terambil dari kata ( ‫) أﻋ ﻦ‬
a`yun yang merupakan bentuk jamak dari kata ( ‫` ) ﻋ ﻦ‬ain yang antara lain
berarti mata. Selanjutnya, karena mata antara lain digunakan untuk
mengawasi dan memperhatikan sesuatu, baik untuk mengetahui kesalahan
yang diamati maupun dalam arti membimbing dan menghindarkan
kesalahannya. Makna terakhir inilah yang dimaksud di sini, karena Allah swt.
Maha Suci dari kepemilikan alat untuk melihat sebagai halnya makhluk.
Bentuk jamak di sini, dipahami dalam bentuk pengawasan dan perhatian

37
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 584.
38
Dan buatlah bahtera dengan pengawasan Kami. (Q.S. Hüd [11]: 37)
53

penuh lagi banyak.39


Dalam penjelasannya terhadap surat Ëãhã [20]: 3940
(39 : ‫ )ﻃ‬ûÓÍ_ø‹tã 4’n?tã yìoYóÁçGÏ9ur
Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab menulis:
Allah menyambut permohonan Nabi Musa as. yang tulus itu. Dia Yang
Maha Kuasa dan Maha Memperkenankan doa itu berfirman:
“Sesungguhnya dengan sangat mudah telah diperkenankan
permohonanmu, wahai Musa sebagai anugerah dari Kami”. Itu adalah
sebagian dari karunia kami kepadamu. Dan sesungguhnya itu Kami
Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan nikmat kepadamu wahai
Musa pada kali yang lain walau tanpa engkau pinta, sehingga Kami
lebih wajar menganugerahimu karena engkau telah tulus bermohon.
Yaitu, yakni nikmat yang Kami anugerahkan tanpa engkau minta itu
adalah ketika Kami mewahyukan, yakni mengilhamkan kepada ibumu
sesuatu yang diwahyukan, yakni diilhamkan sehingga engkau selamat
dari rencana jahat Fir`aun. Ilham itu adalah perintah Kami kepada
ibumu, yaitu: “Letakkanlah ia, yakni anakmu Musa di dalam peti,
kemudian lemparkanlah ia dengan segera ke sugai Nil. Arus air sungai
itu Kami kendalikan dan arahkan, maka hendaklah sungai itu, yakni
pasti sungai itu membawanya ke pantai, maka ia, yakni Musa diambil
oleh Fir`aun, Penguasa Mesir waktu itu yang merupakan musuh-Ku
dan musuhnya. “Dan Aku telah mencampakkan, yakni melimpahkan
kepadamu kasih sayang yang melimpah dan bersumber dari-Ku
sehingga siapa pun yang memandangmu, menjadi tertarik dan
menaruh kasih dan cinta padamu; dan supaya engkau diasuh secara
terhormat di bawah pengawasan-Ku.41

Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab di atas, dapat diketahui


bahwa ia telah menakwilkan kata mata Allah pada ayat di atas dengan arti
majazi (metaforis), yaitu dengan perhatian dan pengawasan-Nya.
Sebagaimana yang telah ditempuh oleh kalangan Mu`tazilah, Maturidiyyah
Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara. Misalnya, Muhammad Quraish Shihab
telah menafsirkan kata mata Allah di surat Hüd [11]: 37 dengan perhatian
dan pengawasan-Nya. Begitu pula, Muhammad Quraish Shihab telah

39
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 251
40
Dan supaya engkau diasuh di bawah pengawasan-Ku. (Q.S. Ëãhã [20]: 39)
41
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 297-298.
54

menafsirkan kata mata Allah di surat Ëãhã [20]: 39 dengan pengawasan-Nya.


Ketiga, berkenaan dengan tangan Allah. Seperti surat al-Mãidah [5]:
64, al-Fatè [48]: 10, Éãd [38]: 75. Menurut Muhammad Quraish Shihab dalam
penjelasannya terhadap surat al-Mãidah [5]: 64:42
«!$# ߉tƒ ߊqåkuŽø9$# ÏMs9$s%ur
öNÍk‰É‰÷ƒr& ôM¯=äî 4 î's!qè=øótB
ö@t/ ¢ (#qä9$s% $oÿÏ3 (#qãYÏèä9ur
ß,ÏÿYムÈb$tGsÛqÝ¡ö6tB çn#y‰tƒ
(64 :‫ )اﻟﻤﺎﺋﺪة‬âä!$t±o„ y#ø‹x.
Berkenaan dengan firman Allah di surat al-Mãidah [5]: 64 di atas,
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menguraikan
keburukan keyakinan mereka terhadap Allah swt., atau setelah mereka
dikecam karena tidak melarang mengucapkan kebohongan, ayat ini
menunjukkan bahwa jangankan melarang orang lain, mereka bahkan tidak
jemu melakukannya.43
Dan orang-orang Yahudi berkata, yakni salah seorang di antara
mereka – yaitu Finhãé Ibn `Äzürã` kepada teman-teman mereka orang
Yahudi, dan teman-teman mereka itu menyetujui. Ia berkata, setelah selalu
merugi semenjak ia memusuhi Nabi Muhammad saw., “Tangan Allah
terbelenggu sehingga tidak lagi memperluas rezeki kita”. 44 Sebenarnya
tangan merekalah yang dibelenggu yakni merekalah orang-orang yang kikir,
dan merekalah yang dilaknat yakni dijauhkan dari rahmat Allah disebabkan
apa yang telah mereka katakan itu. Tidak demikian! Tangan Allah tidaklah
terbelenggu, tetapi kedua tangan Allah terbuka; yakni Dia Maha Pemurah.
Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki, dan sesuai hikmah

42
Dan Orang-orang Yahudi berkata: "Tangan Allah terbelenggu". Tangan merekalah
yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan
itu. (Tidak demikian), tetapi kedua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana
Dia kehendaki. (Mãidah [5]: 64)
43
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 145.
44
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 3, h. 145.
55

kebijaksaan-Nya.45
Ucapan orang-orang Yahudi di atas, boleh jadi juga menanggapi
keadaan sementara kaum muslimin yang ketika itu serba kekurangan atau
menanggapi firman Allah (QS. al-Èadîd [57]: 11):46
©!$# ÞÚÌ•ø)ム“Ï%©!$# #sŒ ƨB
¼çmxÿÏ軟Òã‹sù $YZ|¡ym $·Êö•s%
:‫ )اﻟﺤﺪ ﺪ‬ÒOƒÌ•x. Ö•ô_r& ÿ¼ã&s!ur ¼çms9
(11

Kata ( ‫ ) ﺪ‬yad / tangan dalam firman-Nya: ( ‫ ) ﺪ اﷲ ﻣﻐﻠﻮﻟﺔ‬yad Allah


maghlülah / Tangan Allah terbelenggu, tidak mustahil dipahami oleh orang-
orang Yahudi dalam arti hakiki, karena tidak jarang mereka melukiskan
Tuhan dalam bentuk manusia bahkan tidak jarang mereka menyifatinya
dengan sifat-sifat manusia yang kuat.47
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa:
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata-kata yang
mengesankan keserupaan Allah dengan makhluk, seperti kata tangan
Allah, dalam ayat ini. Ada yang diam tidak menjelaskannya sambil
berkata, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui artinya”, ada juga yang
berusaha menjelaskannya dengan berkata “Memang Allah mempunyai
tangan, tetapi tidak serupa dengan tangan makhluk”. Ada lagi yang
memahami kata tangan dalam perngertian majazi yang sesuai dengan
konteks pembicaraan. Dalam hal ini, sekali ia bermakna anugerah, di
kali lain bermakna kekuasaan dan qudrah, dan di kali ketiga
bermakna kerajaan. Dalam konteks ayat di atas mereka memahami
kata tangan dalam arti anugerah-Nya. Betapapun perbedaan itu,
namun semua sepakat bahwa tangan dimaksud bukanlah tangan yang
serupa dengan tangan makhluk, karena tiada sesuatu pun – walau
dalam imajinasi – yang serupa dengan Allah bahkan yang serupa
dengan serupa-Nya pun tak ada ( laisa ka miêlihi syai`).48

45
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 3, h. 145.
46
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah
akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak. (QS. al-Èadîd [57]: 11)
47
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 146.
48
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
56

Firman-Nya ( ‫ ) ﻏﻠﻠﺖ أ ﺪ ﻢ‬ghullat aidîhim / tangan mereka yang


dibelenggu. Ada juga yang memahaminya sebagai perintah kepada kaum
muslimin untuk mendoakan agar tangan mereka terbelenggu, dan bukan
sebagai informasi dari Allah bahwa sesungguhnya orang-orang Yahudilah
yang sangat kikir. 49 Lebih lanjut penjelasan Muhammad Quraish Shihab
terhadap ayat tersebut dia mengatakan, bahwa jika ia dipahami sebagai doa,
maka kata yang harus disisipkan adalah berdolah bukan sesungguhnya.
Dengan demikian, ayat tersebut bagaikan menyatakan: Berdoalah semoga
tangan mereka dibelenggu Allah dan dilaknat atas ucapan mereka itu.50
Setelah mengemukakan berbagai penafsiran di atas, Muhammad
Quraish Shihab menegaskan bahwa penggunaan kata kedua tangan-Nya
dalam ayat ini untuk menunjukkan betapa luas anugerah dan kekuasaan-Nya.
Karena satu tangan saja telah menunjukkan keluasannya apalagi jika
keduanya.51
Dalam penjelasannya terhadapa surat al-Fatè [48]: 10:52
y7tRqãè΃$t6ムšúïÏ%©!$# ¨bÎ)
߉tƒ ©!$# šcqãè΃$t7ム$yJ¯RÎ)
(10 :‫ )اﻟﻔﺘﺢ‬öNÍk‰É‰÷ƒr& s-öqsù «!$#
Muhammad Quraish Shihab memberikan penjelasan, bahwa ayat di
atas menguraikan sikap terpuji dari sekelompok manusia yakni sahabat-
sahabat Nabi yang mendukung beliau dan berjanji setia membela beliau
sampai titik darah penghabisan.53
Ayat di atas menyatakan: Sesungguhnya orang-orang yang berjanji
setia kepadamu yakni janji setia untuk membela risalah yang engkau

49
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
50
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
51
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 3, h. 147.
52
Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu sebenarnya mereka
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. ( QS. al-Fatè [48]: 10)
53
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 186.
57

sampaikan – baik ketika Bai`at al-Riçwãn – sebenarnya mereka berjanji


setia kepada Allah karena seluruh kegiatanmu – baik ucapan maupun
perbuatan adalah berdasar perintah Allah dan demi karena-Nya. 54 Oleh
karena itulah, lanjut Muhammad Quraish Shihab, karena biasanya yang
melakukan janji setia atau persepakatan melakukannya dengan berjabat
tangan, maka ayat di atas melanjutkan bahwa: “Tangan” Allah yakni
kekuasaan, kekuatan dan anugerah-Nya di atas tangan mereka, Dia yang
akan menyertai dan membantu yang berjanji itu.55
Penggunaan kata ( ‫ ) ﻓﻮق‬fauq / di atas padahal dalam berjabat tangan
kedua belah pihak sejajar tangan mereka, penggunaan kata itu untuk
mengisyaratkan ketinggian dan kemuliaan Allah yang menerima bai`at kaum
muslimin, sekaligus untuk mengisyaratkan bahwa tangan Tuhan yang
dimaksud bukanlah tangan yang serupa dengan tangan makhluk.56
Selanjutnya dalam penjelasannya terhadap surat Éãd [38]: 75:57
y7yèuZtB $tB ߧŠÎ=ö/Î*¯»tƒ tA$s%
àMø)n=yz $yJÏ9 y‰àfó¡n@ br&
(75 :‫ )ص‬£“y‰u‹Î/
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas
menguraikan kecaman Allah kepada keengganan iblis untuk sujud kepada
Adam as. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman: “Hai iblis,
apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku.58
Ketika menafsirkan kalimat ( ّ‫ ) ﺧﻠﻘﺖ ﺑ ﺪي‬khalaqtu bi yadayya / Ku-
ciptakan dengan kedua tangan-Ku, Muhammad Quraish Shihab telah
mengutip penafsiran dari berbagai pihak, antara lain ada yang mengambil

54
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 186.
55
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 186.
56
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 187.
57
Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku.( QS. Éãd [38]: 75)
58
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 169.
58

jalan pintas, lantas berkata bahwa ada sifat khusus yang disandang Allah
dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat
59
kebendaan/jasmani dan keserupaan dengan mahlukh. Lebih lanjut
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, ada juga yang memahami kata
tangan dalam arti kekuasaan, dan penggunaan bentuk dual sekadar untuk
menginformasikan betapa besar kekuasaan-Nya itu. Ada lagi yang
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kedua tangan adalah anugerah
duniawi dan ukhrawi yang dilimpahkan-Nya kepada manusia, atau sebagai
isyarat tentang kejadian manusia dari dua unsur utama yakni debu tanah
juga ruh Ilahi.60
Setelah menuangkan interpretasinya pada ayat di atas, Muhammad
Quraish Shihab kemudian menegaskan bahwa pendapat yang lebih
memuaskan adalah memahami kata tersebut sebagai isyarat tentang betapa
manusia memperoleh penanganan khusus dan penghormatan dari sisi Allah
swt. Dari sini pula sehingga ayat ini tidak menggunakan bentuk tunggal
untuk kata tangan tetapi bentuk dual yakni yudayya / kedua tangan-Ku.61
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab tersebut dapat diketahui
bahwa ia tidak memahami kata tangan Allah menurut arti harfiahnya seperti
yang dilakukan oleh Asy'ariyyah. Tetapi ia telah menafsirkan kata tangan
Allah di tiga ayat di atas dengan penafsiran yang senada dengan penafsiran
Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, yang
memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut arti harfiahnya, tetapi
menurut arti majazi (metaforis). Misalnya, Muhammad Quraish Shihab telah
menafsirkan kata kedua tangan-Nya di surat al-Mãidah [5]: 64 untuk
menunjukkan betapa luasnya anugerah dan kekuasaan-Nya. Selanjutnya,
Muhammad Quraish Shihab telah menafsirkan tangan Allah di surat al-Fatè

59
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh vol. 12, h. 170.
60
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 170.
61
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 170.
59

[48]: 10 dengan kekuasaan, kekuatan dan anugerah-Nya. Begitu juga,


Muhammad Quraish Shihab telah menafsirkan kedua tangan-Ku di surat al-
Qaéaé [28]: 88 sebagai isyarat tentang betapa manusia memperoleh
penanganan khusus dan penghormatan dari sisi Allah swt.
Keempat, berkenaan dengan pernyataan Allah ada di langit dan di
bumi. Dalam surat al-An`ãm [6]: 362 dijelaskan:
ÏNºuq»yJ¡¡9$# ’Îû ª!$# uqèdur
öNä.§•Å™ ãNn=÷ètƒ ( ÇÚö‘F{$# ’Îûur
$tB ãNn=÷ètƒur öNä.t•ôgy_ur
(3 :‫ )اﻻﻧﻌﺎم‬tbqç7Å¡õ3s?
Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa melalui ayat ini,
dijelaskan pengetahuan Allah yang menyeluruh, dan yang atas dasarnya
Allah akan memberi sanksi dan ganjaran terhadap amal-amal manusia, yang
lahir maupun yang batin. 63 Lebih lanjut penjelasan Muhammad Quraish
Shihab terhadap ayat tersebut dia jelaskan dengan mengatakan bahwa telah
menjadi kebiasaan al-Qur`an membuktikan keniscayaan hari Kemudian
dengan menyebut dua sifat Allah swt. secara tegas atau samar, yaitu
kekuasaan dan cakupan pengetahuan-Nya.64
Ayat ini dan sebelumnya merupakan salah satu contoh hal tersebut.
Karena itu, dalam konteks pembuktian keniscayaan hari Kemudian. Dalam
ayat ini dijelaskan-Nya kekuasaan dan cakupan pengetahuan-Nya. Kedua
sifat itulah yang hampir selalu membarengi uraian tentang hari
Kebangkitan, karena alasan utama penolakannya oleh kaum musyrikin
adalah keraguan mereka tentang kekuasaan dan qudrat Allah. Apakah Dia
memisahkan antara badan si A yang telah bercampur dengan tanah bahkan

62
Dan Dialah Allah di langit dan di bumi; Dia mengetahui rahasia Kamu dan lahir
Kamu dan mengetahui (pula) apa yang Kamu usahakan. (QS. al-An`ãm [6]: 3)
63
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 14.
64
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 14.
60

dengan badan si B? kalaupun Dia kuasa, maka apakah Dia mengetahui


sehingga dapat memilah lalu memisahkannya?65
Ayat ini menegaskan bahwa, dan Dialah yang pujian hanya tertuju
kepada-Nya, Allah yang disembah serta berkuasa, baik di langit maupun di
bumi; Dia mengetahui rahasia kamu sejak kamu lahir hingga meninggal
dunia, dan mengetahui juga lahir kamu, yakni yang tidak kamu rahasiakan,
dalam tingkat pengetahuan yang sama. Bukannya yang nyata lebih jelas
bagi-Nya dari rahasia, dan di samping itu Dia mengetahui (pula) apa yang
sedang dan akan kamu usahakan.66
Ayat ini merupakan pengantar untuk pembuktian keniscayaan hari
Kemudian, bahkan ia dapat juga menjadi pengantar bagi keseluruhan
tuntunan agama, baik duniawi maupun ukhrawi. Allah swt. yang mengetahui
keadaan manusia, yang nyata dan rahasia, mengetahui pula bisikan dan
67
keadaan jiwanya. Kalau demikian, tentulah Dia memberi bimbingan
kepada mereka, antara lain dengan mengutus para nabi, dan sangat wajar
pula Dia memberi balasan dan ganjaran di dunia dan di akhirat, karena Dia
mengetahui pula amal-amal mereka yang rahasia dan nyata, yang lalu dan
yang akan datang, yang baik dan yang buruk, serta mengetahui pula kondisi
kejiwaan masing-masing.
Sesungguhnya keberadaan alam raya ini dengan sistemnya yang
demikian harmonis, serasi, dan mapan, membuktikan melalui fitrah, naluri,
dan akal manusia bahwa di balik wujud yang demikian itu pasti ada
Pencipta Yang Maha Esa lagi Pengatur Yang Maha Mengetahui lagi Kuasa.68
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Muhammad Quraish
Shihab telah menafsirkan pernyataan Allah ada di langit dan di bumi pada

65
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 15.
66
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 15.
67
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 15.
68
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 16.
61

ayat di atas dengan arti majazi (metaforis), yaitu dengan kekuasaan dan
cakupan pengetahuan-Nya.
Kelima, berkenaan dengan Allah di atas hamba-hamba-Nya. Dalam
surat al-An`ãm [6]: 6169 diterangkan:
s-öqsù ã•Ïd$s)ø9$# uqèdur
(61 :‫¾ )اﻻﻧﻌﺎم‬ÍnÏŠ$t6Ïã
Menurut Muhammad Quraish Shihab ayat ini menjelaskan bahwa
kekuasaan Allah yang tidak terbendung dalam menjinakkan, menundukkan
dan mencegah siapa dan apa pun guna mencapai tujuan-Nya. Tidur yang
antara lain dibicarakan oleh ayat yang lalu, merupakan salah satu bukti
kemahakuasaan Allah yang diuraikan ayat ini, yakni Dan hanya Dialah (al-
Qãhir) Penguasa di atas semua hamba-hamba-Nya, yang menundukkan,
menjinakkan serta mengalahkan mereka, guna mencapai tujuan yang
dirancang-Nya.70
Keterangan yang serupa dapat pula dijumpai surat al-An`ãm [6]: 18 71
menyatakan:
s-öqsù ã•Ïd$s)ø9$# uqèdur
ãLìÅ3ptø:$# uqèdur 4 ¾ÍnÏŠ$t6Ïã
(18 :‫ )اﻻﻧﻌﺎم‬玕Î7sƒø:$#
Ketika menjelaskan ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab
menyatakan bahwa, Dan Dialah Penguasa atas semua hamba-hamba-Nya.
Semua kehendak-Nya berlaku, sedang kehendak hamba-hamba-Nya yang
tidak sejalan dengan kehendak-Nya tidak mungkin terlaksana. 72 Kendati
demikian, lanjut Muhammad Quraish Shihab, apa yang dilakukan-Nya
bukanlah kesewenang-wenangan, tetapi tindakan yang penuh dengan
hikmah kebijaksanaan, karena Dialah Yang Maha Bijaksana, sehingga apa

69
Dan Dialah Penguasa di atas semua hamba-hamba-Nya. (al-An`ãm [6]: 61).
70
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 135.
71
Dan Dialah Penguasa atas semua hamba-hamba-Nya. Dan DialahYang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. al-An`ãm [6]: 18)
72
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 41.
62

pun kehendak-Nya selalu mendatangkan manfaat atau menampik mudharat,


dan semua itu berdasar pengetahuan-Nya yang menyeluruh karena Dia Maha
Mengetahui.73
Sebenarnya kata ( ‫ﺮ‬ª‫ ) اﻟﻘﺎ‬al-Qãhir tidak sepenuhnya tepat diartikan
Penguasa, seperti terjemahan di atas. Keterbatasan bahasa Indonesia atau
pengalih bahasa mengantar kita untuk menerjemahkan demikian, padahal
maknanya tidak sepenuhnya demikian. Kata ini terambil dari kata ( ‫) ﻗ ﺮ‬
qahara, yang dari segi bahasa berarti menjinakkan, menundukkan untuk
mencapai tujuannya, atau mencegah lawan mencapai tujuannya serta
merendahkannya.74
Allah swt. sebagai al-Qãhir adalah Dia yang membungkam orang kafir
dengan kejelasan tanda-tanda kebesaran-Nya, menekuk lutut para
pembangkang dengan kekuasan-Nya, menjinakkan hati para pecinta-Nya
sehingga bergembira menanti di depan pintu rahmat-Nya, menundukkan
panas dengan dingin, mengalahkan besi dengan api, memadamkan api
dengan air, menghilangkan gelap dengan terang; menjeritkan manusia
akibat kelaparan, tidak memberdayakannya dengan tidur dan kantuk,
memberinya yang tidak ia inginkan dan menghalanginya dari apa yang ia
dambakan.75
Allah swt. bersifat Qãhir terhadap seluruh makhluk; bukankah alam
raya ditundukkan-Nya? Langit dan bumi tidak diberinya kesempatan
memilih. Datanglah kamu berdua, suka atau tidak! (QS. Fuééilat [41]: 11), 76
demikian firman-Nya kepada langit dan bumi sebelum proses
penciptaannya.77

73
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 41-42.
74
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 42.
75
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 4, h. 42.
76
Allah swt. berfirman dalam QS. Fuééilat [41]: 11.
(11 :‫ )ﻓﺼﻠﺖ‬$\dö•x. ÷rr& %·æöqsÛ $u‹ÏKø•$#
77
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 42.
63

Namun demikian, ayat di atas menekankan bahwa sifat Allah ini


ditujukan kepada ( ‫`) ﻋﺒﺎده‬ibãdihi / hamba-hamba-Nya. Kata ( ‫` ) ﻋﺒﺎد‬ibãd
yang merupakan bentuk jamak dari kata ( ‫` ) ﻋﺒﺪ‬abd / hamba tidak
digunakan kecuali kepada makhluk hidup dan memiliki kehendak.78 Ini wajar
karena – dalam logika manusia – menundukkan yang tidak berkehendak lebih
mudah daripada menundukkan yang berkehendak, walaupun di sisi Allah
tidak ada kata “lebih mudah” atau “lebih sulit”. Dan bila semua yang
berkehendak telah mampu ditundukkan, maka pasti yang tidak berkehendak
demikian pula adanya.
Untuk mencapai tujuan yang èaq itulah Allah swt. bersifat, yakni
menjinakkan, menaklukkan, dan memaksakan. Allah swt. menundukkan dan
mengendalikan hamba-hamba-Nya, yakni makhluk-makhluk-Nya yang
memiliki kehendak walau pada saat yang sama Yang Maha Kuasa itu
memberi mereka kebebasan dalam batas-batas tertentu. Kebebasan
tersebut tidak mungkin membelokkan tujuan penciptaan, karena itu mereka
semua harus berada di bawah kendali penundukan-Nya. Kalau ada tindakan
salah satu di antara mereka yang hampir membelokkan tujuan penciptaan,
maka pasti Allah akan turun tangan mencegahnya.79Lebih lanjut Muhammad
Quraish Shihab menjelaskan, perhatikanlah, bagaimana manusia berupaya
membasmi nyamuk dengan berbagai cara, antara lain dengan menciptakan
obat-obat nyamuk, namun beberapa langkah sebelum manusia sampai
kepada tahap pemunahannya secara total, pemunahan yang dapat
mengganggu tujuan penciptaan atau merusak ekosistem, Allah menciptakan
nyamuk-nyamuk baru yang kebal terhadap “obat-obat nyamuk”. Kalaupun
manusia membuat lagi obat-obat baru menggantikan yang lama, Allah

78
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 42.
79
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 43.
64

kembali memberi kekebalan kepada nyamuk-nyamuk baru yang lain agar


terus mampu berkembang biak.80
Penutup ayat di atas, Dia Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui,
untuk mengisyaratkan bahwa semua ketetapan-Nya selalu berakibat baik
demi mencapai tujuan walau oleh yang ditimpa terlihat atau terasa bahwa
kebijakan itu buruk baginya secara pribadi, dan Dia Maha Mengetahui kadar
yang tepat dari penundukkannya dan orang yang wajar menerimanya.81
Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa Muhammad Quraish
Shihab telah menafsirkan pernyataan keberadaan Allah di atas hamba-
hamba-Nya pada ayat di atas dengan arti majãzi (metaforis), kekuasaan
Allah di atas semua hamba-hamba-Nya, yakni kekuasaan Allah yang tidak
terbendung dalam menjinakkan, menundukkan dan mencegah siapa dan apa
pun guna mencapai tujuan-Nya.
Keenam, berkenaan dengan kedatangan Allah, diantaranya terdapat
pada Surat al-Fajr [89]: 22 dan al-Baqarah [2]: 210. Menurut Muhammad
Quraish Shihab dalam penjelasannya terhadap surat al-Fajr [89]: 22:82
à7n=yJø9$#ur y7•/u‘ uä!%y`ur
(22 :‫ )اﻟﻔﺠﺮ‬$yÿ|¹ $yÿ|¹
bahwa dan datanglah Tuhan-Mu – wahai nabi Muhammad atau wahai
manusia- dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya
atau hadirlah ketetapan-Nya, serta nampaklah dengan jelas kuasa dan
keagungan-Nya; sedang malaikat berbaris-baris sesuai dengan kedudukan
dan tugas-tugasnya.83
Dalam penjelasannya terhadap surat al-Baqarah [2]: 210:84

80
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 43.
81
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 43.
82
Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris. (al-Fajr [89]: 22).
83
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 15, h. 254.
84
Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah. (al-Baqarah [2]:
210).
65

ãNßguŠÏ?ù'tƒ br& HwÎ) tbrã•ÝàYtƒ ö@yd


(210 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬ª!$#
Dalam menafsirkan ayat di atas Muhammad Quraish Shihab
menyatakan bahwa makna kedatangan Allah yang diungkap oleh ayat ini
hanya Allah yang tahu. Kita tidak dapat mengetahui karena kita tidak dapat
85
membayangkan bagaimana Allah. Oleh sebab itu, lanjut Muhammad
Quraish Shihab, seluruh imajinasi tentang diri-Nya, pasti, Yang Maha Kuasa
itu tidak demikian, ( ‫ ) ﻟ ﺲ ﻛﻤﺜﻠ ﺷ ﺊ‬laisa kamiêlihî syai`un / tidak ada
sesuatu yang seperti-Nya. Demikian jawaban ulama-ulama yang hidup abad
II Hijriah. Ulama lain memahami kedatangan Allah oleh ayat ini adalah
kedatangan siksa-Nya.86
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa dalam
masalah kedatangan Allah kepada hamba-hamba-Nya, Muhammad Quraish
Shihab memberikan dua bentuk penafsiran, satu sisi memberikan penafsiran
secara literal dan di sisi yang lain memberikan penafsiran secara metaforis.
Tampaknya lebih cenderung untuk tidak menakwilkannya, namun ia juga
tidak mau terjebak kepada tasybîh (penyerupaan Tuhan dengan makhluk).
Pendapat-pendapat ulama yang dikutip Muhammad Quraish Shihab di atas
merupakan dasar pendiriannya itu. Kedatangan Allah itu adalah yang layak
dan sesuai dengan kebesaran-Nya dan tidak dapat kita deskripsikan
bagaimana caranya.
Ketujuh, berkenaan dengan Allah bersemayam di atas arasy, di
antaranya terdapat pada surat al-A`rãf [7]: 54, Ëãhã [20]: 5. Muhammad
Quraish Shihab dalam penjelasannya terhadap surat al-A`rãf [7]: 54:87
t,n=y{ “Ï%©!$# ª!$# ãNä3-/u‘ žcÎ)
’Îû uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$#

85
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 451.
86
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 1, h. 451.
87
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy. (al-A`rãf [7]: 54)
66

’n?tã 3“uqtGó™$# §NèO 5Q$-ƒr& Ïp-GÅ™


(54 :‫ )اﻻﻋﺮاف‬ĸó•yêø9$#

Ketika menjelaskan ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab telah


mengutip penafsiran dari berbagai pihak, antara lain dari Thabãthabã`i
yang menyatakan bahwa Allah yang duduk di kursi / `Arsy yang tertinggi itu
keadaan dan pengaturan-Nya terhadap alam raya. Berbeda dengan makhluk
penguasa, misalnya manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia yang
duduk di atas kursi tidak mengetahui dan tidak juga mengatur secara rinci
apa yang dikuasai oleh pemilik kursi yang berada di bawahnya. Adapun Allah
swt., maka Dia mengetahui dan mengatur secara rinci apa yang ada di
bawah kekuasaan dan pengaturan pemilik kursi-kursi yang di bawahnya.
Nah, inilah yang dimaksud dengan Dia bersemayam di atas `Arsy. Dia yang
menciptakan dan Dia pula yang mengatur segala sesuatu.88
Keterangan yang serupa dapat pula dijumpai di surat Ëãhã [20]: 589
ĸö•yèø9$# ’n?tã ß`»oH÷q§•9$#
(5 : ‫ )ﻃ‬3“uqtGó™$#
Ketika menafsirkan ayat tersebut, Muhammad Quraish Shihab
menjelaskan bahwa: al-Raèmãn Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
bersemayam, yakni berkuasa penuh di atas `Arsy, yakni pada seluruh
kerajaan-Nya. Milik-Nya sendiri dan dalam wewenang serta pengaturan-Nya
tanpa campur tangan siapa pun.90
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab di atas, dapat diketahui
bahwa ia telah menakwilkan atau menafsirkan Allah bersemayam di atas
`arasy pada ayat di atas dengan arti majazi, yaitu berkuasa pernuh di atas
`arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya. Sebagaimana yang telah ditempuh
oleh Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi menakwilkannya
88
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol. 5, h. 121.
89
Al-Raèmãn Yang bersemayam di atas 'Arsy. (Ëãhã [20]: 5).
90
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 271.
67

kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian Allah dari sifat-sifat
yang tidak layak bagi-Nya.
Dari keseluruhan pembahasan tentang antropomorfisme di atas,
dapat diketahui dari kedelapan bahasan yang berkenaan dengan:
1) Wajah Allah: Muhammad Quraish Shihab menafsirkannya dalam artian
ridha Allah, artinya Muhammad Quraish Shihab menafsirkan kalimat
wajah Allah tidak secara harfiyah, hal ini sejalan dengan pemikiran dari
golongan Mu'tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara
yang memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut harfiyahnya,
tetapi menurut arti majazi (metaforis).
2) A'yun (beberapa mata), menurutnya mata antara lain digunakan untuk
mengawasi dan memperhatikan sesuatu, dan inilah yang dimaksud
dengan kata a'yun, dengan otomatis kali ini Muhammad Quraish Shihab
juga sejalan dengan kalangan Mu'tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan
Maturidiyyah Bukhara.dalam menta'wilkan mata dengan arti majazi.
3) Tangan Allah, Muhammad Quraish Shihab ketika memahami kata tangan
Allah tidak menurut arti harfiahnya akan tetapi dalam artian kekuasaan
Allah. Pandangan Muhammad Quraish Shihab kali inipun kembali sejalan
dengan pendapat dari golongan Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand
dan Maturidiyyah Bukhara.
4) Pernyataan Allah ada di langit dan di bumi. Menurut Muhammad Quraish
Shihab kata ini menjelaskan tentang kekuasaan dan cakupan
pengetahuan-Nya, Dia mengetahui rahasia kamu sejak kamu lahir hingga
meninggal dunia, dan mengetahui juga lahir kamu, yakni yang tidak
kamu rahasiakan, dalam tingkat pengetahuan yang sama. Bukannya yang
nyata lebih jelas bagi-Nya dari rahasia, dan di samping itu Dia
mengetahui (pula) apa yang sedang dan akan kamu usahakan. Dengan
demikian, dapat diketahui bahwa Muhammad Quraish Shihab telah
68

menafsirkan pernyataan Allah ada di langit dan di bumi pada ayat di atas
dengan arti majazi (metaforis), yaitu dengan kekuasaan dan cakupan
pengetahuan-Nya, sejalan dengan yang telah ditempuh oleh Mu`tazilah,
Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi
menakwilkannya kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian
Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.
5) Allah berada di atas hamba-hamba-Nya. Dari penjelasan yang telah
dikutip didepan dapat diketahui bahwa Muhammad Quraish Shihab telah
menafsirkan pernyataan keberadaan Allah di atas hamba-hamba-Nya
pada ayat di atas dengan arti majazi (metaforis), kekuasaan Allah di atas
semua hamba-hamba-Nya, yakni kekuasaan Allah yang tidak terbendung
dalam menjinakkan, menundukkan dan mencegah siapa dan apa pun
guna mencapai tujuan-Nya. Hal ini sejalan dengan pemikiran dari
golongan Mu'tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara
yang memahami nas-nas antropomorfisme tidak menurut harfiyahnya,
tetapi menurut arti majazi (metaforis).
6) Berkenaan dengan kedatangan Allah, Muhammad Quraish Shihab
memberikan dua bentuk penafsiran, satu sisi memberikan penafsiran
secara literal dan di sisi yang lain memberikan penafsiran secara
metaforis. Tampaknya lebih cenderung untuk tidak menakwilkannya,
namun ia juga tidak mau terjebak kepada tasybîh (penyerupaan Tuhan
dengan makhluk). Pendapat-pendapat ulama yang dikutip Muhammad
Quraish Shihab di atas merupakan dasar pendiriannya itu. Kedatangan
Allah itu adalah yang layak dan sesuai dengan kebesaran-Nya dan tidak
dapat kita deskripsikan bagaimana caranya.
7) Allah bersemayam di atas arasy, dari penjelasan Muhammad Quraish
Shihab dapat diketahui bahwa ia telah menakwilkan atau menafsirkan
69

Allah bersemayam di atas `arasy pada ayat di atas dengan arti majazi,
yaitu berkuasa penuh di atas `arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya.
Pada poin terakhir ini Muhammad Quraish Shihab juga memiliki
pandangan yang sejalan dengan pandangan yang telah ditempuh oleh
Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, tidak
mengartikannya secara harfiah sebagaimana adanya tetapi
menakwilkannya kepada makna lain yang lebih sesuai dengan kesucian
Allah dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.

2. Melihat (Ru`yat) Allah


Masalah kalam yang juga tidak luput dari pembahasan adalah
masalah melihat Allah ( ‫) رؤ ﺔ اﷲ‬. Masalah ini juga merupakan salah satu
tema kalam yang menjadi pembicaraan di kalangan mutakallimîn (para
teolog Islam) dari berbagai aliran, terutama oleh Mu`tazilah, Asy`ariyyah
dan Maturidiyyah, yang juga telah melahirkan pendapat saling berbeda
bahkan bertentangan persoalan pokok dalam diskusi kalam tentang masalah
ini adalah apakah Allah dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti?
Aliran teologi dalam Islam, kecuali golongan Musyabbihah atau
Mujassimah, sepakat mengatakan bahwa Allah swt. Maha Gaib dan tidak
berjisim. Tetapi, ketika menjawab apakah orang-orang beriman dapat
melihat-Nya (ru`yatullah) di akhirat nanti, aliran-aliran teologi tersebut
berbeda pendapat. Perbedaan tersebut terjadi karena perbedaan persepsi
dalam memahami maksud dari ayat-ayat al-Qur`an yang mengesankan
saling bertentangan tentang hal itu, diantaranya adalah: surat al-An`ãm [6]:
103, al-A`rãf [7]: 143, al-Qiyãmah [75]: 22-23 dan surat Yünus [10]: 26.
a. Surat al-An`ãm [6]:103 menjelaskan:
uqèdur ã•»|Áö/F{$# çmà2Í‘ô‰è? žw
uqèdur ( t•»|Áö/F{$# à8Í‘ô‰ãƒ
:‫ )اﻻﻧﻌﺎم‬ÇÊÉÌÈ çŽ•Î6sƒø:$# ß#‹Ïܯ=9$#
70

91
(103
Ketika menafsirkan surat al-An`ãm [6]:103 di atas, Muhammad
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini merupakan kelanjutan dari
sifat-sifat Allah yang dijelaskan oleh ayat-ayat lalu sekaligus berfungsi
meluruskan anggapan keliru kaum musyrikin, yang boleh jadi lahir dari
pernyataan bahwa Allah wakil terhadap segala sesuatu. Kaum musyrikin
dengan kebodohan mereka boleh jadi menduga bahwa karena Dia adalah
wakil maka tentu saja Dia dapat terjangkau atau terlihat.92 Oleh karena itu,
lanjut Muhammad Quraish Shihab, angapan ini dibantah oleh ayat di atas
dengan menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat dijangkau dalam
bentuk apa pun oleh pengelihatan mata, sedang apa yang kamu
persekutukan dengan-Nya dapat dijangkau oleh pandangan mata, seperti Isa
as. atau berhala-berhala bahkan jin menurut kepercayaan kamu wahai kaum
musyrikin sedang Dia yakni Allah dapat menjangkau, yakni mengetahui dan
melihat segala pengelihatan dan Dialah Yang Maha Tersembunyi sehinga
tidak dapat dilihat Lagi Maha Mengetahui sehingga dapat melihat segala
sesuatu.93
Kata ( ‫ ) ﺗﺪرك‬tudriku atau yudriku terambil dari kata ( ‫ ) درك‬daraka
yang hakikatnya adalah mencapai apa yang diharapkan. Ia dipahami dalam
kaitannya dengan makhluk sebagai terjangkaunya dengan indera sesuatu
yang inderawi dan dengan akal sesuatu yang ma’kul. 94 Dengan demikian,
menurut ayat ini manusia tidak dapat menjangkau hakikat Dzat Allah dan
sifat-Nya dengan pandangan mata atau panca indera tidak juga dengan
akal.

91
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (QS. al-An`ãm [6]:103
92
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 224.
93
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 224.
94
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
71

Dalam penjelasan selanjutnya, Muhammad Quraish mengatakan


bahwa ayat di atas menggunakan kata yang sama -yudriku- untuk Allah dan
untuk makhluk. Persaman kata itu oleh sementara pakar bahasa dipahami
semata-mata untuk penyesuaian kebahasaan dengan kata sebelumnya yang
juga menggunakan kata yang sama, tetapi hakikat maknanya jauh berbeda.
Buat Allah kata tersebut dipahami dalam arti menjangkau dan menguasai.95
Kata ( ‫ ) اﻻﺑﺼﺎر‬al-abéar adalah bentuk jamak dari kata ( ‫ ) ﺑﺼﺮ‬baéar
yaitu potensi yang terdapat dalam mata, yakni kornea mata berupa selaput
bening yang memasukan cahaya ke dalam mata sehingga bola mata dapat
melihat. Pada hakikatnya yang melihat bukannya bola mata, tetapi sesuatu
yang terdapat di bola mata itu.
Pada penafsiran ayat di atas Muhammad Quraish Shihab memberikan
kondensasi (penekanan) dengan berpendapat bahwa Allah tidak dapat
dijangkau oleh potensi pengelihatan makhluk, sedang Dia dapat
menjangkau, yakni melihat dan menguasai segala apa yang dapat terlihat. 96
Oleh sebab itu, lanjut Muhammad Quraish Shihab, ketidakmampuan
makhluk melihat Allah dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan
potensi penglihatan makhluk itu sendiri. Muhammad Quraish
menganalogikan hal ini dengan kelelawar yang potensi matanya lebih lemah
dari manusia, tidak dapat melihat sesuatu di siang hari, sebaliknya ada
binatang –seperti burung rajawali- yang potensi matanya lebih kuat dari
manusia justru dapat melihat dari jarak jauh dimana potensi mata manusia
tidak dapat menjangkaunya. Di sisi lain perlu diingat bahwa sesuatu tdak
dapat dilihat bukan karena dia tidak ada, tetapi boleh jadi karena ia terlalu
kecil dan halus sehingga tersembunyi, atau karena ia terlalu besar, terang
dan jelas.97

95
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
96
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
97
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 225.
72

Muhammad Quraish lebih menguatkan argumentasinya di atas dengan


menyatakan bahwa:
Allah tidak dapat dijangkau oleh potensi penglihatan makhluk
disebabkan karena makhluk adalah wujud yang fana lagi terbatas.
Bagaimana mungkin sesuatu yang fana dapat menjangkau yang kekal
lagi tidak terbatas? Jika makhluk dapat menjangkau-Nya, maka yang
tidak terbatas (Allah) menjadi terbatas, dan ini adalah sesuatu yang
mustahil. Karena kemampuan mata manusia, indera dan akalnya
dianugerahkan Allah sesuai dengan fungsi yang dikehendaki-Nya
untuk diemban manusia dalam kehidupan dunia ini, yaitu menjadi
khalifah, memakmurkan bumi serta menjangkau bukti-bukti
kehadiran Ilahi di alam raya ini bukan untuk menjangkau hakikat Ilahi
yang Maha Kuasa lagi Kekal itu.98

Di samping itu Muhammad Quraish Shihab menjelaskan apa sebabnya


mereka menuntut untuk melihat dan menjangkau Allah swt. Bukankah
dalam kehidupan ini sekian banyak hal yang diakui wujudnya tidak
terjangkau oleh manusia. Jangankan manusia abad VII Masehi sewaktu al-
Qur`an pertama kali berinteraksi dengan manusia, manusia abad ini pun
mengakui wujud sesuatu yang mereka tidak pernah lihat. Adakah yang
pernah melihat atom? Adakah yang pernah melihat jiwa? Ilmuwan tidak
boleh mengatasnamakan ilmu untuk menolak realita yang tidak mereka lihat
dengan mata kepala, karena wilayah ilmu yang mereka kenal terbatas hanya
pada wilayah empiris. 99 Bahkan pada hakikatnya alangkah banyak konsep
abstrak yang mereka gunakan yang justru tidak ada dalam dunia materi,
seperti misalnya jenis berat, atau akar-akar dalam matematika dan
alangkah banyaknya pula hal-hal yang terlihat potensinya namun tidak
dapat dijangkau hakikatnya seperti cahaya.
Menurut Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan bahwa Allah
menjangkau semua penglihatan, bukannya menyatakan semua yang

98
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 226.
99
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 226.
73

berpotensi untuk dilihat. Ini untuk membedakan jangkauan penglihatan-Nya


dengan penglihatan makhluk. Apa yang dijangkau oleh makhluk melalui
kornea matanya terbatas pada hal-hal yang bersifat lahiriah, katakanlah:
warna, bentuk, panjang dan pendek, besar atau kecil, jauh dekat, bergerak
atau diam, tetapi apa yang Allah jangkau melebihi semua itu. Dia
menjangkau segala sesuatu, lahir dan batin, tiada sesuatupun tersembunyi
bagi-Nya.100
Kemudian Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa kata ( ‫ﻟﻄ ﻒ‬
) laëîf, terambil dari akar kata ( ‫) ﻟﻄﻒ‬, laëafa. Menurut pakar bahasa kata
yang hurufnya terdiri dari lam, tha, dan fa mengandung makna lembut,
halus atau kecil. Dari makna ini kemudian lahir makna ketersembunyian dan
ketelitian. 101 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa
pakar bahasa al-Zajjã dalam bukunya Tafsir al-Asma al-Husna menyatakan
bahwa seorang yang berbadan kecil dinamai laëîf, juga dapat berarti
penipu, atau yang mencapai tujuannyan dengan cara yang sangat
tersembunyi dan tak terduga. Sedang bila kata ini dikaitkan dengan
pengetahuan, maka maknanya adalah sangat dalam kecerdasannya dan
sangat cermat dalam menemukan sesuatu.102
Muhammad Quraish Shihab juga memberikan komplemen terhadap
penjelasannya di atas dengan menyatakan bahwa kata al- laëîf ditemukan
dalam al-Qur`an sebanyak tujuh kali, lima di antaranya disebut
bergandengan dengan sifat Khabîr. Dua ayat secara tegas menyebut sifat ini

100
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 226.
101
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
102
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
74

tercurah kepada hamba-hamba-Nya, yakni surat al-Syürã [42]: 19 103 dan


surat Yüsuf [12]: 100104.
Pada ayat lain yaitu surat al-An`am [6]:103, dapat dilihat Muhammad
Quraish Shihab menambahkan penjelasannya dengan menyatakan: dari sini
agaknya sementara ulama berpendapat bahwa al- laëîf, berarti bahwa Dia
yang melimpahkan karunia kepada hamba-hamba-Nya secara tersembunyi
dan tertutup, tanpa mereka ketahui, serta menciptakan untuk mereka
sebab-sebab kebahagiaan yang mereka tidak duga.105 Makna ini – untuk ayat
yang sedang ditafsirkan – walau ada ulama yang memahami demikian,
namun hemat penulis kurang tepat, karena konteks ayat ini adalah
penjelasan tentang penyucian Allah dari persamaanu-Nya dengan makhluk
serta uraian ketidakmampuan indera dan akal manusia untuk menjangkau
Zat dan sifat-Nya atas dasar itulah kata al- laëîf di sini lebih baik dipahami
dalam Maha Tersembunyi. Allah swt. Maha Tersembunyi, yakni tidak dapat
dilihat, paling tidak dalam kehidupan dunia ini. 106
Dalam kehidupan di dunia ini semua aliran kalam sepakat bahwa
Tuhan memang tidak dapat dilihat. Dari penjelasan Muhammad Quraish
Shihab di atas bahwa Allah swt. Maha Tersembunyi, yakni tidak dapat
dilihat, paling tidak dalam kehidupan dunia ini. Karena itu, Muhammad
Quraish Shihab cenderung merobohkan seluruh argumennya tentang ketidak
mungkinan melihat Tuhan, jika hal itu diterapkan ke dalam konteks
kehidupan di akhirat.
Penafsiran yang telah dikemukakan Muhammad Quraish Shihab
tersebut sejalan dengan pendirian Asy'ariyyah. Menurut aliran ini, bahwa

103
“Sesungguhnya Allah Laëîf terhadap hamba-hamba-Nya, Dia memberi rezeki
siapa yang dikehendaki-Nya, dan Dia Maha Kuat lagi Maha Mulia. (QS. al-Syürã [42]: 19).
104
“Sesungguhnya Tuhanku Laëîf terhadap apa yang Dia kehendaki” (QS. Yusuf
[12]: 100).
105
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
106
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 4, h. 227.
75

Allah akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti,
karena setiap yang berwujud dapat dilihat. Allah mempunyai wujud, maka
Allah dapat dilihat. 107 Dari segi akal, menurut mereka tidak ada halangan
bagi kemungkinan manusia untuk dapat melihat Allah nanti di akhirat,
karena yang demikian itu tidaklah akan membawa kepada keyakinan bahwa
Allah akan menjadi baru atau serupa dengan yang baru.108
Dalam penafsirkan surat al-An’ãm [6]: 103, dipahami oleh Asy’ari
bahwa: Tuhan tidak dapat dilihat oleh manusia baik oleh orang yang
beriman ataupun orang yang kafir di dunia. Sedangkan untuk di akhirat,
Asy’ariyah juga berpendapat hanya orang-orang yang beriman yang dapat
melihat Allah dengan mata kepala.109
Hal ini sejalan dengan pendapat dari golongan Maturidiyah
Samarkand. 110 Karena Abu Manéür al-Mãturîdi menyatakan bahwa melihat
Allah adalah merupakan hal yang benar, tetapi tidak bisa dijelaskan
bagaimana caranya, 111 karena hal itu merupakan bagian dari situasi hari
kiamat yang cara dan keadaannya hanya diketahui oleh Allah sendiri.112 Al-
Maturidi menafsirkan ayat di atas bahwa bila Tuhan tidak dapat dilihat,
maka penafsiran al-idrãk di sini tidak ada maknanya. Oleh karena itu, Tuhan
dapat dilihat dengan mata.113
Begitu juga dengan pendapat dari golongan Mãturîdiyah Bukhara,
yang sama-sama menyatakan bahwa Allah akan dapat dilihat kelak di

107
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat an Uéül al-Diyãnah, (Beirut:
Maktabat Dãr al-Bayãn, 1999), cet. ke-4, h. 66.
108
Abu al-Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-
zaig wa al-Bida`, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000), cet 1, h. 32-33.
109
Abu al-Èasan al-Asy’ari, al-Ibãnah ‘an Uéül al-Diyãnah, h. 63
110
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-
Tauèîd, (Ed), Fatèullah Khalif, (Istambul: al-Maktabat al-Islãmiyah, 1979), h. 77
111
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd,
h. 77.
112
Muèammad Abu Zahrah, Tarîkh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, vol. I, h. 208.
113
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-
Tauèîd, h. 77
76

akhirat. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Harun Nasution dari kitab Uéül
al-Dîn karangan al-Bazdawi.114
Namun, interpretasi Muhammad Quraish Shihab di atas berbeda
bahkan bertentangan dengan golongan Mu`tazilah yang menyatakan bahwa
Allah tidak akan dapat dilihat dengan kasat mata kelak di akhirat. Pendapat
ini merupakan implikasi logis dari pandangan mereka yang menetapkan
bahwa Allah bersifat immateri. Oleh karena itu, Allah bagi mereka tidak
mungkin menjadi obyek tanggapan inderawi karena Dia tidak menempati
ruang.115 Seandainya Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala, Dia
akan dapat pula dilihat di dunia ini. Tetapi kenyataannya, orang tidak
pernah melihat-Nya.116
Dalam memahami ayat di atas, Abdul Jabbãr berpendapat bahwa:
mustahil Allah Maha Gaib dan immateri itu dapat dilihat dengan mata
kepala. Sebab, untuk dapat dilihat, Allah harus berjisim, sedangkan Dia
tidak berjisim. 117 Abdul Jabbãr menambahkan, seandainya Allah dapat
dilihat di akhirat dengan mata kepala, Dia akan dapat pula dilihat di dunia
ini. Untuk kata al-idrãk (mengetahui) menurutnya, jika digandengkan
dengan kata al-baéar (penglihatan) artinya menjadi: al-ru’yah bi al-abéãr
(melihat dengan mata). Jadi, dengan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dia
tidak dapat dilihat. Kata al-idrãk yang digandengkan dengan al-abéar harus
diartikan dengan ru`yah, karena orang yang melihat sesuatu sama dengan
orang mengetahuinya (al-mudrik).118

b. Surat al-A’rãf [7]: 143 menjelaskan:

114
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140.
115
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, (Kairo: Maktabat Wahbah,
1996) cet. Ke-3, h. 249.
116
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 253.
117
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 233. Lihat juga Al-Qaçî
Abdul Jabbãr, al-Mughnî Fi Abwãb al-Tauhîd wa al-`Adl, (Maéri: al-Dãr al-Misriyyah li al-
Ta`lîf wa al-Tarjamah 1965), Jilid 4, h. 115.
118
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 233.
77

4Óy›qãB uä!%y` $£Js9ur


¼çmyJ¯=x.ur $uZÏF»s)ŠÏJÏ9
þ’ÎTÍ‘r& Éb>u‘ tA$s% ¼çmš/u‘
ÓÍ_1t•s? `s9 tA$s% 4 š•ø‹s9Î) ö•ÝàRr&
’n<Î) ö•ÝàR$# Ç`Å3»s9ur
§•s)tGó™$# ÈbÎ*sù È@t6yfø9$#
4 ÓÍ_1t•s? t$öq|¡sù ¼çmtR$x6tB
¼çmš/u‘ 4’©?pgrB $£Jn=sù
§•yzur $y2yŠ ¼ã&s#yèy_ È@t7yfù=Ï9
s-$sùr& !$£Jn=sù 4 $Z)Ïè|¹ 4Óy›qãB
š•ø‹s9Î) àMö6è? š•oY»ysö6ß™ tA$s%
tûüÏZÏB÷sßJø9$# ãA¨rr& O$tRr&ur
119
(143 :‫ )اﻻﻋﺮاف‬ÇÊÍÌÈ
Menurut Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat di atas,
ia menulis:
Setelah menjelaskan janji Allah, ayat ini menguraikan sebagian dari
apa yang terjadi ketika itu, yakni dan tatkala Musa datang untuk
bermunajat dengan Kami untuk waktu, yakni pada waktu telah Kami
tentukan dan Tuhannya telah berfirman langsung kepadanya, dia
yakni Nabi Musa as. berkata tanpa menggunakan kata panggilan
“wahai” sebagaimana layaknya orang yang dekat kepada Allah swt:
Tuhanku, nampakkanlah diri-Mu Yang Maha Suci, kepadaku agar aku
dapat dengan potensi yang engkau anugerahkan kepadaku melihat
kepada-Mu. Dia, yakni Allah berfirman: Engkau wahai Musa sekali-
kali tidak akan sanggup melihat-Ku, sebagaimana yang engkau
mohonkan, tapi untuk membuktikan ketidakmampuanmu lihatlah ke
gunung itu, yakni ke satu bukit yang ketika itu dilihat oleh Nabi Musa
as. maka jika ia tetap di tempatnya sebagaimana yang engaku lihat
sekarang niscaya engkau akan dapat melihat-Ku. Maka tatkala
Tuhannya bertajalli, yakni menampakkan apa yang hendak
dinampakkan-Nya ke gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur
luluh dan ketika itu juga Musa pun jatuh pingsan melihat peristiwa
yang sangat dahsyat dan mengagumkan itu. Maka setelah dia sadar
119
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya
Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau".
Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu,
Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku".
tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha
suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".
(Q.S. al-A’rãf [7]: 143)
78

kembali, dia yakin bahwa dia tidak dapat melihat-Nya di dunia ini
dengan cara apa pun dan dia berkata: Maha Suci Engkau, lagi Maha
Agung, sehingga tidak mungkin Engkau dapat dijangkau oleh
pandangan siapapun, aku telah bertaubat kepada-Mu, yakni aku
tidak akan mengulangi lagi permintaan itu, dan menyesal mengapa
aku bermohon demikian dan aku adalah yang pertama dari orang-
orang mukmin yang percaya bahwa Engkau tidak dapat dilihat seperti
yang kumohonkan, atau aku adalah orang pertama yang bergegas
masuk dalam kelompok mereka, karena aku sedemikian yakin tentang
kebenaran, bukan seperti orang-orang yang ragu untuk melangkah.120

Berkenaan dengan ayat tersebut, Muhammad Quraish Shihab


mengatakan bahwa ayat ini menguraikan kejadian ketika itu, yakni ketika
Nabi Musa mendapat anugerah mendengar kalam Ilahi, timbul hasrat beliau
untuk memperoleh yang lebih dari itu, yakni melihat-Nya. Tentu nabi Musa
as. ketika bermohon itu menyadari bahwa dia tidak dapat melihat Allah
dengan mata kepala lagi terang-terangan sebagaimana permintaan sebagian
umatnya yang menegaskan bahwa mereka tidak akan beriman sebelum
melihat Tuhan dengan “terang-terangan” yakni dengan mata kepala (Q.S.
al-Baqarah [2]: 55).121 Yang beliau harapkan adalah “melihat-Nya” dengan
satu cara melalui potensi yang Allah anugerahkan kepadanya, sekaligus
sesuai dengan keagungan serta kesucian Allah swt. walau bukan dengan
terang-terangan, atau bukan langsung dengan pandangan mata.122
Muhammad Quraish Shihab memberikan penjelasan pada kata ( ‫) أرﻧﻲ‬,
arinî atau nampakkkanlah kepadaku, pada ucapan Nabi Musa as.( ‫أرﻧﻲ أﻧﻈﺮ إﻟ ﻚ‬
) Arinî anzur ilaik/nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat
melihat-Mu bukan berarti penampakan yang berbentuk jasmani di satu
tempat tertentu, dengan menggunakan pandangan mata, karena seperti
dikemukakan sebelum ini bahwa pasti nabi agung itu, termasuk mahluk yang
paling memahami bahwa Allah bukanlah jasmani, tidak disentuh oleh waktu
120
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
121
Keterangan yang serupa dapat pula ditemui di surat al-Baqarah [2]: 55.
122
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
79

dan tempat, tidak ada juga yang serupa dengan-Nya, kendati dalam
khayal.123 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, bahwa kata
“nampakkan” yang beliau maksud pastilah bukan yang demikian itu, dan
memang kata yang beliau gunakan dan diabadikan oleh ayat ini digunakan
oleh al-Quran dan bahasa Arab dalam banyak pengertian124.
Jika Anda berkata: “Saya melihat Anda senang pada si A”, maka
maknanya adalah antara lain adalah bahwa saya melihat dari sikap dan
keadaan anda yang menjadikan saya berkesimpulan bahwa Anda senang
padanya. Jika Anda berkata: “Saya melihat dia mampu”, maka ini tidak
berkaitan dengan pandangan mata, tetapi pengetahuan dalam kenyataan
yang mengantar kepada kesimpulan itu. Makna perlu digarisbawahi dalam
memahami permohonan Nabi Musa as.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, pendapat di atas benar, karena
itu boleh jadi maksud Nabi Musa as. itu adalah melihat Allah dengan
nalarnya. Betapapun dan penampakan apapun yang beliau maksudkan,
namun yang jelas adalah permohonan tersebut tidak diperkenankan Allah
swt.125
Menurut Muhammad Quraish Shihab selanjutnya, pengertian yang
telah dikemukakannya itu senada dengan surat al-Syürã [42]: 11126:
uqèdur ( Öäï†x« ¾ÏmÎ=÷WÏJx. }§øŠs9
:‫ )اﻟﺸﻮرى‬ÇÊÊÈ çŽ•ÅÁt7ø9$# ßìŠÏJ¡¡9$#
(11
Dengan membaca dan menyadari makna ayat ini, luluh semua
gambaran yang dapat dijangkau oleh indera dan imajinasi manusia tentang

123
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
124
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
125
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 238.
126
“Tidak ada yang serupa dengan-Nya dan Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”(QS. al-Syürã [42]: 11
80

Zat Yang Maha Sempurna. Ini karena manusia sangat lemah, kemampuan
inderanya sangat terbatas.127
Dalam uraian selanjutnya, Muhammad Quraish Shihab mengatakan
bahwa: Mata makhluk bukan saja tidak dapat melihat dengan mata
kepalanya sesuatu yang sangat kecil dan halus, tetapi yang sangat jelaspun
terkadang tidak dapat dilihatnya. Kelelawar tidak mampu melihat di siang
hari karena terangnya cahaya matahari, ia baru bisa melihat pada saat
malam hari pada saat remang-remang. Manusiapun serupa, tidak mampu
menatap matahari, apalagi untuk menatap Pencipta matahari, bahkan
Pencipta seluruh cahaya yang terang benderang di jagad raya ini.128
Muhammad Quraish Shihab menyertakan enunsiasi al-Ghazali yang
menyatakan bahwa: Manusia pun tidak dapat melihat dalam arti
menjangkau hakikat Alah dalam nalarnya. Ketuhanan adalah sesuatu yang
hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam benak sesuatu yang
mengenalnya kecuali Allah/ yang sama dengan-Nya, dan karena tidak ada
yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya kecuali Allah.129

Kemudian Muhammad Quraish Shihab mengutip pendapat seorang


ulama besar dan filosof muslim Abdul Karim al-Khatib menyangkut hal ini.
Dalam bukunya “Qadiyyah al-Ulühiyyah baina Falsafah wa al-Dîn” dia
menulis:
Yang melihat / mengenal Tuhan, pada hakikatnya hanya melihat-Nya
melalui wujud yang terhampar di bumi, seta yang terbentang di
langit. Yang demikian itu adalah penglihatan tidak langsung, itu pun
memerlukan pandangan hati yang tajam, akal yang cerdas dan kalbu
yang bersih. Mampukah Anda dengan membaca kumpulan syair
seorang penyair, atau mendengar gubahan seorang komposer, dengan
melihat lukisan pelukis atau pahatan pemahat; mampukah Anda

127
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
128
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
129
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
81

dengan melihat hasil karya seni mereka mengenal mereka, tanpa


melihat mereka secara langsung? Memang Anda bisa mengenal
selayang pandang tentang mereka, bahkan boleh jadi melalui
imajinasi, Anda dapat membayangkannya sesuai kemampuan Anda
membaca karya seni. Namun Anda sendiri pada akhirnya akan sadar
bahwa gambaran yang dilukiskan oleh imajinasi Anda menyangkut
para seniman itu, bersifat pribadi dan merupakan ekpresi dari
perasaan Anda sendiri. Demikian juga yang dialami orang lain yang
berhubungan dengan para seniman itu, masing-masing memiliki
pandangan pribadi yang berbeda dengan yang lain. Kalaupun ada
yang sama, maka persamaan itu dalam bentuk gambaran umum
menyangkut kekaguman dalam berbagai tingkat. Kalau demikian itu
adanya dalalm memandang seniman melalui karya-karya mereka,
maka bagaimana dengan Tuhan, sedang Anda adalah setetes dari
ciptaan-Nya.130

Ali bin Abi Thalib ra. Pernah ditanya oleh sahabatnya Zi`lib al-
Yamani: “Amirul Mukminin, apakah engkau pernah melihat Tuhan-Mu?”
“Bagaimana aku menyembah apa yang tidak kulihat?” jawab beliau.
“Bagaimana engkau melihat-Nya?” tanya Zi`lib.
“Dia tidak dapat dilihat dengan pangangan mata, tetapi dijangkau
oleh akal dengan hakikat keimanan.”
Yang beliau maksud dengan akal di sini adalah akal dalam pengertian
gabungan antara daya kalbu dan daya nalar yang menghasilkan “ikatan”
yang menghalangi manusia melakukan hal-hal negatif. Ungkapan beliau ini
itu menunjukkan bahwa jangkauan itu bukan jangkauan nalar secara
langsung, tetapi jangkauan nalar dan kalbu berdasar keimanan tentang
sesuatu yang tidak dapat terjangkau. Jawaban ini serupa dengan jawaban
Abu Bakar al-Siddiq ra: ( ‫“ ) اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻻدراك إدراك‬Ketidakmampuan mengenal-
Nya adalah pengenalan”.131
Muhammad Quraish Shihab lebih menegaskan lagi penjelasannya
dengan mengupas makna dari kata (‫ ) ﺗﺠﻠﻰ‬tajalla, menurut Muhammad

130
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 240.
131
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 241.
82

Quraish Shihab:
kata (‫ ) ﺗﺠﻠﻰ‬tajalla mengandung makna menampakkan sesuatu dengan
menjauhkan faktor-faktor yang dapat menghalangi
ketidaknampakkannya. Yang dimaksud oleh ayat ini adalah
menyingkirkan sebab-sebab yang menghalangi nabi Musa melihat
sesuatu yang secara normal dan sesuai potensinya tidak dapat
dilihatnya. Allah melakukan hal tersebut dahulu ke gunung, yang dari
segi jasmaniyah jauh lebih tegar dari manusia, agar nabi Musa as.
Lebih yakin bahwa ia benar-benar tidak akan mampu. Tetapi perlu
diingat bahwa tajalli Allah itu belum lagi mencampai puncaknya.
Ketika Rasulullah saw. membaca firman-Nya ( ‫) ﻓﻠﻤّﺎ ﺗﺠﻠﻰ رﺑّ ﻟﻠﺠﺒﻞ‬
falammã tajalla rabbuhu lil jabali beliau mendekatkan ibu jari beliau
ke ujung jari kelingkingnya untuk menjelaskan betapa kecil dan
sedikit tajalli itu. (HR. al-Tirmizi dan lain-lain melalui Anas bin Malik)
Yakni bahwa penampakkan itu masih sangat sedikit, dan masih
terlalu banyak faktor dalam diri makhluk yang menghalangi
kemampuan mereka untuk melihat.132

Di sisi lain perlu diingat, bahwa dalam peristiwa di atas, Allah tidak
bertajalli kepada nabi Musa, tetapi kepada gunung, dan karena itu Nabi
Musa bukan jatuh pingsan karena tajalli Tuhan tetapi karena melihat gunung
yang merupakan makhluk Ilahi yang tegar itu hancur lebur saat mengalami
tajalli. Dalam arti melihat objek tajalli (gunung) saja beliau sudah tidak
mampu, apalagi mengalaminya sendiri.133
Surat al-A`rãf [7]: ayat 143 dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab
dalam konteks kehidupan di dunia, bukan di akhirat. Nabi Musa as.
(termasuk manusia lain) tidak akan dapat melihat Tuhan dengan mata
kepala di dunia ini, baik sekarang maupun di masa yang akan datang, sebab
mereka tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Untuk membuktikan
ketidakmampuan Musa as. itu. Tuhan menyuruh Nabi Musa memperhatikan
gunung. Kalau gunung tersebut masih tetap ditempatnya berarti Nabi Musa
akan bisa melihat Tuhan. Tatkala Tuhan menampakkan diri-Nya pada

132
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 241.
133
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 242.
83

gunung tersebut, ternyata gunung itu hancur luluh. Kalau gunung yang
begitu kuat dan kokoh tidak mampu menerima tajalli (penampakkan diri)
Tuhan, tentu manusia yang lemah ini lebih tidak mampu lagi. Keduanya
sama-sama materi alam yang akan hancur.
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menegaskan bahwa: yang
pasti, tidak seorangpun – paling tidak di dunia ini – yang pernah melihat
Allah swt. “Siapa yang berkata bahwa Nabi Muhammad saw. melihat
Tuhannya, maka ia telah berbohong”. Begitu ucap Aisyah ra.134
Dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhapat surat al-A’rãf
[7]: 143 di atas dapat diketahui bahwa manusia tidak dapat melihat Tuhan,
dia menggarisbawahi dengan menyisipkan kembali keterangan “paling tidak
di dunia ini”. Dengan menyisipkan keterangan “paling tidak di dunia ini”,
Muhammad Quraish Shihab meruntuhkan argumen-argumen sebelumnya
tentang ketidakmungkinan manusia melihat Tuhan, jika hal itu diterapkan
ke dalam konteks kehidupan di akhirat.
Penafsiran yang telah dikemukakan Muhammad Quraish Shihab
tersebut, tidak berbeda dengan golongan Asy`ariyyah. Asy`ari
mengemukakan argumennya, antara lain, bahwa segala yang maujud pasti
dapat dilihat. Allah adalah maujud dan, oleh karena itu, tidak mustahil
Allah memperlihatkan diri-Nya kepada kita. Lebih lanjut Asy`ari
menyatakan, Allah dapat melihat segala sesuatu dan melihat diri-Nya.
Karena Ia dapat melihat diri-Nya, maka Ia pasti dapat pula memperlihatkan
diri-Nya kepada kita.135
Asy`ari mengatakan bahwa ayat di atas menjelaskan, tidak mungkin
Nabi Musa meminta sesuatu yang mustahil. 136 Dengan penjelasannya ini,
Asy`ari ingin menjelaskan bahwa melihat Allah adalah suatu hal yang

134
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 239.
135
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 66.
136
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 61.
84

mungkin. Kalau melihat Allah itu suatu hal yang mustahil, maka tidak
mungkin Nabi Musa tidak tahu dan meminta hal tersebut.
Di pihak lain, Maturidiyyah Samarkand sependapat dengan
Asy'ariyyah. Abu Manéür al-Mãturîdi mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat
karena bila Tuhan tidak dapat dilihat, tentulah permintaan Musa untuk
melihat tuhan itu suatu perbuatan orang bodoh. Padahal Musa bukanlah
seorang yang bodoh, sebab beliau adalah pengemban risalah dan penerima
wahyu dari Allah.137
Penafsiran yang telah dikemukakan oleh kalangan Asy'ariyyah dan
Maturidiyyah tersebut ditolak oleh Mu’tazilah. Menurut mereka, bahwa
permintaan melihat Tuhan sebenarnya bukan datang dari Nabi Musa, tetapi
dari para pengikutnya yang belum juga mau percaya138.
Tuhan menyuruh Nabi Musa as. memandang kepada gunung. Kalau
gunung masih tetap di tempatnya dan tidak bergerak berarti Musa akan
dapat melihat Tuhan. Tetapi ternyata gunung tersebut tidak tetap di
tempatnya, bahkan menjadi hancur dan Musa sendiri jatuh pingsan. Ini
menjunjukkan bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat, sebagimana mustahilnya
berhimpun gerak dan diam gunung pada satu masa di satu tempat.139 Makna
lan tarãnî menurut Abdul Jabbãr berarti selamanya Tuhan tidak bisa dilihat.
Karena hurup lan disini lita’bid (selamanya). Ini meunjukkan, bahwa Tuhan
mustahil dapat dilihat140.

c. Dalam surat Yünus [10]: 26 Allah berfirman:

(#qãZ|¡ômr& tûïÏ%©#Ïj9 *
Ÿwur ( ×oyŠ$tƒÎ—ur 4Óo_ó¡çtø:$#

137
Abu Manéür al-Mãturîdî, al-Tauèîd, h. 78
138
Al-Qaçî Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 262.
139
Al-Qaçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 265.
140
Al-Qaçî Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 264.
85

Ÿwur ׎tIs% öNßgydqã_ãr ß,ydö•tƒ


Ü=»ptõ¾r& y7Í´¯»s9'ré& 4 î'©!ÏŒ
$pkŽÏù öNèd ( Ïp¨Ypgø:$#
141
(26 :‫ ) ﻮﻧﺲ‬ÇËÏÈ tbrà$Î#»yz

Berkenaan dengan ayat ini, Quraish Shihab mengatakan bahwa ayat


yang lalu (QS. Yünus [10]: 25), menjelaskan bahwa Allah swt. mengajak
manusia menuju dãr al-salãm, dan sebelumnya telah diuraikan tentang
adanya orang-orang yang membangkang, maka di sini dijelaskan ganjaran
masing-masing, yakni bagi orang-orang yang berbuat amal-amal baik dalam
kehidupan dunia ini. ada sesuatu yaitu ganjaran yang terbaik, yakni surga
disertai dengan tambahan yang amat besar melebihi surga itu.
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menjelaskan kata ziyãdah
dalam Q.S. Yünus [10]: 26, dipahami oleh Quraish Shihab dalam tiga
pengertian (menggabung pendapat-pendapat ulama):
Pertama, pandangan ke wajah Allah swt. berdasar dengan hadis yang
menyatakan bahwa Nabi saw. bersabda, “Apabila penghuni surga
telah masuk ke surga, Allah Yang Maha Suci berfirman, ‘Apakah kamu
menginginkan sesuatu yang Kutambahkan untuk kamu?’ Mereka
menjawab: ‘Bukankah Engkau telah menjadikan wajah kami berseri-
seri? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke surga dan
menyelamatkan kami dari neraka?’ Lalu dibukalah “ta`bir” sehingga
tidak ada satu anugerah pun yang lebih menyenangkan mereka
daripada “memandang” kepada Tuhan mereka Azza wa Jalla Yang
Maha Mulia lagi Maha Agung” (HR. Imam Muslim melalui Shuhaib).

Kedua, kata ziyãdah dalam arti ridha Ilahi, dengan merujuk kepada
firman-Nya QS. al-Taubah [9]: 72142:

141
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan
tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Yünus
[10]: 26).
142
Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan
(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih
besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (Q.S. al-Taubah [9]: 72).
86

šúüÏZÏB÷sßJø9$# ª!$# y‰tãur


“Ì•øgrB ;M»¨Zy_ ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur
ã•»yg÷RF{$# $ygÏGøtrB `ÏB
z`Å3»|¡tBur $pkŽÏù tûïÏ$Î#»yz
4 5bô‰tã ÏM»¨Zy_ †Îû Zpt6ÍhŠsÛ
4 çŽt9ò2r& «!$# šÆÏiB ×bºuqôÊÍ‘ur
ã—öqxÿø9$# uqèd y7Ï9ºsŒ
ÇÐËÈ ÞOŠÏàyèø9$#

Yakni ridha Allah swt. lebih besar dari surga yang dilukiskan ini.
Ketiga, kata ziyãdah dalam arti penambahan dan peligatgandaan ganjaran
kebaikan. Agaknya menggabung pendapat-pendapat di atas lebih bijaksana,
apalagi semua dapat dicakup oleh kata ziyadah.143
Ketika menafsirkan surat Yünus [10]: 26 itu, Muhammad Quraish
Shihab tidak menjelaskan apakah firman Allah itu dapat dijadikan argumen
tentang adanya atau tidak adanya kemungkinan orang beriman melihat
Allah di akhirat nanti seperti yang dikemukakan oleh para teolog Islam dari
aliran Mu`tazilah, Asy'ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah
Bukhara. Misalnya ayat ini dipahami oleh Asy'ari bahwa orang mukmin akan
mendapat tambahan nikmat di akhirat, yaitu melihat Tuhan yang
144
merupakan puncak nikmat di dalam surga. Sementara Zamahsyari
mewakili dari golongan Mu`tazilah menafsirkan kata ziyãdah dengan
tambahan karunia dari Allah.145 Abu Manéür al-Mãturîdi sependapat dengan
Asy'ariyyah, bahwa yang dimaksud dengan ziyãdah adalah melihat wajah
Allah swt. sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw.146

d. Di dalam surat al-Qiyãmah [75]: 22-23 menyatakan:

143
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 62.
144
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 63.
145
Zamahsari, Tafsîr al-Kasysyãf, h. 330.
146
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, h. 79.
87

ÇËËÈ îouŽÅÑ$¯R 7‹Í´tBöqtƒ ×nqã_ãr


:‫ )اﻟﻘ ﺎﻣﺔ‬ÇËÌÈ ×ot•Ïß$tR $pkÍh5u‘ 4’n<Î)
147
(23-22
Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Quraish Shihab
menjelaskan setelah ayat yang mengecam orang-orang yang meninggalkan
amalan-amalan yang mengantar kepada kebahagian ukhrawi, ayat di atas
menjelaskan bahwa: ada wajah-wajah pada hari akhirat itu yang berseri-
seri, yakni wajah orang-orang yang tidak lengah akan kehidupan akhirat dan
mempersiapkan diri menghadapinya. Kepada Tuhannya saja yakni Tuhan
pemilik wajah-wajah itu, mereka melihat.148
Dalam uraian selanjutnya, Muhammad Quraish Shihab mengatakan
bahwa didahulukannya kalimat (‫ )إﻟﻰ رﺑّ ﺎ‬ilã rabbihã / kepada Tuhannya,
bertujuan membatasi penglihatan itu hanya kepada Allah. Seakan-akan
mata mereka tidak melihat lagi kepada selain-Nya. Apa yang dilihatnya dari
aneka keindahan, dianggap bagaikan mereka tidak melihatnya.149
Dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab di atas, dapat
mengindikasikan bahwa Quraish Shihab sependapat dengan pemahaman
Asy'ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara yang
menyatakan bahwa kelak di akhirat Allah swt dapat dilihat dengan mata
kepala.
Karena menurut ulama beraliran Ahl al-Sunnah (Asy'ariyyah dan
Maturidiyyah), kata ( ‫ ) ﻧﺎﻇﺮة‬nãìirah dipahami dalam arti melihat dengan
mata kepala, walau dalam konteks ayat ini banyak di antara mereka
menggaris bawahi bahwa melihat yang dimaksud itu adalah dengan
pandangan khusus. Mereka berargumen dengan sebuah hadis sahih dari kitab
hadis Imam Bukhari melalui jalur Jarir Ibn 'Abdillah yang meriwayatkan

147
Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya (meraka) melihat.
(QS. al-Qiyãmah [75]: 22-23)
148
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 14, h. 637.
149
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 14, h. 637.
88

bahwa: suatu ketika Nabi saw duduk bersama-sama sahabat pada saat
bulan sedang purnama lalu bersabda: "Sesungguhnya kamu akan melihat
Tuhan kamu sebagaimana kamu melihat bulan purnama ini". Hadis ini juga
banyak diriwayatkan oleh periwayat lain.150
Hal ini senada dengan kaum Asy`ariyyah berpendapat bahwa Allah
akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti karena
setiap yang berwujud dapat dilihat, Allah mempunyai wujud, maka Allah
dapat dilihat. 151 Dari segi akal, menurut Asy`ariyyah, tidak ada halangan
bagi kemungkinan manusia untuk melihat Allah nanti di akhirat, karena yang
demikian itu tidaklah akan membawa kepada keyakinan bahwa Allah akan
menjadi baru atau serupa dengan yang baru.152
Menurut Asy`ari dalam bahasa arab lafal al-naìr yang merupakan asal
dari lafal naìirah itu bisa berarti i`tibãr (pelajaran), intiìãr (menunggu),
ta`attaf (melihat dengan iba), ru`yah (melihat). Melihat Allah yang
dinyatakan dengan kata naìirah, dalam ayat di atas, maksudnya benar-
benar melihat dengan mata kepala, bukan dengan makna yang lain.153
Kata nãìirah dalam ayat ini tak bisa berarti tafkîr (memikirkan) dan
i`tibãr (pelajaran), karena mustahil di akhirat nanti dijadikan i`tibar
mengingat akhirat bukan tempat untuk mengambil i`tibãr. Juga tidak bisa
berarti melihat dengan rasa iba, karena tidak mungkin makhluk melihat
Khaliknya dengan rasa iba. Juga kata naìar tidak dapat diberi makna intiìãr
(menunggu), karena pekerjaan menunggu tidak ada di surga. 154 Kemudian
Asy`ari menambahkan, dikatakan demikian, karena menunggu adalah
pekerjaan yang menimbulkan rasa cemas dan gelisah pada orang yang

150
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 14, h. 637.
151
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, (Beirut:
Maktabat Dãr al-Bayãn, 1999), cet. ke-4, h. 66.
152
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Luma` h. 32-33.
153
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 58.
154
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 59-60.
89

melakukannya, padahal keadaan para penghuni surga jauh dari rasa cemas
dan gelisah. Sebaliknya, keadaan mereka selalu dipenuhi kesenangan dan
kegembiraan. Bahkan, setiap kali muncul keinginan pada mereka untuk
menikmati sesuatu, keinginan itu segera terpenuhi, tanpa harus
menunggunya terlebih dahulu. Dengan demikian, kata nazhirah pada ayat di
atas hanya bisa diartikan dengan melihat. Apalagi kata Nãìirah itu dikaitkan
dengan kata “wujüh” maka maknanya adalah melihat dengan dua mata
yang terletak pada wajah.155
Abdul Jabbãr menolak argumentasi al-Asy`ari yang menyatakan
bahwa perbuatan menunggu adalah perbuatan yang mencemaskan. Kata
Abdul Jabbãr, tidak semua yang dikatakan menunggu itu mencemaskan.
Kalau yang ditunggu adalah sesuatu yang tidak pasti, apalagi yang tidak
disukai, memang orang yang menunggunya akan merasa cemas. Tetapi,
kalau yang ditunggu itu adalah sesuatu yang pasti disenangi, orang yang
menunggunya akan merasa senang. 156 Atau dengan kata lain, begitu juga
perasaan yang akan dialami oleh para penghuni surga di akhirat nanti ketika
mereka menunggu nikmat yang akan dianugerahkan Allah kepada mereka.
Bahkan, perasaan mereka jauh melebihi kesenangan yang pernah dirasakan
sewaktu mereka masih di dunia.157
Maturidiyyah Bukhara juga sependapat dengan Asy`ariyyah bahwa
Allah dapat dilihat dengan kasat mata di akhirat nanti. 158 Harun Nasution
mengutip dari al-Bazdawi bahwa Allah dapat dilihat, walaupun tidak
mempunyai bentuk, tidak mengambil tempat dan tak terbatas.159
Maturidiyyah Samarkand sependapat dengan Asy`ariyyah dan

155
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 59-60.
156
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 245.
157
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 245.
158
Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB
PRESS, 2001), h. 136.
159
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 140.
90

Maturidiyyah Bukhara dalam hal Allah dapat dilihat dengan kasat mata di
akhirat. Abu Manéür al-Mãturîdi menyatakan bahwa melihat Allah itu
merupakan hal yang benar, tetapi tidak bisa dijelaskan bagaimana
caranya,160 karena hal itu merupakan bagian dari situasi hari kiamat yang
cara dan keadaannya hanya diketahui oleh Allah sendiri.161
Ayat 22-23 surat al-Qiyãmah dipahami oleh al-Mãturîdi, bahwa
wajah-wajah bukan menunggu, tetapi melihat dengan mata kepala kepada
Allah. Pendapat itu berdasarkan argumen-argumen berikut:
a. Akhirat bukanlah waktu menunggu. Waktu menunggu adalah di dunia,
tempat terjadi dan adanya peristiwa.
b. Akhirat tempat untuk menerima balasan.
c. Huruf jar ila bila dihubungkan dengan kata al-naìr bukan artinya
menunggu, tetapi melihat atau memandang.
d. Melihat kepada yang indah merupakan kenikmatan yang besar, tetapi
jika hanya menunggu bukan merupakan nikmat yang besar. Oleh karena
itu, arti ayat tersebut mestilah melihat Allah dengan mata kepala
sendiri.162

Namun demikian, pendapat Muhammad Quraish ini berbeda dengan


pendapat dari aliran Mu'tazilah, karena ayat ini diartikan oleh mereka
dengan menunggu atau menanti rahmat dan nikmat Allah.163 Menurut aliran
ini, Allah swt. tidak dapat dilihat baik di dunia maupun di akhirat. Karena
kata naìirah tidak dapat disinonimkan dengan al-ru`yah (melihat) sebab
orang-orang Arab tidak menggunakan lafal itu dengan arti melihat, tetapi

160
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, h.
77. Lihat juga Abdul Aziz Dahlan, Teologi Islam dan Akidah dalam Islam, (Padang: IAIN IB
PRESS, 2001), h. 133.
161
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maìãhib al-Islãmiyyah, vol. I, h. 208.
162
Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, h.
79.
163
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 244.
91

dengan arti yang lain. Misalnya, ‫( ﻧﻈﺮت اﻟ ﻼل ﻓﻠﻢ أره‬aku menunggu / menanti
bulan, tetapi tidak melihatnya). Di samping itu, mereka juga telah
menggunakan kata ru`yah untuk arti kesudahan dari al-naìr (memandang).
Misalnya, mereka mengatakan, “ ‫ “ ﻧﻈﺮت ﺣﺘﻰ رأ ﺖ‬yang berarti aku
memandang hingga aku melihat. Kalau al-naìr dan al-ru`yah itu sinonim dan
sama-sama berarti melihat, tentu arti ucapan mereka itu menjadi “aku
melihat hingga aku melihat”. Kalimat yang seperti itu bukanlah kalimat
yang efektif, melainkan kalimah mubazir karena apa yang telah disebutkan
sebelumnya, disebutkan lagi dalam kalimat yang sama.164

3. Kalam Allah (Al-Qur`an)


Pembicaraan para teolog Islam di sekitar persoalan kalam Allah atau
al-Qur`an telah melahirkan beberapa pendapat. Kaum Asy'ariyyah
berpendapat bahwa al-Qur`an itu qadim, bertolak dari pemikiran bahwa al-
Qur`an itu adalah kalam Allah. Oleh karena kalam Allah merupakan sifat-
Nya, sementara sifat-Nya qadim, maka al-Qur`an mestilah qadim, tidak
diciptakan. Asy'ari sendiri berpegang teguh pada pernyataan bahwa al-
Qur`an bukan makhluk. Sebab, segala sesuatu, menurutnya, baru tercipta
setelah Allah berfirman kun (jadilah), maka segala sesuatu itu terjadi
(fayakun). Kalau al-Qur`an itu makhluk, maka ia juga menjadi obyek firman
165
Allah kun fayakün.
Ayat-ayat al-Qur`an yang dirujuk oleh al-Asy'ari untuk mendukung
pendapatnya bahwa al-Qur`an adalah qadim dan bukan makhluk antara lain
surat surat al-A`rãf [7]: 54, al-Naèl [16]: 40, al-Kahfi [18]: 109 dan al-
Raèmãn [55]: 1-3:166

164
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 242-243.
165
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 73. lihat
juga Al-Qadhi Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 531.
166
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãri, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 72-77.
92

3 â•öDF{$#ur ß,ù=sƒø:$# ã&s! Ÿwr& 3


167
(54 :‫ )اﻻﻋﺮاف‬ÇÎÍÈ
!#sŒÎ) >äóÓy´Ï9 $uZä9öqs% $yJ¯RÎ)
`ä. ¼çms9 tAqà)¯R br& çm»tR÷Šu‘r&
168
(40 :‫ )اﻟﻨﺤﻞ‬ÇÍÉÈ ãbqä3uŠsù
ã•óst7ø9$# tb%x. öq©9 @è%
’În1u‘ ÏM»yJÎ=s3Ïj9 #YŠ#y‰ÏB
br& Ÿ@ö7s% ã•óst6ø9$# y‰ÏÿuZs9
öqs9ur ’În1u‘ àM»yJÎ=x. y‰xÿZs?
#YŠy‰tB ¾Ï&Î#÷WÏJÎ/ $uZ÷¥Å_
169
(109 :‫ )اﻟﻜ ﻒ‬ÇÊÉÒÈ
zN¯=tæ ÇÊÈ ß`»oH÷q§•9$#
šYn=y{ ÇËÈ tb#uäö•à)ø9$#
170
(3-1 :‫ )اﻟﺮﺣﻤﻦ‬ÇÌÈ z`»|¡SM}$#
Menurut al-Asy'ari surat al-A`rãf [7]: 54 di atas, apa saja yang Dia
ciptakan, termasuk dalam wewenang penciptaan-Nya, sebab sebuah kalimat
yang lafaznya `am (umum), maka makna hakikatnya juga `am. Kita tidak
boleh melenyapkan makna hakikinya tanpa argumen. Oleh karena Allah swt.
berfirman: “Hanya bagi Allah hak memerintah”, maka hal itu telah
mencakup seluruh makhluk, sedangkan dalam firman-Nya: “Dan
memerintah”, Dia menyebutkan hal yang bukan makhluk. Hal ini
menunjukkan bahwa perintah Allah itu bukan makhluk.171
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah [2]: 98:
°! #xr߉tã tb%x. `tB
¾Ï&Î#ß™â‘ur ¾ÏmÏGx6Í´¯»n=tBur
172
(98 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬ÇÒÑÈ Ÿ@8s3‹ÏBur Ÿ@ƒÎŽö9Å_ur
167
Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. (Q.S. al-A`rãf [7]:
54).
168
Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya,
Kami hanya mengatakan kepadanya: Kun (jadilah), maka jadilah ia. (Q.S. al-Naèl [16]: 40)
169
Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku,
meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (Q.S. al-Kahfi [18]: 109).
170
Tuhan Yang Maha pemurah,Yang telah mengajarkan al-Quran. Dia menciptakan
manusia. (Q.S. al-Raèmãn [55]: 1-3).
171
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 92.
172
Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya,
93

Berbeda dengan ayat sebelumnya, dalam ayat ini terdapat


pengkhususan. Pada ayat ini Allah menyebutkan diri-Nya, para malaikat-
Nya, kemudian secara khusus menyebutkan Jibril dan Mikail, padahal
keduanya adalah malaikat. Sementara, dalam firman-Nya: “Hanya bagi
Allah hak menciptakan dan memerintah” tidak terdapat takhsis
(pengkhususan). Maka, ayat tersebut mencakup seluruh makhluk (ciptaan-
Nya). Posisi “al-amru” (memerintah) berbeda dengan “al-khalqu”
(menciptakan). Amrullah (perintah Allah) adalah kalam-Nya. Hal ini
mengantarkan pada kesimpulan bahwa kalam Allah bukan makhluk. Hal ini
juga diisyaratkan dalam surat al-Rüm [30]: 4:
.`ÏBur ã@ö6s% `ÏB ã•øBF{$# ¬! 3
173
(4 :‫ )اﻟﺮوم‬ÇÍÈ 4 ߉÷èt/
Maksud ayat ini adalah “sebelum Dia menciptakan makhluk dan
sesudahnya”. Ayat ini menunjukkan bahwa “al-amru” bukan makhluk. Lebih
jelasnya dalam surat al-A’rãf [7]: 54 di atas kata al-khalq (mencipta) dan
al-amru (memerintah) dipisah dengan wau `athaf (penghubung) yang
beranti dan. Pemisahan kedua kata itu memberikan pengeritan kepada kita
bahwa mencipta dan memerintah itu tidak sama. Dengan demikian,
perintah, firman atau kalam Allah bukan makhluk.174
Kemudian al-Asy'ari menjelaskan surat al-Naèl [16]: 40 bahwa Allah
telah menciptakan sesuatu dengan firman-Nya “kun” (jadilah). Jika kalam
Allah itu makhluk, kata kun tentu baru, sebab kata tersebut tidak akan
terwujud kalau tidak didahului oleh kata kun yang lain. Kata kun yang lain
pun tidak akan terwujud, kecuali jika didahului oleh kata kun yang lain lagi.
Begitulah seterusnya, tanpa henti-hentinya. Dengan demikian, kata-kata
kun yang tasalsul (berantai, tanpa kesudahan) akan terjadi. Oleh karena

Jibril dan Mikail. (QS. al-Baqarah [2]: 98)


173
Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah. (Q.S. al-Rüm [30]: 4).
174
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 72.
94

kata-kata kun yang terus menerus itu mustahil terjadi, berarti kalam Allah
itu bukan makhluk. 175 Di samping itu, kata al-Asy'ari kalau al-Qur`an itu
dikatakan makhluk, asma (nama-nama) Allah yang terdapat didalamnya juga
makhluk. Kalau nama-nama Allah makhluk, sifat kemahaesaan-Nya juga
makhluk. Padahal, yang demikian itu mustahil terjadi.176
Ayat 109 surat al-Kahfi dipahami oleh al-Asy'ari bahwa sekalipun
semua lautan dijadikan tinta untuk menuliskan kalimat-kalimat Allah,
niscaya semua air laut tersebut akan habis, sementara kalimat Allah tidak
akan habis tertulis, sebagaimana tidak habis-habisnya ilmu Allah. Karena
bila kalimat-kalimat Allah itu habis ditulis berarti kalam Allah akan habis,
Allah akan diam, dan ini adalah mustahil.177
Selanjutnya, al-Asy'ari mengatakan bahwa surat al-Raèmãn [55]: 1-3
di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa 'allama (mengajarkan)
dan khalaqa (menciptakan) tidak sama. Dengan demikian, al-Qur`an itu
bukan makhluk sebab jika makhluk, firman Allah tersebut tidak lagi, “al-
Raèmãn `allama al-Qur`ãn wa khalaqa al-insãn”, tetapi, “ al-Raèmãn
khalaqa al-Qur`ãn wa khalaqa al-insãn”.178
Kaum Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand sependapat
dengan Asy'ariyyah bahwa kalam Allah bukan makhluk. Mereka berpendapat
demikian karena kalam adalah sifat yang ada pada zat Allah dan dengan
sifat itulah Allah berbicara sesuai dengan kehendak dan kekuasaan-Nya.
Oleh karena sifat yang ada pada zat Allah itu bukan makhluk, kalam Allah
itupun bukan makhluk yang terpisah dari zat-Nya.179
Kalam Allah, menurut Maturidiyyah Samarkand adalah makna yang

175
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 73-74.
176
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 86.
177
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah, h. 86.
178
Abu Èasan `Ali Ibn Ismã’îl al-Asy`ãrî, al-Ibãnat 'an Uéül al-Diyãnah , h. 85.
179
Al-Thiyyib bin `Umar al-Jakni, Al-Aqîdah al-Salãfiyyah wa Radd `ala al-
Munharifîn minhã, (Beirut: al-Maktab al-Islãmi, 1999), h. 98.
95

berdiri di atas zat Allah, kalam merupakan salah satu sifat yang menyatu
dengan zat-Nya, ia kekal bersama kekal-Nya zat yang Maha Tinggi, tidak
tersusun dari huruf-huruf dan kalimat-kalimat.180 Karena huruf dan kalimat
adalah diciptakan dan tidak berdiri sendiri di atas zat Tuhan yang wajib
wujud. Sedangkan al-Qur`an yang terdiri dari huruf-huruf dan kalimat-
kalimat yang bisa dibaca adalah baru dan sebagai tanda atas makna abstrak
yang qadim tersebut.
Menurut Maturidiyyah Bukhara, sebagaiman yang dijelaskan oleh al-
Bazdawi, kalam Allah (al-Qur`an) adalah sesuatu yang berdiri sendiri di
atas zat-Nya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk huruf, kalimat dan
surat bukanlah kalam Allah secara hakiki, tetapi dinamakan al-Qur`an atau
kitabullah. Adapun penamaannya dengan kalam Allah adalah dalam arti
kiasan, karena ia sebagai tanda atas adanya kalam nafsi.181 Jadi al-Bazdawi
lebih cenderung menggunakan istilah kalam Allah pada makna abstrak yang
berdiri atas zat Allah yang tidak berhuruf dan bersuara, sedangkan kalam
yang terdiri dari huruf dan suara yang bisa dibaca dinamakannya al-Qur`an
atau kitabullah.
Sedangkan aliran Mu`tazilah mengatakan bahwa kalam Allah
bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian al-Qur`an
bukanlah bersifat kekal, tetapi bersifat baru dan diciptakan Tuhan. Al-
Qur`an juga tersusun dari bagian-bagian berupa huruf-huruf, kata-kata,
ayat-ayat dan surat-surat, huruf yang satu mendahului yang lain, ayat yang
satu mendahului ayat yang lain dan surat yang satu mendahului yang lain.
Seperti huruf hamzah dalam kalimat al-hamdulillah, mendahului huruf lam
dan huruf lam mendahului huruf ha. Adanya pada sesuatu, sifat terdahulu

180
Muèammad Abu Zahrah, Maíahib al-Islãmiyyah, (Maéri: Matba`at al-
Namüíajiyyah, t.th), vol 1. h. 207.
181
Abu Yusr Muèammad Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss,
(Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 61.
96

dan sifat datang kemudian, membuat sesuatu itu tidak bersifat qadim, yaitu
tak bermula, karena qadim tak didahului oleh apapun.182 Untuk memperkuat
pendapatnya tersebut, Mu`tazilah juga merujuk kepada beberapa ayat,
yaitu surat al-Hijr [15]: 9, Hüd [11]: 1, al-Zumar [39]: 23:
t•ø.Ïe%!$# $uZø9¨“tR ß`øtwU $¯RÎ)
:‫ )اﻟﺤﺠﺮ‬ÇÒÈ tbqÝàÏÿ»ptm: ¼çms9 $¯RÎ)ur
183
(9
ôMyJÅ3ômé& ë=»tGÏ. 4 •!9#
`ÏB ôMn=Å_Áèù §NèO ¼çmçG»tƒ#uä
184
(1 :‫ﻮد‬ª) ÇÊÈ AŽ•Î7yz AOŠÅ3ym ÷bà$©!
Ï]ƒÏ‰ptø:$# z`|¡ômr& tA¨“tR ª!$#
u’ÎT$sW¨B $YgÎ6»t±tF•B $Y6»tGÏ.
185
(23 :‫” )اﻟﺰﻣﺮ‬ÇËÌÈ
Adapun dalam memberikan interpretasi pada surat al-Èijr [15]: 9,
menurut Abdul Jabbãr ayat ini menunjukkan deklarasi Allah, bahwa Allah-
lah yang menurunkan al-Qur`an. Menurunkan berarti memindahkan dari
satu tempat ketempat yang lain yang lebih rendah. Oleh karena setiap yang
berpindah-pindah itu baru, berarti al-Qur`an juga adalah baru atau
makhluk. Apa lagi ayat ini dilanjutkan dengan pernyataan Tuhan wa innã
lahu lahãfiìün (dan sesungguhnya Kami benar-benar baginya adalah para
Pemelihara), berarti al-Qur`an itu baru. Sebab bila al-Qur`an itu qadim
tentulah kitab suci itu tidak memerlukan pemeliharaan. 186Pada surat Hüd
[11]: 1, Allah menjelaskan bahwa al-Qur`an itu terdiri dari ayat-ayat yang
tersusun dengan rapi. Oleh karena setiap yang berbagi dan tersusun rapi itu

182
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 531.
183
Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-
benar baginya adalah para Pemelihara (QS. al-Hijr [15]: 9).
184
Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayat-Nya disusun dengan rapi serta
dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi
Maha tahu (QS. Hüd [11]: 1).
185
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang serupa
(mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang (QS. al-Zumar [39]: 23)
186
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 532. Lihat juga Muèammad
Yüsuf Müsã, al-Qur`an wa al-Falsafah, (Kairo: Dar al-Maarif, 1996), h. 90.
97

baru dan makhluk, al-Qur`an itupun adalah baru dan makhluk tidak bersifat
kekal dalam arti qadîm.187 Pada surat al-Zumar [39]: 23, Allah menjelaskan
bahwa al-Qur`an merupakan sebaik-baik berita, dan juga dikatakan sebagai
kitab yang tertulis, serupa sebagiannya dengan sebagian yang lain dari segi
i`jãz dan dalãlahnya, serta diulang-ulang. Sifat-sifat tersebut merupakan
sifat baru tidak bersifat kekal.188
Ayat- ayat yang dijadikan dasar oleh aliran Asy`ariyyah dan
Mu`tazilah dalam mempertahankan pendapat mereka, ternyata tidak
dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab sebagaimana yang dipahami
mereka.
Ayat 54 surat al-A’rãf yang dijadikan dasar oleh Asy`ari bahwa
“hanya bagi Allah hak memerintah”, maka hal itu telah mencakup seluruh
makhluk, sedangkan dalam firman-Nya: “dan memerintah”, Dia
menyebutkan hal yang bukan makhluk. Hal ini menunjukkan bahwa perintah
Allah itu bukan makhluk. Ini mengandung arti bahwa perintah Tuhan
bukanlah ciptaan Tuhan, dan karena bukan ciptaan berarti al-Qur`an qadim
(kekal), tidak dijelaskan oleh Muhammad Quraish Shihab seperti itu.
Menurut Muhammad Quraish Shihab surat al-A’rãf [7]: 54: ‫أﻻ ﻟ اﻟﺨﻠﻖ و‬
‫( اﻻﻣﺮ ﷲ‬Ingatlah! Menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah) di atas
menjelaskan bahwa Allah yang menundukkan semua isi alam raya untuk
dimanfaatkan manusia. Jika demikian, bukan manusia yang
menundukkannya, dan dengan demikian, manusia tidak boleh merasa
angkuh terhadap alam, tetapi hendaknya bersahabat dengannya sambil
mensyukuri Allah dengan jalan mengikuti semua tuntunan-Nya, baik yang
berkaitan dengan alam raya, maupun diri manusia sendiri. Karena itu, Islam
tidak mengenal istilah penundukan alam, apalagi istilah tersebut memberi

187
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 532.
188
Al-Qãçi ‘Abdul Jabbãr , Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 532.
98

kesan permusuhan dan penindasan. 189 Setelah itu M. Quraish Shihab tidak
lagi menganalisis pemisahan kata al-khalqu dan al-amru dengan hurup wau,
baik seperti yang dilakukan oleh al-Asy'ariyyah maupun Mu`tazilah.
Selanjutnya surat al-Naèl [16]: 40 yang dijadikan argumen oleh
Asy`ari bahwa al-Qur`an adalah qadîm (kekal), sebab segala sesuatu
tercipta dengan kata “kun”. Kalau kalam Allah tidak qadim tentu kata
“kun” ini memerlukan kata “kun” yang lain. Begitulah seterusnya sehingga
terjadi rentetan kata “kun” tanpa henti-hentinya. Dengan demikian, kata-
kata kun yang tasalsul (berantai, tanpa kesudahan) akan terjadi. Oleh
karena kata-kata kun yang terus menerus itu mustahil terjadi, berarti kalam
Allah itu bukan makhluk.
Ayat ini tidak juga dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab seperti
itu. Menurut Muhammad Quraish Shihab maksud ayat ini adalah bahwa
kuasa Allah dan betapa mudahnya kebangkitan setelah kematian dan lain-
lain yang dikehendaki-Nya terlaksana. Betapa tidak, padahal sesungguhnya
perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami
hanya mengatakan kepadanya: Kun (jadilah), maka jadilah ia.190
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, kata ( ‫ ) ﻛﻦ‬kun / jadilah
dalam ayat ini digunakan untuk menggambarkan betapa mudah Allah swt.
menciptakan dan mewujudkan sesuatu dan betapa cepat terciptanya
sesuatu bila Dia kehendaki. Cepat dan mudahnya itu, diibaratkan dengan
mengucapkannya, karena Dia tidak memerlukan suatu apa pun untuk
mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya.191 Lebih lanjut Muhammad Quraish
Shihab menjelaskan, bahwa kata kun hanya melukiskan kepada manusia
betapa Allah tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya
dan betapa cepat sesuatu dapat Dia wujudkan, sama bahkan lebih cepat –

189
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 5, h. 121.
190
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 228.
191
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 228.
99

jika Dia menghendaki – dari masa yang digunakan manusia mengucapkan


kata kun.192
Surat al-Kahfi [18]: 109 yang juga dijadikan dalil oleh Asy`ariyyah
untuk menunjukkan al-Qur`an qadîm, juga tidak dipahami oleh Muhammad
Quraish Shihab seperti itu. Tetapi dalam penjelasannya terhadap surat al-
Kahfi [18]: 109, Muhammad Quraish Shihab mengatakan bahwa setelah
selesainya jawaban semua pertanyaan yang diajukan kaum musyrikin, maka
boleh jadi ada yang berkata, “Mengapa terdapat sekian hal yang tidak
diuraikan-Nya?” 193 Oleh sebab itu, lanjut Muhammad Quraish Shihab, ayat
ini menjawab bahwa jawaban yang diberikan hanyalah yang dapat menjadi
pelajaran buat manusia. Kalau segala sesuatu – yang kecil dan besat – akan
dikemukakan, maka itu akan sangat panjang dan tidak sesuai dengan
kemaslahatan manusia. Betapa tidak akan panjang, padahal ilmu Allah
meliputi segala sesuatu, kecil dan besar, lahir dan batin. Katakanlah wahai
Nabi Muhammad kepada kaum musyrikin itu, “ Kalau sekiranya air laut
menjadi tinta untuk menulis kalimat-kalimat Tuhanku, maka aku
bersumpah sungguh habislah laut itu sebelum habis ditulis kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula laut untuk
menulisnya, kalimat-kalimat itu pun tidak akan habis”.194
Ayat 1-3 surat al-Raèmãn yang juga dijadikan dalil oleh Asy`ariyyah
untuk menunjukkan al-Qur`an adalah qadim, juga tidak juga dipahami oleh
Muhammad Quraish Shihab seperti itu. Tetapi Muhammad Quraish Shihab
mengatakan bahwa setelah menyebut rahmat-Nya secara umum, disebutkan
rahmat dan nikmat-Nya dari sifat-Nya kepada hamba-hamba-Nya agar

192
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 228.
193
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 140.
194
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 8, h. 140.
100

mereka meneladani-Nya dengan mengatakan: Dialah yang telah


195
mengajarkan al-Qur`an kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa objek
dari kata (‫' )ﻋﻠّﻢ‬allama pada surat al-Raèmãn tersebut bisa jadi bukan
hanya manusia semata, menurutnya, patron kata (‫` )ﻋﻠّﻢ‬allama/mengajarkan
memerlukan dua objek. Ada yang mengatakan bahwa objeknya adalah kata
(‫ )اﻻﻧﺴﺎن‬al-insãn/manusia yang diisyaratkan oleh ayat berikut. Ëabãthabã`i
menambahkan bahwa jin juga termasuk, karena surat ini ditujukan kepada
manusia dan jin.196 Oleh sebab itulah, demikian Muhammad Quraish Shihab,
bisa saja objeknya mencakup selain kedua jenis tersebut. Malaikat Jibril
yang menerima dari Allah wahyu-wahyu al-Qur`an untuk disampaikan
kepada Rasul saw., termasuk juga yang diajar-Nya, karena bagaimana
mungkin malaikat itu dapat menyampaikan – bahkan mengajarkannya
kepada Nabi Muhammad saw. 197 sebagaimana dinyatakan dalam Q.S. an-
Najm [53]: 5.198
Bagaimana mungkin malaikat Jibril mampu mengajarkan firman Allah
itu kepada Nabi Muhammad saw. kalau malaikat itu sendiri tidak
memperoleh pengajaran dari Allah swt. Di sisi lain, tidak disebutkannya
objek kedua dari kata tersebut, mengisyaratkan bahwa ia bersifat umum
dan mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau oleh pengajaran-Nya.199
Al-Qur`an adalah firman-firman Allah yang disampaikan oleh
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan lafal dan maknanya
yang beribadah siapa yang membacanya, dan menjadi bukti kebenaran
mukjizat Nabi Muhammad saw. Kata (‫ )اﻟﻘﺮأن‬al-Qur`an dapat dipahami

195
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 493.
196
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 494.
197
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 494.
198
3“uqà)ø9$# ‰ƒÏ‰x© ¼çmuH©>tã (Yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat).
199
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 494.
101

sebagai keseluruhan ayat-ayatnya yang enam ribu lebih itu, dan dapat juga
digunakan untuk menunjuk walau satu ayat saja atau bagian dari satu
ayat. 200 Allah al-Raèmãn yang mengajarkan al-Qur`an itu Dialah yang
menciptakan manusia makhluk yang paling membutuhkan tuntunan-Nya,
sekaligus yang paling berpotensi memanfaatkan tuntunan itu dan
mengajarnya ekpresi yakni kemampuan menjelaskan apa yang ada dalam
benaknya, dengan berbagai cara utamanya adalah bercakap dengan baik
dan benar.201
Muhammad Quraish Shihab menambahkan penjelasannya di atas
dengan artikulasi yang logis dan sangat gamblang, menurutnya:
Kita tidak perlu menyatakan bahwa pengajaran Allah melalui ilham-
Nya itu adalah pengajaran bahasa. Ia adalah penciptaan potensi pada
diri manusia dengan jalan menjadikannya tidak dapat hidup sendiri,
atau dengan kata lain menciptakannya sebagai makhluk sosial. Itulah
yang mendorong manusia untuk saling berhubungan, dan ini pada
gilirannya melahirkan aneka suara yang disepakati bersama maknanya
oleh satu komunitas, dan aneka suara itulah yang merupakan bahasa
mereka. Memang kata (‫' )ﻋﻠّﻢ‬allama / mengajar tidak selalu dalam
bentuk mendiktekan sesuatu atau menyampaikan suatu kata juga ide,
tetapi dapat juga dalam arti mengasah potensi yang dimiliki peserta
didik sehingga pada akhirnya potensi itu terasah dan dapat
melahirkan aneka pengetahuan.202

Sebaliknya, ayat-ayat al-Qur`an yang dijadikan oleh Mu`tazilah untuk


mendukung pendapat mereka bahwa al-Qur`an itu makhluk (diciptakan)
bertolak dari pandangan bahwa al-Qur`an tersusun dari kata-kata. Sebagai
susunan kata-kata ia adalah diciptakan dan tidak kekal. Juga tidak dipahami
oleh Muhammad Quraish Shihab sebagaimana yang dipahami oleh mereka.
Sebagaimana sikapnya dalam menanggapi ayat-ayat yang telah
dijadikan dasar argumen Asy'ariyyah, Muhammad Quraish Shihab juga tidak

200
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 496.
201
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 496.
202
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 13, h. 496.
102

pernah menyebut ayat-ayat yang menjadi dasar argumen Mu`tazilah


menjadi argumennya untuk membuktikan bahwa al-Qur`an itu makhluk.
Surat al-Èijr [15]: 9 yang dipahami oleh Mu`tazilah bahwa al-Qur`an
dipelihara oleh Tuhan, setiap yang memerlukan pemeliharaan berarti baru,
bukan qadim. Ayat di atas tidak dijelaskan oleh Muhammad Quraish Shihab
seperti itu, tetapi sebagai bantahan atas ucapan orang-orang kafir yang
meragukan sumber datangnya al-Qur`an. Karena itu ia dikuatkan dengan
kata sesungguhnya dengan menggunakan kata Kami, yakni Allah swt. yang
memerintahkan malaikat Jibril as. Sehingga dengan demikian Kami
menurunkan al-Íikr, yakni al-Qur`an yang kamu ragukan itu, dan
sesungguhnya Kami juga bersama semua kaum muslimin benar-benar
baginya, yakni bagi al-Qur`an adalah yang akan menjadi para Pemelihara
otentisitas dan kekekalannya.203
Ayat ini dapat merupakan dorongan kepada orang-orang kafir untuk
mempercayai al-Qur`an sekaligus memutus harapan mereka untuk dapat
mempertahankan keyakinan sesat mereka. Betapa tidak, al-Qur`an dan
nilai-nilainya tidak akan punah tetapi akan bertahan. Itu berarti bahwa
kepercayaan yang bertentangann dengannya, pada akhirnya – cepat atau
lambat- pasti akan dikalahkan oleh ajaran al-Qur`an. Dengan demikian,
tidak ada gunanya mereka memeranginya dan tidak berguna pula
mempertahankan kesesatan mereka.204
Kemudian Muhammad Quraish Shihab menambahkan bahwa bentuk
jamak yang digunakan ayat ini yang menunjuk Allah swt., baik pada kata (
‫ﻧﺰّﻟﻨﺎ‬ ‫ﻧﺤﻦ‬ ) naènu nazzalnã/Kami menurunkan maupun dalam hal
pemeliharaan al-Qur`an, mengisyaratkan adanya keterlibatan selain Allah

203
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 95.
204
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 95.
103

swt., yakni malaikat Jibril as., dalam menurunkannya dan kaum muslimin
dalam pemeliharaannya.205
Kaum muslimin juga ikut memelihara otentistas al-Qur`an dengan
banyak cara. Baik dengan menghafalnya, menulis dan membukukannya,
merekamnya dalam berbagai alat seperti piringan hitam, kaset, CD dan lain-
lain. Ini di samping memelihara makna-makna yang dikandungnya. Karena
itu bila ada yang salah dalam menafsirkan maknanya – kesalahan yang tidak
dapat ditoleransi – atau keliru dalam membacanya, maka akan tampil sekian
banyak orang yang meluruskan kesalahan dan kekeliruan itu. Apa yang
dilakukan manusia itu, tidak terlepas dari taufik dan bantuan Allah swt.
guna pemeliharaan kitab suci umat Islam itu.
Sejak dahulu hingga kini-bahkan anak-anak sebelum dewasa-telah
mampu menghapal keseluruhan ayat-ayat al-Qur`an, bahkan sekian banyak
di antara mereka yang menghapalnya adalah orang-orang yang tidak
memahami artinya. Bahkan tidak jarang mereka yang berhasil meraih juara
dalam musabaqah-musabaqah tilawatil Qur`an pada tingkat internasional
adalah pemuda-pemuda yang bahasa ibunya bukan bahasa al-Qur`an .
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menulis:
Dari hari ke hari bertambah jelas bukti-bukti kebenaran janji
tersebut, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
digunakan dalam pemeliharaannya. Dahulu ketika turunnya ayat ini,
pernyataan tersebut baru merupakan janji sebagaiman dipahami dari
bentuk kata ( ‫ ) ﻟﺤﺎﻓﻈﻮن‬laèãfiìün, tetapi kini setelah berlalu lebih dari
seribu lima ratus tahun, janji itu telah menjadi kenyataan walaupun
sekian banyak upaya yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam untuk
mengubah atau menghapusnya, dan walaupun upaya tersebut
dilaksanakan pada masa-masa umat Islam dalam keadaan lemah dan
dijajah. Orang-orang Yahudi yang memiliki pengalaman dan keahlian
dalam mengubah dan memalsukan kitab suci, kendati berhasil
memalsukan ribuan hadis-hadis Nabi Muhammad saw., serta
memutarbalikkan sejarah Islam, tetapi sedikit pun mereka tidak

205
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 95.
104

berhasil melakukan perubahan terhadap al-Qur`an. Ini semua adalah


bukti kebenaran janji Allh swt. itu.206

Surat Hüd [11]: 1 yang juga dijadikan dalil oleh Mu`tazilah bahwa al-
Qur`an itu baru, karena keadaan al-Qur`an yang tersusun dari hurup-hurup
serta terkumpul dalam tulisan tidak bisa dikatakan qadîm. Tidak pula
dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab, firman-Nya: Alif, Lãm, Rã. Inilah
yang terdiri dari huruf-huruf semacam huruf-huruf itu, yang menghasilkan
suatu kitab yang agung tuntunannya dan yang ayat-ayatnya disusun dengan
rapi oleh Allah swt. sendiri tanpa campur tangan makhluk, kemudian
setelah keistimewaannya yang demikian agung dalam kedudukannya sebagai
207
satu kitab yang utuh, lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, bahwa ia bertambah istimewa lagi karena ayat-ayatnya
dijelaskan secara terperinci juga oleh Allah swt. dan oleh Rasul-Nya yang
sejak semula diturunkan dari sisi Allah yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu kepadamu, wahai Muhammad.208
Muhammad Quraish Shihab tidak menyebut ayat ini yang dijadikan
dalil oleh Mu`tazilah menjadi argumennya untuk membuktikan bahwa al-
Qur`an itu makhluk. Ayat 23 surat al-Zumar menurut pemahaman
Mu`tazilah menunjukkan sifat-sifat al-Qur`an yang baru tidak kekal, tidak
pula dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab seperti itu. Ayat di atas
menurut Muhammad Quraish Shihab menjelaskan tentang al-Qur`an serta
dampaknya terhadap mereka yang terbuka hatinya.
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menambahkan bahwa: Allah
telah menurunkan secara bertahap sedikit demi sedikit perkataan yang
paling baik yaitu firman-firman-Nya yang terhimpun dalam kitab agung
yakhi al-Qur`an yang serupa mutu ayat-ayatnya. Kesemuanya mencapai

206
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 7, h. 97.
207
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 181.
208
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 6, h. 181.
105

puncak kesempurnaan lagi berulang-ulang serta beraneka ragam


209
keterangan-keterangan yang dipaparkannya. Atau dengan kata lain,
kendati ia berulang-ulang, namun ia tidak juga membosankan pendengar
dan pembacanya dan dampak yang dihasilkannya pun tidak luntur.
Kemudian Muhammad Quraish Shihab menambahkan bahwa kata (
‫ ) ﻣﺘﺸﺎﺑ ﺎ‬mutasyãbihan terambil dari kata ( ‫ ) ﺷﺒ‬syabiha yang bermakna
serupa. Bila ada sesuatu yang serupa dengan yang lain, maka ia mutasyãbih.
Yang dimaksud di sini adalah keserupaan dalam mutunya, sehingga sangat
sulit membedakannya. Adapun kata ( ‫ ) ﻣﺜﺎﻧﻲ‬maêãniya adalah bentuk jamak
dari kata ( ‫ ) ﻣﺜﻨ ﺔ‬maêniyah atau ( ‫ ) ﻣﺜﻨّﻲ‬muêannã yang terambil dari kata (
‫ ) اﺛﻨ ﻦ‬iênain yakni dua. Dengan demikian kata tersebut berarti dua-dua atau
berganda. Maksudnya adalah berulang-ulang.210
Ayat di atas menggunakan bentuk tunggal ketika berbicara tentang (
‫ ) ﻛﺘﺎﺑﺎ‬kitãban. Ini wajar karena memang al-Qur`an hanya satu. Tetapi ketika
berbicara tentang pengulangannya, ia menggunakan bentuk jamak. Ini
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perincian ayat-ayat kitab itu.
Dengan demikian, penggunaan bentuk jamak menjadi sangat tepat pula. 211
Penafsiran Muhammad Quraish Shihab tersebut sama sekali tidak
menyinggung persoalan al-Qur`an itu baru sebagaimana dipahami kaum
Mu`tazilah.
Demikianlah pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang kalam
Tuhan dalam tafsirnya al-Misbah. Dari seluruh penjabaran masalah kalam
Tuhan yang telah ditulis oleh Muhammad Quraish Shihab di atas, terlihat
bahwa Muhammad Quraish Shihab tidak berpihak pada salah satu golongan.
Ini dapat diketahui dari penjelasannya ketika menafsirkan ayat-ayat yang
dijadikan dasar oleh setiap aliran seperti yang telah dikutip sebelumnya.

209
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 217.
210
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 218.
211
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol. 12, h. 218.
106

B. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan


Alam semesta dengan segala isinya diciptakan oleh Allah. Tidak ada
sesuatu kekuasaanpun yang menyamai, apalagi melebihi kekuasaan Allah. Ia
dapat melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, karena tidak ada yang bisa
mengatur, mengendalikan, apa lagi menghalangi-Nya. Tentu saja Dia pula
yang memiliki kehendak dan kekuasaan yang mengatasi kehendak dan
kekuasaan makhluk-Nya. Akan tetapi, apakah kehendak kekuasaan Allah
tersebut bersifat mutlak ataukah terbatas? Para ulama kalam (Asy`ariyyah,
Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara) berbeda
pendapat. Sebagaimana para teolog Islam dari berbagai aliran telah
membahasnya, Muhammad Quraish Shihab juga ikut membahasnya meskipun
hanya dalam rangka menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang telah dijadikan
argumen oleh para teolog itu dalam memperkuat pendirian masing-masing.
Asy`ariyyah mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan
dalam berkehendak dan berbuat, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
mestilah berlaku semutlak-mutlaknya. Karena itu, Dia dapat berbuat apa
saja secara sewenang-wenang pada makhluk-Nya, sesuai dengan kehendak-
Nya, tanpa ada yang membatasi dan melarangnya.212 Bahkan, Dia dapat saja
menyiksa orang mukmin yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan
memasukkan orang-orang kafir dan jahat kedalam surga serta mengampuni
dosa mereka, jika yang demikian dikehendaki-Nya.213
Untuk memperkuat pendapat di atas golongan Asy`ariyyah
mempergunakan dalil al-Qur`an, surat al-Burüj ayat 16, surat Yünus ayat

212
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-
Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th), h. 225.
213
Abu Èamid al-Ghazãlî, Al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd, (Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah,
1988), h. 180-182.
107

99, surat al-Sajdah ayat 13, surat al-An`ãm ayat 112 dan surat al-Baqarah
ayat 253:214
215
ÇÊÏÈ ß‰ƒÌ•ãƒ $yJÏj9 ×A$¨èsù
’Îû `tB z`tBUy y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur
4 $·èŠÏHsd öNßg•=à2 ÇÚö‘F{$#
4Ó®Lym }¨$¨Z9$# çnÌ•õ3è? |MRr'sùr&
216
ÇÒÒÈ šúüÏZÏB÷sãB (#qçRqä3tƒ
C§øÿtR ¨@ä. $oY÷•s?Uy $oYø¤Ï© öqs9ur
¨,ym ô`Å3»s9ur $yg1y‰èd
¨bV|øBV{ ÓÍh_ÏB ãAöqs)ø9$#
Ïp¨YÉfø9$# šÆÏB zO¨Yygy_
217
ÇÊÌÈ šúüÏèuHødr& Ĩ$¨Z9$#ur
çnqè=yèsù $tB y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur
šcrçŽtIøÿtƒ $tBur öNèdö‘x‹sù (
218
ÇÊÊËÈ
Ÿ@tGtGø%$# $tB ª!$# uä!$x© öqs9ur
.`ÏiB NÏdω÷èt/ .`ÏB tûïÏ%©!$#
ÞOßgø?uä!%y` $tB ω÷èt/
Ç`Å3»s9ur àM»oYÉi•t6ø9$#
ô`¨B Nåk÷]ÏJsù (#qàÿn=tG÷z$#
4 t•xÿx. `¨B Nåk÷]ÏBur z`tB#uä
$tB ª!$# uä!$x© öqs9ur
©!$# £`Å3»s9ur (#qè=tGtGø%$#
219
ÇËÎÌÈ ß‰ƒÌ•ãƒ $tB ã@yèøÿtƒ

214
Abu al-Èasan Ismãil Al-Asy`ari, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-zaig wa al-
Bida`, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000), cet 1h. 47-59.
215
Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Burüj [85]: 16).
216
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yünus [10]: 99).
217
Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap- tiap jiwa
petunjuk, akan tetapi telah tetaplah Perkataan dari padaKu: "Sesungguhnya akan aku
penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama. (QS. Al-Sajdah [32]:
13).
218
Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka
tinggalkan-lah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. Al-An`ãm [6]: 112).
219
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang
(yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam
keterangan, akan tetapi mereka berselisih, Maka ada di antara mereka yang beriman dan
ada (pula) di antara mereka yang kafir. seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka
108

Menurut Asy`ari ayat-ayat di atas tersebut merupakan pernyataan


tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Jika kehendak Tuhan tidak
berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan
kehendak-Nya itu. Sedangkan sifat lupa, lalai apalagi lemah adalah sifat-
sifat yang mustahil bagi Allah. 220 Menurut Asy`ariyyah selanjutnya, Allah
dapat saja membebani manusia dengan taklif yang tidak dapat mereka
pikul, Sebab jika tidak demikian, berarti Allah tidak bebas dalam
berkehendak dan berbuat. Untuk memperkuat pendirian mereka itu,
mereka merujuk kepada surat al-Baqarah [2]: 286:
Ÿw $tB $oYù=ÏdJysè? Ÿwur $uZ-/u‘
221
ÇËÑÏÈ ¾ÏmÎ/ $oYs9 sps%$sÛ
Ayat tersebut membuktikan bahwa Allah dapat saja membebani
manusia dengan taklif di luar kemampuan manusia, sebab sekiranya taklif
itu selalu sesuai dengan kemampuan manusia, tentunya tidak ada gunanya
orang-orang yang beriman itu memohon kepada Allah agar mereka tidak
dibebani taklif di luar kemampuan mereka.222
Menurut Maturidiyyah Bukhara juga, Tuhan mempunyai kekuasaan
dan kehendak mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan
menentukan segala-galanya menurut kehendak-Nya, tidak ada yang dapat
menentang atau memaksa-Nya. 223 Karena Tuhan mempunyai kekuasaan
mutlak, maka Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk kepentingan
manusia. Tuhan bisa saja menyiksa anak kecil, orang yang tidak berakal,
dan binatang. 224 Tuhan dalam pandangan Asy`ariyyah dan Maturidiyyah

berbunuh-bunuhan. akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya. (QS. Al-Baqarah
[2]: 253).
220
Abu Hasan Asy`ari, Kitab al-Luma', h 37.
221
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup
Kami memikulnya. (QS. al-Baqarah [2]: 286).
222
Abu Said Abdullah al-Baidhawi, Anwãr al-Tanzîl wa Asrãr al-Ta`wîl, (Beirut: Dãr
al-Fikr, t.th), h 274.
223
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 130.
224
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 126-130.
109

Bukhara, benar-benar mempunyai kekuasaan mutlak semutlak-mutlaknya.


Manusia tidak dapat berkehendak dan berbuat apa-apa kalau Tuhan tidak
menghendakinya.
Sebaliknya, Mu`tazilah mengatakan bahwa Allah memiliki kehendak
dan kekuasaan yang terbatas meskipun yang membatasinya adalah
kehendak-Nya sendiri. Menurut Mu`tazilah, yang membatasi kehendak
kekuasaan Allah itu adalah kebebasan yang telah diberikan-Nya kepada
manusia untuk memilih dan melakukan perbuatannya, norma keadilan,
kewajiban yang telah ditetapkan-Nya atas diri-Nya terhadap manusia dan
sunah-Nya dalam mengatur alam semesta dan makhluk-Nya.225 Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Ahzãb [33]: 62 yang menyatakan:
(#öqn=yz šúïÏ%©!$# †Îû «!$# sp¨Zß™
Ïp¨ZÝ¡Ï9 y‰ÅgrB `s9ur ( ã@ö6s% `ÏB
226
ÇÏËÈ WxƒÏ‰ö7s? «!$#
Ayat di atas secara tegas menjelaskan bahwa sunah Allah (hukum
alam) itu tidak mengalami perubahan.
Maturidiyyah Samarkand juga memberikan kebebasan kepada
manusia untuk melaksanakan kehendak dan perbuatannya. Kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan tidak lagi dipahami dalam pengertian yang mutlak,
tetapi sudah terbatas. Mereka juga mengakui bahwa kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang
diberikan oleh Tuhan sendiri dan Tuhan tidak berlaku sewenang-wenang
kepada hamba-hamba-Nya.227
Untuk memperkuat pendirian mereka, Maturidiyyah Samarkand
mengemukakan beberapa ayat, yaitu surat al-Maidah [5]: 48, al-An`ãm [6]:

225
Harun Nasution, Teologi Islam, h 119-120.
226
Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu
sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.
(QS. al-Ahzãb [33]: 62)
227
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, h 225. Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 122.
110

149 dan surat Yünus [10]: 99228 yang menyatakan:


öNà6n=yèyfs9 ª!$# uä!$x© öqs9ur
`Å3»s9ur Zoy‰Ïnºur Zp¨Bé&
!$tB ’Îû öNä.uqè=ö7uŠÏj9
(#qà)Î7tFó™$$sù ( öNä38s?#uä
«!$# ’n<Î) 4 ÏNºuŽö•y‚ø9$#
Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $Yè‹ÏJy_ öNà6ãèÅ_ö•tB
tbqàÿÎ=tFøƒrB ÏmŠÏù óOçGYä. $yJÎ/
229
ÇÍÑÈ
èptóÎ=»t6ø9$# èp¤fçtø:$# ¬Tsù ö@è%
öNä31y‰ygs9 uä!$x© öqn=sù (
230
ÇÊÍÒÈ tûüÏèuHødr&
’Îû `tB z`tBUy y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur
4 $·èŠÏHsd öNßg•=à2 ÇÚö‘F{$#
4Ó®Lym }¨$¨Z9$# çnÌ•õ3è? |MRr'sùr&
231
ÇÒÒÈ šúüÏZÏB÷sãB (#qçRqä3tƒ
Al-Maturidi memahami ayat di atas dalam arti bahwa Tuhan
sebenarnya mampu membuat semua manusia yang ada di bumi menjadi
beriman atau membuat semua manusia berada dalam petunjuk Allah.
Namun Allah tidaklah melakukan hal itu, karena kebebasan berkehendak
dan berbuat yang diberikan-Nya kepada manusia.232
Setelah mengemukakan pendirian dari empat aliran kalam dalam
Islam, berikut ini akan dikemukakan pendirian dari Muhammad Quraish
Shihab tentang masalah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan melalui

228
Abu mansur al-Mãturîdî, Al-Tauèîd, h. 287-289.
229
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja),
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-
lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Mãidah [5]:
48).
230
Katakanlah: Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia
menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya. (QS. Al-An`ãm [6]:
149).
231
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yünus [10]: 99).
232
Abu Mansur al-Mãturîdî, Al-Tauèîd, h. 289.
111

penafsirannya dalam tafsir al-Misbah. Apakah kekuasaan dan kehendak


mutlak Tuhan mesti berlaku semutlak-mutlaknya, seperti pendirian aliran
kalam tradisional (Asy`ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara)? Atau kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan itu tidak berlaku sepenuhnya, seperti pendirian
aliran kalam rasional (Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand)?
Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, Tuhan mempunyai
kekuasaan dan kehendak mutlak. Segala sesuatu yang berada di alam raya
ini, baik sistem kerjanya, maupun sebab dan wujudnya, kesemunya adalah
hasil perbuatan Allah swt. semata. Apa yang dikehendaki-Nya terjadi, dan
apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.233
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, dalam pandangan
Muhammad Quraish Shihab, bukan berarti bahwa Allah berlaku sewenang-
wenang, atau “bekerja” tanpa sistem yang ditetapkannya. Tetapi sudah
dibatasi oleh hukum-hukum, takdir atau sunnatullah yang ditetapkan-Nya. 234
Pandangan Muhammad Quraish Shihab, yang mengakui adanya sunnatulah
(hukum-hukum alam) yang tetap dan tidak berubah, membuat kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan menjadi terbatas, karena Tuhan tidak
mengubah sunnah-Nya itu, meskipun ia sanggup mengubah-Nya. Ini
dikemukakan Muhammad Quraish Shihab waktu menafsirkan surat Fathir
[35]: 43
|M¨Yß™ žwÎ) šcrã•ÝàZtƒ ö@ygsù
ÏM¨YÝ¡Ï9 y‰ÅgrB `n=sù 4 tûüÏ9¨rF{$#
y‰ÅgrB `s9ur ( WxƒÏ‰ö7s? «!$#
235
ÇÍÌÈ ¸xƒÈqøtrB «!$# ÏM¨YÝ¡Ï9

233
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an Tafsir Maudhui`i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan 1996), h. 35. Muhammad Quraish Shihab, Menyibak Tabir
Ilahi Al-Asma al-Husna Dalam Perspektif al-Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 318.
234
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 35.
235
Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan (berlakunya) sunnah (Allah yang
telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan
mendapat penggantian bagi sunnah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui
penyimpangan bagi sunnah Allah itu. (QS. surat Fãthir [35]: 43)
112

yang menyatakan bahwa siapa pun tidak akan mampu mengalihkan hukum
Allah dari arah yang telah ditentukannya. Bagi yang mendinginkan air hingga
mencapai nol derajat Celcius tidak mungkin dapat menjadikan air yang lain
menjadi beku. Bagi yang bekerja keras, tidak mungkin sukses usahanya
diraih oleh yang malas. 236 Itu adalah sunnah Allah yang diberlakukan-Nya
terhadap apa, siapa dan kapan pun. Karena ia adalah sunnah yang tidak
menyimpang dari arah yang ditetapkan.
Adapun surat al-Burüj [85]: 16, 237 ditafsirkan Muhammad Quraish
Shihab dengan mengatakan bahwa kalimat fã`ãl limã yurîd dari segi
redaksional berarti Maha Pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya dan
ini mencakup segala sesuatu, namun demikian kata fa`ala apabila
pelakunya adalah Allah, maka sering kali yang dimaksud adalah siksa atau
ancaman siksa. 238 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan
bahwa kata fa`ala yang pelakunya manusia, sering kali yang dimaksud
adalah kelakukan buruk.239
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga tidak lagi berlaku
semutlak-mutlaknya, karena sudah dibatasi oleh kebebasan dan ikhtiar yang
diberikan Tuhan kepada manusia. Seperti masalah iman dan kufur,
seandainya kalau Tuhan menghendaki agar semua manusia beriman atau
taat seperti malaikat, pasti Tuhan sanggup melakukannya. Tetapi atas dasar
hikmat dan kebijaksanaan, Tuhan sengaja tidak melakukannya, masalah
iman dan kufur diletakkan-Nya atas ikhtiar manusia, sehingga sebagian

236
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h. 494.
237
Teks ayat:
ÇÊÏÈ ß‰ƒÌ•ãƒ $yJÏj9 ×A$¨èsù
Maha pelaksana terhadap apa yang dikehendaki-Nya. (QS. al-Burüj [85]: 16).
238
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 163.
239
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 163.
113

manusia ada yang beriman dan sebagian yang lain kafir. 240 Demikianlah
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan ketika ia menafsirkan surat Yünus
[10]: 99. Jadi walaupun Tuhan berkuasa menjadikan semua manusia
beriman, tetapi itu tidak dikehendakinya, karena Dia bermaksud menguji
manusia dan memberi mereka kebebasan beragama dan bertindak. Dia
menganugerahkan manusia potensi akal agar mereka menggunakannya
untuk memilah dan memilih.
Lebih tegas lagi, Muhammad Quraish Shihab ketika menjelaskan surat
al-An`ãm [6]: 107:
!$tB ª!$# uä!$x© öqs9ur
y7»oYù=yèy_ $tBur 3 (#qä.uŽõ°r&
|MRr& !$tBur ( $ZàŠÏÿym öNÎgøŠn=tæ
241
ÇÊÉÐÈ 9@‹Ï.uqÎ/ NÍköŽn=tã
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan ayat di atas dengan
menyatakan bahwa keimanan dan kekufuran seseorang tidak berada dalam
kehendak mutlak Allah, sehingga menjadikan mereka bebas dari tanggung
jawab. Ayat ini untuk menguji manusia agar beriman melalui kesadaran
mereka sendiri pada tanda-tanda kebesaran Allah yang mereka temukan di
alam raya ini. Muhammad Quraish Shihab mengungkapkan:
Ayat ini telah menjelaskan kepada kita bahwa ayat ini tidak dapat
dijadikan dalih oleh siapa pun bahwa dalam hal keimanan dan
kekufuran mereka berada dalam lingkungan kehendak mutlak Allah,
sehingga menjadikan mereka bebas dari tanggung jawab. Penggalan
ayat ini lebih banyak dimaksudkan untuk menghibur Rasul saw. yang
sangat sedih dengan kedurhakaan mereka. Untuk itu Allah
menyatakan bahwa sebenarnya Allah kuasa menjadikan mereka
beriman dan taat dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan
mencabut hak pilih mereka, sehingga mereka langsung dapat percaya
atau menghidangkan hal-hal yang luar biasa, atau mencabut ciri-ciri

240
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h. 1164.
241
Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan (Nya). Dan
Kami tidak menjadikan engkau pengawas bagi mereka; dan engkau sekali-kali bukanlah
pemelihara bagi mereka. (QS. al-An`ãm [6]: 107).
114

kemanusiaan mereka sehingga setiap orang tidak mempunyai pilihan


kecuali percaya dan bertakwa. Allah swt. kuasa melakukan itu
semua, tetapi ini tidak dikehendaki-Nya karena Dia bermaksud
menguji manusia dan mengundang mereka agar beriman melalui
kesadaran serta berdasar bukti-bukti yang mereka yakini, lagi
memuaskan jiwa mereka. Dari sini Dia mengutus para rasul untuk
mengajak, menasihati dan menjelaskan ajaran, bukan untuk
memaksa, menindas atau memperkosa pikiran dan nurani manusia.242

Dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab di atas dapat dipahami


bahwa sekiranya Allah menghendaki untuk menciptakan manusia dengan
tidak membawa fitrah yang memiliki potensi untuk beriman atau kufur, baik
atau jahat. Dia dapat saja melakukannya, tetapi sesuai dengan
kebijaksanaan-Nya, Allah ternyata telah mencipatakan manusia untuk
menjadi khalifah di muka bumi. Untuk itu, Dia lalu menjadikan sementara
umat manusia tersebut ada yang berpotensi beriman kepada-Nya dan
sementara yang lain berpotensi kufur terdapat-Nya. Karena itu, sudah
sewajarnya jika Rasulullah saw. tidak akan dapat memaksa mereka untuk
beriman kepada Allah. Lebih dari itu, tindakan memaksa itu bukan
merupakan tugas seorang rasul. Tugas rasul hanyalah menyampaikan risalah
kepada umat manusia.
Pandangan yang sama dengan ayat di atas, juga dijelaskan oleh
Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-An`ãm [6]: 149
dengan mengatakan bahwa bukanlah Allah tidak berkuasa memberi
petunjuk kepada kamu sekalian, tanpa kamu menolaknya.243 Tetapi menurut
Muhammad Quraish Shihab, Allah tidak berkehendak demikian, karena Dia
berkehendak untuk memberikan kebebasan memilih pada manusia, sehingga
ada yang diberi-Nya kemampuan menerima dan melaksanakan petunjuk-
Nya, karena mereka mau memahami dan melaksanakannya seperti kami dan

242
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 239.
243
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 335.
115

ada yang tidak diberinya petunjuk seperti kamu karena kalian lebih memilih
jalan kesesatan.244 Dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas,
jelaslah bahwa dalam melaksanakan kehendak-Nya, baik memberi petunjuk
dan menyesatkan hamba-Nya atau menjadikan mereka itu beriman, baik,
kafir, dan jahat, Allah tidak menggunakan cara yang semena-mena atau
menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan memaksakannya pada orang-
orang yang dikehendaki-Nya tersebut sejak awal, tetapi dengan cara yang
sesuai dengan sunah-Nya. Sunnatullah dalam memberi petunjuk dan
menyesatkan hamba-hamba-Nya atau menjadikan mereka beriman, kafir,
baik, dan jahat adalah mengacu kepada perilaku dan sikap mereka sendiri.
Begitu juga dalam rezeki, Tuhan sebenarnya mampu memberikan
rezeki kepada seluruh makhluk tanpa usaha mereka, tetapi Tuhan tidak
melakukan hal itu, mesti dihubungkannya dengan usaha dan ikhtiar. Ini
dapat dilihat dalam penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap surat
Hüd [11]: 6
ÇÚö‘F{$# ’Îû 7p-/!#yŠ `ÏB $tBur
$ygè%ø—Í‘ «!$# ’n?tã žwÎ)
$yd§•s)tFó¡ãB ÞOn=÷ètƒur
5=»tGÅ2 ’Îû @@ä. 4 $ygtãyŠöqtFó¡ãBur
245
ÇÏÈ &ûüÎ7•B
Jaminan rezeki yang dijanjikan Allah kepada makhluk-Nya bukan
berarti memberinya tanpa usaha. Kita harus sadar bahwa yang menjamin itu
adalah Allah swt. yang menciptakan makhluk serta hukum-hukum yang
mengatur makhluk dan kehidupannya. Ketetapan hukum-hukum-Nya yang
telah mengikat manusia juga berlaku untuk seluruh makhluk.246 Berdasarkan

244
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 335.
245
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat
penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS. Hüd [11]:
6)
246
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 194.
116

penafsiran Muhammad Quraish Shihab di atas, dapat dipahami bahwa dalam


perolehan rezeki semua makhluk telah dijamin oleh Tuhan. Pengertian
jaminan di sini adalah Tuhan memudahkan rezeki tersebut bagi makhluk dan
menunjukkan cara-cara untuk memperolehnya melalui sunah-Nya, bukan
dalam arti Tuhan memberikan rezeki tersebut dengan semata-mata
kekuasaan mutlak-Nya, baik ada usaha dari makhluk atau tidak. Jadi, dalam
pemberian rezeki pun tuhan telah membatasi kekuasaan mutlak-Nya dengan
usaha dan ikhtiar yang harus dilakukan makhluk-Nya, terutama manusia.
Karena manusia dianugerahi Allah swt. sarana yang lebih sempurna, akal,
ilmu, pikiran dan sebagainya, sebagai bagian dan jaminan rezeki Allah swt.
tetapi, jaminan rezeki yang dijanjikan Allah swt. bukan berarti memberinya
tanpa usaha.
Jika dikomparatifkan pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dengan pendirian aliran kalam
(Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand, Maturidiyyah Bukhara dan
Asy`ariyyah), ternyata pandangan Muhammad Quraish Shihab sejalan
dengan pendirian Mu`tazilah, yang berpendirian bahwa kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan telah dibatasi oleh Tuhan sendiri dengan kebebasan
yang diberikan Tuhan kepada manusia, keadilan, serta sunnah-Nya yang
tidak pernah berubah. Sebaliknya, pandangan Muhammad Quraish Shihab
berbeda dengan pemikiran kalam tradisional (Asy`ariyyah dan Maturidiyyah
Bukhara), aliran yang memberikan kedudukan yang rendah terhadap akal
dan berpendapat, tidak adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan
berkehendak, mempunyai pendirian bahwa kekuasaan Tuhan adalah mutlak
dan tak terbatas oleh apa pun juga. Segala yang terjadi di dunia ini,
ditetapkan oleh Tuhan sejak zaman azali dengan kekuasaan dan kehendak
mutlak-Nya.

C. Keadilan Tuhan
117

Setiap Muslim sepakat mengatakan bahwa Allah adalah Tuhan Yang


Maha Adil. Namun, ketika menjelaskan konsep keadilan Tuhan tersebut
mereka berbeda pendapat, bahkan kadang-kadang saling bertentangan
sebagaimana yang telah terjadi ketika mereka menjelaskan konsep
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Asy`ariyyah yang tidak mengakui kebebasan manusia tetapi mengakui
kekuasaan dan kehendak mutlak Allah, memahami keadilan-Nya dari sudut
pandang kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya tersebut. Karena itu, mereka
mengartikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Yang
dimaksud dengan menempat sesuatu pada tempatnya adalah seseorang
memiliki kekuasaan mutlak terhadap apa saja yang dimilikinya serta
247
mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuannya.
Dengan demikian, yang disebut dengan keadilan Allah menurut Asy`ariyyah
adalah kebebasan Allah untuk melakukan apa saja terhadap makhluk-Nya.
Karena itu, menurut Asy`ariyyah, kalau Allah memasukkan orang beriman
yang saleh dan tidak pernah melakukan dosa besar ke dalam neraka atau
memasukkan orang kafir ke dalam surga atau membebani manusia dengan
taklif yang melebihi batas kemampuan makhluk-Nya itu, tidaklah tergolong
perbuatan zalim, tetapi masih tergolong perbuatan adil sebab manusia dan
makhluk-Nya yang lain adalah milik-Nya. Sebaliknya, kalau Allah tidak dapat
berbuat apa saja kepada makhluk-Nya, berarti Allah telah dizalimi oleh
makhluk-Nya.248
Maturidiyyah Bukhara mempunyai sikap yang sama dengan kaum
Asy`ariyyah. Mereka juga memahami keadilan Tuhan dalam konteks
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Menurut al-Bazdawi, tidak ada
tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan alam ini. Tuhan berbuat

247
Al-Syahrastãnî, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), h.
58.
248
Al-Syahrastãnî, Al-Milal wa al-Nièal, h. 58.
118

249
sekehendak hati-Nya. Keadaan Tuhan bersifat bijaksana tidaklah
mengandung arti bahwa dibalik perbuatan-perbuatan Tuhan terdapat
hikmah-hikmah dan manfaat, baik untuk diri-Nya ataupun untuk yang
lain. 250 Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa alam tidak diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia. Keadilan Tuhan bukan dipandang pada
kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai Pemilik Mutlak.
Mu`tazilah, yang mengakui kebebasan manusia tetapi menolak
kekuasaan dan kehendak mutlak Allah, memahami keadilan Allah dari sudut
kepentingan manusia. 251 Bagi mereka, sebagaimana yang dijelaskan Abdul
Jabbãr, keadilan itu erat hubungannya dengan hak. Karena itu, mereka
mengartikan keadilan dengan “memberikan kepada seseorang akan
haknya. 252 Kalau dikatakan Allah adalah Tuhan yang Maha Adil, berarti
semua perbuatannya adalah baik dan Dia tidak dapat berbuat buruk atau
mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya tehadap manusia.253 Sesuai dengan
pengertian keadilan yang telah mereka kemukakan itu, maka menurut
Mu`tazilah, Allah tidak dapat berbuat zalim dan sewenang-wenang dalam
memberi hukuman kepada hamba-hamba-Nya, tidak dapat menghukum
anak-anak dari orang musyrik lantaran dosa para orang tua mereka, tidak
akan membebani manusia dengan taklif yang melebihi batas kemampuan
mereka, dan mesti memberi balasan baik kepada orang yang beriman dan
taat kepada-Nya. Sebaliknya juga, ia akan menghukum orang-orang yang
menentang perintah-Nya dan melanggar larangan-Nya.254
Untuk mendukung pendapat di atas kaum Mu`tazilah mempergunakan

249
Al-Bazdawî, Kitãb Uéül al-Dîn, h 130. Harun Nasution, Teologi Islam, h. 124.
250
Al-Bazdawî, Kitãb Uéül al-Dîn, h 130.
251
Muèammad ibn ‘Abdul Karîm Al-Syahrastãni, Nihãyat al-Iqdãm fi `Ilm al-Kalãm,
(Ed.), Alfred Guillaume, (London, Oxford University Press, 1934), h. 397-398.
252
Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an 'an al-Maëã'in, h 302.
253
Abdul Jabbãr, Syarè Uéül al-Khamsah, h 316. Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an
`an al-Mathîn, (Beirut: Dãr al-Nahdhah al-Hadîê, t.th), h. 302.
254
Abdul Jabbãr, Tanzîh al-Qur`an 'an al-Maëã'in, h. 302.
119

dalil al-Qur`an, surat al-Anbiyã' [21]: 47,255 surat Yãsin [36]: 54256:
tûïΗºuqyJø9$# ßìŸÒtRur
ÏQöqu‹Ï9 xÝó¡É)ø9$#
Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿxsù ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
tA$s)÷WÏB šc%Ÿ2 bÎ)ur ( $\«ø‹x©
$oY÷•s?r& @AyŠö•yz ô`ÏiB 7p¬6ym
šúüÎ7Å¡»ym $oYÎ/ 4’s"x.ur 3 $pkÍ5
257
(47 :‫ )اﻻﻧﺒ ﺎء‬ÇÍÐÈ
Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿw tPöqu‹ø9$$sù
$tB žwÎ) šc÷rt“øgéB Ÿwur $\«ø‹x©
258
(54 :‫ ) ﺲ‬ÇÎÍÈ tbqè=yJ÷ès? óOçFZà2

Dua ayat di atas menurut Mu`tazilah mengandung makna keadilan


Tuhan. Surat al-Anbiyã' [21]: 47 ditafsir oleh Abdul Jabbãr, bahwa Tuhan
tidak menzalimi seseorang sedikitpun, tidak akan menahan hak seseorang
walaupun dalam ukuran yang sangat sedikit, dan Ia akan menggunakan
neraca yang adil untuk melakukan perhitungan dengan cermat. Bila Tuhan
berlaku zalim, maka pernyataan tersebut tidak berarti sama sekali.259
Surat Yãsin [36]: 54, menurut Abdul Jabbãr menunjukkan, bahwa
pada hari akhirat seseorang tidak diminta pertanggungjawaban atas
kesalahan dosa orang lain, ia hanya bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukannya.260
Maturidiyyah Samarkand mempunyai sikap yang sama dengan kaum
Mu`tazilah. Aliran Maturidiyyah Samarkand karena menganut paham

255
Abdul Jabbãr, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Muèammad Zarzuwar,
(Qãhirah: Dãr al-Turãs, 1969), h. 500.
256
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h. 576.
257
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah
dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti
Kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (QS. al-
Anbiyã' [21]: 47).
258
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak
dibalasi, kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yãsin [36]: 54).
259
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 500-501.
260
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 500-501.
120

kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan, serta adanya batasan


bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai posisi yang sama
261
dengan pendirian Mu`tazilah. Namun, tendensi golongan itu untuk
meninjau wujud dari sudut kepentingan manusia lebih kecil dari tendensi
262
kaum Mu`tazilah. Mereka menggaris bawahi makna keadilan Tuhan
sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak
akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang sesuai dengan
kejahatan itu. Tuhan tidak akan menzalimi hamba-hamba-Nya dan juga
tidak akan memungkiri janji-janji-Nya terhadap manusia.263
Argumen yang diajukan oleh Abu Manéür al-Mãturîdi dalam hal ini
surat al-An`ãm [6]: 160 dan Äli 'Imrãn [3]: 9:264
¼ã&s#sù ÏpuZ|¡ptø:$$Î/ uä!%y` `tB
uä!%y` `tBur ( $ygÏ9$sWøBr& çŽô³tã
žwÎ) #“t“øgä† Ÿxsù Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/
tbqßJn=ôàムŸw öNèdur $ygn=÷WÏB
265
(160 :‫ )اﻻﻧﻌﺎم‬ÇÊÏÉÈ
ßìÏB$y_ y7¨RÎ) !$oY-/u‘
4 Ïm‹Ïù |=÷ƒu‘ žw 5QöquŠÏ9 Ĩ$¨Y9$#
yŠ$yèŠÏJø9$# ß#Î=÷‚ムŸw ©!$# žcÎ)
266
(9 :‫ )ال ﻋﺮان‬ÇÒÈ
Ayat pertama al-Mãturîdi menjelaskan bahwa Allah tidak membalas
perbuatan jahat seseorang, kecuali dengan balasan yang setimpal dengan
perbuatan jahatnya itu. 267 Kedua, maksud surat Äli ‘Imrãn [3]: 9 adalah
Allah tidak menyalahi janji-Nya, baik janji baik, maupun janji buruk atau

261
Harun Nasution, Teologi Islam, h 124.
262
Harun Nasution, Teologi Islam, h 124.
263
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah, jilid 1, h 204 dan 308.
264
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah, jilid 1, h 204 dan 308.
265
Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat
amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi
pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak
dianiaya (dirugikan). (QS. al-An`ãm [6]: 160).
266
Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima
pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menyalahi janji. (QS. Äli Imrãn [3]: 9).
267
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah, jilid 1, h 204 dan 308.
121

ancaman, karena janji Allah tersebut berdasarkan hikmat kebijaksanaan


dan Allah tidak akan menganiaya hamba-Nya.268
Selanjutnya, dilihat juga pandangan Muhammad Quraish Shihab
tentang keadilan. Apakah keadilan Tuhan itu dilihat dari pandangan
kepentingan manusia, sebagai yang dianut aliran kalam rasional? Ataukah
dilihat dari sudut Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang
dimiliki-Nya sebagai yang dianut aliran kalam tradisional?
Kata keadilan (al-'adl) menurut Muhammad Quraish Shihab adalah
mengandung dua makna yang bertolak belakang, yakni lurus, sama dan
bengkok, berbeda. Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dan
sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Adil
adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. 269 Keadilan
itulah yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak”, dan pada dasarnya pula
seorang yang adil “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar
maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan
demikian, ia melakukan sesuatu “yang patut” lagi “tidak sewenang-
wenang.270
Sejalan dengan pandangan Muhammad Quraish Shihab bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, keadilan Tuhan
menurut Muhammad Quraish Shihab dalam konteks kepentingan manusia,
bukan atas kekuasaan mutlak Tuhan.
Ketika menafsirkan surat al-Anbiyã' [21]: 47, 271 Muhammad Quraish

268
Muèammad Abu Zahrah, Al-Maíãhib al-Islãmiyyah , jilid 1, h 204 dan 308.
269
Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Ta`bir Ilahi, h 152.
270
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h 110.
271
Teks ayat:
ÏQöqu‹Ï9 xÝó¡É)ø9$# tûïΗºuqyJø9$# ßìŸÒtRur
bÎ)ur ( $\«ø‹x© Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿxsù ÏpyJ»uŠÉ)ø9$#
$oY÷•s?r& @AyŠö•yz ô`ÏiB 7p¬6ym tA$s)÷WÏB šc%Ÿ2
ÇÍÐÈ šúüÎ7Å¡»ym $oYÎ/ 4’s"x.ur 3 $pkÍ5
122

Shihab mengatakan, Allah tidak akan menyiksa mereka dengan sewenang-


wenang, atau tanpa tolak ukur yang adil sehingga mereka teraniaya. Allah
akan memasang timbangan yang adil pada hari Kiamat. 272 Untuk menjadi
tolak ukur kebaikan dan keburukan amal serta kualitasnya maka di sana
tiadalah dirugikan seseorang walau sedikit pun dengan penambahan
keburukannya atau pengurangan kebaikan. Dan walau amal kebaikan hanya
273
seberat biji moster pasti Allah mendatangkan pahala-Nya. Menurut
Muhammad Quraish Shihab, keadilan merupakan salah satu Asma al-Husna,
menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Apabila kata jadian digunakan
untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti
kesempurnaan. Dengan demikian Allah adalah pelaku keadilan yang
sempurna. 274 Allah tidak akan berbuat aniaya, setiap amal yang lahir
maupun yang batin, kelak akan ditimbang atau mempunyai tolak ukur
masing-masing, sehingga semua amal benar-benar menghasilkan ketepatan
timbangan.275 Oleh karena itu, Tuhan tidak mempunyai kepentingan untuk
berbuat aniaya.
Ketika menafsirkan surat Yãsin [36]: 54,276 Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, pada hari kiamat tidak akan ada penganiayaan. Betapa pun
besarnya pelanggaran yang dilakukan dan betapapun besar kedurhakaan
kepada Allah, namun Allah Maha Adil dalam menjatuhkan sanksi. 277 Pada

Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka Tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawipun pasti Kami
mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.
272
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 460.
273
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 460.
274
Muhammad Quraish Shihab, Menyingkap Ta`bir Ilahi, h 152.
275
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 460.
276
Teks ayat:
Ÿwur $\«ø‹x© Ó§øÿtR ãNn=ôàè? Ÿw tPöqu‹ø9$$sù
ÇÎÍÈ tbqè=yJ÷ès? óOçFZà2 $tB žwÎ) šc÷rt“øgéB
Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi,
kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. Yãsin [36]: 54).
277
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 557.
123

hari itu seseorang yang taat maupun yang durhaka tidak akan dirugikan
sedikit pun dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang telah kamu
kerjakan. Penganiayaan adalah menempatkan sesuatu bukan pada
tempatnya, atau memberi kurang dari hak yang semestinya diberikan.
Sedang di sini yang bersangkutan diberikan persis sesuai dengan hak dan apa
yang dilakukannya. 278 Dari penafsiran Muhammad Quraish Shihab di atas,
dapat dipahami bahwa pada hari Kiamat tidak akan dikurangi balasan
amalan setiap orang, amal yang baik atau amal buruk, juga tidak akan
dipikulkan kepada seseorang dosa orang lain. Tetapi setiap orang akan
menerima balasan yang mereka kerjakan. Sebaliknya, seseorang tidak akan
disiksa kecuali atas perbuatan buruk yang ia lakukan, sebagai balasan yang
sesuai dengan perbuatannya di dunia. Jadi, Tuhan benar-benar adil dalam
memberikan balasan, dan tidak seorang pun merasa dirugikan pada hari
Kiamat.
Adapun surat Fuééilat [41]:46, 279 ditafsirkan Muhammad Quraish
Shihab dengan perbuatan seseorang berkaitan dengan pelakunya secara
menyifatinya. Kalau baik dan bermanfaat, maka dirinya sendiri yang
menarik manfaatnya, dan kalau buruk, maka dia pula yang memperoleh
keburukan. Di sini Muhammad Quraish Shihab menafsirkan dengan
memberikan kebebasan kepada manusia dalam memilih apakah akan
melakukan perbuatan baik atau perbuatan buruk. Keadaan memilih mana
yang baik dan mana buruk bagi manusia, Tuhan akan memberikan pahala
dan siksa menurut pilihan mereka, menunjukkan bahwa pandangan keadilan

278
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 558.
279
Teks ayat:
ô`tBur ( ¾ÏmÅ¡øÿuZÎ=sù $[sÎ=»|¹ Ÿ@ÏHxå ô`¨B
5O»¯=sàÎ/ y7•/u‘ $tBur 3 $ygøŠn=yèsù uä!$y™r&
ÇÍÏÈ Ï‰‹Î7yèù=Ïj9
Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka untuk dirinya sendiri, dan barang
siapa yang berbuat jahat maka atas dirinya, dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu Maha
Pengniaya hamba-hamba. (QS. Fuééilat [41]:46).
124

Tuhan yang dianut Muhammad Quraish Shihab adalah paham keadilan bagi
kepentingan manusia. Untuk memperjelas penafsirannya, Muhammad
Quraish Shihab mengatakan: “…barang siapa yang mengerjakan amal yang
saleh maka manfaat dan pahala amalnya adalah untuk dirinya sendiri. Allah
tidak akan menyia-nyiakan amal baik tanpa ganjaran dan tidak juga
membiarkan satu dosa tanpa perhitungan dan dosa amalnya atas dirinya
sendiri pula. Dia yang akan memikulnya, bukan orang lain. 280 Dengan
demikian, ayat tersebut menurut Muhammad Quraish Shihab memberikan
penjelasan bahwa Tuhan tidak berlaku zalim kepada hamba-hamba-Nya,
tetapi benar-benar adil dalam memberikan balasan untuk kepentingan
manusia.
Selanjutnya ketika menafsirkan surat Ghãfir [40]: 17,281 Muhammad
Quraish Shihab berpendapat bahwa tiap-tiap apa yang diusahakannya,
setelah Allah melakukan perhitungan yang teliti atas setiap orang. Tidak
ada sedikit pun penganiayaan pada hari Kiamat itu; tidak ada kecurangn
dengan pengurangan pahala atau penambahan siksa, semua ditempatkan
pada tempat yang semestinya. itu semua berjalan dengan cepat karena
sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.282 Lebih lanjut Muhammad
Quraish Shihab mengatakan, bahwa kecepatan perhitungan itu
mengisyaratkan pula sempurnanya keadilan, karena salah satu makna
keadilan adalah penyerahan hak kepada pemiliknya melalui cara yang
tercepat. 283 Jadi, pada hari Kiamat akan diberi balasan setiap orang yang

280
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 431.
281
Teks ayat:
Ÿw 4 ôMt6|¡Ÿ2 $yJÎ/ ¤§øÿtR ‘@ä. 3“t“øgéB tPöqu‹ø9$#
ßìƒÎŽ| ©!$# žcÎ) 4 tPöqu‹ø9$# zNù=àß
ÇÊÐÈ É>$|¡Ïtø:$#
Pada hari itu tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada
penganiayaan pada hari itu; sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. (QS. Ghãfir
[40]: 17)
282
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 302.
283
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 303.
125

beramal. Orang yang melakukan kebaikan akan menerima balasan yang


baik, tidak dikurangi sedikitpun, sesuai dengan amalnya di dunia. Sebaliknya
kepada orang yang melakukan kejahatan akan diberikan balasan yang
setimpal pula dengan perhitungan yang cepat.
Lebih tegas lagi, bila ditambahkan dengan penafsiran Muhammad
Quraish Shihab terhadapa surat al-Nisã' [4]: 40, 284 ini mengandung isyarat
ancaman terhadap mereka, tetapi agar tidak ada yang menduga bahwa
sanksi atau balasan yang akan dijatuhkan-Nya tidak sesuai dengan
perbuatan masing-masing. 285 Secara lebih jelas Muhammad Quraish Shihab
mengatakan sebagai berikut:
Sesungguhnya bukan hanya dalam kenyataan tetapi dalam benak pun
tergambar bahwa Allah tidak menganiaya seseorang walaupun
sebesar dzarrah, yakni sekecil apa pun. Betapa Dia akan menganiaya,
padahal Dia Maha Kuasa, dan segala yang ada di alam raya ini adalah
ciptaan dan milik-Nya. bahkan Dia memberi ganjaran, karena itu jika
kebajikan sebesar dzarrah, bahkan lebih kecil dari dzarrah, niscaya
Allah akan melipatgandakannya sampai tujuh ratus kali, bahkan
lebih, dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya, yang tidak
tergambar sebelumnya dalam benak siapa pun.286

Allah tidak akan mengurangi ganjaran amal baik seseorang, meskipun


sebesar dzarrah, tetapi Allah akan memberikan ganjaran tersebut secara
penuh, sebagaimana Allah juga tidak akan menyiksa seseorang, kecuali atas
kesalahan yang dilakukannya. Amal kebaikan akan mengangkat derajat jiwa
ke tingkat yang paling tinggi, sedang amal keburukan akan menurunkan jiwa
ketingkat yang paling rendah.

284
Teks ayat:
à7s? bÎ)ur ( ;o§‘sŒ tA$s)÷WÏB ãNÎ=ôàtƒ Ÿw ©!$# ¨bÎ)
çm÷Rà$©! `ÏB ÅV÷sãƒur $ygøÿÏ軟ÒムZpuZ|¡ym
ÇÍÉÈ $VJŠÏàtã #·•ô_r&
Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan pahala
yang besar dari sisi-Nya. (QS. al-Nisã' [4]: 40).
285
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh , vol II, h 446.
286
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 446.
126

Selanjutnya, Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa


pelipatgandaan yang dimaksud di atas adalah pelipatgandaan dua kali atau
lebih. Sedangkan yang dimaksud dengan janji pahala yang besar adalah
ganjaran selain dari pelipatgandaan tersebut.287
Keadilan Tuhan menurut Muhammad Quraish Shihab juga diwujudkan
dalam bentuk anugerah dan karunia dari Allah. Berkaitan dengan ini
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa pembalasan Allah sungguh
adil, yakni barang siapa di antara manusia yang datang membawa amal
baik, yakni berdasar iman yang benar dan ketulusan hati, maka baginya
pahala sepuluh kali lipatnya, yakni sepuluh kali lipat amalnya sebagai
karunia dari Allah swt. 288 Demikian penjelasan Muhammad Quraish Shihab
ketika menafsirkan surat al-An`ãm [6]: 160. 289 Lebih lanjut Muhammad
Quraish Shihab mengatakan, bahwa barang siapa yang membawa perbuatan
yang buruk, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan
kejahatannya. Kalau Tuhan menjatuhkan sanksi, maka itu sangat adil, dan
dengan demikian mereka, yakni yang melakukan kejahatan itu sedikit pun
tidak dianiaya tetapi masing-masing akan memperoleh hukuman setimpal
dengan dosanya. Adapun yang berbuat kebajikan, maa bukan saja mereka
tidak dianiaya, bukan juga mereka diberi ganjaran yang adil, tetapi mereka
mendapat anugerah Allah.290 Jadi, dengan kata lain, ayat tersebut menurut
Muhammad Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa di antara bentuk
keadilan itu adalah memberi balasan kepada orang yang berbuat baik sesuai
287
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 447.
288
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 362.
289
Teks ayat:
çŽô³tã ¼ã&s#sù ÏpuZ|¡ptø:$$Î/ uä!%y` `tB
Ïpy¥ÍhŠ¡¡9$$Î/ uä!%y` `tBur ( $ygÏ9$sWøBr&
tbqßJn=ôàムŸw öNèdur $ygn=÷WÏB žwÎ) #“t“øgä† Ÿxsù
ÇÊÏÉÈ
Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipatnya; dan barang
siapa membawa perbuatan yang buruk, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan
seimbang dengannya, dan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (QS. al-An`ãm [6]: 160).
290
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol IV, h 362.
127

dengan kebaikan yang dilakukannya, dan memberi hukuman kepada orang


yang berbuat jahat sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Adapun di
antara rahmat dan karunia Tuhan adalah melipatgandakan balasan amal
kebaikan sampai sepuluh kali lipat atau lebih, sementara balasan kejahatan
tidak dilipatgandakan.
Dalam pandangan Muhammad Quraish Shihab, Tuhan mempunyai
janji-janji yang mesti Ia tepati. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-
Nya. Janji-Nya pasti terlaksana pada waktu yang Dia kehendaki, cepat atau
lambat, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Demikian penjelasan Muhammad
Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-Èajj [22]: 47-48.291 Pada bagian
lain dari tafsirnya, Muhammad Quraish Shihab juga mengatakan bahwa janji
Allah adalah benar, janji Allah dengan sebenar-benarnya pasti akan
292
terlaksana. Allah tidak akan pernah memungkiri janji. Demikian
penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap surat al-Zumar [39]: 20. 293
Dengan lebih jelas Muhammad Quraish Shihab mengatakan hal itu, sebagai
berikut:
Bahwa janji dimaksud telah mencapai puncak kesempurnaan
substansinya. Jika Anda berkata “si A berani” maka tidak jelas
keberaniannya, 50 atau 60 atau 80 %. Tetapi jika Anda berkata dia

291
Teks ayat:
`s9ur É>#x‹yèø9$$Î/ y7tRqè=Éf÷ètGó¡o„ur
y‰YÏã $·Böqtƒ žcÎ)ur 4 ¼çny‰ôãur ª!$# y#Î=øƒä†
ÇÍÐÈ šcr‘‰ãès? $£JÏiB 7puZy™ É#ø9r(x. y7În/u‘
š†Éfur $olm; àMø‹n=øBr& >ptƒö•s% `ÏiB ûÉiïr(Ÿ2ur
¥’n<Î)ur $pkèEõ‹s{r& ¢OèO ×pyJÏ9$sß
ÇÍÑÈ çŽ•ÅÁyJø9$#
Dan mereka meminta kepadamu agar disegerakan azab, padahal Allah sekali-kali tidak akan
menyalahi janji-Nya, dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun
menurut perhitungan kamu. Dan berapa banyak kota yang Aku tangguhkan kepadanya,
padahal ia berbuat zalim, kemudian Aku menyiksanya, dan hanya kepada-Ku-lah kembali
(segala sesuatu). (QS. al-Èajj [22]: 47-48)
292
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 208.
293
Teks ayat:
yŠ$yè‹ÏJø9$# ª!$# ß#Î=øƒä† Ÿw ( «!$# y‰ôãur
ÇËÉÈ
Janji Allah, Allah tidak akan memungkiri janji. (QS. al-Zumar [39]: 20).
128

adala keberania, maka ketika itu seluruh aspek dan isi dari makna
keberanian telah berada dan tampil pada dirinya, atau dengan kata
lain keberaniannya telah mencapai tingkat 100 %. Demikian juga
dengan kata wa`d / janji yakni segala makna substansi dan
konsekuensi dari janji telah terpenuhi, apalagi Allah tidak akan
pernah memungkiri janji.294

Uraian di atas menunjukkan, bahwa keadilan Tuhan menurut


Muhammad Quraish Shihab juga diwujudkan dalam bentuk janji-janji yang
tidak pernah dimungkiri-Nya. Janji tuhan adalah benar dan pasti ditepati-
Nya, karena memungkiri janji itu bertentangan dengan kemaslahatan
manusia sebagai realisasi dari keadilan Tuhan.
Jadi jelaslah, keadilan Tuhan dalam pandangan Muhammad Quraish
Shihab sejalan dengan pendirian keadilan Tuhan menurut pemikiran kalam
Mu`tazilah yang meletakkan keadilan Tuhan pada kepentingan dan
kemaslahatan manusia, bukan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
yang berlaku semutlak-mutlaknya.

D. Perbuatan Tuhan
Setiap aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan
melakukan perbuatan. Perbuatan di sini dipandang sebagai konsekuensi
295
logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Sebagaimana para teolog Islam dari berbagai aliran telah membahasnya,
Muhammad Quraish Shihab juga ikut membahasnya meskipun hanya dalam
rangka menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an yang telah dijadikan argumen oleh
para teolog itu dalam memperkuat pendirian masing-masing.
Persoalan yang timbul tentang perbuatan Tuhan adalah, apakah
perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal-hal yang baik saja, ataukah
perbuatan Tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik saja, tetapi juga

294
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 210.
295
Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 324.
129

mencakup pada hal-hal yang buruk? Kemudian apakah Tuhan mempunyai


kewajiban-kewajiban untuk kepentingan manusia? Ataukah Tuhan tidak
mempunyai kewajiban sama sekali?
Asy`ariyyah, sebagai sebagai aliran kalam tradisional, berpendapat
bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidak terbatas pada yang baik-baik saja,
tetapi juga mencakup yang buruk-buruk. Karena itu, Dia dapat berbuat apa
saja secara sewenang-wenang kepada manusia tanpa harus mengingat
296
kepentingan dan kemaslahatan mereka. Bahkan, menurut mereka,
tidaklah adil jika perbuatan Allah itu terbatas pada yang baik-baik dan tidak
tercakup yang buruk-buruk. Sebab, yang disebut adil, menurut mereka,
adalah apabila si pemilik dapat menggunakan atau memiliki kehendak
mutlak terhadap apa saja yang dimilikinya sesuai dengan kehendak dan
pengetahuannya.297

Sebagai konsekuensi menganut paham kekuasaan dan kehendak


mutlak Tuhan, kaum Asy`ariyyah menolak bahwa Allah mempunyai
kewajiban tertentu di dalam perbuatan-Nya, seperti kewajiban berbuat
yang baik dan terbaik, kewajiban mengirim nabi atau rasul, kewajiban
menepati janji dan ancaman, kewajibaan tidak membebani manusia di luar
kemampuannya.298 Jadi, dengan kata lain, paham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan yang dianut aliran Asy`ariyyah membawa mereka kepada
pendirian bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap
hamba-Nya. Sebab, jika Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tentu Ia
terikat oleh sesuatu. Hal ini akan membuat kekuasaan-Nya terbatas atau

296
Maèmüd Qãsim, Manãhij al-Adillalh fi `Aqã'id al-Millah li Ibn Rusyd ma`a
Muqaddimah fi Naqd Madãris `Ilm al-Kalãm, (Qãhirah: Maktabah al-Anglo al-Misriyyah,
1963), h. 93. Harun Nasution, Teologi Islam, h 117.
297
Maèmüd Qãsim, Manãhij al-Adillalh fi `Aqã'id al-Millah li Ibn Rusyd ma`a
Muqaddimah fi Naqd Madãris `Ilm al-Kalãm , (Qãhirah: Maktabah al-Anglo al-Misriyyah,
1963).h 93. Harun Nasution, Teologi Islam, h 117.
298
Abu Hãmid al-Ghazãli, Al-Iqtiéãd fi al-I`tiqãd, h 112.
130

tidak mutlak lagi. Allah bebas berbuat apa saja yang dikehendaki dan bebas
tidak berbuat apa yang tidak dikehendaki-Nya. Perbuatan Allah tidak
didorong atau dilatarbelakangi oleh suatu sebab ( ‫ ) ﻋﻠّﺔ‬yang mewajibkan-
Nya berbuat sesuatu.
Adapun pendirian Maturidiyyah Bukhara sejalan dengan pendirian
Asy`ariyyah tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan. Oleh
karena itu Tuhan tidak wajib berbuat baik kepada manusia, dan tidak wajib
mengirim rasul-rasul. Tuhan juga dapat memberi beban yang tak terpikul
oleh manusia.299 Kaum Maturidiyyah Bukhara agak berbeda dengan golongan
Asy`ariyyah. Bagi Maturidiyyah Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar
janji-Nya memberi ganjaran kepada yang berbuat baik, tetapi sebaliknya,
bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi
hukuman kepada orang yang berbuat jahat. 300 Sedang bagi Asy`ariyyah,
kedua bentuk janji tersebut mungkin saja dilanggar Tuhan, karena Tuhan
tidak berkewajiban untuk menepatinya.
Menurut Mu`tazilah, perbuatan Tuhan hanyalah terbatas pada hal-hal
yang baik saja. Ia tidak pernah melakukan dan memilih perbuatan buruk,
dan tidak pula pernah menyia-nyiakan kewajiban-Nya.301 Ini sesuai dengan
prinsip Mu`tazilah bahwa Tuhan wajib berbuat baik, bahkan terbaik bagi
kepentingan manusia, yang dikenal dengan istilah wujub al-éalah wa al-
aélah.
Untuk melegitimasi pendapat tersebut, Mu`tazilah merujuk kepada
surat al-Anbiyã' [21]: 23 dan al-Rüm [30]: 8:
öNèdur ã@yèøÿtƒ $¬Hxå ã@t«ó¡ç„ Ÿw
302
(23 :‫)اﻷﻧﺒ ﺎء‬ ÇËÌÈ šcqè=t«ó¡ç„

299
Harun Nasution, Teologi Islam, h 128-134.
300
Harun Nasution, Teologi Islam, h 128-134.
301
Abdul Jabbãr, Syarè al-Ushül al-Khamsah, h 301.
302
Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, dan merekalah yang akan
ditanya. (QS. al-Anbiyã' [21]: 23).
131

ÏNºuq»uK¡¡9$# ª!$# t,n=y{ $¨B


!$yJåks]øŠt/ $tBur uÚö‘F{$#ur
303
(8 :‫)اﻟﺮوم‬ ÇÑÈ Èd,ysø9$$Î/ žwÎ)
Ayat pertama, menurut Abdul Jabbãr, bahwa Tuhan hanya berbuat
yang baik-baik dan Dia Maha Suci dari perbuatan yang buruk, dengan
demikian Tuhan tidak perlu ditanya. Seseorang yang terkenal baik, demikian
Abdul Jabbãr, apabila secara nyata ia telah berbuat baik, sebenarnya ia
tidak perlu ditanya kenapa perbuatan itu ia lakukan.304 Ayat kedua menurut
Abdul Jabbãr menunjukkan, bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan
melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Sebab, kalau Tuhan melakukan
perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa: Ia menciptakan langit dan bumi
serta segala isinya kecuali dengan hak, tentunya berita bohong atau tidak
benar.305
Kaum Mu`tazilah juga berpendapat bahwa Tuhan wajib mengirim
rasul-rasul kepada umat manusia. Hal ini disebabkan karena Tuhan
berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Tanpa pengiriman
rasul-rasul manusia tidak akan dapat memperoleh hidup baik dan terbaik,
baik di dunia maupun di akhirat nanti.306
Karena Tuhan wajib berbuat baik, bahkan terbaik untuk kepentingan
manusia, maka pemberian beban di luar kemampuan manusia, tidak dapat
diterima kaum Mu`tazilah, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip al-
shalah wa al-aslah, dan juga bertentangan dengan paham tentang keadilan
Tuhan.307
Maturidiyyah Samarkand, karena juga memberi batasan-batasan

303
Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
melainkan dengan yang haq. (QS. al-Rüm [30]: 8).
304
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 497.
305
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h 552.
306
Abdul Jabbãr, Syarè Uéül al-Khamsah, h 563-564. Harun Nasution, Teologi Islam,
h 131.
307
Harun Nasution, Teologi Islam, h 129.
132

kepada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, dapat menerima paham


adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, seperti kewajiban menepati janji
tentang pemberian upah dan pemberian hukuman, 308 kewajiban mengirim
para rasul. 309 Adapun mengenai kewajiban Tuhan melakukan hal-hal baik
dan terbaik, al-Mãturîdi tidak secara tegas menyatakan wajib, ia hanya
mengatakan bahwa semua perbuatan Tuhan itu berdasarkan hikmat
kebijaksanaan.310
Maturidiyyah Samarkand juga memberikan batas kepada kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat bahwa perbuatan Tuhan
hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan
mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga
dengan masalah pengiriman rasul dipandang oleh Maturidiyyah Samarkand
sebagai kewajiban Tuhan.311
Dalam uraian berikut dikemukakan pula pandangan Muhammad
Quraish Shihab. Firman Allah dalam surat al-Anbiyã' [21]: 23 312 ditafsirkan
oleh Muhammad Quraish Shihab, tentang bukti keesaan Allah dan kuasa-
Nya.313 Dia tidak wajar ditanya, yakni dimintai pertanggungjawaban, dikritik
atau dikecam oleh siapa pun tentang apa yang Dia perbuat, karena Dia Maha
Kuasa, Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana dan merekalah, yakni makhluk
mukalaf dan atau bersama tuhan-tuhan yang mereka sembah yang akan

308
Abdul Jabbãr, Syarè Uéül al-Khamsah , h 129.
309
Kamãl al-Dîn Aèmad al-Bayãdi, Isyãrat al-Marãm min Ibarãt al-Imãm, (Ed), Yüsuf
‘Abd al-Razzãq, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, 1949), h 312.
310
Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah, h 203.
311
Harun Nasution, Teologi Islam, h 132. Kamãl al-Dîn Aèmad al-Bayãdi, Isyãrat al-
Marãm min 'Ibãrat al-Imãm, (Ed), Yusuf Abd al-Razzãq, (Kairo: Mustafa al-Bãbi al-Halabî wa
Aulãduh, 1949), h 312.
312
Teks ayat:
šcqè=t«ó¡ç„ öNèdur ã@yèøÿtƒ $¬Hxå ã@t«ó¡ç„ Ÿw
ÇËÌÈ
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai. (QS.
al-Anbiyã [21]: 23).
313
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 433.
133

ditanya kelak di hari Kemudian tentang apa yang mereka telah lakukan. 314
Dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas, jelaslah bahwa
dalam melakukan perbuatan-Nya, Allah tidak bertanggungjawab kepada
siapa pun, karena Dia pemilik dan penguasa serta segala perbuatan-Nya
sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan, karena itu apa pun yang
dilakukan-Nya tidak perlu Dia pertanggungjawabkan, tidak juga wajar
dikecam atau dikritik, berbeda dengan manusia. Dengan lebih jelas
Muhammad Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut:
Mengisyaratkan Kepemilikan, Kuasa, serta Ilmu Allah yang Maha
Mutlak, sekaligus mengisyaratkan kedudukan manusia sebagai
makhluk bertanggung jawab. Allah Maha Pemilik mutlak lagi Maha
Kuasa, serta segala perbuatan-Nya sesuai dengan hikmah dan
kemaslahatan, karena itu apa pun yang dilakukan-Nya tidak perlu Dia
pertanggungjawabkan, tidak juga wajar dikecam atau dikritik,
berbeda dengan manusia. Bukankah jika kita memiliki–katakanlah-
sebuah cangkir, kita tidak bebas melempar atau memecahkannya,
karena jika itu kita lakukan maka paling sedikit pertanyaan yang
mengandung permintaan pertanggungjawaban akan ditujukan kepada
kita, bahkan boleh jadi kecaman akan terlontar kepada kita. Ini
karena kepemilikan manusia terhadap sesuatu bukanlah kepemilikan
mutlak. Di samping itu, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk
bertanggung jawab. Ini berbeda dengan Allah, Tuhan Yang Maha
Kuasa, Dia adalah Pemilik Mutlak, Dia tidak dikecam atas apa pun
yang dilakukan-Nya, apalagi pertimbangan pikiran manusia tidak
dapat menjadi ukuran yang pasti terhadap perbuatan-perbuatan-Nya.
Isi hati dan motif pelaku mempunyai peranan yang besar dalam
menerima atau menolak, mengkritik atau memuji satu kebijaksanaan
atau tindakan. Allah Maha Mengetahui, tidak ada sesuatu yang
bersumber dari-Nya buruk. Memang boleh jadi itu terlihat buruk oleh
mata manusia yang pengetahuannya terbatas, tetapi hakikatnya tidak
demikian. Karena itu Allah tidak wajar dimintai pertanggungjawaban,
tidak juga dikritik. Sebaliknya Allah mengetahui isi hati manusia dan
motif-motifnya, mengetahui rincian amal-amal mereka, dan sebelum
itu Dia telah menetapkan bahwa manusia adalah makhluk

314
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 434.
134

bertanggung jawab, dan karena itu manusia sangat wajar untuk


dimintai pertanggungjawaban.315

Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab di atas, dapat dipahami


bahwa meskipun Allah Maha Kuasa dan mempunyai kekuasaan penuh untuk
melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya, tanpa ada yang bisa
menghalangi-Nya. Tetapi, segala perbuatan-Nya sesuai dengan hikmah dan
kemaslahatan, tidak ada kesan bahwa Allah berbuat sewenang-wenang
terhadap makhluk-Nya. Di samping itu, Allah Maha Mengetahui, tidak ada
sesuatu yang bersumber dari-Nya buruk.

Selanjutnya dalam menafsirkan surat al-Rüm [30]: 8, 316 Muhammad


Quraish Shihab mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumi
tanpa tujuan yang benar.” Ini, karena diri setiap insan merupakan bagian
dari penciptaan langit dan bumi dengan segala isinya. 317 Lebih lanjut
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa penciptaan langit dan bumi
dengan haq, berarti ia tidak diciptakan secara sia-sia atau tanpa tujuan.
Proses penciptaan bukannya akan berlanjut tanpa henti. Kini ada yang mati,
ada yang hidup. Tapi pasti ada tujuan dari kehidupan dan kematian itu.
Tujuan tersebut akan dicapai kelak setelah tibanya ajalin musammã, yakni
batas akhir yang ditentukan bagi punahnya alam ini.318
Dari uraian-uraian di atas dapatlah dipahami bahwa semua perbuatan

315
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 436.
316
Teks ayat:
$¨B 3 NÍkŦàÿRr& þ’Îû (#rã•©3xÿtGtƒ öNs9urr&
$tBur uÚö‘F{$#ur ÏNºuq»uK¡¡9$# ª!$# t,n=y{
‘wK|¡•B 9@y_r&ur Èd,ysø9$$Î/ žwÎ) !$yJåks]øŠt/
ÇÑÈ
Dan apakah mereka tidak memikirkan tentang diri mereka? Allah tidak menciptakan langit
dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan yang haq dan batas
waktu yang ditentukan. (QS. al-Rüm [30]: 8).
317
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 15.
318
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 16.
135

dan ciptaan Allah membawa hikmah dan kebaikan kepada manusia. Dengan
demikian, tidak ada satu pun dari perbuatan dan ciptaan-Nya itu yang
membawa keburukan. Kalau pun ternyata di dunia ini banyak dijumpai
keburukan yang menimpa manusia, menurut Muhammad Quraish Shihab,
keburukan itu bukan berasal dari Allah, melainkan berasal dari kesalahan
manusia sendiri sebab utuk memperoleh kebaikan dan menghindari
keburukan, Allah sudah membuatkan sunah-sunah-Nya tentang kebaikan dan
keburukan tersebut. 319 Demikian penjelasan Muhammad Quraish Shihab
ketika menafsirkan surat al-Nisã' [4]: 79.320 Kalau kebetulan manusia selalu
mengikuti sunnatullah yang berkenaan dengan kebaikan, baik secara
sengaja maupun tidak sengaja, ia akan selalu memperoleh kebaikan dalam
kehidupannya. Sebaliknya, kalau ia mengikuti sunah-sunah yang berkenaan
dengan keburukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, ia juga akan
menerima keburukan dalam kehidupannya. Secara lebih jelas Muhammad
Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut:
Awal kehadiran kebajikan dari Allah swt. sedang awal terjadinya
kejahatan adalah dari manusia sendiri. Bukankah Allah sejak semula
menginginkan kebaikan, dan kalau manusia mengusahakannya maka
insya Allah akan terjadi. Selanjutnya bukankah manusia yang salah
atau keliru sehingga kejahatan terjadi?321

Berkenaan dengan masalah beban di luar kemampuan manusia (al-


taklîf mã lã yutãq), Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan aliran
Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand yang menolak paham Tuhan dapat

319
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 520-521.
320
Teks ayat:
( «!$# z`ÏJsù 7puZ|¡ym ô`ÏB y7t/$|¹r& !$¨B
4 y7Å¡øÿ¯R `ÏJsù 7py¥Íh‹y™ `ÏB y7t/$|¹r& !$tBur
4’s"x.ur 4 Zwqß™u‘ Ĩ$¨Z=Ï9 y7»oYù=y™ö‘r&ur
ÇÐÒÈ #Y‰‹Íky- «!$$Î/
Apa saja nikmat yang engkau peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi rasul kepada
segenap manusia. (QS. al-Nisã' [4]: 79).
321
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 521.
136

memberikan beban di luar kemampuan untuk memikulnya. Sehubungan


dengan ini, Muhammad Quraish Shihab mengatakan kewajiban yang
dibebankan Allah dapat dipikul oleh siapapun dan bahwa meraih surga
tidaklah sesulit apa yang dibayangkan oleh para pendurhaka.322 Penjelasan
ini, merupakan penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap surat al-
A`rãf [7]: 42. 323 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan
sebagai berikut:
“Bila suatu telah sempit maka ia menjadi luas” dalam arti apabila
ada kewajiban agama yang tidak dapat dilaksanakan seseorang oleh
satu dan lain sebab yang dibenarkan, maka kewajiban itu, dapat
gugur atau terganti dengan yang lain dan yang lebih ringan sehingga
akan mampu dipikul. Seseorang yang sakit atau terlalu tua untuk
melaksanakan kewajiban berpuasa, dapat menunda puasanya di lain
hari atau bahkan kewajiban itu dapat gugur baginya dengan
membayar fidyah.324

Sejalan dengan itu, Muhammad Quraish Shihab berpandangan bahwa


Tuhan tidaklah membebankan taklif kepada manusia di luar batas
kemampuan, akan lebih jelas dipahami selanjutnya apa yang dikatakan oleh
Muhammad Quraish Shihab dalam menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 286. 325

322
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 100.
323
Teks ayat:
ÇÍËÈ !$ygyèó™ãr žwÎ) $²¡øÿtR ß#Ïk=s3çR Ÿw
Kami tidak memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai kesanggupannya.
(QS. al-A`rãf [7]: 42).
324
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 100.
325
Teks ayat:
$ygs9 4 $ygyèó™ãr žwÎ) $²¡øÿtR ª!$# ß#Ïk=s3ムŸw
3 ôMt6|¡tFø.$# $tB $pköŽn=tãur ôMt6|¡x. $tB
÷rr& !$uZŠÅ¡®S bÎ) !$tRõ‹Ï{#xsè? Ÿw $oY-/u‘
!$uZøŠn=tã ö@ÏJóss? Ÿwur $oY-/u‘ 4 $tRù'sÜ÷zr&
`ÏB šúïÏ%©!$# ’n?tã ¼çmtFù=yJym $yJx. #\•ô¹Î)
sps%$sÛ Ÿw $tB $oYù=ÏdJysè? Ÿwur $uZ-/u‘ 4 $uZÎ=ö6s%
$oYs9 ö•Ïÿøî$#ur $¨Ytã ß#ôã$#ur ( ¾ÏmÎ/ $oYs9
$tRö•ÝÁR$$sù $uZ9s9öqtB |MRr& 4 !$uZôJymö‘$#ur
ÇËÑÏÈ šúïÍ•Ïÿ»x6ø9$# ÏQöqs)ø9$# ’n?tã
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kelapangan / kesanggupannya.
Baginya apa yang telah diusahakan, dan atasnya apa yang telah ia usahakan. (Mereka
berdoa), “Tuhan kami! Janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.
137

Menurut Muhammad Quraish Shihab, tugas-tugas yang dibebankan Allah


kepada manusia adalah tugas-tugas yang lapang (kata lapang dalam konteks
tugas dipahami dalam arti mudah). Mudah untuk dilaksanakan, bahkan
setiap seorang yang mengalami kesulitan dalam pelaksanaan satu tugas,
oleh satu dan lain faktor, maka kesulitan tersebut melahirkan kemudahan
yang dibenarkan walau sebelumnya tidak dibenarkan.326 Untuk memperjelas
pandangannya itu, Muhammad Quraish Shihab memberikan contoh.
Misalnya, shalat diwajibakan berdiri, tetapi kalau sulit berdiri, maka boleh
duduk. Seorang yang sulit mendapat air untuk berwudhu atau khawatir
mengalami kesulitan menyangkut kesehatannya, maka dia boleh
bertayammum, dan masih setumpuk contoh yang lain. Demikianlah, Allah
tidak menghendaki sedikit pun kesulitan menimpa manusia.327 Jadi, dengan
kata lain, Allah tidak akan membebani manusia melainkan sesuai dengan
kemampuan mereka untuk memikulnya.
Dari uraian di atas menunjukkan, bahwa Tuhan menurut Muhammad
Quraish Shihab tidak memberikan beban yang tak sanggup memikulnya oleh
manusia. Pandangan Muhammad Quraish Shihab ini sejalan dengan pendirian
kalam rasional (Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand). Sebaliknya,
bertentangan dengan pemikiran kalam tradisional (Asy`ariyyah dan
Maturidiyyah Bukhara) yang berpendirian bahwa Tuhan dapat memberikan
beban kepada manusia di luar batas kemampuannya.
Berkenaan dengan masalah pengiriman rasul-rasul, Muhammad
Quraish Shihab mengatakan, bahwa keniscayaan hadirnya rasul sebagai
pembawa kabar gembira dan peringatan untuk manusia di muka bumi ini.

Tuhan kami! Jangalah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaian Engkau
bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami; lindungi kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka menangkanlah kami atas kaum yang
kafir.” (QS. al-Baqarah [2]: 286).
326
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 621.
327
Muhammad Quraish Shihab Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 621.
138

Demikian penjelasan Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat


328
al-Nisã' [4]: 165. Secara lebih jelas Muhammad Quraish Shihab
mengatakan sebagai berikut:
Keniscayaan kehadiran rasul bagi umat manusia. Memang, banyak hal
yang menjadikan keniscayaan itu. Antara lain, bahkan terutama,
adalah karena tabiat manusia sendiri. Manusia adalah makhluk sosial,
ia tidak dapat hidup sendiri. Kebutuhan hidupnya hanya dapat
terpenuhi dengan bantuan pihal lain. Tetapi dalam saat yang sama
manusia memiliki sifat egoisme yang dapat menjadikan lalu lintas
kehidupan mereka saling bertabrakan karena benturan kepentingan
dan atau egoismenya masing-masing. Untuk menghindari hal
tersebut, Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui itu tidak memilki
sedikit pun kepentingan, tidak juga memiliki sifat egoisme. Dari sini,
Allah menetapkan hukum dan tuntunan-Nya. Dia memilih nabi dan
rasul untuk menyampaikan informasi dan tuntunan itu kepada
manusia, sambil memerintahkan untuk menyampaikan berita gembira
bagi yang taat mengikuti perintah-Nya dan peringatan serta ancaman
bagi yang membangkang. Allah menyampaikan hal itu kepada seluruh
manusia melalui para nabi dan rasul, agar yang mendapatkan buah
kejahatan yang dilakukannya tidak berdalih bahwa mereka tidak
tahu. Bukankah para nabi dan rarul telah menyampaikan kepada
mereka?329

Menurut Muhammad Quraish Shihab, kehadiran para rasul juga


dibutuhkan oleh manusia, karena keterbatasan akal dan pengetahuannya.
Sekian banyak persoalan yang dihadapai tidak dapat ditemukan jawabannya
oleh nalar atau pengalaman manusia. Sebagai contoh, pertanyaan tentang
kematian dan apa yang terjadi setelah kematian. Persoalan ini hanya dapat
dijawab oleh Allah swt., dan ini diinformasikannya kepada nabi dan rasul,

328
Teks ayat:
tbqä3tƒ žxy¥Ï9 tûïÍ‘É‹YãBur tûïÎŽÅe³t6•B Wxß™•‘
4 È@ß™”•9$# y‰÷èt/ 8p¤fãm «!$# ’n?tã Ĩ$¨Z=Ï9
ÇÊÏÎÈ $VJŠÅ3ym #¹“ƒÍ•tã ª!$# tb%x.ur
Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan
bagi manusia membantah Allah sesudah Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. al-Nisã' [4]: 165).
329
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 666.
139

untuk selanjutnya mereka sampaikan kepada umat manusia.330 Jadi, dengan


kata lain, pengiriman rasul-rasul adalah keniscayaan dan sangat dibutuhkan
oleh manusia. Di samping itu, hikmahnya Allah mengutus para rasul antara
lain agar di akhirat nanti orang-orang yang dihisab Allah tidak dapat
berdalih atas perbuatan dosa mereka. Sekiranya Allah tidak mengutus para
rasul-Nya, di akhirat nanti orang-orang akan memprotes kenapa mereka
dihukum di akhirat dan di dunia. Padahal, hukuman yang mereka terima itu
adalah akibat kejahatan mereka sendiri.
Sejalan dengan itu adalah penafsiran Muhammad Quraish Shihab
terhadap surat al-Qaéaé [28]: 47, 331 yang menyatakan bahwa kehadiran
wahyu-wahyu yang menjadi peringatan itu di samping menjadi rahmat juga
merupakan satu keniscayaan yang sangat dibutuhkan, karena seandainya
mereka sendiri kerjakan – seandainya mereka tidak berdalih dan
mengatakan: “Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus seorang rasul
kepada kami yang memberi kami tuntunan dan peringatan, sehingga kami
dapat mengikuti ayat-ayat-Mu dan jadilah kami termasuk orang-orang
mukmin” – seandainya tidak demikian dalih mereka – niscaya Kami tidak
mengutusmu wahai Nabi Muhammad dan tidak juga mengutus para rasul
sebelummu. Tetapi itulah dalih yang akan mereka ucapkan, karena itu
mengutus pemberi peringatan merupakan keniscayaan dan karena itu pula

330
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 667.
331
Teks ayat:
ôMtB£‰s% $yJÎ/ 8pt7ŠÅÁ•B Nßgt6ŠÅÁè? br& Iwöqs9ur
Iwöqs9 $oY-/u‘ (#qä9qà)u‹sù öNÍgƒÏ‰÷ƒr&
yìÎ7®KuZsù Zwqß™u‘ $uZøŠs9Î) |Mù=y™ö‘r&
ÇÍÐÈ tûüÏZÏB÷sßJø9$# šÆÏB šcqä3tRur y7ÏG»tƒ#uä
Dan seandainya mereka ketika mereka ditimpa musibah disebabkan apa yang mereka
kerjakan: “Tuhan kami, mengapa Engkau tidka mengutus seorang rasul kepada kami
sehingga kami mengikuti ayat-ayat-Muhammad dan jadilah kami termasuk orang-orang
mukmin. (QS. al-Qaéaé [28]: 47).
140

Kami mengutusmu sehingga tidak ada lagi dalih yang dapat mereka
ajukan.332
Dari uraia-uraian di atas menunjukkan, bahwa pengiriman rasul
menurut Muhammad Quraish Shihab adalah keniscayaan dan sangat
dibutuhkan untuk memberikan kebaikan dan kemaslahatan manusia.
Pandangan Muhammad Quraish Shihab ini sejalan dengan pemikiran kalam
rasional yang dianut oleh Mu`tazilah333 dan Maturidiyyah Samarkand bahwa
pengiriman rasul merupakan kewajiban Tuhan untuk memberikan
kemaslahatan bagi manusia.
Berikut ini dikemukakan pula pandangan Muhammad Quraish Shihab
mengenai masalah janji dan ancaman (al-wa`d wa al-wa`îd). Bagaimana
pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang hal ini? Seperti pada
pembahasan mengenai keadilan Tuhan, dalam pandangan Muhammad
Quraish Shihab, Tuhan mempunyai janji-janji yang mesti Ia tepati. Allah
sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji-Nya pasti terlaksana pada
waktu yang Dia kehendaki, cepat atau lambat, sesuai dengan
kebijaksanaan-Nya. Demikian penjelasan Muhammad Quraish Shihab ketika
menafsirkan surat al-Èajj [22]: 47-48. 334 Pada bagian lain dari tafsirnya,

332
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol X, h 360.
333
Meskipun golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa akal dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, namun pengiriman para rasul menurut mereka adalah
wajib.
334
Teks ayat:
`s9ur É>#x‹yèø9$$Î/ y7tRqè=Éf÷ètGó¡o„ur
y‰YÏã $·Böqtƒ žcÎ)ur 4 ¼çny‰ôãur ª!$# y#Î=øƒä†
ÇÍÐÈ šcr‘‰ãès? $£JÏiB 7puZy™ É#ø9r(x. y7În/u‘
š†Éfur $olm; àMø‹n=øBr& >ptƒö•s% `ÏiB ûÉiïr(Ÿ2ur
¥’n<Î)ur $pkèEõ‹s{r& ¢OèO ×pyJÏ9$sß
ÇÍÑÈ çŽ•ÅÁyJø9$#
Dan mereka meminta kepadamu agar disegerakan azab, padahal Allah sekali-kali tidak akan
menyalahi janji-Nya, dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun
menurut perhitungan kamu. Dan berapa banyak kota yang Aku tangguhkan kepadanya,
141

Muhammad Quraish Shihab juga mengatakan bahwa janji Allah adalah


benar, janji Allah dengan sebenar-benarnya pasti akan terlaksana. Allah
tidak akan pernah memungkiri janji-Nya.335 Demikian penafsiran Muhammad
Quraish Shihab terhadap surat al-Zumar [39]: 20.336
Tuhan tidak akan memungkiri janji-janji yang telah dibuat-Nya,
demikian kata Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-Èajj
[22]: 47-48 dan surat al-Zumar [39]: 20. Seperti janji-Nya akan memasukkan
orang-orang yang beriman dan beramal saleh ke dalam surga, dan
memasukkan orang-orang kafir dan durhaka ke dalam neraka. Dan janji
Tuhan tersebut mesti terlaksana. Karena bila Tuhan memungkiri janji-janji
tersebut, itu berarti Tuhan bisa dikatakan berlaku zalim. Dengan demikian
akan dikatakan Ia bersifat tidak adil. Sifat tidak menepati janji dan tidak
menjalankan ancaman itu bertentangn dengan kemaslahatan manusia.
Itulah sebabnya menepati janji dan melaksanakan ancaman menjadi
kewajiban Tuhan.
Pandangan Muhammad Quraish Shihab yang mengatakan bahwa
Tuhan tidak akan memungkiri janji-janji-Nya, secara implisit mengandung
pengertian bahwa Tuhan wajib menepati janji dan melaksanakan ancaman-
Nya, sebagaimana yang Dia janjikan dalam al-Qur`an. Karena jika Tuhan
tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan ancaman tersebut, berarti
Tuhan boleh melakukan kesewenang-wenangan. Dan ini bertentangan
dengan sifat keadilan Tuhan, kebijaksanaan yang berorientasi kepada
kebaikan dan kemaslahatan manusia.

padahal ia berbuat zalim, kemudian Aku menyiksanya, dan hanya kepada-Ku-lah kembali
(segala sesuatu). (QS. al-Èajj [22]: 47-48)
335
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 208.
336
Teks ayat:
yŠ$yè‹ÏJø9$# ª!$# ß#Î=øƒä† Ÿw ( «!$# y‰ôãur
ÇËÉÈ
Janji Allah, Allah tidak akan memungkiri janji. (QS. al-Zumar [39]: 20).
142

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, pandangan yang


mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memungkiri janji – karena bila Tuhan
memungkiri janji, berarti Tuhan bisa dikatakan zalim – erat kaitannya
dengan paham Tuhan mempunyai kewajiban untuk memenuhi janji dan
ancaman-Nya. Dalam pemikiran kalam rasional, Tuhan dikatakan akan
bersifat tidak adil, bila Dia tidak menepati janji dan tidak menjalankan
ancaman. Di samping itu, keadaan tidak menepati janji dan tidak
menjalankan ancaman, bertentangan dengan kemaslahatan dan kebaikan
manusia. Itulah sebabnya, menepati janji dan melaksanakan ancaman
menjadi kewajiban Tuhan.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Quraish Shihab
berpendapat bahwa Tuhan berkewajiban untuk memenuhi janji dan
melaksanakan ancaman-Nya, sebagai yang Dia janjikan dalam al-Qur`an.
Sebab, bila Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan ancaman
tersebut, berarti Tuhan boleh melakukan kesewenang-wenangan. Dan ini
jelas bertentangan dengan sifat keadilan Tuhan serta kebaikan dan
kemaslahatan manusia.
BAB IV
PEMIKIRAN MUHAMMAD QURAISH SHIHAB
TENTANG MANUSIA

Dalam bab ini akan diuraikan pemikiran Muhammad Quraish Shihab


dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang membahas tentang manusia.
Pembahasan dalam bab ini terbagi ke dalam tiga sub, yaitu: 1) Kemampuan
akal dan fungsi wahyu, 2) Perbuatan manusia, dan 3) Konsep iman.

A. Kemampuan Akal dan Fungsi Wahyu


1. Kemampuan Akal
Masalah akal dan wahyu dalam pemikiran kalam dibicarakan dalam
konteks – manakah di antara keduanya, akal atau wahyu – sebagai sumber
pengetahuan manusia tentang Tuhan, tentang kewajiban berterima kasih
kepada Tuhan, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang
kewajiban menjalankan yang baik dan menghindari yang buruk.
Aliran Asy`ariyyah, sebagai penganut pemikiran kalam tradisional,
berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui Tuhan, sedangkan tiga
hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, baik dan buruk,
serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat,
diketahui manusia berdasarkan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyyah
Bukhara yang juga digolongkan ke dalam pemikir kalam tradisional
berpendapat bahwa dua dari keempat hal tersebut diatas, yakni mengetahui
Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk, dapat diketahui melalui
akal, sedangkan dua hal lainnya, yakni kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik serta meninggalkan yang
buruk, hanya dapat diketahui dengan wahyu.
Aliran kalam tradisional mempergunakan beberapa ayat al-Qur`an
sebagai dalil untuk memperkuat pendirian mereka. Ayat-ayat tersebut

143
144

adalah surat Thaha[20]: 134, al-Isrã' [17]: 15, dan surat al-Mulk [67]: 8-9:1
Nßg»oYõ3n=÷dr& !$¯Rr& öqs9ur
¾Ï&Î#ö7s% `ÏiB 5>#x‹yèÎ/
Iwöqs9 $uZ-/u‘ (#qä9$s)s9
Zwqß™u‘ $uZø‹s9Î) |Mù=y™ö‘r&
ìÎ7®KuZsù
¤AÉ‹¯R br& È@ö7s% `ÏB y7ÏG»tƒ#uä
2
(134: ‫ )ﻃ‬ÇÊÌÍÈ 2”t“øƒwUur
$yJ¯RÎ*sù 3“y‰tF÷d$# Ç`¨B
¨@|Ê `tBur ( ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 “ωtGöku‰
Ÿwur 4 $pköŽn=tæ ‘@ÅÒtƒ $yJ¯RÎ*sù
3 3“t•÷zé& u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s?
4Ó®Lym tûüÎ/Éj‹yèãB $¨Zä. $tBur
3
(15 :‫ )اﻻﺳﺮاء‬ÇÊÎÈ Zwqß™u‘ y]yèö6tR
( Åáø‹tóø9$# z`ÏB 㔨•yJs? ߊ%s3s?
Ólöqsù $pkŽÏù u’Å+ø9é& !$yJ¯=ä.
óOs9r& !$pkçJtRt“yz öNçlm;r'y™
(#qä9$s% ÇÑÈ Ö•ƒÉ‹tR ö/ä3Ï?ù'tƒ
Ö•ƒÉ‹tR $tRuä!%y` ô‰s% 4’n?t/
tA¨“tR $tB $uZù=è%ur $uZö/¤‹s3sù
žwÎ) óOçFRr& ÷bÎ) >äóÓx« `ÏB ª!$#
4
(9-8 :‫ )اﻟﻤﻠﻚ‬ÇÒÈ 9Ž•Î7x. 9@»n=|Ê ’Îû

Ayat-ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah tidak menurunkan azab

1
Abu Yusr Muèammad Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss,
(Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 209.
2
Dan Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu
(diturunkan), tentulah mereka berkata: "Ya Tuhan Kami, mengapa tidak Engkau utus
seorang Rasul kepada Kami, lalu Kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum Kami menjadi
hina dan rendah?". (QS. Thaha [20]: 134).
3
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia
berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka
Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak
dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus
seorang rasul. (QS. al-Isrã' [17]: 15).
4
Hampir-hampir (neraka) itu terpecah-pecah lantaran marah. Setiap kali
dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu)
bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang
pemberi peringatan?" Mereka menjawab: "Benar ada", Sesungguhnya telah datang kepada
Kami seorang pemberi peringatan, Maka Kami mendustakan(nya) dan Kami katakan: "Allah
tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar".
(QS. al-Mulk [67]: 8-9).
145

atau siksa kecuali setelah Rasul diutus.5 Ini menunjukkan bahwa kewajiban-
kewajiban tidak ada kecuali setelah diutusnya Rasul. Dengan demikian iman
tidaklah wajib sebelum Rasul diutus. Karena kewajiban-kewajiban tidak
terwujud kecuali kalau diwajibkan oleh Allah, sedang kewajiban dari Allah
tidak dapat diketahui dengan berita seseorang yang diutus oleh Allah. Oleh
karena itu tidaklah tergambar adanya kewajiban-kewajiban sebelum Rasul
diutus.6

Aliran Mu’tazilah sebagai penganut pemikiran kalam rasional


berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan mengetahui keempat hal
tersebut diatas.7 Adapun aliran Maturidiyyah Samarkand, bagi mereka hanya
satu yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat, yang
tidak dapat diketahui oleh akal. Ketiga masalah lainnya adalah dalam
jangkauan akal. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, baik dan jahat,
wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan.8
Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand memperkuat pendirian
mereka dengan surat Fuééilat [41]: 53, al-Ghãsyiyah [88]: 17 dan al-A`rãf
[7]: 185:9
’Îû $uZÏF»tƒ#uä óOÎgƒÎŽã\y™
öNÍkŦàÿRr& þ’Îûur É-$sùFy$#
çm¯Rr& öNßgs9 tû¨üt7oKtƒ 4Ó®Lym
É#õ3tƒ öNs9urr& 3 ‘,ptø:$#
5
Saif al-Dîn Abi al-Èasan Ali bin Ali bin Muèammad al-Amîdi, al-Ièkãm fi Uéül al-
Aèkãm, juz 1, (Beirut: Dãr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1958), h 82.
6
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, h. 209. Abdul Karîm Naufãn `Abidat, Al-Dilãlat al-
`Aqliyyah fi al-Qur`an wa Makãnatuhu fi Masãil al-`Aqîdat al-Islãmiyyah, (Ummãn: Dãr al-
Nafã`is, 1420 H/ 2000 M.), h. 180.
7
Muèammad Ibn `Abd al-Karîm al-Syahrastãni, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dãr al-
Kutub al-Ilmiyyah, t.th.), vol I, h. 39. Lihat juga Muèammad Abu Zahrah, Tãrikh al-Maíãhib
al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-Aqã`id, (Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th.), vol I, h.
144. Lihat juga Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), h. 81.
8
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 91.
9
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, h. 208-209.
146

Èe@ä. 4’n?tã ¼çm¯Rr& y7În/t•Î/


10
(53 :‫ )ﻓﺼﻠﺖ‬ÇÎÌÈ î‰‹Íky- &äóÓx«
È@Î/M}$# ’n<Î) tbrã•ÝàYtƒ Ÿxsùr&
11
(17 :‫ )اﻟﻐﺎﺷ ﺔ‬ÇÊÐÈ ôMs)Î=äz y#ø‹Ÿ2
ÏNqä3n=tB ’Îû (#rã•ÝàZtƒ óOs9urr&
$tBur ÇÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$#
÷br&ur &äóÓx« `ÏB ª!$# t,n=y{
z>uŽtIø%$# ωs% tbqä3tƒ br& #Ó|¤tã
¤]ƒÏ‰tn Äd“r'Î7sù ( öNßgè=y_r&
12
(185:‫ )اﻻﻋﺮاف‬ÇÊÑÎÈ tbqãZÏB÷sム¼çny‰÷èt/

Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa Allah telah mewajibkan


perenungan dan pemikiran terhadap ciptaan-Nya agar manusia mengetahui
bahwa Dia Maha Pencipta. Ini berarti bahwa ayat-ayat di atas menunjukkan
bahwa wajib beriman kepada Allah sebelum turunnya wahyu, karena
manusia dengan kekuatan akalnya dapat mengetahui bahwa kekufuran itu
haram, karena kekufuran itu sesuatu yang dibenci Allah, sedang yang
dibenci Allah adalah haram. Oleh sebab itu dengan kemampuan akalnya
manusia dapat mengetahui bahwa beriman kepada Allah itu adalah wajib.13
Selanjutnya bagaimana kedudukan akal dalam tafsri al-Misbah, dan
sejauh manakah wewenang akal dalam mengetahui empat masalah
(mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk, kewajiban berterima kasih kepada
Tuhan serta kewajiban melaksanakan yang baik dan menghindari yang jahat?

10
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al
Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas
segala sesuatu? (QS. Fuééilat [41]: 53).
11
Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan. (QS.
al-Ghãsyiyah [88]: 17).
12
Dan Apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala
sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka
kepada berita manakah lagi mereka akan beriman sesudah Al Quran itu? (QS. al-A`rãf [7]:
185).
13
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, 209.
147

Akal14 menurut Muhammad Quraish Shihab adalah salah satu di antara


empat hidayah yang diberikan Allah kepada manusia. Sehubungan dengan
kemampuan akal itu Muhammad Quraish Shihab mengatakan:
Yang meluruskan kesalahan panca indra adalah petunjuk Allah yang
ketiga yakni akal. Akal yang mengkoordinir semua informasi yang
diperolehh indra kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang
sedikit atau banyak dapat berbeda dengan hasil informasi indra.
Tetapi walau petunjuk akal sangat penting dan berharga, namun
ternyata ia hanya berfungsi dalam batas-batas tertentu dan tidak
mampu menuntun manusia keluar jangkauan alam fisika. Bidang
operasinya adalah bidang alam nyata dan dalam bidang ini pun tidak
jarang manusia terperdaya oleh kesimpulan-kesimpulan akal sehingga

14
Al-Èaris bin Asad al-Muèãsibî, seorang sufi besar, sekaligus pakar hukum dan
hadis serta sastrawan yang wafat di Bagdad pada tahun 857 M berkata bahwa: “Akal adalah
insting yang diciptakan Allah swt. pada kebanyakan makhluk-Nya, yang (hakikatnya) oleh
hamba-hamba-Nya- baik melalui (pengajaran) sebagian untuk sebagian yang lain, tidak juga
mereka secara berdiri sendiri- (mereka semua) tidak dapat menjangkaunya dengan
pandangan, indera, rasa, atau cicipan. Allah yang memperkenalkan (insting itu) melalui
akal itu (dirinya sendiri).”
Lebih lanjut al-Muèãsibi berkata, “Dengan akal itulah hamba-hamba Allah
mengenal-Nya. mereka menyaksikan wujud-Nya dengan akal itu, yang mereka kenal dengan
akal mereka juga. Dan dengannya mereka mengetahui apa yang bermanfaat bagi mereka
dan dengannya pula mereka mengetahui apa yang membahayakan bagi mereka. Karena itu
siapa yang mengetahui dan dapat membedakan apa yang bermanfaat dan apa yang
berbahaya baginay dalam urusan kehidupan dunianya, maka dia telah mengetahui bahwa
Allah telah menganugerahinya dengan akal yang dicabutnya dari orang gila atau yang
tersesat dan juga dari sekian banyak orang picik yang hanya sedikit memiliki akal.”
Ada lagi yang berpendapat bahwa akal terdiri dari dua macam. Akal yang
merupakan anugerah Allah dan akal yang dapat diperoleh dan dikembangkan oleh manusia
melalui penalaran, pendidikan, dan pengalaman hidup.
Al-Ghazãlî, sufi yang filosof itu, mengingatkan bahwa kata “akal” mempunyai
banyak pengertian. Ia dapat berarti potensi yang membedakan manusia dari binatang dan
yang menjadikan manusia mampu menerima berbagai pengetahuan teoritis. Makna ini tidak
jauh berbeda dengan pendapat al-Muhasibi di atas. akal juga berarti pengetahuan yang
dicerna oleh seorang anak yang telah mendekati usia dewasa, di mana- misalnya- ia dapat
mengetahui bahwa sesuatu tidak mungkin ada pada sesuatu yang pada saat yang sama ia
tidak ada juga di temat itu, atau dua itu lebih banyak dari satu. Makna ketiga dari akal,
menurut al-Ghazali, adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasar pengalaman
yang dilaluinya dan yang pada gilirannya memperhalus budinya. Menurut kebiasaan, orang
yang demikian ini dinamai “orang berakal”, sedang orang yang kasar budinya dinamai
“tidak berakal”. Makna keempat dari akal adalah kekuatan insting yang menjadikan
seseorang mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya, lalu mampu menekan
hawa nafsunya serta mengatasinya agar tidak terbawa larut olehnya. Muhammad Quraish
Shihab, Logika Agama, Kedudukan Wahyu Dan Batas-batas Akal Dalam Islam, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), h. 86-88.
148

akal tidak merupakan jaminan menyangkut seluruh kebenaran yang


didambakan..karena itu, manusia memerlukan petunjuk yang
melebihi petunjuk akal, sekaligus meluruskan kekeliruan-
kekeliruannya dalam bidang-bidang tertentu. Petunjuk atau hidayah
yang dimaksud adalah hidayah agama.15

Sebagaimana yang dikatakan Muhammad Quraish Shihab di atas,


menunjukkan bahwa akal dan wahyu sama-sama merupakan hidayah Allah.
Menurutnya, hidayah Allah itu meliputi empat macam, yaitu naluri,
16
pancaindera, akal, dan agama (wahyu). Keempat hidayah itu,
menurutnya, membentuk susunan khirarkis yang tertutup. Artinya, “tingkat
kedua tidak dapat diperoleh sebelum memperoleh tingkat pertama, tingkat
ketiga tidak dapat diperoleh sebelum tingkat kedua, demikian seterusnya”.
Pandangan ini jelas bahwa peringkat akal berada di bawah wahyu.
Kemampuan akal di dalam khirarkis hidayah di atas
mengkoordinasikan semua informasi yang diperoleh indera untuk kemudian
membuat kesimpulan-kesimpulan. Di sini, menurut Muhammad Quraish
Shihab, akal berperan setelah pancaindera mencapai batas, akal membuka
bagi manusia cakrawala baru yang tidak bisa dia memperoleh melalui
pancindera. Namun, meskipun akal mampu menerobos batasan-batasan
yang tidak dapat dilewati indera, tapi akal juga mempunyai batas-batasnya
sendiri. Bidang operasi akal, katanya, adalah bidang alam nyata; ia tidak
mampu menuntun manusia ke luar jangkauan alam fisik ini. Bahkan dalam
operasinya di wilayah alam fisik ini pun akal sering terjerumus ke dalam
kesimpulan-kesimpulan yang keliru. Pada batas di mana akal tidak lagi
mampu beroperasi itulah, maka wahyu (agama) merupakan hidayah satu-
satunya yang dapat menuntun manusia. Wilayah-wilayah yang di dalamnya
akal tidak lagi beroperasi ialah wilayah metafisika.
Menurut Muhammad Quraish Shihab akal adalah utusan kebenaran, ia
15
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol 1, h. 64.
16
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol 1, h. 63-64.
149

adalah kendaraan pengetahuan serta pohon yang membuahkan istiqamah


dan konsistensi dalam kebenaran. Karena itu, manusia baru menjadi
manusia kalau ada akalnya.17
Sebagaimana uraian di atas, jelas menunjukkan penghargaan
Muhammad Quraish Shihab terhadap kemampuan akal, tetapi kemampuan
akal yang dijelaskan Muhammad Quraish Shihab itu belum menggambarkan
daya yang besar. Untuk lebih jelasnya akan dilihat penafsiran Muhammad
Quraish Shihab terhadap ayat-ayat yang berbicara tentang masalah ini.
Surat Fuééilat [41]: 5318 ditafsirkan oleh Muhammad Quraish Shihab
dengan mengatakan bahwa ayat di atas menjanjikan bantuan bagi yang
19
hendak merenungkan dan berpikir secara obyektif. Lebih lanjut
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, Allah berfirman: Kami akan
memperlihatkan kepada mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama ayat-
ayat tanda-tanda kekuasaan serta kebenaran firman-firman Kami di segenap
ufuk dan juga pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa ia yakni al-Qur`an itu adalah benar. Apakah mereka tidak
menggunakan pikiran mereka untuk memahami bukti-bukti yang terdapat
dalam al-Qur`an sendiri.20 Allah mengajak manusia dan menuntut manusia
memperhatikan dan mengenal sekelilingnya. Di sana terdapat banyak ayat
yakni tanda dan bukti tentang wujud serta keesaan Allah swt.

17
Muhammad Quraish Shihab, Dia Di mana-mana “Tangan” Tuhan Di balik Setiap
Fenomena, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 135.
18
Teks ayat:
þ’Îûur É-$sùFy$# ’Îû $uZÏF»tƒ#uä óOÎgƒÎŽã\y™
çm¯Rr& öNßgs9 tû¨üt7oKtƒ 4Ó®Lym öNÍkŦàÿRr&
¼çm¯Rr& y7În/t•Î/ É#õ3tƒ öNs9urr& 3 ‘,ptø:$#
ÇÎÌÈ î‰‹Íky- &äóÓx« Èe@ä. 4’n?tã
Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di segenap ufuk dan pada diri
mereka sendiri, sehingga bagi mereka bahwa ia adalah benar. Dan apakah belum cukup
bahwa Tuhanmu Maha Menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fuééilat [41]: 53).
19
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol 12, h 440.
20
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol 12, h 440.
150

Menurut Muhammad Quraish Shihab, kata ( ‫) ﺷ ﺪ‬syahîd pada firman-


Nya:
( ‫ )أو ﻟﻢ ﻜﻒ ﺑﺮﺑّﻚ أّﻧ ﻋﻠﻰ ﻛﻞّ ﺷ ﺊ ﺷ ﺪ‬dapat dipahami sebagai pelaku yakni Dia Maha
Menyaksikan, dapat juga sebagai objek yakni Allah Maha Disaksikan. Ke
manapun mata Anda memandang atau pikiran Anda tertuju, maka di sana
Anda menemukan bukti tentang wujud dan keesaan-Nya, sehingga Allah
Maha Disaksikan kapan dan dimanapun, dan ini pada gilirannya
membuktikan bahwa informasi al-Qur`an adalah haq. 21 Oleh sebab itulah,
demikian Muhammad Quraish Shihab, kalau merenung dan berpikir secara
tulus dan benar, pasti kita akan menyadari bahwa Allah hadir di mana-
mana. Kita dapat menemukan-Nya setiap saat dan di semua tempat.
Pengetahuan manusia dapat mengantarkannya kepada pengakuan tentang
wujud dan kuasa-Nya. 22 Hal ini pun dijelaskan Muhammad Quraish Shihab
ketika menafsirka surat Fãthir [35]: 28.
ô`ÏB ©!$# Óy´øƒs† $yJ¯RÎ)
ÇËÑÈ 3 (#às¯»yJn=ãèø9$# ÍnÏŠ$t6Ïã
23

Ulama yang dimaksud di sini-sesuai dengan konteks dan uraian ayat-


ayat sebelumnya- adalah mereka yang memperhatikan dan memahami kitab
Tuhan Yang terhampar di alam raya. Mereka mengenal-Nya melalui hasil
ciptaan-Nya, menjangkau-Nya melalui dampak kuasa-Nya, serta merasakan
hakikat kebesaran-Nya dengan melihat aneka kebijakan-Nya. Dari sini, maka
mereka takut dan kagum kepada-Nya serta bertakwa dengan sebenar-
benarnya.24

21
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 441.
22
Muhammad Quraish Shihab, Dia Di mana-mana, h. ix.
23
Sesungguhnya yang takut (kagum) kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama. (QS. Fãthir [35]: 28).
24
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h. 466. Muhammad Quraish
Shihab, Dia Dimana-mana, h. ix.
151

Dari uraian-uraian di atas dapat diketahui, bahwa akal menurut


Muhammad Quraish Shihab dapat mengetahui adanya Tuhan, karena kita,
Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, manusia memiliki akal dan banyak
ragam kecerdasan yang dapat kita gunakan untuk memahami diri dan
keliling kita. Pemahaman kita terdapat sekeliling kita, di samping
mengantar kita menemukan Yang Maha Kuasa, juga dapat menggugah batin
kita untuk melangkah secara benar, melalui upaya mengambil pelajaran
dari apa yang kita kenal dan saksikan.25
Sejalan dengan penghargaan yang diberikan Muhammad Quraish
Shihab terhadap akal, maka ia sangat menentang sikap taklid, ketika ia
menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 171. Secara lebih jelas Muhammad
Quraish Shihab mengatakan, ayat ini memberi isyarat bahwa tradisi orang
tua sekalipun, tidak dapat diikuti kalau tidak memiliki dasar-dasar yang
dibenarkan oleh agama, atau pertimbangan akal yang sehat.26
Sejalan dengan penghargaan yang diberikan Muhammad Quraish
Shihab terhadap akal, maka ia sangat menentang sikap taklid. 27 Tradisi
orang tua sekalipun, tidak dapat diikuti kalau tidak memiliki dasar-dasar
yang dibenarkan oleh agama, atau pertimbangan akal yang sehat, ketika ia
menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 170.28 Oleh sebab itu, dalam pandangan

25
Muhammad Quraish Shihab, Dia Dimana-mana, h. xi.
26
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 383.
27
Taklid biasa diartikan dengan menerima dan mengikuti pendapat orang lain tanpa
mengetahui alasan atau dalilnya. Lihat Ibnu Manìür, Lisãn al-Arab, vol XII (Beirut: Dãr
Éãdir, 2000), h. 173. Mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya disebut
ittiba.
28
Teks ayat:
tAt“Rr& !$tB (#qãèÎ7®?$# ãNßgs9 Ÿ@ŠÏ% #sŒÎ)ur
$uZø‹xÿø9r& !$tB ßìÎ6®KtR ö@t/ (#qä9$s% ª!$#
šc%x. öqs9urr& 3 !$tRuä!$t/#uä Ïmø‹n=tã
Ÿwur $\«ø‹x© šcqè=É)÷ètƒ Ÿw öNèdät!$t/#uä
ÇÊÐÉÈ tbr߉tGôgtƒ
Apabila dikatakan kepada mereka (oleh siapa pun): “Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami
dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami. Apakah (mereka akan mengikuti juga)
152

Muhammad Quraish Shihab, kecaman ini tertuju kepada mereka yang


mengikuti tradisi tanpa dasar; bukan terhadap mereka yang mengikutinya
berdasar pertimbangan nalar, termasuk di dalamnya yang berdasar ilmu
yang dapat dipertanggung jawabkan atau berdasar petunjuk Ilahi, termasuk
Sunnah Rasul-Nya saw. 29 Sikap taklid dapat menjadi penghalang bagi
seseorang dalam mencari kebenaran, bahkan dapat menutup akal pikiran,
sehingga ia tidak mampu lagi menyeleksi, memilih dan memilah mana yang
benar dan harus diterima, mana yang salah dan harus dijauhi.
Di samping mengetahui tentang adanya Tuhan, Muhammad Quraish
Shihab juga berpandangan bahwa baik dan buruk, juga dapat diketahui
dengan akal. Tetapi, Muhammad Quraish Shihab membatasinya dengan
sebagian besar dari kemaslahatan dan keburukan dapat diketahui melalui
30
akal, demikian juga sebagian besar ketetapan syara. Lebih lanjut
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, memang para ahli hukum
memandang akal sebagai sumber utama menyangkut hal yang tidak
ditemukan penjelasannya dari syariah. Tetapi, sekali lagi bukan semua hal.
Ia hanya sebagian besar Kemaslahatan yang berkaitan dengan urusan
duniawi dapat diketahui melalui akal.31
Akal sehat menetapkan bahwa jalan yang baik dan benar adalah jalan
Allah, karena yang menelusurinya mendapat ketentraman serta meraih
peningkatan. Itulah pilihan yang bijaksana; sayang tidak semua orang
menelusurinya. Memang hanya yang dianugerahi hikmah yang dapat
memahami dan mengambil pilihan yang tepat. 32 Demikian penjelasan

walaupun nenek moyang mereka itu tidak memahami sesuatu berdasar petunjuk akal dan
tidak juga mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah [2]: 170).
29
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 383.
30
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, h. 126.
31
Muhammad Quraish Shihab, Logika Agama, h. 126.
32
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 580.
153

Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 269. 33


Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa kata hikmah
terambil dari kata ( ‫ ) ﺣﻜﻢ‬èakama, yang pada mulanya berarti menghalangi.
Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna kendali, yakni
sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindarkan
dari yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut diperlukan pengetahuan
34
dan kemampuan menerapkannya. Penjelasan lebih lanjut dan jelas
Muhammad Quraish Shihab mengatakan sebagai berikut:
Dari sini hikmah dipahami dalam arti pengetahuan tentang baik dan
buruk, serta kemampuan menerapkan yang baik dan menghindar dari
yang buruk. Sekali lagi, ayat sebelum ini menjelaskan dua jalan,
jalan Allah dan jalan setan. Siapa yang dianugerahi pengetahuan
tentang kedua jalan itu, mampu memilih yang terbaik dan
melaksanakannya serta mampu pula menghindar dari yang buruk,
maka dia telah dianugerahi hikmah. Tentu saja siapa yang
dianugerahi al-Hikmah itu, maka ia benar-benar telah diberi
anugerah yang banyak. Sayang, tidak semua menggunakan potensinya
mengasah dan mengasuh jiwanya, sehingga tidak semua yang diberi
anugerah itu, bahkan tidak semua mau menggunakan akalnya untuk
memahami pelajaran tentang hakikat ini, hanya Ulu al-Albãb yang
dapat mengambil pelajaran.35
Meski Muhammad Quraish Shihab mengakui bahwa akal manusia
mampu mengetahui baik buruknya perbuatan, hal itu tidak membuat ia
berpendapat bahwa manusia sudah dibebani taklif syariat. Pandangan
Muhammad Quraish Shihab tersebut tercermin dalam penafsirannya atas
surat al-Nisã [4]: 165.36

33
Teks ayat:
|N÷sム`tBur 4 âä!$t±o„ `tB spyJò6Åsø9$# ’ÎA÷sãƒ
3 #ZŽ•ÏWŸ2 #ZŽö•yz u’ÎAré& ô‰s)sù spyJò6Åsø9$#
ÇËÏÒÈ É=»t6ø9F{$# (#qä9'ré& HwÎ) ã•ž2¤‹tƒ $tBur
Dia menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa yang
dianugerahi al-Hikmah, maka ia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Dan hanya
Ulu al-Albãb yang dapat mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2]: 269).
34
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 581.
35
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h. 581.
36
Teks ayat:
154

Dalam penafsirannya terhadap ayat di atas, Muhammad Quraish


Shihab mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan tujuan kehadiran rasul-
rasul, baik yang telah disebut nama mereka dan diuraikan kisahnya dalam
37
al-Qur`an maupun yang tidak, yaitu bahwa Allah mengutus mereka
sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah datangnya
rasul-rasul itu, menjelaskan tuntunan Allah serta memberi berita gembira
dan ancaman. Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa
Allah senantiasa, sejak dahulu hingga kini dan masa datang Maha Perkasa
tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun, bahkan Dia mengalahkan siapa saja,
lagi Maha Bijaksana, antara lain dengan mengutus rasul-rasul itu, sehingga
tidak menjatuhkan sangsi kecuali setelah yang melanggar mengetahui
larangan-Nya.38
Ayat tersebut, menurut Muhammad Quraish Shihab, menunjukkan
keniscayaan kehadiran rasul bagi umat manusia. Memang, banyak hal yang
menjadikan keniscayaan itu. Antara lain, bahkan terutama, adalah karena
tabiat manusia sendiri. 39 Secara lebih jelas Muhammad Quraish Shihab
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, ia tidak dapat hidup
sendiri. Kebutuhan hidupnya hanya dapat terpenuhi dengan bantuan pihal
lain. Tetapi dalam saat yang sama manusia memiliki sifat egoisme yang
dapat menjadikan lalu lintas kehidupan mereka saling bertabrakan karena
benturan kepentingan dan atau egoismenya masing-masing. Untuk

žxy¥Ï9 tûïÍ‘É‹YãBur tûïÎŽÅe³t6•B Wxß™•‘


8p¤fãm «!$# ’n?tã Ĩ$¨Z=Ï9 tbqä3tƒ
ª!$# tb%x.ur 4 È@ß™”•9$# y‰÷èt/
ÇÊÏÎÈ $VJŠÅ3ym #¹“ƒÍ•tã
Rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan
bagi manusia membantah Allah sesudah Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana. (QS. al-Nisã [4]: 165).
37
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 666.
38
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 666.
39
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 666.
155

menghindari hal tersebut, perlu disusun peraturan dengan sanksi dan


ganjarannya agar kehidupan pribadi dan masyarakat berjalan dengan aman.
Tentu saja yang menyusun dan menetapkan peraturan itu tidak boleh
manusia. Bukan saja karena bila mereka sendiri yang menetapkannya dapat
timbul benturan kepentingan, tetapi juga karena manusia sendiri tidak
sepenuhnya mengenal dirinya dan kemaslahatan hidupnya, baik di dunia dan
lebih-lebih di akhirat. Yang mengenal dan mengetahui kemaslahatan
mereka, adalah Allah swt. Di samping itu, Yang Maha Kuasa lagi Maha
Mengetahui itu tidak memilki sedikit pun kepentingan, tidak juga memiliki
sifat egoisme. Dari sini, Allah menetapkan hukum dan tuntunan-Nya. Dia
memilih nabi dan rasul untuk menyampaikan informasi dan tuntunan itu
kepada manusia, sambil memerintahkan untuk menyampaikan berita
gembira bagi yang taat mengikuti perintah-Nya dan peringatan serta
ancaman bagi yang membangkang. Allah menyampaikan hal itu kepada
seluruh manusia melalui para nabi dan rasul, agar yang mendapatkan buah
kejahatan yang dilakukannya tidak berdalih bahwa mereka tidak tahu.
Bukankah para nabi dan rasul telah menyampaikan kepada mereka?40 Jadi,
dengan kata lain, menurut Muhammad Quraish Shihab memberikan
penjelasan bahwa hikmahnya Allah mengutus para rasul antara lain agar di
akhirat nanti orang-orang yang dihisab Allah tidak dapat berdalih atas
perbuatan dosa mereka. Sekiranya Allah tidak mengutus para Rasul-Nya, di
akhirat nanti orang-orang akan memprotes kenapa mereka dihukum di
akhirat di hukum di dunia. Padahal, hukuman yang mereka terima itu
adalah akibat kelaliman mereka sendiri.
Kehadiran para rasul juga dibutuhkan oleh manusia, menurut
Muhammad Quraish Shihab, karena keterbatasan akal dan pengetahuannya.
Sekian banyak persoalan yang dihadapai tidak dapat ditemukan jawabannya

40
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 666.
156

oleh nalar atau pengalaman manusia. 41 Secara lebih jelas Muhammad


Quraish Shihab memberikan contoh, pertanyaan tentang kematian dan apa
yang terjadi setelah kematian. Persoalan ini hanya dapat dijawab oleh Allah
swt., dan ini diinformasikannya kepada nabi dan rasul, untuk selanjutnya
mereka sampaikan kepada umat manusia. Anda jangan berkata, “Mengapa
Allah tidak menyampaikan saja hal tersebut kepada masing-masing manusia,
tanpa melalui perantara nabi dan rasul?” Jangan berkata demikian, karena
tidak semua manusia menerima wahyu. Di sisi lain, Allah swt. berkehendak
dengan mengutus para nabi dan rasul untuk menguji manusia, siapa yang
taat dan siapa pula yang membangkang.42
Adapun pada surat al-Isrã [17]: 15, 43 Muhammad Quraish Shihab
mengatakan bahwa dipahami oleh banyak ulama sebagai kemurahan Ilahi
sehingga siapa yang tidak dapat mengetahui tentang kehadiran ajaran rasul
utusan Allah, maka ia tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkan amal-
amalnya yang melanggar, karena kesalahan yang dilakukannya lahir dari
ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mengetahui. Adapun yang tidak
mengetahui tetapi ia berpotensi untuk tahu, maka ia tidak sepenuhnya
bebas dari tanggung jawab. 44 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, bahwa sementara ulama memahami kata rasül pada ayat di
atas dalam arti akal, sehingga seseorang yang memiliki potensi untuk

41
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 667.
42
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol II, h. 667.
43
Teks ayat:
¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 “ωtGöku‰ $yJ¯RÎ*sù 3“y‰tF÷d$# Ç`¨B
Ÿwur 4 $pköŽn=tæ ‘@ÅÒtƒ $yJ¯RÎ*sù ¨@|Ê `tBur (
$¨Zä. $tBur 3 3“t•÷zé& u‘ø—Ír ×ou‘Η#ur â‘Ì“s?
ÇÊÎÈ Zwqß™u‘ y]yèö6tR 4Ó®Lym tûüÎ/Éj‹yèãB
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat
itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia
tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul
dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
(QS. al-Isrã [17]: 15).
44
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 429.
157

mengetahui tetapi enggan menggunakan potensi itu untuk mengetahui dan


mengamalkan kebenaran, maka ia tetap akan dituntut pertanggung
jawabannya walaupun ia tidak mengetahui tentang kehadiran rasul yang
membawa ajaran-ajaran kebenaran.45
Menurut Muhammad Quraish Shihab, kata ( ‫ ) ﻛﻨّﺎ‬kunnã tidak selalu
dipahami menunjuk masa lampau, ia dapat juga menunjuk makna
kesinambungan dari dahulu hingga kini dan masa datang. 46 Lebih lanjut
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa sifat-sifat Allah yang
dilukiskan al-Qur`an sering kali digandengkan dengan kata ( ‫ ) ﻛﺎن‬kãna.
ُ ‫ ) وَ ﻛَﺎن ا‬47 . Di sini sifat
Perhatikanlah misalnya firman-Nya ( ‫ﷲ ﻏَﻔُ ْﻮرًا رَﺣِْﻤًﺎ‬
Pengampunan dan kasih sayang Allah didahului oleh kata kãna yang tentu
saja tidak hanya dipahami bahwa pengampunan dan rahmat-Nya itu hanya
berlaku pada masa lampau berdasar adanya kata kãna, tetapi kata kãna di
sini di samping menunjukkan kemantapan dan kepastian kedua sifat
tersebut, juga menyatakan bahwa Allah sejak dahulu hingga kini dan akan
datang (senantiasa) bersifat Gafür dan Rahîm.48
Jika diperbandingkan wewenang yang diberikan Muhammad Quraish
Shihab bagi akal dengan wewenang yang diberikan oleh aliran-aliran kalam
bagi akal, maka dapat diketahui persamaan antara pandangan Muhammad
Quraish Shihab dengan pendirian Maturidiyyah Bukhara. Muhammad Quraish
Shihab maupun Maturidiyyah Bukhara sama-sama memberikan wewenang
kepada akal untuk mengetahui bahwa Tuhan itu ada dan untuk mengetahui
mana yang baik dan yang buruk.
Dalam pandangan Maturidiyyah Bukhara, akal manusia tidak mampu
untuk menentukan kewajiban manusia. Akal hanya dapat mengetahui sebab

45
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 429.
46
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 430.
47
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa [4]: 96).
48
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbãh, vol VII, h. 430.
158

dari kewajiban itu. Akal, bagi Maturidiyyah Bukhara adalah mengetahui


kewajiban-kewajibannya, sedangkan yang menentukan kewajiban tersebut
adalah Tuhan lewat wahyu-Nya.49
Jadi, dapat disimpulkan bahwa corak pemikiran kalam Muhammad
Quraish Shihab dalam masalah kemampuan akal ini, dapat digolongkan ke
dalam pemikiran kalam tradisional, dalam hal ini Muhammad Quraish Shihab
sepaham dengan aliran Maturidiyyah Bukhara.
2. Fungsi Wahyu
Perbedaaan pendapat dalam memberikan wewenang kepada akal
untuk mengetahui keempat masalah yang telah disinggung di atas,
berkaitan pula dengan persoalan bagaimana fungsi wahyu sebagai pemberi
informasi bagi manusia.
Aliran kalam rasional (Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand),
karena akal manusia sudah mengetahui keempat masalah (mengetahui
Tuhan, kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, mengetahui baik dan
buruk, dan mengetahui kewajiban mengerjakan yang baik dan mengjauhi
yang buruk) tersebut, maka wahyu di sini berfungsi memberikan konfirmasi
tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Menurut
Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand bahwa wahyu tetap perlu. Wahyu
diperlukan untuk memberi tahu manusia bagaimana cara berterima kasih
kepada Tuhan, menyempurnakan pengetahuan akal tentang mana yang baik
dan mana yang buruk, serta menjelaskan perincian ganjaran dan hukuman
yang akan diterima manusia di akhirat.50
Bagi aliran kalam tradisional (Asy`ariyyah, Maturidiyyah Bukhara),
karena memberikan daya lemah kepada akal, fungsi wahyu bagi aliran ini

49
Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press, 1986), h. 90.
50
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 99. Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran
Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah tentang Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam,
(Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989), h. 88.
159

sangat besar. Tanpa diberitahui oleh wahyu, manusia tidak mampu


mengetahui mana yang baik dan buruk, manusia tidak mampu mengetahui
apa saja yang menjadi kewajiban-kewajibannya. Tanpa diberitahui oleh
wahyu, manusia akan bebas melakukan apa saja yang dikehendakinya tanpa
mempertimbangkan mana yang baik dan mana yang buruk. sebab, manusia
belum diberitahu oleh Tuhan mana yang baik dan mana yang buruk itu. Atas
dasar ini pula, menurut mereka pemikiran kalam tradisional, manusia tidak
akan diazab kelak di akhirat bila ia melakukan kejahatan.51
Dengan demikian, wahyu bagi aliran kalam rasional lebih banyak
mempunyai fungsi konfirmasi dari pada informasi. Sebaliknya, bagi aliran
kalam tradisional wahyu adalah sebagai sumber informasi, bukan sebagai
konfirmasi. Walau pun demikian, baik aliran kalam rasional maupun aliran
kalam tradisional, keduanya sama-sama memerlukan wahyu dan sama-sama
menggunakan akal. Perbedaan terletak pada sejauh mana fungsi dan
wewenang yang diberikan kepada akal dan wahyu dalam mengetahui
keempat masalah yang telah dijelaskan di atas.
Berikut ini dikemukakan pandangan Muhammad Quraish Shihab
tentang fungsi wahyu. Bagaiman pandangan Muhammad Quraish Shihab
pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang wahyu? Apakah wahyu hanya
berfungsi sebagai informasi saja, sebagai dianut oleh aliran trasional?
Ataukah berfungsi bukan hanya informasi, tetapi juga konfirmasi, sebagai
yang dianut oleh aliran rasional?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, terlebih dahulu perlu ditelusuri
pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang wahyu. Wahyu menurut

51
Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, h 88. Abu
Manéür `Abd al-Qãhir Ibn Ëãhir al-Tamîmi Al-Bagdãdi, Kitãb Uéüluddîn, (Beirut: Dãr al-
Madînah, 1928), h. 24. Abu Èamîd Al-Ghazãli, al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd, (Beirut: Dãr al-Kutub
al-Ilmiah, 1988), h. 184.
160

52
Muhammad Quraish Shihab secara bahasa adalah isyarat , ketika
53 54
menafsirkan surat Maryam [19]: 11, dan bisikan berupa ilham , seperti
dalam surat al-Qaéaé [28]: 7, 55 dan juga berarti naluri 56 , seperti dalam
surat al-Naèl [16]: 68, 57 dan bisikan 58 , seperti dalam surat al-An`ãm [6]:
112.59
Sedang wahyu secara istilah menurut Muhammad Quraish Shihab
adalah informasi yang diyakini sumbernya dari Allah yang disampaikan-Nya

52
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h. 158.
53
Teks ayat:
É>#t•ósÏJø9$# z`ÏB ¾ÏmÏBöqs% 4’n?tã ylt•sƒmú
Zot•õ3ç/ (#qßsÎm7y™ br& öNÍköŽs9Î) #Óyr÷rr'sù
ÇÊÊÈ $|‹Ï±tãur
Maka dia keluar menuju kaumnya dari mihrab, lalu dia memberi isyarat kepada mereka;
hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang. (QS. Maryam [19]: 11).
54
Ilham adalah informasi yang diyakini sangat akurat, namun yang diilhami tidak
mengetahui secara pasti dari mana sumber informasi itu.Muhammad Quraish Shihab, Tafsir
al-Mishbãh, vol X, h 310.
55
Teks ayat:
ÇÐÈ #Óy›qãB ÏdQé& #’n<Î) !$uZøŠym÷rr&ur
Dan Kami wahyukan (ilhamkan) kepada ibu Musa. (QS. al-Qaéaé [28]: 7).
56
Potensi yang bersifat naluriah yang dianugerahkan Allah kepada lebah sehingga
secara sangat rapi dan mudah melakukan kegiatan-kegiatan serta memproduksi hal-hal
yang mengagumkan. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VII, h. 280.
57
Teks ayat:
Èbr& È@øtª[“$# ’n<Î) y7•/u‘ 4‘ym÷rr&ur
z`ÏBur $Y?qã‹ç/ ÉA$t6Ågø:$# z`ÏB “ɋσªB$#
ÇÏÑÈ tbqä©Ì•÷ètƒ $£JÏBur Ì•yf¤±9$#
Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah. (QS. al-Naèl [16]: 68).
58
Yang dimaksud dengan wahyu setan jin kepada manusia adalah rayuan dan
bisikan-bisikan buruk, sedang yang dimaksud dengan wahyu setan manusia kepada
selainnya adalah bisikan tipuan, dorongan untuk melakukan keburukan dengan ucapan
indah yang beracun sehingga mangsanya tertipu. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-
Mishbãh, vol IV, h. 255.
59
Teks ayat:
#xr߉tã @cÓÉ<tR Èe@ä3Ï9 $oYù=yèy_ y7Ï9ºx‹x.ur
ÓÇrqムÇd`Éfø9$#ur ħRM}$# tûüÏÜ»u‹x©
ÉAöqs)ø9$# t$ã•÷zã— <Ù÷èt/ 4’n<Î) öNßgàÒ÷èt/
( çnqè=yèsù $tB y7•/u‘ uä!$x© öqs9ur 4 #Y‘rá•äî
ÇÊÊËÈ šcrçŽtIøÿtƒ $tBur öNèdö‘x‹sù
Dan demikian itulah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh, yaitu setan-setan manusia dan
jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah untuk menipu. Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan. (QS. al-
An`ãm [6]: 112).
161

baik melalui malaikat, maupun secara langsung. 60 Dari konsep wahyu,


seperti yang diuraikan Muhammad Quraish Shihab ini, dapatlah diketahui
bahwa wahyu, menurut Muhammad Quraish Shihab berfungsi sebagai
sumber informasi bagi manusia, berkenaan dengan masalah-masalah di luar
jangkauan akalnya.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa menurut Muhammad Quraish
Shihab, apa yang ada pada Nabi Muhammad saw. menyangkut pengetahuan
dan syariat yang beliau sampaikan kepada masyarakat dan mengajak
mereka melaksanakannya, bukanlah termasuk hal-hal yang beliau dapatkan
dengan upaya beliau lalu beliau sampaikan atas dasar pengetahuan yang
beliau usahakan itu. Semua itu adalah wahyu yang disampaikan Allah.61 Dan
masalah agama adalah hak prerogatif Tuhan, akal manusia tidak dapat
menjangkaunya dan mengetahuinya, kecuali dengan wahyu. Nabi, apalagi
umatnya, tidak mengetahui perincian syariat sebelum turun wahyu.
Turunnya wahyu, demikian Muhammad Quraish Shihab, dan pemilihan
manusia yang menerimanya adalah wewenang Allah swt. semata-mata.
Manusia tidak dapat mengusahakan kehadirannya. 62 Hal ini dijelaskan
Muhammad Quraish Shihab dalam penafsiran surat al-Syürã [42]: 52.63 Lebih
lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa pernyataan Nabi saw.
sebelum ini tentang al-iman bukan berarti bahwa beliau tidak beriman

60
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol X, h. 310.
61
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 529.
62
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 530.
63
Teks ayat:
ô`ÏiB %[nrâ‘ y7ø‹s9Î) !$uZø‹ym÷rr& y7Ï9ºx‹x.ur
Ÿwur Ü=»tGÅ3ø9$# $tB “Í‘ô‰s? |MZä. $tB 4 $tRÌ•øBr&
“ωök¨X #Y‘qçR çm»oYù=yèy_ `Å3»s9ur ß`»yJƒM}$#
y7¯RÎ)ur 4 $tRÏŠ$t6Ïã ô`ÏB âä!$t±®S `tB ¾ÏmÎ/
ÇÎËÈ 5OŠÉ)tGó¡•B :ÞºuŽÅÀ 4’n<Î) ü“ωöktJs9
Dan demikianlah Kami telah mewahyukan kepadamu ruh dari urusan Kami. Sebelumnya
engkau tidak mengetahui apakah al-Kitab dan tidak (pula) al-iman tetapi Kami
menjadikannya cahaya, yang Kami menunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau benar-benar memberi petunjuk ke
jalan lebar yang lurus. (QS. al-Syürã [42]: 52).
162

kepada Allah swt., tetapi yang dinafikan ayat di atas adalah tentang iman
dalam perinciannya. Itu sebabnya ayat di atas tidak menyatakan
sebelumnya engkau bukanlah seorang mukmin.64
Wahyu juga bukan hanya sumber informasi dalam masalah-masalah
agama, tetapi juga dalam masalah-malasah dunia seperti al-Qur`an
menginformasikan bahwa Allah swt. yang mengajarkan kepada Nabi Daud
as. kemahiran dan keterampilan membuat baju-baju yang terbuat dari besi
/ perisai. Pengajaran itu setelah sebelumnya Allah swt. mengajarkan
kepada beliau cara melunakkan besi. 65 Hal ini di ungkapkan Muhammad
Quraish Shihab waktu menafsirkan surat al-Anbiyã' [21]: 80.66
Begitu pentingnya wahyu bagi manusia menurut Muhammad Quraish
Shihab, adalah banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam manusia.
Namun, sebagian pertanyaan itu tidak mampu dijawab walau oleh mereka
yang cendikia sekalipun. Ini dapat menggelisahkan karena semua manusia
memiliki naluri ingin tahu. Seperti pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan
67
dengan alam sesudah mati. Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab
mengatakan:
Potensi akal manusia, karena keterbatasannya, tidak akan mampu
menjawab. Ini disebabkan karena akal manusia tidak dapat
mengetahui sesuatu di liar akal sensorinya. Dalam hidup ini, ada yang
dinamai phenomena dan ada juga nomena. Yang pertama adalah
wujud realitas yang dapat terjangkau oleh indra atau nalar,

64
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 530.
65
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h. 486. Muhammad Quraish
Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h. 251. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol
XI, h. 356.
66
Teks ayat:
öNà6©9 <¨qç7s9 spyè÷Y|¹ çm»oY÷K¯=tæur
öNçFRr& ö@ygsù ( öNä3Å™ù't/ .`ÏiB Nä3oYÅÁósçGÏ9
ÇÑÉÈ tbrã•Å3»x©
Dan Kami telah mengajarkan kepada Daud pembuatan perisai untuk kamu, guna
memelihara kamu dalam peperangan kamu, maka apakah kamu orang-orang yang
bersyukur. (QS. al-Anbiyã' [21]: 80).
67
Muhammad Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi al-Qur`an Dan Dinamika
Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) cet I, h. 291.
163

sedangkan yang kedua adalah realitas yang tidak mampu dijangkau


kecuali oleh rasa, yakni iman. karena keterbatasan wilayah garapan
indra dan akal, maka keduanya-akal dan indra- tidak dapat
menjangkau di lurar batas wilayahnya, dengan demikian, tidak dapat
menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan metafisika. Kalaupun
ada jawaban yang dimunculkannya, maka itu pun bersifat spekulatif
sehingga tidak dapat mengusik kegelisahan. Nah, di sinilah antara
lain wahyu diperlukan.68

Karena manusia bertingkat-tingkat potensi kejiwaan dan nalarnya,


menurut Muhammad Quraish Shihab, maka Allah memilih orang-orang
tertentu untuk meneriman tuntunan-Nya, yang terpilih itu adalah para nabi
yang bertugas menyampaikan informasi wahyu. Untuk membuktikan
kebenaran mereka, Allah menganugerahkan kepada nabi-nabi-Nya bukti-
bukti yang dikenal dengan istilah mukjizat. 69 Manusia yang merupakan
makhluk bertanggung jawab diberi hidayah / petunjuk secara khusus agar
dapat mencapai tujuan penciptaannya sekaligus memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Petunjuk itu, antara lain, melalui naluri, pancaindra,
akal dan juga petunjuk agama, yang disampaikan melalui wahyu kepada
manusia-manusia pilihan untuk kemudian disampaikan kepada masyarakat
umum. Bagaimana kalau wahyu tidak turun? Memang pertanyaan ini tidak
dipersoalkan oleh Muhammad Quraish Shihab, dan tidak pernah dijelaskan
oleh Muhammad Quraish Shihab.
Pada uraian yang lalu, bahwa akal bagi Muhammad Quraish Shihab
dapat mengetahui adanya Tuhan, dapat mengetahui baik dan buruk. Maka
untuk mengetahui selain yang disebutkan itu diperlukan informasi wahyu,
seperti mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, baik kewajiban
berterima kasih kepada Tuhan, ataupun kewajiban berbuat baik dan
meninggalkan perbuatan jahat, dan lain-lain yang oleh Muhammad Quraish

68
Muhammad Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 292.
69
Muhammad Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, h. 293.
164

Shihab disebut masalah-masalah agama dan perincian syari`at tidak


diketahui manusia kecuali melalui wahyu.
Aliran kalam yang berpendirian bahwa untuk mengetahui kewajiban-
kewajiban manusia, baik itu kewajiban berterima kasih kepada Tuhan serta
kewajiban melaksanakan yang baik dan meninggalkan yang jahat diperoleh
dengan wahyu, adalah aliran kalam Maturidiyyah Bukhara. Jika hal itu
diperbandingkan dengan pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang
fungsi wahyu itu, maka jelaslah, Muhammad Quraish Shihab tidak sejalan
dengan pendirian Mu`tazilah, Maturidiyyah Samarkand dan Asy`ariyyah,
tetapi sejalan dengan Maturidiyyah Bukhara.

B. Perbuatan Manusia
Di dalam teologi Islam, terdapat dua macam pendapat mengenai
perbuatan manusia. Pendapat pertama mengatakan bahwa perbuatan
manusia telah ditentukan Tuhan semenjak azali, artinya manusia berbuat
menurut ketentuan yang telah ditetapkan Tuhan jauh sebelum mereka ada.
Dalam hal ini, manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak dan
kemauannya. Manusia hanya seperti wayang yang dijalankan oleh dalangnya
yaitu Tuhan. Pendapat seperti ini di dalam teologi Islam disebut paham
Jabariyah. Paham ini di anut oleh aliran Asy`ariyyah dan Maturidiyyah
Bukhara.Pendapat kedua mengatakan bahwa manusia mempunyai
kebebasan berbuat, walaupun kebebasannya terbatas, sesuai dengan
keterbatasan manusia. Artinya, manusia bebas menentukan kehendak dan
perbuatannya, tetapi di dalam batas-batas tertentu. Dalam teologi Islam,
paham seperti ini disebut paham Qadariyah. Paham ini, dianut oleh aliran
Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Aliran Mu`tazilah, berpendirian seperti dijelaskan oleh al-Qadhi
abdul Jabbar (w. 415 H), perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan
pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan
165

perbuatannya. 70 Berbuat baik dan berbuat buruk, patuh dan tidak patuh
kepada Tuhan, adalah atas kehendak dan kemauan manusia itu sendiri.
Sedangkan daya (al-istitã`ah) untuk mewujudkan kehendak tersebut telah
terdapat dalam diri manusia sebelum manusia melakukan perbuatan.71
Bagi aliran Maturidiyyah Samarkand sebagai yang dikemukakan oleh
al-Mãturîdi, ada dua macam perbutan manusia, perbuatan Tuhan dan
perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya
dalam diri manusia, dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan
manusia. 72 Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan, jadi tidak
sebelum perbuatan sebagai dikatakan kaum Mu`tazilah. Perbuatan manusia
adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti
kiasan. 73 Dengan demikian manusia diberi pahala atas pemakaian yang
benar dari daya, dan diberi hukuman atas kesalahan pemakaian daya
tersebut.
Ayat-ayat al-Qur`an yang dijadikan dalil oleh aliran kalam rasional
untuk melegitimasi pendapat mereka ialah surat al-Baqarah [2]: 108,74 Äli
Imrãn [3]: 133,75 al-Nisã' [4]: 79,76 al-Ahqãf [46]: 14, al-Taubah [9]: 82, al-
Kahfi [18]: 29, al-Taghãbun [64]: 2:77
t•øÿà6ø9$# ÉA£‰t7oKtƒ `tBur
uä!#uqy™ ¨@|Ê ô‰s)sù Ç`»oÿ‡M}$$Î/
78
(108 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬ÇÊÉÑÈ È@‹Î6¡¡9$#
;ot•ÏÿøótB 4’n<Î) (#þqããÍ‘$y™ur *
79
(133 :‫ )ال ﻋﻤﺮان‬ÇÊÌÌÈ öNà6În/§‘ `ÏiB

70
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, (Qãhirah: Maktabat Wahbah,
1996), h. 323.
71
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Syarè al-Uéül al-Khamsah, h. 324-325.
72
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112.
73
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112.
74
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Muèammad
Zarzuwar, (Qãhirah: Dãr al-Turãs, 1969), jilid I, h. 104.
75
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 161.
76
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 198.
77
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, h. 361- 362.
78
Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu
telah sesat dari jalan yang lurus. (QS. al-Baqarah [2]: 108).
166

7puZ|¡ym ô`ÏB y7t/$|¹r& !$¨B


`ÏB y7t/$|¹r& !$tBur ( «!$# z`ÏJsù
(79 :‫ )اﻟﻨﺴﺎء‬ÇÐÒÈ y7Å¡øÿ¯R `ÏJsù 7py¥Íh‹y™
80

Ïp¨Ypgø:$# Ü=»ptõ¾r& y7Í´¯»s9'ré&


Lä!#t“y_ $pkŽÏù tûïÏ$Î#»yz
ÇÊÍÈ tbqè=yJ÷ètƒ (#qçR%x. $yJÎ/
81
(14 :‫)اﻻﺣﻘﺎف‬
Wx‹Î=s% (#qä3ysôÒu‹ù=sù
Lä!#t“y_ #ZŽ•ÏVx. (#qä3ö7uŠø9ur
ÇÑËÈ tbqç7Å¡õ3tƒ (#qçR%x. $yJÎ/
82
(82 :‫)اﻟﺘﻮﺑﺔ‬
uä!$x© ÆtBur `ÏB÷sã‹ù=sù uä!$x© `yJsù
83
(29 :‫ )اﻟﻜ ﻒ‬ÇËÒÈ 4 ö•àÿõ3u‹ù=sù
ö/ä3ZÏJsù ö/ä3s)n=s{ “Ï%©!$# uqèd
84
(2 :‫ )اﻟﺘﻐﺎﺑﻦ‬ÇËÈ Ö`ÏB÷s•B /ä3ZÏBur Ö•Ïù%Ÿ2

Dalam surat al-Baqarah ayat 108 menurut Abdul Jabbãr


menggambarkan dengan jelas bahwa manusia sendirilah yang menukar
keimanan dan kekufurannya. Dan adalah benar bahwa upaya untuk menukar
sesuatu dengan yang lain, merupakan pertanda dari kebebasan memilih dan
berbuat.85 Lebih lanjut Abdul Jabbãr mengatakan, bahwa manusialah pelaku
perbuatannya sendiri dengan bebas, bukan Tuhan, seperti yang ditegaskan
oleh Allah dalam surat al-Ahqãf ayat 14, bahwa balasan surga dan neraka,
rasa gembira dan rasa susah, diberikan oleh Allah atas usaha yang dilakukan
oleh manusia sendiri. Sebab bila bukan manusia yang elakukan perbuatan
itu, lalu diberi ganjaran oleh Allah tentulah ayat tersebut merupakan

79
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (QS. Äli Imrãn [3]: 133).
80
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang
menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (QS. al-Nisã' [4]: 79).
81
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai
balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-Ahqãf [46]: 14).
82
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai
pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. al-Taubah [9]: 82).
83
Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa
yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". (QS. al-Kahfi [18]: 29).
84
Dia-lah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di
antaramu ada yang mukmin. (QS. al-Taghãbun [64]: 2).
85
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 104.
167

kebohongan semata. 86 Oleh sebab itu, lanjut Abdul Jabbãr, pilihan atas
kufur dan iman terletak di tangan manusia sendiri, bukan oleh perbuatan
dan kehendak Tuhan.87
Surat Äli Imrãn ayat 133 menurut Abdul Jabbãr menunjukkan bahwa
manusia adalah pelaku perbuatannya sendiri yang bebas memilih. Sebab bila
Tuhanlah yang menciptakan gerak menusia, bukan manusia sendiri, tentu (
‫ ) ﺳﺎرﻋﻮا‬sãri`ü / bersegera haruslah digantungkan pada Tuhan, mewujudkan
atau meniadakannya. Dan itu berarti tidak sesuai dengan rangsangan Tuhan
bagi manusia untuk bersegera memperoleh ampunan.88 Surat berikutnya al-
Nisã' ayat 79 juga menunjukkan bahwa manusialah, bukan Tuhan, demikian
Abdul Jabbãr, yang melakukan perbuatan jahat. Apabila Tuhan yang
melakukan kejahatan itu, tentulah perbuatan jahat tersebut tidak
dinisbatkan kepada manusia.89
Surat al-Taubah ayat 82 menunjukkan, sekiranya perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentulah pemberian
balasan dari Tuhan atas perbuatan manusia, tidak ada artinya. Agar ayat ini
tidak mengandung dusta, demikian Abdul Jabbãr, perbuatan-perbuatan
manusia haruslah betul-betul perbuatan manusia.90
Surat al-Kahfi ayat 29 dan surat al-Taghãbun ayat 2 memberi
kebebasan kepada manusia untuk percaya atau tidak. Dengan kata lain,
pilihan untuk menjadi mukmin atau kafir diserahkan Tuhan kepada manusia.
Kalau bukan begitu maksudnya, tentu ayat ini tidak ada artinya, dan sama
saja dengan mengatakan siapa yang ingin hitam hendaklah ia hitam, dan

86
Al-Qãçî Abdul Jabbãr , Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 361.
87
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 362.
88
Al-Qãçî Abdul Jabbãr , Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 362.
89
Al-Qãçî Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, jilid I, h. 198.
90
Al-Bazdawi, Kitãb Ushüluddin, h. 361.
168

siapa yang ingin putih hendaklah ia putih. Padahal warna kulit hitam atau
putih bukan atas kemauan dan pilihan manusia.91
Aliran kalam tradisional yang memberikan daya yang kecil kepada
akal manusia, menempatkan manusia pada posisi yang lemah serta banyak
bergantung pada kekuatan dan kehendak mutlak Tuhan. Karena manusia
dipandang lemah, paham qadariyyah tidak terdapat dalam aliran ini.
Untuk menggambarkan hubungan antara daya dan kehendak yang
terdapat dalam diri manusia dengan terwujudnya suatu perbuatan, al-
Asy`ari (260-324 H / 873-935 M) mengemukakan teori kasb (perolehan).
Yang dimaksud dengan kasb, menurut Asy`ari, adalah berbarengan daya dan
kehendak manusia dengan perbuatan Allah. 92 Maksudnya, jika seseorang
hendak berbuat, pada saat itu juga Allah menciptakan daya padanya untuk
terwujudnya perbuatan itu. Namun, yang dimaksud dengan terwujudnya
perbuatan itu bukanlah dalam arti menciptakannya, melainkan memperoleh
perbuatan yang diciptakan Allah.93
Asy`ari mengemukakan teori kasb tersebut beranjak dari dasar
pemikirannya bahwa Allah adalah Tuhan Yang Mahakuasa atas segala
sesuatu. Karena itu, kalau ada di antara makhluk-Nya yang telah mencipta,
berarti Allah bukan lagi Tuhan Yang Mahakuasa.94 Namun, di sisi lain tidak
pula dapat dipungkiri bahwa manusia merasakan adanya daya dan kehendak
dalam dirinya untuk melakukan suatu perbuatan. Oleh karena
berpengaruhnya dua macam daya dalam suatu perbuatan tidak dapat
diterima oleh akal pikiran, untuk memecahkan problem tersebut
dikemukakanlah teori kasb. Selain itu, kata Asy`ari, akal juga dapat

91
Al-Bazdawi Kitãb Ushüluddin, h. 362.
92
Abu al-Èasan Ismã’îl, Mãqãlat al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-Muéallîn, (Ed)
Muhammad Muèyi al-Dîn ‘Abd al-Èamîd, jilid II, (Beirut: Maktabah al-Asriyyah, 1990), h.
221.
93
Maèmüd Qãsim, Mãnãhij al-Adillah fi `Aqãid al-Millah li Ibn Rusyd, (Kairo:
Maktabat al-Anglo al-Misriyyah, 1963), h 109. Harun Nasution, Teologi Islam, h. 107.
94
Maèmüd Qãsim, Mãnãhij al-Adillah, h. 109.
169

menerima terwujudnya suatu perbuatan karena pengaruh daya Allah apabila


dilihat dari segi terciptanya dan dari daya manusia dari segi
memperolehnya.95
Untuk melegitimasi pendapat mereka tersebut, Asy`ariyyah antara
lain merujuk kepada surat al-Éãffãt [37]: 96 dan al-Insãn [76]: 30:
$tBur ö/ä3s)n=s{ ª!$#ur
96
(96 :‫ )اﻟﺼﺎﻓﺎت‬ÇÒÏÈ tbqè=yJ÷ès?
uä!$t±o„ br& HwÎ) tbrâä!$t±n@ $tBur
$¸JŠÎ=tã tb%x. ©!$# ¨bÎ) 4 ª!$#
97
(30 :‫ )اﻻﻧﺴﺎن‬ÇÌÉÈ $VJ‹Å3ym
Kata (‫ )وﻣﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮن‬wa mã ta`malün dalam surat al-Saffat diartikan oleh
Asy`ari dengan “apa yang kamu perbuat” dan bukan “apa yang kamu buat”.
Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatan kamu. Oleh karena itu menurut Asy`ari, perbuatan-
perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan.98 Dan tidak ada pembuat (fail)
bagi kasb kecuali Allah.99 Tidak ada yang menciptakan dan tidak ada yang
melakukan serta tidak ada yang menentukan suatu perbutan, termasuk kasb
manusia, selain dari Allah.
Surat al-Insãn ayat 30, diartikan oleh Asy`ari, bahwa manusia tidak
bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki-Nya. 100 Jadi
seseorang tidak bisa menghendaki pergi ke Mekah, kecuali jika Tuhan
menghendaki seseorang itu supaya berkehendak pergi ke Mekah. Ini jelas
mengandung arti kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan
dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari

95
Maèmüd Qãsim, Mãnãhij al-Adillah, h. 110.
96
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS.
al-Éãffãt [37]: 96).
97
Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
(QS. al-Insãn [76]: 30).
98
Abu al-Èasan al-Asy`ãri, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-zaig wa al-Bida`,
(Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000), cet 1, h. 43.
99
Abu al-Èasan al-Asy`ãri, Kitab al-Luma', h. 45.
100
Abu al-Èasan al-Asy`ãri, Kitab al-Luma', h. 75.
170

kehendak Tuhan.101
Adapun Maturidiyyah Bukhara, bagi mereka kehendak berbuat adalah
sama dengan kehendak yang terdapat dalam golongan Maturidiyyah
Samarkand. Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham kehendak dan
kerelaan Tuhan. 102 Mengenai daya juga sama, yaitu daya yang diciptakan
bersama-sama dengan perbuatan.103 Golongan ini berpendapat bahwa untuk
mewujudkan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya
untuk menciptakan. Daya yang ada pada manusia hanya bisa untuk
melakukan perbuatan. Yang dapat mencipta hanya Tuhan 104 dan dalam
ciptaan-Nya itu termasuk perbuatan manusia.105
Dengan demikian manusia hanya melakukan perbuatan yang telah
diciptakan Tuhan baginya. Maturidiyyah Bukhara juga mengakui adanya dua
perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbedaannya dengan
Maturidiyyah Samarkand ialah perbuatan Tuhan bagi Maturidiyyah Bukhara
penciptaan perbuatan manusia dan bukan penciptaan daya. Perbuatan ini
disebut maf`ul.106 Perbuatan manusia hanyalah melakukan perbuatan yang
diciptakan itu. Perbuatan ini disebut fi`il.107 Sedang menurut Maturidiyyah
Samarkand, perbuatan Tuhan adalah menciptakan daya, bukan menciptakan
perbuatan manusia.
Aliran Maturidiyyah Bukhara, sebagai yang dikemukakan oleh al-
Bazdawi, menguatkan pendapat mereka dengan surat al-Mulk [67]: 13-14,
al-Rüm [30]:22 dan surat al-Ra`d [13]: 16.108

101
Harun Nasution, Teologi Islam, h 110.
102
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 42.
103
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn , h 115.
104
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 106-107.
105
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 104.
106
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn h 106.
107
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 106.
108
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn , h 102-104.
171

Írr& öNä3s9öqs% (#r•ŽÅ r&ur


¼çm¯RÎ) ( ÿ¾ÏmÎ/ (#rã•ygô_$#
ÇÊÌÈ Í‘r߉•Á9$# ÏN#x‹Î/ 7OŠÎ=tæ
uqèdur t,n=y{ ô`tB ãNn=÷ètƒ Ÿwr&
:‫ )اﻟﻤﻠﻚ‬ÇÊÍÈ çŽ•Î7sƒø:$# ß#‹Ïܯ=9$#
109
(14-13
ß,ù=yz ¾ÏmÏG»tƒ#uä ô`ÏBur
ÇÚö‘F{$#ur ÏNºuq»yJ¡¡9$#
öNà6ÏGoYÅ¡ø9r& ß#»n=ÏG÷z$#ur
y7Ï9ºsŒ ’Îû ¨bÎ) 4 ö/ä3ÏRºuqø9r&ur
(22 :‫ )اﻟﺮوم‬ÇËËÈ tûüÏJÎ=»yèù=Ïj9 ;M»tƒUy
110

ÏNºuq»yJ¡¡9$# •>§‘ `tB ö@è%


ö@è% 4 ª!$# È@è% ÇÚö‘F{$#ur
ÿ¾ÏmÏRrߊ `ÏiB Mè?õ‹sƒªB$$sùr&
tbqä3Î=ôJtƒ Ÿw uä!$uŠÏ9÷rr&
4 #uŽŸÑ Ÿwur $YèøÿtR öNÎgÅ¡àÿRL{
4‘yJôãF{$# “ÈqtGó¡o„ ö@yd ö@è%
“ÈqtGó¡n@ ö@yd ÷Pr& 玕ÅÁt7ø9$#ur
÷Pr& 3 â‘q‘Z9$#ur àM»uHä>—à9$#
uä!%x.uŽà° ¬! (#qè=yèy_
tmt6»t±tFsù ¾ÏmÉ)ù=yÜx. (#qà)n=yz
ª!$# È@è% 4 öNÍköŽn=tã ß,ù=sƒø:$#
uqèdur &äóÓx« Èe@ä. ß,Î=»yz
:‫ )اﻟﺮﻋﺪ‬ÇÊÏÈ ã•»£gs)ø9$# ߉Ïnºuqø9$#
111
(16

109
Dan rahasiakanlah perkataanmu atau lahirkanlah; Sesungguhnya Dia Maha
mengetahui segala isi hati. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang
kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui? (QS. al-Mulk
[67]: 13-14).
110
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi
dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.(QS. al-Rüm [30]:22).
111
Katakanlah: "Siapakah Tuhan langit dan bumi?" Jawabnya: "Allah". Katakanlah:
"Maka patutkah kamu mengambil pelindung-pelindungmu dari selain Allah, padahal mereka
tidak menguasai kemanfaatan dan tidak (pula) kemudharatan bagi diri mereka sendiri?".
Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita
dan terang benderang; Apakah mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut pandangan
mereka?" Katakanlah: "Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia-lah Tuhan yang Maha
Esa lagi Maha Perkasa". (QS. al-Ra`d [13]: 16).
172

Ayat-ayat di atas menurut al-Bazdawi menunjukkan, bahwa segala


sesuatu termasuk perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan. Pada surat
al-Mulk [67]: 13-14 Tuhan mengatakan bahwa ucapan yang dilakukan
manusia, baik secara berbisik ataupun secara keras adalah diciptakan
Allah. 112 Lebih lanjut al-Bazdawi mengatakan, pada surat al-Rüm [30]: 22
Allah menegaskan lagi, bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi
serta menciptakan warna kulit manusia. Ini berarti, demikian al-Bazdawi,
ucapan yang merupakan perbuata manusia, juga diciptakan oleh Allah.
Surat al-Ra`d [13]: 16 juga dipahami oleh al-Bazdawi sejalan dengan ayat-
ayat sebelumnya. Kata (‫ )اﻟﺨﻠﻖ‬al-khalq / ciptaan adalah fi`il (perbuatan) dan
(‫ )اﻟﺼﻨﻊ‬al-sun`u / buatan . karena itu, demikian al-Bazdawi, segala sesuatu
yang terjadi di langit dan di bumi adalah ciptaan Allah, denga kata lain
semuanya itu merupakan perbuatan dan buatan Allah.113
Dalam uraian berikut dikemukakan pula pandangan Muhammad
Quraish Shihab tentang masalah perbuatan manusia. Apakah Muhammad
Quraish Shihab mempunyai paham qadariah, 114 yang memandang manusia
mempunyai kebebasan dalam kehendak dan perbuatan, memungkinkan
112
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 102.
113
Al-Bazdawi, Kitãb Uéül al-Dîn, h 104.
114
Term qadariyah mengandung dua arti. Pertama: orang-orang yang memandang
manusia berkuasa dan bebas atas perbuatan-perbuatannya. Dalam arti itu qadariyah
berasal dari kata qadara yakni berkuasa atau mempunyai qudrah. Kedua: orang-orang yang
memandang nasib manusia telah ditentukan dari azal. Dengan demikian, qadariyah di sini
berarti menentukan, yakni ketentuan Tuhan atau nasib. Kaum Mu`tazilah, sebagai
dijelaskan oleh al-Syahrastani, menentang sebutan qadariyah, yang diberikan kepada
mereka. Nama ini, kata mereka, lebih tepat diberikan kepada orang yang percaya kepada
kadar baik dan buruk datang dari Allah. Lihat Al-Syahrastãni, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut:
Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th), jild I, h. 38. Apakah sebabnya mereka diberi nama
qadariyah, dijelaskan oleh Asy`ari sebagi berikut: kaum Qadariyah adalah kaum yang
memandang perbuatan-perbuatan mereka diwujudkan oleh daya mereka sendiri dan bukan
oleh Tuhan. (Al-Asy`ari, al-Ibãnah an Uéül al-Diyãnah, (Beirut: Maktabat Dãr al-Bayãn,
1999), h. 40). Paham Qadariyah ditimbulkan pertama kali oleh Ma`bad al-Juhani (w. 80 H).
menurut Ibn Nabatah, Ma`bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyki (abad VIII M)
mengambil paham ini dari dari seorang Kristen yang masuk Islam di Irak. Menurut al-
Zahabi, Ma`bad al-Juhani adalah seorang Tabi`i yang baik. lihat Aèmad Amîn, Fajr al-
Islãm, (Kairo: Maktabat al-Usrah, 2000), h. 451.
173

manusia bersikap dinamis? Paham ini, sebagaimana disinggung pada uraian


terdahulu, dianut oleh aliran Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Ataukah Muhammad Quraish Shihab menganut paham jabariah, 115 yang
memandang manusia bersifat pasif dan fatalis, hanya menyerah kepada
nasib dan takdir yang telah ditentukan Tuhan? Paham ini di anut oleh aliran
Asy`ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara.
Sebagai makhluk hidup, manusia senantiasa bergerak, berbuat dan
berprilaku. Sebagai makhluk hamba Allah, manusia tidak dapat melepaskan
diri dari-Nya. Di sini timbul persoalan, siapakah yang telah menciptakan dan
melakukan perbuatannya itu, manusia sendiri ataukah Allah? Apakah
manusia bebas dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya ataukah
tergantung kepada kehendak kekuasaan mutlak Tuhan?
Persoalan tersebut telah menimbulkan perbedaan paham di kalangan
mutakallimin (para teolog Islam) tentang hakikat perbuatan manusia (af`ãl
al-ibãd). Ayat-ayat yang telah dijadikan argumen oleh aliran-aliran teologi
untuk memperkuat pendirian masing-masing, baik ayat-ayat itu termasuk
ayat-ayat kadar maupun ayat-ayat jabar. Ayat-ayat kadar ialah ayat-ayat

115
Jabariah adalah paham yang diajarkan oleh Ja`ad Ibn Dirham (w. 116 H / 735 M)
kemudian dikembangkan oleh Jahm ibn Shafwan (w. 127 H / 745 M). Menurut paham ini,
perbuatan manusia diciptakan oleh Allah. Karena itu, berkenaan dengan perbuatannnya
itu, manusia selalu dalam keadaan terpaksa (majbür), tidak memiliki daya, kemampuan,
dan kehendak untuk memilih dan melakukan perbuatan-perbuatannya. Allah menciptakan
perbuatan-perbuatan manusia seperti Dia telah menciptakan benda-benda mati, kemudian
perbuatan-perbuatan tersebut dinisbahkannya kepada manusia secara majazi sebagaimana
penisbahannya kepada benda-benda mati, seperti daun kelapa melambai, pohon kayu
bergoyang,dan batu bergulir. Kehidupan manusia di dunia ini, menurut Jabariah, tidak
berbeda denga sehelai bulu yang ditiup angin atau sekeping papan yang diombang-ambing
gelombang. Sebagaimana perbuatannya, pahala dan hukuman yang diterima manusia juga
bersifat paksaan sebab pahala dan hukuman yang diterima manusia itu tidak ada
hubungannya dengan perbuatannya. Allah telah mentakdirkan pada setiap orang melakukan
ini dan itu dan telah pula mentakdirkan untuknya pahala dan hukuman yang bakal
diterimanya. Dengan demikian, nama Jabariah yang berasal dari kata Jabbara yang berarti
memaksa itu sesuai dengan paham yang dianut oleh para penganutnya. Amir Najjar, Aliran
Khawarij Mengungkap Akar Perselisihan Umat, terjemahan oleh A. Salihin Rasyidi dan Afif
Muhammad, (Jakarta: Lentera, 1993), h. 34-35. Lihat juga Harun Naution, Teologi Islam, h.
33.
174

yang secara literal telah menyandarkan perbuatan mausia kepada manusia


itu sendiri, seperti surat al-Anfãl [8]: 53, al-Ra`d [13]: 11, Äli Imrãn [3]:
133, al-Kahfi [18]: 29, dan al-Taghãbun [ 64]: 2.

à7tƒ öNs9 ©!$# cr'Î/ y7Ï9ºsŒ


$ygyJyè÷Rr& ºpyJ÷èÏoR #ZŽÉi•tóãB
(#rçŽÉi•tóム4Ó®Lym BQöqs% 4’n?tã
©!$# žcr&ur öNÍkŦàÿRr'Î/ $tB
116
(53 :‫ )اﻻﻧﻔﺎل‬ÇÎÌÈ ÒOŠÎ=tæ ìì‹ÏJy™
BQöqs)Î/ $tB çŽÉi•tóムŸw ©!$# žcÎ)
$tB (#rçŽÉi•tóム4Ó®Lym
117
(11 :‫ )اﻟﺮﻋﺪ‬ÇÊÊÈ öNÍkŦàÿRr'Î/
;ot•ÏÿøótB 4’n<Î) (#þqããÍ‘$y™ur *
$ygàÊó•tã >p¨Yy_ur öNà6În/§‘ `ÏiB
ÞÚö‘F{$#ur ßNºuq»yJ¡¡9$#
(133 :‫ )ال ﻋﻤﺮان‬ÇÊÌÌÈ tûüÉ)-GßJù=Ï9 ôN£‰Ïãé&
118

uä!$x© ÆtBur `ÏB÷sã‹ù=sù uä!$x© `yJsù


119
(29 :‫ )اﻟﻜ ﻒ‬ÇËÒÈ 4 ö•àÿõ3u‹ù=sù
ö/ä3ZÏJsù ö/ä3s)n=s{ “Ï%©!$# uqèd
ª!$#ur 4 Ö`ÏB÷s•B /ä3ZÏBur Ö•Ïù%Ÿ2
120
(2 :‫ )اﻟﺘﻐﺎﺑﻦ‬ÇËÈ îŽ•ÅÁt/ tbqè=yJ÷ès? $yJÎ/

116
Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah
sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu
mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha mendengar
lagi Maha mengetahui. (QS. al-Anfãl [8]: 53).
117
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
mengubah apa yang ada pada diri mereka. (QS. al-Ra`d [13]: 11).
118
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Äli
Imrãn [3]: 133).
119
Maka barang siapa yang ingin maka hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang
ingin biarlah ia kafir. (QS. al-Kahfi [18]: 29)
120
Dialah Yang menciptakan kamu, lalu sebagian kamu kafir dan sebagian kamu
mukmin dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan Maha Melihat (QS. al-Taghãbun [ 64]:
2).
175

Sebaliknya, ayat-ayat jabar ialah ayat-ayat yang mengesankan


penyandaran perbuatan manusia kepada Allah, seperti surat al-Baqarah [2]:
7, Hüd [11]: 34.
öNÎgÎ/qè=è% 4’n?tã ª!$# zNtFyz
#’n?tãur ( öNÎgÏèôJy™ 4’n?tãur
öNßgs9ur ( ×ouq»t±Ïî öNÏdÌ•»|Áö/r&
121
(7 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬ÇÐÈ ÒOŠÏàtã ë>#x‹tã
÷bÎ) ûÓÅÕóÁçR ö/ä3ãèxÿZtƒ Ÿwur
bÎ) öNä3s9 yx|ÁRr& ÷br& ‘NŠu‘r&
br& ߉ƒÌ•ãƒ ª!$# tb%x.
öNä3š/u‘ uqèd 4 öNä3tƒÈqøóãƒ
122
(34 :‫ﻮد‬ª) ÇÌÍÈ šcqãèy_ö•è? Ïmø‹s9Î)ur
Ketika menafsirkan ayat-ayat kadar, Muhammad Quraish Shihab
menafsirkannya menurut literalnya. Misalnya, surat al-Anfãl [7]: 53 dan al-
Ra`d [13]: 11. Menurut Muhammad Quraish Shihab, kedua ayat tersebut itu
berbicara tentang perubahan, tetapi ayat pertama berbicara tentang
perubahan nikmat, sedang ayat al-Ra`d mencakup perubahan apapun, yakni
baik dari ni`mat (sesuatu yang positif) menuju niqmat ( murka Ilahi atau
sesuatu yang negatif), maupun dari negatif ke positif.123
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menjelaskan bahwa ada
beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut kedua ayat di atas.
Pertama: ayat-ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial yang
berlaku bagi masyarakat masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Keduanya berbicara tentang hukum-hukum kemasyarakatan, bukan
menyangkut orang perorangan atau individu. Ini dipahami dari penggunaan
kata kaum / masyarakat pada kedua ayat tersebut.124

121
Allah telah menunci mati hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan
ada penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (QS. al-Baqarah [2]: 7).
122
Dan tidaklah bermanfaat bagi kamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat
bagi kamu, sekiranya Allah hendak menyesatka kamu. Dia adalah Tuhan kamu dan kepada-
Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Hüd [11]: 34).
123
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 473.
124
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 473.
176

Karena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan sosial tidak


dapat dilakukan oleh seorang manusia saja. Memang boleh saja perubahan
bermula dari seseorang, yang ketika ia melontarkan dan menyebarkan ide-
idenya ia baru sendirian tetapi perubahan baru terjadi bila ide yang
disebarluaskannya mengelinding dalam masyarakat. Pola pikir dan sikap
perorangan itu “menular” kepada masyarakat luas, sedikit demi sedikit
kemudian “mewabah” kepada masyarakat luas. Penggunaan kata ( ‫) ﻗﻮم‬
qaum / kaum, juga menunjukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak
hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras, dan penganut agama
tertentu, tetapi ia berlaku umum, kapan, dan dimanapun kaum itu berada.
Kedua: karena ayat tersebut berbicara tentang kaum, maka ini
berarti bahwa ketetapan atau sunnatullah yang dibicarakan ini berkaitan
dengan kehidupan duniawi, bukan ukhrawi. Hal ini mengantar kita berkata
bahwa ada pertanggungjawaban yang bersifat pribadi, dan ini akan terjadi
di akhirat kelak, dan ada juga tanggung jawab sosial yang bersifat
kolektif.125
Ketiga: kedua ayat di atas juga berbicara tentang dua pelaku
perubahan. Yang pertama adalah Allah yang mengubah nikmat. Sedang
pelaku kedua adalah manusia dalam hal ini masyarakat yang melakukan
perubahan pada sisi dalam mereka dalam istilah kedua ayat di atas apa
yang terdapat dalam diri mereka.126
Keempat: kedua ayat itu juga menekankan bahwa perubahan yang
dilakukan oleh Allah, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh

125
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 474.
126
Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama al-Qur`an,
(Bandung: Mizan, 2007), h. 480. Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h.
475.
177

masyarakat. 127 Jadi, dengan kata lain, ayat tersebut menurut Muhammad
Quraish Shihab memberikan penjelasan bahwa tanpa perubahan yang
dilakukan masyarakat dalam diri mereka terlebih dahulu, maka mustahil
akan terjadi perubahan sosial. Memang boleh saja terjadi perubahan
penguasa, atau bahkan sistem, tetapi jika sisi dalam masyarakat tidak
berubah, maka keadaan akan tetap bertahan sebagaimana sediakala. Jika
demikian, yang paling pokok dalam keberhasilan perubahan sosial adalah
perubahan sisi dalam manusia, karena sisi dalam manusia itulah yang
melahirkan aktivitas, baik positif maupun negatif.
Ayat di atas, di samping meletakkan tanggung jawab yang besar
terhadap manusia, karena darinya dipahami bahwa kehendak Allah atas
manusia yang telah Dia tetapkan melalui sunnah-sunnah-Nya berkaitan erat
dengan kehendak dan sikap manusia. Di samping tanggung jawab itu, ayat
ini juga menganugerahkan kepada manusia penghormatan yang demikian
besar. Betapa tidak? Bukankah ayat ini menegaskan bahwa perubahan yang
dilakukan Allah atas manusia, tidak akan terjadi sebelum manusia terlebih
dahulu melangkah. Demikian sikap dan kehendak manusia menjadi “syarat”
yang mendahului perbuatan Allah swt. Sungguh ini merupakan
penghormatan yang luar biasa!
Dalam penjelasannya itu Muhammad Quraish Shihab menegaskan
bahwa perubahan yang ada pada manusia itu adalah manusia sendiri yang
melakukannya, memberi petunjuk bahwa Muhammad Quraish Shihab
menganut paham manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak dan
perbuatan. Jelas pandangan seperti itu sejalan dengan paham Qadariah.
Sikap yang sama telah pula dilakukan oleh Muhammad Quraish Shihab
ketika menafsirkan surat Äli Imrãn [3]: 133: dengan ayat ini menganjurkan
kepada manusia bahwa ketaatan yang dilakukan manusia kepada Allah swt

127
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 475.
178

adalah bagaikan suatu kompetisi untuk meningkatkan kualitas manusia itu


sendiri dimata Allah swt. Di mana optimalisasi dari ketaatannya ini akan
berujung pada ganjaran yang akan didapatnya kelak di akhirat. 128 Oleh
sebab itu, lanjut Muhammad Quraish Shihab, bersegeralah kamu bagaikan
ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan dari
Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah mencapai, yaitu
surga yang sangat agung yang disediakan untuk al-muttaqin, yakni orang-
orang yang telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya.129 Dengan demikian, menurut Muhammad
Quraish Shihab, bahwa yang dimaksud dengan bersegera kepada keampunan
dari Allah dan surga adalah bersegera melakukan sebab-sebabnya dan apa
saja yang dapat mempersiapkan orang untuk memperolehnya dengan cara
bertobat dari perbuatan dosa, kemudian disusul dengan berbuat baik. Jadi,
dengan kata lain, yang melakukan perbuatan bersegera menuju ampunan
Allah dan surga itu adalah manusia.
Pemahaman yang sama dengan uraian di atas, juga dijelaskan oleh
Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-Kahfi [18]: 29
dengan mengatakan bahwa manusia sendiri dapat memilih antara kufur dan
iman. Dan manusia mempunyai kebebasan dalam kehendak dan perbuatan.
Pilihan untuk kafir atau mukmin, diletakkan atas pilihan manusia sendiri,
bukan ditentukan oleh Tuhan. Secara lebih jelas Muhammad Quraish Shihab
mengatakan hal itu, sebagai berikut:
Maka barang siapa di antara kamu, atau selain kamu yang ingin
beriman tentang apa yang akan kusampaika ini, maka hendaklah ia
beriman, keuntungan dan manfaatnya akan kembali kepada dirinya
sediri. Dan barang siapa di antara kamu atau selain kamu yang ingin
kafir dan menolak pesan-pesan Allah, maka biarlah ia kafir- walau
sekaya dan setinggi apa pun kedudukan sosialnya. Tidaklah aku,

128
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 219.
129
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol II, h 219.
179

apalagi Allah swt. akan mengalami sedikit kerugian pun dengan


kekafirannya, sebaliknya, dialah sendiri yang akan merugi dan celaka
dengan perbuatannya yang telah menganiaya dirinya sendiri.130

Penjelasannya yang lebih jelas lagi dapat diketahui pada


penafsirannya terhadap surat Taghãbun [64]: 2 yang dijadikan dalil oleh
Mu`tazilah, ditafsirkan oleh Muhammad Quraish Shihab dengan mengatakan
bahwa firman-Nya: ( ‫ ) ﻓﻤﻨﻜﻢ ﻛﺎﻓﺮ و ﻣﻨﻜﻢ ﻣﺆﻣﻦ‬lalu di antara kamu ada yang kafir
dan ada yang mukmin. Kalimat tersebut harus dipahami sebagai
berhubungan dengan kandungan makna “Dialah yang menciptakan kamu”
dan ini berarti Dia menciptakan manusia memiliki potensi untuk beriman
dan kufur.131 Dengan demikian, menurut Muhammad Quraish Shihab, Allah
memberi mereka kebebasan memilih dan akhirnya ada yang
mengembangkan potensi kekufuran dan mengabaikan potensi keimanannya
sehingga ia menjadi kafir, dan ada juga sebaliknya mengembangkan potensi
iman, sehingga ia menjadi mukmin.132 Dari penafsiran yang telah dijabarkan
di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Quraish Shihab menekankan lagi,
bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk memilih mukmin atau kafir.
Selanjutnya akan lebih jelas terlihat, jika dihubungkan dengan
penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap surat al-Sãffãt [37]: 96,
yang dijadikan dalil oleh Asy`ariyyah untuk menyatakan bahwa perbuatan
manusia juga merupakan ciptaan Tuhan, tidak dipahami oleh Muhammad
Quraish Shihab sebagai yang dipahami mereka. Namun ditafsirkan oleh
Muhammad Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa Allah yang
menciptakan kamu dan apa yang kamu buat. Maksudnya Allah juga yang
menciptakan kayu dan batu yang merupakan bahan yang kamu pahat.
Secara lebih jelas Muhammad Quraish Shihab mengatakan hal itu sebagai

130
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VIII, h 52.
131
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XIV, h 263.
132
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XIV, h. 263.
180

berikut:
Kata ( ‫ ) ﻣﺎ‬mã pada firman-Nya: ( ‫ ) وﻣﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮن‬wa mã ta`malün, dapat
mengandung berbagai arti. Ia bisa berarti yang, sehingga ayat di atas
berarti: Padahal Allah yang telah menciptakan kamu dan yang kamu
buat itu. Maksudnya Allah juga yang menciptakan kayu dan batu yang
merupakan bahan yang kamu pahat. Ia dapat juga berarti apa yang
digunakan bertanya. Dengan makna ayat di atas mengecam dan
merendahkan mereka bagaikan menyatakan: Apa sih yang kamu buat
itu, sama sekali tidak ada arti dan maknanya. Ia hanya batu dan
kayu. Pendapat ketiga memahaminya dalam arti tidak. Penganut
pendapat ini menjadikan ayat di atas bagaikan berkata: Padahal
Allah yang menciptakan kamu, dan kamu tidak melakukan suatu
apapun. Banyak ulama yang berkecimpung dalam studi teologi
berusaha mengukuhkan pendapat Ahl al-Sunnah menyangkut
perbuatan manusia. Mereka berpendapat bahwa kata ma di sini
berfungsi mengalihkan kata kerja menjadi kata jadian (infinitive
noun), sehingga kalimat wa mã ta`malün berarti dan pekerjaan
kamu. Manusia dan juga amal-amal perbuatannya adalah ciptaan
Allah. Manusia hanya memiliki apa yang diistilahkan dengan kasab
tanpa memiliki daya mencipta walau amalnya sendiri.133

Kutipan berikutnya, adalah:

Kalau kita melihat konteks uraian Nabi Ibrahim as. di sini, maka
agaknya pendapat pertama yang penulis kemukakan di atas – lebih
dekat kepada kebenaran – terlepas dari perbedaan pendapat para
teolog antara penganut paham Fatalisme (Jabariyah) atau penganut
paham kebebasan manusia (Qadariyah) ataukah penganut paham
kasab yang berusaha menengahi kedua pendapat sebelumnya. Nabi
Ibrahim as. dalam ayat ini bermaksud mengecam kaumnya karena
mempersekutukan Allah, padahal Dia adalah Pencipta segala sesuatu,
baik secara langsung maupun melalui pelimpahan daya kepada
manusia.134

Berdasarkan penafsiran di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad


Quraish Shihab membedakan antara perbuatan manusia yang merupakan
ciptaan manusia sendiri dan bahan pembuatan patung yang merupakan

133
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h. 59.
134
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XII, h 59.
181

ciptaan Allah. Muhammad Quraish Shihab memahami ayat di atas berarti:


“Padahal Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat.” Jadi,
dengan demikian, menciptakan batu dan kayu adalah perbuatan Allah,
sedangkan memahat kayu atau batu menjadi patung bukanlah perbuatan
Allah dan bukan pula diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, dalam
pandangan Muhammad Quraish Shihab, perbuatan manusia bukanlah
diciptakan Allah. Berbeda dengan aliran Asy`ariyyah, yang memahami ayat
di atas berarti: “Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu
perbuat.”
Setelah penafsiran Muhammad Quraish Shihab di atas terhadap ayat-
ayat kadar diketahui, berikut ini akan dikemukakan pula penafsirannya
terhadap ayat-ayat jabar, di antaranya surat al-Baqarah [2]: 7, al-Anfãl [8]:
17 dan Hüd [11]: 34.
öNÎgÎ/qè=è% 4’n?tã ª!$# zNtFyz
#’n?tãur ( öNÎgÏèôJy™ 4’n?tãur
öNßgs9ur ( ×ouq»t±Ïî öNÏdÌ•»|Áö/r&
135
(7 :‫ )اﻟﺒﻘﺮة‬ÇÐÈ ÒOŠÏàtã ë>#x‹tã
©!$# ÆÅ3»s9ur öNèdqè=çFø)s? öNn=sù
øŒÎ) |Mø‹tBu‘ $tBur 4 óOßgn=tGs%
4’tGu‘ ©!$# ÆÅ3»s9ur |Mø‹tBu‘
136
(17 :‫ )اﻻﻧﻔﺎل‬ÇÊÐÈ 4OŠÎ=tæ
÷bÎ) ûÓÅÕóÁçR ö/ä3ãèxÿZtƒ Ÿwur
bÎ) öNä3s9 yx|ÁRr& ÷br& ‘NŠu‘r&
br& ߉ƒÌ•ãƒ ª!$# tb%x.
öNä3š/u‘ uqèd 4 öNä3tƒÈqøóãƒ
137
(34 :‫ﻮد‬ª) ÇÌÍÈ šcqãèy_ö•è? Ïmø‹s9Î)ur

135
Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan
ada penutup. Dan bagi mereka siksa yang amat pedih. (QS. al-Baqarah [2]: 7).
136
Maka bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah yang membunuh
mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang
melempar. (QS. al-Anfãl [8]: 17).
137
Dan tidaklah bermanfaat bagi kamu nasihatku jika aku hendak memberi nasihat
bagi kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu. Di adalah Tuhan kamu dan kepada-
Nyalah kamu dikembalikan. (QS. Hüd [11]: 34).
182

Ayat-ayat jabar, yang dipahami oleh aliran kalam tradisional dalam


makna Jabariyah, ternyata dipahami oleh Muhammad Quraish Shihab dalam
makna Qadariyah. Dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah [2]: 7,
Muhammad Quraish Shihab memberikan pandangan bahwa ayat di atas,
bukan berbicara tentang semua orang kafir, tetapi orang kafir yang
kekufurannya telah mendarah daging dalam jiwa mereka sehingga tidak lagi
mungkin akan berubah. Ayat ini menunjuk kepada mereka yang keadaannya
telah diketahui Allah sebelum, pada saat, dan sesudah datangnya ajakan
138
beriman kepada mereka. Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, bahwa pengetahuan Allah tentang kepastian tidak bergunanya
peringatan buat mereka bukanlah sebab yang menjadikan mereka tidak
beriman. Nah, untuk orang-orang kafir yang dimaksud oleh ayat ini,
penyebabnya adalah keengganan mereka menerima iman sehingga Allah
telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka.139 Atau, dengan kata
lain, yakni Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan sesuai dengan
keinginan hati mereka sendiri, sehingga akhirnya hati mereka terkunci mati
dan telinga mereka tidak dapat mendengar bimbingan. Dan pada
penglihatan mereka pun ada penutup, sehingga tanda-tanda kebesaran Allah
yang terhampar di alam raya, tidak mereka lihat kecuali fenomenanya saja.
Pada gilirannya ini menjadikan mereka wajar mendapat siksa yang pedih.
Sementara itu, surat al-Anfãl [8]: 17 ditafsirkan oleh Muhammad
Quraish Shihab dengan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bukan
engkau yang melempar bukanlah menafikan gerak tangan Nabi dan
pelemparan yang beliau lakukan, terbukti dengan redaksi berikutnya yakni
ketika engkau melempar, - tetapi maksudnya bukan engkau yang
menghasilkan dampak pelemparan tersebut. 140 Lebih lanjut Muhammad

138
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 96.
139
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol I, h 96.
140
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 402
183

Quraish Shihab mengatakan, karena kalau Nabi yang melakukannya, maka


mana mungkin segenggam batu dapat mengenai tepat mata lawan, bahkan
mengenai mereka semua yang jumlahnya seribu orang lebih. Itu adalah
sesuatu yang berada di luar kebiasaan. Untuk menghindari kemungkinan
memahaminya dalam arti majazi, maka ayat ini menekankannya dengan
kata ketika engkau melempar.141
Selanjutnya, surat Hüd [11]: 34 ditafsirkan Muhammad Quraish Shihab
dengan mengatakan bahwa Nabi Nuh as. menekankan bahwa jika Allah swt.
hendak menyesatkan kamu akibat ulah kamu sendiri maka tidaklah juga
bermanfaat bagi kamu nasihatku yang telah kusampaikan dan yang masih
akan kusampaikan jika aku masih hendak memberi nasihat bagi kamu.
Semua itu tidak bermanfaat bagi kamu, sekiranya Allah hendak
menyesatkan kamu. 142 Tetapi, demikian kata Muhammad Quraish Shihab,
jangan duga bahwa penyesatan itu kesewenangan Allah swt., tetapi semata-
mata karena kamu memang terus menerus menolak tuntunan-Nya, padahal
Dia adalah Tuhan Pemelihara dan Pembimbing kamu dan hanya kepada-
Nyalah tidak kepada siapa pun selain-Nya kamu semua akan
dikembalikan. 143 Oleh sebab itulah, demikian Muhammad Quraish Shihab,
apabila sunnatullah (yakni ketentuan yang belaku umum) mengakibatkan
kalian binasa karena kesesatan kalian, maka ketentuan tersebut pasti
berlaku atas kalian betapapun aku (Nabi Nuh as) mencurahkan semua
kemampuan untuk memberi nasihat, bukan karena Allah swt. menghalagi
kalian memperoleh manfaat dari nasihat itu, itu karena ulah kalian sendiri
yang mengundang ketentuan Allah itu berlaku atas kalian sehingga kalian
sesat. 144 Dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas, jelaslah

141
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h 402
142
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 244.
143
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 245.
144
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol VI, h 246.
184

bahwa pamahamannya terhadap ayat jabar ini, ternyata dipahami dalam


makna Qadariyah.
Dalam paham pemikiran kalam rasional yang memberikan tekanan
kuat pada kebebasan manusia, tidaklah mengatakan bahwa manusia itu
benar-benar bebas semutlak-mutlaknya. Kebebasan manusia itu sebenarnya
berada dalam lingkungan batas-batas ketentuan Allah juga. Biasa disebut
dengan sunnatullah. Sunnatullah dalam pemikiran kalam rasional juga
merupakan ciptaan Allah dan tidak akan berubah-ubah. 145 Pandangan ini
sejalan sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah dalam surat Fãthir
[35]: 43.146
Bagaimana pandangan Muhammad Quraish Shihab tentang
sunnatullah ini? Apakah ia juga berpendapat bahwa sunnatullah itu tidak
akan berubah-ubah? Ataukah sunnatullah dalam pandangannya hanyalah
hukum kebiasaan saja yang sewaktu-waktu dapat berubah?
Menurut Muhammad Quraish Shihab, ( ‫ ) ﺳﻨّﺔ اﷲ‬sunnatullah, dari segi
bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata (‫ ) ﺳﻨّﺔ‬antara lain berarti
kebiasaan. Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam
memperlakukan masyarakat. Siapa pun tidak akan mampu mengubah cara
yang ditetapkan Allah memperlakukan umat manusia. Demikian penjelasan
Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkannya surat Fathir [35]: 43.
Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa kalau kita
membandingkannya dengan hukum alam, maka tidak mungkin mejadikan
beku, air yang sedang mendidih sehingga mencapai 100 derajat Celcius, dan
tidak mungkin pula mencairkannya saat ia telah mencapai nol derajat

145
Harun Nasution, Teologi Islam, h 120.
146
Teks ayat:
`s9ur ( WxƒÏ‰ö7s? «!$# ÏM¨YÝ¡Ï9 y‰ÅgrB `n=sù 4
ÇÍÌÈ ¸xƒÈqøtrB «!$# ÏM¨YÝ¡Ï9 y‰ÅgrB
Maka sekali-kali engkau tidak akan mendapatkan bagi sunnah Allah satu pergantian pun dan
sekali-kali engkau tidak (pula) akan mendapatkan bagi sunnah Allah sedikit penyimpangan
pun. (QS. Fãthir [35]: 43).
185

celcius. Untuk mencairkan dan membekukan air, harus berusaha mengubah


temperaturnya sesuai dengan ketentuan hukum Allah yang berlaku terhadap
air.147
Ayat tersebut, menurut Muhammad Quraish Shihab, dalam hukum-
hukum kemasyarakatan pun hal serupa terjadi. Tidak mungkin menjadikan
masyarakat yang saling bermusuhan atau yang malas-tidak mungkin
menjadikannya meraih sukses atau kesejahteraan hidup. Sebaliknya, siapa
yang mengikuti hukum-hukum Tuhan menyangkut syarat-syarat meraih pun
yang mengikuti hukum Tuhan menyangkut syarat-syarat meraih sukses pasti
akan meraihnya.148 Dengan demikian, menurut Muhammad Quraish Shihab,
siapa pun dari makhluk ini, tidak akan mampu mengalihkan hukum Allah
dari arah yang telah ditentukannya. Bagi yang mendinginkan air sehingga
mencapai nol derajat celcius tidak mungkin dapat menjadikan air yang
menjadi beku. Bagi yang bekerja keras, tidak mungkin sukses usahanya
diraih oleh orang yang malas. Itu adalah sunnatullah atau kebiasaan-
kebiasaan yang diberlakukan-Nya terhadap apa, siapa dan kapan pun.
Karena ia adalah sunnah yang tidak menyimpang dari arah yang ditetapkan.
Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab menambahkan, bahwa
manusia mempunyai takdir sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah
atasnya.149 Takdir Allah yang meliputi seluruh makhluk, termasuk manusia;
tetapi keyakinan ini sedikit pun tidak menghalangi mereka untuk melakukan
150
ikhtiar yang sungguh-sungguh dan berjuang. Dengan demikian, apa
sebenarnya konsep takdir menurut Muhammad Quraish Shihab?

147
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h 494.
148
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XI, h. 494.
149
Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan,
(Bandung: Mizan, 2006), cet XXX, h. 98.
150
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: Mizan 1996), h. 61.
186

Takdir menurut Muhammad Quraish Shihab adalah ukuran-ukuran


151
yang ditetapkan Tuhan atas segala sesuatu. Semua makhluk telah
ditetapkan oleh Tuhan kadarnya dalam hal-hal tersebut, mereka tidak dapat
melampaui batas ketetapan itu. Seperti Matahari ditakdirkan Tuhan beredar
dalam waktu tertentu, ia tidak dapat melampaui batas tersebut. Peristiwa-
peristiwa yang terjadi di alam raya ini dari sisi kejadiannya dalam kadar dan
ukuran tertentu serta pada tempat dan waktu tertentu itulah yang dinamai
takdir/qadar.152
Manusia mempunyai takdir sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh
Allah atasnya. Makhluk ini tidak dapat terbang seperti burung. Yang
demikian itu merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuannya. Kita
manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita
lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar
153
dan ukuran tertentu. Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi
kemampuan memilih – tidak sebagaimana matahari misalnya – maka kita
dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan itu yang
kita ambil. 154 Dengan penjelasan seperti itu, Muhammad Quraish Shihab
ingin menegaskan bahwa manusia diberi kemampuan untuk memilih;
manusia dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan
yang akan ia ambil. lebih lanjut, Muhammad Quraish Shihab memberikan
contoh, Umar bin Khattab membatalkan rencana kunjungannya ke suatu
daerah karena mendengar adanya wabah di daerah tersebut. Ketika Umar
ditanya: “Apakah Anda menghindar dari takdir Tuhan? Beliau menjawab:

151
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 201.
152
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h. 201.
153
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h 201.
154
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h 201.
187

“Saya menghindar dari takdir Tuhan yang satu ke takdir Tuhan yang lain”. 155
Atau, dengan kata lain, berjangkitnya penyakit akibat wabah, merupakan
takdir Allah, berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya dan bila
seseorang tidak menghindar maka ia akan menerima akibatnya. Akibat yang
menimpa, itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari
marabahaya maka itupun takdir. Bukankah Tuhan telah menetapkan bahwa
manusia dapat memilih, dan kemampunan memilih tersebut antara lain
merupakan ketetapan / takdir yang dianugerahkan-Nya kepada manusia.
Dari penjelasan Muhammad Quraish Shihab di atas dapat diketahui
bahwa menurut Muhammad Quraish Shihab takdir Allah tidak menyebabkan
manusia terpaksa dalam perbuatannya dan tidak pula menyebabkan
terpasung dalam kehendak-Nya. Bahkan, manusia, kata Muhammad Quraish
Shihab, bebas memilih dan melakukan perbuatan selama kebebasan itu
masih dalam batas-batas kekuasaannya dan sesuai dengan sunnatullah.
Sebab, takdir Allah itu tidak lain adalah ketentuan dan hukum yang pasti
yang telah ditetapkan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta
dan makhluk-Nya.
Dari beberapa penafsiran Muhammad Quraish Shihab terhadap ayat-
ayat kadar dan jabar di atas, dapat diketahui bahwa perbuatan manusia itu
memang Allah yang telah menciptakannya, namun bukan dalam pengertian
menciptakannya secara langsung, melainkan menciptakan sebab-sebab yang
memungkinkan manusia bebas memilih dan melakukan perbuatannya.
Karena itu, manusia tidak dalam keadaan terpaksa dalam melakukan
perbuatannya yang ikhtiari. Atas dasar itulah adanya taklif untuk manusia
dan atas dasar itu pula manusia kelak akan menerima balasan dari Allah
swt. di akhirat. Dengan demikian kudrah (daya) yang dianugerahkan kepada
manusia dan yang dimilikinya itu mempunyai pengaruh dalam melakukan

155
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol XV, h 202.
188

perbuatannya. Bahkan tidak hanya sampai di situ, Muhammad Quraish


Shihab juga mengakui kepastian sunnatullah. Sunnatullah tersebut tidak
lain adalah takdir Allah yang telah ditetapkan-Nya sejak azali. Karena itu,
mempercayai takdir tidak berarti menafikan sunnatullah. Karena itu pula,
kebaikan dan keburukan yang diterima oleh manusia tidak lepas dari takdir
Allah, kekeliruannya, dan ketidaktahuannya dalam memilih mana
sunnatullah yang membawa kebaikan dan keburukan.
Jika diperbandingkan dengan pendirian yang terdapat dalam aliran
kalam rasional, pemikiran Muhammad Quraish Shihab memberikan
kebebasan berkehendak dan berbuat bagi manusia serta pengakuannya
terhadap adanya sunnatullah yang tidak berubah-ubah, jelaslah antara
keduanya terdapat persamaan. Di dalam pemikiran kalam rasional, dalam
hal ini diwakili oleh Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand, manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Tetapi, dibalik itu
terdapat sunnatullah ciptaan Tuhan yang harus dijalani oleh manusia,
membuat kebebasan manusia menjadi terbatas. Oleh sebab itu, kebebasan
manusia dalam paham aliran kalam rasional tidaklah dalam maknanya yang
dapat keluar dari sunnatullah tersebut, tetapi kebebasan menemukan
sunnatullah sebanyak-banyaknya untuk kepentingan hidup.

C. Konsep Iman
Sebagaimana diketahui, persoalan iman telah menjadi isu teologis,
yang tergolong paling awal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam,
dan bahkan kalau kita melihat ke dalam sejarah, maka tidaklah berlebihan
apabila ada orang yang mengatakan bahwa munculnya disiplin kalãm
(teologi) pada dasarnya berawal dari timbulnya situasi yang mendesak umat
Islam, terutama kaum mutakallimin / para teolog Islam untuk merumuskan
konsep iman yang tepat sebagai lawan dari konsep kufur. Sebagai ilustrasi,
189

dapat dikemukakan di sini bahwa pernyataan yang pertama kali muncul di


kalangan umat Islam sepeninggalan Nabi Muhammad saw. adalah apakah
seorang muslim masih dapat diakui sebagai seorang mukmin apabila ia telah
melakukan dosa besar, ataukah ia menjadi kafir karena telah berbuat dosa
besar itu? Pertanyaan ini pada hakikatnya mengandung inti persoalan. Yaitu,
apakah iman cukup dengan i`tikad dari dalam hati saja, atau haruskah
dinyatakan dengan amal perbuatan?
Bagi pemikiran kalam rasional, karena memberikan daya yang kuat
kepada akal, iman bukan hanya sekedar taédîq (membenarkan atau
mempercayai), tetapi juga ma`rifah (mengetahui) serta amal
(melaksanakan). Sedangkan bagi pemikiran kalam tradisional, karena
memberikan daya yang kecil kepada akal, iman hanya sebatas taédîq.156
Sebelum menguraikan konsep iman menurut Muhammad Quraish
Shihab, terlebih dahulu akan penulis kemukakan konsep iman menurut
masing-masing aliran kalam, rasional dan tradisional. Hal ini dimaksudkan
agar lebih memperbandingkan pandangan Muhammad Quraish Shihab
dengan pendirian aliran-aliran kalam tersebut.
Bagi aliran Mu`tazilah, karena memberikan kedudukan yang tinggi
kepada akal, iman bagi mereka tidak hanya berupa taédîq tetapi marifah
dan amal. 157 Sebagai konsekuensi logis dari pendirian mereka bahwa akal
dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban
mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk, iman dalam konsepsi
mereka jelas tidak bisa merupakan keyakinan dalam hati saja tetapi harus
direalisasikan dalam bentuk amal dengan mengerjakan semua kewajiban
keagamaan yang diperintahkan oleh Tuhan.158 Dengan kata lain, iman bagi

156
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah, (Jakarta:
UI-Press, 1987), h. 89.
157
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 147.
158
Al-Asy`ãri, Maqãlãt al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-Muéallîn, Jld I, (ed. Muèammad
Muèyi al-Dîn `Abd al-Èamîd), (Beirut: Dãr al-`Asriyyah, 1990), h. 329. Harun Nasution,
Teologi Islam, h. 147.
190

mereka tidak lain adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.


Dengan demikian jelaslah bahwa kaum Mu`tazilah mengaitkan iman
dengan amal secara kokoh, sehingga bagi mereka amal merupakan unsur
yang tidak dapat dipisahkan dari iman itu sendiri. Untuk mengukuhkan
konsepsi ini, mereka mengemukakan firman Allah surat al-Anfãl [8]: 2:
šcqãZÏB÷sßJø9$# $yJ¯RÎ)
ª!$# t•Ï.èŒ #sŒÎ) tûïÏ%©!$#
#sŒÎ)ur öNåkæ5qè=è% ôMn=Å_ur
¼çmçG»tƒ#uä öNÍköŽn=tã ôMu‹Î=è?
4’n?tãur $YZ»yJƒÎ) öNåkøEyŠ#y—
159
ÇËÈ tbqè=©.uqtGtƒ óOÎgÎn/u‘

Menurut Abdul Jabbãr, ayat di atas menjelaskan bahwa iman


bukanlah hanya pembenaran dalam hati saja, tetapi juga berbentuk
pengamalan jasamani. Karena ayat tersebut menyatakan bahwa sikap
tawakkal kepada Allah itu adalah wajib. Sikap tawakkal ini menuntut
manusia untuk melaksanakan usaha sesuai dengan tuntunan yang diberikan
oleh Allah. Bukan mengabaikan usaha, seperti orang-orang yang tidak
memahami.160
Bagi Maturidiyyah Samarkand iman lebih dari sekedar taédîq iman
adalah ma`rifah karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban
mengetahui Tuhan. 161 Iman adalah taédîq bi al-qalb (membenarkan dan
mempercayai di dalam hati), bukan semata-mata iqrãr bi al-lisãn (mengakui
dengan lisan). Untuk memperkuat pendirian mereka itu, Maturidiyyah
Samarkand merujuk kepada surat al-Hujurãt [49]: 14 dan al-Baqarah [2]:
260:

159
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman
mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (QS. al-Anfãl [8]:
2).
160
Abdul Jabbãr, Mutasyãbih al-Qur`an, h. 312.
161
Harun Nasution, Teologi Islam, h. 148.
191

( $¨YtB#uä Ü>#{•ôãF{$# ÏMs9$s% *


`Å3»s9ur (#qãZÏB÷sè? öN©9 @è%
$£Js9ur $oYôJn=ó™r& (#þqä9qè%
’Îû ß`»yJƒM}$# È@äzô‰tƒ
(14 :‫ )اﻟﺤﺠﺮات‬162 ÇÊÍÈ öNä3Î/qè=è%
Éb>u‘ ÞO¿Ïdºt•ö/Î) tA$s% øŒÎ)ur
4’tAöqyJø9$# Ç‘ósè? y#ø‹Ÿ2 ‘ÏRÍ‘r&
tA$s% ( `ÏB÷sè? öNs9urr& tA$s% (
£`ͳyJôÜuŠÏj9 `Å3»s9ur 4’n?t/
163
(260 :‫)اﻟﺒﻘﺮة‬ ÇËÏÉÈ ÓÉ<ù=s%
Ayat pertama, dipahami oleh al-Mãturîdi sebagai suatu penegasan
bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa
diimani pula oleh hati. Apa yang diucapkan oleh lisan dalam bentuk
pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lisan.164 Al-
Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya, taédîq seperti yang
dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Taédîq hasil dari ma’rifah
ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.165
Ayat yang kedua, dipahami oleh al-Mãturîdi bahwa Nabi Ibrahim
meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan
orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut al-Mãturîdi,
tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim
mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi
iman hasil ma’rifah.166 Jadi menurut al-Mãturîdi, iman adalah taédîq yang
berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya sama

162
Orang-orang Arab Badui berkata: “Kami telah beriman.” Katakanlah: “Kamu
belum berian. Tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk (kepadamu)” karena iman belum
masuk ke dalam hati kamu. (QS. al-Hujurãt [49]: 14).
163
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku, perlihatkanlah padaku
bagaimana Engkau menghidupkan yang mati,” Allah berfirman: “Belum percayakah engkau?
“Ibrahim menjawab, “Aku telah percaya, akan tetapi agar hatiku mantap. (QS. al-Baqarah
[2]: 260)
164
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitãb al-Tauèîd, (Ed), Fatèullah Khalif, (Istambul: al-
Maktabat al-Islãmiyah, 1979), h. 373.
165
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitab al-Tauèîd, h. 373.
166
Abu Manéür al-Mãturîdî, Kitab al-Tauèîd, h. 380.
192

sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.


Dari uraian di atas, pengertian iman menurut aliran kalam rasional
yang dianut oleh golongan Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand, karena
mereka memberikan daya yang kuat kepada akal, maka iman bagi mereka
tidak cukup dengan hati, tetapi harus lebih dari itu, yaitu ma`rifah dan
amal.
Bagi aliran kalam tradisional, sebagai yang terdapat pada Asy`ariyyah
dan Maturidiyyah Bukhara, karena akal manusia tidak bisa sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa merupakan ma`rifah dan
amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu.
Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia, bahwa ia
berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran
berita ini.
Bagi Asy`ariyyah iman adalah taédîq. Batasan iman, sebagai yang
diberikan oleh Asy`ari adalah pembenaran terhadap khabar mengenai
adanya Tuhan (al-taédîq bi Allah). 167 Sementara bagi aliran Maturidiyyah
Bukhara, iman adalah yang menyakini dan membenarkan dalam hati tentang
keesaan Allah dan rasul-rarul yang diutus-Nya beserta risalah yang
dibawanya. Dan mengucapkan dengan lisan bahwa tiada Tuhan melainkan
Allah dan tiada sesuatupun yang menyerupai-Nya.168
Untuk mendukung pendirian mereka itu, Asy`ariyyah merujuk kepada
beberapa ayat seperti surat Ibrãhîm [14]: 4, al-Syu`arã` [26]: 195, dan Yüsuf
[12]: 17.169
žwÎ) @Aqß™§‘ `ÏB $uZù=y™ö‘r& !$tBur
170
(4 :‫ ﻢ‬ª‫ )إﺑﺮا‬ÇÍÈ ¾ÏmÏBöqs% Èb$|¡Î=Î/

167
Abu Èasan al-Asy`ãri, Al-Luma`, h. 75.
168
Abu Yusr Muèammad al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn, diedit oleh Hans Peter Lins,
(Kairo: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963), h. 146.
169
Abu Èasan al-Asy`ãri, Al-Luma`, h. 78.
193

ÇÊÒÎÈ &ûüÎ7•B <c’Î1t•tã Ab$|¡Î=Î/


171
(195 : ‫)اﻟﺸﻌﺮاء‬
$uZ©9 9`ÏB÷sßJÎ/ |MRr& !$tBur
172
(17 :‫ ) ﻮﺳﻒ‬ÇÊÐÈ tûüÏ%ω»|¹ $¨Zà2 öqs9ur
Ayat-ayat di atas menurut Asy`ari, menunjukkan bahwa informasi
tentang agama yang harus diimani itu, disampaikan lewat bahasa kaum
tempat rasul itu diutus serta dalam bahasa Arab yang jelas. Oleh sebab itu,
iman adalah membenarkan dalam hati (taédîq), atas apa yang diturunkan
oleh Allah. 173 Karena bahasa di samping merupakan alat komunikasi, juga
sebagai cerminan dari pikiran dan pandangan pengguna bahasa itu. Bahasa
dapat menggambarkan watak dan pandangan masyarakat pengguna bahasa
itu.
Adapun surat Yüsuf [12]: 17 dipahami oleh Asy`ari dengan adanya
hubungan antara kata Mu`min dan sadiqin. Dengan demikian, iman adalah
al-taédîq bi al-qalb (pembenaran dengan hati atas berita yang dibawa oleh
Rasul). 174 Maturidiyyah Bukhara juga merujuk kepada surat Yüsuf [12]: 17
untuk mendukung pendirian mereka itu, bahwa iman adalah taédîq, baik
secara bahasa maupun syariah.175
Selanjutnya bagaimana konsep iman menurut Muhammad Quraish
Shihab, apakah iman baginya merupakan pengakuan dalam hati saja
(taédîq), atau harus meningkat ke ma`rifah dan amal?
Menurut Muhammad Quraish Shihab, iman dari segi bahasa adalah
“pembenaran hati”. Demikian pula hakikat iman dari segi agama, walaupun
kemudian hakikat tersebut dipertegas dan diperjelas dengan menyatakan:

170
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya. (QS.
Ibrãhîm [14]: 4).
171
Dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. al-Syu`arã` [26]: 195).
172
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun Kami adalah
orang-orang yang benar. (QS. Yüsuf [12]: 17).
173
Abu Èasan al-Asy`ãri, Al-Luma`, h 78.
174
Abu Èasan al-Asy`ãri , Al-Luma`, h 123.
175
Al-Bazdawi, Kitab Uéül al-Dîn, h 146.
194

“Iman adalah pembenaran dengan hati, ucapan dengan lidah, serta


pengamalan dengan anggota badan, terhadap apa yang disampaikan oleh
Nabi Muhammad saw.”176
Dengan pernyataan Muhammad Quraish Shihab di atas, jelaslah
bahwa iman menurut Muhammad Quraish Shihab tidak cukup hanya dengan
taédîq, tetapi harus sejalan dengan pembenaran dengan hati, ucapan
dengan lidah dan penyerahan jiwa dengan ditandai dengan amal
(perbuatan). Tingkatan iman berkaitan erat dengan tingkat keyakinan
seseorang dalam beragama. Semakin tinggi tingkat keyakinan seseorang,
semakin tinggi pula tingkat keimanannya, dan ini harus dimanifestasikan
dalam bentuk amal. Konsep ini jelas sejalan dengan konsep iman yang
terdapat dalam aliran kalam rasional.

Sejalan dengan itu, Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa


seseorang tidak hanya mengandalkan imannya saja tetapi juga amal
salehnya, bahkan amal saleh pun bersama iman belum cukup. Amal saleh
bukan asal beramal. Amal saleh pun beraneka ragam, kali ini suatu amal
dianjurkan, di kali lain mungkin bentuk amal yang sama diwajibkan bahkan
177
mungkin juga sebaliknya justru terlarang. Demikian penjelasan
Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-`Aér [103]: 3. 178
Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, bahwa apabila suatu
ketika kita hendak shalat, atau bahkan sedang shalat, tiba-tiba kita melihat

176
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Qur`an al-Karîm Tafsir atas Surat-surat
Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, cet ke-2, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997),
h. 301. selanjutnya tertulis: Tafsir al-Qur`an al-Karim.
177
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbhãh, vol XV, h. 505.
178
Teks ayat:
(#qè=ÏJtãur (#qãZtB#uä tûïÏ%©!$# žwÎ)
Èd,ysø9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
ÇÌÈ ÎŽö9¢Á9$$Î/ (#öq|¹#uqs?ur
Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal yang saleh serta saling berwasiat tentang
kebenaran dan saling berwasiat tentang kesabaran. (QS. al-`Aér [103]: 3).
195

suatu bahaya yang mungkin akan menimpa seseorang, maka ketika itu
shalat harus kita ditangguhkan demi memelihara jiwa atau keselamatan
orang tersebut.179

Selanjutnya, menurut Muhammad Quraish Shihab, bahwa sebagian


sifat yang menyandang predikat mukmin yaitu: orang-orang mukmin yang
mantap imannya dan kukuh lagi sempurna keyakinannya hanyalah mereka
yang membuktikan pengakuan iman mereka dengan perbuatan.180 Demikian
penjelasan Muhammad Quraish Shihab ketika menafsirkan surat al-Anfãl [8]:
2.181 Lebih lanjut Muhammad Quraish Shihab mengatakan, sehingga antara
lain apabila disebut nama Allah sekedar mendengar nama itu, gentar hati
mereka karena mereka sadar akan kekuasaan dan keindahan serta
keagungan-Nya dan apabila dibacakan oleh siapa pun kepada mereka ayat-
ayat-Nya, ia yakni ayat-ayat itu itu menambah iman mereka karena memang
mereka telah mempercayai sebelum dibacakan, sehingga setiap ia
mendengarnya, kembali terbuka lebih luas wawasan mereka dan terpancar
lebih banyak cahaya ke hati mereka dan kepercayaan itu menghasil rasa
tenang menghadapi segala sesuatu sehingga hasilnya adalah dan kepada
Tuhan mereka saja mereka berserah diri.182
Ketika menafsirkan surat al-Baqarah [2]: 260 yang dijadikan dasar
oleh Maturidiyyah Samarkand, bahwa iman berdasarkan taédîq dapat
ditingkatkan menjadi iman berdasarkan ma`rifah, juga dipahami

179
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbhãh, vol XV, h. 505.
180
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 375.
181
Teks ayat:
t•Ï.èŒ #sŒÎ) tûïÏ%©!$# šcqãZÏB÷sßJø9$# $yJ¯RÎ)
ôMu‹Î=è? #sŒÎ)ur öNåkæ5qè=è% ôMn=Å_ur ª!$#
$YZ»yJƒÎ) öNåkøEyŠ#y— ¼çmçG»tƒ#uä öNÍköŽn=tã
ÇËÈ tbqè=©.uqtGtƒ óOÎgÎn/u‘ 4’n?tãur
Orang-orang mukmin hanyalah mereka yang apabila disebut Allah gentar hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, ia menambah iman mereka dan kepada
Tuhan mereka, mereka berserah diri. (QS. al-Anfãl [8]: 2).
182
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbãh, vol V, h. 375.
196

Muhammad Quraish Shihab seperti itu. Menurut Muhammad Quraish Shihab,


saat menyampaikan permohonan itu Nabi Ibrahim as. belum sampai pada
satu tingkat keimanan yang menyakinkan, sehingga – ketika itu – masih ada
semacam pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak beliau.
Kalaupun ketika itu beliau telah yakin, maka itu baru sampai pada tingkat
`Ilm al-Yaqîn, belum `Ain al-Yaqîn, apalagi Haqq al-Yaqîn. Beliau baru
sampai pada tingkat keyakinan yang sempurna setelah Malaküt al-Samãwãt
wa al-Arç ditunjukkan kepadanya oleh Allah,183
Selanjutnya Muhammad Quraish Shihab menjelaskan, bahwa apa yang
disampaikan oleh Nabi Ibrahim as. dan apa yang terdapat dalam jiwa dan
pikirannya -yang menghasilkan keyakinan yang sedemikian kukuh serta
ketegasan yang demikian jelas-adalah hasil bimbingan Allah swt. 184 Oleh
karena itu, menurut Muhammad Quraish Shihab, ayat di atas menyatakan
Dan demikianlah, yakni semacam bimbingan itulah ketika dia menghadapi
orang tua dan kaumnya Kami perlihatkan dan perkenalkan dengan ilham
wahyu serta melalui mata kepala dan mata hati dan secara terus menerus
dari hari ke hari, sepanjang masa kepada Ibrahim malakut, yakni kekuasaan
Allah yang amat besar di langit dan bumi agar semakin mantap tauhidnya
dan semakin kuat argumennya dan agar dia termasuk al-Muqinin, yakni
orang-orang yang mantap keyakinannya, bahwa tiada Pencipta dan Pengatur
di alam raya ini selain Allah swt.185
Dalam kaitan ini pula, Muhammad Quraish Shihab menegaskan,
substansi iman, khususnya pada tahap-tahap pertama, selalu diliputi oleh
aneka tanda tanya. Keadaan orang beriman ketika itu bagaikan seorang
yang sedang mendayung di lautan lepas yang sedang dilanda ombak dan
gelombang. Nun jauh di sana, terlihat olehnya sebuah pulau harapan, tetapi

183
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol I, h. 562.
184
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol IV, h. 162.
185
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol IV, h. 162.
197

apakan gelombang tidak akan menelannya? Apakah ia mampu mendayung? 186


Demikianlah muncul aneka pertanyaan, dan pada saat yang sama jiwanya
diliputi oleh kecemasan menghadapi besarnya gelombang yang membahana
tetapi dalam saat yang sama pula dirinya dipenuhi oleh harapan mencapai
pulau idaman.
Dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep iman
menurut Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan konsep iman yang
terdapat dalam aliran kalam rasional. Dalam pemikiran kalam rasional, iman
itu tidak cukup hanya dengan pembenaran dalam hati (iqrar bi al-qalb),
tetapi juga ma`rifah (mengetahui benar apa yang diyakini)dan amal
(perbuatan). Muhammad Quraish Shihab mengatakan iman adalah
pembenaran dengan hati, ucapan dengan lidah, serta pengamalan dengan
anggota badan, terhadap apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw.

186
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbhãh, vol I, h. 563.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab terdahulu, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pemikiran kalam yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbãh adalah bercorak
rasional. Karena dari beberapa masalah kalam yang diangkat dalam tesis
ini ternyata pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab dalamTafsir al-
Mishbãh lebih banyak persamaannya dengan pemikiran yang terdapat
dalam aliran Mu`tazilah dan Maturidiyyah Samarkand.
Persamaan Muhammad Quraish Shihab dengan pemikiran kalam
rasional dapat dilihat dalam hal-hal berikut:
a. Dalam masalah yang berkenaan dengan antropomorfisme, Muhammad
Quraish Shihab memberikan penafsiran yang sama dengan penafsiran
yang diberikan oleh aliran kalam rasional, yaitu tidak menafsirkannya
menurut arti harfiahnya, tetapi menafsirkannya menurut arti majãzi
(metaforis). Kata Wajah Allah diberi takwil oleh Muhammad Quraish
Shihab dengan ridha Allah. Kata A'yun (beberapa mata) diberi takwil
untuk mengawasi dan memperhatikan sesuatu. Kata Tangan Allah
diberi takwil dengan kekuasaan Allah. Pernyataan Allah ada di langit
dan di bumi diberi takwil dengan kekuasaan dan cakupan
pengetahuan-Nya. Allah berada di atas hamba-hamba-Nya diberi
takwil dengan kekuasaan Allah di atas semua hamba-hamba-Nya,
yakni kekuasaan Allah yang tidak terbendung dalam menjinakkan,
menundukkan dan mencegah siapa dan apa pun guna mencapai
tujuan-Nya. Allah bersemayam di atas arasy diberi takwil dengan
berkuasa penuh di atas `arsy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya.

198
199

Hanya terhadap nas-nas yang menyatakan “kedatangan Allah”,


Muhammad Quraish Shihab memberikan dua bentuk penafsiran, satu
sisi memberikan penafsiran secara literal dan di sisi yang lain
memberikan penafsiran secara metaforis. Tampaknya lebih
cenderung untuk tidak menakwilkannya, namun ia juga tidak mau
terjebak kepada tasybîh (penyerupaan Tuhan dengan makhluk).
b. Berkenaan dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
Muhammad Quraish Shihab juga sejalan dengan pemikiran kalam
Mu`tazilah. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dalam pandangan
Muhammad Quraish Shihab, bukan berarti bahwa Allah berlaku
sewenang-wenang, atau “bekerja” tanpa sistem yang ditetapkannya.
Tetapi sudah dibatasi oleh hukum-hukum, takdir atau sunnatullah
yang ditetapkan-Nya. Pandangan Muhammad Quraish Shihab, yang
mengakui adanya sunnatulah (hukum-hukum alam) yang tetap dan
tidak berubah, membuat kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
menjadi terbatas, karena Tuhan tidak mengubah sunnah-Nya itu,
meskipun ia sanggup mengubah-Nya. Selain sunnatullah di atas,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan juga tidak lagi berlaku
semutlak-mutlaknya, menurut Muhammad Quraish Shihab, karena
sudah dibatasi oleh kebebasan dan ikhtiar yang diberikan Tuhan
kepada manusia. Seperti masalah iman dan kufur, seandainya kalau
Tuhan menghendaki agar semua manusia beriman atau taat seperti
malaikat, pasti Tuhan sanggup melakukannya. Tetapi atas dasar
hikmat dan kebijaksanaan, Tuhan sengaja tidak melakukannya,
masalah iman dan kufur diletakkan-Nya atas ikhtiar manusia,
sehingga sebagian manusia ada yang beriman dan sebagian yang lain
kafir. Walaupun Tuhan berkuasa menjadikan semua manusia
beriman, tetapi itu tidak dikehendakinya, karena Dia bermaksud
200

menguji manusia dan memberi mereka kebebasan beragama dan


bertindak. Dia menganugerahkan manusia potensi akal agar mereka
menggunakannya untuk memilah dan memilih.
c. Mengenai masalah keadilan Tuhan, Muhammad Quraish Shihab juga
sejalan dengan pemikiran kalam Mu`tazilah, meletakkan keadilan
Tuhan pada kepentingan dan kemaslahatan manusia, bukan seperti
aliran Asy`ariyyah meletakkan keadilan Tuhan dari sudut Tuhan
sebagai pemilik alam semesta.
Sejalan dengan pandangan Muhammad Quraish Shihab bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, keadilan
Tuhan menurut Muhammad Quraish Shihab dalam konteks
kepentingan manusia, bukan atas kekuasaan mutlak Tuhan. Allah
tidak akan menyiksa mereka dengan sewenang-wenang, atau tanpa
tolak ukur yang adil sehingga mereka teraniaya. Allah akan
memasang timbangan yang adil pada hari Kiamat. Untuk menjadi
tolak ukur kebaikan dan keburukan amal serta kualitasnya maka di
sana tiadalah dirugikan seseorang walau sedikit pun dengan
penambahan keburukannya atau pengurangan kebaikan. Dan walau
amal kebaikan hanya seberat biji moster pasti Allah mendatangkan
pahala-Nya. Allah tidak akan berbuat aniaya, setiap amal yang lahir
maupun yang batin, kelak akan ditimbang atau mempunyai tolak ukur
masing-masing, sehingga semua amal benar-benar menghasilkan
ketepatan timbangan. Oleh karena itu, Tuhan tidak mempunyai
kepentingan untuk berbuat aniaya.
Dengan keadilan Tuhan, pada hari Kiamat tidak akan dikurangi
balasan amalan setiap orang, amal yang baik atau amal buruk, juga
tidak akan dipikulkan kepada seseorang dosa orang lain. Tetapi setiap
orang akan menerima balasan yang mereka kerjakan. Sebaliknya,
201

seseorang tidak akan disiksa kecuali atas perbuatan buruk yang ia


lakukan, sebagai balasan yang sesuai dengan perbuatannya di dunia.
Tuhan benar-benar adil dalam memberikan balasan, dan tidak
seorang pun merasa dirugikan pada hari Kiamat.
d. Berkenaan dengan perbuatan-perbuatan Tuhan, Muhammad Quraish
Shihab juga sejalan dengan pemikiran kalam Mu`tazilah, bahwa
semua perbuatan dan ciptaan Allah membawa hikmah dan kebaikan
kepada manusia. Tidak ada satu pun dari perbuatan dan ciptaan-Nya
itu yang membawa keburukan. Kalau pun ternyata di dunia ini banyak
dijumpai keburukan yang menimpa manusia, menurut Muhammad
Quraish Shihab, keburukan itu bukan berasal dari Allah, melainkan
berasal dari kesalahan manusia sendiri sebab untuk memperoleh
kebaikan dan menghindari keburukan, Allah sudah membuatkan
sunah-sunah-Nya tentang kebaikan dan keburukan tersebut.
Disamping itu, menurut Muhammad Quraish Shihab, Allah sekali-kali
tidak akan menyalahi janji-Nya. Janji-Nya pasti terlaksana pada
waktu yang Dia kehendaki, cepat atau lambat, sesuai dengan
kebijaksanaan-Nya. Selain itu, Muhammad Quraish Shihab juga
mengakui bahwa Allah tidak pernah membebani manusia dengan
taklif di luar batas kemampuan mereka untuk melaksanakannya.
Itulah sebabnya, menurut Muhammad Quraish Shihab, tugas-tugas
yang dibebankan Allah kepada manusia adalah tugas-tugas yang
lapang (kata lapang dalam konteks tugas dipahami dalam arti
mudah). Mudah untuk dilaksanakan, bahkan setiap seorang yang
mengalami kesulitan dalam pelaksanaan satu tugas, oleh satu dan
lain faktor, maka kesulitan tersebut melahirkan kemudahan yang
dibenarkan walau sebelumnya tidak dibenarkan.
202

e. Berkenaan dengan perbuatan manusia, Muhammad Quraish Shihab


sejalan dengan paham Qadariyah yang dianut oleh Mu`tazilah, yang
memandang manusia memiliki kebebasan dalam memilih dan
melakukan perbuatannya, namun kebebasan itu tidak melebihi batas
kemanusiaannya dan sunnatullah yang telah diciptakan Allah. Allah
memberi mereka kebebasan memilih dan akhirnya ada yang
mengembangkan potensi kekufuran dan mengabaikan potensi
keimanannya sehingga ia menjadi kafir, dan ada juga sebaliknya
mengembangkan potensi iman, sehingga ia menjadi mukmin. Itulah
sebabnya, bagi orang-orang kafir, Allah membiarkan mereka larut
dalam kesesatan sesuai dengan keinginan hati mereka sendiri,
sehingga akhirnya hati mereka terkunci mati dan telinga mereka
tidak dapat mendengar bimbingan. Dan pada penglihatan mereka pun
ada penutup, sehingga tanda-tanda kebesaran Allah yang terhampar
di alam raya, tidak mereka lihat kecuali fenomenanya saja.
Sejalan dengan Mu`tazilah, selain mempunyai pendirian tentang
kebebasan manusia, Muhammad Quraish Shihab juga mengakui
adanya sunnatullah yang tidak berubah-ubah. Siapa pun tidak akan
mampu mengubah cara yang ditetapkan Allah memperlakukan umat
manusia. Dalam hukum-hukum kemasyarakatan pun hal serupa
terjadi. Tidak mungkin menjadikan masyarakat yang saling
bermusuhan atau yang malas- tidak mungkin menjadikannya meraih
sukses atau kesejahteraan hidup. Sebaliknya, siapa yang mengikuti
hukum-hukum Tuhan menyangkut syarat-syarat meraih pun yang
mengikuti hukum Tuhan menyangkut syarat-syarat meraih sukses
pasti akan meraihnya. Oleh karena itu, siapa pun dari makhluk ini,
tidak akan mampu mengalihkan hukum Allah dari arah yang telah
ditentukannya. Bagi yang mendinginkan air sehingga mencapai nol
203

derajat celcius tidak mungkin dapat menjadikan air yang menjadi


beku. Bagi yang bekerja keras, tidak mungkin sukses usahanya diraih
oleh orang yang malas. Itu adalah sunnatullah atau kebiasaan-
kebiasaan yang diberlakukan-Nya terhadap apa, siapa dan kapan pun.
Karena ia adalah sunnah yang tidak menyimpang dari arah yang
ditetapkan. Tanpa terkecuali, manusia pun mempunyai takdir sesuai
dengan ukuran yang diberikan oleh Allah atasnya. Takdir Allah yang
meliputi seluruh makhluk, termasuk manusia; tetapi keyakinan ini
sedikit pun tidak menghalangi mereka untuk melakukan ikhtiar yang
sungguh-sungguh dan berjuang. Karena hukum-hukum tersebut cukup
banyak, dan kita diberi kemampuan memilih – tidak sebagaimana
matahari misalnya – maka kita dapat memilih yang mana di antara
takdir yang ditetapkan Tuhan itu yang kita ambil. Itulah sebabnya,
takdir Allah tidak menyebabkan manusia terpaksa dalam
perbuatannya dan tidak pula menyebabkan terpasung dalam
kehendak-Nya. Bahkan, manusia, kata Muhammad Quraish Shihab,
bebas memilih dan melakukan perbuatan selama kebebasan itu masih
dalam batas-batas kekuasaannya dan sesuai dengan sunnatullah.
Sebab, takdir Allah itu tidak lain adalah ketentuan dan hukum yang
pasti yang telah ditetapkan Allah dalam mencipta dan mengatur alam
semesta dan makhluk-Nya.
f. Mengenai masalah iman, menurut Muhammad Quraish Shihab tidak
cukup hanya dengan taédîq, tetapi harus sejalan dengan pembenaran
dengan hati, ucapan dengan lidah dan penyerahan jiwa dengan
ditandai dengan amal (perbuatan). Tingkatan iman berkaitan erat
dengan tingkat keyakinan seseorang dalam beragama. Semakin tinggi
tingkat keyakinan seseorang, semakin tinggi pula tingkat
keimanannya, dan ini harus dimanifestasikan dalam bentuk amal.
204

Oleh karena itu, orang-orang mukmin yang mantap imannya dan


kukuh lagi sempurna keyakinannya hanyalah mereka yang
membuktikan pengakuan iman mereka dengan perbuatan. Konsep ini
jelas sejalan dengan konsep iman yang terdapat dalam aliran kalam
rasional, terutama Mu`tazilah.
2. Sebaliknya, sedikit sekali persamaannya dengan pemikiran kalam
tradisional, yaitu Asy`ariyyah dan Maturidiyyah Bukhara, sebagai
berikut:
a. Dalam masalah yang berkenaan dengan kemampuan akal dan fungsi
wahyu, Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan aliran Maturidiyyah
Bukhara, bahwa akal dapat mengetahui adanya Tuhan, dapat
mengetahui baik dan buruk. Namun, kemampuan akal itu terbatas
sehingga tidak dapat mengetahui semua yang baik dan yang buruk.
Maka untuk mengetahui selain yang disebutkan itu diperlukan
informasi wahyu, seperti mengetahui kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan, baik kewajiban berterima kasih kepada Tuhan, ataupun
kewajiban berbuat baik dan meninggalkan perbuatan jahat, dan lain-
lain yang oleh Muhammad Quraish Shihab disebut masalah-masalah
agama dan perincian syari`at tidak diketahui manusia kecuali melalui
wahyu.
b. Dalam masalah yang berkenaan dengan ru`yatullah (melihat Allah),
Muhammad Quraish Shihab sejalan dengan aliran Asy`ariyyah,
Maturidiyyah Bukhara dan Maturidiyyah Samarkand, bahwa Allah
dapat dilihat dengan kasat mata di akhirat nanti. Adapun dalam
masalah kalãm Allah (al-Qur`an), menurut Muhammad Quraish
Shihab, Al-Qur`an adalah firman-firman Allah yang disampaikan oleh
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. dengan lafal dan
maknanya yang beribadah siapa yang membacanya, dan menjadi
205

bukti kebenaran mukjizat Nabi Muhammad saw. Muhammad Quraish


Shihab tidak membicarakan dalam tafsirnya, apakah al-Qur`an itu
makhluk (hadîê) atau bukan makhluk (qadîm), dengan kecenderungan
menghindarkan diri dari perdebatan ilmu kalam.

B. Saran-saran
Penelitian tentang corak pemikiran kalam Muhammad Quraish Shihab
dalam Tafsir al-Mishbãh telah diusahakan semaksimal mungkin sesuai
dengan kemampuan yang ada, tetapi bukan berarti tulisan ini bersifat final.
Besar kemungkinan dalam penelitian ini masih banyak faktor yang belum
terungkap. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala yang penulis temui,
antara lain dari segi keterbatasan waktu dan keterbatasan kemampuan
penulis sendiri. Dengan demikian, mungkin sekali hasil penelitian ini jauh
dari sempurna. Oleh sebab itu, disarankan kepada peneliti lain untuk
mengkaji pemikiran-pemikiran Muhammad Quraish Shihab dalam Tafsir al-
Mishbãh, baik dalam pemikirannya yang lain, ataupun dalam persoalan yang
sama dengan ruang lingkup yang lebih luas dan dengan bahan bacaan yang
lebih lengkap.
DAFTAR PUSTAKA

`Abdul Jabbãr, Al-Qãçi, Tanzîh al-Qur`an `an al-Mathîn, Beirut: Dãr al-
Nahdhah al-Hadîê, t.th.

--------------, al-Mughnî Fi Abwãb al-Tauhîd wa al-`Adl, Jilid IV, Maéri: al-Dãr


al-Misriyyah li al-Ta`lîf wa al-Tarjamah, 1965.

--------------, Mutasyãbihul al-Qur`an, (Ed.), Adnãn Muèammad Zarzuwar,


Qãhirah: Dãr al-Turãs, 1969.

--------------, Syarè al-Ushül al-Khamsah, Qãhirah: Maktabat Wahbah, 1996.

Abidat, Abdul Karîm Naufãn`, Al-Dilãlat al-`Aqliyyah fi al-Qur`an wa


Makãnatuhu fi Masãil al-`Aqîdat al-Islãmiyyah, Ummãn: Dãr al-
Nafã`is, 1420 H/ 2000 M.

Abü Zahrah, Muèammad, Maíahib al-Islãmiyyah, Maéri: Matba`at al-


Namüíajiyyah, t.th.

--------------, Tãrikh al-Maíãhib al-Islãmiyyah Fi al-Siyãsah wa al-Aqã`id,


Qãhirah: Dãr al-Fikr al-`Arabî, t.th.

Al-Ahwãni, Aèmad Fuãd, al-Falsafah al-Islãmiyyah, Qãhirah: al-Muassasah


al-Miériyyah al-‘Ämah. 1962.

Al-Amîdi, Saif al-Dîn Abi al-Èasan `Ali bin Ali bin Muèammad, al-Ièkãm fi
Uéül al-Aèkãm, Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1958.

Amîn, Aèmad, Fajrul al-Islãm, Qãhirah: Maktabat al-Usrah, 2000.

Anshori, Penafsiran Ayat-ayat Jender Dalam Tafsir al-Mishbãh, Disertasi


Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Anwar, Hamdani, Mimbar Agama dan Budaya vol. xix, no. 2, 2002

Al-Asy`ari, Abu al-Èasan Ismãil, Kitab al-Luma` fi al-Radd `ala ahl al-zaig
wa al-Bida`, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2000, cet 1.

--------------, al-Ibãnat an Uéül al-Diyãnah, Beirut: Maktabat Dãr al-Bayãn,


1999.

206
207

--------------, Mãqãlat al-Islãmiyyîn wa Ikhtilãf al-Muéallîn, (Ed) Muèammad


Muhyiddîn Abdul Hamîd, Beirut: Maktabat al-Asriyyah, 1990.

Al-Bagdãdi, Abu Manéür `Abd al-Qãhir Ibn Ëãhir al-Tamîmi, Al-Farq bain al-
Firaq, (Ed.) Muèammad Muhy al-Dîn `Abd al-Hamîd, Beirut: Maktabat
al-`Asriyyah, 1990.

--------------, Kitãb Uéüluddîn, Beirut: Dãr al-Madînah, 1928.

Baidan, Nasharuddin, Metodologi Penafsiran al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2000.

Al-Baiçãwî, Abu Said Abdullah, Anwãr al-Tanzîl wa Asrãr al-Ta`wîl, Beirut:


Dãr al-Fikr, t.th.

Al-Bayãdi, Kamal al-Dîn Aèmad, Isyãrat al-Marãm min Ibãrat al-Imãm, (Ed),
Yusuf Abd al-Razzaq, Qãhirah: Mustafa al-Bãbi al-Halabi wa Aulãduh,
1949.

Al-Bazdãwi, Abu Yusr Muèammad, Kitãb Ushüluddin, (Ed.) Hasn Peter Linss,
Qãhirah: Isa al-Bãbi al-Èalabi, 1963.

Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah dalam Islam, Padang: IAIN-IB Press,
2001.

Fakhry, Majid, A History of Islamic Philosophy, New York: Columbia


University Press, 1983.

Al-Farmawi, Abd al-Èayy, al-Bidãyah fi al-Tafsîr al-Mauçü`i Dirãsah


Manhajiyyah Maudüiyyah, T.tp, T.p, 1976.

Federspiel, Howard M., Kajian al-Qur’an di Indonesia: Dari Mahmud Yünus


hingga Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, Bandung: Mizan, 1996.

Al-Ghazãli, Abu Èamîd, Al-Iqtiéãd fi al-`Itiqãd, Beirut: Dãr al-Kutub al-


Ilmiah, 1988.

Ghurãbah, Hamüdah, Abu Èasan Asy`ari, Qãhirah: Majma` al-Buhüê al-


Islãmiyyah, 1973.

Al-Hasani, Sayyid Muèammad Ibn `Alawi al-Maliki, al-Manhal al-Laëîf fi Uéül


al-Hadîê al-Sarîf, Mekah: Wizãrat al-I`lãm, 1990.
208

Heizer, Herman, Tafsir al-Mishbãh Lentera Bagi Umat Islam Indonesia,


Majalah Êaqafah, Jakarta vol. 1. No. 3. 2003.

Hidayat, Komarudin, Membaca Sosok Quraish Shihab, Seminar Sehari:


Pemikiran Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A.. Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah, Ciputat-Jakarta. Aula fatahillah, 28 September
1996.

Ibn Khaldün, `Abd al-Raèmãn, Muqaddimah Ibn Khaldün, Beirut: Dãr al-Fikr,
1981.

Ibnu Manìür, Lisãn al-Arab, Beirut: Dãr Éãdir, 2000.

Al-Ïji, Abdurraèmãn Ibn Aèmad, al-Mawãqif Fi `Ilm al-Kalãm, Beirut: `Alam


al-Kutub, t.t

Istianah, Metodologi Muhammad Quraish Shihab Dalam Menafsirkan Al-


Qur’an, Tesis Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2002.

Izutsu, Toshiko, God and Man in the Qur`an, Tokyo: Keiko University, 1964.

Kamal, Zainun, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A. Pemikirannya dalam


bidang Tafsir dan Teologi. Seminar Sehari: Pemikiran Prof. Dr. H.M.
Quraish Shihab, M.A, Ciputat-Jakarta, 1996.

Khalãf, `Abdul Wahãb, `Ilm Uéül al-Fiqh, Kuwait: al-Dãr al-Kuwaitiyyah,


1968.

Madkür, Ibrãhîm, Fi al-Falsafah al-Islãmiyyah, Manhaj wa Tathbiquh, Maéri:


Dãr al-Ma`ãrif, t.th.

Al-Mãtürîdi, Abu Manéür Muèammad Ibn Muèammad Ibn Maèmüd, Kitãb al-
Tauèîd, (Ed), Fatèullah Khalif, Istambul: al-Maktabat al-Islãmiyah,
1979.

--------------, Ta`wîil al-Qur`an, Qãhirah: Dã al-Kutub al-Misriyyah, t.th.

Müsa, Muhammad Yüsuf, al-Islãm wa Hãjah al-Insãniyyah Ilaihy, Qãhirah: al-


Majlis al-A`la li al-Su`ün al-Islãmiyyah, 1999.

Müsa, Muhammad Yüsuf, Al-Qur`an wa al-Falsafah, Qãhirah: Dãr al-Ma`ãrif,


1996.
209

Najjãr, Amir, Aliran Khawarij Mengungkap Akar Perselisihan Umat,


terjemahan oleh A. Salihin Rasyidi dan Afif Muhammad, Jakarta:
Lentera, 1993.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1982.

--------------, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,


Jakarta: UI Press, 1986.

--------------, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986.

--------------, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu`tazilah, Jakarta: UI-


Press, 1987.

Nasysyãr, `Ali Sãmi, Nasy`ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islãm, Iskandariah, Dãr


al-Ma`ãrif, 1965.

Qãsim, Maèmüd, Dirãsah fi al-Falsafah al-Islãmiyyah, Qãhirah: Dãr al-


Ma`ãrif, 1972.

--------------, Manãhij al-Adillalh fi `Aqãid al-Millah li Ibn Rusyd ma`a


Muqaddimah fi Naqd Madãris `Ilm al-Kalãm, Qãhirah: Maktabah al-
Anglo al-Misriyyah, 1963.

Shihab, Muhammad Quraish, Logika Agama, Kedudukan Wahyu Dan Batas-


batas Akal Dalam Islam, Jakarta: Lentera Hati, 2005.

--------------, Tafsir
al-Qur`an al-Karîm Tafsir atas Surat-surat Pendek
Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, Bandung: Pustaka Hidayah,
1997.

--------------, Dia Dimana-mana, Tangan Tuhan Di Balik Setiap Fenomena,


Jakarta: Lentera Hati, 2004), cet 1.

--------------, Fatwa-fatwa Seputar Tafsir al-Qur`an, Bandung: Mizan, 2001.

--------------, Lentera Hati, Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan,


2006.

Membumikan al-Qur`an Fungsi Dan Peran Wahyu Dalam


--------------,
Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1993.

Menabur Pesan Ilahi al-Qur`an Dan Dinamika Kehidupan


--------------,
Masyarakat, Jakarta: Lentera Hati, 2006.
210

--------------, Menyibak Ta`bir Ilahi, al-Asma al-Husna Dalam Perspektif al-


Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2006.

--------------, Mukjizat al-Qur`an Ditinjau dari Aspek Kebahasaan Isyarat


Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Bandung: Mizan, 2006.

--------------, Rasionalitas Al-Qur`an Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar Jakarta:


Lentera Hati, 2006.

--------------, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama al-Qur`an, Bandung:


Mizan, 2007.

--------------, Sejarah dan `Ulüm Al-Qur`an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

--------------, Tafsir al-Mishbãh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an,


Jakarta: Lentera Hati, 2005.

--------------,Wawasan al-Qur`an Tafsir Maudhu`i atas Pelbagai Persoalan


Umat, Bandung: Mizan 1996.

Subhan, Arif, Tafsir Yang Membumi, Majalah Êaqafah, Jakarta Vol. 1. No. 3.
2003.

Al-Syãëibi, Abu Isèãq, al-Muwãfaqãt fi Uéül al-Syar`îyyah, Maéri: al-


Maktabat al-Tijãriyyah al-Kubra, 1975.

Al-Syahrastãni, Muèmmad Ibn `Abdul Karîm, Nihãyat al-Iqdãm fi `Ilm al-


Kalãm, (Ed.), Alfred Guillaume, London, Oxford University Press,
1934.

--------------, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.

`Usman, `Abd al-Karim, Naìariyyat al-Taklîf, Beirut: Muassat al-Risalah,


1391 H.

Wolfson, Harry Austryn, The Philosophy of The Kalam, Harvard: University


Press, Cambridge, 1976.

Yusuf, Muhammad Yunan, Alam Pikiran Islam, Pemikiran Kalam, Jakarta:


Perkasa, 1990.

--------------, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah tentang


Pemikiran Hamka Dalam Teologi Islam, Disertasi Program
Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989.
211

Al-Zamakhsari, Abu al-Qãsim Jãr Allah Maèmüd Ibn `Umar al-Khawãrizmi,


al-Kasysyãf `an Haqã`iq Gawãmid al-Tanzîl wa `Uyün al-Aqãwîl fi
Wujüh al-Ta`wîl, Beirut: Dãr al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1995.

Al-Zarqãni, Muèammad Abdul Aìîm Manãhil al-Irfãn fi `Ulüm al-Qur`an,


Beirut: Dãr al-Kutub al-Ilmiah, 1996.
Lampiran

DAFTAR KARYA-KARYA MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

1. 40 Hadis Qudsi Pilihan.


2. Dia di mana-mana.
3. Fatwa-fatwa seputar Ibadah dan Muamalah.
4. Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdah.
5. Fatwa-fawa Seputar Wawasan Agama.
6. Haji Bersama Quraish Shihab.
7. Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil.
8. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah
9. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan.
10. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam.
11. Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surat al-Fatihah.
12. Membumikan al-Qur’an: Peran dan Fungsi Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat.
13. Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat.
14. Menjemput Maut.
15. Minyingkap Ta’bir Ilahi (Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur’an)
16. Mistik, Seks dan Ibadah.
17. Mukjizat al-Qur’an Ditinjau dari aspek Kebahasaan. Isarat Ilmiah dan
Pemberitaan Gaib.
18. Perempuan.
19. Perjalanan Menuju Keabadian, Kematian, Surga, dan Ayat-ayat Tahlil.
20. Persoalan Penafsiran Metaforis atas Fakta–fakta Tekstual.
21. Rasionalitas Al-Qur’an: Studi Kritis Tafsir al-Manar.
22. Sahur Bersama Quraish Shihab.
23. Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama al-Qur’an
24. Tafsir al-Mishbah.
25. Tafsir al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Sura-surat Pendek Berdasarkan
Urutan Turunnya Wahyu.
26. Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai.
27. Wawasan al-Qur’an tentang Zikir dan Doa.
28. Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat.
29. Yang Ringan dan Yang Jenaka
30. Yang Sarat dan Yang Bijak
31. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini.

Anda mungkin juga menyukai