Anda di halaman 1dari 42

ARGUMENTASI WUJUD TUHAN:

STUDI PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN MULLA SADRA

Disertasi
Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang
Pemikiran Islam

Oleh

AMIRUDIN
NIM : 31141200000041

Promotor
Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA
Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA

Konsentrasi Pemikiran Islam


Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2017
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur, terpanjatkan kepada Allah SWT atas limpahan nikmatnya,
sehingga disertasi dengan judul ” ARGUMENTASI WUJUD TUHAN: STUDI
PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN MULLA SADRA” ini dapat terselesaikan.
Semoga rahmat dan keselamatan, senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw beserta keluarga, sahabat dan para pengikut ajarannya.
Disertasi ini merupakan hasil penelitian sebagai tugas akhir sekaligus syarat
meraih gelar Doktor dalam bidang Pemikiran Islam di Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari
bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah karya ilmiah,
terlebih tanpa bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini
dengan rasa hormat dan berterima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
2. Prof. Dr. H. Masykuri Abdillah, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Prof. Dr. H. Amsal Bakhtiar, MA dan Prof. Dr. H. Zainun Kamaluddin Fakih,
MA selaku pembimbing/promotor yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing, mengayomi, memberikan motivasi dan ide-ide serta
gagasan konstruktif dalam penyelesaian penulisan.
4. Prof. Dr. H. Didin Saepuddin, MA, selaku Ketua Program Studi Doktor
Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Seluruh dosen dan karyawan atas ilmu, bimbingan, motivasinya dan layanan,
yang telah banyak membantu dan memberikan iklim belajar yang kondusif.
Semoga menjadi amal baik.
6. Petugas Perpustakaan, dan seluruh staf civitas akademika Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Ketua, seluruh dosen, staf, karyawan dan seluruh civitas akademika STAIS
Pangeran Dharma Kusuma Indramayu yang turut membantu selama proses
studi penulis di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Kementrian Agama Tahun 2014
yang telah memberikan beasiswa kepada penulis dalam menyelesaikan
pendidikan doktor.
9. Ramanda Nasuha dan Ibunda Solikha yang senantiasa mendukung, mendoakan
serta memberikan semangat untuk menuntut ilmu dan pengetahuan.
10. Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada istriku tercinta
adinda Safinatun Najat, anak-anakku ananda Himmah Nur’izzah, Hilmah
Maharani dan Aslam Nurullah. serta keluarga tercinta yang senantiasa
mengiringi dengan doa yang tulus dan motivasi serta semangat dengan

i
harapan sehingga penulis diberikan kemudahan dan kelancaran dalam
menyelesaikan studi.
11. Teman-teman seperjuangan dan semua pihak yang tidak mungkin penulis
sebutkan satu persatu, semoga amal baiknya mendapat balasan pahala dari
Allah SWT. Ami>n ya> rabb al’a>lami>n.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna
karena kekurangan dan keterbatasan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat
diharapkan untuk penyempurnaan penelitian ini.

Jakarta, Juli 2017


Penulis

Amirudin

ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Amirudin
NIM : 31141200000041
No. Kontak : 081394562269

menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “ARGUMENTASI WUJUD


TUHAN: STUDI PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN MULLA SADRA” adalah
hasil karya saya sendiri. Ide/gagasan orang lain yang ada dalam karya ini saya
sebutkan sumber pengambilannya. Apabila di kemudian hari terdapat hasil
plagiarisme maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan dan sanggup
mengembalikan gelar dan ijazah yang saya peroleh sebagaimana peraturan yang
berlaku.

Jakarta, Juli 2017


Yang Menyatakan,

Amirudin

iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi yang berjudul “ARGUMENTASI WUJUD TUHAN: STUDI


PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN MULLA SADRA”, ditulis oleh Amirudin NIM
31141200000041 telah melalui pembimbingan dan work in progress I, II, dan ujian
pendahuluan serta telah diperiksa dan diperbaiki sebagaimana ditetapkan Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga layak diajukan untuk Ujian
Promosi.

Jakarta, 2017
Pembimbing

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA

iv
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Disertasi yang berjudul “ARGUMENTASI WUJUD TUHAN: STUDI


PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN MULLA SADRA”, ditulis oleh Amirudin NIM
31141200000041 telah melalui pembimbingan dan work in progress I, II, dan ujian
pendahuluan serta telah diperiksa dan diperbaiki sebagaimana ditetapkan Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sehingga layak diajukan untuk Ujian
Promosi.

Jakarta, 2017
Pembimbing

Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA

v
PERSETUJUAN HASIL UJIAN PENDAHULUAN

Disertasi yang berjudul “ARGUMENTASI WUJUD TUHAN: STUDI


PEMIKIRAN IBNU RUSYD DAN MULLA SADRA”, ditulis oleh Amirudin NIM
31141200000041 telah telah dinyatakan lulus ujian pendahuluan yang
diselenggarakan pada hari Selasa, tanggal 11 Juli 2017.
Disertasi ini telah diperbaiki sesuai saran dan komentar para penguji
sehingga disetujui untuk diajukan ke ujian promosi.

Jakarta, 25 Juli 2017

Tim Penguji:
No. Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Prof. Dr. Masykuri Abdillah

2. Prof. Dr. Aziz Dahlan

3. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA

4. Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA

5. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA

6. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

vi
ABSTRAK

Studi tentang argumentasi ketuhanan merupakan persoalan klasik yang


senantiasa menjadi khazanah pemikiran Islam. Tidak saja sebagai perdebatan
teologis (kalam) namun juga sebagai kajian filosofis, pada perkembangan
selanjutnya menjadi kajian tasawuf bahkan ilmu pengetahuan modern. Ini sejatinya
tidak bisa lepas dari empat metode berpikir epistemologis; bayānī, burhānī, irfānī
dan tajrībī dalam konsep wujud, terutama dalam penguatan argumentasi (wujud)
menjadi pilar penting. Studi argumentasi wujud Tuhan yang di kemukakan Ibnu
Rusyd dan Mulla Sadra membuktikan penguatan dari berbagai aspek argumentasi
wujud Tuhan
Disertasi ini, diawali dari pengembaraan pencarian manusia dalam
menemukan Tuhan dan perdebatan beberapa teolog dan filosof, baik dari kalangan
Islam maupun Barat. Dalam disertasi ini ada beberapa pendapat pemikir Barat yang
disanggah, di antaranya; Hegel yang berpendapat bahwa, Tuhan Yahudi adalah
tiran dan Tuhan Kristen adalah lalim, maka Tuhan harus dibunuh, Frederic
Nietzsche, yang berpendapat bahwa Tuhan sudah mati yang didukung oleh
pendapat Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin dan Sigmund Freud,
bahwa Tuhan harus dibunuh. Dan pendapat François Voltaire, bahwa Tuhan
diciptakan.
Dari hasil penelitan yang dilakukan atas kajian konsep-konsep dan
argumentasi wujud Tuhan, yakni studi atas pemikiran Ibnu Rusyd, dengan argumen
Burhānī-nya yang meliputi dalil Ikhitrā‘(penciptaan), ‘Ināyah (pemeliharaan) dan
ḥarākah (gerak), serta pemikiran Mulla Sadra dengan Burhān al-Ṣiddīqīn-nya yang
termaktub dalam konsep al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah. Bahwa konsep dan
argumentasi keduanya memiliki otentisitas pemikiran keislaman yang saling
menguatkan serta patut dijadikan argumentasi yang otentik, rasional, logis, religius
dan sarat dengan aspek kontemplasi.
Penelitian disertasi ini termasuk dalam penelitian pustaka (library
research), suatu penelitian dengan menggunakan metode pengumpulan data dan
informasi dengan menggali sumber-sumber dari literatur berupa buku, kitab,
naskah, artikel dan sumber tertulis lainnya kemudian diidentifikasikan secara
sistematis dan analitis dengan didukung dengan berbagai sarana yang terdapat di
perpustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
hermaneutika. Hermeneutika yang digunakan adalah kolaborasi antara
hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Paul Ricoeur.
Hermeneutika Gadamer yang digunakan penulis adalah fusion of horizon
dan hermeneutical circle. Sementara hermeneutika Paul Ricoeur yang
mempertahankan hermeneutika sebagai seni dan sains, hermeneutika dihidupkan
oleh dua motivasi, kehendak untuk curiga dan kehendak menyimak; kesediaan
untuk menentang dan kesediaan untuk patuh. Hermeneutika Ricoeur menawarkan
metode interpretasi terhadap teks dan simbol.

Key word; Wujud, Studi, Argumentasi

vii
ABSTRACT

The study of divine argument is a classical problem that has always been
the treasury of Islamic thought. Not only as a theological debate (kalam) but also as
a philosophical study, in subsequent developments into the study of tasawuf even
modern science. This is true can not be separated from the four methods of
epistemological thinking; Bayānī, burhānī, irfānī and tajrībī in the concept of being,
especially in the strengthening of argument (being) into an important pillar. The
study of the argumentation of God's form in which pointed out Ibn Rushd and
Mulla Sadra proves the reinforcement of various aspects of the argumentation of
God's being
This dissertation, beginning from the quest for human search in God and
the debate of some theologians and philosophers, both from the Islamic and
Western. In this dissertation there are several opinions of Western thinkers who are
disputed, among them; Hegel who argues that, the Jewish God is a tyrant and the
Christian God is despotic, then God should be killed, Frederic Nietzsche, who
thinks that God is dead supported by Ludwig Feuerbach's opinion, Marx, Charles
Darwin and Sigmund Freud, that God must be killed. And the opinion of François
Voltaire, that God was created.
From the results of research done on the study of the concepts and
arguments of God's being, ie the study of Ibn Rushd's thought, with his Burhān arg
argument which includes the 'Ikhitrā' (creation), 'Ināyah (maintenance) and ḥarākah
(motion), and Mulla Sadra with his Burhān al-Ṣiddīqīn embodied in the concept of
al-Ḥikmah al-Muta'āliyah. That the concepts and arguments both have the
authenticity of Islamic thought that mutually reinforce and should be made an
argument that is authentic, rational, logical, religious and loaded with aspects of
contemplation.
This dissertation research is included in the research library (library
research), a study by using data collection methods and information by digging the
sources of literature in the form of books, books, manuscripts, articles and other
written sources and then identified systematically and analytically supported by
various facilities contained in the library. The approach used in this research is
hermaneutika approach. Hermeneutics used is a collaboration between
hermeneutics Hans-Georg Gadamer and Paul Ricoeur.
Hermeneutics Gadamer used by the author is the fusion of horizon and
hermeneutical circle. While Paul Ricoeur's hermeneutics that retain hermeneutics
as an art and a science, hermeneutics is enlivened by two motivations, a desire for
suspicion and the will of listening; Willingness to oppose and willingness to obey.
Hermeneutics Ricoeur offers a method of interpretation of texts and symbols.

Key word; Being, Study, Argumentation

viii
‫الملخص‬
‫دراسة الالهوت الحجج هي مشكلة الكالسيكية التي كانت دائما كنز من الفكر اإلسالمي‪.‬‬
‫ليس فقط باعتبارها الجدل الالهوتي (علم الكالم)‪ ،‬ولكن أيضا دراسة الفلسفية‪ ،‬التطور الالحق في‬
‫دراسة التصوف حتى العلم الحديث‪ .‬هذا الواقع ال يمكن فصلها عن أربعة أساليب التفكير معرفيا‪.‬‬
‫بايانى‪ ،‬البرهاني‪ ،‬وفي شكل مفهوم‪ ،‬وخاصة في تعزيز حجة (الوجود) ركيزة مهمة‪ .‬وضع الحجج مظهر‬
‫الدراسة اهلل إلى األمام ابن رشد وثبت المال صدرا تعزيز جوانب مختلفة من النموذج حجة اهلل‬
‫هذه األطروحة‪ ،‬بدءا من يتجول سعي اإلنسان في إيجاد اهلل ومناقشة بعض الالهوتيين‬
‫والفالسفة‪ ،‬من كل من اإلسالم والغرب‪ .‬في هذه األطروحة‪ ،‬وهناك بعض اآلراء التي تحدى المفكرين‬
‫الغربيين‪ ،‬من بينها؛ قال هيغل أن اهلل اليهود هو اإلله المسيحي هو طاغية ومستبد‪ ،‬ثم ال بد من قتل اهلل‪،‬‬
‫فريدريك نيتشه‪ ،‬الذي جادل بأن اهلل قد مات معتمد من قبل الرأي فيورباخ‪ ،‬كارل ماركس‪ ،‬تشارلز‬
‫داروين وسيغموند فرويد‪ ،‬أن اهلل يجب قتلهم‪ .‬ورأي فولتير‪ ،‬أن اهلل خلق‪.‬‬
‫من نتائج األبحاث التي أجريت على دراسة شكل مفاهيم وحجج اهلل‪ ،‬وهي دراسة الفكر ابن‬
‫رشد‪ ،‬بحجج البرهاني في اقتراح تغطية االختراع والعناية والحركة‪ ،‬ويعتقد صدرال ّدين الشيرازي له مع‬
‫برهان الصديقين تتجسد في مفهوم آل الحكمة آلمتعاليه المفاهيم والحجج التي لديهما من صحة‬
‫الفكر اإلسالمي يعزز كل منهما اآلخر‪ ،‬وينبغي أن تستخدم كحجة التي هي أصيلة وعقالنية ومنطقية‬
‫والدينية ومحملة جوانب التأمل‪.‬‬
‫هذا البحث أطروحة المدرجة في المكتبة البحثية (البحوث المكتبية)‪ ،‬ودراسة استخدام طرق‬
‫جمع البيانات والمعلومات الستكشاف مصادر األدب مثل الكتب‪ ،‬والكتب والمخطوطات والمقاالت‬
‫ومصادر مكتوبة أخرى ثم تحديدها بطريقة منهجية وتحليلية تدعمها مختلف الوسائل المتاحة في‬
‫المكتبة‪ .‬النهج المتبع في هذه الدراسة هو النهج التأويل‪ .‬التأويل المستخدمة هي نتاج تعاون بين التأويل‬
‫هانز غيورغ غادامر وبول ريكور‪.‬‬
‫التأويل غادامر يستخدمها المؤلف هو انصهار اآلفاق ودائرة التأويلي‪ .‬بينما التأويل بول ريكور‪.‬‬
‫التي تحافظ على التأويل كما الفن والعلم‪ ،‬وتحولت التأويل على اثنين من الدوافع‪ ،‬والرغبة في أن تكون‬
‫مشبوهة ويستمع‪ .‬الرغبة في التحدي والرغبة في طاعة‪ .‬التأويل بول ريكور تقديم تفسيرات النص‬
‫والرموز‪.‬‬

‫كلمة الرئيسية؛ الوجود‪ ،‬الدراسة‪ ،‬الحجج‬

‫‪ix‬‬
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Pedoman transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam karya ilmiah ini


adalah sebagai berikut:

A. Konsonan

b = ‫ب‬ z = ‫ز‬ f = ‫ف‬


t = ‫ت‬ s = ‫س‬ q = ‫ق‬
th = ‫ث‬ sh = ‫ش‬ k = ‫ك‬
j = ‫ج‬ ṣ = ‫ص‬ l = ‫ل‬
ḥ = ‫ح‬ ḍ = ‫ض‬ m = ‫م‬
kh = ‫خ‬ ṭ = ‫ط‬ n = ‫ن‬
d = ‫د‬ ẓ = ‫ظ‬ h = ‫ه‬
dh = ‫ذ‬ ‘ = ‫ع‬ w = ‫و‬
r = ‫ر‬ gh = ‫غ‬ ` = ‫ء‬
y = ‫ي‬

B. Vokal
1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

َ Fath}ah A A

َ Kasrah I I

َ D}ammah U U

2. Vokal Rangkap

x
Tanda Nama Gabungan Huruf Nama
‫ََى‬... Fath}ah dan ya Ai a dan i

‫َو‬...
َ Fath}ah dan wau Au a dan w
Contoh:
‫ُحسني‬ : H}usain ‫ح ْول‬ : h}aul

C. Maddah
Tanda Nama Huruf Latin Nama
‫ـ ـا‬ Fathah dan alif ā a dan garis di atas

‫ـِي‬ Kasrah dan ya ī i dan garis di atas

‫ـُو‬ D}ammah dan wau ū u dan garis di atas

D. Ta’ Marbūt}ah (‫)ة‬


Transliterasi ta’ marbu>t}ah ditulis dengan “h” baik dirangkai dengan kata

sesudahnya maupun tidak contoh mar`ah (‫ )مرأة‬madrasah (‫(مدرسة‬

Contoh:
‫املدينةَاملنورة‬ : al-Madīnat al-Munawwarah

E . Shaddah
Shaddah/tashdīd pada transliterasi ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
huruf yang sama dengan huruf yang bershaddah itu.
Contoh:
‫ّنزل‬ : nazzala

F. Kata Sandang
Kata sandang “‫ ”الـ‬dilambangkan berdasarkan huruf yang mengikutinya, jika
diikuti huruf shamsiyah maka ditulis sesuai huruf yang bersangkutan, dan ditulis
“al” jika diikuti dengan huruf qamariyah. Selanjutnya ‫ل‬‫ا‬ditulis lengkap baik

menghadapi al-Qamariyah, contoh kata al-Qamar ‫القمر‬ maupun al-Shamsiyah

seperti kata al-Rajulu (‫)الرجل‬

xi
Contoh:
‫الشمس‬ : al-Shams ‫القلم‬ : al-Qalam

G. Pengecualian Transliterasi
Pedoman transliterasi ini tidak digunakan untuk kata-kata bahasa arab yang
telah lazim digunakan di dalam bahasa Indonesia dan menjadi bagian dalam bahasa
Indonesia, seperti lafal ‫اهلل‬, asma> al-h}usna> dan Ibnu, Quran, Hadis, Al Azhar, kecuali
menghadirkannya dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi
dalam penulisan.

xii
DAFTAR ISI

KATA PENGANGTAR i
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME iii
LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME
PERSETUJUAN PEMBIMBING DAN PENGUJI iv
ABSTRAK vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN x
DAFTAR ISI xiii

BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah 12
C. Rumusan Penelitian 12
D. Batasan Masalah 13
E. Tujuan Penelitian 13
F. Signifikasi Penelitian 13
G. Kajian Terdahulu 14
H. Metodologi Penelitian 20
I. Sistematika Penulisan 24

BAB II
TUHAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT DAN TEOLOGI 27
A. Tuhan dalam Bingkai Masyarakat Primitif 30
1. Telaah Teoritis Animisme 31
2. Dinamisme Sebagai Sistem Kepercayaan 35
3. Totemisme (Analisa Teori Durkheim) 37
B. Tuhan dalam Pandangan Filsafatf Yunani 39
C. Konsep Tuhan dalam Pandangan Filsafat Barat 43
1. Ontologi 43
2. Kosmologi 46
3. Teleologi 47
4. Moral 48
5. Five Argument 49
D. Tuhan dalam Pandangan Teologi Islam, Yahudi dan Kristen 50
1. Tuhan dalam Teologi Islam 51
2. Tuhan dalam Teologi Yahudi 55
3. Tuhan dalam Teologi Kristen 59

xiii
BAB III
KONSEP WUJUD TUHAN PERSPEKTIF FILOSOF MUSLIM PRA IBNU
RUSYD DAN MULLA SADRA 67
A. Memahami Otentisitas Konsep Tuhan dalam Kajian Filsafat Islam 73
1. Dalil Kebaharuan (Dalīl al-Huduth) 74
2. Dalil Kemungkinan (Dalīl Al-Imkān) 77
B. Emanasi; Konsep Metakosmos Filosof Muslim 78
C. Konsep Ontologi dan Kosmologi Ibnu Sina 84
D. Konsep Ketuhanan Ibnu Maskawaih dan Ikhwan al-Shafa 89

BAB IV
KONSEP BURHĀNI; REFLEKSI PEMIKIRAN IBNU RUSYD 93
A. Karakteristik dan Metode Pemikiran 96
1. Sumber Pengetahuan dalam Karakteristik Pemikiran Ibnu Rusyd 97
2. Metodologi Pemikiran Epistemologi Ibnu Rusyd 99
3. Metode al-Taṣawwur dan al-Taṣdīq 101
B. Ontologi dan Kosmologi Wujud dalam Pemikiran Ibnu Rusyd 103
C. Kosmologi dan Penciptaan Alam 106
D. Argumen-argumen Wujud Tuhan; Ināyah, Ikhtirā’ dan Ḥarākah 110
E. Argumen Keesaan Tuhan 115
1. Keesaan Tuhan 115
2. Sifat Tuhan 118
F. Kritik atas Pemikiran Ibnu Rusyd 119

BAB V
KONSEP BURHĀN AL-SIDDĪQĪN: ARGUMEN WUJUD TUHAN DALAM
FILSAFAT MULLA SADRA 121
A. Karakteristik dan Metode Pemikiran 124
B. Ontologi dan Kosmologi Wujud dalam Pemikiran Mulla Sadra 131
C. Argumen dalam al-Ḥikmah al-Mutā‘aliyah 135
D. Kritik atas Pemikiran Mulla Sadra 151

BAB VI
RELEVANSI ARGUMEN DALAM KONSEP WUJUD TUHAN 155
A. Hierarki Argumen antara Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra 156
1. Hierarki Argumen Ibnu Rusyd 158
2. Hierarki Argumen Mulla Sadra 166
B. Otentisitas Argumen dalam Konsep Burhāni Ibnu Rusyd 172
C. Teosofi Transenden dalam Konsep Al-Ḥikmah al-Mutā‘aliyah 177
D. Relevansi dengan Pemikiran Islam Modern (Menimbang Konsep Ketuhanan
Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra dengan Pemikiran Sayyed Hossein Nasr) 180

xiv
E. Ateisme dan Relevansi Argumentasi Wujud 183

BAB VII
PENUTUP 191
A. Kesimpulan 191
B. Rekomendasi 193

DAFTAR PUSTAKA 195


GLOSARI 205
INDEKS 211
BIODATA PENULIS 217

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap bangsa, suku atau kelompok manusia yang menghuni alam ini pasti
mempunyai pandangan dan persepsi sendiri mengenai persoalan Tuhan, karena
usaha-usaha mereka yang terus menerus untuk mencari dan memahami hakikat
Tuhan. Pemahaman manusia pada umumnya sejajar dengan upaya ilmu dan
teknologi yang ada di setiap zaman di mana manusia tersebut hidup dan
berkembang.
Keyakinan terhadap wujud Tuhan adalah aspek terpenting dalam proses
beragama. Manusia secara universal menerima peranan agama dan meyakini kepada
agamanya masing-masing. Para ahli ilmu sosial dari pelbagai disiplin ilmu yang
berbeda seperti psikologi, sosiologi, antropologi filsafat dan kalam (teologi) banyak
mengemukakan pandangan masing-masing dalam menerangkan kenapa manusia
menganut agama dan ber-Tuhan.
Timbulnya tuntutan-tuntutan yang menghendaki bukti adanya Tuhan,
disebabkan pernyataan adanya Tuhan tidak jelas. Kiranya ada alasan-alasan untuk
percaya Tuhan tidak bereksistensi atau lebih tepat Tuhan tidak ada. Namun
demikian, orang tetap merasa bahagia, bila ada orang yang mengatakan bahwa
seseorang telah membuktikan secara pasti Tuhan itu ada khususnya, bila orang
yang mengatakan adalah seorang ilmuwan atau yang mendasarkan buktinya pada
ilmu pengetahuan, dan disini merupakan letak teka-teki permasalahannya1.
Perdebatan wujud Tuhan sebenarnya adalah hal klasik yaang ada sepanjang
kehidupan manusia, namun lazimnya terbatas pada pemahaman teologi dan wacana
keagamaan yang disandarkan pada doktrin wahyu ataupun kitab suci. Argumen-
argumen yang dikemukakan bedasarkan doktrin wahyu yang telah ada, padahal
sesungguhnya pembuktian eksisitensi Tuhan dapat menggunakan berbagai
pendekatan dan argumentasi, selain wahyu dan doktrin agama, misal menggunakan
argumen lain dengan menggunakan pendekatan yang lebih rasional, mislanya
menggunakan pendekatan filsafat dan hermeneutika.
Mengkaji wujud Tuhan, tidak saja menyangkut keimanan manusia, namun
juga dibutuhkan argumen-argumen rasional, integral dan analitis. Dengan demikian
dibutuhkan analisa integral terhadap dalil-dalil ataupun argumen-argumen
mengenai wujud Tuhan tersebut, khususnya argumen logika yang mencoba
membangun argumentasi rasional, disamping doktrin agama dan wahyu yang ada2.

1
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992),
443.
2
Uwe Meixner, “Three indications for the existence of God in causal metaphysics”
International Journal for Philosophy of Religion , Vol. 66, No. 1 (Aug., 2009, pp): 33-46.

1
Misal, dalam kajian teleologis3, dimana argumen ini merupakan argumen
alternatif yang bersifat analitis filosofis religius yang berdasarkan suatu tujuan
(khususnya penciptaan semeseta) yang mengolaborasikan dengan dalil-dalil lainnya
yang tidak bertentangan dengan doktrin agama, bahkan dapat mendukung dan
menguatkan wahyu atau doktrin agama yang telah ada.
Sebelum ke pokok permasalahan, ada baiknya kita sampaikan dulu
beberapa argumen yang berkaitan dengan wujud Tuhan, diantaranya;

1. Dari Kalangan Islam (Teologi Islam)


a. Ash‘āriyyah; berargumen adanya Tuhan berdasarkan pada adanya alam ini,
perubahan dan ketidak tetapan alam ini karena terdiri dari bagian-bagian yang
yang tidak dapat dibagi-bagi yang selalu berubah-ubah, karena itulah alam ini
baharu (up to date) setiap yang baharu pasti memiliki sebab, sebab pokoknya
adalah Tuhan, karena tidak ada sebab yang tidak berakhir, semua sebab
berakhir itu adalah pada Tuhan4.
b. Ḥashwiyah; golongan ini mendasarkan argumen wujud Tuhan swt hanya pada
wahyu (naqli) dan tidak percaya pada penalaran akal (‘aqli).5 Ṣūfiyyah atau
Baṭīniyyah berargumen dengan pengalaman jiwa (ruhani) atau al-kashfu
sebagai anugrah dari Tuhan kepada hambanya yang telah membersihkan
jiwanya dari sentuhan dan rangsangan hawa nafsu6.
c. Dari perspektif dalil ontologis Ibnu Sina, pandangan bahwa alam dan segala
yang ada di dalamnya esensinya adalah kebaikan merupakan suatu keniscayaan
dari wujud Tuhan sebagai wajib al-wujūd biẓātihi (tidak bisa tidak, Tuhan
mesti ada karena dzat-Nya sendiri). Jika wujud Tuhan merupakan wujud yang
niscaya, maka ke-Maha baik-an dan ke-Maha Adilan-Nya merupakan sifat yang

3
Inggris teleologi, dari Yunani telos (tujuan akhir) dan logos (wacana atau
doktrin). Istilah ini diperkenalkan pada abad ke 18 oleh Cristian Wolf. Teleologis
merupakan ajaran filosofis religius tentang eksistensi tujan-tujuan dan “kebijkasnaan”
obyektif diluar manusia. Ia terungkap dalam antrofomorfisme idealistik dari obyek-obyek
dan proses-proses alamiah. Ia mengaitkan hal-hal itu dengan tindakan prinsip-prinsip
penetapan sasaran (target-setting principle) untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang
ditentukan sebelumnya. Tesis ini mengandaikan adanya seorang pencipta yang adi intelejen
dan mendasari bukti teleologis dari Adanya Allah. Menurut teleologis transendental-
antroposentris prinsip penetapan sasaran atau Allah, yang berada diluar dunia,
memperkenalkan tujuan-tujuan dalam alam yang diciptakan bagi manusia (Wolf). Menurut
teleologi immanent, setiap obyek dalam alam, dalam dirinya sendiri mempunyai tujuan vital
yang intrinsik, suatu sebab yang mempunyai tujuan. Tujuan vital atau sebab yang bertujuan
itu merupakan sumber gerakan dari bentuk-bentuk yang lebih tinggi (Aristoteles). Lihat;
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: gramedia Pustaka Utama) Ed. I, 1085-1086
4
Ibn Rusyd, Al-Kashf ‘an manāhij al-Adillah fî ‘Aqāid al-Millah, Dikomentari
oleh ‘Ābid Al-Jābirī (Beirut: Markaz Dirāsāt al Waḥdah al’Arābiyah, 1997), 102.
5
Ibn Rusyd, Al-Kashf ‘an manāhij al-Adillah, 101
6
Ibn Rusyd, Al-Kashf ‘an manāhij al-Adillah, 117

2
niscaya pula, bukan suatu kemungkinan. Sebaliknya, segala yang ada selain
Tuhan dari segi esensinya adalah mumkin al-wujūd (boleh ada dan tidak ada).
Artinya, kebaikan dan kajahatan yang ada di dunia ini merupakan sesuatu yang
mungkin. Mereka menjadi ada karena memperoleh limpahan wujud dari Wajib
al-Wujūd.
d. Al-Ghazali, menyodorkan argumentasi rasional dalam membuktikan eksistensi
Allah. Dalam hal ini, cara yang dilakukannya adalah dengan
mempertentangakan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah, kata
al-Ghazali, adalah qadīm sedangkan wujud makhluk adalah hadits (baharu).
Wujud hadits menghendaki sebab gerak yang mendahuluinya sebagai
penggerak yang mengadakannya, sebab-musabab ini tidak akan berakhir
sebelum sampai kepada “Yang Qadīm”, yang tidak dicipta dan digerakkan.
Sedangkan wujud Allah, jika ia hadits tentu akan menghendaki sebab musabab
seperti itu juga, yang sudah pasti takkan ada pangkal pokok geraknya. Hal
demikian adalah suatu hal yang mustahil dan takkan menghasilkan apa-apa7.
e. Al-Kindi, Allah bagi Al-Kindi adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal
dari tiada kemudian ada, Ia mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan selalu
ada selamanya, Allah adalah wujud yang sempurna dan tidak didahului wujud
yang lain, wujudnya tidak berakhir, sedangkan wujud lain disebabkan
wujudnya8. Oleh karena itu pencipta (Allah) itu tidaklah banyak, melainkan
Maha Esa, tidak terbilang, Maha Suci dan Maha Tinggi, sejauh-jauhnya dalam
penyelewengan agama, Dia tidak menyerupai alam ciptaan, karena sifat banyak
itu ada secara nyata pada setiap ciptaan dan sifat itu sama sekali tidak ada
pada-Nya9.
Wulaupun pada argumen keteraturan tidak diterima oleh kalangan mazhab
yang dogmatik, dan akibatnya tidak dirumuskan dalam istilah-istilah skolastik,
misalnya kebaharuan (dalīl al-hudūth) dan argumen kemungkinan (dalīl al-jawāz),
namun ia telah ada di dalam teologi Islam sejak abad kesembilan bersama-sama
dengan kedua argumen tersebut.
Wujud Tuhan sebagai wujud yang berbeda dengan wujud apapun, karena
sifat Tuhan yang transenden maka perlu adanya pembuktian yang rasional, disinilah
banyak dari kalangan ahli kalam yang memiliki masing-masing argumen untuk
membuktikan transendsi Tuhan tersebut.
Secara klasik, mungkin untuk membuktikan eksistensi Tuhan hanya pada
penciptaan alam semesta yang didasarkan pada doktrin agama dan wahyu, yang

7
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi
Oleh Al-Jili (Jakarta: Paramadina, 1997), 73
8
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam, Filosofis dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004), 38
9
Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Muslim, Cet. Ke 3 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), 94

3
adanya alam ini karena adanya yang menciptakan, yaitu Tuhan, namun bagaimana
kemudian dari dalil penciptaan kita kembangkan kapada dalil-dalil lain yang
mendukung rasionalitas wujud Tuhan.

2. Dari Teolog dan Filosof Barat


a. Martin Buber (1878-1965) seorang teolog Yahudi, berpendapat bahwa, Tuhan
tidak diam, kata Buber, tapi di zaman ini manusia memang jarang mendengar.
“Manusia terlalu banyak bicara dan sangat sedikit merasa. Filsafat hanya
bermain dengan image dan metafora sehingga gagal mengenal Tuhan”, katanya.
Itulah akibat memahami Tuhan tanpa pengetahuan agama, tulisannya geram.
Filosof berkomunikasi dengan Tuhan hanya dengan pikiran, tapi tanpa rasa
keimanan. Martin lalu menggambarkan "nasib" Tuhan di Barat melalui
bukunya berjudul Eclipse of God
b. Jean Paul Sartre (1905-1980), seorang filosof eksistensialis mencoba
menetralisir, Tuhan bukan tidak hidup lagi atau tidak ada, Tuhan ada tapi tidak
bersama manusia.
c. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), menurut Hegel bahwa, Tuhan
Yahudi itu tiran dan Tuhan Kristen itu barbar dan lalim. Tuhan, akhirnya harus
dibunuh.
d. Frederic Nietzsche (1844-1900), pada tahun 1882 mendeklarasikan bahwa
Tuhan sudah mati. Tapi ia tidak sendiri. Bahkan bagi Feuerbach, Karl Marx,
Charles Darwin, Sigmund Freud, jika Tuhan belum mati, tugas manusia
rasional untuk membunuh-Nya
e. Fançois Voltaire (1694-1778), tidak setuju Tuhan dibunuh. Tuhan harus ada,
seandainya Tuhan tidak ada, kita wajib menciptakannya. Hanya saja Tuhan
tidak boleh bertentangan dengan standar akal
f. Richard Swinburne (1934), berusaha menjabarkan secara sempurna dalil
eksistensi Tuhan berdasar pada mukjizat kenabian, ia berkata, “Mukjizat suatu
peristiwa yang bertolak belakang dengan hukum alam dan karena
pertentangannya dengan hukum alam itulah sehingga dapat dibuktikan
eksistensi Tuhan”10. Swinburne mengungkapkan dua kekhususan pada
mukjizat: Pertama, hadirnya pertentangan dengan hukum alam dalam kasus
mukjizat memiliki banyak keserupaan dengan perbuatan manusia (sebagai
pelaku yang cerdas) sedemikian sehingga hal itu dapat dijelaskan berdasarkan
suatu tujuan yang diinginkan dari perbuatan tersebut. Kedua, perbuatan dan
peristiwa itu sendiri sedemikian sempurna dan ajaibnya sehingga tidak dapat
dipahami tanpa mengasumsikan pelaku yang berilmu dan sifat-sifat sempurna

10
Swinburne, Richard, Miracles and Revelation in Philosophy of Religion An
Anthology 303.

4
dimana Tuhan dapat dikenal dengan perantaraan sifat-sifat sempurna
tersebut11.
g. Anselmus Van Canterburi (1033-1109), beranggapan untuk mengetahui bahwa
Tuhan itu ada, dan bahwa Tuhan adalah yang tertinggi dari segala sesuatu yang
dapat dipikirkan oleh manusia. Anselmus menginginkan kepercayaan atau
keyakinan yang ditimbulkan oleh agama tumbuh menjadi pengertian dalam
sebuah landasan keilmuan. Untuk memperoleh pendasaran epistemologis
mengenai kepercayaan (intelectus Fidei) ini, Anselmus mulai dengan satu
pokok pangkal, yaitu bahwa bagi setiap orang, Tuhan itu berarti Yang Maha
Tinggi dari segala sesuatu yang dapat dipikirkan oleh manusia. Argumen ini
dikenal dengan argumen ontologis Anselmus12.
h. Albertus Magnus, (1193-1280), juga menolak argumen ontologi Anselmus dan
sebagai gantinya ia mengajukan argumen kosmologi. Secara kongkrit, argumen
ini mengatakan bahwa pembuktian ini pada dasarnya diperoleh mlalui observasi
langsung terhadap alam semesta. Yang kemudian dikenal dengan argumen
kosmologi.
i. Immanuel Kant (1724-1804), Kant berkeyakinan bahwa justru ada kenyataan
hukum moral yang universal, yang mengikat semua orang tanpa pandang bulu,
dan itulah yang menjadi bukti otentik tentang keberadaan Tuhan. Dimensi
ketuhanan ini sebenarnya mendorong manusia untuk tidak begitu saja
menyerah kalah kepada tuntutan keputus-asaan moral13.
Perdebatan antara teolog dan filosof Barat terletak bukan pada ada atau
tiadanya Tuhan. Namun bagaimana argumen yang dikemukakan akan pengakuan
terhadap Tuhan. Baik menurut Martin Buber, Jean Paul Sartre, Friedrich Hegel,
Frederic Nietzsche ataupun Fançois Voltaire, tetap mengakui eksistensi Tuhan,
berdebatannya terletak pada “konsistensi Tauhan” itu sendiri.

11
Swinburne, Richard, 306
12
Dalam tinjauan historis, pembuktian Anselmus yang terkenal itu dapat dijumpai
untuk pertama kali dalam karyanya Proslogion. Pada waktu itu, ia menjabat sebagai kepala
biara di Bec. Dalam suatu karya yang mendahuluinya Monologion, anselmus telah
menunjukkan bagaimana refleksi rasional dapat menemukan kebenaran-kebenaran iman.
Buku itu memuat sejumlah besar argumen, apakah tidak mungkin menemukan satu argumen
yang memadai dari antaranya, untuk membuktikan dengan argumen itu saja, eksistensi
Tuhan, ciri ke-Maha Kuasa-annya, kebutuhan setiap makhluk akan Dia yang terpenting
semua apapun yang kita anggap menjadi ciri-Nya itulah yang masalah, sehingga Anselmus
menerbitkan Proslogion, yaitu sebuah argumen yang menggantikan argumen-argumen lain
yang tersebar-sebar merupakan sebuah inti masalah yang dikembangkan oleh seluruh
teologi. Eksistensi Tuhan itu sedemikian niscaya adanya, sehingga pengingkarannya pun
bahkan tak terpikirkan. Berangkat dari iman, Anselmus sampai pada pengetahuan yang
tidak bisa ditolak. Hasilnya sempurna.Lihat Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan, 133-138
13
Abdullah, M. Amin. Studi Agama; Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 1996), 295

5
3. Dari Kalangan Lain
Muhammad Raheen Bawa Muhaiyaddeen14, (yang diterjamahkan oleh
Dimas Tandayu) Tanda atau bukti bahwa Tuhan itu nyata ada di dalam diri kita.
Dia berkata: “Andaikan kau merasakan marah, benci, atau ragu, atau buruk sangka
kepada seseorang, dan kau menyakiti orang tersebut, mungkin juga memukulnya.
Dan andaikan orang tersebut pergi berlalu begitu saja tanpa ada pembalasan,
mengatakan kepada dirinya, “Oh Tuhan! Engkau mengetahui segalanya. Ini
tanggungjawab-Mu. Kaulah saksinya”
Seandainya kita mengingkari wujud Tuhan. Contohnya, Stalin mengatakan
bahwa Tuhan tidak ada dan mendirikan komunisme. Tetapi kemudian tumbuh
sebuah tumor pada badannya, dan pada saat ia menderita ketika mendekati ajalnya,
dia berteriak “Ya Tuhan!”. Dari mana dia mendapat dorongan untuk berkata seperti
itu? Ia adalah manusia yang mengingkari wujud Tuhan, tetapi ketika dia menderita
dia berteriak, “Ya Tuhan!” Sebelumnya dia menegaskan tidak mempercayai Tuhan.
Tuhan tidak ada di dalam pemikiranya. Jadi darimana kata tersebut datang? Dari
dalam dirinya. Ia terletak di dalam diri sebagai sebuah kekuatan, tanpa tubuh
ataupun bentuk, tanpa suku atau kasta ataupun agama, tanpa perbedaan warna
kulit, atau perbedaan antara “Aku” dan “engkau”. Kekuatan tersebut melihat setiap
orang sama. Ia menilai dengan Kasih Sayang dan Cinta. Ketika ada bahaya yang
mengancam, Kekuatan itulah yang membuat orang berteriak, “Ya Tuhan!”
Alangkah lebih tepatnya bila pembahasan Argumen wujud Tuhan ini akan
kita mulai dari argumentasi Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra. Mengapa mengedepankan
dua filosof ini?, sebab, studi yang akan di bahas dalam disertasi ini merupakan studi
Integral pemikiran wujud Tuhan Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra. Di mana keduanya
menyumbangkan konsepsi ketuhanan yang memiliki beberapa keunggulan, di
antaranya; rasional dan logis ditambah dengan metodologi yang interpretatif
kontemplatif.

14
Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen (meninggal 8 Desember 1986) adalah
seorang guru Sufi yang berbahasa Tamil dari Sri Lanka yang pertama kali datang ke
Amerika Serikat pada tanggal 11 Oktober 1971 dan mendirikan Bawa Muhaiyaddeen
Fellowship di Philadelphia. Dari Philadelphia, dengan sekitar 1.000 pengikutnya, cabang
Fellowship telah menyebar di seluruh Amerika Serikat dan Kanada, serta Australia dan
Inggris. Masyarakat pengikut sudah ada di Jaffna dan Kolombo, Sri Lanka sebelum
kedatangannya di Amerika Serikat. Bawa Muhaiyaddeen disebut sebagai Guru atau Swami
atau Syeikh atau ‘His Holiness’ Bawa Muhaiyaddeen menulis lebih dari 25 buku. Kitab-
kitab ini dibuat lebih dari 10.000 jam transkripsi rekaman audio dan video dari wacana dan
lagu-lagu di Amerika Serikat 1971-1986. Beberapa judul berasal dari Sri Lanka sebelum
kedatangannya di AS dan kemudian ditranskrip.

6
1. Pandangan Ibnu Rusyd tentang Argumentasi Wujud Tuhan
Ibnu Rusyd banyak memberikan arugumen rasional mengenai wujud
Tuhan, termasuk buku-buku pendukung yang memberikan penjelasan pemikiran
Ibnu Rusyd dalam mengeksplorasi argumentasi mengenai wujud Tuhan.
a. Dalil ‘Ināyah (pemeliharaan); Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu
dalam keutamaan manusia. Bila kita perhatikan alam ini, maka akan kita
ketahui bahwa apa yang ada di dalamnya sangat sesuai dengan kehidupan
manusia dan makhluk-makhluk lainnya, persesuaian ini tidak terjadi secara
kebetulan, namun mnunjukkan adanya penciptaan yang amat rapih dan teratur
yang berdasar pada ilmu dan kebijaksanaan, sebagaimana yang diisyaratkan
oleh ilmu pengetahuan modern15. Persesuaian antara siang dan malam, adanya
bulan dan matahari, sesuai dengan keberadaan manusia dan tujuan
pemeliharaan Tuhan terhadap segala sesuatu (ciptaan-Nya). Persesuaian setiap
makhluk baik pergantian, perlawanan, perjodohan dan apapun jenisnya itu ada
yang menghendaki dengan tujuan pemeliharaan terhadap alam itu sendiri, yang
Maha menghendaki itulah Tuhan swt.
Firman Tuhan:

       


“Bukankah kami Telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan
gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Nabā: 6-7)

b. Dalil Ikhtirā‘ (Penciptaan), Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan Tuhan,
baik makhluk hidup maupun benda mati, seperti halnya berbagai jenis hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Dalil ini disandarkan pada dua pokok, pertama;
sesungguhnya setiap sesuatu itu adalah diciptakan, seperti halnya hewan dan
tumbuh-tumbuhan, firman Tuhan swt;

          

             

      


“Hai manusia, Telah dibuat perumpamaan, Maka dengarkanlah olehmu
perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah
sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka
bersatu menciptakannya. dan jika lalat itu merampas sesuatu dari
mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. amat

15
Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, cet. Ke 6 (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), 168-169. Lihat Ibn Rusyd, Al-Kashf ‘an manāhij al-Adillah, 80

7
lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah”
(Q.S Al-Haj: 73)

Kedua; bahwa setiap ciptaan (pasti) adayang menciptakan. Dari kedua dasar ini
dapat disimpulkan bahwa setiap ciptaan pasti ada yang menciptakan, maka
barang siapa yang ingin mengetahui wujud Tuhan secara nyata harus
mengetahui ciptaan, sehingga mengetahui pencipta itu sendiri secara nyata16.
c. Dalil ḥarakah (Gerak), dalil ini berasal dari idea Aristoteles tetang al-Muḥarrik
al-awwāl, apa argumen ini Ibnu Rusyd memandangnya sebagai dalil yang
meyakinkan tentang adanya Tuhan, dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak
tetap dalam suatu keadaan, namun senantiasa berubah. Dalil ḥarākah
menyatakan bahwa alam semesta ini bergerak dengan satu gerak yang abadi,
dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang bukan berupa
benda, yaitu Tuhan. Gerak ini bersifat qadīm dan kekal. Disebut qadim
dinisbatkan pada penggerak pertama yakni, Tuhan, dan dikatakan kekal, bahwa
gerak tida hanya ditafsirkan secara harfiyah, artinya termasuk dalam gerak ini
adalah setiap perubahan alam, baik secara organik maupun non organik,
termasuk evolusi dan perpindahan sebagai jenis dari gerak itu sendiri.

2. Al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah dalam Konsep Wujud Mulla Sadra


Teosofi17 Transendental merupakan aliran filsafat Islam yang didirikan oleh
Mulla Sadra18 dalam merumuskan alirannya berusaha memadukan konsep-konsep
pemikiran Islam yang telah dibangun sebelumnya, yaitu pemikiran kalam,
peripatetik, illuminasi dan sufisme.19 Pemikiran filsafat al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah,
kita akan mendapatkan beberapa tema pokok yang di kemukakan secara khusus,
antara lain sebagai berikut:
a. Aṣālat al-Wujūd wa I‘tibāriyāt al-Māhiyāt
Aṣālat al-Wujūd wa I‘tibāriyāt al-Māhiyāt (kehakikian wujud dan
kenisbian entitas). Konsep ini merupakan konsep dasar ontologis dalam filsafat
al-Ḥikmah al-Muta‘āliyah. Mulla Sadra sebagaimana dengan filosof lain beliau
mencoba menjawab persoalan yang terjadi antara wujud dan entitas. Eksistensi

16
Ibnu Rusyd, Al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillāh, 162
17
Teosofi = Theosophy, berasal dari kata theos, yang berarti Tuhan dan shophia
yang berarti knowledge, doctrine, dan wisdom (pengetahuan, ajaran pokok dan hikmah).
Pembahasan yang menukik pada inti permasalahan yang berkaitan dengan ketuhanan, yakni
dengan menyelami misteri-misteri ketuhanan yang paling dalam. Pokok kajian teosofi
adalah menyingkap misteri ketuhanan yang masih tersembunyi. Amroni Drajad,
Suhrawardi, Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta, LKIS, 2005), 217-218
18
Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al-Din
al Syirazi. Mulla Sadra lahir kira-kira tahun 980 H/1572 M dan meninggal pada tahun 1050
H/1640 M.
19
Kosmic, Manual Training Filsafat (Jakarta: Kosmic, 2002), 233

8
merupakan realitas yang paling nyata dan jelas. Tidak ada apapun yang dapat
memberikan suatu definisi kepada eksistensi. Beranjak dari eksistensi yang
jelas ini Mulla Sadra masuk pada salah satu tema pokok ontologinya, bahwa
antara eksistentsi dan entitas terjadi hanya ada alam perbedaaan alam pikiran
sedangkan diluar hanya terdapat suatu realitas, maka manakah di antara
eksistensi dan ententitas yang real dan hakiki.

b. Waḥdat Al-Wujūd
Berkaitan tentang ke-Esa-an atau keanekaragaman wujūd dan yang
maujūd terdapat empat kemungkinan interprestasi menurut Mulla Sadra yang
terjadi, yaitu;20
1) Keesaan wujūd dan yang maujūd
2) Keanekaragaman yang wujūd dan maujūd
3) Keesaan wujūd dan keanekaragaman yang maujūd
4) Keanekaragaman wujūd dan keesaan yang maujūd
Dari keempat kemungkinan tersebut, Mulla Sadra menempatkan
kemungkinan yang ketiga sebagi keyakinaannya, dan kemudian
menginterpretasikan dari sudut pandang ke-Esa-an dan tingkatan wujūd,
dimana yang Esa memanifestasikan diri di dalam yang beranekaragaman dan
yang beranekaragaman di dalam yang Esa. Sekalipun demikian, penempatannya
terhadap ke-Esa-an wujud dan keanekarangaman yang maujud tidak berarti
meniadakan prinsip ke-Esa-an wujud dan yang maujud yang merupakan
keyakinan kaum sufi. Dengan demikian ia berusaha mensintesiskan kedua
pandangan tentang ke-Esa-an wujud yang telah dikemukakan terdahulu, yaitu
pandangn para pengikut filosof isyraqi dan sufi terkemuka yaitu terutama aliran
Ibnu ‘Arabi.
Menurut Mulla Sadra ada tiga tingkatan wujud yaitu;
Pertama; Wujud murni, yaitu wujud yang tidak ketergantungan kepada
selain dirinya dan tidak terbatasi. Kaum sufi menyebut tingkatan ini sebagai al-
ḥiwāyah al-ghaibiyah (hakekat yang tersembunyi), al-ghaib al-muṭlaq (yang
tersembunyi secara mutlak) dan zat-zat al-aḥādiyah (zat atau esensi dalam ke-
Esa-an-Nya). Kedua; Wujud yang keberadaannya tergantung kepada selain
dirinya. Ia merupakan wujud terbatas dan dibatasi oleh sifat-sifat yang
merupakan tambahan pada dirinya dan disifati oleh penilaian-penilaian yang
bersifat terbatas, seperti akal-akal, jiwa-jiwa, benda-benda langit, unsur-unsur
serta komponen-komponen yang membentuk manusia, hewan-hewan, tumbuh-
tumbuhan, batu-batuan, dsb. Ketiga: Wujud absolut dalam penyebarannya,
yang generalitasnya jangan dikaburkan dengan universalitasnya, sebab wujud
adalah aktualitas yang murni, sedangkan konsep universal berada dalam

20
Diauddin, Aliran Filsafat Islam (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah) Mulla Shadra“
Nizham, Vol. 02 No. 01, (Januari-Juni 2013): 62

9
potensialitas, yang membutuhkan sesuatu untuk ditambahkan kepadanya agar
ia menjadi aktual dan kongkret.

c. Tashkīk al-Wujūd
Tashkīk al-Wujūd (ambiguitas wujud) Menurut Mulla Sadra, eksistensi
adalah realitas tunggal, namun memiliki gradasi yang berbeda. Misalnya
māhiyat al-Nur, dapat dibandingkan bahwa semuanya adalah cahaya, tetapi ada
cahaya matahari, lampu, lilin. semuanya adalah cahaya, tetapi dengan predikat
yang berbeda; muncul dalam manifestasi dalam kondisi yang berbeda. Gradasi
ini tidak terdapat pada māhiyah. Tetapi pada wujud; bukan pada esensi.21
Dengan mengutip entitas cahaya-cahaya dari Suhrawardi, Mulla Sadra
menggambarkan bahawa eksistensi seperti cahaya yang satu tetapi berbeda
dalam kualitas; ada cahaya matahari, ada cahaya lampu dan ada cahaya lilin,
perbedaan ketiga-nyalah pada kualitas cahaya sedangkan cahayanya satu.
Begitu pula pada eksitensi Tuhan, malaikat, semesta, manusia binatang dan
sebagainya. Semuanya satu eksistensi dengan perbedaan kualitas. Gradasi ini
hanya terjadi pada eksistensi dan tidak pada entitas.22

d. Al-Wujūd al-Dhihnī
Al-Wujūd al-Dhihnī (eksistensi mental). Bahwa di balik eksistensi
ekternal terdapat eksistensi yang lain yang tidak memiliki efek-efek tersebut
dan dinamakan dengan eksistensi mental. Api eksternal yang kita saksikan
memiliki efek lazim seperti panas dan membakar, tetapi api yang muncul dalam
kesadaran mental tidaklah memiliki efek lazim sebagaimana eksistensi
eksternalnya. Apa yang hadir dalam mental itulah yang disebut eksistensi
mental. Argumen dikemukakan Mulla Sadra mengenai hal ini adalah:
1) Jika kita membayangkan sesuatu yang non eksis dalam eksistensi eksternal,
(seperti gunung emas, lautan alkhohol, bersatunya dua hal yang
bertentangan) sesuatau tersebut menjadi eksis dan tidak mungkin eksis
pada realitas eksternal, maka pastilah satu yang lain di sebut mental.
2) Gambaran sesuatu yang memiliki atribut general (kulli) seperti manusia
bersifat general, hewan bersifat general. Hal ini mempunyai isyarat akal
yang tidak mungkin terealisir kecuali hal tersebut eksis. Ketika tidak
mungkin ditemukan bagi sesuatu yang general tersebut pada realitas
eksternal maka tidak lain posisinya berada pada realitas mental.
3) Kita dapat memisahkan aksiden dari subtansi sebagi tempatnya bergantung
atau menempel, seperti warna putih dari dinding, realitas eksternal sama

21
Jalaluddin Rahmat, “Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd”, Al-
Hikmah. Nomor 10 (Juli-September 1993): 72-80.
22
Diauddin, Aliran Filsafat, 64

10
sekali tidak mungkin menunjukkan keterpisahan dan hal tersebut terjadi
hanya pada realitas mental.23

e. Al-Wāḥid
Al-Wāḥid lā Yaṣduru Minhu illā al-Wāḥid (Tidak Keluar dari yang
Satu kecuali Satu) Konsep ini dikenal juga sebagai kaedah al-Wāḥid dan dalam
filsafat disebut emanasi. Menurut Mulla Sadra dalam konsep ini Tuhan sebagai
zat hakiki sederhana (baṣiṭ) tanpa ada unsur lain membentuk diri-Nya sendiri
dari zat-Nya. Zat yang sederhana seperti ini tidak berkomposisi dengan unsur-
unsur lain tidaklah mungkin melahirkan satu zat lain yang sekaligus secara
horizontal plural, pluralitas hanya terjadi jika setiap sesuatu memiliki
spesifikasi yang berbeda dari selainnya, hal ini menunjukkan adanya pluralitas
pada eksistensi sebelumnya sedangakan eksistensi sebelumnya hanyalah satu,
hal tersebut akan menyebabakan bersatunya unsur-unsur yang saling
bertentangan pada eksistensi pertama dan demikian jelas tidak mungkin. Maka
menurut Mulla Sadra yang benar adalah; munculnya eksistensi pertama dari zat
yang satu tidak mungkin lebih dari satu dan berikutnya eksisitensi pertama
akan memunculkan eksisitensi kedua dan seterusnya, semakin jauh dari sumber
eksistensi semakin terjadi polarisasi dan pada akhirnya akan menyebabakan
pluralitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas.24

f. Al-Ḥarakāt al-Jawhariyāt
Al-Ḥarakāt al-Jawhariyāt (Gerakan Substansial). Filosof terdahulu
berpendapat bahwa, gerakan hanya terjadi pada empat katagori entitas yaitu;
kam (kuantitas), kayf (kualitas), waḍ‘ (posisi), dan āniyah (tempat). Jawhar
(substansi) dalam pandangan ini bersifat tetap karena hanya terjadi perubahan
dan gerakan pada empat kategori tersebut, keberadaan utama jika terjadi
perubahan pada subtansi adalah ketidak mungkinan melakukan penempatan
terhadap sesuatu.
Menurut Mulla Sadra tidak mungkin gerakan hanya terjadi pada
aksidensi (‘arḍ) karena aksidensi selalu bergantung pada substansi, sehingga
jika terjadi gerakan pada aksiden hal tersebut jelas menunjukkan gerakan yang
terjadi pada subtansi. Manusia menurut Mulla Sadra awalnya berasal dari
materi pertama (al-mādāt al-ūlā) yang bergabung dengan bentuk (sūrah),
melalui gerakan substansial unsur-unsur tersebut mengalami perkebangan dan
perubahan, materinya berkembang menjadi gumpulan darah, kemudian janin,
bayi, anak- anak, remaja, dewasa, tua, dan hancur. Sedangkan bentuknya
berkembang menjadi al-nafs al-mutaḥarrikāt, kemudian al-nafs al-ḥayawānāt,

23
Khalid al-Walid, Tasuwuf Mulla Sadra (Bandung : Muttahari Press, 2005) , 46
24
Diauddin, Aliran Filsafat, 66

11
dan al-nafs al-insāniyāt. Gerakan subtansial yang terjadi pada jiwa menuju
kesempurnaan.25
Dari uraian singkat ini, sangat penting untuk menganalisa lebih dalam akan
rasionalitas argunmen-argumen akan wujud Tuhan. Tidak saja menggali konsep-
konsep yang telah ada namun juga bagaimana penerapan konsep-konsep tersebut
dalam membuktikan wujud Tuhan. Demikian penulis bermaksud mengekplorasi
kembali secara integral atas argumen-argumen tentang wujud Tuhan dengan
rasionalitas pembuktian khususnya studi pemikiran Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra
dalam disertasi, dengan judul ”Argumentasi Wujud Tuhan: Studi Pemikiran Ibnu
Rusyd dan Mulla Sadra”. Semoga kajian ini bermanfaat bagi khazanah ilmu
pengetahuan dan keislaman.

B. Identifikasi Masalah
Dari uraian di atas, ada beberapa permasalahan yang teridentifikasi adalah
sebagai berikut:
a. Masih terdapat pemahaman sepihak atas argumentasi wujud Tuhan dari satu
sisi, baik sisi teologis, filosofis ataupun sisi lain yang sebenarnya bisa
dipadukan.
b. Argumentasi wujud Tuhan adalah bagian terpenting dalam membuktikan
Wujud Tuhan itu sendiri, maka pemahaman harus lebih integral dan relevan,
baik dari sisi metode ataupun pendekatan argumentasi.
c. Kolaborasi metode baik secara teologis, maupun filosofis atas argumentasi
wujud Tuhan setidaknya dapat memadukan konsep argumentasi baik secara
bayānī, burhānī, ‘irfānī dan tajrībī.
d. Pemikiran atas argumentasi wujud Tuhan dewasa ini, dirasa mulai
ditinggalkan, ini terbukti tidak banyak penelitian atas konsep-konsep
ketuhanan, khusunya konsep pemikiran Islam yang berkaitan dengan aspek
filosofis, teologis dan teleologis.

C. Rumusan Masalah
Setelah membaca beberapa literatur ilmiah baik klasik, keislaman dan sedikit
memahami permasalahan yang ada dalam pemikiran teologi dan filsafat, maka
dalam pembahasan ini penulis merumuskannya sebagai berikut;
1. Sejauh manakah otentisitas dan relevansi argumentasi ketuhanan Ibnu Rusyd
dan Mulla Sadra dalam khazanah pemikiran Islam.
2. Mungkinkah menyatukan konsep dan argumentasi wujud Tuhan Ibnu Rusyd
dan Mulla Sadra?
3. Bisakah argumentasi wujud Tuhan Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra menjadi bagian
dari solusi rasional dan religius atas jawaban wujud Tuhan?

25
Khalid al-Walid, Tasuwuf Mulla Sadra, 50

12
Demikianlah beberapa pertanyaan yang menjadi rumusan pembahasan
dalam disertasi ini.

D. Batasan Masalah
Pembahasan akan wujud Tuhan, apalagi dengan berbagai argumen,
setidaknya akan memunculkan perdebatan yang tidak ringan, hal ini berimplikasi
pada melebarnya permasalahan ketuhanan itu sendiri. Penulis membatasi
pembahasan hanya sekitar konsep wujud Tuhan dengan mengambil studi pemikiran
konsep wujud Tuhan perspektif Ibnu Rusd dan Mulla Sadra.

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis argument-argumen wujud
Tuhan baik dari Ibnu Rusyd, Mulla Sadra atau tokoh lain dan menemukan argumen
yang dapat dipertanggung jawabkan baik secara akademis maupun ilmiah. Sebab
dalam berbagai perdebatan yang berkaitan dengan wujud Tuhan, baik teolog,
ilmuwan ataupun filosof lebih mengedepankan argumen yang bersifat parsial,
mereka umumnya hanya mengemukakan pandangan dari satu sisi, ada yang hanya
bedasarkan argumen teologi, argumen filsafat, atupun argumen ilmiyah saja. Maka
studi pemikiran wujud Tuhan perspektif Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra diharapkan
dapat menjembatani dari sekian pandangan dan perspektif. Kedua Argumen
tersebut diharapkan mampu mengakomodir argumen baik dari teologi, filsafat,
tasawuf ataupun ilmiyah, walupun sejatinya keuda argumen yang disampaikan oleh
Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra sendiri merupakan bagian dari filsafat religius.

F. Signifikasi Penelitian
Dalam perspektif akademik, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih ilmiyah sekaligus melengkapi hasil-hasil penelitian sebelumnya dan
dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya. Sementara dalam perspektif
kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan sebagai infomasi penting
sebagai pandangan filosofis religius untuk tambahan ilmu pengetahuan keagamaan,
khususnya pemahaman atas Tuhan, Tuhan, dan argumen-argumen penting untuk
menguatkan baik penguatan keimanan ataupun penguatan reflektif terhadap
keyakinan akan wujud Tuhan.
Dalam kaitan ini juga, diharapkan umat Islam ataupun umat lainnya, dari
berbagai kalangan dapat melakukan evaluasi secara komprehensip terkait bahasan
teologis, filosofis dan teleologis dari disertasi ini sebagai tujuan ilmiyah dan
akdemis. Di sisi lain berkembangnya paham ateisme dengan argumentasi
filosofisnya berupaya melakukan perdebatan diskursif, sehingga perlu adanya
argumentasi baik secara apriori atupun aposteriori untuk memberikan jawaban
logis.

13
Terakhir, dalam kaitannya dengan kepustakaan, hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi sumber bacaan sekaligus informasi penting dan
pengetahuan yang bermanfaat bagi pembaca dalam mendalami kajian filsafat dan
teologi, khususnya dalam upaya pembuktian Tuhan secara ilmiyah, rasional dan
kontemplatif.

G. Kajian Terdahulu
Kajian terdahulu yang meneliti masalah wujud Tuhan tentunya telah ada,
baik dalam bentuk jurnal, karya ilmiyah, tesis atapun disertasi. Namun secara
khusus dengan menggunakan pendekatan kolaborasi pendekatan dan metode
sampai saat ini – secara pribadi – sulit untuk menemukannya. Dari beberapa tulisan
dan sampai saat ini saya penulis baca, masih bermuara pada perdebatan individal
dengan kajian dan argumen-arumen (parsial) tertentu saja. Dalam konteks inilah
eksplorasi atas kajian wujud Tuhan berdasarakan kolaborasi argumen baik bayānī,
burhānī, ‘irfānī dan tajrībī sangat menarik, disatu sisi argumen teleologis
menyandarkan argumentasi pada pendekatan fiosofis, di sisi lain argumen rasional
yang bersarkan pada pemahaman religius dan keagamaan mendukung rasionalitas
filsafat, atau sebaliknya, rasionalitas filsafat menguatkan argumen religius.
Terjadinya kolaborasi argumentasi yang saling menguatkan inilah yang
pada akhirnya dijadikan tujuan kajian teleologis, sehingga kajian akan lebih,
menarik, relevan, integral dan komprehensip. Sebab, pada kajian pemikiran
argumentasi ketuhanan, baik dalil-dalil yang bersifat naqli maupu ‘aqli,
bekerjasama menemukan hakekat dari wujud Tuhan.
Sebagai sebuah kajian tentang pemikiran, maka untuk memahami
pemikiran ini tidak lepas dari kajian-kajian sebelumnya yang menggambarkan
pemikiran, khususnya kajian mengenai wujud Tuhan. Kajian-kajian tersebut
merupakan pendekatan yang dikemukakan dalam kerangka pemahaman atas Tuhan,
wujud Tuhan, dan hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan.
Setelah menelusuri dan menelaah litaratur yang penulis pandang memiliki
relevansi dengan penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
1. Yusuf Suyono dalam Desertasinya berjudul “Bersama Ibnu Rusyd Menengahi
Filsafat dan Ortodoksi” Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1993.
Dalam disertasinya yang berisi tentang korelasi akal dan wahyu dari pandangan
Ibnu Rusyd dalam buku faṣl al-maqāl. Bahwa sebenarnya filsafat dan agama
tidaklah bertentangan, karena wahyu itu mengundang akal untuk memahami
semua kehidupan manusia hanya saja akal manusialah dalam memahami wahyu
sering bertentangan, karena masing-masing akal manusia mempunyai watak
dan kecenderungan sendiri, oleh karena itu akal dan wahyu tidak bertentangan.
Kaitan disertasi ini dengan penelitian penulis adalah dalam sisi elaborasi
sintsis dalam menggunakan argumentasi bayānī dengan menggunakan
penjelasan wahyu dengan argumentasi rasional yang bersifat burhānī Ibnu

14
Rusyd, sehingga secara laogis dan religius dapat memberikan pengutan
terhadap konsep ketuhan.
2. Aminullah Elhady dalam Disertasinya “Filsafat Ibnu Rusyd; Kritik terhadap
Pandangan Mutakallimin dan Falasifah tentang Konsep Ketuhanan” tahun
2000, setidaknya mencoba memaparkan respon Ibnu Rusyd yang lebih kritis
terhadap pandangan mutakallimin mengenai konsep ketuhanan. Aminullah
menempatkan Ibnu rusyd sebagai kelompok ahl al-burhān, yakni mereka yang
menenmpuh jalan interpretasi dalam memahami dalil-dalil dengan metode
pembuktian26. Dalam konsep Tuhan Ibnu Rusyd yang menggunakan dalīl
ikhtirā’ dan dalīl ‘ināyah dianggap oleh Aminullah Elhady, merupakan
pembuktian yang rasional dan relevan pula dengan syari’at sehingga antara
rasio dengan syaria’t secara tegas membuktikan adanya Tuhan.
3. Jurnal Penelitian Nurisman Dosen Jurusan Ushuluddin dan Pascasarjana IAIN
Surakarta yang berjudul “Pemikiran Metafisika Al-Farabi” yang dimuat yang
dimuat di Jurnal Dinika Volume 3 tahun 2004.
Dalam tulisan ini Nurisman mencoba menjelaskan konsep metafisika Al-
Farabi terutama eksistensi manuasia dan Tuhan. Menurutnya, Manusia adalah
produk masyarakat tertentu. Ia adalah anak zamannya. Manusia tidak
membentuk dirinya sendiri. Opini-opini pribadi dibentuk oleh masyarakat tempat
tinggalnya27 Setiap pemikiran selalu mewakili zamannya dan hasil dialektika
dengan sejarahnya. Hasilnya terkadang spekulatif dan terkadang pula hasil
pengembangan pemikiran yang sudah ada. Diskusi tentang metafisika ini
sudah dimulai dari masa Yunani Kuno yang mempersoalkan tentang being atau
“yang ada”28.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menguraikan atas masing saling
mengeritik antara satu filosof dengan filosof lain, misalnya Heraklitos dikritik
oleh Parmaneides 29, Plato dikritik oleh Aristoteles (Guru Pertama)30.

26
Aminullah El-Hady, dalam Disertasi; “Filsafat Ibnu Rusyd; Kritik terhadap
Pandangan Mutakallimin dan falasifah tentang Konsep Ketuhanan” (IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2000): 286-287.
27
Dave Robinson dan Chris Barratt, Ethics for Beginner alih bahasa Agus Salim
dan Faizah Sari, Mengenal Etika (Bandung: Mizan, 1998), 4
28
K. Bertens, Panorama Filsafat Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), 163
29
Rizal Mustansyir, “Postmodernisme: Aliran Filsafat atau Bukan” Makalah
Diskusi Filsafat Kontemporer Program Studi Ilmu Filsafat Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, (1993): 3
30
Dalam tradisi Barat, kritik epistemologis-metafisis berjalan wajar tanpa halangan
dan kecurigaan yang cukup berarti. Pergumulan antara pemikiran tradisi idealis dan tradisi
empiris berjalan sejak Plato dan Aristoteles diteruskan dan dikembangkan oleh David Hume
dan Immanuel Kant dan kemudian dilanjutkan hingga sekarang oleh kelompok Frankfurt
dengan kritik idologi. Ada sinergi dan dialektik antara wilayah epistemologi ke etik dan
metafisik, tidak hanya terhenti pada dataran epistemologi atau dataran etikmetafisik semata

15
Heraklitos berteori bahwa hakikat kenyataan adalah perubahan. Teori ini
ditentang oleh Parmanides yang berpendapat bahwa hakikat kenyataan adalah
yang tetap. Plato berusaha mengkompromikan wacana ini dengan cara
mengakomodir keduanya. Baginya hakikat kenyataan adalah dua yaitu yang
tetap (alam ide) dan yang berubah (alam nyata). Plato sendiri berpihak kepada
alam yang tetap yaitu alam ide sebagai hakikat sesungguhnya kenyataan.
Sedangkan alam yang berubah yaitu alam nyata hanyalah bayangan saja.
Aristoteles murid Plato juga mencoba memecahkan masalah ini. Ia mengikuti
pembagian kenyataan ini kepada dua yaitu yang tetap (form) dan yang berubah
(matter). Aristoteles, berbeda dengan Plato, berpihak pada yang berubah. Dalam
penyusunan logika yang terbagi kepada dua belas kategori pada hakikatnya ia
membagi kepada dua yaitu esensi (satu kategori) dan aksidensi (11 kategori). Al-
Farabi seperti Aristoteles membedakan antara materi dan bentuk. Materi
merupakan kemungkinan, sedangkan bentuk yang menentukan
kemungkinan itu. Sebagai contoh ia mengatakan bahwa kayu sebagai materi
mengandung banyak kemungkinan: menjadi kursi, lemari dan sebagainya.
Kemungkinan itu barulah terlaksana menjadi suatu kenyataan kalau diberi
bentuk. Misalnya bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya31.
Dalam tulisan ini penulis menjelaskan konsep ketuhanan Al-Farabi
mengenai Wujud Tuhan dan konsep emanasi Al-Farabi. Menurutnya Ilmu
filosofis tertinggi adalah metafisika (al-ilm al-ilāhy) karena materi subyeknya
berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki
wujud. Dalam terminologi religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan
malaikat. Dalam terminologi filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama,
sebab kedua, dan intelek aktif32.
Dalam kajian metafisika salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan
tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam. Segala
yang ada selain Allah adalah makhluk, diciptakan (hadīth). Tetapi bagaimana
yang banyak keluar dari yang Ahad memunculkan diskusi yang mendalam.
4. Artikel yang ditulis oleh Fadhli Rahman (STAIN Palangkaraya) yang dimuat
dalan Jurnal Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Volume 3 No. 2 tahun 2006
yang berjudul “Singularitas Eksistensi Tuhan; Memahami Konsep Al-Waḥdah
al-Muthlaqah-nya Ibn Sab’in”
Mungkin artikel ini sedikit berbeda pembahasannya, dari sisi dan sudut
pandang yang lain, Fadhli Rahman mencoba menjelaskan eksistensi Tuhan

tanpa mengenal wilayah lain. M Amin Abdullah, “Pemikiran Islam dan Realitas Masyarakat”
dalam Jurnal Penelitian Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 5, (1993): 7-8
31
Abdullah Siddik, Islam dan Filsafat, Cet ke 1. (Jakarta: Triputra Masa, 1984),
91
32
Osman Bakar, Hiererki Ilmu Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu
(Bandung: Mizan, 1997), 120

16
dengan konsep yang berbeda, yakni dari sisi teosofi (teologi sufistik). Yang
menjadi fokus dalam pembahasan ini, penulis mencoba menjelaskan konsep
eksistensi Tuhan dalam padangan Ibnu Sab’in dengan konsep al-Waḥdah al-
Muṭlaqah-nya.
Penulis menjelaskan bahwa, doktrin al-Waḥdah al-Wujud lbnu ‘Arabi
telah membangkitkan polemik panjang yang tidak berkesudahan di antara
para pengecam dan pembela doktrin ini. Persoalan inti dan paling essensial
yang memancing polemik adalah mungkinkah Tuhan identik dengan Islam?
Apakah antara Tuhan dan yang lain memiliki sebuah hubungan ontologis
(panteisme)? Problem dan analisis yang dipresentasikan lbn ‘Arabi dengan
Waḥdah al-Wujūd-nya berhadapan langsung dengan persoalan eksistensial dan
hakikat makna serta tujuan hidup itu sendiri; yaitu pertanyaan tentang apakah
dan siapakah Sang Wujud Mutlak itu? Jika Wujud Mutlak itu hanyalah
Allah, sedangkan yang lain relatif - yang secara ekstrim - sesungguhnya
wujud relatif itu hilang di hadapan Yang Mutlak maka di manakah posisi wujud
relatif tadi? Serta apakah artinya wujud-wujud selain-Nya?
Pandangan lbnu Sab’in tentang al-Wa ḥdah al-Mu ṭ laqah-nya
merupakan implementasi dari tingkatan yang keernpat terhadap paradigma
ketauhidan di atas. Sebagai pencetus paham yang menolak konsep dualisme
wujud, bagi lbn Sab'in, eksistensi hanya bersifat tunggal (singularitas). 19 Di
sini secara esensial, gagasan paharnnya tersebut mungkin terlihat simplistik.
Wujud hanyalah satu alias wujud Allah an sich. Sedangkan wujud-wujud
lainnya hanya wujud Yang Satu itu sendiri. Artinya, wujud-wujud selain wujud
Yang Satu adalah tidak ada. Karena itu wujud, dalam kenyataannya, hanya satu
persoalan yang tetap.
lbn Sab'in dalam al-Waḥdah al-Mu ṭ laqah-nya ini menempatkan
ketuhanan pada wilayah yang absolut. Sebab wujud Allah, menurutnya, adalah
sumber segala yang ada pada masa lalu, masa kini, ataupun di masa depan.
Sementara wujud materi yang tampak ia tunjukkan pada wujud mutlak yang
rohaniah. Dengan demikian, berarti paham ini dalam menafsirkan wujud
bercorak spiritual, dan bukan material.
Bagi sementara pihak yang menuduh - bahkan memvonis - bahwa
karena bersifat asketis, anti rasionalitas, dan membunuh perkembangan
intelektualisme, mistisisme dalam Islam (tasawuf) dianggap sebagai penyebab
kemunduran dunia Islam, dan jika hal itu dihadapkan pada kenyataan sejarah,
dengan mencoba mengeksplorasi eksistensi pemikiran para tokoh-tokoh sufi
yang bercorak filosofis, maka anggapan-anggapan tersebut akan menarik
untuk dibantah. Seperti – misalnya – apa yang telah diekspresikan lbn
Sab'in dengan al-Waḥdah al-Muṭlaqah-nya, merupakan produk pemikiran
jenius dari kedalaman dan keluasan wawasan berpikir, terlepas dari
kontroversi dan paradoks-paradoks yang ada dalam pemikirannya, kita bisa

17
melihat bahwa orisinalitas filsafat Ibn Sab'in terletak pada studi komparasi
yang dibuat antar-alirannya (tentang paham kesatuan mutlak) dengan aliran
fuqaha, teolog, dart bahkan fiiosof menurut Fadhli rahman, di antara
kesimpulan penting dari pandangan Ibn Sab'in tersebut ialah bahwa entitas
itu hanya satu dan berwujud tunggal absolut. Eksistensi ruang lingkup
wujud selain Yang Tunggal merupakan keberadaan yang ditolak. Baginya
keberadaan logika-logika seperti genus, species, digatence, proper, accident yang
memberi kesan adanya wujud yang jamak, semua itu sekadar ilusi belaka.
5. Jurnal Penelitian oleh Samsul Huda33 dalam Kajian “Diskursus Tuhan dalam
Pemikiran Etika Immanuel Kant; Memaknai Agama dalam Kehidupan
Manusia” (Media Akademika Vol. 26, Januari 2011) , walapun hanya beberapa
halaman, agaknya pemaparan tentang argumen eksistensi Tuhan cukup baik.
Samsul Huda mencoba memaparkan berbagai argumen eksistensi Tuhan dari
berbagai aspek, seperti ontologis, kosmologis, dan teleologis.
Pemaparan-pemaparan yang disampaikan mencoba mengelaborasi
berbagai argumen untuk dijadikan penguatan terhadap pembuktian wujud
Tuhan. Walaupun memang pada topik yang diangkat adalah eksistensi Tuhan
berdasarkan sistem etika dan moral perspektif Immanuel Kant, namun dia tidak
saja menjelaskan perspektif Immanuel Kant, namun mencoba menjelaskan
secara sistematis dari argumen ontologis, kosmologis dan teleologis.
Samsul Huda juga mencoba menolak argumen-argumen yang
disampaikan beberapa filosof Barat seperti David Hume, Frederic Nietzsche,
Karl Mark dan Thomas Hubbes yang mendistorsikan agama dan Tuhan.
Argumen yang dibangun merupakan argumen rasional, religius yang didasarkan
dari beberapa pemikir Barat seperti Anselmus Van Canterburi (1033-1109),
Rane Descartes (1596-1650), William Valley (1743-1805) dan juga mendasarka
argumen pada beberapa filosof Muslim, Sperti Ibnu Shina, Ibnu Rusyd dan
Mulla Shadra.
6. Alfredo Rimper dalam Disertasinya berjudul, “Konsep Allah Menurut Thomas
Aquinas (Sebuah Telaah Filsafat Ketuhanan)”, Universitas Indonesia Depok,
tahun 2011. Kajian disertasinya membahas landasan dasar Konsep Ketuhanan
Thomas Aquinas. Filsafat ketuhanan Thomas Aquinas pada hakekatnya telah
berusaha menempatkan secara proporsional kedudukan akal, wahyu dan kodrati
sesuai dengan kapasitasnya masing-masing dan berusaha memurnikan ajaran
wahyu dari segala bid’ah dari para filosof serta untuk menggapai dari ajaran-
ajaran Aristoteles, Thomas Aquinas lebih bersifat kompromistis dan
mengambil jalan tengah.

33
Samsul Huda, adalah peneliti pada Pusat Penelitian IAIN Sultan Thaha
Syafuddin, Jambi.

18
7. Artikel yang ditulis oleh Fariz Pari (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) yang
dimuat dalan Jurnal Kanz Philosofia Vol. 1 Nomor 1, Agustus-November 2011
yang berjudul “Pengalaman Rasional Eksistensi Tuhan: Pengantar Ontoteologi”
Dalam tulisan ini, penulis mencoba memberikan penjelasan mengenai
konsep Eksistensi Tuhan. Dia mencoba menjelaskan keyakinan tentang wujud
Tuhan yang disandarkan pada argumentasi ontologi dan teologi Immanuel Kant
dengan konsep sebab “adanya dunia”. Penulis beranggapan bahwa Konsep
ontoteologi dikemukakan dalam konteks filsafat pertama kali oleh
Immanuel Kant dalam karyanya “ Critique of Pure Reason” dalam anak
judul “Critique of All Theology Based upon the Speculative Principle of Reason”
(Kant, Critique 354). Kant mengungkapkan konsep ini dalam konteks semua
usaha rasional yang membuktikan keberadaan Tuhan (existence of God). Tuhan
adalah sebab “ada dunia.” Pandangan tentang semua “bukti-bukti”
menggunakan argumen ontologis untuk keberadaan Tuhan. Namun bagi
Kant, rasio tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Oleh karena itu Kant
menulis karya monumental lainnya, yaitu “ Critique of Practical Reason,”
yang menunjukkan bahwa keberadaan Tuhan lebih dapat dibuktikan dengan
nalar praktis.
Menurut penulis ada empat pembuktian yang dijadikan argument
eksistensi Tuhan, yakni pembuktian empiris, pembuktian rasional,
pembuktian kausalitas dan pembuktian sains.
Menurutnya, Pembuktian empiris terhadap ada atau tidak ada Tuhan
tidak dapat dilakukan. Karena, Tuhan merupakan objek metafisik, yang
tidak dapat dicerap indrawi manusia. Oleh karena itu, jika tidak dapat
dibuktikan ada Tuhan, maka tidak dapat dibuat kesimpulan, secara
otomatis, bahwa Tuhan tidak ada. Demikian juga sebaliknya, jika Tuhan
tidak dapat dibuktikan ketidak beradaan-Nya, maka tidak dapat serta merta
disimpulkan bahwa Tuhan menjadi ada. Oleh karena itu, secara empiris, Tuhan
tidak dapat dikukuhkan ataupun dibatalkan keberadaan-Nya, sehingga tidak
dapat juga disimpulkan bahwa Tuhan ada ataupun tidak ada.
Sementara pada pembuktian rasional berdasarkan pada silogisme
deduktif berdasarkan logika. Pembuktian silogisme adalah proses
pembuktian keberadaan Tuhan berdasarkan logika deduktif. Dalam proses
silogisme minimal ada dua unsur premis, yaitu mayor dan minor. Dari kedua
premis ini menghasilkan satu proposisi kesimpulan. Pada umumnya logika
yang dibangun adalah sebagai berikut:
Semua yang ada adalah ada penciptanya (premis mayor)
Alam ini ada (premis minor)
Alam ada penciptanya (kesimpulan)
Dalam pembuktian kausalitas, penulis berusaha memaparkan konsep
“causa prima” Aristoteles. Pembuktian kausalitas adalah salah satu cara

19
membuktikan keberadaan Tuhan. Pembuktian ini dibangun pertama kali
dalam sejarah filsafat barat oleh Aristoteles, yaitu dengan konsep kausa
prima, penyebab utama.
Sementara pembuktian sains merupakan pengaruh dari perkembangan
Ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat itu
juga berdampak pada pembicaraan tentang keberadaan Tuhan. Para ilmuwan
cenderung menolak keberadaan Tuhan, di antaranya August Comte
pengembang Positivisme, Charles Darwin (1809-1882) yang terkenal dengan
teori evolusi dalam biologi, Emile Durkheim (1858-1917) dalam ilmu
pengetahuan sosiologi, Sigmund Freud (1856-1939) dalam ilmu psikologi, dan
perdebatan tentang keberadaan Tuhan juga dibicarakan dalam tokoh
fisikawan dalam perspektif ilmu fisika di antaranya Albert Einstein (1879-
1955) yang menemukan teori relativitas, atau Stephen Hawking (1942) yang
masih hidup dalam bidang kosmologi. Di samping itu, ada buku yang
membahas perdebatan keberadaan Tuhan dalam perspektif fisika baru yang
disusun oleh Paul Davies. 34

H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian disertasi ini adalah penelitian filsafat dengan jenis penelitian
pustaka, bukan penelitian empirik ataupun penelitian lapangan, sehingga data-data
yang diperoleh melalui kajian kepustakaan. Penelitian ini didasarkan pada
dokumen-dokumen pustaka, berupa buku-buku, kitab, jurnal, artikel yang terkait
dengan pembahasan tema utama. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
sumber primer, yaitu karya-karya yang berkaitan dengan wujud Tuhan dan konsep-
konsep ketuhanan, khususnya para filosof muslim dengan memasukkan pula
beberapa konsep filosof Barat sebagai bahan diskusi dan perbandingan. Di samping
itu penulis menggunakan literatur-litaratur lainnya yang sesuai dengan topik dan
tema serta permasalahan di atas. Jenis penelitian ini, dalam metodologi penelitian
filsafat dikenal dengan istilah jenis penelitian Sistematis-Spekulatif. Metode ini
mencoba membuat sintesis baru dari semua pengetahuan yang telah disepakati

34
Paul Charles William Davies, lahir 22 April 1946, di London Inggris, dia adalah
seorang fisikawan, penulis dan penyiar Inggris, seorang profesor di Arizona State
University serta Direktur BEYOND: Pusat Konsep-Konsep Fundamental dalam Sains. Ia
berafiliasi dengan Lembaga Pembelajaran Kuantum di Universitas Chapman, California. Ia
memegang sejumlah jabatan akademik diUniversity of Cambridge, University College
London, University of Newcastle upon Tyne, University of Adelaide dan Macquarie
University. Pemahaman risetnya adalah dalam bidang kosmologi, teori bidang kuantum,
dan astrobiologi (Wikipedia bahasa Indonesia). Lihat Buku Mencari Tuhan dengan Fisika
Baru karya Paul Davies (Penerbit Nuansa, 2006)

20
untuk dipertimbangkan dan disusun menjadi suatu pandangan/konsep ataupun
pengetahuan baru.35

2. Pengumpulan data
Penelitian disertasi ini termasuk dalam penelitian pustaka (library
research), suatu penelitian dengan menggunakan metode pengumpulan data dan
informasi dengan menggali sumber-sumber dari literatur berupa buku, kitab,
naskah, artikel dan sumber tertulis lainnya kemudian diidentifikasikan secara
sistematis dan analitis dengan didukung dengan berbagai sarana yang terdapat di
perpustakaan. Sedangkan data-data yang diperlukan dapat dicari dari sumber-
sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu disebut sebagai sumber utama,
dalam hal ini yang menjadi sumber utama adalah literatur yang berupa kitab-kitab,
buku, artikel yang berkaitan dengan ilmu kalam, filsafat dan khazanah ilmiah
keislaman lainnya. Di antara literatur tersebut adalah beberapa karya Ibnu Rusyd
seperti; Tahāfut al-Tahāfut, Al-Kashf ‘an Manāhij al-Adillah, Faşl al-Maqāl,
Talkhīṣ Kitāb al-Jidāl dan Rasā`il Ibnu Rusyd, Dalāil at-Tauḥid (Ash-Shikh
Muhammad Jamaluddin Al-Qasimy ad-Dimisyqy), dan Bukti-bukti Keberadaan
Allah (A-Qasim Ibnu Ibrahim), juga kitab-kitab karya Mulla Sadra seperti; al-
Ḥikmah al-Muta‘āliyah fi al-asfār al-‘Aqliyah al-Arba’ah, Al-Shawāhid al-
Rubūbiyyah, Mafātiḥ al-Ghayb serta beberapa kitab dan buku lainnya. Dan data
yang bersifat skunder, yaitu data-data yang lebih dahulu dikumpulkan dan
dilaporkan dari sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang
diteliti yang kemudian disebut dengan data atau sumber pendukung.

3. Pendekatan dan Analisis Data


Dalam pengumpulan data studi kepustakaan, penulis menggunakan analisis
isi (conten analysis). Analisis ini dimaksudkan untuk melakukan analisis terhadap
makna yang terkandung dalan keseluruhan pemikiran tentang wujud Tuhan dengan
segala argumentasinya dalam kajian teleologis perspektif Islam dengan
pengeleompokan melalui tahapan identifikasi, klasifikasi, kategorisasi, baru
kemudia dilakukan interpretasi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan filsafat dengan studi pendekatan hermeneutika. Adapun
hermeneutika yang akan digunakan dalam pendekatan ini menggunakan kolaborasi
antara hermeneutika Hans Georg Gadamer dan hermeneutika Paul Ricoeur.
Pendekatan hermeneutik merupakan metode analisis sebagai sebuah teori
yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks serta
tanda-tanda lain yang dianggap sebagai sebuah teks. Hermeneutika pada akhirnya

35
Anton Bakker, Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat
(Yogyakarta, Kanisius, 1990), 141

21
diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari sesuatu ketidak tahuan menjadi
mengerti serta dapat memahami dengan sebenarnya.36
a. Hermeneutika Hans-Georg Gadamer
Hermeneutika Gadamer yang digunbakan penulis adalah fusion of
horizon dan hermeneutical circle. Menurut Gadamer, dalam menafsirkan sebuah
teks, seseorang harus senantiasa memperbahrui pra-pemahamana dan
relevansinya dengan teori ”penggabungan atau asimilasi horizon” (fusion of
horizon).37 Teori ini menganggap bahwa proses penafsiran seseorang
dipengaruhi oleh dua horizon, yakni horizon makna teks dan horizon makna
pembaca. Kedua horizon ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan
penafsiran.38 Seorang pembaca teks akan mulai pemahaman dengan cakrawala
makna sendiri, yang seringkali berbeda dan bertentangan dengan horizon
makna teks. Dua bentuk horizon ini – menururt Gadamer – harus
dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh
karena itu, ketika sesorang membeca teks yang muncul pada masa lalu, maka
dia harus memperhatikan horizon di mana teks tersebut ditulis. Horizon makna
pembaca harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horizon makna
lain. Memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara
pada saat ini.
Interaksi antara kedua horizon tersebut dinamakan hermeneutical
circle. Menurut Gadamer, horizon pembaca hanya berperan sebagai titik pijak
dalam memahami teks, yang hanya merupakan sebuah pendapat atau
kemungkinan bahwa teks berbicara tentang sesuatu, yang tidak boleh dibiarkan
memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai titik pijaknya. Sebaliknya,
titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya
dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subyektifitas
pembaca dan obyektivitas teks. Dimana, makna obyektivitas teks harus lebih
diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.

36
Hermeneutika berasal dari kata Yunani “Hermeneuen” yang berarti
menginterpretasikan, menafsirkan, mengatakan dan menerjamahkan. Istilah ini merujuk
pada karya Aristoteles yang berjudul Peri Hermenias. Lihat Richard Palmers, Hermeneutics,
Interpretation theory in Sechleimacher, Dilthey, Heidegger and Gadamer, (Evanstone:
Northwestern Univerrsiti, 1969) 3 dan 43.
37
Ide dasar yang disampaikan oleh Gadamer adalah bahwa pendekatan kita
terhadap fenomena historis (karya seni, karya sastra, teks dan lainnya) teleh ditentukan
lebih dahulu oleh pemahman awal (pre-understandings) dari interpreter-interpreter
sebelumnya. Jadi, dengan melepaskan ikatan-ikatan kita sendiri terhadap obyek dan
menggantinya dengan hasil interpretasi dari para interpreter sebelumnya. Maka kita telah
berada pada suatu jaringan interpretasi. Dan emlalui kesadaran akan efek histories ini, dua
titik yang semula terpisah, yaitu subyek dan obyek, menjadi kesatuan yang menyeluruh.
Proses ini oleh Gadamer dinamakan fusi horizon (fusion of horizon).
38
A. Khozin Afandi, Langkah Praktis menyusun Proposal (Surabaya; Pustaka Mas,
2011), 216-220.

22
b. Hermeneutika Paul Ricoeur
Dalam hermeneutika Paul Ricoeur yang mempertahankan hermeneutika
sebagai seni dan sains, hermeneutika dihidupkan oleh dua motivasi, kehendak
untuk curiga dan kehendak menyimak; kesediaan untuk menentang dan
kesediaan untuk patuh. Dengan dasar itu dalam konteks pemahaman terhadap
teks, yang pertama harus dilakukan adalah upaya menjauhi idols (berhala)
dengan cara menyadari secara kritis kemungkinan berbaurnya harapan-harapn
kita dalam memahami sebuah teks, sehingga pemahaman terhadap teks itu
bukan berasal dari dalam diri kita sebagai pembaca. Kedua, diperlukan
kebutuhan untuk menyimak dalam keterbukaan terhadap lambang dan alur teks,
dengan demikian memungkinkan peristiwa-peristiwa kreatif terjadi di hadapan
teks dan berpengaruh terhadap kita.
Ricoeur menekankan pentingnya pemahaman tentang distanciation
(pengambilan-jarak). Setiap pemaknaan yang dilakukan oleh kesadaran terlibat
saat pengambilan jarak dari obyek yang diberi makna, pengembilan jarak
pengalaman yang dihayati sambil tetap secara murni dan lugas sependapat
dengannya.
Sebagai tambahan metodologi untuk analisis perbadingan epistemologis
digunakan konsep Abid Al-Jabiri mengenai konsep epistemologi filsafat Islam yang
meliputi; bāyānī, burhānī, ‘irfānī dan tajrībī. Dan Karena penelitian ini adalah
penelitian filsafat tentang konsep, maka buku Metode Penelitian Filsafat yang di
susun oleh Anton Baker dan A. Charris Zubair, agaknya cukup dapat melengkapi
Metodologi Penelitian, paling tidak menambahkan; interpretasi, penggunaan
induksi dan deduksi, koherensi intern, holistika, idealisasi, komparasi dan
heuristika39;
a. Interpretasi; yakni setepat mungkin menangkap penggunaan konsep yang
digunakan.
b. Induksi dan deduksi; yakni setiap pemakaian konsep dipelajari dengan suatu
case-study untuk menginventarisasikan segala arti, mengikuti semua
hubungannnya dan membentuk sebuah sintesis (induksi). Sebaliknya juga
pemahaman sepenuhnya itu, baik dalam konsep individual maupun dalam suatu
periode, dipergunakan untuk dengan lebih mudah dapat dimengerti
penggunaannya dalam kasus atau konteks khusus (deduksi). Kecuali itu peneliti
melibatkan diri dalam pikiran-pikiran itu.
c. Koherensi Intern; yakni variasi arti konsep dengan menyesuaikan dengan
konsep lain secara konsisten.
d. Holistika; melihat keseluruhan konteks pemikiran dari setiap sisi, baik
antropologis, ontologis, aksiologis dan epistemologis.

39
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian, 77-82

23
e. Idealisasi; yakni, pemahaman akan perkembangan konsep diusahakan menjadi
semurni mungkin, penyimpangan-penyimpangan daris proses ”bersih” dalam
masing-masing periode harus dimaklumi juga, akan tetapai tidak diberi tempat
penting, agar dinamika konsep tampil dengan se-universal dan se-ideal
mungkin.
f. Komparasi; yakni membandingkan di antara pemahaman-pemahaman konsep
yang merupakan unsur konstitutif bagi penelitian ini, menyelami kesamaan dan
perbedaan dari setiap konsep dan arti, sehingga menjadi sintesa yang dapat
dijadikan konsep baru.
g. Heuristika; yakni, memperhatikan dengan seksama akan kemungkinan
pemahaman baru, interpretasi baru, berdasarkan bahan baru atau pendekatan
baru dalam perjalanan penelitian.

I. Sistematika Penulisan
Disertasi ini terdiri dari tujuh bab dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Pada bab pertama, sebagai pendahuluan penulis penulis mencoba untuk
mengeksplorasi dan mengantarkan arah disertasi ini, sehingga dalam bab ini
cakupan sub-sub bahasannya meliputi latar belakang permasalahan yang diangkat,
permasalahan yang dielaborasi ke dalam rumusan masalah, baik dari identifikasi
masalah, pembatasan masalah dan rumusan penelitian. Dalam pendahuluan juga
dijelaskan beberapa penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian serta
metodologi penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam menyusun disertsi
ini.
Dalam bab kedua, penulis lebih dalam menjelaskan diskursus mengenai
konsep ke-Tuhan-an secara filosofis, baik dalam konsep masyarakat Klasik, filsafat
Yunani, filsafat Islam dan filsafat Barat. Penjelasan ini dimaksudkan untuk
menelusuri konsep dan kajian Tuhan dalam sejarah pemikiran filsafat. Penjelasan
konsep-konsep ke-Tuhan-an secara filosofis ini perlu diletakkan di awal
pembahasan dengan maksud secara komprehensip memahami konsep-konsep Tuhan
secara integral dalam pandangan filsafat, bukan dari pandangan lain. Tentunya dari
setiap konsep yang ada akan bermuara kepada eksistensi Tuhan itu sendiri.
Konsepsi Tuhan, tidak saja dilihat dari perspektif filsafat, sebagai bahan
kajian dari sisi lain pada bab ketiga penulis menyajikan pula konsep ke-Tuhan-an
dalam pandangan teologis dari tiga agama besar, yakni Islam, Yahudi dan Kristen,
serta beberapa agama agama lain. Hal ini perlu dijelaskan agar ada korelasi filosofis
dan teologis dalam memahami konsep dan argumen yang akan dijelaskan, sehingga,
baik filsafat ataupun teologi, bisa saling menguatkan argumen eksistensi Tuhan.
Untuk membuktikan eksitensi Tuhan secara teleologis, pada bab keempat,
penulis dengan secara mendalam mengelaborasi berbagai argumen yang mengarah
kepada tema pokok kajian, sehingga bab ini merupakan bab inti yang pertama.

24
Penulis mengelaborasi dengan pendekatan hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan
Paul Ricouer, dengan mengkaji pemikiran Ibnu Rusyd tentang konsep dan
argumentasi wujud Tuhan.
Bab kelima hampir dama dengan bab kempat, namum yang menjadi fokus
pemikiran adalah Konsep wujud dan argumentasi dalam perspektif Mulla Sadra
Bab keenam, merupakan analisa filosofis terhadap kedua pamikiran antara
Ibnu Rusyd dan Mulla Sadra yang telah dijelaskan dalam bab empat dan lima.
Analisa ini dikaji secara integral sesuai dengan metode hermenutika Hans-Georg
Gadamer dan Paul Ricouer dan metode epistemologi Abid Al-Jabiri sebagaimana
yang dijelaskan pada bab satu.
Bab ketujuh merupakan bab penutup yang merupakan kesimpulan penulis
yang dihasilkan selama melakukan penelitian.

25
26

Anda mungkin juga menyukai