Disusun Oleh :
SUNARDI PANJAITAN
NIM: 103044128050
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Disusun Oleh :
SUNARDI PANJAITAN
NIM: 103044128050
Dibawah Bimbingan
Bismillahirrahmanirrahim
paran segala kehidupan. Shalawat serta salam hanya bagi Nabi Muhammad Saw, sang
seluruh pihak yang turut serta dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “TEORI
1. Prof. Dr. HM. Amin Summa, SH., MA.,MM., selaku dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang kepadanya segala prestasi fakulas
ditambatkan
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku ketua jurusan al-Akhwal al-Syakhsiyah,
yang kami anggap sebagai bapak dan sekaligus sahabat bagi kami.
4. Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc., M.A dan Drs. Umar al Haddad, M.Ag., selaku
pembimbing skripsi ini, yang telah memberikan waktu untuk mengoreksi serta
5. Kepada seluruh dosen, di Fakultas Syariah yang selalu menyalakan bara api
6. Kepada Ayahanda dan bunda yang kasih sayangnya tak pernah sirna dalam
hidupku. Doa dan ridho mereka berdualah yang selalu menjadi obat penawar dan
menyelesaikan studi ini secepatnya. Berkat Doa dan dorongannya saya bisa
8. Kepada seluruh keluarga besarku, Pamanku, Kakek dan Nenek, Bibi dan
seluruhnya yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu yang selalu memberikan
Jakarta.
9. Kepada semua sahabatku yang tidak mungkin saya sebutkan satu persatu. Dari
mereka saya belajar banyak dalam mengarungi kehidupan yang tiada terduga ini.
Penulis
DAFTARA ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………….iii
BAB I
PENDAHULUAN…..…..……………………………………………
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………2
D. Metode Penelitian……………………………………………..9
E. Sistematika Penulisan……………….………………………..10
Islam………………………………………………………….23
C. Analisis……………………………………………………….55
V PENUTUP…………………………………………………………...64
A. Kesimpulan…………………………………………………...64
B. Saran-saran...……………………………….…………………67
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….69
BAB I
PENDAHULUAN
Diantara sekian banyak ayat-ayat tentang hukum (ayat ahkam) dalam al-Qur’an
yang menurut Abdul Wahhab Khallaf berjumlah 2281, hanya ayat tentang warislah yang
secara riqid dan detail diterangkan oleh al-Qur’an dengan ad nauseum (secara panjang
lebar). Beberapa ahli hukum meengakui bahwa tidak ada satu aspek hukumpun yang
secara teknis menunjukkan keistimewaan hukum Islam selain dari pada hukum waris2,
yang diyakini sebagai model hukum yang canggih dan lengkap. Karena hukum waris di
dalam al-Qur’an telah dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis, konkret dan
Pembagian warisan yang telah ditentukan oleh al-Qur’an diatas, oleh para ulama
dipahami sebagai sesuatu yang taken for granted sehingga memiliki signifikasi yang
aksiomatik4 meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zayd yaitu merupakan harga mati yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Konsepsi ini terbentuk karena teks (nash) yang
mendasarinya dipandang sebagai qat’iyy as-subut dan qat’iyy ad-dalalah yang dalam
1
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam; (Ilmu Ushul Fiqih), (Jakarta: Rajawali
pres, 1996),,Cet.ke-6 hal, 41-42
2
J.N.D Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994) hal.72
3
A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997) hal 1
4
Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi’i Modernitas Ekletisisme Arabisme, terj. (Yogyakarta:
LKiS, 1997) hal.42
agama dianggap sebagai sesuatu yang wajib diterima sebagaimana adanya, yang berlaku
Secara spesifik, masalah waris adalah yang paling kontroversi. Adalah Munawir
Sadjali yang telah menabuh genderang penggugatan terhadap hukum waris Islam. Ia
pertama kali yang menggelindingkan “bola salju pemikiran” yang ia istilahkan dengan
ahkam atau ratio legis meminjam istilah Fazlurrahman, terhadap formulasi 2:1 bagi anak
laki-laki dan anak perempuan. Menurutnya, legislasi ini mempunyai latar belakang sosio-
ketentuan formulasi 2:1 sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Menurut beliau banyak di berbagai daerah
termasuk daerah-daerah yang Islamnya kuat seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan
dan bahkan Aceh yang menghendaki pembagian yang tidak sesuai dengan faraid dengan
“penyimpangan” secara tidak langsung atau meminjam istilah beliau menghindar secara
tidak jantan dari hukum waris Islam6. Dan fenomena ini menurut beliau termasuk
5
M. Wahyu Nafis dkk. (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir
Sadjali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995), hal.89
6
Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62
Bak gayung bersambut, Komaruddin Hidayat justru melontarkan pendapat yang
kelihatan lebih ekstrim dari tawaran formulasi 1:1. ia berpendapat lebih Qur’ani jika kita
sekarang mengikuti tadisi orang Minang yang memberikan harta waris lebih banyak bagi
wanita daripada kaum laki-laki7. Argumentasi yang dibangun adalah berangkat dari
martabat kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki. Dengan demikian Komaruddin
formulasi 2:1 yang ada dalam al-Qur’an menurut Komaruddin adalah merupakan respon
sosiologis terhadap situasi sosial masyarakat Arab pada waktu itu yang menganggap
agama. Ada beberapa alasan yang dikemukakannya, Pertama, al-Qur’an sebagai firman
Allah turun dalam konstrain sejarah, sehingga mau tidak mau ia terkurung oleh
penggalan ruang dan waktu. Kedua, bahasa yang digunakan al-Qur’an memiliki
keterbatasan yang bersifat lokal, karena bahasa merupakan cerminan realitas budaya yang
dengan sejarah dimana kehadiran-Nya diwakili oleh rasul-Nya. Dan ketika dialog
tersebut dikodifikasi, sangat mungkin terjadi reduksi dan kehilangan ruh setelah ratusan
7
Komaruddin Hidayat , Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, (Jakarta:
Paramadina, 1999), hal. 121
8
Ibid, hal 97-98
Namun lain halnya lagi di wilayah Maghribi (Afrika Utara), sebahagian fuqaha
justru pernah memfatwakan bahwa apabila seorang istri telah mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri terlepas dari suaminya, maka ia dinyatakan tidak berhak lagi
memperoleh bagian warisan ayahnya. Pendapat ini justru dikomentari oleh Muhammad
Abed Al-Jabiri –seorang pemikir Islam komtemporer- sebagai suatu penafsiran yang
prioritas utama, karena tujuan teks agama tiada lain untuk menjaga kemaslahatan umat
manusia. Dan ketentuan fuqaha untuk tidak memberikan warisan kepada perempuan yang
kekacauan dan disequilibrium. Karena pada esensinya yang diinginkan oleh nash al-
Qur’an pada saat diturunkannya ketentuan tentang warisan menurut al-Jabiri adalah demi
semakin memperkuat posisi tawar perempuan untuk berdiri sejajar dengan laki-laki. Hak
dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan adalah seimbang termasuk didalamnya
dengan permasalahan teks al-Qur’an adalah bagaimana memahamai teks, terutama teks
ayat hukum yang sarih dan dinilai qath’i sehingga tidak bertentangan dengan tuntutan
9
Muhammad Abed al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. (Yogyakarta: LkiS 2000) hal. 46
10
Ibid, hal. 44
kondisi obyektif yang dihadapi masyarakat. Bukankah al-Qur’an sebagai sumber ajaran
Islam diturunkan untuk kepentingan manusia? Jika asumsi dasar ini diterima, maka perlu
dicari sebuah model pendekatan dalam memahami teks tersebut sehingga tidak terjadi
kontradiksi antara teks dan realitas. Pada dataran inilah perlu dieksplorasi lebih lanjut
antara teks dan konteks agar tidak terjadi paradoks dan kontradiktif, sehingga terbukti
pembagian 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan, sementara kondisi obyektif
masyarakat menginginkan pembagian yang lebih adil, apakah teks tersebut bisa dipahami
dengan konteks yang sesuai dengan kondisi tersebut? Dari sinilah tawaran Munawir
Sadzali untuk membagi samaratakan antara laki-laki dan perempuan sebagai salah satu
cenderung pada pendekatan kontekstual, dimana lebih mengedepankan rasa keadilan dan
untuk memahami nash yang berhubungan dengan fiqih atau hukum. Bagi mereka, tingkat
(masalih murshalah) yang merupakan alasan utama untuk memahami nas tersebut.
Lantas seberapa kuat otoritas kondisi sosio-kultural masyarakat dalam menafsirkan teks?
Bukankah kondisi sosio-kultural masyarakat cenderung berubah serta bersifat lokal dan
temporal?
Jika pendekatan tekstual diangap selalu tidak relevan, sementara pendekatan
hukumnya, yang ia sebut dengan istilah Teori Batas (nazariyah al-hudud). Menurutnya,
para ahli hukum perlu selalu berusaha mengembangkan teori-teori hukum baru sesuai
Shahrur menganggap, kemandekan pemikiran Islam saat ini, lebih disebabkan tidak
adanya gaya penafsiran baru yang bersifat rasional, tetapi juga tidak menentang teks.
bersifat sebagai generasi awal Islam. Selanjutnya Shahrur menjelaskan bahwa dalam
memahami ayat waris, tidak memahami teks (nash) sebagai pembuktian hukum yang
hendak membatalkan atau menetapkan hukum syari’at, akan tetapi memahami ayat
sebagai salah satu bentuk aturan yang mengatur proses perpindahan harta kepemilikan
metode dalam menafsirkan teks yang lebih rasional. Selain seorang Doktor Teknik
dilakukannya berawal dari kajian kebahasaan yang kemudian dipadukan dengan ilmu
limit/nazariyyah al-hudud) adalah perpaduan antara ilmu tafsir dengan ilmu eksakta yang
11
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. (Yogyakarta: eLSAQ Press,
2004) Cet. Ke-2 hal. 318
dilakukan oleh Shahrur. Dan inilah alasan kuat penulis untuk mencoba mendalami
Berangkat dari latar belakang inilah, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
itulah, judul skripsi ini adalah : TEORI BATAS HUKUM ISLAM: STUDI
WARIS.
Mengingat sangat luasnya cakupan teori batas yang digagas oleh Muhammad
Shahrur, yakni mencakup hampir seluruh masalah hukum Islam, maka pembahasan
skripsi ini, penulis akan membatasi pada permasalahan di sekitar bagian waris saja,
namun tidak menutup kemungkinan, untuk memperjelas pembahasan ini, penulis akan
Sebagai pembatas masalah, penulis akan mengarahkan pembahasan pada bagaimana teori
batas ini dipergunakan menyelesaikan permasalahan waris yang selama ini menjadi
Adapun masalah dalam pembahasan ini yang penulis jadikan acuan dalam penjabaran
dan penguraian agar tidak keluar dari permasalahan dan pembahasan dari skripsi ini
adalah Apa dan bagaimana sebenarnya konsep teori yang ditawarkan oleh Muhammad
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari
keseluruhan.
permasalahan warisan.
b. Manfaat Penelitian
bidang pendidikan.
2. Bagi para desition maker dalam merumuskan hukum waris di Indonesia, dapat
hukum tidak hanya berpatokan pada teks (nash) semata, akan tetapi juga
Metodologi penelitian
Dari jenis data penelitian yang digunakan bersifat kualitatif. Secara metodologis,
metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ini adalah metode penelitian
bahan-bahan primer dan sekunder. Adapun sumber primer dalam masalah ini adalah buku
al-Kitab wa al-Qurán: Qiraáh Muashirah, Nahw Usul Jadidah Lil al-Fiqih al-Islami,
dikarang oleh Muhammad Shahrur. Adapun sumber sekundernya adalah data-data yang
Content Analysis). Dalam analisis ini semua data yang dianalisis berupa teks. Dalam hal
ini berupa teks-teks pemikiran Muhammad Shahrur. Analisis isi kualitatif digunakan
Pembahasan dalam skripsi ini dituangkan dalam lima bab. Adapun rincian sistematika
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian dan ditutup
BAB II akan mengulas profil dari Muhammad Shahrur. Dalam bab ini akan dijelaskan
latar belakang kehidupan, pendidikan, karir akademik dan birokrasi serta karya-karya
Muhammad Shahrur.
BAB III akan membahas tentang teori batas, meliputi pengertian, konsep dan cakupan
teori tersebut dalam hukum Islam. Serta bagaimana sebenarnya konsep teori batas yang
pemikiran Shahrur dalam waris. Kemudian mencoba menggali tawaran Shahrur dalam
masalah waris dengan menggunakan teori batas. Kemudian ditutup dengan sebuah
analisis penulis.
beberapa kesimpulan dan “dibubuhi” beberapa saran yang penulis ajukan dalam bagian
ini.
BAB II
luar biasa di blantika pemikiran dunia Islam, baik sosial, politik, budaya dan intelektual.
Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah. Syria pernah mengalami
Barat. Problema ini muncul disebabkan dampak dari invansi Prancis dan gerakan
modernisasi Turki. Selain itu, Syria pernah menjadi region dari dinasti Utsmaniyyah.
Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi
kecendrungan Tanzimat yang sekular dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi.
Untuk itu, umat Islam harus mampu meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas
dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan
kembali makna Islam yang orisinil dalam al-Qur’an dan Al-Sunah dengan menekankan
ijtihat13. Ide al-Qasimi kemudian dilanjutkan oleh Thaha al-Jaza’iri. Kali ini gagasannya
lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari sinilah kemudian
terlihat iklim intelektual Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara muslim
Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam secara kaku, terutama dalam hal
kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di Syria
12
Lihat. http://www.islamensipatoris.com.
13
Ibid
lebih nyata dan menjanjikan dibanding negara-negara Arab lainnya, karena tidak semua
negara Arab menerima ide mengenai pembaharuan dalam Islam, misalnya yang harus
diterima Fazlur Rahman14 dan Nasr Hamid Abu Zayd15 yang harus hengkang dari
merupakan negara yang menerima ide-ide segar yang muncul dalam pemikiran Islam.
Muhammad Shahrur yang bernama lengkap Muhammad Shahrur bin Daib Tahir
dilahirkan di Damaskus, Syria, pada 11 April 1938 M16. Ayahnya bernama Deyb bin
Deyb Shahrur dan Ibunya adalah Siddiqah binti Salih Filyun17. Dalam kehidupan
pribadinya, Shahrur dinilai telah berhasil membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Dari
Istri tercintanya, Azizah, ia memperoleh lima anak dan dua cucu. Tiga anaknya yang
sudah menikah adalah Tariq (beristrikan Rihab), Lays (beristrikan Olga), dan Rima
(bersuamikan Luis). Sedangkan dua lainnya adalah Basil dan Mas’un dan dua cucunya
bernama Muhammad dan Kinan. Kasih sayang Shahrur terhadap keluarganya, paling
karya-karyanya.
Kawakibi. Ijazah Tsanawiyahnya ia peroleh dari sekolah itu pada tahun 1957. Pada bulan
14
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003) hal. vii
15
Nasr Hamid Abu Zayd, karena pemikiran kontroversialnya, harus hengkang dari negerinya ke
Universitas Laiden, Belanda, Lihat. Hamid Abu Zayd al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi
Iswandi, dkk ( Bandung, RqiS, 2003) hal. 18
16
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li al-
Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal.823
17
Ahmad Syarqawi Ismail, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003), hal.43.
Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah ia pergi ke Uni Soviet untuk mempelajari
Pada tahun 1959 dan tahun 1964, Shahrur menyelesaikan diplomanya di bidang teknik
tersebut dan kembali ke Syria pada tahun 1965 serta mulai mengabdi di Universitas
Damaskus. Pada tahun yang bersamaan, Shahrur melanjutkan studi ke Irlandia tepatnya
di Universitas College, Dublin dalam bidang studi yang sama. Pada tahun 1967, Shahrur
berhak melakukan penelitian pada Imparsial College, London, Inggris. Karena pada
tahun itu, terjadi konflik politik antara Syria-Inggris, lalu ia keluar dari Inggris18.
Universitas Nasional Irlandia. Gelar Magisternya ia dapat pada tahun 1969 dan gelar
Doktoralnya pada tahun 1972 dan sejak itulah Shahrur kembali ke Damaskus , kota
kelahirannya.
Setelah tercapainya gelar Doktor, Shahrur diangkat menjai dosen di fakultas Teknik Sipil
Universitas Damaskus di Bidang Mekanika Tanah dan dasar bumi sejak tahun 1972
sampai sekarang. Dari hasil belajarnya diluar negeri, ia tidak hanya belajat teknik sipil,
akan tetapi ia juga belajar ilmu Filsafat, Fiqih Lughah, dan ilmu Linguistik. Ia menguasai
dua macam bahasa selain bahasa Ibunya sendiri (bahasa Arab) yaitu bahasa Rusia dan
bahasa Inggris.
18
Data ini diperoleh dari makalah yang ditulis oleh Yusron Wahab, Reading al-Kitab Versi
Shahrur, Makalah tidak diterbitkan.
Kemudian pada tahun 1995, Shahrur juga pernah di undang menjadi peserta kehormatan
dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko.
Meskipun dasar pendidikan Muhammad Shahrur adalah teknik, namun ia tidak berarti ia
sama sekali kosong mengenai wawasan keislaman. Sebab akhirnya ia tertarik untuk
mengkaji al-Qur’an dan Hadits secara lebih serius dengan pendekatan filsafat bahasa dan
dibingkai dengan teori ilmu eksaktanya, bahkan ia juga menulis dan artikel tentang
dimulai sejak ia berada di Dublin, Irlandia pada tahun 1970-1980 ketika mengambil
program Magister dan Doktoralnya. Di samping itu, peranan temannya DR. Ja’far Dik al-
Bab juga sangat besar. Sebagaimana diakuinya, berkat pertemuannya dengan Ja’far pada
tahun 1958 dan 1964, Shahrur dapat belajar banyak tentang ilmu-ilmu bahasa20.
Dalam masa mengenyam studi di Moskow, antara tahun 1957-1964, Shahrur mulai
banyak berhutang budi pada sosok Hegel22 –terutama dialektikanya- dan Alfred North
White Head23.
19
Abdul Mustaqim, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, Dalam Shohiron
Syamsuddin,dkk, (ed), Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hal. 124.
20
Ibid. hal. 129.
21
Muhammad Shahrur, Islam dan Konferensi Dunia Untuk Perempuan” Dalam Charles Kurzman
(ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum
(Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 210.
22
Hegel adalah filsuf yang berasal dari Jerman, nama lengkapnya George Wilhelm Friedrich
Hegel, dilahirkan pada tanggal 27 Agustus di Stuttgart dan meninggal pada tanggal 14 November 1831.
Sebuah proses yang wajar yang dialami seseorang ketika mengalami
pandangan baru yang cenderung berbeda dan kontradiktif. Hal ini kemudian melahirkan
baik terkait dengan moralitas maupun doktrin teologis. Kegelisahan ini juga dialami oleh
Shahrur.
mencoba melakukan kajian ulang terhadap berbagai konsep yang selama ini sudah
dianggap baku dalam doktrin teologi Islam. Ia mulai tertarik untuk mengkaji tema-tema
terkait dengan al-Qur’an, antara lain konsep al-Zikr, ar-Risalah dan an-Nubuwah.
Sepuluh tahun berlalu, Shahrur masih bergelut dengan berbagai pertanyaan yang belum
terjawab secara memuaskan. Shahrur merasakan bahwa kajiannya sejak tahun 1970-1980
Pada tahun 1980 Shahrur bertemu dengan Ja’far Dikki al-Bab seorang Doktor ilmu
bahasa lulusan Unversitas Moskow tahun 1973 sekaligus teman sejawatnya sebagai
diskusi serius dan intensif hingga tahun 1986 ini, merupakan “fase pencerahan” dalam
diri Shahrur yang secara konsekuen membentuk pola pikir Shahrur dan
Pendidikan filsafat dan teologi di peroleh Hegel dari Universitas Tubingen, Jerman. Dari Tubingen, Hegel
lalu pindah ke Switzerland dan memperdalam filsafat pengetahuan di Frankfurt. Karir akademisnya
menanjak ketika ia mengajar di Universitas Jena dan pada tahun 1805 Hegel diangkat menjadi Profesor
Filsafat. Lih. Donny Gahral Adian, Pilar-pilar Filsafat Kontemporer, (Yogyakarta: Jalasutra, 2002), hal.
26.
23
Ahmad Fawaid Sjadzali, M. Shahrur: Figur Fenomena Dari Syiria, Makalah dikuitp dari
http://www.islamlib.com.
menunjukkan pengaruh besar yang diperoleh Shahrur dari pemikiran Ja’far tentang
Mengetahui dasar pemikiran seorang tokoh merupakan hal yang mutlak untuk diketahui
sebelum kita masuk untuk mengetahui pemikirannya. Karena dasar pemikiran merupakan
pijakan yang dijadikan titik tolak yang sudah barang tentu sangat mempengaruhi seluruh
kontruksi dan bangunan pemikiran seseorang. Shahrur dalam pola pemikirannya bertolak
Memang pada dasarnya secara akademis Shahrur tidak memahami dan mendalami bahasa
Arab, akan tetapi pengetahuannya tentang bahasa Arab tidak bisa diremehkan, terutama
sejak pertemuannya dengan temannya yaitu Ja’far Dikki al-Bab. Shahrur dalam
menggunakan suatu metode kebahasaan yang terilhami oleh ilmu linguistik modern.
ilmiah)25. Akan tetapi Shahrur sendiri tidak membahas secara detail tentang manhaj yang
dipergunakannya. Dan Ja’far Dikki al-Bab merupakan orang yang paling berperan dalam
24
Abdul Mustaqim, Op Cit. hal. 129
25
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali li al-
Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal 741.
Metode Shahrur yang disebut sebagai al-manhaj at-tarikh al-ilmi merupakan sebuah
metode yang digali dari teori linguistik Ibn Jinni dan a-Jurjani. Kristalisasi dari kedua
tokoh tersebut meyatu menjadi teori Farisian yang dikembangkan oleh Abu al-Farisi26.
Sintesa tersebut secara garis besar memberikan ketentuan-ketentuan bahwa bahasa adalah
suatu tatanan, bahasa merupakan bentuk realitas sosial, dan struktur bahasa selalu
berkaitan dengan fungsi iblaqh (fungsi penyampai), serta adanya korelasi antara bahasa
dan pemikiran.
Metode linguistik Shahrur secara utuh sebagai bahan pembacaan terhadap al-
ucapan dan pikiran manusia. Maksudnya manusia sejak awal telah berbicara yaitu
Sementara proses pemikiran manusia tidaklah terbentuk sekali waktu, akan tetapi
terbentuk secara bertahap dari ilmu pengetahuan inderawi kemudian meningkat menjadi
pengatahuan abstrak.
26
Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron
Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 26.
27
Abdul Mustaqim, Op Cit hal. 126
Begitu pula tatanan bahasa, ia tidak langsung terbentuk secara sempurna tetapi melalui
proses benturan dengan peradaban yang sejalan dan sesuai dengan perkembangan
pengetahuan manusia.
(teori hudud), yang di dasarkan atas pemahaman terhadap dualitas yakni al-hanif dan al-
istiqamah.
Setelah menyelesaikan program doktoralnya di Dublin, Shahrur menjadi salah satu staf
akademiknya.
Disamping menjadi dosen, Shahrur juga menjadi konsultan teknik. Pada tahun
1982-1983, Shahrur dikirim pihak Universitas untuk menjadi staf ahli pada al-Saud
Consult, Saudi Arabia. Selain itu, bersama beberapa rekannya di fakultas, Shahrur
membuka biro konsultan teknik (an engineering consultancy/ dar al-istisyarat al-
handasiyah) di Damaskus28.
Tidak ada data dan penjelasan yang penulis dapatkan dari karir Shahrur dalam
bidang pemerintahan. Karir Shahrur hanya berada dalam lingkup akademis, yakni sebagai
dosen di Universitasnya.
b. Karya-karyanya
28
Ahmad Fawaid Sjadzali, Op Cit.
Syria merupakan negara yang sangat kondusif dalam menyokong aktualisasi ide-
ide dan pemikiran Shahrur sehingga ia menjadi muslim moderen yang cukup produktif.
al-Mu’asirah pada tahun 1990. Buku tersebut merupakan hasil pengendapan pemikiran
yang cukup panjang, sekitar 20 tahun. Pada fase pertama, yaitu tahun 1970-1980, Shahrur
merasa kajian keislaman yang selama ini dilakukan kurang membuahkan hasil dan tidak
ada teori baru yang diperoleh. Karena dirinya merasa terkungkung dalam kerangkeng
baik dalam bentuk pemikiran kalam atau fiqih. Sebagai implikasinya, pemikiran
keislaman mengalami kejumudan dan tidak bergerak sama sekali, karena selama ini
dikutif Bisri Efendi, buku tersebut secara umum mencoba melancarkan kritik terhadap
kebijakan agama konvensional maupun kepastian radikal keagamaan yang tidak toleran30.
Pada tahun 1994, Shahrur merampungkan buku keduanya dengan judul Dirasat
spesifik menguraikan dan membahas tema-tema sosial-politik yang berkait erat dengan
29
Abdul Mustaqim Loc It hal 124
30
Bisri Efendi, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, Dalam Abdurrahman Wahid, Tuhan
Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKIS, 1999), hal.xviii.
al-Qur’an . Dalam buku inipun Shahrur menjelaskan dan menguraikan berbagai
al-Iman: Manzumah al-Qiyam. Buku ini dicetak dan diterbitkan oleh al-Ahali Publishing
House. Dalam buku ini Shahrur mencoba untuk mengkaji konsep-konsep klasik
mengenai rukun Islam dan rukum iman, suatu yang penting dalam Islam. Setelah
mengkaji cukup lama terhadap ayat-ayat al-Qur’an, yang berkaitan dengan kedua konsep
diatas, Shahrur menemukan pemahaman yang berbeda dengan ulama terdahulu31. Selain
kedua konsep di atas, buku ini berbicara tentang kebebasan manusia, perbudakan dan
tentang ritual ibadah yang terangkum dalam konsep al-Ibad wa al-‘Abid. Hal lain yang
menjadi kajian buku ini tentang hubungan anak dan orang tua dan terakhir tentang
Buku terakhir Shahrur adalah, Nahw Usul Jadidah LiI al-Fiqh al-Islami, ditulis
pada tahun 2000. Khusus dalam buku ini, melalui refleksi yang sangat mendasar, ia
menyuguhkan satu model pembacaan, khususnya yang terkait dengan isu-isu perempuan,
soal waris, wasiat, poligami, dan kepemimpinan, yang masih aktual dan belum
31
Lima rukun Islam yang selama ini diyakini oleh umat Islam, seperti : membaca dua kalimat
syahadat, mengerjakan sholat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan dan pergi haji bagi yang mampu
ternyata dipahami Shahrur sebagai rukun iman bukan rukun Islam. Sedangkan rukun Islam oleh Shahrur
adalah percaya kepada Allah, Percaya kepada hari akhir dan beramal soleh. Lih. Dr. Muhammad Shahrur,
Islam dan Iman: Aturan-aturan pokok, terj. M. Zaid Su’di, hal. 22.,
32
Ibid, hal. 23-24
33
Dr. Ir. Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin
dan Burhanuddin, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. Xv.
Dalam bidang teknik sipil sebagai latar belakan pendidikannya, Shahrur menerbitkan
beberapa buku antara lain: Handasah al-Asasiyah (tiga Juz), Handasah al-Turabiyah.
Selain dalam bentuk buku Shahrur juga menulis di majalah dan jurnal antara lain dapat
dijumpai Muslim Politic Report (14 Agustus 1997) dengan judul : “The Devine Text and
Pluralism in Moslem Socities” dan “Islam in The 1995 Beijing World Conference On
Women” dalam Kuwait Newspaper. Artikel terakhir telah dimuat dalam buku Islam
Islam
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang diusung Shahrur
Qira’ah al-Mu’asirah adalah teori limit (Teori Batas/ Nazariyyat al-Hudud). Shahrur
menegaskan bahwa teori batas merupakan salah satu pendekatan dalam berijtihat, yang
digunakan dalam mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang berisi pesan hukum)
dalam al-Qur’an.
dari al-Qur’an, tetapi masih memunculkan masalah definisi yang serius34. Al-Qur’an
sebagai teks keagamaan hanya memberikan sedikit tuntunan dalam ayat-ayat yang
relevan mengenai definisi yang sah dan unsur-unsur yang spesifik. Dalam persoalan
hudud al-Qur’an telah menyebutkan terutama perilaku zina, pencurian dan tuduhan zina.
Bagi pezina, hukuman itu berupa cambuk 100 kali, untuk pencuri hukumannya potong
tangan, dan tuduhan zina hukumannya cambuk 800 kali35. Dalam “yuresprudensi” Islam,
istilah hukuman tersebut adalah hadd yang secara literal berarti “batas, batasan, atau
34
Abdullah Ahmed an-Naim, ” Dekonstruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin Arrani
(Yogyakarta: LKiS, 1997) hal. 28
35
Asghar Ali Engineer, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1999) hal. 255
faktor-faktor yang membatasi”. Hukuman ini membatasi tindakan kejahatan, karenanya
Teori limit (hudud) yang digunakan Shahrur mengacu pada pengertian batas-batas
ketentuan Allah yang tidak boleh dilanggar, tapi didalamnya terdapat wilayah ijtihat yang
belakang bagaimana ia menyusun teori batasnya berawal dari kuliah yang ia berikan
“Suatu hari sebuah ide muncul dalam kepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah
teknik jurusan di Teknik Sipil tentang bagaimana membuat jalan padat. Kami sedang
melakukan apa yang disebut sebagai ‘uji keamanan’, yang kami gunakan sebagai contoh
dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul. Dalam ujian ini kami
sebuah hiperbola. Kami menemui resiko yang mendasar. Lalu kami menggambarkan
sebuah kurva dan meletakkan garis di atasnya. Garis ini adalah batas maksimum.
Kemudian timbul ide dalam pikiran saya tentang ‘batas Tuhan’ (hududullah). Sampai
disini, saya kembali kerumah dan membuka al-Qur’an. Dalam matematika kita hanya
mendapatkan lima cara menyuguhkan batas (limit). Saya menemukan lima kasus dalam
menampung ide tentang batas hukum Tuhan. Pemahaman yang sudah umum adalah
bahwa Allah tidak menentukan aturan tingkah laku secara tepat, tetapi hanya
dan hukum mereka sendiri. Saya telah menulis ide tentang integritas/keutuhan (al-
istiqamah) dan aturan moral atau etika yang universal. Pada awalnya ide ini hanya
menjadi catatan saya dalam pembahasan terakhir dalam buku saya, tetapi saya melihat
bahwa teori ini merupakan perwujudan ide utama saya, maka saya mengoreksi semua
yang telah saya tulis tentang hududullah di buku agar pembahasan menjadi konsiten.
batasnya. Shahrur menandaskan bahwa jalan lurus yang telah disediakan Tuhan bagi
manusia agar mereka dapat bergerak sepanjang jalan lengkung di dalam teori batas
Tuhan, sesuai dengan hukum manusia yang diperkenankan di antara batas-batas (hudud)
bahwa al-kitab telah menetapkan seluruh tindakan manusia dan fenomena alam. Karena
itu, dia menegaskan bahwa variasi hukuman yang secara rinci disebut dalam al-Qur’an
pula al-Kitab telah menetapkan sejumlah hukuman minimum bagi berbagai kejahatan.
Shahrur merumuskan teori hududnya berangkat dari Q.S. an-Nisa: 13-14 yang terkait
dengan pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat tilka hududullah dan pada ayat
(plural) bentuk mufrodnya hadd artinya batas (limit). Pemakian bentuk plural di sini
menandakan bahwa hadd yang ditentukan oleh Allah berjumlah banyak, dan manusia
memiliki keleluasaan untuk memilih batasan-batasan tersebut sesuai dengan tuntutan dan
situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama ini masih berada dalam koridor batasan
36
Muhammad Shahrur, Dasar-dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer, terj. Sohiron
Syamsuddin, dkk. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), hal. 17-18
tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hukum Tuhan terjadi jika
pembagian waris merupakan salah satu batasan dari sekian batasan (hudud) hukum
syariat yang ditentukan oleh Allah. Redaksi tilka hududallah merujuk pada penjelasan
ayat 11-12, dan pada saat yang sama juga menegaskan bahwa batasan hukum yang
Pada ayat 14, kalimat wa yata’adda hududahu berarti melanggar batas-batas (hukum)
Tuhan. Penggunaan terma “hudud” di sini dinisbatkan kepada damir mufrat (kata ganti
tunggal) “hu” (dia) yang merujuk kepada Tuhan (Allah) saja. Sedangkan penggalan ayat
terhadap Allah dan Rasul-Nya, tetapi pelanggaran hukum hanya terjadi pada Tuhan saja,
karena otoritas penentuan hukum syariat yang terus berlaku hingga hari kiamat itu hanya
milik Allah. Dia tidak pernah memberikan otoritas ini kepada yang lain, bahkan kepada
hukum ini, niscaya ayat tersebut akan berbunyi wa man ya’sillaha wa rasulahu wa ya
ta’adda hududahuma dengan menggunakan kata ganti huma, tetapi ternyata tidak
demikian38.
37
Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam
Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-
Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) hal. 152.
38
Ibid, hal. 152-153
Dengan demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semua syariat (ketentuan
hukum) yang berasal dari nabi Muhammad bersifat temporal (marhali) dan tidak ada
keharusan untuk memberlakukannya hingga akhir zaman. Pada tataran ini tersembunyi
rahasia dan hikmah bahwa adanya Sunnah untuk diakui pada satu sisi, sedangkan pada
sisi lain adanya posisi Nabi sebagai suri tauladan untuk berijtihat dalam lingkup batasan
Sebagaimana disebut di atas bahwa otoritas penentuan hukum (syariat) hanya dimiliki
Allah saja, karena itu Allah adalah satu-satunya penentu hukum yang berlaku hingga
akhir zaman. Asumsi ini meniscayakan bahwa hukum yang bersumber dari Tuhan
memiliki sifat universal, berlaku untuk segala situasi dan kondisi, sesuai di setiap waktu
Konsekuensinya, hukum tidak boleh bersifat “tunggal” dengan satu pemahaman dan
prespektif. Hukum Tuhan harus sesuai dengan kecenderungan manusia yang selalu
berubah, maju, dan berkembang. Maka dalam al-Qur’an akan selalu dijumpai bahwa
syari’at hanya menentukan batasan-batasan (hudud) saja, ada yang berupa batasan
maksimal (al-had al-a’la) atau batasan minimal (al-had al adna) maupun variasi
keduanya. Ajaran syariat yang disampaikan kepada Rasullah bersifat hududiyah, berbeda
dengan syariat para rasul yang disampaikan sebelumnya yang a’iniyyah. Periode
kerasulan Muhammad SAW merupakan babak baru syariat moderen bagi generasi
kontemporer39.
39
Ibid, hal. 153
Berdasarkan presfektif diatas, Shahrur kemudian mengenalkan apa yang disebut dengan
teori batas. Ia menyatakan bahwa Allah Swt. telah menetapkan konsep-konsep hukum
Dalam batas-batas hukum ini, masyarakat manusia tidak hanya bebas, tetapi diwajibkan
keadaan sosial politik masyarakat mereka. Shahrur melihat teori batasnya menampakkan
sisi moderen dari apa yang dia pandang sebagai prinsip inti al-Qur’an: Syura
hukum bagi kebijakan moderen dalam batas yang ditentukan Allah. Hasil yang didapat
dari proses musyawarah ini hendaknya bersifat relatif terhadap lingkup khusus –keadaan
khusus secara sosial, ekonomi dan politik- pada masing-masing komunitas politik.
Pendirian politik Shahrur secara jelas juga tampak sebagaimana yang dia simpulkan
bahwa “pada masa kita, musyawarah yang asli berari dengan pluralisme dan
demokrasi”40.
Dalam merumuskan teori batas yang digagas oleh Shahrur, beliau mendasarkan
40
Muhammad Shahrur, al-Kitab Op Cit, hal. 18
Shahrur mendasarkan konsepnya dalam menyusun teori batas pada al-Qur’an surat an-
!
"#$%&'( )*+!, - './
taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang
kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya, dan bagiannya siksa yang menghinakan
Shahrur mencermati penggalan ayat tilka hududallah yang menegaskan bahwa pihak
yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan-batasan hukum adalah hanya Allah
semata. Dia berpendapat bahwa otoritas penetapan hukum (haq at-tasyri’) hanya milik
Allah, sedangkan Muhammad walau beridentitas sebagai nabi dan rasul, pada hakikatnya
bukanlah seorang penentu hukum yang memiliki otoritas penuh (as-syari’). Dalam
pandangan Shahrur, Muhammad adalah pelopor ijtihat dalam Islam. Pendapat ini
penggalan ayat diatas menunjuk kepada Allah saja, dan penggalan ayat secara lengkap
akan lebih menegaskan pemahaman ini “dan barang siapa yang bermaksiat kepada Allah
Ayat ini harus dipahami bahwa otoritas penetapan hukum ada pada Allah saja.
Seandainya nabi Muhammad berhak dan mempunyai otoritas tasyri’ tentulah ayat
tersebut akan berbunyi “wa ya ta’adda hududahuma” yang artinya “ dan melanggar
Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hukum yang bersumber dari nabi
tidak semuanya identik dengan penetapan hukum dari Allah. Hukum yang ditetapkan
nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman,
dan peradaban masyarakat waktu itu, maka ketetapan hukum tersebut tidak mengikat
Dari sinilah menurut Shahrur, letak keutamaan Muhammad sebagai nabi, beliau adalah
uswatun hasanah dengan pengertian teladan dalam berijtihat dan penerapannya. Shahrur
mengajukan motivasi kepada para cendikiawan muslim untuk tidak ragu berijtihat
meskipun masalah-masalah hukum tersebut telah diklaim memiliki justifikasi nash hadits
nabi. Bagi Shahrur kondisi masyarakat yang dinamis dan selalu berubah sesuai ketentuan
situasi dan kondisi yang di latarbelakangi kemajuan ilmu pengtahuan, merupakan alasan
41
Buranuddin, “Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam
Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia”, Editor, Sohiron Syamsuddin, dkk, Hermeneutika al-
Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003) hal. 157
b. Analisis Matematis (Mathematic Analisys)
Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu, sejarah. Sumbu Y sebagai undang-
undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva (al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika
ijtihat manusia, bergerak sejalan dengan sumbu X. Namun gerakan itu dibatasi dengan
batasan hukum yang telah ditentukan oleh Allah Swt (sumbu Y). Dengan demikian,
hubungan antara kurva dengan garis lurus secara keseluruhan bersifa dialektik, yang tetap
dan akan berubah senantiasa saling terkait (intertwinet). Dialektika adalah kemestian
untuk menunjukkan bahwa hukum itu adaptabel terhadap konteks ruang dan waktu.
42
Muhammad Shahrur, Al-Kitab wa AlQur’an; Qira’ah Mu’asirah. (Damaskus: al-Ahali
li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal.579
Secara teoritis, Shahrur menggunakan analisis matematis sebagai landasan bangunan
dengan Y=f(x) jika mempunyai satu variabel atau Y=f(x,2)43 jika mempunyai dua
variabel atau lebih. Rumusan ini berbentuk suatu garis yang memanjang keatas yang
Bagi Shahrur, persamaan fungsi ini dapat dijadikan basis teori pengembangan hukum
Islam44, karena teori ini mencakup dua karakter dari hukum Islam. Pertama, karakter
permanen (sabit) dalam arti tetap dan tidak berubah dan universal. Karakter ini disebut
sebagai al-istiqamah, dalam arti berlaku secara umum dan terus menerus. Kedua, karakter
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa, teori batas dibangun atas dua
menjelaskan bahwa kata hanif berasal dari kata hanafa, yang dalam bahasa Arab berarti
bengkok, melengkung, (hanafa) atau juga bisa dikatakan orang yang berjalan diatas dua
kakinya (ahnafa). Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa, yang berarti condong
kepada kebagusan.
Adapun kata al-Istiqamah, derivasi dari kata qawm yang memiliki dua arti, yaitu
kumpulan laki-laki dan berdiri tegak (al-istisab) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intisab
43
Ibid hal. 450
44
Ibid hal. 449
muncul kata al-mustaqim dan al-istiqama, lawan dari melengkung (al-inhiraf).
Sedangkan kata al-azm, muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam
kekuasaannya).
inilah yang kemudian membuat Shahrur sampai pada surat al-An’am :161. Terdapat tiga
terma pokok dalam ayat tersebut, yaitu: ad-din al-qayyim, al-mustaqim dan al-hanif yang
disusun dari dua hal yang kontradiktif? Setelah menganalisa surah al-an’am , Shahrur
memperoleh pemahaman bahwa al-hunafa adalah sifat alami dari seluruh alam. Langit
dan bumi yang nota bene sebagai susunan kosmos adalah bergerak dalam garis lengkung.
Sifat inilah yang membuat tata kosmos menjadi teratur dan dinamis. Dengan demikian,
ad-din al-hanif adalah agama yang selaras dengan kondisi ini, karena al-hanif merupakan
pembawaan yang bersifat fitrah. Manusia sebagai bagian dari alam materi juga memiliki
Sejalan dengan fitrah alam tersebut, dalam aspek hukum juga terjadi. Realitas
masyarakat senantiasa bergerak secara harmonis dalam wilayah tardisi sosial serta
kebiasaan atau adat. Oleh karena itu, sebuah as-sirat al-mustaqim adalah keniscayaan
untuk mengontrol dan mengarahkan perubahan tersebut. Itulah sebabnya, mengapa al-
Qur’an tidak pernah ditemui ayat “ihdina ila al-hanifiyah” melainkan “ihdina as-sirat
al-mustaqim”, karena memang al-hanifiyah adalah fitrah. Dengan demikian, as-sirat al-
mustaqim menjadi batasan ruang gerak dinamika manusia dalam menentukan hukum.
hasil (range) dari perpaduan kurva terbuka dan tertutup pada sumbu X dan sumbu Y.
Pertama, daerah hasil (range) yang berbentuk kurva tertutup yang memiliki satu titik
balik maksimum berhimpit garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Posisi ini
diistilahkan oleh Shahrur dengan halal al-had al-a’la ( posisi batas maksimum)45.
Pada posisi ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya mempunyai batas maksimal saja
sehingga penetapan hukum diperbolehkan bergerak tepat digaris batas atau dibawah garis
batas maksimal dan tidak diperbolehkan melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk
dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum bagi kasus
pencurian dan pembunuhan. Q.S. al-Maidah: 38, Q.S. al-Isra’: 33, dan Q.S. al-Baqarah:
17846, Contoh:
TUVV8 CWXVV8
YZ
C?X '☺. 1
\T
]'( '☺7^ _`V⌧a b⌧$c2
-d
c e
f]R
gAc'
D*OF
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (al-Maidah: 38)
45
Ibid hal.450
46
Ibid hal 455-457
Ayat diatas menegaskan bahwa hukuman bagi pencuri adalah potong tangan. Namun
perlu diperhatikan potong tangan merupakan hukuman maksimal menurut Shahrur bagi
pelaku pencurian. Tentunya alternatif hukuman disesuaikan oleh hukum yang berlaku
Kedua, range yang berbentuk kurva terbuka yang memiliki satu titik balik minimum
yang berhimpit dengan garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan dengan
Pada posisi ini ayat-ayat hudud dalam umm al-Kitab hanya mempunyai batas minimal
saja, sehingga penetapan hukum hanya diperbolehkan bergerak tepat digaris dan diatas
minimal dan tidak boleh melampauinya. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori ini
adalah ayat-ayat tentang pakaian wanita Q.S. An-nur: 31, ayat-ayat tentang muharramat
(orang-orang yang haram dinikahi) Q.S. an-Nisa: 22-23, ayat tentang jenis-jenis makanan
yang haram dimakan Q.S. al-Maidah: 3, ayat tentang utang piutang Q.S. al-Baqarah:
283-28448, Contoh:
<jTcI$'.%w <jTcCxl^
<jBtC9' <jTcI$H☺
<jTcI$K$' jxl^ uy/3
jxl^ #1 b3
jBt/$'.%w z{|\$8
<jTcxl1C`E< jBtC9' 4d
W'C$`E}+8 B#$'.%w
<jTc~
`V7
jBtto$^
{|\$8 7z jBkB,
-d
Artinya: ”Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Seseungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh). Diharamkan atas kamu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum
bercampur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Ayat diatas menjelaskan haramnya menikahi al-aqarib yang tertera dalam dua ayat di
atas. Dalam kondisi apapun, dan dengan alasan apapun kita dilarang mengawini
Ketiga, range-nya berupa gelombang (gabungan antara kurva terbuka dan kurva tertutup)
yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan sebuah titik balik minimum, keduanya
terhimpit pada garis lurus sejajar dengan sumbu X. Posisi ini diistilahkan dengan halah
al-haddain al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal dan minimal bersamaan)49
Ayat-ayat hudud pada posisi ini mempunyai batas maksimal sekaligus batas minimalnya,
sehingga penetapan hukumnya berkisar antara dua batas tersebut, atau mungkin saja bisa
jadi produk hukum yang dihasilkan berada tepat pada garis dua batas tersebut. Ayat-ayat
49
Ibid hal 450
hudud yang termasuk dalam kategori ini adalah ayat tentang waris Q.S. an-Nisa’: 11-14
@ATc
e
Z7z <jBk $81 Y
*+⌧aX8
1M '
Fz1QNM2b3 p7 H-Ta ☯T
`V7
U< Fz1QI?A H-.K MCCA
⌧+ Y p7n !#2X⌧a &x' 9
'.K d&8 1^\3
F
Tc8 _ K9 '☺1d
% V8 H☺ ⌧+ p7n pX⌧a
8 {
p7 A8 -Tc
{
>A K^
d` Cb8 p7 pX⌧a
>
x1 7n d` % V8
a- 1C^ _W}N {$
W 1 z?6' c <jTaT
^T
<jTaT
xl<^ hi p!
<j.R +?X <^Tc8 lC?>2
&Whg*+ 4d
c %p7n
pX⌧a s☺7
M☺c' DEEF
<jBt8 2 ⌧+
<jBt
(9?; p7n A8 -Tc H-.8
{
p7 phk .8 {
50
Ibid hal 457-463
1C^ _W}N {`$
W 1
z?6' <+⌧f 8v
hg
&W}N
-d
c e
A7 gA7'
DEuF 4
!
"#$%&'( )*+!, - './
konteks ini Syahrur menjelaskan bahwa bagian laki-laki adalah batasan maksimal dan
tidak bisa ditambah lagi, sementara perempuan adalah batas minimal, jadi dalam kondisi
Keempat, range yang dihasilkan berupa garis lurus sejajar dengan sumbu X. Karena
berbentuk garis lurus posisi ini tidak memiliki titik balik mimimum, dengan aman, kedua
titik tersebut berada pada satu titik secara bersamaan sehingga titik balik maksimum
identik dengan titik balik minimum. Posisi ini diistilahkan dengan halat al-hadd al-adna
wa halat a-hadd al-a’la ma’an fi nuqthatin wahidah (Posisi batas minimal dan maksimal
berada pada titik secara bersamaan) atau diistilahkan dengan halat al-musthaqim (posisi
Maksud dari tipe ini adalah dalam ayat-ayat hudud terdapat ayat-ayat yang tidak
mempunyai batas maksimal atau minimal, ayat tersebut berada pada posisi lurus dan
harus berada pada batas itu sendiri, sehingga ia tidak mempunyai alternatif lain dalam
penetapan hukumnya. Dengan demikian apa yang ada dalam ayat hudud itu sendirilah
yang nantinya akan menjadi penetapan hukum. Ayat-ayat hudud yang termasuk kategori
ini adalah ayat yang menerangkan tentang hukuman bagi pelaku zina. Lihat an-Nur :251
CWN2%]8 7%]8
YB7!( %
Ta _ K9
'☺1d WY "x'( Y hi
^TaNC3 '☺ W 7z
Fz6
p7n 1\T&Ta p
&1C
7^ ¡<N?8 *+ /' Y
! W!¢?8 '☺⌧N
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap orang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada
Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (QS. An-Nur: 2)
Artinya dalam ayat diatas para pelaku zina wajib di cambuk sebanyak seratus kali
tidak boleh kurang dan lebih karena hukuman tersebut dalam batas maksismal dan
minimal.
Kelima, rangenya berupa kurva terbuka dengan titik final yang cenderung
mendekati sumbu Y, sehingga bertemu pada daerah tak terhingga (‘ala al-aibayah).
Demikian pula pada titik pangkalnya yang terletak pada daerah tak terhingga terhimpit
dengan sumbu X. Posisi ini di istilahkan dengan halat al-hadd al-‘ala li hadd al-muqarib
duna al-mamas bi hadd abadan (Posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa ada
51
Ibid hal 463
52
Ibid hal 450-451
Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang
hampir berhimpit dengan sumbu X dan titik final yang berhimpit dengan sumbu Y.
Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu Y pada daerah
Ayat-ayat hudud yang termasuk tipe ini adalah ayat tentang larangan mendekati
zina. Q.S Al-Isra’:32. Tipe ini sangat terkait dengan kasus yang terjadi pada tipe
keempat. Pada ayat tersebut menjelaskan larangan “mendekati” hal yang membuka
peluang terjadinya zina. Mendekati “hal” tersebut merupakan batas legis minimal yang
Ayat diatas menjelaskan larangan mendekati hal yang berpeluang berbuat zina,
Keenam, rangenya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimal yang
berada di daerah positif, berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu X dan
titik balik minimum berada di daerah negatif berhimpit dengan garis lurus yang sejajar
sumbu X. Posisi ini disebut halah al-hadd al-‘ala mujaban muqhallaqun la yajuzu
tazawujuhu wa al-hadd al-adna saliban yajuzu tajawuzuhu (posisi batas maksimal positif
dan tidak boleh melampaui batas terendah negatif yang diperlukan untuk
melampauinya53.
Pada posisi ini tergambarkan pada hubungan kebendaan dan kasus moneter. Dua
batas akhir termuat dalam riba sebagai batas maksimal positif dan zakat sebagai batas
negatif, batas tertinggi (riba) tidak boleh dilanggar, namun batas terendahnya bisa
dilanggar yaitu dengan adanya shadaqah. Karena pada posisi ini memilih dua batas, yaitu
batas maksimal pada daerah positif dan batas minimal pada daerah negatif, sebagai
konsekuensi logisnya posisi ini pastilah mempunyai batas tengah (munqatul in’itaf) yang
berada diantara keduanya. Batas tengah ini disimbolkan dengan titik nol pada pertemuan
kurva terbuka dan tertutup. Hal yang dijadikan patokan Shahrur dalam membahas
53
Ibid hal 451
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijakasana.” (Q.S. al-Tawbah:60)
Ayat diatas menerangkan tentang konsep zakat, yang harus disalurkan kepada mereka
yang disebutkan oleh Allah dalam ayat tersebut. Namun, bagi Shahrur, zakat merupakan
batas minimum dari harta yang wajib dikeluarkan. Bentuk harta yang dapat melampaui
yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para hali waris54.
yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris
yang menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian
masing.
Dalam al-Qur’an, menurut bahasa kata waris berasal dari kata “warasa”yang
54
Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971) hal 36
Artinya: “Mereka berkata: Puji-pjian bagi Allah yang telah menepati janji-
Nya dan telah mewariskan (memberikan) bumi kepada kami, kami tetap tinggal dalam
surga, menurut kehendak kami, maka inlah sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang
beramal”(QS. Az-Zumar: 74
aktiva
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
Sedangkan ahli waris adalah orang yang mewarisi harta peniggalan muwarris
55
M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987), hal 48-49
56
Faturrahman, Loc. It
Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraid, bentuk jama’ dari kata
tunggal faridah, artinya ketentuan. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan
Dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12, Allah dengan jelas mengatur tentang ketentuan-
ketentuan warisan yang menjadi hal ahli waris. Adapun sebab turunnya ayat ini adalah
untuk menjawab kesewenang-wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi yang ingin menguasai
”Sa’ad Ibn Abi al-Rabi tewas (di medan peperangan sebagai syuhid)
meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kemudian saudara laki-
lakinya mengambil harta (peninggalannya) seluruhnya. Maka datanglah istri Sa’ad, dan
berkata kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah SAW, ini adalah dua anak Sa’ad
dan Sa’ad telah meninggal di medan peperangan, pamannya telah mengambil harta
kedua anak tersebut seluruhnya”. Maka bersabda Rasulullah SAW : “Kembalilah kamu,
barangkali Allah memberi keputusan dalam masalah ini”. Maka kembalilah istri Sa’ad
tersebut setelah itu dan menangis. Maka turunlah ayat ini (QS. An-Nisa, 4: 11-12) maka
Rasulullah SAW memanggil pamannya dan bersabda : “berilah kedua anak perempuan
Sa’ad dua pertiga (al-sulusain), ibunya seperdelapan (al-sumua) dan sisanya untuk
kamu”57.
57
Al-Nawawi, al-Tfasir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, (Semarang, Usaha Keluarga, terj)
hal. 141-142
Turunnya ayat tersebut, merupakan awal penentuan bagian waris dalam Islam58.
Memang jika melihat sejarah pada zaman jahiliyah sebab-sebab mempusakai ada tiga
yaitu:
tercantum dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak
diantaranya :
yang paling dekat dengannya, yang demikian ini di dasarkan pada banyak
b. Wanita tidak dibebani memberikan infaq kepada seseorang. Hal ini berbeda
yang ada dalam tanggungannya, seperti anak, keluarga dan siapapun yang
58
Ibid
59
Faturrahman, Op. Cit
d. Laki-laki harus menjamin biaya sekolah anak-anaknya, pengobatan istri dan
Pewarisan adalah proses pemindahan harta yang dimiliki seseorang yang sudah
meninggal dunia kepada pihak penerima (waratha) yang jumlah dan ukuran bagian yang
diterimanya telah ditentukan dalam mekanisme wasiat, atau jika tidak ada wasiat maka
penentuan pihak penerima, jumlah dan ukuran bagiannya (hazz) ditentukan dalam
masalah waris terletak pada wasiat62, yaitu adakalanya pewaris sudah menentukan
wasiat sebelum ia meningal dunia dengan menyerahkan seluruh hartanya kepada karib
hutang-hutangnya.
Ayat pertama dari ayat-ayat waris dalam Al-Qur’an di mulai dengan kalimat :
60
Muh. Ash-Shabuni, Cahaya Al-Qur’an, terj. (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2000) Cet. Ke-I, hal
191-192
61
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet :
II, 2004) hal 334
62
Wasiat adalah penyerahan hak atas harta tertentu dari seseorang kepada orang lain secara
sukarela yang pelaksanaanya di tangguhkan hingga pemilik harta meninggal dunia. Dasar hukum wasiat
adalah surat Al-Baqarah (2) : 18. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa wasiat merupakan sebuah
kewajiban yang harus ditunaikan setelah mayit meninggal meninggal dunia. Lihat: Zainuddin, Hukum
Perdata Islam Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2006) hal 141-142)
Wasiyyatan min Allahi wa Allahu ‘Alimun hakim (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syarat yang benar-benar dari Allah ( Allah adalah Maha Mengetahui labi Maha
Dari sini memahami satu hal yang sangat mengandung petunjuk yang dianggap
sangat penting baginya, yaitu wasiat merupakan sebuah beban wajib (taklif) dari Allah
kepada manusia seperti halnya sholat dan puasa. Bagi Shahrur wasiat merupakan
sebuah kewajiban mutlak bagi setiap muslim. Belum bisa dilaksanakan proses
pembagian harta waris jika wasiat belum dilaksanakan. Andaikan si pewaris tidak
meninggalkan wasiat apapun, tetapi wasiat tetap diwajibkan, yang dalam hal ini wasiat
diambil alih oleh Allah dan dimasukkan dan dimasukkan dalam mekanisme waris64.
dalam surat al-Baqarah ataupun dalam surat-surat lainnya telah dihapus oleh ayat-ayat
waris dalam surat an-Nisa’. Dalam artian bahwa Shahrur menolak ilmu nasikh
mansukh65 yang dimunculkan oleh para ulama-ulama fiqih. Bagi Shahrur, adanya ayat-
63
Dalam kondisi manusia tidak melakukan wasiat tersebut, maka Allah telah menetapkan wasiat
umum demi terlaksananya maksud ini (kewajiban wasiat) yang mengungkapkan hukum universal demi
tercapainya keadilan umum, bukan keadilan yang khusus dan individual. Wasiat ini memliki bentuk
penyeimbangnya yang dapat kita saksikan dalam realitas sosial saat ini, yang tidak terkait dengan ideologi
politik tertentu, dalam arti bahwa wasiat tersebut bukan merupakan produk hokum dari kekuasaan
pemerintahan tertentu, namun ia semata-mata adalah hokum universal yang berlaku bagi pembagian harta
kekayaan setiap orang-orang yang meninggal dimuka bumi. Wasiat ini diberlakukan bukan dengan tujuan
atas dasar hubungan kekerabatan atau kewajiban keluarga dari seseorang, namun lebih berupa hokum yang
ditetapkan oleh Allah bagi masyarakat manusia secara keseluruhan, bukan bagi keluarga atau pribadi
individu.
64
Disinilah letak perbedaan pemahaman Shahrur dengan ulama fiqih lainnya, dimana menurut
para ahli fiqih, waris adalah kewajiban, namun jika tidak ada wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka
waris bias langsung di bagikan tanpa diambil alih alih oleh Allah.
65
Nasikh Mansukh secara etimologi terbagi dalam dua pengertian yaitu pertama berarti
pembatalan dan penghapus (peniadaan). Sesuatu yang membatalkan, membatalkan, dan menghapuskan
atau memindahkan disebut dengan nasikh, sedangkan sesuatu yang dibatalkan, dihapuskan atau
dipindahkan disebut dengan mansukh. Secara terminologi nasikh adalah pembatalan hokum syara’ yang
ayat dan hukum-hukum dalam al-Qur’an yang dihapus oleh ayat-ayat lain dan bahwa
mereka menjadikan kitab Allah sebagai kitab yang temporal yang terikat dengan sebab
dan peristiwa yang telah terjadi puluhan abad lalu, mereka bahkan beranggapan bahwa
sunnah qawliyyah (sabda nabi) yang berwujud hadits Nabi –sebagaiman yang tercantum
dalam kitab-kitab hadits ditangan umat Islam- memiliki otoritas untuk menghapus ayat
dan hukum dalam kitab Allah. Bagi Shahrur, Mereka mengasumsikan bahwa Al-Qur’an
Pada bagian lain, Shahrur memandang bahwa patokan utama dalam penentuan
hak waris ada pada pihak perempuan, sementara laki-laki senantiasa mengikuti dan
menyesuaikan dengannya. Lebih dari itu, kekerabatan adalah dasar bagi pembagian
harta warisan66. Shahrur beralasan bahwa kehidupan aktual saat ini dimana kebutuhan
seorang perempuan kepada seorang laki-laki yang diikutinya dalam seluruh aktivitas dan
yang telah menetapkan kedudukan perempuan dalam masyarakat dan tunduk pada
pemahaman para ahli fiqih dan para penafsir terhadap ayat-ayat waris dan kesetaraan.
Selain itu menurut Shahrur, bahwa saat ini perempuan bisa membuahi dirinya sendiri
tanpa laki-laki dengan menggunakan kloning, dan sebaliknya laki-laki tidak bisa
membuahi dirinya sendiri tanpa seorang perempuan. Serta perempuan di abad 21 ini,
mempunyai posisi yang sama dengan laki-laki baik dalam propesi maupun dalam
tingkatan intelektual. Hal ini bisa dibuktikan dengan hampir diseluruh tingkatan
ditetapkan terdahulu dari orang mukallaf dengan hokum syara’ yang sama yang datang kemudian. Lihat,
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997) hal 181-182
66
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet :
II, 2004) hal 442
perempuan mengambil peran, baik sebagai seorang dokter, pendidik, politisi, buruh dan
lain-lain67.
semuanya, umat Islam mengkaji ulang pembacaan ayat-ayat waris sesuai dengan
keuniversalan risalah Muhammad dan dari fakta bahwa kenyataan aktual (objektif) yang
senantiasa tunduk kepada perubahan dalam pergeseran sejarah, yang merupakan satu-
dengan bagian dua orang anak perempuan). Ini adalah prinsip pertama dalam
pembagian waris. Dalam prinsip ini, menurut Shahrur perempuan adalah dasar atau
titik tolak dalam penentuan bagian masing-masing pihak. Bagi Shahrur, dalam ayat
tersebut, Allah seakan-akan menyatakan: “ Perhatikan bagian (hazz) yang telah kalian
tentukan untuk dua orang perempuan, lalu berikanlah semisal itu kepada pihak laki-
laki”. Sangat tidak masuk akal mengetahui dan menentukan batasan sesuatu sebelum
lahunna thulusa ma taraka; wa in kanat wahidatan fa laha an-nisfu (...dan jika anak itu
semuany perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
67
Alasan serupa juga disampaikan oleh Munawir Sjadzali ketika menggulirkan pemikirannya
tentang reaktualisasi ajaran Islam, dimana dia melihat perempuan sudah mempunyai posisi yang sama
dengan laki-laki. Lihat, Munawir Sadjali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997) hal. 62,
68
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontempore, terj, (Yogyakarta, ElsaQ Press Cet :
II, 2004) hal 340
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah
harta) (QS. An-Nisa (4):11). Ayat ini merupakan nass wasiat yang mencakup seluruh
prinsip-prinsip waris secara terperinci. Shahrur berpendapat bahwa ayat ini merupakan
penjelasan dari kasus-kasus spesifik dari ketiga kasus waris yang menggambarkan hudud
berikut yaitu : keluarga menurut garis asal (al-usul), keluarga menurut garis cabang (al-
dalam pandangan Shahrur, pihak paman dari bapak (al-a’mam), pihak paman dari ibu
(al-akhwat), anak laki-laki paman, dan seterusnya yang tidak disebutkan secara eksplisit
dalam ayat waris adalah pihak-pihak yang tidak berhak memperoleh bagian (hazz)
Allah) yakni :
Batasan ini adalah batas hukum yang membatasi jatah-jatah atau bagian-bagian
(huzuz) bagi anak-anak si mayit jika mereka terdiri dari seorang laki-laki dan seorang
dua orang anak perempauan. Pada saat yang bersamaan ini merupakan kriteria yang
dapat diterapkan pada segala kasus, dimana jumlah perempuan dua kali lipat dari anak
laki-laki.
69
Ibid
70
Ibid
1 laki-laki + 2 Setengah (1/2) bagi satu Setengah (1/2) bagi
F/M=2
Batasan hukum ini membatasai jatah warisan anak-anak jika mereka terdiri dari
seorang anak laki-laki dan tiga perempuan dan selebihnya (3,4,5…dst). Satu laki-laki
ditambah perempuan lebih dari dua, maka bagi anak laki-laki adalah 1/3 dan bagaian
anak perempuan adalah 2/3 berapa pun jumlah mereka. Batasan ini berlaku untuk
kondisi ketika jumlah perempuan lebih dari dua kali jumlah perempuan.
perempuan
perempuan
F/M>2
Pihak laki-laki pada kasus-kasus yang termasuk kategori rumusan ini tidak
dua bagian perempuan”. Pada dasarnya pembagian sama rata ini sangat alami, karena
hukum batasan pertama hanya dapat diberlakukan pada satu kasus saja yang telah
ditetapkan oleh Allah dan tidak dapat diterapkan pada kasus lainnya.
Batas hukum ketiga ini membatasi jatah warisan anak-anak dalam kondisi ketika
jumlah anak laki-laki sama dengan anak perempuan, dengan rumusan persamaannya
adalah :
F/M=2
C. ANALISIS
71
Andreas Christmann, Modern Muslim Intellectual and the Al-Qur’an, (London, the Institute for
Ismaili Studies: 2003) hal. 143
baca konvensional terhadap sebuah sistem sastra (art)
sehingga objek yang sebelumnya sudah sangat dikenal menjadi
objek yang tidak dikenal dan berada diluar dugaan pembaca.
Pendekatan yang dilakukan oleh Shahrur mencitrakan kehendak nyata untuk
meruntuhkan norma penafsiran yang sudah baku dan menawarkan jalan alternatif untuk
Rasulullah baru saja wafat dan menyampaikan kitab ini kepada kita”72, maksudnya
seakan-akan para pembaca melihat teks atau menyaksikannya baru pertama kali. Hal ini
yang dinilai Shahrur telah ternodai oleh warisan aksioma yang menyesatkan yang
terdapat dalam wacana keislaman. Dengan penafsiran baru ini, Shahrur ingin
menunjukkan bahwa kebalikan dari penafsiran yang “telah diresmikan” atau telah
Lahir dari kondisi keluarga miskin di pinggiran Damaskus, Shahrur tidak pernah
menempuh pendidikan formal yang berbasis agama Islam, bahkan sampai menperoleh
gelar Doktor Teknik. Hal ini menunjukkan Shahrur belajar otodidak dalam mempelajari
dalam bidang keislaman setelah dia berada di Dublin dan bertemu dengan sahabatnya
yakni Dr. Ja’far Dikk al-Bab. Namun, walau demikian, Shahrur sebagaimana di akui oleh
Ja’far Dikk al-Bab adalah seorang ahli bahasa sehingga proyek besar Shahrur tentang
72
Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Muashirah, (Damaskus: al-Ahali li al-
Tiba’ah wa al-Nasyr, 1999), hal 44
73
Ibid. hal. 47
74
Ja’far Dikk al-Bab, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, Pengantar dalam buku
Hermeneutika al_Qur’an Kontemporer karya Muhammad Shahrur.
Kunci untuk memahami usaha Shahur dalam melakukan defamiliarisasi
demi membuka sebuah pemahaman yang baru dan kontemporer adalah metode Shahrur
terhadap istilah yang terkait dengan al-Qur’an. Pertama-tama dia mendekontruksi definisi
umum dari terma tradisional dan mengungkapkannya sebagai definisi yang naif, tidak
logis, bias dan rancu, dan akhirnya ia mengenalkan sebuah redefenisi terhadap istilah
tersebut. Dalam karya-karyanya tidak ada satu pengertianpun yang dibiarkan tetap
kesarjanaan Islam yang selama ini tidak dipertanyakan lagi. Bahkan hadits yang dianggap
sudah mapanpun. Contoh dari penolakan Shahrur terhadap hadits adalah penolakannya
terhadap hadits yang diriwayatkan Ata bahwa Sa’ad ibn Ar-Rabi telah mati syahid. Dia
meninggalkan dua anak perempuan, istri dan seorang saudara. Ketika saudaranya
rasulullah: “wahai Rasulullah, kedua anak perempuan ini adalah anak Sa’d ibn ar-Rabi
yang telah terbunuh. Paman kedua anak ini mengambil seluruh hartanya. “Rasulullah
berkata: “Pulangla, semoga Allah menetapakan hukum dalam masalah ini.” Kemudian ia
pulang dengan menangis, dan tak lama kemudian turunlah ayat tentang waris.
Selanjutnya Rasulullah memanggil paman kedua anak tersebut dan bersabda: “Berikanlah
pada dua anak perempuan Sa’ad ini 2/3 harta, bagi ibunya 1/8 dan sisanya untuk kamu”.
Peristiwa ini menjadi awal pembagian hukum waris dalam Islam. Setelah melakukan
analisis terhadap hadits tersebut, Shahrur menyimpulkan bahwa dalam hadits tersebut
terdapat banyak hal yang meragukan dan hadits tersebut tuidak layak dijadikan pegangan
Salah satu kontribusi baru dalam kajian fiqih kontemporer yang disumbangkan
oleh Shahrur adalah gagasannya tentang teori batas hukum (teori limit/nadzariyyat al-
Muashirah, Shahrur menegaskan bahwa teori limit merupakan salah satu pendekatan
dalam berjihat, yang digunakan untuk mengkaji ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang
berisi pesan hukum) dalam al-Qur’an. Menurut Wael B Hallaq, teori limit Shahrur telah
Namun paling tidak teori batas yang digagas oleh Shahrur memberikan empat
kontribusi dalam pengayaan fiqih77. Pertama, dengan teori limit, Shahrur telah berhasil
fiqih. Selama ini pengertian hudud dipahami para ahli fiqih secara rigid sebagai ayat-ayat
dan hadits-hadits yang berisi ketentuan sanksi hukum (al-uqubad) yang tidak boleh
ditambah atau dikurangi dari ketentuan termaktub, seperti hukum potong tangan bagi
pencuri, cambuk 100 kali bagi pelaku zina belum berkeluarga, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan itu, teori limit yang ditawarkan Shahrur cenderung bersifat dinamis-
kontektual, dan tidak hanya menyangkut masalah sanksi hukum (al-uqubat). Teori limit
Shahrur juga menyangkut aturan-aturan hukum lainnya, seperti soal libasul mar’ah
75
Andreas Cristmann, Ibid, hal 172
76
Ja’far Dikk al-Bab, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, Pengantar dalam buku
Shahrur, Dasar-dasar Hermenuitika al-Qur’an Kontomporer, hal 24
77
Abdul Mustaqim, Shahrur dan Teori Limit, makalah diambil dari website//www.islamlib.com
(pakaian perempuan), ta’addud al-zawj (poligami), pembagian warisan, soal riba dan lain
sebagainya.
Kedua, teori limit Shahrur menawarkan ketentuan batas maksimum (al-hadd al-
adna) dan batas minimun (al-hadd al-a’la) dalam menjalankan hukum-hukum Allah.
Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang berada diantara batas
maksimum dan batas minimum yang telah ditentukan. Wilayah ijtihad manusia, menurut
Shahrur berada diantara batas minimum dan maksimum tadi. Elastisitas dan fleksibilitas
hukum Allah dapat digambarkan seperti posisi seorang pemain bola yang bebas bermain
bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi
ijtihat masih berada dalam wilayah hududullah (batas-batas hukum Allah), maka dia
tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contoh, ketentuan hukum potong tangan
bagi pencuri sebagaimana telah di firmankan Allah dalam surat al-Maidah ayat 38.
Menurut Shahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a’la) bagi
seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan. Dari sini menurut Shahrur, hakim
dapat berijtihad dengan memperhatikan kondisi si pencuri. Atau dalam waris, ketentuan
pembagian 2:1 antara laki-laki dan perempuan, dimana dua bagian merupakan batas
maksimum bagi laki-laki dan satu adalah batas minimum bagi anak perempuan.
rekontruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudud yang
selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamat yang bersifat pasti dan hanya
mengandung penafsiran tunggal. Bagi Shahrur, ayat-ayat muhkamat juga dapat dipahami,
bahkan bagi Shahrur dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat
berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun.
Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan
perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Shahrur ingin melakukan
Keempat, dengan teori limit, Shahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam
benar-benar ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Shahrur berasumsi,
kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu
gerak konstan (istiqamah) serta gerak dinamis dan lentur (hanifiyyah). Nah, sifat
kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Shahrur dipahami sebagai
the bounds or restriction that God has placed on men freedom of action (batasan yang
telah ditempatkan oleh Tuhan pada wilayah kebebasan manusia). Kerangka analisis teori
limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan lentur)
adalah tokoh pemikiran Islam yang memadukan kedua kategori tersebut. Perpaduan itu,
salah satunya di lakukan Shahrur melalui teori hududnya. Teori hudud yang di gagas
Shahrur selalu merujuk kepada teks al-Kitab, untuk dikontektualisasikan dalam kontek
Pendekatan tekstual yang dilakukan oleh Shahrur melalui teori hududnya, sangat
berbeda dengan logikan maenstream yang selama ini berkembang di kalangan kaum
hukum. Bagi Shahrur, ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bersifat hududiyyah, dengan
pengertian Allah satu-satunya hakim yang berhak menentukan batas-batas hukum, tetapi
manusia diberikan kebebasan berijtihad dalam menentukan batas-batas hukum Allah
sesuai dengan kondisi tertentu, misalnya ketika Allah mengharamkan untuk makan
daging babi bagi umat Islam, namun pada kondisi darurat mereka diperbolehkan
memakannya.
Akan tetapi teori ini harus dianalisis secara mendalam terutama dalam
implementasinya dalam hukum waris yang sudah di tentukan pembagiannya oleh Allah
SWT. Apakah teori ini mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dalam persoalan
pembagian waris atau bahkan menambah masalah dalam hukum waris itu sendiri.
Secara umum teori batas memang perlu diapresiasi dalam perkembangan kajian
fiqih kontemporer, namun pada sisi tertentu, teori ini haruslah dikaji lebih mendalam
Pertama, teori batas lahir dari metode linguistik yang digunakan oleh Shahrur
dalam mengkaji ayat-ayat Tanzil al-Hakim (al-Qur’an), terutama dalam kajian dua istilah
yaitu al-hanif dan al-istiqamah. Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Ja’far Dikk al-Bab
seorang ahli bahasa disamping beliau juga seorang insinyur teknik. Metode linguistik
Muhammad Shahrur bersumber dari teori linguistik Ibn Jinni dan Imam al-Jurjani.
kajiannya. Sehingga teks menjadi lebih hidup dalam kajian Shahrur. Pada tataran ini, teks
bisa berjalan berkelindan dengan kondisi sosio-historis masyarakat dalam artian yang
menjadi patokan utama adalah kondisi sosio-historis masyarakat yang cenderung berubah
seiap saat dan teks harus ditafsirkan sesuai perubahan sosio-historis masyarakat tersebut.
Shahrur terlalu menjadikan teks sebagai pijakannya sehingga yang terjadi adalah teks
menjadi relatif tergantung penafsiran teks serta tergantung kepada para penafsir. Akibat
hukumnya adalah tidak adanya kejelasan dalam suatu masalah hukum. Disinilah
problematika hermeneutika yang dibangun oleh Shahrur atau mungkin para hermeneut-
hermeneut lainnya yang menjadikan hermeneutika (kajian teks) dalam menafsirkan ayat-
ayat al-Qur’an.
Kedua, Shahrur dalam beberapa hal tidak menerima hal-hal yang menjadi
pemahaman umum masyarakat Islam, misalnya tentang pandangannya tentang posisi nabi
yang dianggap bukan sebagai sumber hukum, tetapi Shahrur memposisikan nabi sebagai
mufassir awal yang menafsirkan al-qur’an yang sesuai dengan kondisi sosio-historis
masyarakat Madinah pada waktu itu. Hukum yang di tetapkan oleh Nabi, bagi Shahrur
hanya bisa di praktekkan pada masa itu, dan bisa diterapkan pada kondisi saat ini, apabila
ketentuan itu sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya, kondisi sosio-historis masyarakat
harus menjadi patokan dasar dalam penetapan hukum. Maka, baginya teks harus di tafsir
ulang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Redaksi teks memang tidak berubah,
tapi tafsirannya harus di sesuaikan dengan kondisi saat ini. Yang menjadi dasar atau
pedoman pada umat Islam dari nabi dalam pandangan Shahrur hanyalah hal-hal yang
bersifat ritualitas agama, seperti praktek sholat, puasa dan ibadah haji. Sedangkan ayat-
ayat muhkamat yang dalam pandangan para ulama tidak bisa di tafsir ulang, bagi Shahrur
bukanlah tafsir tunggal yang harus dituruti. Baginya, ayat-ayat muhkamat yang bagi umat
Islam sudah jelas maksudnya, seperti masalah waris perlu ditinjau ulang bila tidak sesuai
paman, ibu, kakek, nenek, ayah dan lain sebagainya tidak mendapat bagian. Paradigma
yang timbul adalah ahli waris yang ada hanyalah anak laki-laki dan anak perempuan
semata.
Sampai disini, penulis sampai pada sebuah kesimpulan bahwa proyek teori limit
Shahrur terutama dalam persoalan waris tidak ada perbedaan mendasar dengan hukum
dimana sebenarnya Shahrur hanya menampilkan hal sebenarnya sudah mapan tapi
PENUTUP
Kesimpulan
keagamaan
keniscayaan.
keseluruhan
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abed al-Jabiri, Muhammad, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso dan Imam
Baihaqi (Yogyakarta: LkiS 2000)
Abu Zayd, Nasr Hamid, Imam Syafi’i Modernitas Ekletisisme Arabisme, terj.
(Yogyakarta: LKiS, 1997)
--------, al-Qur’an, Hermeutika dan Kekuasaan, terj. Dedi Iswandi, dkk (
Bandung, RqiS, 2003)
Ahmed an-Naim, Abdullah, ” Dekontruksi Syariah” terj. Ahmad Suhaedy dan Nuruddin
Arrani (Yogyakarta: LKiS, 1997)
Ali Engineer, Asghar, “Islam dan Teologi Pembebasan” terj. Agung Prihantoro
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
al-Bab, Ja’far Dikk, Metode Linguistik Buku al-Kitab wa al-Qur’an, (Syiria: 1999)
Al-Nawawi, al-Tafsir al-Munir li Ma’alim al-Tanzil, Juz I, , terj (Semarang, Usaha
Keluarga)
Anderson, J.N.D, Hukum Islam di Dunia Modern, terj, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1994)
Ash-Shabuni, Muh., Qabas min Nurul-Qur’an, terj. Kathur Suhardi (Jakarta, Pustaka Al-
Kautsar, 2000) Cet. Ke-I
Burhanuddin, Artikulasi Teori Batas (Nazariyyah al-Hudud) Muhammad Shahrur Dalam
Pengembangan Epistemologi Islam Di Indonesia, (ed). Shohiron Syamsuddin,
Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003)
Christmann, Andreas, Modern Muslim Intellectual and the Al-Qur’an, (London, the
Institute for Ismaili Studies: 2003)
Efendi, Bisri, Tak Membela Tuhan Yang Membela Tuhan, (Yogyakarta: LKIS 1999)
Faturrahman, Ilmu Waris, (Bandung, Al-ma’arif, 1971)
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Pedoman Penulisan Skripsi, 2005
Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme,
(Jakarta: Paramadina, 1999)
Ismail, Syarqawi, Rekontruksi Konsep Wahyu Muhammad Shahrur, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003)
Kurzman (ed), Charles, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam kontemporerTentang
Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001)
Mustaqim Abdul, Mempertimbangkan Metodologi Muhammad Shahrur, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003)
________, Shahrur dan Teori Limit, (Jakarta: 2003)
Nafis dkk, M. Wahyu, (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H.
Munawir Sadjali, MA,. (Jakarta: paramadina, 1995)
Rahman, Fazlur, Islam, terj. Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 2003)
Ramulyo, M. Idris, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta, Ind. Hill Co, 1987)
http://www.islamensipatoris.com.
http://www.islamlib.com.