Anda di halaman 1dari 84

PEMIKIRAN KH. MA.

SAHAL MAHFUDH TENTANG HUKUM

KELUARGA: STUDI ANALISIS PERSPEKTIF JENDER

SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Munawir
1112044200016

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017
ABSTRAK

Muhammad Munawir. NIM 1112044200016. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang
Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender. Program Studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum
Keluarga), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1438/2017 M, ix + 75 halaman.
Skripsi ini menjelaskan bahwa pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan
kesetaraan jender yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama
terutama ulama Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus jender
sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun kultural. Kehadiran KH.
MA. Sahal Mahfudh dengan pandangan jender yang moderat dan progresif ini menjadi angin segar bagi
perjuangan menuju keadilan jender terutama dalam bidang hukum keluarga. Pengaruh besar dan otoritas
keilmuan KH. MA. Sahal Mahfudh dalam komunitas NU dan bangsa secara umum menjadikan
pandangannya diterima banyak kalangan dengan legitimasi keagamaan yang sangat kuat. Tujuan dari
penulisan ini ada beberapa hal: a) mengetahui bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam
bidang hukum perkawinan, b) bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum
perkawinan ditinjau dari perspektif jender, dan c) bagaimana kontribusi pemikiran KH. Sahal Mahfudh
tentang jender dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia.
Jenis penelitian ini adalah library research. Data dikumpulkan dengan studi pustaka, baik berupa
buku karangan langsung KH. MA. Sahal Mahfudh maupun karangan orang lain yang menulis tentang
KH. MA. Sahal Mahfudh. Sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah buku karangan KH. MA.
Sahal Mahfudh yaitu Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010). Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan pendekatan logika induktif yaitu pendekatan yang berangkat dari
serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa: a) Diantara pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang
hukum perkawinan dapat dikaji dari 4 hal, yaitu wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Terkait wali
mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon
perempuan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Kemudian terkait nafkah, KH.
MA. Sahal Mahfudh mengatakan jika suami tidak mampu memberikan nafkah, maka istri boleh
mengajukan cerai. Selanjutnya terkait hadhanah, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih
berhak memelihara anak. dengan pertimbangan kasih sayang ibu dengan anak lebih kuat, lebih sabar dan
lembut sehingga lebih sesuai melakukan tugas mengasuh serta merawat anak. Sedangkan terkait nusyuz,
KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa jika istri melakukan nusyuz maka lebih baik diam dan
mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif serta menghindari cara kekerasan. b) Pemikiran KH.
MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan tersebut terlihat sekali lebih menjunjung tinggi
keadilan jender. Hal ini terlihat dari beberapa pendapatnya. Misalnya, terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal
Mahfudh mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan. Begitu juga terkait
nafkah, bahwa perempuan dapat meminta cerai jika suami tidak memberi nafkah. Karena, nafkah adalah
kewajiban suami. Akan tetapi terkait hadhanah, beliau masih bias jender, karena terlihat tidak adil bagi
laki-laki. Padahal tidak sedikit laki-laki lebih sabar dan lembut dari perempuan. Sedangkan mengenai
nusyuz, ini jelas adil bagi laki-laki dan perempuan, karena dalam nusyuz komunikasilah yang paling
efektif dan dapat menghindari kekerasan. c) Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender telah
memberikan kontribusi dalam dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia, hal tersebut
dapat dilihat dari munculnya para pemikir muda yang pemikirannya seide atau senada dengan KH. MA.
Sahal Mahfudh.

Kata Kunci : KH. MA. Sahal Mahfudh, Hukum Keluarga, Jender.

Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH., M.Ag.

Daftar Pustaka : Tahun 1983 s.d Tahun 2016.

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
nikmat sehat, nikmat iman dan Islam kepada hambanya sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan. Sholawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam menyelesaikan pendidikannya.

Disadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas,


dengan adanya bimbingan, pengarahan dan dukungan dari berbagai pihak sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Arip Purkon, MA., ketua program studi dan
sekretaris program studi Ahwal Syakhshiyah (Hukum Keluarga) Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., dosen pembimbing skripsi sekaligus sahabat
diskusi bagi penulis yang sangat bijaksana, sabar dan selalu memberikan
semangat kepada penulis. Serta bersedia meluangkan waktunya untuk
memberikan arahan dan bimbingan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Almarhum KH. MA. Sahal Mahfudh selaku tokoh yang menjadi sumber
utama dalam penulisan skripsi ini.
6. Pimpinan dan staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan fasilitas bagi penulis untuk melakukan studi kepustakaan.
7. Paling istimewa bagi Ayahanda Abdul Ghofur dan Ibunda Zubaedah yang
selalu memberikan doa dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.

vi
8. Sahabat Administrasi Keperdataan Islam (AKI) angkatan 2012, yang tak akan
terlupakan oleh penulis, selama empat tahun perjuangan dan kebersamaan
pada masa menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Seluruh sahabat prodi hukum keluarga angkatan 2012, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu-persatu namanya, terimakasih atas dukungan dan
sumbangan pendapat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
10. Sahabat alumni Yayasan Pendidikan Islam Al-Kenaniyah, seperti Hambali,
Muthi, Qodir, Jilda, Afifah, Arif, Muti, Surismat, Faisal, Fauzi, Surismat, dan
Desy. terimakasih sudah memberi dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan banyak yang
perlu diperbaiki lebih dalam. Oleh karena itu, saran dan kritik penulis
harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan setiap pembaca umumnya, serta
menjadi amal baik di sisi Allah SWT. Hanya ucapan terimakasih dan doa
yang dapat penulis berikan, semoga setiap bantuan, do‟a, motivasi yang telah
diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah
SWT dan menjadi catatan kebaikan di akhirat kelak. Aamiin.

Jakarta, 10 Januari 2017


Penulis

Muhammad Munawir

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iv

ABSTRAK ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi

DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................ 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7

E. Review Studi Terdahulu ...................................................... 8

F. Metodologi Penelitian ......................................................... 10

G. Sistematika Penulisan .......................................................... 13

BAB II BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga ............................. 14

B. Pendidikan ........................................................................... 16

C. Perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh ................................. 18

viii
D. Karya-karyanya ................................................................... 24

BAB III JENDER DAN DISKURSUS PERNIKAHAN

A. Jender dalam Islam .............................................................. 25

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fikih Munakahat ................... 30

1. Perwalian ........................................................................ 30

2. Nafkah ............................................................................. 37

3. Hadhanah ........................................................................ 43

4. Nusyuz ............................................................................ 46

BAB IV PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDH TENTANG ISU-ISU

JENDER

A. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang

Perkawinan .......................................................................... 53

B. Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh

dalam Bidang Perkawinan dari Perspektif Jender ............... 65

C. Kontribusi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang

Jender dalam Dinamisasi Problematika Hukum Keluarga

Islam di Indonesia ............................................................... 68

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 70

B. Saran .................................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA

ix
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Jender sebagai konstruksi sosial kultural tentang sifat yang melekat pada laki-

laki dan perempuan adalah persoalan sosial yang menyita perhatian masyarakat

secara luas.1 Definisi tersebut menjelaskan bahwa jender tidak hanya persoalan

perempuan, tapi juga laki-laki. Relasi laki-laki dan perempuan menjadi kajian utama

jender. Perempuan banyak dikaji dalam isu jender karena perempuan diasumsikan

sebagai kodrat yang membawa ketidakadilan dalam relasinya dengan laki-laki dalam

berbagai bentuk, antara lain: marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, beban

kerja lebih panjang dan lebih banyak, dan sosialisasi ideologi nilai peran jender.2

Perempuan dimitoskan sebagai makhluk yang kurang akal dan agama. Mitos

ini terkait erat dengan budaya patriarkhis yang menempatkan relasi laki-laki dan

perempuan secara hirarkhis. Laki-laki sebagai makhluk superior, sedangkan

perempuan adalah makhluk inferior.3

Lahirnya kaum feminis yang mengusung isu jender bertujuan agar perempuan

memperoleh perlakuan yang adil dalam aspek kehidupan, baik domestik, politik,

1
Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 8.
2
Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, h. 12-13.
3
Sri Suhandjati, Mitos Perempuan Kurang Akal dan Agamanya, (Semarang: Puslit IAIN
Wali Songo, 2010), h. 2-3.

1
2

sosial, ekonomi, dan pendidikan. Dari sini lahir teori persamaan kelamin (sexual

equality) pada tahun 1895.4 Terciptanya sistem dan struktur masyarakat yang

menghargai keadilan (justice) dan kesetaraan (equality) adalah kepedulian

feminisme.5 Oleh karena itu, kaum feminis menuntut adanya kesetaraan peran laki-

laki dan perempuan di ranah publik.

Lahirnya kaum feminisme tidak lepas dari era pencerahan yang menuntut

kebebasan berekspresi, berserikat, dan beraktualisasi sebagai salah satu komponen

utama hak asasi manusia. Perempuan sama dengan laki-laki untuk mendapatkan

kebebasan tersebut, sehingga tidak boleh ada diskriminasi dan subordinasi. Pada abad

19, feminisme memfokuskan pada agenda transformasi kultural, tapi tetap kritis

terhadap pembangunan yang sedang berjalan. Transformasi kultural dilakukan untuk

penguatan aspek agama, perkawinan, dan rumah tangga.6

Pada abad 20, feminisme memfokuskan pada agenda politik. Politik menjadi

kekuatan utama untuk melakukan perubahan praktis.7 Pada abad 21, feminisme

memfokuskan pada penghapusan kelas, etnik, ras,dan seksualitas antara laki-laki dan

perempuan.8 Semua bentuk perjuangan feminis bertujuan untuk menciptakan keadilan

dan kesetaraan laki-laki dan perempuan di ranah domestik dan publik agar keduanya

bisa saling melengkapi dalam proses transformasi sosial yang berkembang.

4
Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, tt), h. 83.
5
Abdul Mustakim, Paradigma Tafsir Feminis, h. 86.
6
Josephine Donovan, Feminist Theory, (New York: Continuum International, 2000), h. 17.
7
Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 183.
8
Josephine Donovan, Feminist Theory, h. 199.
3

Perjuangan menegakkan keadilan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan

berhadapan dengan dominasi agama dan budaya yang patriarkhis. Patriarkhi adalah

sistem struktur atau praktek sosial yang memberikan kewenangan kepada laki-laki

untuk mendominasi, menekan, dan mengeksploitasi perempuan. Dominasi laki-laki

terhadap perempuan terjadi pada badannya, seksualitasnya, pekerjaannya, perannya,

dan statusnya dalam keluarga dan masyarakat. Patriarkhi inilah yang melahirkan

norma sosial, hukum, dan moral yang mengunggulkan laki-laki atas perempuan,

sehingga perempuan tersubordinasi dan termarginalkan.9

Banyak sekali isu jender yang digunakan untuk mendobrak patriarkhi, baik

dalam konteks sejarah, ibadah, pernikahan, dan politik, antara lain: asal usul

perempuan, adzan, imam shalat, menjadi khatib, batas „aurat, kepemimpinan

perempuan dalam politik, menjadi wanita karir, waris, saksi, hak memilih pasangan,

poligami, hak reproduksi, aborsi, kekerasan dalam rumah tangga, „iddah, nikah beda

agama, talak, wali nikah, beban ganda, dan TKW (tenaga kerja wanita).10

Pemikiran dan gerakan yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan jender

yang sedang ramai di era globalisasi sekarang ini menjadi tantangan serius ulama

Nahdlatul Ulama (NU). Mereka tidak bisa lari dari masalah ini, karena diskursus

jender sudah masuk secara sistematik dalam semua bidang, baik struktural maupun

9
Ahmad Baidowi, Memandang Perempuan, Bagaimana Al-Qur‟an dan Penafsir Modern
Menghormati Kaum Hawa?, (Bandung: Marja, 2011), h. 32-33.
10
Tutik Hamidah, Fikih Perempuan Berwawasan Gender, (Malang: UIN Maliki Press, 2001),
h. 59-184.
4

kultural. Secara struktural, di birokrasi, adanya Menteri Peranan Wanita adalah

contoh konkret perhatian besar negara dalam pemberdayaan kaum perempuan.11

Secara kultural, lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan lembaga

kajian dan penerbitan yang fokus pada kajian keadilan dan kesetaraan jender, seperti

Rahima Jakarta, Woman Crisis Center di Jombang, Jawa Timur, dan Fahmina Institut

Cirebon, gencar mengusung agenda jender.12

Dalam konteks merespons gerakan jender ini, para ulama NU menjadikan

kitab kuning yang berhaluan Aswaja sebagai referensi utama. Forum yang fokus pada

kajian persoalan aktual dalam perspektif kitab kuning adalah bahtsul masa‟il al-

diniyah (mengkaji masalah-masalah agama) yang diselenggarakan oleh Lembaga

Bahtsul Masa‟il (LBM) yang melibatkan para kiai, baik yang menjadi pengasuh

pondok pesantren atau tidak, santri pondok pesantren, akademisi dari kampus, aktivis

lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain.

Menurut Ahmad Zahro, LBM NU tidak lepas dari tradisi pemikiran fikih

mazhabi, yaitu fikih yang mengikuti pendapat salah satu mazhab empat, yakni

Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali. Dalam memecahkan masalah, fikih empat

mazhab ini menjadi acuan utamanya.13

Revitalisasi pandangan jender ulama NU merupakan sebuah hal penting. Hal

ini agar Islam mampu merespons dinamika zaman yang berjalan sangat kencang

11
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 261.
12
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 262.
13
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual, (Yogyakarta: LkiS, 2004), h. 1.
5

sehingga dituntut mencari formula yang dinamis dan progresif, tidak terjebak dalam

romantisme historis, tapi mampu memadukan semangat ajaran yang ada dalam kitab

kuning dan spirit global yang meniscayakan kesetaraan gender. Dalam konteks ini,

ada seorang ulama dan aktivis NU yang memegang pemimpin puncak dalam lembaga

kaum sarungan ini yang mempunyai pandangan moderat-progresif dalam merespons

problema perempuan.14

Beliau adalah Dr. KH. MA. Sahal Mahfudh yang sampai meninggal masih

menjabat sebagai Rais „Am Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Menurut banyak orang,

begawan fikih sosial ini mempunyai pikiran-pikiran menarik tentang jender yang bisa

dijadikan model pemikiran jender ideal dalam konteks keindonesiaan yang plural.

Tidak hanya itu, Sahal Mahfudh juga memperjuangkan keadilan jender dalam aksi

nyata di masyarakat, sehingga manfaatnya bisa dirasakan umat secara luas.15

Betulkah demikian? Bagaimanakah sesungguhnya Pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh ini terkait posisi perempuan dan laki-laki dalam keluarga?.

Di sinilah pentingnya mengkaji dinamika pemikiran Sahal Mahfudh untuk

mendapatkan autentisitas pandangan-pandangannya tentang isu-isu jender dalam

hukum keluarga.

14
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 267.
15
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh Elaborasi
Lima Ciri Utama, h. 267.
6

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, maka penulis bermaksud

mengadakan penelitian lebih lanjut dengan judul penelitian: “Pemikiran KH. MA.

Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga: Studi Analisis Perspektif Jender”.

B. Identifikasi Masalah

Penelusuran pemikiran Sahal Mahfudh, sebagai kajian dalam tulisan ini,

mengacu tentang konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender dalam bidang

hukum perkawinan. Ruang lingkup kajian ini, kemudian akan lebih disistematisir

dalam bentuk analisis dan uraian seputar konstruksi pemikiran Sahal Mahfudh

mengenai jender dalam bidang hukum perkawinan, pokok-pokok pikirannya tentang

sumber dan dalil hukum sebagai kerangka dasar bagi konstruksi pemikiran

hukumnya, aplikasi metode pemikiran Sahal Mahfudh mengenai jender serta

kontribusi pemikirannya dalam dinamika perkembangan hukum keluarga di

Indonesia.

Selanjutnya sesuai dengan kajian tersebut, secara khusus dalam pembahasan

ini penulis lebih berupaya pada penyelidikan pemikiran Sahal Mahfudh mengenai

jender dalam wacana reformulasi hukum keluarga Islam di Indonesia dan pemikiran

kontemporer dalam perumusan dan pengembangan hukum keluarga di Indonesia.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah pokok yang dikaji dan diteliti dalam tulisan ini adalah bagaimana

sesungguhnya pemikiran Sahal Mahfudh tentang jender dalam bidang hukum

keluarga dan dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia.


7

Karena ruang lingkup kajian Hukum Keluarga sangat luas, maka dalam

penelitian ini hanya dibatasi tentang persoalan wali dalam perkawinan, nafkah,

hadhanah dan nusyuz. Keempat kajian tersebut dipilih karena tulisan Sahal Mahfudh

cukup panjang berkenaan hal tersebut.

Untuk menganalisis kajian ini, maka masalah tersebut dirumuskan dengan

perincian sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum

Perkawinan?

2. Bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang Hukum Perkawinan

ditinjau dari perspektif jender?

3. Bagaimana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender dalam

dinamisasi perkembangan hukum keluarga di Indonesia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan terpenting yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan.

2. Mengetahui pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang perkawinan

ditinjau dari perspektif jender.

3. Mengetahui sejauh mana kontribusi pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang

jender dalam perkembangan hukum keluarga di Indonesia.

E. Review Studi Terdahulu

Review studi terdahulu perlu dilakukan untuk menguasai teori yang relevan

dengan topik atau masalah penelitian dan rencana model analisis yang akan dipakai.
8

Idealnya penulis dapat mengetahui hal-hal apa saja yang telah diteliti dan yang belum

diteliti, sehingga tidak terjadi duplikasi atau plagiat penelitian.

1. Abdul Karim, Kesetaraan Gender dalam Pemikiran Fiqh Perempuan

Kontemporer (Studi Pemikiran Zaitunah Subhan dan Ratna Megawangi), Skripsi,

Tahun 2001 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi tersebut menjelaskan

bagaimana Pemikiran Zaitunah Subhan dengan kritik dan kajiannya terhadap salah

satu sumber Hukum fiqh yakni al-Qur‟an dengan berbagai macam corak

penafsirannya, mencoba memberikan pandangannya terhadap pentingnya

reinterpretasi. Zaitunah Subhan hendak membuktikan konsepnya tentang

kesetaraan guna menghilangkan penafsiran al-Qur‟an yang masih bias gender.

Sedang Ratna Megawangi lebih terpengaruh oleh pemikiran sufistik dan

menyajikan hasil penelitian di lapangan.

2. Imamul Muttaqin, Studi Analisis terhadap Pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh

tentang Wali Mujbir, Jurnal Al-Hukama volume 2 No.1, Juni 2012. Jurnal ini

membahas bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang wali mujbir?

Kemudian bagaimana metode istinbath hukum KH. MA. Sahal Mahfudh? Serta

bagaimana analisis terhadap pendapat KH. MA. Sahal Mahfudh mengenai wali

mujbir?. Di dalam penelitian ini, menurut KH. MA. Sahal Mahfudh terkait wali

mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan

setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak

gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Menurutnya, meminta

persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi nilai ajaran yang disampaikan
9

Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-khilaf mustahab,

keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang berbeda-beda

adalah lebih disukai. Mengingat perkawinan ini merupakan suatu ibadah, maka

hendaknya dalam melaksanakan perkawinan tidak hanya memerhatikan

kepentingan sepihak semata, namun juga mesti memerhatikan kepentingan semua

pihak yang bersangkutan.

Kedua penelitian di atas ini jelas berbeda dengan penulis lakukan, karena

penulis meneliti Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Hukum Keluarga:

Studi Analisis Perspektif Jender. Yang mana di dalamnya ingin mengetahui dan

meneliti bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Hukum Keluarga,

kemudian bagaimana pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh ditinjau dari perspektif

jender, dan bagaimana kontribusi KH. MA. Sahal Mahfudh dalam problematika

perkembangan hukum keluarga Islam di Indonesia.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat

atau memiliki karakteristik, bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya,

atau sebagaimana aslinya (natural setting), dengan tidak diubah dalam bentuk

simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif ini tidak bekerja menggunakan

data dalam bentuk atau diolah dengan rumusan dan tidak ditafsirkan /

diinterpretasikan sesuai ketentuan statistik / matematik. Karenanya teknik

pengumpulan datanya menggunakan library research (studi kepustakaan) yaitu


10

upaya mengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis terhadap

dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan tema, objek dan

masalah penelitian.16

2. Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis. Deskriptif adalah

metode penyajian data secara sistematis sehingga dapat dengan mudah dipahami

dan dikumpulkan, sedangkan analisis adalah menguraikan sesuatu dengan tepat

dan terarah. Jadi deskriptif-analisis yaitu suatu penelitian yang menggambarkan,

mengklarifikasi serta secara objektif data-data yang dikaji kemudian

menganalisisnya.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M.

Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur terdiri dari:17

1. Data Primer. Data primer dalam penelitian ini adalah buku karya KH. MA.

Sahal Mahfudh yang berjudul Dialog Problematika Umat.

2. Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini adalah yang menuliskan

tentang KH. MA. Sahal Mahfudh seperti buku Mengembangkan Fikih Sosial

KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi Lima Ciri Utama), Epistemologi Fiqh

Sosial (Konsep Hukum Islam dan Pemberdayaan Masyarakat), dan Fiqh Sosial

16
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Djaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17-18.
17
M. Djunaidi Ghony, Fauzan Almanshur, Petunjuk Praktis Penelitian Pendidikan, (Malang:
UIN Malang Press, 2009), h. 196.
11

(Masa Depan Fiqh Indonesia). Kemudian buku-buku lain yang ditulis oleh KH.

MA. Sahal Mahfudh seperti: Wajah Baru Fikih Pesantren, Pesantren Mencari

Makna, dan Nuansa Fikih Sosial.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini hanya pada studi dokumen.

Mulai dari buku-buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh sampai tulisan orang lain

mengenai KH. MA. Sahal Mahfudh.

5. Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga analisis datanya

menggunakan pendekatan logika induktif yang membangun silogisme pada hal-hal

khusus atau data yang ada pada buku-buku dan bermuara pada kesimpulan-

kesimpulan yang umum. Tahap analisis induktif adalah sebagai berikut: Pertama,

melakukan pengamatan terhadap suatu fenomena sosial, melakukan identifikasi,

revisi, dan pengecekan ulang terhadap data. Kedua, melakukan kategorisasi

terhadap data yang diperoleh. Ketiga, menelusuri dan menjelaskan kategorisasi

yang dibuat. Keempat, menjelaskan hubungan kategorisasi. Kelima, menarik

kesimpulan umum. Keenam, membangun atau menjelaskan suatu teori.18

6. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah

atau pemikiran, maka pendekatan penelitian ini mengggunakan pendekatan

18
M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008), h. 143-
144.
12

historis, yaitu sebuah pendekatan dengan kajian masa lampau secara sistematis dan

objektif dengan mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta

mensintesiskan bukti-bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan

yang kuat.19

7. Teknik Penulisan

Teknik penulisan ini, merujuk pada penulisan skripsi, tesis, disertasi disertai

denga buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu

(PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Jakarta 2012.20

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab.

Bab pertama adalah pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua membahas tentang riwayat hidup KH. MA. Sahal Mahfudh yang

terdiri dari kelahiran, latar belakang keluarga, pendidikan, perjuangan KH. MA. Sahal

Mahfudh dan karya-karyanya.

19
Sumardi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Cet. XVI, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014), h. 73.
20
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2012.
13

Bab ketiga landasan teori penelitian yang membahas tentang jender dan

diskursus isu-isu pernikahan. Yang terdiri dari pembahasan mengenai jender dalam

Islam dan isu-isu jender dalam fikih munakahat.

Bab keempat yang merupakan analisa terhadap pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh tentang isu-isu jender. Bab ini mengupas tentang pemikiran KH. MA. Sahal

Mahfudh dalam bidang perkawinan, analisa atas pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh

dalam bidang perkawinan dan perspektif jender, kemudian kontribusi pemikiran KH.

MA. Sahal Mahfudh dalam dinamisasi perkembangan hukum keluarga Islam di

Indonesia.

Bab kelima adalah penutup yang merupakan kesimpulan dari penelitian ini

dan rekomendasi saran-saran bagi penelitian lebih lanjut.


BAB II

BIOGRAFI INTELEKTUAL KH. MA. SAHAL MAHFUDH

A. Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga

Sahal Mahfudh terlahir dengan nama lengkap Muhammad Ahmad Sahal bin

Mahfudz bin Abdus Salam al-Hajaini. Lahir di Kajen, Kecamatan Margoyoso,

Kabupaten Pati, pada 16 Februari 1933. Tanggal tersebut memang tidak sama dengan

tanggal yang digunakan dalam Kartu Tanda Penduduk maupun dokumen-dokumen

resmi lainnya. Namun belakangan ditemukan sebuah catatan lama milik ayahandanya

yang menerangkan tanggal lahir Kiai Sahal yang sebenarnya bukanlah tanggal 17

Desember 1937, namun tanggal 16 Februari 1933 M.1

Data terakhir ini belum banyak dipublikasikan karena memang bukti bahwa

Kiai Sahal lahir pada 16 Februari 1933 ini baru ditemukan kurang lebih dua tahun

sebelum beliau wafat.2 Data mengenai tanggal lahir Kiai Sahal memang berbeda-

beda. Umumnya yang digunakan adalah tanggal 17 Desember 1937.3 Yang agak

berbeda adalah data yang tertera dalam buku yang berjudul “Kiai Sahal, Sebuah

1
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), (Pati:
PUSAT FISI, 2016), h. 3.
2
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 3.
3
Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal,
(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.

14
15

Biografi”. Dalam buku tersebut tertulis Kiai Sahal lahir pada tanggal 15 Februari

1934.4

Perbedaan mengenai data tanggal lahir ini penting untuk diluruskan, terutama

bagi para peneliti yang bermaksud untuk belajar tentang kehidupan Kiai Sahal

berdasarkan kronik atau urutan waktu, tanggal, maupun usia. Perbedaan data

mengenai tanggal lahir ini pula yang menyebabkan adanya perbedaan keterangan

yang menyatakan bahwa Kiai Sahal ditinggal wafat oleh ayahandanya pada usia 7

tahun, jika merujuk tanggal lahir Kiai Sahal adalah tanggal 17 Desember 1937.

Namun, Kiai Sahal sendiri mengaku bahwa beliau ditinggal wafat oleh ayahandanya

ketika berusia sekitar 11 tahun, dan ini sangat cocok jika merujuk tanggal lahir beliau

adalah 16 Februari 1933.5

Perbedaan tanggal lahir ini kemudian juga berdampak pada pernyataan yang

tidak sama mengenai pada usia berapa Kiai Sahal mulai berkorespondensi dengan

Syekh Yasin al-Fadani, kemudian kapan Kiai Sahal mulai menulis kitab-kitabnya,

hingga usia berapa Kiai Sahal wafat. Mengenai usia wafatnya, misalnya, jika merujuk

pada tanggal lahir yang pertama, 17 Desember 1937, maka Kiai Sahal wafat pada usia

77 tahun. Namun jika merujuk pada data tanggal lahir yang kedua, 16 Februari 1933,

maka Kiai Sahal wafat pada usia 81 tahun.6

4
Mujib Rahman dkk., Kiai Sahal, Sebuah Biografi. (Jakarta: Penerbit KMF Jakarta, Cet. I,
2012), h. 11.
5
Tutik Nurul Janah, Metode Fiqh Sosial, Dari Qauli Menuju Manhaji, (Pati: Staimafa Press,
Cet. I, 2005), h. 186. Lihat juga: catatan kaki buku Epistemologi Fiqh Sosial, Konsep Hukum Islam
dan Pemberdayaan Masyarakat, (Pati: Staimafa Press & Fiqh Sosial Intitute, Cet. I, 2014), h. 90.
6
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 4.
16

Sejak kecil sampai akhir hayatnya, Kiai Sahal tidak pernah lepas dari

kehidupan pesantren. Beliau lahir dari pasangan Kiai Mahfudz bin Abdus Salam dan

Nyai Badi‟ah. Kiai Mahfudz bin Abdus Salam adalah saudara misan (adik sepupu)

KH. Bisri Sansuri, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, yang wafat pada 25 April

1981. Istri Kiai Sahal sendiri, Hj. Dra. Nafisah, adalah cucu KH. Bisri Sansuri.7

Pada tahun 1969 KH. Sahal Mahfudh menikah dengan Dra. Hj. Nafisah binti

KH. Abdul Fatah Hasyim, Pengasuh Pesantren Fathimiyah Tambak Beras Jombang

dan memiliki putra yaitu Abdul Ghofar Rozin.8

B. Pendidikan

Perjalanan intelektual Kiai Sahal adalah sejarah dari pesantren ke pesantren.

Karenanya, jika berbincang mengenai tradisi keagamaan dan model keilmuan seperti

apa yang menjadi latar belakang kehidupan Kiai Sahal, maka jawabannya adalah

tradisi keilmuan dan corak pemikiran pesantren.9

Pesantren yang dimaksud adalah pesantren ala Nahdliyyin yang mendasarkan

pemikiran fiqhnya berdasarkan fiqh empat madzhab dan melandaskan tasawufnya ala

Abu Musa al Asy‟ari dan al-Maturidi. Namun dalam kenyatannya, pesantren di

Indonesia pesantren di Jawa bisa disebut sebagai pengikut fanatik madzhab Syafi‟i.

7
Asrori S. Karni, Abdul Wasik, Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai Sahal,
(Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007), h. 1.
8
Zamakhsari Dhafi, Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai), cet. 3
(Jakarta: LP3ES, 1984), h. 61
9
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13.
17

Maka dapat disimpulkan bahwa Kiai Sahal tumbuh diantara tradisi keagamaan dan

masyarakat Nahdlatul Ulama.10

Sahal muda menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Islam Mathali‟ul

Falah, beliau melanjutkan pendidikannya di pesantren Bendo, Pare, Kediri, Jawa

Timur hingga tahun 1957. Setelah dari Kediri, Kiai Sahal memutuskan untuk

memperdalam ushul fiqh dengan mengaji secara langsung kepada Kiai Zubair di

pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah hingga tahun 1960.11

Selama di Sarang inilah Kiai Sahal banyak melakukan diskusi melalui surat-

menyurat dengan ulama kharismatik asal Padang yang berdomisili di Mekkah.

Karenanya, usai nyantri di Sarang, Rembang, saat berkesempatan menunaikan ibadah

haji, Kiai Sahal bertemu dan berguru secara langsung kepada Syeikh Yasin al-Fadani

di Mekkah untuk pertama kalinya.12

Kesempatan untuk bertemu dan berguru lagi kepada Syeikh Yasin al-Fadani

datang untuk kedua kalinya ketika Kiai Sahal menunaikan ibadah haji untuk kedua

kalinya bersama istri tercinta, Nyai Nafisah. Kesempatan kedua ini merupakan saat

Kiai Sahal dan Nyai Nafisah banyak menerima ijazah secara langsung dari Syeikh

Yasin.13

Meski menghabiskan masa pendidikan dari pesantren ke pesantren, namun

disiplin ilmu yang dikuasai Kiai Sahal cukup beragam. Kiai Sahal dikenal bukan saja

10
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 13-14.
11
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.
12
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.
13
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14.
18

menguasai keilmuan yang lazim dipelajari di pesantren seperti bahasa Arab, tafsir,

fiqh, hadis, ushul fiqh, tasawwuf, mantiq, balaghah dan lain-lain.14 Namun, lebih dari

itu, Kiai Sahal merupakan ulama yang fasih berbicara diantara kaum intelektual kota

dan para akademisi. Hal ini dikarenakan selain tingkat kecerdasan di atas rata-rata

yang dimilikinya, Kiai Sahal juga merupakan ulama yang tak pernah lelah belajar.

Kiai Sahal selalu bersemangat untuk mempelajari hal-hal baru yang dirasa

bermanfaat untuk dirinya dan masyarakat di sekitarnya. Semangat belajar ini

ditunjukkan beliau sejak usia muda yakni dengan berusaha mempelajari Bahasa

Inggris, Bahasa Belanda, Tata Negara, Administrasi dan Filsafat melalui kursus

privat, baik di Kajen, Pati maupun selama mondok di Bendo, Kediri.15

C. Perjuangan KH. MA. Sahal Mahfudh

Proses pembentukan pemikiran Kiai Sahal berangkat dari liku-liku

kehidupannya. Lahir dari keluarga pesantren dan ditinggal wafat oleh ayahnya dan

kemudian disusul oleh ibunya pada saat usianya masih belasan tahun, membuat Kiai

Sahal muda tumbuh sebagai sosok yang cukup perasa. Getir hidup di usia muda

merupakan pelecut semangatnya untuk dapat berbuat semaksimal mungkin yang bisa

dilakukannya.16

Kiai sahal sendiri memang selalu melandaskan pemikiran dan gerakannya

sebagai bagian dari tujuan utamanya untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sadar bahwa berorganisasi merupakan salah satu kekuatan utama yang harus

14
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 14-15.
15
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 15.
16
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 20.
19

dibangun agar umat menjadi kuat dan berdaya, Kiai Sahal mulai aktif dalam berbagai

organisasi. Baik organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Saat

memulai kiprahnya di Nahdlatul Ulama, saat itu NU sedang menjadi partai politik.

Karenanya Kiai Sahal juga tercatat pernah aktif sebagai pengurus di Partai Nahdlatul

Ulama. Dan itulah satu-satunya waktu dimana Kiai Sahal aktif dalam partai politik.

Sepulang dari nyantri di Sarang, kemudian memutuskan untuk menikah dan

menetap di kampung halamannya, Kajen, Kiai Sahal praktis memulai segala

aktifitasnya sembari mengasuh pesantren yang didirikan oleh orang tuanya. Kiai

Sahal memiliki aktifitas yang beragam. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakul

Huda dan Direktur Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, beliau juga memimpin

beberapa organisasi dan bergaul dengan tokoh-tokoh muda pada awal 1980-an. Salah

satu tokoh muda kala itu yang cukup akrab dengan Kiai Sahal adalah KH.

Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil „Gus Dur‟ dan KH. Mustofa Bisri

atau yang akrab dipanggil „Gus Mus‟. Bersama Gus Dur yang masih terhitung

sebagai keponakannya sendiri itu, Kiai Sahal mulai banyak bergaul dengan para

aktifis LSM dan pegiat gerakan-gerakan sosial.17

Pada tahun 80-an hingga 90-an ini bisa disebut sebagai masa paling aktif

dalam kehidupan Kiai Sahal. Saat itu Kiai Sahal memasuki usia 50-an, dengan

kondisi kesehatan yang terbilang cukup prima dan dengan semangat pengabdian

masyarakat yang dilakukannya Kiai Sahal mulai aktif menjadi pembicara dalam

berbagai forum ilmiah di Indonesia dan di manca negara. Dalam hal ini Kiai Sahal
17
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21.
20

banyak menulis mengenai kesehatan keluarga, kependudukan dan kontrasepsi. Pro-

kontra banyak dirasakannya. Bahkan ada pula masa ketika Kiai Sahal dipertanyakan

keberpihakannya karena seolah-olah menjadi corong pemerintah lantaran

keikutsertaannya dalam kampanye yang dilakukannya ini, Kiai Sahal pernah diganjar

penghargaan oleh PBB sebagai tokoh masyarakat yang peduli terhadap isu

kependudukan.18

Pada tahun 80-an hingga 90-an ini juga dapat dikatakan sebagai masa paling

produktif bagi Kiai Sahal. Baik produktif dalam menghasilkan karya-karya ilmiah

maupun dalam gerakan sosial. Jika sebagian besar kitab-kitab berbahasa Arab ditulis

Kiai Sahal pada masa beliau nyantri di Sarang, pada tahun 80-an sampai 90-an ini

Kiai Sahal lebih banyak menuangkan pemikirannya dalam bentuk karya ilmiah

berbahasa Indonesia. Tulisannya juga mulai tersebar di media lokal maupun nasional.

Pada tahun-tahun tersebut Kiai Sahal telah bertransformasi dari seorang santri yang

lebih banyak menyimak pesan dari gurunya menjadi seorang ulama yang siap

merealisasikan ide-ide fiqh sosial tentang gerakan sosial. Pada fase ketiga inilah, Kiai

Sahal mulai menampakkan kekhasan corak berfikir dan kemudian corak gerakannya.

Oleh karena itu, menelusuri jejak pemikiran fiqh sosial Kiai Sahal juga akan lebih

mudah dari karya-karya beliau yang ditulis pada tahun 80-an sampai 90-an.19

Dengan tetap berkonsultasi dengan pamannya, Kiai Abdullah Salam, yang

senantiasa menjadi pengayom utama Kiai Sahal pasca meninggalkan ayahandanya,

18
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21.
19
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 21-22.
21

Kiai Sahal mulai mengukuhkan pemikiran dan gerakan sosial yang dilakukannya

dalam tinta sejarah.20

Kiai Sahal sendiri mengakui bahwa baik gerakan di bidang ekonomi,

kesehatan maupun pendidikan yang dilakukannya tidak menemui kesulitan yang

berarti karena gerakan ini menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat secara

umum. Gerakan ekonomi Kiai Sahal dimulai dengan upaya beliau merintis dan

merealisasikan program pengembangan masyarakat yang profesional sebagai upaya

membantu masyarakat sekitar pesantren pada khususnya dan masyarakat lain pada

umumnya. Melalui pesantren yang dipimpinnya, Kiai Sahal membentuk sebuah

lembaga yaitu Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM). Lahirnya

BPPM bermula dari keprihatinan Kiai Sahal pada sulitnya kondisi ekonomi

masyarakat sekitar pesantren.

Pemikiran ekonomi Kiai Sahal bersambut, manakala Lembaga Penelitian

Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) dan Perhimpunan

Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dari Jakarta menawarkan kepada

Kiai Sahal untuk mendirikan sebuah lembaga yang berbasis pengembangan ekonomi

pesantren dan masyarakat. Maka pada tahun 1979 secara resmi dibentuk lembaga

Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM) yang kemudian pada tahun

1980 dilembagakan dengan akta notaris Imam Sutarjo, SH. Nomor 2, dan pada tahun

1987 disempurnakan dengan akta notaris nomor 34.21

20
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 22.
21
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 24.
22

Selain gerakan di bidang ekonomi, Kiai Sahal juga aktif mendorong gerakan

di bidang kesehatan. Demi menunjang pencapaian kehidupan yang sehat dan

pentingnya menjaga kesehatan, maka penting dibentuk sebuah lembaga yang

menangani kesehatan umat.

Dalam usaha memperbaiki kesehatan, terutama gizi keluarga, Kiai Sahal

melihat bahwa akar masalah sebenarnya berhubungan erat dengan masalah ekonomi,

kebudayaan dan agama. Karenanya, Kiai Sahal mengawali gerakan di ranah

kesehatan dengan berinisiatif untuk mendorong santri di madrasah yang dipimpinnya

yakni Perguruan Islam Mathali‟ul Falah (PIM) terlibat dalam kegiatan Taman Gizi

(semacam POSYANDU) untuk ibu dan balita di lingkungan sekitar.

Selain Taman Gizi, Kiai Sahal juga menginisiasi berdirinya Rumah Bersalin

(RB) yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Rumah Sakit Islam Pati. Inisiatif

Kiai Sahal untuk mendirikan RSI Pati ini menunjukkan bahwa persoalan kesehatan

masyarakat merupakan persoalan yang harus ditangani oleh orang yang ahli dalam

bidangnya. Rumah Sakit sebagai institusi yang menaungi para ahli medis dipandang

sangat tepat untuk menyelesaikan kesehatan masyarakat.22

Selain di bidang ekonomi dan kesehatan yang tak kalah penting adalah

dedikasi Kiai Sahal untuk dunia pendidikan. Berangkat dari pesantren yang

diasuhnya, Kiai Sahal berupaya menyelenggarakan sistem pendidikan karakter untuk

menuju terciptanya manusia yang shalih akram. Selain mendidik santri di Pesantren

Maslakul Huda dan di Perguruan Islam Mathali‟ul Falah, Kiai Sahal juga tercatat
22
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 32.
23

menginisiasi berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIMAFA), yang kini

sudah beralih status menjadi Institut Pesantren Mathali‟ul Falah (IPMAFA) dan

menginisiasi berdirinya INISNU (kini UNISNU). Kiai Sahal berharap pesantren

dengan sistem pendidikannya yang khas mampu mewarnai pendidikan di Indonesia.23

Kiai Sahal mempunyai peran penting dalam organisasi sosial keagamaan

terbesar di dunia yang pernah dipimpinnya selama tiga periode, yakni Nahdlatul

Ulama. Sebelum akhirnya dipercaya menduduki posisi tertinggi dalam organisasi

Nahdlatul Ulama, Kiai Sahal telah aktif dalam organisasi tersebut semenjak dari level

terbawah. Tercatat beliau pernah menjadi Katib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) Pati

sejak tahun 1967-1975. Ketika itu, NU masih menjadi organisasi politik. Beliau juga

tercatat pernah menjadi ketua Rabithah Ma‟ahid Islamiyah Jawa Tengah dan ketua

MUI Jawa Tengah. Aktifitas beliau di NU terus berlanjut hingga Kiai Sahal dipercaya

sebagai Wakil Rais „Am hingga akhirnya Rais „Am Nahdlatul Ulama selama tiga

periode berturut-turut. Yakni pada muktamar NU di Lirboyo pada tahun 1999,

kemudian muktamar NU di Solo pada tahun 2004, dan muktamar NU di Makassar

tahun 2010. Selain sebagai Rais „Am Nahdlatul Ulama, beliau juga dipercaya sebagai

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Bahkan ketika wafat, Kiai Sahal masih dalam

masa menyelesaikan masa bhaktinya di kedua lembaga tersebut.

Kiai Sahal Mahfudh wafat pada hari Jum‟at, tanggal 24 Januari 2014, pukul

01.00 dini hari di kediamannya, Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah

23
Umdah el Baroroh, Tutik Nurul Janah, Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh Indonesia), h. 33.
24

D. Karya-karyanya

Terdapat sepuluh kitab yang ditulis Kiai Sahal, diantaranya:

1) Thariqat al-Husnul „alaa Ghayah al-Ushul.

2) Al-Tsamarah al-Hajayniyah.

3) Al-Fawa‟id al-Najibah.

4) Al-Bayan al-Mulamma‟ ‟an Alfdz al-Lumd‟.

5) Intifah al-Wajadayn „inda Munadharah al-„Ulama Hajayn fi Ru‟yah al-

Mabi‟ bi-Zujaj al-„Aynayn.

6) Faid al-Hija „ala Nayl al-Raja.

7) Al-Tarjamah al-Munbalijah „an Qasiidah al-Munfarijah.

8) Al-Murannaq penjelas atas Kitab Sullam al-Munawraq

9) Izalat al-Muttaham penjelas atas Idlah al-Mubham „an Ma‟ani al-Sullam

karya Ahmad Ibn Abd al-Mun‟im al-Damanhuri.

10) Anwar al-Bashair Penjelas atas kitab Al-Asybah wa al-Nadhair karangan

Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuti.

Selain kitab-kitab berbahasa Arab, Kiai Sahal juga telah menghasilkan

beberapa buku berbahasa Indonesia, diantaranya:

1) Nuansa Fiqih Sosial.

2) Pesantren Mencari Makna.

3) Wajah Baru Fiqh Pesantren.

4) Dialog Problematika Umat.

5) Ensiklopedi Ijma‟, Karya bersama KH. A. Mustofa Bisri.


BAB III

JENDER DAN DISKURSUS ISU-ISU PERNIKAHAN

A. Jender dalam Islam

Kata “jender” berasal dari bahasa Inggris, gender, berarti “jenis kelamin”.1

Dalam Webster‟s New World Dictionary, jender diartikan sebagai “perbedaan yang

tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku”.2

Di dalam Women‟s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa jender adalah suatu

konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,

perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang

berkembang dalam masyarakat.3

Tetapi oleh beberapa ahli jender keterangan itu mesti ditambah dan

disempurnakan. Wilson yang dikutip Yudhie R.Haryono menulis; jender adalah

sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan kolektif (masyarakat), yang

sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Jadi ada aspek fungsi

yang membedakan antar keduanya, yaitu antara laki-laki dan perempuan.4

Jender adalah perbedaan sosial antara laki-laki dan perempuan yang dititik

beratkan pada perilaku, fungsi dan peranan masing-masing yang ditentukan oleh

1
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, Cet. XII,
1983), h. 265.
2
The apparent disparity between man and women in values and behavior). Lihat Victoria
Neufeldt (ed.), Webster‟s New World Dictionary, (New York: Webster‟s New World Clevenland,
1984), h. 561.
3
Helen Tiemey (ed.), Women‟s Studies Encyclopedia, Vol. I, (New York: Green Press, t.th), h.
153.
4
Yudhie R.Haryono, Bahasa Politik Al-Qur‟an, (Jakarta: Gugus Press, 2002), h. 251.

25
26

kebiasaan masyarakat dimana ia berada atau konsep yang digunakan untuk

mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya.

Pengertian ini memberi petunjuk bahwa hal yang terkait dengan jender adalah sebuah

konstruksi sosial (social construction). Singkat kata, jender adalah interprestasi

budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.5

Berbicara jender dalam Islam ditemukan sejumlah ayat dalam Al-Qur‟an, antara

lain QS. Al-Hujurat, [49]:13, An-Nisaa‟, [4]:1, Al-A‟raf, [7]:189, Az-Zumaar, [39]:6,

Fatir, [35]:11, dan Al-Mu‟min, [40]:67.

Diantaranya dalam Al-Qur‟an surat al-Hujurat (QS, 49: 13)

‫َّاس إِنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأُنْثَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَائِ َل لِتَ َع َارفُوا إِ َّن أَ ْكَرَم ُك ْم ِعْن َد اللَّ ِو أَتْ َقا ُك ْم‬
ُ ‫يَا أَيُّ َها الن‬
)٣١ :‫(احلجرات‬.ٌ‫يم َخبِري‬ ِ ِ
ٌ ‫إ َّن اللَّوَ َعل‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat di atas memberi petunjuk bahwa dari segi hakikat penciptaan, antara

manusia yang satu dan manusia lainnya tidak ada perbedaan, termasuk di dalamnya

antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, tidak perlu ada semacam superioritas

suatu golongan, suku, bangsa, ras, atau suatu entitas jender terhadap lainnya.

Kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama

manusia, termasuk persamaan antara perempuan dan laki-laki. Penjelasan di atas

5
Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks, (Yogyakarta:
elSAQ Press, 2005), h. 103.
27

menyimpulkan bahwa Al-Qur‟an menegaskan equalitas perempuan dan laki-laki.

Senada dengan Al-Qur‟an, sejumlah hadits Nabi pun menyatakan bahwa

sesungguhnya perempuan itu mitra sejajar laki-laki.

Meskipun secara biologis keduanya; laki-laki dan perempuan berbeda

sebagaimana dinyatakan juga dalam Al-Qur‟an, namun perbedaan jasmaniah itu tidak

sepatutnya dijadikan alasan untuk berlaku diskriminatif terhadap perempuan.

Perbedaan jenis kelamin bukan alasan untuk mendiskreditkan perempuan dan

mengistimewakan laki-laki. Perbedaan biologis jangan menjadi pijakan untuk

menempatkan perempuan pada posisi subordinat dan laki-laki pada posisi

superordinat. Perbedaan kodrati antara laki-laki dan perempuan seharusnya menuntun

manusia kepada kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan dan

dengan bekal perbedaan itu keduanya diharapkan dapat saling membantu, saling

mengasihi dan saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena itu, keduanya harus

bekerja sama, sehingga terwujud masyarakat yang damai menuju kepada kehidupan

abadi di akhirat nanti.6

Islam secara tegas menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, yakni

dalam posisi sebagai manusia, ciptaan sekaligus hamba Allah SWT. Dari perspektif

penciptaan, Islam mengajarkan bahwa asal penciptaan laki-laki dan perempuan

adalah sama, yakni sama-sama dari tanah (saripati tanah), sehingga sangat tidak

beralasan memandang perempuan itu lebih rendah daripada laki-laki. Pernyataan ini

6
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h. 6.
28

misalnya terdapat dalam QS. Al-Mu‟minun, [23]:12-16; Al-Hajj. [22]:5; dan Shaad,

[38]:71. Sebagaimana al-Qur‟an surat Shaad (QS, 38: 71):

ٍ ‫ك لِْلم ََلئِ َك ِة إِ يِّن َخالِ ٌق بَ َشرا ِم ْن ِط‬


)١٣ :‫(ص‬.‫ني‬ َ َ‫إِ ْذ ق‬
ً َ َ ُّ‫ال َرب‬
Artinya: “(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah". (Shaad, [38] 71).

Sebagai manusia, perempuan memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan

ibadah sama dengan laki-laki. Perempuan juga diakui memiliki hak dan kewajiban

untuk meningkatkan kualitas dirinya melalui peningkatan ilmu dan takwa, serta

kewajiban untuk melakukan tugas-tugas kemanusiaan yang dalam Islam disebut amar

ma‟ruf nahi munkar menuju terciptanya masyarakat yang adil, damai, dan sejahtera

(baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).

Akan tetapi, dalam realitas sosiologis di masyarakat, perempuan seringkali

diperlakukan tidak setara dengan laki-laki. Kondisi yang timpang ini muncul karena

masyarakat sudah terlalu lama terkungkung oleh nilai-nilai patriarkhi dan nilai-nilai

bias jender dalam melihat relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai

patriarkhi selalu menuntut pengakuan masyarakat atas kekuasaan laki-laki dan segala

sesuatu yang berciri laki-laki. Dalam pandangan patriarkhi, laki-laki dan perempuan

adalah dua jenis makhluk yang berbeda sehingga keduanya perlu dibuatkan segresi

ruang yang ketat; laki-laki menempati ruang publik, sedangkan perempuan cukup di

ruang domestik. Posisi perempuan hanyalah merupakan subordinat dari laki-laki.7

Bukankah Al-Qur‟an sudah menegaskan:

7
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, h. 8.
29

ِ ِ ِ ‫من ع ِمل‬
ْ ‫َجَرُى ْم بِأ‬
‫َح َس ِن َما َكانُوا‬ ُ ‫صاحلًا م ْن ذَ َك ٍر أ َْو أُنْثَى َوُى َو ُم ْؤم ٌن فَلَنُ ْحيِيَ نَّوُ َحيَا ًة طَيبَةً َولَنَ ْج ِزيَن‬
ْ ‫َّه ْم أ‬ َ َ َ َْ
)٧١:‫(النحل‬.‫يَ ْع َملُو َن‬
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, Maka pasti akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baik. dan akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala
yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl, [16]:97).

Islam diturunkan sebagai pembawa rahmat ke seluruh alam, termasuk kepada

kaum perempuan. Nilai-nilai fundamental yang mendasari ajaran Islam seperti

perdamaian, pembebasan, dan egalitarianisme termasuk persamaan derajat antara

laki-laki dan perempuan banyak tercermin dalam ayat-ayat Al-Qur‟an. Kisah-kisah

tentang peran penting kaum perempuan di zaman Nabi Muhammad SAW, seperti Siti

Khadijah, Siti Aisyah, dan lain-lain, telah banyak ditulis. Begitu pula tentang sikap

beliau yang menghormati kaum perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra

dalam perjuangan.

Al-Qur‟an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan

sebagai manusia. Di hadapan Tuhan, laki-laki dan perempuan mempunyai derajat

yang sama. Namun masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi

ajaran tersebut. Banyak faktor seperti lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkat,

sistem (termasuk sistem ekonomi dan politik), serta sikap dan perilaku individual

yang menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan jender tersebut.8

8
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, h. 6.
30

B. Isu-Isu Jender dalam Bidang Fiqh Munakahat

Beberapa isu jender dalam bidang Hukum Perkawinan yang akan dibahas

dalam skripsi ini, diantaranya:

1) Perwalian

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al-wali dengan

bentuk jamak awliya yang berarti pencinta, saudara, atau penolong. 9 Dalam istilah

lain, kata “wali” mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama,

adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa.

Pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang

melakukan janji nikah dengan pengantin pria).10

Perwalian adalah seseorang yang secara hukum mempunyai otoritas terhadap

seseorang lantaran memang mempunyai kompetensi untuk menjadi pelindung.

Sedangkan seseorang membutuhkan wali, untuk melindungi kepentingan serta

haknya lantaran ia tidak mampu berbuat tanpa tergantung pada pengaruh orang

lain.11

Amir Syarifuddin mendefinisikan wali nikah sebagai seseorang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dalam pelaksanaan akad nikah. Akad

nikah tersebut dilangsungkan oleh kedua mempelai, yaitu pihak laki-laki yang

dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan

9
Louis Ma‟luf, Al Munjid, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1975), h. 919.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), h. 1007.
11
Hammudah Abd. al „Afi, Keluarga Muslim, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), h. 89-90.
31

oleh walinya.12 Sedangkan Abdurrahman Al-Jaziry mengatakan tentang wali

dalam al-Fiqh „ala Mazhab al-Arba‟ah:

ِ ‫بد‬
‫ونو‬ ُّ ‫ العقْ ِد فَل‬،‫صحة‬
ُ ‫يصح‬ ّ ‫ ما يتوفق عليو‬:‫الوىل ىف النكاح ىو‬
Artinya: “Wali dalam nikah adalah yang padanya terletak sahnya akad nikah,
maka tidak sah akadnya tanpa adanya (wali)”.13

Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil pengertian bahwa wali dalam

pernikahan adalah orang yang melakukan akad nikah mewakili pihak mempelai

wanita, karena wali merupakan syarat sah nikah, dan akad nikah yang dilakukan

tanpa wali dinyatakan tidak sah. Wali yang bersifat umum dan yang bersifat

khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau

negara yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda.

Yang berhak menempati kedudukan wali ada dua kelompok, yaitu: wali nasab

atau wali yang berhubungan dengan tali kekeluargaan dengan perempuan yang

akan menikah, dan wali hakim atau orang yang menjadi wali dalam kedudukannya

sebagai hakim atau penguasa.14

Secara urutan, orang yang berhak menjadi wali nikah adalah: ayah, kakek

(bapaknya bapak), saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-

laki saudara kandung, anak laki-laki saudara seayah, paman sekandung, paman

12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 77.
13
Abdurrahman Al Jaziry, Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.th), Juz
4, h. 29.
14
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 75.
32

seayah, anak laki-laki paman sekandung, anak laki-laki paman seayah, keluarga

yang mendapatkan ashabah. Jika tidak ada maka beralih ke wali hakim.15

Eksistensi seorang wali dalam akad nikah adalah sesuatu yang mesti. Akad

nikah yang tidak dilakukan oleh wali hukumnya tidak sah. Wali ditempatkan

sebagai rukun dalam pernikahan, dan dapat berkedudukan sebagai orang yang

bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang

diminta persetujuannya untuk kelangsungan pernikahan tersebut.

Ayat yang menjelaskan wali nikah adalah sebagai berikut:

ِ ِ ْ َ‫الصاحلِِني ِمن ِعب ِاد ُكم وإِمائِ ُكم إِ ْن ي ُكونُوا فُ َقراء ي ْغنِ ِهم اللَّو ِمن ف‬ ِ ِ
ُ‫ضلو َواللَّو‬ ْ ُ ُ ُ ََ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َّ ‫َوأَنْك ُحوا ْاْلَيَ َامى مْن ُك ْم َو‬
)١٣:‫يم (النور‬ِ ِ
ٌ ‫َواس ٌع َعل‬
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur
ayat 32)

Dalam mendudukannya sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai

perempuan dalam melakukan akad terdapat beda pendapat di kalangan ulama.

Terhadap mempelai yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan, ulama

sepakat dalam mendudukannya sebagai rukun atau syarat dalam pernikahan.

Alasannya ialah bahwa mempelai yang masih kecil tidak dapat melakukan akad

dengan sendirinya dan oleh karena itu akad tersebut dilakukan oleh walinya.16

15
M. Al-Khin, dkk., Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al-Syafi‟i, Vol. 2.,
(Damaskus: Dar al-Qolam, 2005), h. 59.
16
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 69.
33

Namun terhadap perempuan yang telah dewasa (baligh) baik ia sudah janda

atau masih perawan, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama dari mazhab

Maliki, Syafi‟i, dan Hambali mensyaratkan adanya wali nikah baginya,17

sedangkan ulama mazhab Hanafi tidak mensyaratkan adanya wali baginya, dan dia

berhak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali bagi perempuan lain.

Ulama mazhab Hanafi yang membolehkan perempuan sudah baligh dan cakap

hukum untuk melangsungkan pernikahan untuk dirinya dan orang lain

berpedoman kepada Hadis Nabi SAW.18

‫أح ُّق بِنَ ْف ِس َها ِم ْن َولِي َها َوالْبِك ُْر تُ ْستأْ َم ُر‬
َ ‫ب‬ُ ‫ ((الثَّي‬: ‫ال‬
َ َ‫َّىب صلى الللو عليو وسلم ق‬ ٍ َّ‫َع ِن ابْ ِن َعب‬
َّ ‫اس اَ َّن الن‬
ِ
)‫ (رواه مسلم‬.)) ‫ص ُكوتُ َها‬ُ ‫ِىف نَ ْفس َها َوإِ ْذنُ َها‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda: “Seorang
janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis
dimintai izinnya dan izinnya adalah diamnya”. (HR. Muslim)19

Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama) yang tidak mengesahkan wali

perempuan berpedoman kepada hadis Nabi SAW dari Abu Hurairah menurut

riwayat Ibn Majah:

ُ‫ (( الَ تَُزيو ُج الْ َم ْرأَةُ الْ َم ْرأََة َوالَ تَُزيو ُج الْ َم ْرأَة‬: ‫ول اللَّ ِو صلى اهلل عليو وسلم‬ ُ ‫ال َر ُس‬ َ َ‫ ق‬: ‫ال‬ َ َ‫َع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة ق‬
)‫الزانِيَةَ ِى َي الَِِّت تَُزيو ُج نَ ْف َس َها)) (رواه ابن جمو‬
َّ ‫نَ ْف َس َها فَِإ َّن‬
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan
tidak boleh mengawinkan perempuan dan perempuan juga tidak boleh

17
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966), h. 9.
18
Al Kasani, Bada‟i al-Shana‟i, Vol. 2. (Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982), h. 241-247.
19
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Terjemah A. Hasan, (Bandung: Diponegoro,
1996). h. 297-298.
34

mengawinkan dirinya sendiri. Perempuan yang berzina adalah perempuan yang


mengawinkan dirinya sendiri”. (HR. Ibnu Majah).20
Dari kedua pendapat di atas beserta dalil-dalilnya, Hafiz Muhammad Anwar

merajihkan pendapat jumhur ulama yang tidak memperbolehkan seorang

perempuan menjadi wali nikah atas dirinya atau orang lain karena dalil mereka

lebih kuat lagi jelas, dan pendapat mereka lebih membawa kemaslahatan bagi

banyak orang terutama keluarga perempuan, sebab bagaimanapun juga sang calon

suami akan menjadi bagian dari keluarga itu maka seyogyanya dia adalah laki-laki

yang direstui keluarga tersebut, dibuktikan dengan adanya wali nikah. Sedangkan

hadis yang mereka jadikan pedoman di atas bahwa “seorang janda lebih berhak

atas dirinya daripada walinya”. Bermaksud perempuan lebih berhak untuk

menentukan calon pendamping hidupnya, bukan lebih berhak menikahkan

(menjadi wali) dirinya.21

Selama ini ada pandangan umum yang menyatakan bahwa perempuan

menurut fiqh Islam tidak berhak menentukan pilihan atas pasangan hidupnya.

Yang menentukan dalam hal ini adalah ayah atau kakeknya. Hal ini menimbulkan

asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa. Pandangan ini

dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak

20
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, h. 298.
21
Hafiz Muhammad Anwar, Wilayat al-Mar‟ah fi al-Fiqh al-Islamy, (Riyadh: Dar
Balansiyah, t.th), h. 579.
35

ijbar. Hak ijbar dipahami oleh banyak orang sebagai hak memaksakan suatu

perkawinan oleh orang lain yang dalam hal ini adalah ayahnya.22

Istilah wali mujbir sudah dikenal dalam perkawinan, yaitu wali nikah yang

mempunyai hak terhadap anak gadisnya untuk menikah dengan laki-laki dalam

batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis

keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk

dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal.23

Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya

jika penting untuk kebaikan putrinya. Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat

sebagai berikut:24 1) Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu. 2) Jika

mahar yang diberikan calon suaminya sebanding dengan kedudukan putrinya. 3)

Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan. 4) Jika tidak ada

konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya dengan laki-laki tersebut.

5) Jika putrinya tidak mengikrarkan dia tidak perawan lagi.

Menurut beberapa Ulama Mazhab, wali mujbir dalam daerah perwalian

(wilayah) terhadap anak gadis, khususnya adalah Ayah maka baginya boleh

memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan pilihan sang Ayah. Pendapat ini

merupakan pendapat dari Ulama Syafi‟iyah dan Malikiyah. Berbeda dengan

pendapat lain, Abu Hanifah menyatakan bahwa anak gadis yang telah dewasa

22
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 78.
23
Imamul Muttaqin, Jurnal AL-HUKAMA, Vol. 2, No. 1, Juni 2012, h. 23.
24
Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 202.
36

tidak boleh dipaksa untuk menikah. Pendapat ini juga senada dengan pendapat al-

Auza‟i.25

Adapun konsekuensinya, hak untuk menentukan jodoh dan melakukan

perkawinan adalah hak pribadi perempuan itu sendiri sehingga tidak tergantung

atau terpengaruh kepada wali nikah. Jika perkawinan tetap dilakukan juga oleh

wali, yakni yang ijabnya diucapkan oleh wali, tetap dinyatakan sah, tetapi

dipersyaratkan harus mendapatkan persetujuan dari calon mempelai perempuan

yang bersangkutan. Begitu juga dalam persoalan orang-orang yang berhak menjadi

wali. Dengan dibolehkannya perempuan menikahkan dirinya sendiri, maka wajar

jika dibolehkan pula menjadi wali nikah kerabatnya.26

Tentang wali mujbir, penulis cenderung kepada pendapat ulama mazhab

hanafi yang melarang wali menikahkan perempuan yang ada di bawah

perwaliannya kecuali atas izin darinya selama perempuan tersebut sudah dewasa

dan cakap hukum. Artinya, perempuan yang sudah dewasa dan cakap hukum

berhak menentukan calon pendamping hidupnya sendiri sesuai hati nuraninya,

sedangkan peran wali sebagai pemberi pertimbangan dan masukan-masukan

berharga. Karenanya, penulis tidak sepakat atas hak ijbar bagi perempuan dewasa

dan cakap hukum dengan alasan, adanya nash-nash yang mensyaratkan izin

perempuan dan nash-nash yang menyebutkan penolakan Rasulullah SAW terhadap

25
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid Juz II. Dapat dilihat juga Husein
Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Jender, h. 83-88.
26
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: el-KAHFI, 2008),
h. 232.
37

pernikahan tanpa izin perempuan. Hadis riwayat Imam Muslim di atas secara tegas

mensyaratkan adanya izin dari anak perempuan dalam pernikahan.

2) Nafkah

Kata ‫ نفقة‬berasal dari akar kata ‫ق‬-‫ف‬-‫ ن‬yang memiliki arti sebagai berikut:

„Nafaqa‟ dengan jamak „Anfaq‟ artinya „jalan terowongan atau jalan bawah tanah

yang lancar‟. „Nafaqa‟ dengan bentuk masdar „Nafaqan‟ artinya pasar yang

bersirkulasi aktif atau semarak. „Nafaqa‟ dengan masdar ‘‫ ‟نفوق‬artinya „hilang,

hancur dan habis‟. Jadi, kata ‫ نفقة‬yang bentuk jamaknya adalah „Nafakat‟ dan

„Nifak‟ secara bahasa mengandung makna „sesuatu yang bersirkulasi karena dibagi

atau diberikan kepada orang dan yang membuat kehidupan orang yang

mendapatkannya tersebut berjalan lancar, lalu karena dibagi atau diberikan maka

nafkah tersebut secara fisik habis atau hilang dari pemiliknya‟. Secara syara‟ dan

istilah ‫ نفقة‬diartikan sebagai „Maa Yajibu min al-Maal li al-Ta‟min al-Dharuriyyat

li al-Baqa‟, yaitu „Sesuatu yang wajib diberikan berupa harta untuk memenuhi

kebutuhan yang diperlukan dalam mempertahankan hidup‟. Dari pengertian ini

terlihat bahwa termasuk di dalam nafkah adalah math‟am (makanan), malbas

(pakaian), dan maskan (tempat tinggal).27

Ulama fikih menyimpulkan kewajiban memberi nafkah terjadi pada tiga

tempat dan sebab; istri dengan sebab perkawinan, kaum kerabat karena sebab

nasab, dan hamba ataupun orang-orang lainnya sebab di bawah penguasaan.

27
Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha, (Beirut:
Dar al-Nafa‟is, 1985), h. 485.
38

Kewajiban disebabkan perkawinan merupakan dasar pertama dan lebih utama dari

kedua sebab lainnya, sementara kewajiban karena nasab lebih utama dari

kewajiban karena pemilikan. Kewajiban karena nasab berurutan dari mulai yang

paling dekat sampai seterusnya.28

Dalil-Dalil nash yang dikemukakan para ulama dalam hal kewajiban nafkah

ini:

ِ َّ َ‫ض وِِبا أَنْ َف ُقوا ِمن أَمواِلِِم ف‬ ِ ِ ‫ال قَ َّوامو َن علَى الن‬
‫ات‬
ُ َ‫الصاحل‬ ْ َْ ْ َ َ ٍ ‫ض ُه ْم َعلَى بَ ْع‬ َ ‫َّل اللَّوُ بَ ْع‬
َ ‫يساء ِبَا فَض‬ َ َ ُ ُ ‫الير َج‬
ِ ‫الَلِِت ََتافُو َن نُشوزى َّن فَعِظُوى َّن واىجروى َّن ِِف الْمض‬ َ ‫ب ِِبَا َح ِف‬ ِ ‫ات لِْلغَْي‬ ِ ِ
‫اج ِع‬ َ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ َ َّ ‫ظ اللَّوُ َو‬ ٌ َ‫ات َحافظ‬ ٌ َ‫قَانت‬
)١٣ :‫وى َّن فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ََل تَْب غُوا َعلَْي ِه َّن َسبِ ًيَل إِ َّن اللَّوَ َكا َن َعلِيِّا َكبِ ًريا (النساء‬
ُ ُ‫اض ِرب‬
ْ ‫َو‬
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta
mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
(mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
Kesimpulan hukum pemikiran para ulama dari dasar-dasar hukum nafkah

sebagaimana disebut sebelumnya adalah menempatkan suami sebagai pihak yang

dibebankan kewajiban nafkah kepada istrinya. Sementara ketika suami tersebut

telah dikaruniai anak, ia pun dibebankan pula kewajiban nafkah baik kepada

istrinya maupun anak-anaknya.29

28
M. Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah-Qismu al-Zawaj, h. 228.
29
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1973), h. 169-170.
39

Keterangan di atas semakin menegaskan bahwa nafkah sesungguhnya menjadi

tanggung jawab kaum laki-laki dan tidak dibebankan kepada kaum perempuan.

Hukum asal kewajiban laki-laki atas nafkah, berawal dari konteks hubungan akad

nikah yang menempatkan perempuan sebagai objek (muqtadha al-„aqd; tuntutan

yang terdapat dalam akad). Oleh karena itu, akad nikah seolah menjadi ruang yang

mana perempuan tertanggung (ihtibas) kehidupannya di dalam ruang itu. Maka

suami menjadi aktor paling penting tentang kepemilikan terhadap ruang gerak

istrinya, sehingga suami secara utuh berkewajiban untuk memberi nafkah.

Mufid Abdullah menjelaskan, terkait dengan persoalan nafkah, perlu

ditegaskan bahwa ulama fiqh mengemukakan persoalan penting yang berkaitan

dengan nafkah istri.30 Pertama, keengganan suami membayar nafkah atau suami

tidak mampu. Apabila suami enggan membayar nafkah istrinya, sedangkan ia telah

menentukan nafkah istrinya atau hakim telah menetapkan nafkah wajib yang harus

dibayarkannya, maka menurut ulama fiqh hukumnya sebagai berikut. Apabila

suami itu orang yang mampu dan memiliki harta, maka hakim berhak menjual

harta itu secara paksa dan membayarkan nafkah istrinya sesuai dengan

kebutuhannya. Apabila harta suami yang mampu itu tidak diketahui dan istrinya

menuntut kepada hakim, maka hakim boleh menjarakannya sampai ia membayar

nafkah istrinya tersebut. Akan tetapi, apabila ternyata suami itu memang tidak

mempunyai harta, maka ia tidak boleh dipenjarakan sekalipun istrinya mengajukan

30
Mufid Abdullah, Pemberian Nafkah Narapidana Kepada Istrinya; Studi Kasus di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas 1 Kedungpane Semarang, Skripsi, (Semarang: IAIN Walisongo, 2006), h. 63-
65.
40

gugatan kepada hakim karena Allah SWT. menyatakan apabila seseorang dalam

kesulitan maka harus ditunggu sampai ia berkelapangan.

ِ ِ ِ ِ ِِ ٍِ ِ ِ
َ َ‫ف اللَّوُ نَ ْف ًسا إَِّال َما آَت‬
‫اىا‬ ُ ‫ليُ ْنف ْق ذُو َس َعة م ْن َس َعتو َوَم ْن قُد َر َعلَْيو ِرْزقُوُ فَ ْليُ ْنف ْق ِمَّا آَتَاهُ اللَّوُ َال يُ َكلي‬
)١ : ‫َسيَ ْج َع ُل اللَّوُ بَ ْع َد عُ ْس ٍر يُ ْسًرا (الطَلق‬
Artinya: “Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut
kemampuannya dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah
dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak akan memikulkan beban
kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang telah diberikan Allah kepadanya.
Allah memberikan kelapangan sesudan kesempitan”. (QS. Al-Thalaq : 7)

Menurut jumhur ulama, ketidakmampuan suami membayar nafkah istrinya

bukan berarti kewajibannya membayar nafkah itu gugur sama sekali, tetapi tetap

menjadi hutang bagi suami yang harus dibayar ketika ia telah mampu, bahkan

menurut Mazhab Syafi‟i dan Hanbali, apabila suami tidak mampu sama sekali

membayar nafkah, istrinya boleh meminta fasakh. Namun, menurut Mazhab

Hanafi dan Maliki, suami yang tidak mampu membayar nafkah istrinya tidak

boleh dipisahkan (diceraikan). Menurut Mazhab Hanafi, nafkah yang belum

dibayarkan suami itu menjadi utang baginya yang harus dibayarnya ketika ia telah

mampu. Bahkan, menurut Mazhab Maliki, karena suami tidak mampu membayar

nafkah istrinya, maka selama ketidakmampuan itu kewajiban nafkah gugur dari

suami.31

Adapun pendapat Maliki, Syafi‟i, Imamiyah dan satu Jama‟ah: suami hanya

wajib memberikan tempat tinggal (maskan) dan tidak wajib memberikan makan

serta pakaian. Pendapat ini mendasarkan diri pada zhahir lafaz ayat 6 surat at-
31
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1 No. 2, Juli-Desember 2014, h. 160-161.
41

thalaq di atas. Selain itu, hadis dari Fatimah bint Qays tetapi melalui riwayat

Maliki dimana Nabi menyuruh Fatimah bint Qays untuk menjalankan „iddahnya di

rumah Ummu Maktum tanpa memerintahkan untuk memberinya nafkah.32

Pendapat ini merupakan konsekuensi dari prinsip golongan ini, yang

menyandarkan pemberian nafkah pada kemungkinan suami me-wathi‟ isterinya,

sedangkan dalam talak ba‟in suami tidak memiliki kemungkinan itu.

Adapun hadis tersebut:

ِ ِ ‫يد موَىل اْل‬ ِ ِ ِ


‫الر ْْحَ ِن‬
ّ ‫َس َود بْ ِن ُس ْفيَا َن َع ْن أَِِب َسلَ َم َة بْ ِن َعْبد‬ ْ ْ َ َ ‫َح َّد ثَِِن ََْي َي َع ْن َمالك َع ْن َعْبد اهلل بْ ِن يَِز‬
ِ ‫ص طَلَّ َقها الْبتَّ َة وُىو َغائِب بِالش‬
‫َّام فَأ َْر َس َل إِلَْي َها‬ ِ ‫اطمةَ بِْن‬ ِ ٍ
ٌ َ َ َ َ ٍ ‫َن أَبَا َع ْم ُرو بْ َن َح ْف‬ َّ ‫س أ‬ٍ ‫ت قَ ْي‬ َ َ‫بْ ِن َع ْوف َع ْن ف‬
‫ص َّل اهللُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم‬ ِ ِ
َ ‫ىل َر ُسول اهلل‬ َ‫تإ‬
ِ ْ ‫ك َعلَْي نَا ِمن َشْي ٍئ فَجاء‬
ََ ْ
ِ َ‫ال واهللِ مال‬ ِ ِ ِ ِ
َ َ َ ‫َوكيلُوُ ب َشع ٍري فَ َسخطَْتوُ فَ َق‬
ِ ‫فَ َذ َكر‬
ٌ‫ك ْامَرأَة‬ َ ‫ال تِْل‬ ٍ ‫ت أُيم َش ِر‬
َ َ‫يك ُُثَّ ق‬ ِ ‫ك علَي ِو نَ َف َقةٌ واَمرىا أَ ْن تَعتَ َّد ِِف ب ي‬
َْ ْ َََ َ ْ َ َ‫س ل‬
ِ
َ ‫ال لَْي‬َ ‫ك لَوُ فَ َق‬ َ ‫ت َذل‬ َْ
‫ك ِعْن َدهُ فَِإ َذا‬ ِ ‫ضعِني ثِياب‬ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ‫َص َح ِاِب ْاعتَديي عْن َد َعْبد اهلل بْ ِن أُيم َمكْتُوم فإنَّوُ َر ُج ٌل أ َْع َمى ت‬ ْ ‫اىا أ‬ َ ‫يَ ْغ َش‬
‫اج ْه ِم بْ َن ِى َش ٍام َخطَبَ ِاِّن‬ َ َ‫َن ُم َعا ِويَةَ بْ َن أَِِب ُس ْفيَا َن َوأَب‬
َّ ‫ت لَوُ أ‬
ُ ‫ت ذَ َك ْر‬ ُ ‫ت فَلَ َّما َحلَْل‬ ِ ‫آذ‬
ْ َ‫نيِن قَال‬
ِ َ‫ت ف‬ ِ ‫حلَْل‬
َ
ِ ِِ ِ ِ ُ ‫ال رس‬
‫وك َال‬ ٌ ُ‫ص ْعل‬ ُ َ‫صاهُ َع ْن َعاتقو َوأ ََّما ُم َعا ِويَةُ ف‬ َ ‫ض ُع َع‬ َ َ‫وج ْه ٍم فََلَي‬ َ ُ‫ص َّل اهللُ َعلَْيو َو َسلَّ َم أ ََّماأَب‬ َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ ‫فَ َق‬
‫ُس َامةَ بْ َن َزيْ ٍد فَن َكحتُوُ فَ َج َع َل اهللُ ِِف‬ ِ ِ َ َ‫ال لَو انْ ِك ِحي أُسامةَ بن زي ٍد قَالَت فَ َك ِرىتُو ُُثَّ ق‬
َ ‫ال انْكحي أ‬ ُْ ْ َْ َ ْ َ َ ُ َ ‫َم‬
‫ت بِِو‬ ِ
ُ ْ‫ك َخْي ًرا َوا ْغتَبَط‬ َ ‫َذل‬
Artinya: Telah menceritakan kepada Yahya dari Malik dari Abdullah bin Yazid
mantan budak al-Aswad bin Sufyan, dari Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf
dari Fatimah binti Qais bahwa Abu „Amru bin Hafsh menjatuhkan talak ba‟in
kepadanya, padahal dia sedang berada di Syam. Lalu Abu „Amru mengutus
wakilnya untuk mengirimkan gandum kepadanya, hingga menjadikan Fatimah
marah kepada Abu „Amru berkata, “Demi Allah, kamu tidak berhak atas apapun
dariku.” Fatimah bin Qais lantas mendatangi Rasulullah shallallahu „alaihi
wasallam dan mengkisahkan kejadian itu kepada beliau. Beliau lalu bersabda:
“Kamu tidak berhak mendapatkan nafkah darinya.” Kemudian beliau
32
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 103; Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al
Syakhsiyyah-Qisma al-Zawaj, h. 383.
42

menyuruhnya untuk menunggu masa iddahnya di rumah Ummu Syarik. Setelah itu
beliau bersabda: “Dia adalah wanita yang sering dikunjungi oleh para
sahabatku. Maka tunggulah masa iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum,
dia adalah seorang yang buta, sehingga kamu dapat meletakkan pakaianmu di
sisinya. Jika masa iddahmu telah selesai maka beritahukanlah kepadaku.”
Fatimah berkata, “Ketika masa iddahku telah selesai, aku ceritakan kepada beliau
bahwa Mu‟awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm bin Hisyam telah melamarku.
Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam lalu bersabda: “Jahm itu seorang laki-
laki yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya, sedangkan Mu‟awiyah
adalah seorang laki-laki miskin yang tidak mempunyai harta. Nikahlah dengan
Usamah bin Zaid.” Fatimah berkata, “Sebenarnya aku tidak menyukainya.” Maka
aku pun menikah dengannya, dan ternyata Allah menjadikan kebaikan di dalam
pernikahan itu, hingga aku merasa bahagia.”33

Pendapat Ahmad bin Hanbal, Abu Daud dan Abu Tsaur, Ishaq, dan satu

Jama‟ah: suami tidak wajib memberikan tempat tinggal, makan dan pakaian.

Alasan golongan ini adalah berdasarkan hadis tentang Fatimah bint Qays yang

dikemukakan Ibn „Abbas dan Jabir Ibn „Abdullah. Hadis ini diriwayatkan oleh

Ahmad dan Nasa‟i.34

Menurut Husein Muhammad, bahwa pada dasarnya seorang istri dibebaskan

dari kewajiban bekerja dan berusaha untuk menutupi kebutuhan hidupnya, apalagi

untuk keluarganya. Seluruh kebutuhan istri dan rumah tangga yang menjadi

kebutuhan pokok adalah kewajiban suami. Sehingga apabila suami ternyata tidak

memberikannya, istri berhak menuntutnya atau mengambilnya meskipun tanpa

izin suami.35

33
Imam Malik, Al-Muwatha‟, (Kairo: Dar al-Kutub, t.th), h. 359.
34
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 103; Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-
Syakhsiyyah-Qisma al-Zawaj, h. 383. Hadisnya dapat dilihat pada h. 7.
35
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h.
125.
43

Dari beberapa keterangan di atas, bahwa kewajiban menafkahi itu ada pada

suami. Akan tetapi, ketika istri ingin bekerja atau ingin membuka usaha untuk

menutupi kebutuhan hidupnya, maka tidak ada larangan baginya. Hal tersebut,

dapat dikatakan sudah berkeadilan jender.

3) Hadhanah

Hadhanah berasal dari kata َ ‫ضنَ – يَحْ ضُنُ – َحضْ نا‬


َ ‫َح‬ yang berarti ‫الجنب‬ 36

(lambung, rusuk) erat atau dekat, jadi hadhanah ialah “meletakkan sesuatu dekat

dengan tulang rusuk atau di pangkuan”. Seperti kata, hadhanah ath-thoairu

baidhohu artinya burung itu menghimpit (mengeram) telur di bawah sayapnya.

Demikian juga jika seorang ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan

dipangkuannya seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya.

Sehingga lebih tepatnya hadhanah secara bahasa ialah memelihara anak dengan

meliputi biaya dan pendidikannya.37

Para ahli fiqh mendefinisikan hadhanah adalah: melakukan pemeliharaan

anak-anak yang masih kecil atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, tanpa

perintah dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,

menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani,

36
Ahmad Warson Munawar, Al Munawir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 212.
37
Abdurrahman Al Jaziri, al-Fiqh „ala Madzahib al-Arba‟ah, (Beirut: Dar al-Fikri, t.th.), h.
594.
44

rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul

tanggung jawabnya.38

Hadhanah merupakan kewenangan untuk merawat dan mendidik orang yang

belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya karena mereka tidak bisa

mengerjakan keperluan diri sendiri. Kewenangan seperti itu lebih tepat dimiliki

kaum wanita karena naluri kewanitaan yang ia miliki dan kesabarannya dalam

menghadapi permasalahan kehidupan anak-anak lebih tinggi dibanding laki-laki.39

Mengenai ketentuan batas pengasuhan, para Imam Mazhab berpendapat

diantaranya adalah Imam Hanafi mengatakan: Masa asuhan adalah tujuh tahun

untuk laki-laki dan Sembilan tahun untuk perempuan. Sedang Imam Syafi‟i

berpendapat: tidak ada batasan tertentu bagi asuhan. Anak tetap tinggal bersama

ibunya sampai dia bias menentukan pilihan apakah tinggal bersama ibu atau

ayahnya. Apabila anak sudah sampai pada tingkat ini, anak disuruh memilih

apakah tinggal bersama ibu ataukah ayahnya.

Apabila seorang anak laki-laki memilih tinggal bersama ibunya, maka anak

boleh tinggal bersama ibunya pada malam hari dan dengan ayahnya di siang hari,

agar ayah bias mendidiknya. Sedangkan apabila anak itu perempuan dan memilih

tinggal bersama ibunya, maka dia boleh tinggal bersama ibunya siang dan malam.

38
Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al Ma‟arif, t.th), h. 173.
39
Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Intermasa, 1996), h. 415.
45

Tetapi anak memilih tinggal bersama ibu dan ayahnya, maka dilakukan undian,

apabila anak diam (tidak memberikan pilihan) dan ikut bersama ibunya.40

Menurut pendapat Imam Syafi‟i ini tidak ada batas waktu yang jelas mengenai

pengasuhan akan tetapi ada catatan bahwa sebelum anak bisa menentukan pilihan

apakah tinggal bersama ibu atau ayahnya. Maka tetap anak tersebut tinggal

bersama ibunya selama anak bisa menentukan pilihannya. Sementara pendapat

Imam Hanafi ada batasan waktu dan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

anak laki-laki masa asuhannya tujuh tahun, sedangkan anak perempuan sembilan

tahun. Dan di sini tidak dijelaskan kepada siapa anak memilih untuk dan kapan

waktunya, yang jelas ada batas waktu ditentukan pengasuhannya.

Berbeda halnya dengan pendapat Imam Maliki bahwa masa asuh anak laki-

laki adalah sejak dilahirkan hingga baligh, sedangkan anak perempuan hingga

menikah. Ketentuan ini batas waktu untuk laki-laki lebih rendah yaitu hingga

baligh dan perempuan hingga menikah, ini artinya jauh perbedaan masa asuh laki-

laki dengan perempuan. Pendapat lain adalah Imam Hambali dan Imamiyah.

Masing-masing berpendapat, Imam Hambali: masa asuh anak laki-laki sama

dengan perempuan yaitu tujuh tahun, dan setelah itu ada kebebasan untuk memilih

antara ibu atau ayahnya. Sementara pendapat yang terakhir adalah pendapat

Imamiyah: masa asuh anak laki-laki dua tahun, sedang anak perempuan tujuh

tahun.41

40
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 417.
41
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 418.
46

Menurut Zaitunah Subhan, hak sebagai pengasuh itu tidak harus kepada

ibunya saja melainkan ayah juga. Hal tersebut menurutnya ibu tidak selamanya

berjiwa keibuan, melainkan tidak sedikit laki-laki yang berjiwa keibuan, semangat

dalam mengasuh dan memelihara anak.42

Dari beberapa keterangan di atas, maka dalam ketentuan hadhanah dari

perspektif jender yakni; yang mengasuh anak itu tidak selamanya harus seorang

ibu, melainkan ayah juga dapat mengasuhnya. Dengan beberapa catatan, ketika

pada kasus perceraian didasarkan atas selingkuh atau kasus pelanggaran moral

yang dilakukan istri, maka lebih baik pengasuhan anak lebih baik kepada ayahnya.

Karena ditakutkan nantinya seorang anak akan meniru tingkah laku ibunya yang

nakal misalnya. Begitu juga sebaliknya, apabila suami yang melakukan

perselingkuhan atau melakukan pelanggaran moral, maka pengasuhan anak lebih

baik kepada ibunya. Oleh karena itu, permasalahan pengasuhan tersebut dapat

diatasi untuk kemaslahatan suami istri dan terutama untuk masa depan anak-anak.

4) Nusyuz

Kata nusyuz adalah turunan dari akar kata na-sya-za yang memiliki arti

“Irtikâb‟ atau “Irtifâ‘ ba‘da ittido‘”dan „irtifaʻ min makânibi‟ yaitu

„mengangkatkan kembali‟ (dari tempat atau keadaannya yang pertama) dan

„Intihâd‟ yaitu melegakan nafas dan membagi secara adil‟.

42
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan, h. 318.
47

Dari surat an-Nisa‟ 34, fuqaha menemukan istilah nusyûz al-mar‟ah atau

nusyuz perempuan yang diartikan “pembangkangan istri dan keburukan

kelakuannya pada suami”. Ada juga yang mengartikan “perbuatan isteri

meninggalkan rumah tanpa alasan yang dapat dibenarkan menurut syara‟ yang

akibat dari perbuatan ini seorang isteri tidak berhak mendapat nafkah”.43

Dalam al-Qur‟an turunan kata na-sya-za terdapat pada empat tempat; al-

Baqarah 259, surat al-Mujadalah 11, an-Nisa‟ 34 dan 128. Dalam surat yang

pertama artinya mengangkatkan kembali, dengan maksud menyusun kembali

tulang-tulang burung yang telah dihancurkan menjadi kerangka Dalam surat kedua

artinya mengangkatkan diri, dengan maksud menyegerakan dan melaksanakan

suruhan kebaikan yang diminta, namun ada juga yang mengartikan „bernafas lega

atau berlapang dada‟ yaitu tidak berkeluh kesah; Surat yang ketiga ayat 34 artinya

mengangkat ketaatan, maksudnya membangkang; dan ayat 128 mengangkatkan

kebaikan yaitu perilaku suami yang menekan isteri, menyakiti, dan sebagainya. 44

Al-Qur‟an tidak secara tegas menyebutkan bahwa isteri yang nusyuz tidak

berhak mendapat nafkah. Para fuqaha menarik kesimpulan ini melalui pemahaman

kompensasi hak dan kewajiban antara suami isteri. Dengan mengacu kepada surat

an-Nisa‟ ayat 34, fuqaha menetapkan bahwa ketaatan isteri adalah wajib dan

merupakan hak suami sebab kalau ketaatan isteri tidak menjadi hak suami maka

kepemimpinan suami yang diisyaratkan dalam ayat ini tidak akan terlaksana. Hak

43
Muhammad Rowas Qal „aji dan Hamid Sodiq Qanibi, Mu‟jam lughah al-Fuqaha‟, h. 480.
44
Jalaluddin as-Suyuti, ad-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma‟tsur, Cet. I (Beirut: Dar al-Kutub
al-„Ilmiyyah, 1990), Vol. 1, h. 588; vol.6, h. 345; vol.3, h. 277 dan 411.
48

suami atas ketaatan istrinya ini lebih tegas lagi diterangkan dalam ayat yang

memberikan wewenang kepada suami untuk menghukum istrinya dalam rangka

memperbaiki kelakuan istri (ta‟dib), yaitu mengembalikan ketaatannya kepada

suami.45 Selanjutnya, fuqaha menetapkan bahwa nafkah adalah hak istri sebagai

balasan kewajiban taatnya kepada suami. Jadi, meninggalkan atau melepaskan

kewajiban taat oleh isteri kepada suami disimpulkan mengakibatkan gugurnya hak

(nafkah) istri dari suaminya.

Walaupun para ulama sepakat bahwa nusyuz menghilangkan hak nafkah istri

tetapi mereka berbeda pendapat tentang pengertian dan batasan perilaku nusyuz

(tidak taat) yang menyebabkan hilangnya hak nafkah tersebut. Perbedaan ini

timbul atas dasar perbedaan pandangan tentang aspek perkawinan yang

menimbulkan kewajiban nafkah.

a) Hanafiah: yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah adalah beradanya

wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan wathi‟ tidak ada

hubungannya dengan kewajiban nafkah. Karenanya, walaupun istri mengunci

dirinya di kamar dan tidak bersedia dicampuri sekalipun tanpa dasar syara‟

yang benar selama dia tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, istri

tersebut masih dipandang patuh (muthi‟ah) dan tidak menggugurkan haknya

atas nafkah. Pendapat ini membedakan diri dari seluruh pendapat mazhab

lainnya. Oleh karena itu, menurut Hanafi dan juga Imamiyah serta satu

45
Abi Bakr Ahmad ibn „Ali al-Razi al-Jassas, Ahkam al-Qur‟an, h. 375.
49

golongan dari hanabilah, istri yang sakit, nafkahnya tidak gugur, sedangkan

menurut Maliki gugur.46

b) Mazhab selain Hanafi semuanya berpendapat sama bahwa walaupun istri tidak

keluar rumah tetapi jika dia tidak memberikan kemungkinan suami untuk

menggaulinya dan berkhalwat dengannya tanpa ada alasan yang logis serta

dibenarkan oleh syara‟, maka istri tersebut dipandang nusyuz dan tidak berhak

atas nafkah.47

c) Ulama Syafi‟iyyah bahkan lebih mengkhususkan bahwa walaupun istri masih

bersedia digauli dan berkhalwat dengan suami kalau dia bersikap enggan dan

tidak menawarkan dirinya seraya mengatakan dengan tegas, “Aku menyerahkan

diriku kepadamu”, istri tersebut belum cukup dianggap patuh.48 Imam Nawawi

menerangkan lebih spesifik bahwa yang dikatakan nusyuz adalah dengan

menolak suami berhubungan tanpa ada „uzur dari pihak suami ataupun dari

pihak istri. Begitu juga, bila istri keluar dari rumah yang disuruh tempatin oleh

suami tanpa izinnya serta bukan untuk kepentingan suami. Termasuk dalam hal

ini keluar rumah untuk ibadah haji wajib dan juga ziarah kepada orang tua,

umrah, puasa sunnah, dan amal ibadah lainnya. Jadi, tindakan istri yang

dilakukan tanpa mengantongi izin suami akan dikategorikan sebagai tindakan

nusyuz, dan konsekuensinya tidak berhak mendapakan hak nafkah dan mut‟ah.

46
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.
47
Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.
48
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 59; Muhammad Jawad Mughniyyah, al-Fiqh „ala al-
Mazahib al-Khamsah, h. 101-102.
50

Hal ini juga merupakan pendapat mazhab Hanafi yang menjadikan keluar

rumah sebagai kriteria fundamental dalam menilai nusyuz seorang istri. Adapun

menurut Imamiyah dan Hambali kepergian seorang istri untuk menunaikan

ibadah wajib walaupun tanpa izin suami tidak menyebabkan nusyuz dan tidak

menggugurkan hak nafkahnya.49

Dalam fiqh dinyatakan bahwa apabila terjadi nusyuz, tindakan pertama yang

boleh diambil oleh suami adalah menasihati istri dengan tetap mengajaknya tidur

bersama. Tidur bersama ini merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah

tangga. Apabila tindakan pertama ini tidak membawa hasil, boleh diambil tindakan

kedua, yaitu memisah tempat tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua istri tetap

melakukan aksi nusyuz, suami boleh melakukan tindakan ketiga, yaitu memisah

tidurnya dan boleh memukulnya.50

Tindakan demikian menurut kalangan ulama fiqih bisa dilakukan setiap kali

suami menduga kalau istri sedang nusyuz. Dalam suatu kutipan kitab fiqih klasik

dinyatakan:

‫وإذاخاف نشوزاملرأة وعظها فإن أبت إال النشوز ىجرىا فإن أقامت عليو ىجورىا وضرهبا ويسقط‬
.‫بالنشوز قسمها ونفقتها‬
Artinya: “Apabila dikhawatirkan seorang istri akan berbuat nusyuz, nasihatilah;
ketika dinasihati membantah dan masih tetap nusyuz, pisahlah tempat tidurnya; dan

49
Yahya Ibn Syarif an-Nawawi, Minhaj al-Thalibin wa „Umdat al-Muftin fi Fiqh Mazhab al-
Imam al-Syafi‟i, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1996), h. 154.
50
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,
(Bandung: Mizan, 2001), h. 183.
51

apabila masih saja melakukan nusyuz, pisah dan pukullah, dengan nusyuz ini hak
mendapat giliran apabila dia dipoligami hak mendapatkan nafkah menjadi gugur.51

Apabila kita lihat pernyataan kitab tersebut, baru pada taraf menduga saja,

seorang suami sudah boleh mengklaim bahwa istrinya melakukan nusyuz. Jelas,

posisi istri dalam hal ini rentan sekali. Istri tidak mempunyai kesempatan untuk

melakukan pembelaan diri, apalagi koreksi, terhadap tindakan suaminya sebab setiap

bentuk koreksi sehalus apa pun bisa diklaim oleh suaminya sebagai tindakan

pembangkangan (nusyuz). Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat

leluasa untuk menentukan apakah tindakan istri sudah bisa dikatakan sebagai nusyuz

atau tidak.52

Menurut Syafiq Hasyim, dalam merekonsturuksikan konsep nusyuz, fiqih kita

selama ini tidak adil. Fiqih tampak hanya mempertimbangkan kepentingan laki-laki

sehingga kedudukan perempuan dalam menegosiasikan hal ini sangat lemah. Untuk

itu, dalam memahami persoalan nusyuz, kita harus mempertimbangkan hal-hal

sebagai berikut: pertama, prinsip keadilan. Kita yakin Al-Qur‟an selalu dalam posisi

yang adil dalam mengemukakan persoalan, artinya ketika istri melakukan nusyuz,

harus dilihat apa sebabnya. Jadi, yang dimaksud dengan prinsip keadilan dalam

melihat nusyuz adalah prinsip ketika istri nusyuz tidak hanya dipahami pada sisi

ketidaktaatan istri, tetapi harus dipahami secara menyeluruh, misalnya, bagaimana

perlakuan suami terhadap istrinya, apakah hak-hak istri sudah dipenuhi suami atau

51
Abu Syuja‟, al-Ghayah wa al-Taqrib, (Mesir: Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, t.th), h.
32.
52
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,
h. 184.
52

belum. Kedua, prinsip mu‟asyarah bi al-ma‟ruf. Prinsip ini pada dasarnya merupakan

prinsip umum dari keseluruhan tata hubungan suami istri, baik istri maupun suami,

masing-masing harus saling mempergauli secara baik. Apabila prinsip ini benar-benar

dilaksanakan, kecil kemungkinan akan terjadi nusyuz.53 Oleh karena itu, tidaklah

diperkenankan memukul istri yang nusyuz sebelum mengetahui sebab terlebih dahulu.

Dari penjelasan di atas, maka ketentuan nusyuz tersebut dilihat dari perspektif

jender semestinya seorang suami harus meneliti terlebih dahulu mengapa terjadi

nusyuz. Apakah tindakan nusyuz istri itu memang semata-mata dilakukan karena istri

mempunyai niat membangkang kepada suami, atau disebabkan karena istri ingin

mengambil haknya yang tidak diberikan oleh suami? Semua ini harus melihat secara

jernih agar tidak mudah menjatuhkan tuduhan nusyuz kepada istri. Oleh karena itu,

tidak semestinya suami langsung mengategorikan istri nusyuz tanpa adanya

penulusuran lebih lanjut mengenai pembangkangan istrinya tersebut. Karena,

terkadang suami langsung menjustifikasi perlakuan negatif yang dilakukan istrinya,

tanpa adanya penjelasan terlebih dahulu dari istrinya tersebut.

53
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam,
h. 187.
BAB IV

PEMIKIRAN KH. MA. SAHAL MAHFUDH


TENTANG ISU-ISU JENDER

A. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan

Pemikiran jender KH. MA. Sahal Mahfudh merupakan angin segar bagi kaum

perempuan untuk mengembangkan potensi secara maksimal agar mampu

menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri di ruang publik dalam rangka

memberikan kemanfaatan yang besar bagi kemajuan bangsa. Jika hal ini terjadi, maka

masyarakat akan merasakan manfaat besar dari kehadiran perempuan dalam semua

aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sosial, teknologi, dan

lain-lain.1

Untuk mempermudah dan mempertajam dalam menganalisa, maka penulis

hanya akan membahas beberapa hal saja terutama dalam bidang perkawinan.

1. Wali Mujbir

Menurut Sahal Mahfudh bahwa setiap insan tentu ingin membina rumah

tangga dengan jalan melangsungkan perkawinan. Suatu keinginan yang mulia dan

sangat wajar. Tak seorang pun mengingkari, dalam diri manusia terdapat hajah

atau jinsiyah (kebutuhan atau nafsu biologis), yang sengaja diberikan oleh Allah

SWT untuk menjaga perkembangbiakan manusia (tannasul) sebagai prasyarat

proses imarah al-ard (memakmurkan bumi) secara berkesinambungan. Sudah

1
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi
Lima Ciri Utama), (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015), h. 272.

53
54

pasti pula, dengan perkawinan diharapkan dapat memberikan kebahagiaan lahir

batin, suatu keadaan yang sering diistilahkan dengan penuh mawaddah, mahabbah

dan rahmah yang karenanya gagasan tentang “rumahku surgaku di dunia” dapat

menjadi nyata.2

Menurutnya, penentuan calon pendamping baik istri maupun suami

merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah. Proses

tersebut hendaknya dilakukan dengan penuh kasih kehati-hatian, karena akan

sangat mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan

yang diidealkan. Permasalahannya menjadi agak rumit, tatkala dalam memilih

jodoh ternyata seseorang tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua, sebagai pihak

yang menjadi perantara kehadirannya di dunia.3

Di samping alasan moral tersebut, Sahal Mahfudh mengatakan bahwa orang

tua juga merasa memiliki alasan ikut menentukan sang calon, berupa keinginan

membahagiakan anaknya, menjaga nama baik, meneruskan misi, dan lain-lain

serta serangkaian cita-cita yang sangat wajar dan normal bagi mereka. Akan tetapi,

keterlibatan mereka akan menyebabkan terjadi proses tarik-menarik antara harapan

dan kepentingan si anak dengan harapan dan kepentingan orang tua, yang memang

tidak selamanya sama. Bahkan kadang-kadang cenderung berlawanan, misalnya

2
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista, 2010), h. 239.
3
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 239.
55

anak menginginkan suami yang sederhana asal berbudi luhur, sedangkan orang tua

lebih memprioritaskan aspek material daripada pertimbangan moral keagamaan.4

Sahal Mahfudh berpendapat bahwa perbedaan tersebut pada gilirannya akan

mengakibatkan adanya ketidaksamaan dalam membuat kriteria calon yang

diinginkan, apabila tidak bisa dikompromikan lewat pencarian solusi yang

memuaskan kedua pihak, tidak mustahil akan terjadi perbuatan-perbuatan yang

nekat dan irasional, seperti kawin lari, bunuh diri, atau menjerumuskan diri ke

dalam dunia hitam yang justru merugikan diri sendiri. Hal ini adalah suatu

kenyataan yang sangat disesalkan. Selanjutnya, bagaimana sikap (ulama atau ahli

fiqh) dalam masalah tersebut? Ini merupakan permasalahan yang layak untuk

dikedepankan di tengah-tengah giatnya upaya emansipasi perempuan pada zaman

ini yang kadang-kadang secara salah kaprah dimengerti sebagai persamaan dalam

segala aspek kehidupan tanpa melihat sisi-sisi perbedaan sehingga terjebak dalam

sikap ifrath.5

Dalam Mazhab Syafi‟i, sebagaimana termaktub pada literatur fikihnya,

ternyata diakui adanya wali mujbir yaitu bapak atau kakek yang memiliki hak

memaksa anak perempuannya bukan perawan untuk menikah dengan laki-laki

tanpa persetujuannya. Pendapat tersebut secara implisit mengakui orang tua

sebagai pihak yang lebih tahu dan berpengalaman menentukan pasangan anaknya.

Nilai lebih itu kemudian dilengkapi adanya rasa kasih sayang yang sudah menjadi

4
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240.
5
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240.
56

fitrahnya. Perpaduan antara pengalaman, kebijaksanaan, dan kasih sayang ini bila

berjalan sebagaimana mestinya tampaknya cukup menjamin hak memaksa yang

dimiliki tidak akan membawa pada keputusan keliru.6

Sahal Mahfudh mengatakan bahwa sangatlah berbahaya bila masalah hukum

hanya didasarkan atas kasih sayang semata. Karenanya hak ijbar (memaksa)

tersebut hanya bisa diberlakukan jika telah memenuhi beberapa persyaratan yang

sangat ketat, seperti antara anak dan wali tidak terjadi permusuhan yang jelas

diketahui masyarakat sekitar, anak tidak terlibat permusuhan dengan calon

pasangan, baik secara terang-terangan maupun tidak, sang calon harus setara dan

kaya dalam arti mampu pula membayar mahar. Kalau keempat syarat tersebut

tidak dipenuhi, maka pernikahannya tidak sah.7

Selain itu, menurut Sahal Mahfudh ada satu hal lagi yang bila tidak dipenuhi,

maka sang wali berdosa, meski pernikahannya tetap sah, yaitu jumlah mahar tidak

kurang dari mahar mitsil (sesuai dengan mahar yang diterima saudara-saudara

perempuan dan kerabatnya). Berupa mata uang yang lazim digunakan di

daerahnya serta diserahkan secara kontan.8

Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-kufu adalah sederajat

atau setingkat dalam aspek nasab status (kemerdekaan, profesi, dan agama).

Perempuan yang salehah tidak setara dengan laki-laki yang tidak bermoral.

6
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240-241.
7
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 240-241.
8
Pendapat tersebut beliau kutip dari Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh „ala al-
Madzahib al-Khamsah, (Beirut: Dar al-Jawad, 1996), h. 368.
57

Perempuan yang berasal dari keluarga dengan profesi terhormat tidak setara

dengan yang berprofesi kurang terhormat.9 Kesetaraan merupakan hak anak dan

orang tua. Si anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara

tanpa persetujuannya, orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk

menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai

hasrat menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak

atau melakukan al-adhal.10

Perlu juga diperhatikan, hak ijbar yang telah memenuhi syarat tersebut,

menurut Muktamar Nahdlatul Ulama, dengan merujuk pada kitab Hasyiyah

Sulaiman Al-Bujairimi „ala Al-Khatib‟, hanya diperkenankan jika tidak

dikhawatirkan membawa akibat yang fatal. Lebih jauh disinggung bahwa yang

dimaksud “diperkenankan” pada kasus ijbar di sini bukan berarti mubah,

melainkan makruh, yang berarti perkawinan semacam itu sebaiknya tetap

dihindari.11 Sebaliknya dianjurkan (sunnah) meminta izin dan persetujuan si anak.

Hak ijbar juga dijumpai dalam Madzhab Maliki dan Hanbali.12

Selain pendapat tersebut, ada juga ulama yang tidak mengakui hak ijbar

terhadap anak perempuan yang telah baligh secara mutlak, baik perawan maupun

janda. Mereka adalah pendukung Madzhab Hanbali. Pendapat itu sangatlah

beralasan. Sebab jika dalam masalah jual beli saja unsur taradhi (kerelaan, lawan
9
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 241.
10
KH. MA. Sahal Mahfudh mengutip pendapat tersebut dari Zainuddin bin Abdul Aziz Al-
Malibary, Fath Al-Mu‟in, (Beirut: Daar al-Kutub, 1996), h. 317.
11
Lebih lengkap lihat Sulaiman bin Muhammad al-Bujarimi, Hasyiyah Sulaiman Al-
Bujairimi „ala Al-Khatib, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1951), h. 245.
12
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 241.
58

dari ikrah, paksaan) menjadi syarat keabsahan akad, tentu hal yang sunnah bahkan

lebih baik juga berlaku dalam perkawinan yang jauh lebih penting. Karena hal ini

mencakup kehidupan seseorang secara langsung dalam jangka panjang. Pendapat

itu diperkuat asumsi, yaitu setiap manusia mempunyai hak untuk menentukan

nasib sendiri.13

Disamping alasan-alasan rasional, mereka juga menyalurkan dalil tekstual

(naqli) berupa hadis riwayat Ibnu Majah yang dinukil dalam isi kitab Al-Halal wa

al-Haram fi Al-Islam, yang mengesahkan tentang seorang perempuan datang

kepada Rasulullah SAW Mengadukan nasib telah dinikahkan bapaknya dengan

laki-laki saudaranya (keponakan) yang tidak disukainya. Dalam arti, dia diberi hak

membatalkan perkawinan tersebut. Anehnya dia tidak mau, bahkan berkata, “Saya

memperbolehkan tindakan bapakku, akan tetapi saya ingin memberitahukan

kepada para perempuan bahwa orang tuanya tidak berhak apa-apa atasnya. Artinya

mereka tidak berhak memaksa”.14

Dari uraian di atas, maka dapatlah ditarik satu kesimpulan, bahwa menurut

Sahal Mahfudh persetujuan calon mempelai hendaknya mendapat perhatian

sewajarnya. Meminta persetujuan si anak, selain dianggap baik dari sisi

pengamatan ajaran Rasulullah SAW, juga didukung kaidah fikih al-khuruj min al-

13
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 242.
14
Baca Yusuf Qardhawi, al-Halal wa al-Haram Fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Fikr, 1960).
Lihat juga Terjemahan oleh Mu‟ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Pandangan Islam,
(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), h. 160.
59

khilaf mustahab, keluar dari perbedaan dengan mengompromikan pendapat yang

berbeda-beda adalah sunnah.

2. Nafkah

Sahal Mahfudh membahas mengenai hak anak atas nafkah pasca perceraian,

ia berpendapat bahwa seorang suami tetap harus memberi nafkah kepada anak-

anaknya meskipun telah bercerai dengan istrinya.

Kewajiban memberikan nafkah anak tidak gugur dengan terjadinya

perceraian. Hal ini sebagaimana tercermin dalam firman Allah SWT:

ِ ِ َ ‫وإِ ْن ُك َّن أ‬
‫ُجوَرُى َّن‬
ُ ‫وى َّن أ‬ َ ‫ض ْع َن ْحَْلَ ُه َّن فَِإ ْن أ َْر‬
ُ ُ‫ض ْع َن لَ ُك ْم فَآَت‬ َ َ‫ُوالت ْحَْ ٍل فَأَنْف ُقوا َعلَْي ِه َّن َح َِّت ي‬ َ
)٦:‫(الطَلق‬
Artinya: “Dan jika mereka (istri-istri) yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka
upahnya...” (QS. Ath-Thalaq: 6)

Menurut Sahal Mahfudh, secara sosiologis, pengabaian nafkah pasca

perceraian oleh ayah telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala

cara. Kerapkali kita dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau

menjalani pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk

mencukupi nafkah anaknya setelah ditinggal suami.15

Selain itu dalam bahasannya mengenai hak anak atas nafkah, Sahal pun

membahas tentang hak istri atas nafkah. Ia berpendapat, kalau nafkah merupakan

hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, jika suami tidak

15
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 274.
60

mampu membayar nafkah maka istri berhak mengajukan perceraian. Hal tersebut

tentu bila nafkah minimal tidak dapat dipenuhi suami.

Karena itu dalam sebuah hadis riwayat Abdullah ibn Mas‟ud, Rasulullah

SAW. bersabda:

ِ ‫يا مع َشر الشَّباب م ِن استَطَاع ِمْن ُكم الْبآء َة فَ ْليتَ زَّوج فَِإنَّو أ َْعض لِْلبص ِر واحصن للفرج ومن ََل يس‬
‫تط ْع‬ ْ َ ْ ْ ََ َ َ َ ُ ْ َ َ َ َ ُ َ ْ َ َ َ َ َْ َ
.ٌ‫الص ْوِم فَِإنَّوُ لَوُ ِو َجآء‬
َّ ِ‫فَ َعلَْي ِو ب‬
Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu
membayar biaya(ongkos) pernikahan maka kawinlah. Karena sesungguhnya nikah
dapat mencegah penglihatan dan memelihara farji. Barangsiapa yang belum
mampu, maka berpuasalah. Karena sesungguhnya puasa dapat menjadi benteng.16

Para ulama mengartikan al-ba‟ah dengan kemampuan memberi nafkah dan

mahar. Jadi, anjuran menikah oleh Rasulullah SAW. Ditujukan kepada pemuda

yang secara ekonomis sudah mapan. Karena setelah berubah status menjadi suami,

ia wajib menafkahi diri sendiri dan istrinya. Dan setelah menjadi ayah, menafkahi

anaknya.

Dalam kitab-kitab fikih terdapat 3 (tiga) kategori suami; kaya, sedang, dan

fakir.17 Seorang istri yang salehah semestinya menyadari kemampuan suaminya.

Tidak sepatutnya menuntut suami di luar kemampuannya. Sikap qana‟ah

(menerima) perlu diutamakan. Demikian pula sebaliknya, suami yang baik tidak

bakhil, tetapi bersikap sakha‟ (dermawan). Ada ulama yang membagi nafkah

menjadi dua, yaitu nafkah rohani atau batin dan jasmani atau lahir. Nafkah batin

16
Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Muhirrah al-Bukhari, Kitab
Shahih al-Bukhari hadis ke-5066, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 955.
17
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 277.
61

adalah melakukan hubungan suami istri (jimak). Sedangkan nafkah jasmani adalah

kebutuhan sandang, papan dan pangan.18

Sahal Mahfudh mengatakan, Jika suami impoten (al-„unnah), istri berhak

mengajukan perceraian, sebab sang suami tidak bisa memberikan nafkah batin.

Demikian halnya kalau suami tidak mampu memberikan nafkah jasmani. Bahkan

yang kedua jauh lebih penting. Karena ketiadaan nafkah jasmani membawa

dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah batin. Hal ini

sesuai dengan hirarki kebutuhan yang dibuat oleh sebagian psikolog yang

menempatkan kebutuhan fisikologis makanan atau minum pada urutan pertama.

Orang dapat hidup meskipun kebutuhan seksual tidak terpenuhi.19

Sahal Mahfudh juga berpendapat bahwa seorang Tenaga Kerja Wanita

diperbolehkan bekerja ke luar negeri tanpa didampingi mahramnya. Artinya, hal

tersebut berbeda dengan pendapat para ulama klasik yang melarangnya. Namun,

menurutnya hal tersebut diperbolehkan jika sudah masuk dalam kategori bekerja

wajib, yaitu ia sebagai penanggung jawab ekonomi keluarga, atau dirinya sendiri,

tidak ada lapangan pekerjaan di daerah atau di negaranya, dan kondisinya tidak

mengkhawatirkan.20

18
Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
19
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 277.
20
Jamal Ma‟mur Asmani, Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh (Elaborasi
Lima Ciri Utama), h. 269.
62

3. Hadhanah

Menurut Sahal Mahfudh, dalam menentukan siapa yang lebih berhak

melakukan hadhanah, dibedakan antara anak yang belum mumayyiz dan anak

yang mumayyiz. Anak dianggap sudah mumayyiz apabila telah mampu makan,

minum, buang air kecil dan besar sendiri. Ada yang memberi batasan sampai umur

7 (tujuh) tahun. Pada perkembangan ini (mumayyiz), orang tua diperintahkan

menyuruh anaknya melakukan shalat supaya kelak setelah dewasa (mukallaf atau

baligh) menjadi terbiasa dan terlatih.21

Dalam KHI pasal 156, dijelaskan anak yang belum mumayyiz berhak

mendapatkan hadhanah dari ibunya. Bila ibu meninggal, kedudukannya digantikan

oleh: 1) perempuan-perempuan dalam garis lurus dari ibu, 2) ayah, 3) perempuan-

perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah, 4) saudara perempuan dari anak

yang bersangkutan, 5) perempuan-perempuan kerabat sedarah menurut garis

samping dari ayah.

Secara lebih detail, kitab Al-Fiqh Al-Manhaji menerangkan, pemegang

hadhanah harus memenuhi persyaratan, yaitu: 1) Beragama Islam bila mana

anaknya muslim, 2) al-iffah dan al-amanah (tidak fasik), 3) tidak bepergian, 4)

tidak bersuami lagi, 5) tidak mengidap penyakit berbahaya yang bisa mengganggu

pekerjaan hadhanah, seperti buta maupun tuli.22

21
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 280-281.
22
Pendapat tersebut dikutip oleh KH. MA. Sahal Mahfudh dari kitab Musthofa al-Bugha,
dkk., Al-Fiqh Al-Manhaji, Juz 2. (Damaskus: Dar al-Qolam, 1992), h. 186-187.
63

Berdasarkan keterangan di atas, maka hak asuh ibu didahulukan atas ayah.

Hal ini di samping bersandar pada dalil naqli juga didukung dalil aqli. Dalam satu

hadis dari Abdullah Ibn Umar, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. Didatangi

oleh seorang perempuan. Perempuan itu berkata kepada beliau, “Wahai

Rasulullah, sesungguhnya ini adalah anakku, perutku yang mengandungnya,

susuku yang dia minum, dan di bilikku tempat berkumpulnya (bersamaku), dan

sesungguhnya bapaknya telah menceraikanku dan ingin mengambilnya dariku”.

Mendengar pengaduan itu Rasulullah SAW. Memberi keputusan seraya berkata,

“Kamu lebih berhak atas anak itu selama engkau tidak menikah lagi”.23

Jadi, Sahal Mahfudh berpendapat bahwa ibu lebih berhak memelihara anak,

dengan pertimbangan kasih sayang ibu („athifah al-umumah) pada umumnya lebih

besar dari ayah. Hubungan batin ibu dengan anak lebih kuat. Anak membutuhkan

ASI dan hanya dimiliki ibu. Perempuan juga lebih sabar dan lembut sehingga lebih

sesuai untuk melakukan tugas mengasuh dan merawat anak.

Satu hal yang seringkali dilupakan, ketika anak di bawah pengasuhan ibu

semua biaya hadhanah dan nafkah anak tetap menjadi tanggungan ayah menurut

kemampuannya.24 Jadi, tidak dibenarkan apabila ayah secara tidak bertanggung

jawab lepas tangan dalam urusan nafkah anak. Akibatnya, semua biaya perawatan

atau nafkah ditanggung oleh ibu.

23
Musthofa al-Bugha, dkk., Al-Fiqh Al-Manhaji, h. 182.
24
Kompilasi Hukum Islam Pasal 156.
64

4. Nusyuz

Sahal Mahfudh membahas mengenai nusyuz, ia mengatakan kebolehan

memukul istri bila melakukan nusyuz (pembangkangan) seperti pendapat para

ulama klasik. Akan tetapi, ia juga menegaskan bahwa meskipun dibolehkan,

namun lebih baik diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif

dan menghindari cara-cara kekerasan.25

Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:

ِ ‫اَلْمسلِم من سلِم الْمسلِم ِمن لِسانِِو وي ِد ِه والْمه‬


‫اج ُر َم ْن َى َجَر َما نَ َهى اللّوُ َعْنوُ (رواه‬ َ ُ َ ََ َ ْ ُ ْ ُ َ َ ْ َ ُ ْ ُ
)‫أْحد‬
Artinya: “Muslim (yang sempurna) adalah orang yang kaum muslimin
(masyarakat) terhindar dari dampak negatif yang timbul dari lisan dan
tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang
dilarang oleh Allah”. (HR. Ahmad)26

Didahulukannya lisan dari tangan pada hadis di atas karena dampak yang

ditimbulkannya bisa lebih fatal dari tangan. Yang terluka akibat lisan adalah hati

dan perasaan, yang jelas lebih sulit disembuhkan daripada luka fisik. Ucapan yang

tidak baik semakin dicela jika dilakukan terhadap orang-orang yang semestinya

dihormati seperti kedua orang tua dan suami atau istri.

Kalau kemudian ditemukan kekurangan-kekurangan atau ketidakpuasan pada

pasangannya, sebaiknya diadakan dialog untuk mencari solusi yang efektif. Dan

25
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 263.
26
Ahmad ibn Muhammad ibn Hanbal, Musnad Hanbal, (Kairo: Mu‟assasah Qurtubah, t.th),
h. 266.
65

hendaknya tiap-tiap pihak menyadari, tidak ada manusia yang baik dan benar

secara mutlak.27

B. Analisis atas Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam Bidang Perkawinan

dari Perspektif Jender

Keunikan pendapat Sahal Mahfudh dibandingkan dengan pendapat para

ulama klasik yaitu menurut penulis terletak pada keutamaan mementingkan maslahat

pada pencarian solusi terhadap masalah yang ada pada zaman sekarang ini, seperti

permasalahan mengenai wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz. Sehingga Sahal

Mahfudh tidak terpaku pada pendapat salah satu ulama klasik yaitu misalnya Imam

Syafi‟i saja, akan tetapi, beliau tidak ragu juga merujuk pada pendapat berbagai

ulama seperti Imam Hambali, Imam Hanafi, dan Imam Maliki. Bahkan berbeda

dengan pendapat para ulama klasik. Hal tersebut dapat membedakan Sahal Mahfudh

dengan ulama-ulama NU lainnya yang terkadang fanatik terhadap salah satu mazhab.

Melihat pemikiran Sahal Mahfudh sebelumnya, maka penulis ingin

menganalisis bahwa pemikiran Sahal tersebut sudah memenuhi kriteria keadilan

jender atau justru kebalikannya. Oleh karena itu, untuk mengetahuinya, maka dapat

dijelaskan terlebih dahulu, diantaranya:

1. Wali Mujbir

Sahal Mahfudh dalam bukunya mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus

minta izin kepada calon perempuan supaya bangunan yang dirajut bisa sakinah,

27
KH. MA. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, h. 263.
66

mawaddah wa rahmah. Hal ini jelas berbeda dengan pendapat ulama klasik yang

mengatakan bahwa wali mujbir boleh memaksa anak perempuan menikah tanpa

adanya izin terlebih dahulu kepada calon perempuan tersebut.

Oleh karena itu, pendapat Sahal Mahfudh mengenai wali mujbir ini sudah

berkeadilan jender. Hal tersebut terlihat dalam pendapatnya bahwa meskipun wali

mujbir mempunyai hak untuk memaksa anak perempuan menikah tanpa izin

terlebih dahulu, akan tetapi alangkah baiknya jika meminta izin terlebih dahulu,

guna terciptanya rasa ikhlas/kerelaan calon perempuan dalam menentukan

pilihannya serta terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

2. Nafkah

Dalam pembahasan mengenai nafkah ini, Sahal Mahfudh memiliki dua

pendapat, yaitu hak istri atas nafkah pasca perceraian dan hak anak atas nafkah. Ia

mengatakan bahwa istri dan anak memiliki hak untuk mendapatkan nafkah setelah

cerai. Menurut Sahal Mahfudh, pengabaian nafkah pasca perceraian oleh ayah

telah mendorong sang ibu mencari nafkah dengan segala cara. Kerapkali kita

dengar pengakuan perempuan yang terpaksa menjual diri, atau menjalani

pekerjaan yang tidak sesuai dengan kodrat keperempuanannya untuk mencukupi

nafkah anaknya setelah ditinggal suami.

Selain itu dalam bahasannya mengenai hak anak atas nafkah, Sahal pun

membahas tentang hak istri atas nafkah. Ia berpendapat, kalau nafkah merupakan

hak istri, dan pada saat yang sama menjadi kewajiban suami, jika suami tidak

mampu membayar nafkah maka istri berhak mengajukan perceraian.


67

Oleh karena itu, hal tersebut sudah mengandung unsur keadilan jender apabila

si suami malas dan tidak mau bekerja. ketika suami seperti itu, maka istri boleh

mengajukan permohonan cerai kepada suaminya. Karena hal tersebut tidak adil

bagi perempuan dan dapat merugikan perempuan. Lain halnya dengan suami yang

sudah bekerja keras akan tetapi tidak memenuhi kebutuhan istri, kemudian istri

mengajukan permohonan perceraian kepada suami, maka hal tersebut justru tidak

adil bagi laki-laki. Dengan demikian, hal yang baik dilakukan terhadap suami

seperti itu adalah istri mendoakannya serta menyemangatinya agar dapat terpenuhi

kebutuhan-kebutuhan rumah tangganya. Bukan justru menceraikan atau

meninggalkan suaminya tersebut.

3. Hadhanah

Menurut Sahal Mahfudh, hak asuh anak lebih kepada ibunya daripada

ayahnya. Hal tersebut dikarenakan ibu lebih sabar dan lembut daripada ayah,

kemudian ketika anak masih kecil, anak tersebut lebih membutuhkan ASI ibunya,

dan hubungan batin anak dengan ibunya lebih kuat. Selanjutnya biaya

pemeliharaan anak tetap tanggung jawab ayah berdasarkan kemampuannya.

Menurut penulis, bahwa pendapat Sahal Mahfudh mengenai hadhanah ini

belum termasuk keadilan jender, karena menurutnya ibu mempunyai rasa kasih

sayang yang kuat terhadap anaknya. Akan tetapi, pada kenyataanya tidak sedikit

kasih sayang seorang ayah pun mampu sama seperti kasih sayangnya seorang ibu,

sehingga tidak ada yang tidak mungkin, bahwa ayah bisa mengasuh anak secara

baik. Oleh karena itu, apabila ingin berkeadilan jender seharusnya pengasuhan
68

anak itu tidak harus kepada ibunya, melainkan ayah juga berhak mengasuh

anaknya. Karena sekarang ini tidak sedikit ayah juga memiliki rasa kasih sayang

yang penuh kepada anaknya dan lebih sabar dalam merawat anaknya.

4. Nusyuz

Dalam masalah ini Sahal Mahfudh menegaskan, ketika istri nusyuz

(melakukan pembangkangan) maka lebih baik diam dan mengedepankan dialog

untuk mencari solusi efektif dan menghindari cara-cara kekerasan. Hal ini sedikit

berbeda dengan pendapat para ulama klasik.

Oleh karena itu, sangat jelas bahwa Sahal Mahfudh dalam penjelasan ini,

lebih berkeadilan jender. Dengan mementingkan dialog antara suami-istri agar

mendapat solusi yang terbaik diantara keduanya daripada harus memukul istri

meskipun untuk tujuan mendidik atau menasehati.

C. Kontribusi Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang Jender dalam

Dinamisasi Problematika Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Pemikiran Sahal Mahfudh tentang jender telah memberikan kontribusi

terhadap dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia, hal tersebut

dapat dilihat dari munculnya para pemikir muda yang pemikirannya seide atau senada

dengan KH. MA. Sahal Mahfudh.

Dengan demikian, Pemikiran jender Sahal Mahfudh merupakan angin segar

bagi kaum perempuan untuk mengembangkan potensi secara maksimal agar mampu

menunjukkan eksistensi dan aktualisasi diri di ruang publik dalam rangka

memberikan kemanfaatan yang besar bagi kemajuan bangsa dan negara. Jika hal ini
69

terjadi, maka masyarakat akan merasakan manfaat besar dari kehadiran perempuan

dalam semua aspek kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, politik, budaya, sosial

teknologi, dan lain-lain.

Pemikiran Sahal Mahfudh mendorong kaum perempuan untuk membumikan

ajaran Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam dengan optimalisasi

kemanfaatan publik dan mencegah kerusakan dalam segala bidang. Pemikiran Sahal

Mahfudh mempercepat aplikasi ajaran Islam yang sesuai dengan maqasid as-

syari‟ah, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, harta dan keturunan.

Secara filosofis, Sahal Mahfudh meneguhkan pandangan bahwa perempuan

sama dengan laki-laki sebagai makhluk Allah yang mempunyai tugas sebagai

„Abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah (mandataris Allah) yang bertanggung

jawab untuk mengelola bumi ini sesuai dengan aturan yang ditetapkan Allah. Artinya,

KH. MA. Sahal Mahfudh mendorong perempuan untuk meningkatkan kapabilitasnya

secara profesional sehingga bisa diposisikan sama dengan laki-laki.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka

diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan dalam

skripsi ini dapat dikaji dari 4 hal, yaitu wali mujbir, nafkah, hadhanah dan nusyuz.

Terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa wali tetap harus

izin kepada calon perempuan agar terciptanya keluarga yang sakinah, mawaddah,

warahmah. Kemudian terkait nafkah, KH. MA. Sahal Mahfudh mengatakan bahwa

jika suami impoten, istri berhak mengajukan perceraian, sebab suami tidak dapat

memberikan nafkah batin. Demikian halnya ketika suami tidak mampu

memberikan nafkah jasmani, karena menurutnya ketiadaan nafkah jasmani

membawa dampak yang lebih serius daripada kekurangan atau ketiadaan nafkah

batin. Selanjutnya terkait hadhanah, KH. MA. Sahal Mahfudh berpendapat bahwa

ibu lebih berhak memelihara anak, dengan pertimbangan kasih sayang ibu

terhadap anak lebih kuat, lebih sabar dan lembut sehingga lebih sesuai melakukan

tugas mengasuh serta merawat anak. Sedangkan terkait nusyuz, KH. MA. Sahal

Mahfduh mengatakan bahwa jika istri melakukan nusyuz maka suami lebih baik

diam dan mengedepankan dialog untuk mencari solusi efektif serta menghindari

cara-cara kekerasan.

70
71

2. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh dalam bidang hukum perkawinan tersebut

terlihat sekali lebih menjunjung tinggi keadilan jender. Hal ini terlihat dari

beberapa pendapatnya. Misalnya, terkait wali mujbir, KH. MA. Sahal Mahfudh

mengatakan bahwa wali mujbir tetap harus izin kepada calon perempuan. Begitu

juga terkait nafkah, bahwa perempuan dapat meminta cerai jika suami tidak

memberi nafkah. Karena, nafkah adalah kewajiban suami. Akan tetapi terkait

hadhanah, beliau masih bias jender, karena terlihat tidak adil bagi laki-laki.

Padahal tidak sedikit laki-laki lebih sabar dan lembut dari perempuan. Sedangkan

mengenai nusyuz, ini jelas adil bagi laki-laki dan perempuan, karena dalam nusyuz

komunikasilah yang paling efektif dan dapat menghindari kekerasan.

3. Pemikiran KH. MA. Sahal Mahfudh tentang jender telah memberikan kontribusi

terhadap dinamisasi problematika hukum keluarga Islam di Indonesia. Hal

tersebut dapat dilihat dari munculnya para pemikir-pemikir muda yang

pemikirannya tersebut seide atau senada dengan KH. MA. Sahal Mahfudh.

B. Saran-saran

Akhir dari penulisan skripsi ini, penulis mengharapkan adanya manfaat bagi

kita semua, yaitu kepada penulis khususnya dan kepada para pembaca umumnya.

Adapun beberapa saran sehubungan dengan sasaran penelitian ini adalah sebagai

berikut:
72

1. Penelitian mengenai jender atau kesetaraan jender terutama dalam bidang hukum

keluarga masih perlu digalakkan untuk melihat lebih jauh dari segi problematika

hukum keluarga di Indonesia agar dapat mendapat solusi terbaik terhadap

masalah-masalah yang ada dalam keluarga.

2. Seorang perempuan haruslah memiliki kecerdasan dengan cara memperbanyak

ilmu dan pengalaman agar dapat mengikuti perkembangan zaman yang semakin

maju.

3. Untuk peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai jender dan atau

sebagainya, sebaiknya lebih menekankan pada studi empiris. Dengan studi empiris

diharapkan dapat menampilkan teori-teori yang ada mengenai jender dengan

realitas kehidupan perempuan, agar dapat lebih diarahkan pada kondisi zaman

yang dinamis.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghafur, Waryono. Tafsir Sosial Mendialogkan Teks Dengan Konteks.


Yogyakarta: elSAQ Press, 2005.

Abd. al „Afi, Hammudah. Keluarga Muslim. Surabaya: Bina Ilmu, 1981.

Al-Asyqar, Umar Sulaiman. Ahkam al-Zawaj fi Dhau‟i al-Kitab wa al-Sunnah.


Jordania: Dar al-Nafa‟is, 1997.

Al-Bukhori, Muhammad Ibn Ismail. Matan al-Bukhori. Kairo: Dar al-Ihya al-Kutub
al-„Arabiyah Isa al-Halaby, t.th.

Al-Jassas, Abi Bakr Ahmad Ibn „Ali al-Razi. Ahkam al-Qur‟an. jilid I. Beirut: Dar al-
Fikri, t.th.

Al-Jaziry, Abdurrahman. Al-Fiqh „ala Mazahib Al-Arba‟ah, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Al-Kasani. Bada‟i al-Shana‟i. Vol. 2. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1982.

Al-Khin, M. dkk. Al-Fiqhu al-Manhaji ala Mazhabi al-Imam al-Syafi‟i. Vol. 2.


Damaskus: Dar al-Qolam, 2005.

Al-Syafi‟i, Muhammad Idris. al-Umm. Beirut: Dar al-Fikri, 1983.

An-Nawawi, Yahya Ibn Syarif. Minhaj al-Thalibin wa „Umdat al-Muftin fi Fiqh


Mazhab al-Imam al-Syafi‟i. Beirut: Dar al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1996.

Anwar, Hafiz Muhammad. Wilayat al-Mar‟ah fi al-Fiqh al-Islamy. Riyadh: Dar


Balansiyah, t.th.

Asmani, Jamal Ma‟mur. Mengembangkan Fikih Sosial KH. MA. Sahal Mahfudh
Elaborasi Lima Ciri Utama. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2015.

As-Suyuti, Jalaluddin. ad-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma‟tsur. Cet. I. Beirut: Dar


al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1990.

Baidowi, Ahmad. Memandang Perempuan, Bagaimana Al-Qur‟an dan Penafsir


Modern Menghormati Kaum Hawa?. Bandung: Marja, 2011.

Dahlan, Abdul Aziz. et al. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Intermasa, 1996.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:


Balai Pustaka, 1989.

73
74

Dhafi, Zamakhsari. Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai). cet. 3
Jakarta: LP3ES, 1984.

Donovan, Josephine. Feminist Theory. New York: Continuum International, 2000.

El Baroroh, Umdah dan Tutik Nurul, Janah. Fiqh Sosial (Masa Depan Fiqh
Indonesia), Pati: Pusat Studi Pesantren & Fiqh Sosial, 2016.

Fakih, Mansoer. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2008.

Ghony, M. Djunaidi, Fauzan Almanshur. Petunjuk Praktis Penelitian Pendidikan.


Malang: UIN Malang Press, 2009.

Hamidah, Tutik. Fikih Perempuan Berwawasan Gender. Malang: UIN Maliki Press,
2001.

Haryono, Yudhie R. Bahasa Politik Al-Qur‟an. Jakarta: Gugus Press, 2002.

Hasyim, Syafiq. Hal-hal Yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan


dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.

Ibn al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim. Juz III. Kairo: t.th.

Janah, Tutik Nurul. Metode Fiqh Sosial, Dari Qauli Menuju Manhaji. Pati: Staimafa
Press, Cet. I, 2005.

Karni, Asrori S, Abdul Wasik. Pandu Ulama Umat: Kiprah Sosial 70 Tahun Kiai
Sahal. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, Cet.I, 2007.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam
Perspektif Agama Islam, (Jakarta, 2004.

Mahfudh, MA. Sahal. Dialog Dengan KH. MA. Sahal Mahfudh, Solusi
Problematika Umat. Surabaya: Ampel Suci & LTNNU Jatim.

Mahfudh, MA. Sahal. Nuansa Fiqih Sosial. Yogyakarta: LKiS, cet.1

Mahfudh, MA. Sahal. Pesantren Mencari Makna. Jakarta: Pustaka Ciganjur,


1999.

Mahfudh, MA. Sahal. Wajah Baru Fikih Pesantren. Jakarta: Citra Pustaka, 2004.

Mahfudz, Asmawi. Pembaruan Hukum Islam, Telaah Manhaj ijtihad Shah Wali
Allah Al-Dihlawi. Yogyakarta: Teras, 2010.
75

Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera, 2011.

Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LkiS, 2001.

Neufeldt, Victoria. Webster‟s New World Dictionary. New York: Webster‟s New
World Clevenland, 1984.

Ma‟luf, Louis. Al Munjid. Beirut: Dar al-Masyrik, 1975.

M. Echols, John dan Hassan Shadily. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia,
Cet. XII, 1983.

Munawar, Ahmad Warson. Al Munawir, Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka


Progresif, 1997.

Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia Pustaka


Utama, 2004.

Mustakim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis. Yogyakarta: Logung Pustaka, tt.

Qal „aji, Muhammad Rowas. dan Hamid Sodiq Qanibi. Mu‟jam lughah al-Fuqaha.
Beirut: Dar al-Nafa‟is, 1985.

Rahman, Mujib, dkk. Kiai Sahal, Sebuah Biografi. Jakarta: Penerbit KMF Jakarta,
Cet. I, 2012.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Vol. 2. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1966.

Sabiq, Sayid. Fiqh Sunnah. Bandung: Al Ma‟arif, t.th.

Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: el-KAHFI,


2008.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007.

Tiemey, Helen. Women‟s Studies Encyclopedia. Vol. I, New York: Green Press, t.th.

Wadud, Amina. Qur‟an menurut Perempuan. Jakarta: Serambi, 2001.

Zahrah, M. Abu. al-Ahwal al-Syakhsiyyah-Qismu al-Zawaj...

Zuhaily, Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa-Adillatuhu...

Anda mungkin juga menyukai