Anda di halaman 1dari 149

PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT

PELANGGARAN BERAT PEKERJA DI PERUM PERURI


STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 536 K/Pdt. Sus-PHI/2016

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

NAUVAL FATHU DZULFIKAR


NIM. 11140480000057

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439H/2018M
ABSTRAK
Nauval Fathu Dzulfikar. NIM: 11140480000057. “PENYELESAIAN
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT PELANGGARAN BERAT
PEKERJA DI PERUM PERURI STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH
AGUNG NOMOR 536 K/Pdt. Sus-PHI/2016”. Program Studi Ilmu Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1439H/2018M. 1x +106 halaman +8 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penyelesaian perselisihan
mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena adanya pelanggaran berat
yang dilakukan oleh Pekerja/Karyawan Perum Peruri yang juga menjabat sebagai
pengurus Serikat Pekerja Perum Peruri (SP Peruri). Pelanggaran berat yang terjadi
disebabkan penyampaian aspirasi atau keluhan mengenai kepirhatinan Mesin
Intaglio Komori serta adanya dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
oknum pejabat Perum Peruri. Akan tetapi terjadi kesalahan yang dianggap
pelanggaran berat oleh Perum Peruri karena Para Pekerja/Karyawan tersebut yang
juga menjabat sebagai pengurus Serikat Pekerja Perum Peruri karena mengirim
surat tembusan kepada pihak eksternal Perum Peruri sehingga terjadi suasana yang
tidak kondusif antara Para Pekerja/Karyawan yang bersangkutan dengan Kepala
Divisi Produksi Uang dan Unit Kerja Cetak Dalam yang berakibat pada penjatuhan
hukuman disiplin mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan penelitian normatif yuridis. Penelitian menggunakan data primer yang
merupakan data otentik Perum Peruri yang peneliti dapatkan secara langsung
dengan melakukan observasi dan wawancara di HRBP&IR Peruri Karawang dan
data sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum seperti peraturan perundang-
undangan, buku-buku hukum bidang hubungan industrial, jurnal hukum, skripsi,
dan komentar-komentar atas norma hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwasannya penyelesaian perselisihan tidak
bisa dilakukan secara musyawarah untuk mufakat dengan menempuh jalur litigasi,
dengan kata lain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak bisa dihindarkan.
Mengingat Perusahan dapat membuktikan serta menggunakan dalil yang kuat
bahwasannya Para Pekerja melakukan pelanggaran berat. Penyelesaian perselisihan
secara internal tidak dimungkinkan karena suasana dan hubungan kerja tidak lagi
berjalan secara harmonis antara Para Pekerja/Karyawan dengan Pihak Perusahaan.
Kata Kunci : Hubungan Industrial, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), Ketenagakerjaan.
Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : 1975-2018

v
KATA PENGANTAR
‫الر ِحي ِْم‬
َّ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ِ‫ــــــــــــــــــم هللا‬
ِ ‫س‬
ْ ِ‫ب‬
Puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT. shalawat serta salam
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya
dari masa kebodohan dan kegelapan ke masa pencerahan dan terang benderang
seperti saat ini. Rasa syukur ke Hadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan
Penyayang, atas karunia dan rahmat-Nya serta atas kuasa-Nya yang memberikan
peneliti kemudahan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Pelanggaran Berat Karyawan Perum Peruri
Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016.

Penulisan skripsi ini ditujukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk


mencapai gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum
Bisnis pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta. peneliti menyadari bahwasannya tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari awal perkuliahan hingga sampai saat
penyusunan skripsi ini sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini. Izinkanlah
peneliti mengungkapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada orang-orang
yang telah membantu dan memberikan semangat dalam penulisan skripsi ini, yaitu
sebagai berikut:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan
skripsi ini
3. Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H., Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Dosen Pembimbing peneliti yang telah bersedia untuk
mencurahkan waktu, tenaga, kesabaran, dan ilmunya untuk memberikan
motivasi, arahan, dan rekomendasi kepada saya dalam menyusun skripsi ini

vi
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya para Dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan
pembelajaran hidup serta ilmu pengetahuan yang tak terhingga. Semoga Allah
SWT. memberikan ganjaran pahala yang tiada putus kepada mereka yang telah
memberikan ilmunya dengan segenap hati dan kekuatannya.
5. Pihak Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) Karawang
terutama Bapak Syahril, S.H sebagai Kepala Departemen HRBP & IR Perum
Peruri dan Bapak Agung Handayani sebagai Kepala Seksi HRBP & IR Perum
Peruri dan Bapak Adi Putra Jaya yang telah bersedia untuk memberikan ilmu,
motivasi serta informasi yang berguna bagi saya dan kelancaran penyusunan
skripsi ini
6. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas hingga
berbagai referensi literatur demi kelancaran studi kepustakaan dalam
penyusunan skripsi ini, serta Kepala dan Staff Perpustakaan Universitas
Indonesia yang telah membantu menyediakan fasilitas dan literatur yang
memadai.
7. Kedua orang tua tercinta yaitu Popon Rustiana dan Endang Zeffly, serta
seluruh keluarga dan kerabat terdekat yang senantiasa memberikan dukungan
moral demi terselesaikannya penelitian ini. Bapak K.H. Acep Ridwan M.Z.
beserta keluarga besar, dan keluarga lainnya yang tulus memberikan dukungan
dan doanya agar saya dapat menyelesaikan pendidikan hingga jenjang Strata
Satu (S-1).
8. Keluarga besar Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah 2014, Moot Court
Community (MCC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
dukungan moral, berdiskusi, dan bertukar ilmu ilmu demi terselesaikannya
skripsi ini
9. Terima kasih juga kepada Dian Nur Rizkiani beserta keluarga yang tiada
hentinya membantu dan mendukung peneliti serta semua pihak yang telah
memberikan semangat, dukungan hingga motivasi peneliti dalam

vii
menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa peneliti sebutkan satu-persatu.
Semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas
semua kebaikan.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, berguna, dan disampaikan kepada
yang membutuhkan ilmu serta menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya untuk
mengembangkan penelitian khususnya bidang hukum ketenagakerjaan. Akhir kata
saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu.

Jakarta, 18 Mei 2018

Peneliti

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iii

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv

KATA PENGANTAR .....................................................................................v

DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ...................5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................6
D. Manfaat Penelitian .....................................................................6
E. Metode Penelitian ......................................................................7
F. Sistematika Penulisan ..............................................................11
BAB II :TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
PADA PERUSAHAAN NEGARA DI INDONESIA
A. Tinjauan Kajian Umum ...........................................................13
1. Perjanjian Kerja dan Hubungan Industrial .......................13
2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) .................................37
3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ...............47
B. Tinjauan Kajian Terdahulu ......................................................55
BAB III :GAMBARAN UMUM TENTANG PERUM PERCETAKAN
UANG REPUBLIK INDONESIA
A. Sejarah Perum Percetakan Uang Republik Indonesia .............59
B. Visi, Misi, Filosofi, Tata Nilai, dan Motto Perusahaan ...........60
C. Produk Perum Percetakan Uang Republik Indonesia ..............62
D. Serikat Pekerja Di Perum Percetakan Uang Republik
Indonesia..................................................................................68

ix
E. Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin Kategori Pelanggaran
Sedang Hingga Berat Di Perum Peruri ....................................69
F. Jenis-Jenis Hukuman Disiplin .................................................73
BAB IV : PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT
PELANGGARAN BERAT PEKERJA DI PERUM PERURI
A. Kasus Posisi .............................................................................77
B. Putusan Hakim.........................................................................87
C. Analisis ....................................................................................88
1. Analisis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Akibat
Pelanggaran Berat ...............................................................88
2. Analisis Penyelesaian Pemutusan Hubungan Industrial
Akibat Adanya Pemutusan Hubungan Kerja ......................94
3. Hak-Hak dan Perlindungan Pekerja Setelah Terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)....................................96
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..............................................................................98
B. Rekomendasi .........................................................................102
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................105

LAMPIRAN .................................................................................................108
A. Direktorat Sumber Daya Manusia (SDM) dan Umum ..........109
B. Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin ...................................110
C. Penjatuhan Hukuman Disiplin Pekerja/Karyawan ................111
D. Penjelasan Peraturan Disiplin ................................................112
E. Penyusunan Perjanjian Kerja Bersama ..................................113
F. Serikat Pekerja di Perum Peruri ............................................114
G. Putusan Kasasi Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016 .................115

x
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR

Tabel 2.1 : Tabel Perhitungan Uang Pesangon ...................................45

Tabel 2.2 : Tabel Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja........46

Tabel 2.3 : Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial, Lingkup Kewenangan, dan Jangka Waktu
Penyelesaiannya ..................................................................54
Gambar 3.1 : Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin Kategori
Pelanggaran Tanpa Tilang .................................................69
Gambar 3.2 : Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin Karyawan ...........70

xi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pekerjaan sebagai salah satu hak konstitusional setiap warga negara dan
dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 yang menetapkan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Hak atas pekerjaan, imbaan dan perlakuan yang adil serta layak seperti yang
dijamin dalam Pasal 28D ayat (2) UUD RI 1945 merupakan tanggung jawab
yang wajib dipenuhi oleh negara karena merupakan kewajibannya. Akan tetapi
hak-hak tersebut akan hilang disaat pekerja/buruh kehilangan mata
pencahariannya dalam hal ini adalah diputus hubungan kerjanya baik itu karena
keinginan individu maupun keinginan perusahaan. Tidak menjadi masalah
apabila PHK atas keinginan diri sendiri dengan alasan ingin memperbaiki taraf
hidup yang lebih baik dengan berharap upah atau gaji yang diterima perusahaan
lain lebih tinggi daripada yang sebelumnya maupun dengan alasan
mengundurkan diri karena tidak cocok dengan ekspektasinya. Lain hal jika
PHK berdasarkan keinginan perusahaan dengan alasan yang tepat dan tidak
dibuat-buat. Mayoritas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
Perusahaan/Pengusaha disebabkan Pekerja/Buruh melakukan kesalahan, baik
itu kesalahan kecil maupun kesalahan besar yang tak dpat ditolerir lagi.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan suatu masalah yang
sering terjadi dan permasalahan yang cukup menarik perhatian, baik dari
pekerja/buruh, perusahaan/pengusaha/pelaku usaha, Serikat Pekerja/Buruh,
dan pemerintah. Permasalahan PHK merupakan agenda tahunan bagi Serikat
Pekerja/Serikat Buruh untuk menyuarakan pendapatnya kepada pemerintah
dan perusahaan. Hal ini dapat dimengerti mengingat Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) menyangkut kelangsungan hidup para pekerja/buruh.

1
2

Sebagaimana yang dikatakan Prof. Imam Soepomo dalam bukunya


yang menyatakan bahwa: 1
“Pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan permulaan dari
segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya mempunyai
pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan membiayai
keperluan hidup sehari-hari baginya dan keluarganya, permulaan dari
berakhirnya kemampuan menyekolahkan anak-anak dan sebagainya”.
Oleh karenanya, sebisa mungkin Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dihindari
dan merupakan jalan yang tidak ditempuh dalam menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial.
Secara umum Pemutusan Hubungan Kerja dapat diartikan sebagai
berakhirnya hubungan kerja antara majikan atau pengusaha dengan pihak
pekerja/buruh. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa terjadi dengan dan
dalam berbagai cara dan kondisi. Secara teori, ada 4 (empat) jenis Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), yaitu; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh
majikan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh buruh, Pemutusan Hubungan
Kerja demi hukum, dan Pemutusan Hubungan Kerja oleh pengadilan2.
Permasalahan sesungguhnya berasal dari PHK yang disebabkan oleh majikan
atau pengusaha karena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh pengusaha
umumnya keberatan dan tidak diterima dengan baik oleh pekerja/buruh.
Letak permasalahannya terjadi bermula saat Pengurus Serikat Pekerja
Perum Peruri mengirimkan surat tertanggal 4 April 2014 dan 2 Mei 2014
kepada pihak eksternal Perum Peruri yaitu Badan Pemeriksa Keuangan RI
(BPK RI), Menteri Negara BUMN, Federasi SP Sinergi BUMN, dan Ketua
Serikat Pekerja/Buruh. Surat tersebut dilayangkan dengan pokok permasalahan
mengeni kondisi Mesin Intaglio Komori dan dugaan adanya tindak pidana
korupsi oleh oknum pejabat Perum Peruri dan menyebut bahwsannya Kepala
Divisi Percetakan Uang Kertas yaitu Sdr. Ahsari terlibat didalamnya. Tindakan
pengurus SP Peruri tersebut membuat suasana kerja yang tidak kondusif karena

1 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan,

1983), cet. 5, h. 115-116.


2 Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 175.
3

terhembusnya isu negatif di internal Perusahaan khususnya Unit Kerja Cetak


Dalam Perum Peruri.
Tindakan pengurus Serikat Pekerja dalam menyalurkan aspirasi dan
keluhannya semata-mata demi memenuhi haknya sebagai anggota Serikat
Pekerja dan sebagai Pekerja, serta menyampaikan adanya dugaan tindak
korupsi di internal perusahaan. Hak-hak untuk menyampaikan pendapat dan
aspirasi tertuang pada beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain:
Pertama, Pasal 102 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:
“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan
keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan
memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya.”
Kedua, termaktub pada Pasal 4 ayat (2) Huruf b mengenai fungsi serikat
pekerja/serikat buruh pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, bahwasannya “Serikat Pekerja/Serikat Buruh
berfungsi sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya”. Ketiga, termaktub pada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang menyatakan bahwa,:
“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga
negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum lebih lanjut menyatakan bahwa,:
“Setiap warga negara secara perorangan atau kelompok bebas
menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung
jawab demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.”

Penyampaian aspirasi dan pendapat yang dilakukan oleh Para Pekerja tersebut
ternyata tidak berbuah manis karena menurut Perusahaan tindak-tanduk
penyampaian pendapat tersebut termasuk pelanggaran berat dengan dasar
4

hukum Pasal 108 ayat (45) dan Pasal 109 ayat (3) Huruf c Perjanjian Kerja
Bersama Peruri Periode 2014-2015, yaitu:
Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama Peruri Periode 2014-2015:
“Dilarang melakukan tindakan atau perbuatan membalas dendam,
memfitnah, menyebarkan isu negaif dan mengadu domba, yang
mengakibatkan timbunya kerugian bagi karyawan/karyawati
dan/atau pekerja lain dan perusahaan”
Pasal 109 ayat (3) Huruf c Perjanjian Kerja Bersama Peruri Periode 2014-2015
“C. Hukuman berat diberikan jika karyawan/karyawati melanggar
ketentuan Pasal 107 ayat (16) sampai dengan ayat (29) dan Pasal 108
ayat (15) sampai dengan ayat (49)
Keputusan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh
Perum Peruri ternyata tidak diterima oleh Para Pekerja sehingga membawa
perselihan ini sampai ke Kasasi Mahkamah Agug, akan tetapi putusannya
ditolak serta menguatkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Bandung.
Kasus di atas menarik untuk dibahas karena permaslahan ini umum
terjadi antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh serta Pekerja/Buruh dengan Pihak
Perusahaan akibat penyampaian pendapat yang tidak tepat. Selain permasalah
penyelesaian perselisihan, terdapat juga permasalahan faktor keadilan
mengenai hak-hak yang diterima Pekerja/Buruh setelah terjadinya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) menurut pertimbangan hakim, upaya hukum dalam
menyelesaikan sengketa, dan perlindungan bagi Pekerja/Buruh.
Mengingat penerapan penyelesaian perselisihan hubungan kerja di
Indonesia mayoritas banyak yang tidak sesuai ekspektasi dan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga penyelesaian
sengketa pekerja dengan perusahaan, pemenuhan hak-hak, serta perlindungan
hukum tidak berjalan dengan baik. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
sangat penting penelitian ini dilakukan lebih jauh mengenai
“PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT
PELANGGARAN BERAT PEKERJA DI PERUM PERURI STUDI
KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 536 K/Pdt. Sus-
PHI/2016”
5

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah


1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran yang termaktub pada latar belakang masalah,
identifikasi masalah pada studi ini, yaitu:
a. Keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karyawan Perum
Peruri
b. Korelasi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) karyawan Perum Peruri
terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan aturan terkait
c. Alasan Perum Peruri memutuskan hubungan kerja karyawan yang
bersangkutan
d. Langkah Hukum bagi Pekerja/Karyawan Perum Peruri atas Pemtusan
Hubungan Kerja (PHK)
e. Hak-Hak Pekerja/Karyawan setelah ditetapkan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)
f. Perlindungan hukum bagi Pekerja/Karyawan akibat Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK)
g. Pertimbangan hakim terhadap Pemutusan Hubungan Kerja karyawan
Perum Peruri
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan pembahasan mengenai Hukum
Ketenagakerjaan atau Perburuhan, penelitian ini berkonsentrasi
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Perum Peruri Akibat
Pelanggaran Berat di Perum Peruri berdasarkan studi kasus putusan
Mahkamah Agung Nomor 536 K/Pdt. Sus-PHI/2016. Fokus
pembasahannya akan dijabarkan lebih lanjut pada bagian perumusan
masalah.
3. Perumusan Masalah
Studi ini membahas dan hendak menjawab atas perumusan masalah
sebelumnya, mengenai:
6

a. Bagaimana Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akibat


Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan Perum Peruri
akibat pelanggaran berat yang dilakukan oleh karyawan akibat
penyampaian aspirasinya terhadap atasan atau pimpinan kerja?
b. Bagaimana Pertanggungjawaban dan solusi Perum Peruri Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan yang bersangkutan?
c. Apa upaya hukum yang ditempuh pekerja/karyawan dan perlindungan
yang didapatkan untuk memperjuangkan haknya?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendalami mengenai kedudukan hukum
kontrak kerja bagi Buruh atas upah dibawah UMK yang dibayarkan oleh
Perusahaan, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
yang dilakukan Perum Peruri karena pelanggaran berat yang dilakukan
oleh karyawan akibat penyampaian aspirasinya terhadap atasan atau
pimpinan kerja
2. Untuk mengetahui kesesuaian penerapan Peraturan Perundang-Undangan
mengenai perburuhan berjalan dengan baik atau masih ada penyimpangan
dalam praktiknya
3. Untuk mengetahui langkah upaya hukum yang ditempuh buruh demi
mendapatkan hak-haknya setelah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) oleh Perusahaan

D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar, manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
diantaranya:
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat menambah wawasan serta keilmuan para cendekia tentang
Ketenagakerjaan terutama mengenai pemenuhan hak-hak buruh
7

terutama hak-hak pekerja/buruh yang seharusnya didapatkan setelah


terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
b. Sebagai acuan untuk memperdalam penelitian berikutnya terkait
permasalahan yang serupa
c. Memperdalam pengetahuan peneliti khususnya di bidang hukum
ketenagakerjaan sebagai bekal akademisi yang cakap keilmuannya.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat menjadi masukan dan perbaikan bagi penegak hukum maupun
pelaku usaha agar menerapkan hukum yang berlaku demi pemenuhan
hak-hak buruh.
b. Mengetahui langkah perusahaan dalam menjatuhkan hukuman disiplin
bagi karyawan yang melanggar ketentuan atau peraturan yang
disepakati
c. Menjadi sumbangsih pemikiran bagi perusahaan dalam memahami
dan menerapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan agar hak-hak dan
kewajiban antara pekerja/buruh dengan perusahaan terpenuhi
d. Pertimbangan hakim terhadap kasus penelitian ini dapat dijadikan
kajian oleh para peneliti dalam menilai putusan hakim sudah tepat atau
kurang tepat dan sudah termasuk putusan yang progresiff atau belum

E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
normatif yuridis. Pendekatan normatif yuridis tersebut mengacu kepada
norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada
dalam masyarakat.3 Dalam hal ini yang menjadi objek normatif yuridis
yaitu menelaah, menginterpretasikan, serta menganalisis Penyelesaian
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Karyawan Perum Peruri Akibat

3 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet. 2, h. 105.
8

Pelanggaran Berat dengan studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor


536 K/Pdt.Sus-PHI/2016
2. Jenis Penelitian
Peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yang tidak
membutuhkan populasi dan sampel karena jenis penelitian ini menekankan
pada aspek pemahaman suatu norma hukum yang terdapat didalam
perundang-undangan serta norma-norma yang hidup dan berkembang di
masyarakat. Penelitian kualitatif menggunakan lingkungan yang menjadi
penelitiannya sebagai sumber data.4 Maksudnya adalah data dan informasi
lapangan ditarik maknanya dan konsepnya melalui pemaparan deskriptif
analitik tanpa harus menggunakan angka, sebab lebih mengutamakan
proses terjadinya suatu peristiwa dalam situasi yang alami.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan peneliti dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang peneliti dapatkan secara langsung
kepada sumber datanya yaitu dengan cara melakukan observasi
langsung di Perum Peruri tepatnya di Departemen Human Resources
Business Partner and Industrial Relation (HRBP & IR) tepatnya pada
1 Februari 2017. Data yang peneliti dapatkan dari hasil pengamatan
serta sumber-sumber otentik yang dianggap perlu seperti dokumen-
dokumen, Peraturan Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama (PKB),
Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja, dan lain-lain.
b. Data Sekunder
Data sekunder memiliki pengertian sumber data yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data atau peneliti, melainkan
melalui perantara dan studi kepustakaan serta menelaah Perundang-
undangan dan literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Peneliti
menggunakan 3 (tiga) bahan hukum, antara lain:

4 Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 46
9

1) Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat


autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-
putusan hakim.5 Bahan hukum yang digunakan antara lain:
a) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
b) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Perum Peruri, dan
Kontrak Kerja Buruh Perum Peruri.
c) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
d) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
e) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang perjanjian
Perburuhan Antara Serikat Buruh dan Pengusaha.
f) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja pada Perusahaan –Perusahaan Swasta
g) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

2) Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum


yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum dalam bidang ketenagakerjaan meliputi buku-
buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar
atas norma hukum.

3) Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan


bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum
dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi,
Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang

5 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 4, h. 141
10

mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non


hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan
memperluas wawasan peneliti.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada studi ini yakni
dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Observasi dan
wawancara dilakukan pada tanggal 1 Februari hingga 28 Februari 2017
di Perum Peruri Karawang Departemen Human Resources Business
Partner & Industrial Relation (HRBP & IR). Studi kepustakaan
dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung materi
penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar
perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan Undang-Undang di
berbagai perpustakaan umum serta universitas dan perupustakaan
Perum Peruri Karawang.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan
sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara
pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum
diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya
akan penyelesaian terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan
Perum Peruri akibat pelanggaran berat yang dilakukannya karena
penyampaian aspirasi terhadap perusahaan.
6. Metode Penulisan
Acuan metode penulisan yang peneliti rujuk mengacu pada “ Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017”
berdasarkan kaidah-kaidah dan teknik penulisan yang sudah ditentukan
oleh fakultas.
11

F. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2017 dimana
didalamnya termaktub kebijakan penulisan skripsi untuk Fakultas Syariah dan
Hukum maka sistematika penulisan terbagi dalam lima bab. Adapun
perinciannya sebagai berikut:

BAB-I : Merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang


permasalahan, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB-II : Merupakan bab kajian pustaka mengenai teori-teori
ketenagakerjaan yang membahas beberapa aspek, diantaranya
definisi perjanjian kerja dan hubungan kerja, Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Pada bab
ini juga dibahas review studi terdahulu yang relevan yang fokus
pembahasannya mendeskripsikan persamaan dan perbedaan studi-
studi dengan rencana studi yang akan dilakukan.
BAB-III: Merupakan bab penyajian data penelitian secara deskriptif,
dimana data-data yang dimaksud bukanlah dari opini peneliti,
melainkan data yang sesungguhnya sesuai dengan fakta yang ada.
Seperti pembahasan menganai tinjauan umum tentang perjanjian
profil perusahaan, visi dan misi Perum Peruri, produk Perum
Peruri, Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Perum Peruri, Proses
Penjatuhan Hukuman Disiplin Kategori Pelanggaran Sedang
Hingga Berat di Perum Peruri, dan jenis hukuman disiplin
BAB-IV: Merupakan bab analisis permasalahan yang membahas dan
menjawab permasalahan pada penelitian ini diantaranya
dijelaskan kasus posisi, analisis Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) akibat pelanggaran berat, analisis penyelesaian hubungan
12

industrial akibat adanya pemutusan hubungan kerja, dan hak-hak


dan perlindungan pekerja setelah terjadinya Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)
BAB-V: Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan
rekomendasi. Bab ini merupakan bab terakhir dari sistematika
penulisan skripsi yang pada akhirnya penelitian ini menarik
beberapa kesimpulan dari penelitian untuk menjawab rumusan
masalah serta memberikan rekomendasi yang dianggap perlu.
BAB II

TINJAUAN UMUM PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PADA


PERUSAHAAN NEGARA DI INDONESIA

A. Tinjauan Kajian Umum


1. Perjanjian Kerja dan Hubungan Kerja
a. Definisi Perjanjian Kerja dan Hubungan Kerja
Pemahaman istilah kontrak atau perjanjian dalam praktiknya
banyak yang mengartikannya secara tidak tepat dan menganggap
kontrak atau perjanjian adalah dua hal pengertian yang berbeda menurut
masyarakat luas maupun pelaku usaha atau pelaku bisnis. Pasal 1313
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata termaktub secara jelas yang
menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang atau lebih
lainnya.” Akan tetapi, pengertian pada Pasal 1313 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata tidaklah menjelaskan maksudnya secara
terperinci dan masih bersifat pengertian umum sehingga menyebabkan
multitafsir sehingga perlunya penjelasan yang tepat.
Subekti memberikan definisi “perjanjian” adalah suatu
peristiwa dimana seorang berjanji pada seorag lain atau di mana dua
orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, sedangkan
KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau
lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan
oleh undang-undang.1 Jadi, perjanjian merupakan perbuatan hukum
oleh orang yang berkepentingan untuk melakukan suatu prestasi yang
menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang berkepentingan.

1 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian; Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, (Jakarta:

Prenamedia Group, 2010), h. 15-16

13
14

Melakukan perjanjian sudah menjadi hal yang lumrah ditengah


perekonomian suatu negara karena setiap tindakan harus beralaskan
perjanjian sebagai dasar tindakan untuk melakukan segala perbuatan,
contohnya kerja sama jual-beli, sewa-beli, hingga mencakup bidang
jasa seperti memperkerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan
sesuai dengan perintah majikan tempat ia bekerja. Pelaku usaha
mempekerjaka pekerja haruslah dengan alas atau dasar hukum berupa
perjanjian kerja. Tanpa adanya suatu perjanjian yang terjadi, maka tidak
adanya payung hukum atas segala tindakan pihak yang berkepentingan.
Oleh karena itulah peran perjanjian merupakan hal yang krusial bagi
pekerja maupun pelaku usaha.
Perjanjian kerja adalah perjanjian yang dibuat antara
pekerja/buruh (karyawan) dengan pengusaha atau pemberi kerja yang
memenuhi syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak (Pasal 1
Angka 14 Undang-Undang Ketenagakerjaan).2 Wiwoho Soedjono
menyatakan bahwa perjanjian kerja adalah hubungan hukum antara
seseorang yang bertindak sebagai pekerja/buruh dengan seseorang yang
bertindak sebagai pengusaha/majikan atau perjanjian orang-perorangan
pada satu pihak dengan pihak lain sebagai pengusaha untuk
melaksanakan suatu pekerjaan dengan mendapat upah.3 Perjanjian kerja
merupakan dasar dari terbentuknya hubungan kerja.4 Perjanjian kerja
memliki subjek dan objek. Subjek dalam perjanjian kerja adalah mereka
yang “cakap” untuk melakukan perbuatan hukum atau untuk
mengadakan perjanjian5, sedangkan objeknya adalah jasa dari
pekerja/buruh. Dengan diadakannya perjanjian kerja maka terjalin

2 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 45


3 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2007), h. 49
4 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 41
5 Tim Pengajar Matakuliah Hubungan Perburuhan, Hubungan Perburuhan, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2001), h. 16
15

hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penerima kerja yang


bersangkutan, dan selanjutnya akan berlaku ketentuan tentang hukum
perburuha, antara lain mengenai syarat-syarat kerja, jaminan sosial,
kesehatan dan keselamatan kerja, penyelesaian perselisihan dan
pemutusan hubungan kerja.6
Hubungan kerja menurut Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa:
“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh yang berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”.

Iman Soepomo berpendapat pada dasarnya hubungan kerja merupakan


hubungan antara buruh dan majikan dimana buruh menyatakan
kesanggupannya untuk bekerja kepada majikan dengan menerima upah
dan dimana majikan menyatakan kesanggupannya menyatakan
kesanggupan untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.7
Tjepi F. Aloewic mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja
adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang
timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu
maupun tidak tertentu.8 Lalu Husni berpendapat bahwa hubungan kerja
pada dasarnya adalah hubungan antara Buruh dan Majikan setelah
adanya Perjanjian Kerja, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, si
buruh mengikatkan dirinya pada pihak lain, si majikan untuk bekerja
dengan mendapatkan upah; majikan menyatakan kesanggupannya
untuk mempekerjakan si buruh dengan membayar upah.9 Pengertian
hubungan kerja merupakan pengertian yang abstrak sedangkan

6 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan Seri A: Seri Buku Ajar, (Depok: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2000), h. 65


7 Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Djambatan, 2003), h. 70
8 Tjepi F. Aloewic, Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan Penyelesaian

Perselisihan Industrial, (Jakarta: BPHN, 1996), cet. 11, h. 32.


9 Zainal Asikin dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), cet. 8,
h. 65.
16

perjanjian kerja adalah sesuatu yang konkret atau nyata. Perjanjian


kerja melahirkan perikatan antara pelaku usaha dengan pekerja/buruh.
Dengan perkataan lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah
yang merupakan hubungan kerja.10

b. Syarat, Unsur, dan Tujuan Perjanjian Kerja


Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan 4 (empat) syarat sahnya terjadi suatu persetujuan yang sah,
antara lain adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu pokok
persoalan tertentu, dan adanya suatu sebab yang tidak terlarang.
Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) juga termaktub didalamnya
mengenai syarat perjanjian kerja yang dibedakan menjadi syarat materil
dan syarat formil. Syarat materil diatur dalam Pasal 52 ayat (1) – (3)
sedangkan syarat formil diatur dalam Pasal 54 ayat (1) sampai dengan
ayat (3). Syarat materiil dari perjanjian kerja berdasarkan ketentuan
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dibuat atas dasar kesepakatan, dibuat atas dasar:11
a. Kesepakatan kedua belah pihak
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban
umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Perjanjian kerja tanpa adanya kesepakatan para pihak atau salah
satu pihak tidak mampu atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum
maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan.12 Jika perjanjian kerja

10 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan... h. 45


11 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi... h. 42
12 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h. 53
17

dibuat tidak memenuhi dua syarat terakhir yaitu huruf “c” dan “d” maka
perjanjian kerja yang dimaksud batal demi hukum (null avoid).
Perjanjian kerja merupakan perjanjian yang memaksa (dwang contract)
karena para pihak tidak dapat menentukan sendiri keinginannya dalam
perjanjian sebagaimana layaknya dalam hukum perikatan dikenal dengan
istilah “kebebasan berkontrak”.13
Selain adanya syarat-syarat sah, dalam perjanjian kerja harus
memuat unsur-unsur. Pasal 1601 Huruf a KUH Perdata memberikan
kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja
dimana kualifikasi dimaksud adalah adanya pekerjaan, dibawah perintah,
waktu tertentu, dan adanya upah14:
1) Adanya unsur pekerjaan
Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan
(objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh
pekerja/buruh.15 Maksud dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh yang
bersangkutan adalah tidak bisa mengalihkan pekerjaannya kepada
pekerja/buruh lainnya kecuali dalam perjanjian kerja tersebut
terdapat klausul dapat mengalihkan pekerjaan ke pekerja lainnya,
contohnya mengoper pekerjaan waktu “shift” di beberapa
perusahaan masih memperbolehkan pekerjanya untuk digantikan
oleh pekerja/buruh lain.
2) Adanya unsur upah tertentu
Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk
uang atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan.16 Pada intinya upah merupakan imbalan atas

13 Tim Pengajar Mata Kuliah Hukum Perburuhan, Hubungan Perburuhan, (Depok, Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2001), h. 10


14 Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia, (Depok:

Grhadhika Bingangkit Press, 2004), h.37


15 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan... h. 45
16 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan, (Jakarta: Transmedia Pustaka, 2010), h.7
18

terpenuhinya prestasi pekerja/buruh atas pekerjaan yang


dilakukannya sesuai dengan perjanjian kerja. Seperti yang sudah
dibahas sebelumnya mengenai kedudukan antara pelaku usaha dan
pekerja/buruh adalah dimana pelaku usaha/pengusaha memberikan
pekerjaan dengan imbalan berupa upah kepada pekerja/buruh dan
pekerja/buruh mengerjakan pekerjaan atas perintah majikan dengan
imbalan berupa upah.
3) Adanya Unsur Perintah
Perintah adalah hak pemberi kerja/pengusaha dan merupakan
kewajiban pekerja untuk melaksanakan pekerjaan seperti yang
diinginkan pengusaha, dan merupakan bagian akhir dari unsur-unsur
hubungan kerja setelah adanya pekerjaan dan adanya upah.17 Syarat
perjanjian kerja diantaranya adanya suatu pekerjaan yang
dilaksanakan. Syarat pekerjaan inilah yang menjadi dasar atas
perintah dari majikan. Walaupun pihak penerima kerja mempunyai
keahlian atau kemampuan sendiri dalam hal melakukan
pekerjaannya, sepanjang masih ada ketergantungan kepada pihak
pemberi kerja, dapat dikatakan bahwa masih ada hubungan sub
ordinasi.18
4) Adanya Unsur Pengaturan Waktu
Adanya waktu yang dimaksudkan adalah dalam melakukan
pekerjaan harus disepakati jangka waktunya19 Pengaturan waktu
kerja yang dimaksud dapat berupa ketentuan waktu lembur, jumlah
jam kerja perhari atau dapat juga dikalkulasikan dalam klausul
perjanjian kerja hingga perbulan, waktu cuti, dan lain-lain.

17 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan... h.7


18 Tim Pengajar Hukum Perburuhan, Hukum Perburuhan Seri A: Seri Buku Ajar, (Depok: Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2000), h. 68


19 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2003),

h. 37-38
19

Tujuan dibentuknya perjanjian kerja adalah untuk melindungi


buruh. Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan
bahwasannya perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku
sebagaimana undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Apabila
salah satu pihak ingin merubah klausul perjanjian, maka pihak tersebut
tidak dapat mengubah klausul tersebut tanpa adanya persetujuan kedua
belah pihak yang berkepentingan. Jika terjadi perubahan perjanjian
secara sepihak, maka pihak yang lain berhak untuk memutuskan
hubungan kerja dengan pernyataan pengakhiran, maka hak tersebut akan
dijadikan senjata oleh majikan/pengusaha untuk menghentikan buruh,
dibuat perubahan perjanjian kerja secara sepihak, agar buruh meminta
untuk memutuskan hubungan kerja yang memang dikehendaki oleh
pihak majikan.20 Hak tersebut memanglah merugikan pekerja/buruh,
terlebih kenyataan di lapanga memanglah terjadi seperti itu. Dimana
pekerja/buruh mau atau tidak mau dan suka ataupun tidak suka “menelan
secara mentah” perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha/pelaku
usaha.

c. Berakhirnya Perjanjian Kerja


Ketentuan yang termaktub dalam perjanjian kerja tidak boleh
bertentangan dengan Peraturan Perusahaan (PP), Perjanjian Kerja
Bersama (PKB), dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang
dimaksud dengan tidak boleh bertentangan adalah apabila di perusahaan
telah ada peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka isi
perjanjian kerja baik kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah
dari peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama di perusahaan
yang bersangkutan21

20 Abdussalam, Hukum Perburuhan, (Jakarta: PTIK, 2003), h. 63


21 Abdussalam, Hukum Perburuhan... h. 49
20

Berakhirnya perjanjian kerja diatur dalam Pasal 61 dan Pasal 62


UU Nomor 13 Tahun 2003. Materi hukum yang mengatur tentang
berakhirnya perjanjian kerja tersebut mengadopsi ketentuan yang ada
dalam Buku III KUH Perdata tentang berakhirnya perjanjian (pada
umumnya).22 Perjanjian kerja berakhir karena hal-hal sebagai berikut:23
1) Pekerja/buruh meninggal
2) Berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian
(apabila PKWT)
3) Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan/penetapan lembaga
PPHI yang inkracht
4) Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang (telah) tercantum dalam
PK, PP, atau PKB yang menyebutkan berakhirnya hubungan kerja.

d. Jenis-Jenis Perjanjian Kerja


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang
mengkualifikasikan perjanjian kerja menjadi dua macam yaitu Perjanjian
Waku Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT).
1) Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu didasarkan atas jangka
waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu (Pasal 56 UUK).
Maksudnya adalah bahwa waktu untuk melakukan suatu pekerjaan
telah ditentukan dalam perjanjian kerja. Dasar hukum PKWT ini
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan tepatnya pada Pasal 56 ayat (2) dan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP.
100/MEN/VI/2004 selaku petunjuk pelaksanaan yang terfokus pada
ketentuan pelaksanaan Perjanjian Waktu Tertentu (PKWT).

22 Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di Indonesia... h.40
23 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan... h. 46
21

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk


pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:24
a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun
c. Pekerjaan yang bersifat musiman
d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru kegiatan baru
atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
Ketentuan perjanjain kerja waktu tertentu diatur di dalam UU
No. 13/2003, Pasal 56, 57,58, dan Pasal 59 yang intinya memuat
aturan sebagai berikut:25
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dibuat tertulis dengan
menggunakan bahasa Indonesia dan tulisan latin
b. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tidak boleh mempersyaratkan
adanya percobaan
c. Jika mencantumkan adanya masa percobaan, masa percobaan
tersebut batal demi hukum.
Berdasarkan Pasal 52 UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, berikut ini ketentuan syarat dan isi perjanjian:
a. Kesepakatan keduabelah pihak
b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum
c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
d. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku

24 Abdussalam, Hukum Perburuhan... h. 50.


25 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan... h. 12-13
22

Perjanjian kerja waktu tertentu yang tidak memenuhi


persyaratan huruf a dan b diatas dapat dibatalkan dan yang
bertentangan dengan huruf c dan d batal demi hukum
berdasarkan Pasal 52 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan
Pengusaha/pelaku usaha yang bermaksud memperpanjang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) menurut Pasal 59 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
dan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
KEP.100/MEN/VI/2004 harus mempertimbangkan ketentuan
sebagai berikut:
a. Tenggang waktu tiga puluh hari setelah Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat sekali selesai atau
sementara adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya
pekerjaan tertentu
b. PKWT yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun
c. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian PKWT,
paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu
tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan
d. Pembaharuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu hanya dapat
diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh)
hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,
pembaharuan perjanjian waktu tertentu ini hanya boleh
dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.
Maksudnya adalah setelah ada perpanjangan kedua, harus ada
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari untuk melanjutkan ke
pembaharuan perjanjian yang apa bila dilanggar maka pekerja
23

tersebut menjadi pekerja tetap dan secara otomatis jika


pekerja/buruh di-PHK maka Pengusaha atau Pelaku Usaha
wajib membayar pesangon. Akan tetapi jika masa Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu belum berakhir tetapi terjadi pengakhiran
hubungan kerja atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena
ketentuan yang termaktub pada Pasal 61 ayat (1) UUK, pihak
yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti
rugi kepada pihak lainnya.26 Jumlah kerugian yang harus
dibayarkan berpatokan pada besaran upah pekerja hingga batas
waktu berakhirnya Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
e. Jika Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk jangka waktu yang
tidak memenuhi ketentuan Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4),
ayat (5), dan ayat (6) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
demi hukum akan menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu menurut Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan
f. PKWT yang didasarkan atasa selesainya pekerjaan tertentu
harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinayatakan selesai
(Pasal 3 ayat [4] KEP.100/MEN/VI/2004)
g. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT
dapat diselesaikan lebih cepat daripada yang diperjanjikan,
PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya
pekerjaan (Pasal 3 ayat [3] KEP.100/MEN/VI/2004).
h. PKWT yang dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu
namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum bisa
diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT. Dimanana
pembaharuan dilakukan setelah melebihi berakhirnya Perjanjian
Kerja (Pasal 3 ayat [5] KEP.100/MEN/VI/2004)

26 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan... h. 20


24

2) Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)


Bilamana dalam perjanjian kerja tidak ditentukan waktu
berlakunya perjanjian, maka perjanjian tersebut termasuk
dalamPerjanjian Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)27, dengan
demikian perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu berlaku terus
sampai:28
a. Pihak pekerja/buruh memasuki usia pensiun (55 tahun);
b. Pihak pekerja/buruh diputuskan hubungan kerjanya karena
melakukan kesalahan;
c. Pekerja/buruh meninggal dunia; dan
d. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerja/buruh
telah melakukan tindak pidana sehingga perjanjian kerja tidak
bisa dilanjutkan
PKWTT atau pekerja tetap dapat digolongkan menjadi tiga cara
berikut:29
a. Menjadi pekerja tetap setelah menjalani atau dinyatakan lulus
dalam masa percobaan selama tiga bulan atau
b. Menjadi pekerja tetap yang berasal dari Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) karena tidak terpenuhinya ketentuan pada
Pasal 59 yat (1), (2), (4), dan (5) UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, maka demi hukum perjanjian kerjanya
menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
c. Menjadi pekerja tetap karena terjadinya penyimpangan seperti
diatur dalam Bab VII Pasal 15 Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi No. KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Waktu Tertentu

27 Tim Pengajar Mata Kuliah Hukum Perburuhan, Hubungan Perburuhan, (Depok: Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2001), h. 15


28 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h.57
29 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan... h.10
25

Berdasarkan ketentuan Pasal 62 Undang-Undang No. 13


Tahun 2003 disebutkan bahwa dalam hal perjanjian kerja waktu
tidak tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat
surat pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan.30 Bahkan
UU mensyaratkan bentuk tertulis terhadap perjanjian kerja yang
dibuat antara penerima pekerjaan dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya, baik itu melalui PKWTT/PKWT (Pasal 65 ayat 6,
ayat 7).31 Surat pengangkatan dimaksud sekurang-kurangnya
memuat tentang:32
a. Nama dan alamat pekerja/buruh;
b. Tanggal mulai bekerja;
c. Jenis pekerjaan; dan
d. Besarnya upah.
Pasal 1603 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwasanya Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) berakhir apabila waktunya telah habis dan apabila
waktunya telah habis, dapat diperpanjang atas kesepakatan
keduabelah pihak. Jika perpanjangan kontrak kerja atas kesepakatan
kedua belah pihak maka tidak menimbulkan masalah. Jika
perpanjangan itu dilakukan diam-diam, buruh tetap melakukan
pekerjaan dan majikan tidak keberatan KUH Perdata Pasal 1603f
ayat (1) jika hubungan kerja setelah waktunya habis, diteruskan oleh
kedua belak pihak tanpa bantahan, maka hubungan kerja itu
dipandag diadakan lagi untuk waktu yang sama, akan tetapi paling
lama untuk satu tahun dengan syarat yang lama.33

30 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Cet-3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 52
31 Goenawan Oetomo, Pengantar Hukum Perburuhan&Hukum Perburuhan Di Indonesia... h.43
32 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h.58
33 Abdussalam, Hukum Perburuhan, (Jakarta:PTIK, 2003), h. 61
26

Pasal 58 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang


Ketenagakerjaan secara tegas menyatakan bahwa Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT) tidak dapat mensyaratkan adanya masa
percobaan kerja dan jika ada yang mensyaratkan masa percobaan
kerja, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Berbeda dengan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Perjanjian Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT) atau istilahnya pekerja tetap diperkenankan
adanya masa percobaan kerja. Termaktub dalam Pasal 60 Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bahwasannya masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan
pengusaha/pelaku usaha dilarang membayar upah dibawah upah
minimum yang berlaku. Penjelasan Pasal 60 UU No. 13 Tahun 2003
tKetenagakerjaan menyatakan: “Syarat masa percobaan kerja harus
dicantumkan dalam perjanjian kerja. Apabila perjanjian kerja
dilakukan secara lisan, maka syarat masa percobaan harus
diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutand an dicantumkan
dalam surat pengangkatan. Dalam hal tidak dicantumkan dalam
perjanjian kerja atau dalam surat pengangkatan, maka ketentuan
masa percobaan dianggap tidak ada.
Dalam pelaksanaan masa percobaan untuk kerja tetap yang
sejak awal hubungan kerja sudah mensyaratkan adanya masa
percobaan dengan ketentuan sebagai berikut:34
a. Masa percobaan. Pasal 4 UU No. 12 Tahun 1964 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, mengatur
tentang lamanya masa percobaan. Di dalam pasal tersebut lama
masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan harus
diberitahukan terlebih dahulu kepada calon pekerja yang
bersangkutan.

34 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan... h. 9-10


27

b. Pada masa percobaan, hak-hak pekerja lebih sedikit


dibandingkan dengan pekerja tetap. Namun, pengusaha dilarang
membayar upah dibawah Upah Minimum Kabupaten (UMK)
c. Jika sebelumnya pekerja yang ditierima telah mengikuti training
di perusahaan yang bersangkutan, perusahaan tidak boleh
mempersyaratkan adanya masa precobaan lagi untuk pekerja
tersebut.
d. Ketentuan adanya masa percobaan tidak berlaku pada Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

e. Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja


Pengusaha/pelaku usaha dan pekerja/buruh masing-masing
mempunyai hak dan kewajiban yang termaktub dalam perjanjian kerja.
Hak dan kewajiban antara para pihak yang satu dengan yang lainnya
merupakan suatu kebalikan, jika disatu pihak merupakan suatu hak maka
dipihak lainnya adlaah merupakan kewajiban.35 Kewajiban buruh pada
umumnya tersimpul dalam hak majikan, seperti juga hak buruh tersimpul
dalam kewajiban majikan.36 Contohnya jika pengusaha/pelaku usaha
wajib membayarkan upah kepada buruh, maka buruh berhak untuk
mendapatkan upah atas pekerjaan yang sedang atau telah dikerjakannya.
Baik tersirat ataupun tersurat, hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian kerja sebenarnya dapat tersebar dalam beberapa klausul yang
termaktub dalam perjanjian kerja.
1) Kewajiban dari Pihak Pekerja/Buruh
Kewajiban buruh diatur dalam Pasal 1603, 1603 a, 1603 b, 1603 c,
dan 1603 d KUH Perdata. Dari pasal-pasal ini dapat disimpulkan
beberapa kewajiban buruh, yaitu (a) melakukan pekerjaan, (b)
menaati peraturan tentang melakukan pekerjaan, (c) membayar ganti

35 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 45


36 Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,

1995), h. 47
28

kerugian dan denda. Adapun penguraian seganti rulanjutnya sebagai


berikut:
a) Melakukan Pekerjaan
Pasal 1603 menyatakan bahwa “Buruh wajib melakukan
pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya yang
sebaik-baiknya. Sekedar sifat dan luasnya pekerjaan yang harus
dilakan tidak dirumuskan dalam perjanjian atau peraturan
majikan, maka hal itu ditentukan oleh kebiasaan”, Pekerjaan
yang wajib dilakukan oleh buruh hanyalah pekerjaan yang telah
diperjanjikan.37 Apabila pekerjaan yang dilakukan
pekerja/buruh mengandung pengertian yang luas mengenai
deskripsi pekerjaannya dan tidak ditetapkan secara terperinci,
maka ditentukan oleh kebiasaan sebagaimana yang termaktub
pada Pasal 1603 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Contoh
pekerjaan yang dilakukan berdasarkan kebiasaan menurut Dr.
R. Abdussalam, SIK., S.H., M.H., didalam bukunya yang
berjudul “Hukum Perburuhan” yaitu kebiasaan buruh di
restoran yang kewajiban utamanyanya yaitu melayani orang-
orang yang makan di restoran, akan tetapi tidak hanya itu
menurut suatu kebiasaan juga buruh di restoran wajib
membersihkan meja makan, membersihkan lantai restoran, juga
mencuci peralatan untuk makan.38 Pekerjaan yang diperjanjikan
sendiri oleh pekerja/buruh tersebut, apalagi kalau pekerjaan itu
adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian tertentu akan
menimbulkan ketidakmungkinan untuk diganti oleh orang lain,
tidak bisa pula pekerja/buruh tersebut menyuruh salah seorang
keluarganya untuk menggantikannya masuk bekerja apabila ia
berhalangan.

37 Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan Di Indonesia... h. 48


38 Abdussalam, Hukum Perburuhan... h. 67
29

b) Menaati Peraturan dan Petunjuk Dari Majikan


Pasal 1603 b menyatakan bahwa: “Buruh wajib menaati aturan
tentang hal melaksanakan pekerjaan dan aturan yang ditujukan
kepada perbaikan tata tertib dalam perusahaan majikan yang
diberikan kepadanya oleh orang atau atas nama majikan dalam
batas-batas aturan perundang-undangan, atau bila tidak ada,
menurut kebiasaan”. Artinya, sesuai dengan ketentuan di atas,
pekerja/buruh wajib menaati perintah pengusaha atau orang lain
tyang atas nama pengusaha memberikan petunjuk demi
kelancaran tata tertib perusahaan.39 Aturan-aturan yang wajib
ditaati oleh buruh tersebut antara lain dapat dituangkan dalam
tata tertib perusahaan dan peraturan perusahaan.40 Pekerja
diwajibkan melakukan pekerjaan yang diperjanjikan dalam
perjanjian kerja menurut kemampuan yang maksimal.41 Jadi,
pekerja/buruh wajib menaati perintah majikan sepanjang diatur
dalam perjanjian kerja, kecuali perintah tersebut bertentangan
dengan undang-undang, norma susila, kebiasaan, dan ketertiban
umum dimana pekerja/buruh dapat menolak melakukan
pekerjaan yang mengandung unsur tersebut.
c) Membayar Ganti Rugi dan Denda
Jika si pekerja atau buruh dalam melakukan pekerjaannya akibat
kesengajaan atau karena kelalaiannya sehingga menimbulkan
kerugian, kerusakan, kehilangam atau lain kejadian yang
sifatnya tidak menguntungkan atau merugikan majikan.42
Penggantia kerugian oleh pekerja/buruh haruslah benar-benar

39 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h.63
40 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja... h. 47
41 Ridwan Halim, dkk, Seri Hukum Perburuhan: Perburuhan Aktual, (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita,

1987), h. 57
42 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja... h. 49
30

terjadi, akan tetapi jika kerugiannya akibat hal-hal diluar kuasa


manusia seperti bencana alam atau seperti yang termaktub
dalam kalusul force majeur, maka kerugian tersebut tidak dapat
dilimpahkan kepada pekerja/buruh. Apabila kerugian yang
ditimbulkan oleh pekerja/buruh karena kelalaiannya yang
disengaja ataupun tidak disengaja tetapi nominal kerugiannya
tidak bisa diukur dengan besaran uang, maka penentuan
nominal uang merupakan kewenangan dari Pengadilan
sebagaimana termaktub dalam Pasal 1601 w Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata.
2) Kewajiban Dari Pihak Majikan/Pengusaha/Pelaku Usaha
Pasal 1602 y Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur secara
umum kewajiban majikan yang menyatakan bahwa seorang majikan
wajib melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu yang dalam
keadaan sama sepatutnya harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh
seorang majikan yang baik dimana kewajiban utamanya adalah
membayar upah. Akan tetapi karena kewajiban lainnya juga penting
untuk dilaksanakan oleh si majikan, maka dalam uraian tersebut
dibawah ini akan dirinci sebagai berikut:43
a) Kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
Kewajiban majikan salah satunya adalah wajib berbuat sesuatu
atau sebaliknya untuk tidak berbuat atau melakukan sesuatu yang
dalam keadaan yang sama seharusnya dilakukan atau tidak
dilakukan
b) Kewajiban untuk memberikan istirahat tahunan
Di dalam Pasal 1602 v KUHPerdata jo PP Nomor 21 Tahun 1954
tentang Istirahat Tahunan si buruh, dalam ketentuan tersebut
antara lain disebutkan pihak majikan diwajibkan untuk mengatur
pekerja sedemikian rupa sehingga disatu pihak hak cuti atau

43 Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja... h. 49


31

istirahat bisa diberikan secara teratur dan dipihak lain jalannya


produksi dari suatu perusahaan tidak terganggu. Sehingga semua
pihak bisa melaksanaka kewajibannya dengan tenang sebalinya
haknya juga tidak terabaikan karena itu semua bisa terpenuhi
dengan baik tanpa bertentangan dengan isi perjanjian kerja,
peraturan perundang-undangan dan kebiasaan setempat.
c) Kewajiban mengurus perawatan dan pengobatan
Didalam Pasal 1602 x KUHPerdata ditentukan bahwa majikan
wajib mengurus perawatan dan pengobatan jiak si buruh yang
bertempat tinggal padanya menderita sakit atau kecelakaan. Akan
tetapi sakit yang diderita bukan karena perbuatan buruh yang
disengaja atau karena perbuatan asusila, jika karena perbuatannya
tersebut maka biaya perawatan da pengobatan tidak menjadi
tanggung jawab majikan.
d) Kewajiban memberikan surat keterangan
Pada ketentuan Pasal 1602a ayat 1 dan ayat 2 antara lain
ditentukan bahwa majikan wajib memberikan surat keterangan
yang dibubuhi tanggal dan tanda tangan si majikan dan didalam
surat keterangan tersebut haruslah berisi tentang sifat pekerjaan
yang dilakukan, lamanya hubungan kerja antara si buruh dan
majikan. Surat keterangan tersebut berfungsi sebagai informasi
pengalaman kerja yang dilakukannya sehingga dapat berperan
sebagai bukti atas pengalaman kerja, jabatan yang pernah
diduduki serta keahlian tertentu yang dimilikinya. Selain itu,
berperan sebagai keterangan pendukung apabila terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
e) Kewajiban majikan untuk memberlakukan sama antara pekerja
pria dan wanita
Majikan dalam mengadakan atau membuat suatu perjanjian kerja
tidak boleh membedakan antara calin pekerja wanita dan pria.
Baik sewaktu mengadakan kesempatan pendidikan, syarat-syarat
32

kerja dalam arti kenaikan pangkat dan berakhirnya hubungan


kerja maupun dalam hal pemberian upah. Bahkan juga tidak
boleh perbedaan antara yang sudah berkeluarga dan yang belum
berkeluarga dan yang dihubungkan dengan jenis kelaminnya.
Penyimpangan-penyimpangan suatu perjanjian masih
diperkenankan apabila penyimpangan tersebut ditujukan untuk
memberikan perlindungan bagi wanita, Contoh yang sifatnya
diskriminatif tetapi justru merupakan suatu perlindungan
misalnya dalam perjanjian kerja tersebtu ditentukan tentang
kehamilan dan peran seorang wanita sebagai seorang ibu.44
Kesimpulan dari uraian diatas adalah walaupun pada asasnya
dalam mengadakan perjanjian kerja tidak boleh diadakan
perbedaan antara pria dan wanita, akan tetapi majikan boleh saja
memilih bagi calon pekerjanya jika tujuan tersebut justru untuk
memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat kaum
wanita itu sendiri.
f) Kewajiban membayar upah
Upah adalah merupakan salah satu sarana utama bagi pekerja dan
keluarganya karena perihal upah selain menimbulkan kewajiban
dari pekerja dan majikan perlu pula perhatian pihak lain yaitu
pemerintah

f. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang Dapat Berakibat


Perselisihan
Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) ada setelah
diundangkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 dimaksudkan
untuk menggantikan kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)45.

44 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja, (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita,

1975), cet.2, h. 35
45 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet. 3, h.
92
33

Dasar hukum tata cara pelaksanaan Perjanjian Kerja Bersama termaktub


pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 28
Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.,
Pasal 25 ayat (1) Huruf a UU PHI, dan Pasal 116 sampai dengan Pasal
135 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Perjanjian Kerja Bersama adalah
perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat
pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang
tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dengan pengusaha, atau
beberapa pengusaha, atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-
syarat kerja, hak, dan kewajiban kedua belah pihak.46 Berdasarkan peran
yang diharapkan dari perjanjian kerja bersama tersebut, Organisasi
Pekerja dan Pengusaha/Organisasi Pengusaha dalam menyusun secara
bersama-sama syarat-syarat kerja harus melandaskan diri pada sikap-
sikap kerbukaan yang berorientasi ke depan, kekeluargaan, gotong
royong, musyawarah dan mufakat, serta bertanggung jawab atas
pelaksanaan perjanjian yang telah dibuat.47
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) juga harus ada disamping
adanya Perjanjian Kerja (PK) jika dalam suatu perusahaan tersebut sudah
ada serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja tersebut
mengusulkan untuk merancang atau membuat Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) dan Perusahaan/Pelau usaha wajib melayani apabila serikat
pekerja/serikat buruh melayangkan surat untuk merundingkan PKB
sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan
dan Pengesahan Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran
Perjanjian Kerja Bersama.

46 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h.46
47 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan... h. 42
34

Hubungan antara Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan


Perjanjian Kerja antara lain: Perjanjian Kerja (PK) yang dibuat oleh
pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan PKB, jika PK
tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam PKB maka yang berlaku
adalah aturan-aturan dalam PKB, pengsuaha dilarang mengganti PKB
dengan Peraturan Perusahaan (PP) selama perusahaan yang bersangkutan
masih ada serikat pekerja/serikat buruh, dan jika tidak ada lagi serikat
pekerja/serikat buruh dan PKB diganti dengan PP, ketentuan yang ada
dalam PP tidak boleh lebih rendah daripada PKB.48
Adapun secara garis besar syarat pembuatan PKB sesuai dengan
diantaranya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan
Peraturan Perusahaan Serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja
Bersama:
a. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) hanya dapat membuat 1 (satu) PKB
yang berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan terkait baik
PKWT maupun PKWTT. [Pasal 15 ayat(1)]
b. PKB dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa
serikat pekerja/serikat buruuh yang telah tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha
atau beberapa pengusaha (Pasal 14 ayat[1])
c. Keterlibatan serikat pekerja/serikat buruh untuk berperan membuat
PKB dapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja dengan ketentuan
pengambilan perwakilan berdasarkan persentase dari jumlah seluruh
pekerja/buruh, berikut ketentuannya;
1) Dalam hal suatu perusahaan terdapat 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh tetapi tidak memiliki jumlah anggota lebih
dari 50% dari seluruh pekerja/buruh di perusahaan, maka serikat
pekerja/serikat buruh dapat mewakili perundingan apabila telah

48 Whimbo Pitoyo, Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan... h.38


35

mendapat dukungan lebih dari 50% dari seluruh pekerja/buruh


di perusahaan melalui pemungutan suara. (Pasal 18 ayat 1)
2) Dalam hal di perusahaan terdapat lebih dari 1 (satu) serikat
pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh yang
berhak mewakili pekerja/buruh dalam melakukan perundingan
dengan pengusaha maksimal 3 (tiga) serikat pekerja/serikat
buruh yang masing-masing anggotanya minimal 10% dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan. (Pasal 19 ayat 1)
dan jumlah 3 (tiga) serikat buruh ditentukan sesuai peringkat
berdasarkan jumlah anggota terbanyak. (Pasal 19 ayat 2)
3) Setelah ditetapkan 3 (tiga) serikat pekerja/serikat buruh dan
ternyata masih terdapat serikat pekerja/serikat buruh yang
anggotanya minimal 10% dari jumlah seluruh pekerja/buruh di
perusahaan tersebut, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut
dapat bergabung pada serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud pada Pasal 19 ayat 2.
Pembuatan PKB melibatkan dua pihak, yaitu pengusaha dan serikat
pekerja. Masing-masing pihak akan diwakili oleh tim perundingnya
yang komposisinya ditentukan oleh masing-masing pihak.49 Dengan
adanya penegasan tersebut, maka jelas disebutkan bahwa didalam
Perjanjian Perburuhan yang berhak mewakili pihak majikan bisa
hanya terdiri dari seorang majikan secara individu atau beberapa
majikan, akan tetapi pihak buruh tidak boleh diwakili hanya oleh
seorang buruh secara individu, melainkan harus dari Serikat Buruh
atau beberapa Serikat Buruh.50
d. Perjanjian Kerja Bersama tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila isi

49 Budi Santoso, Hukum Ketenagakerjaan: Perjanjian Kerja Bersama, (Malang: Universitas Brawijaya

Press [UB Press], 2012), h. 37


50 Djumadi, Hukum Perburuhan: Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h.106-107
36

perjanjian kerja bersama tersebut bertentangan dengan peraturan


perundang-undangan yang berlau maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.51
e. Perundingan PKB dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(Pasal 14 ayat 3)
f. Perundingan PKB didasari dengan itikad baik dan kemauan bebas
kedua belah pihak serta lamanya perundingan PKB ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersangkutan dan
dituangkan dalam tata tertib perundingan (Pasal 14 ayat 3-4).
g. Jika ada perubahan dari pihak Pengusaha/Pelaku Usaha ataupun
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, maka perubahan tersebut haruslah
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak dan perubahan PKB
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PKB yang
berlaku (Pasal 27).
Terhadap suatu PKB yang sedang berlaku dapat juga diadakan
perubahan-perubahan dengan syarat harus ada kesepakatan antara pihak
pengusaha dengan pihak serikat pekerja untuk mengadakan perubahan
tersebut.52 Berlakunya PKB pada tanggal dan hari penandatanganan,
kecuali ditentukan lain yang termaktub dalam PKB yang disepakati oleh
Pengusaha dan Serikat Pekerja/Buruh. Masa berlakunya suatu PKB
adalah maksimal 2 (dua) tahun. Pembuatan PKB berikutnya
(pembaharuan PKB) dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum
PKB berakhir masa berlakunya.53 Dengan adanya Perjanjian perburuhan
dalam suatu hubungan kerja diharapkan akan tercipta suatu kedamaian
dan ketenangan dalam melaksanakan hubungan kerja pada suatu

51 Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan... h. 54


52 Budi Santoso, Hukum Ketenagakerjaan: Perjanjian Kerja Bersama, (Malang: Universitas Brawijaya

Press [UB Press], 2012), h. 71


53 Budi Santoso, Hukum Ketenagakerjaan: Perjanjian Kerja Bersama... h. 71
37

perusahaan.54 Mengingat Perjanjian Kerja Bersama dibuat selain untuk


menciptakan keharmonisan hubungan pekerja/buruh dengan
perusahaan/pengusaha, PKB juga berperan untuk menciptakan
kesejahteraan bagi pekerja/buruh yang bekerja di perusahaan terkait jika
PKB tersebut dibuat tidak bertentangan dengan Undang-Undang,
adanya itikad baik untuk mensejahterakan keduabelah pihak, dan
mempunyai semangat terciptanya Hubungan Industrial yang penuh
keselarasan dan keseimbangan.

2. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)


a. Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 Angka 25 tentang
Ketenagakerjaan adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara
buruh/pekerja dengan pengusaha. Berakhirnya suatu hubungan kerja
bisa terjadi secara otomatis pada saat jangka waktu hubungan kerja
yang ditentukan oleh para pihak buruh atau pekerja dengan pihak
pengusaha.55 PHK merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan
terjadinya, khsuusnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan
PHK buruh/pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata
pencaharian untuk menghidupi diri dan keluarganya, karena itu semua
pihak yang terlibat dalam hubungan industrial (pengusaha,
pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah) dengan
segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja.56

54 Djumadi, Hukum Perburuhan: Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012), h.109
55 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-Asas Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2014), h. 134
56 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi... h. 171
38

Sebagaimana yang dikatakan Prof. Imam Soepomo dalam


bukunya yang menyatakan bahwa: 57
“Pemutusan hubungan kerja bagi buruh merupakan permulaan
dari segala pengakhiran, permulaan dari berakhirnya
mempunyai pekerjaan, permulaan dari berakhirnya kemampuan
membiayai keperluan hidup sehari-hari baginya dan
keluarganya, permulaan dari berakhirnya kemampuan
menyekolahkan anak-anak dan sebagainya”.
Oleh karena itu, tindakan PHK oleh pengusaha sebisa mungkin
haruslah dihindari dan merupakan jalan terakhir yang ditempuh.
Apabila pengusaha akan melakukan PHK, tentunya harus
musyawarah terlebih dahulu dengan pekerja/buruh yang bersangkutan
atau dengan Serikat Pekerja/Buruh yang ada di perusahaan itu.
Apabila tidak terjadi mufakat dalam artian jika pekerja/buruh yang di-
PHK tidak setuju dengan keputusan PHK, maka PHK hanya akan
berlaku setelah adanya penetapan dari lembaga yang berwenang, yaitu
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Pengadilan
Negeri atau penyelesaiannya non litigasi secara mediasi, konsiliasi,
dan arbitrase sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 151 ayat (3)
Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK).
b. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Dalam teori Hukum Perburuhan dikenal adanya 4 (empat) jenis
pemutusan hubungan kerja, yaitu: 58
1) Pemutusan hubungan kerja demi hukum;
Pemtuusan Hubungan Kerja demi hukum adlaah merupkaan
pemutusan hubungan kerja yang terjadi dengan sendirinya
sehubungan dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian yang
dibuat oleh majikan dan buruh.59 Ada beberapa alasan menurut

57 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, (Jakarta: Djambatan,

1983), cet.5 h. 115-116


58 Zainal Asikin, dkk, Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 175
59 Zainal Asikin, dkk, Dasar Hukum Perburuhan... h. 175
39

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


yang menyebabkan PHK demi hukum, diantaranya: Pertama,
termaktub dalam Pasal 164 ayat (1) PHK karena perusahaan tutup
(likuidasi) yang disebabkan mengalami kerugian secara terus
menerus selama dua tahun atu dalam keadaan memaksa (force
majeur). Kedua, PHK karena pekerja/buruh meninggal dunia
(Pasal 166). Ketiga, PHK karena berakhirnya PKWT pertama
(Pasal 154 Huruf b). Keempat, pekerja/buruh mencapai usia
pensiun sesuai dengan ketetapan Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan, Perjanjian Kerja Bersama, atau peraturan perundang-
undangan.60 Kelima, pekerja/buruh mengajukan permintaan
pengunduran diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada
indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha (Pasal 154
Huruf b).
2) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pihak Pekerja/Buruh
Buruh/pekerja berhak untuk memutuskan hubungan kerja dengan
pihak pengusaha karena pada prinsipnya buruh tidak boleh
dipaksakan untuk terus-menerus bekerja bilamana ia sendiri tidak
menghendakinya.61 Pengunduran diri buruh dapat dianggap
terjadi apabila buruh mangkir paling sedikit dalam waktu 5 (lima)
hari kerja berturut-turut dan telah dipanggil oleh pengusaha 2
(dua) kali secara tertulis, tetapi pekerja tidak dapat memberikan
keterangan tertulis dengan bukti yang sah.62 Ketentuan lain yang
diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang mengatur
PHK yang disebabkan oleh pekerja/buruh, diantaranya; Pertama,
pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja

60 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2012),
h.206
61 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia... h. 203
62 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 162
40

disebabkan adanya perubahan status, penggabungan, peleburan,


dan perubahan kepemilikan perusahaan (Pasal 163 ayat [1]).
Kedua, pekerja/buruh mengajukan permohonan kepada lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) karena
pengusaha melakukan kesalahan dan ternyata benar atau terbukti
(Pasal 169 ayat [2]). Ketiga, pekerja/buruh mengajukan
permohonan PHK atau mengundurkan diri karena sakit
berkepanjangan dan mengalami cacat permanen akibat
kecelakaan kerja (Pasal 172). Keempat, pekerja/buruh
mengajukan pengunduran diri atau PHK karena alasan yang
mendesak. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh buruh karena
alasan mendesak adalah suatu keadaan yang sedemikian rupa
yang berakibat bagi buruh, bahwa ia tidak selayaknya
mengharapkan untuk memutuskan hubungan kerja.63
3) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan
Pemutusan Hubungan Kerja oleh Majikan dalam artian oleh
pengusaha adalah PHK atas kehendak pengusaha akibat adanya
pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh pekerja/buruh
baik itu kesalahan berat ataupun ringan. Sebab PHK oleh majikan
diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan diantaranya;
Pertama, PHK setelah melalui Surat Peringatan (SP)
pertama hingga SP ketiga (Pasal 161 ayat [3]). Masing-masing
Surat Peringatan tersebut berlaku paling lama enam bulan kecuali
durasi itu ditentukn lain pada Perjanjian Kerja, Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama (Pasal 161 ayat [2]).
Apabila pekerja/buruh mendapatkan Surat Peringatan pertama
hingga ketiga secara berturut-turut, maka pengusaha/perusahaan
dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada
pekerja yang bersangkutan.

63 Soebekti, Hukum Perdjanjian, (Jakarta: PT Inter Masa, 1984), cet.8, h. 22


41

Kedua, PHK yang disebabkan oleh pengusaha tidak bersedia


lagi menerima pekerja/buruh dalam artian tidak ingin
melanjutkan hubungan kerja karena adanya perubahan status,
penggabungan, peleburan perusahaan dan likuidasi bukan karena
perusahaan mengalami kerugian (Pasal 163 ayat [2] dan Pasal 164
ayat [2]). Ketiga, PHK atas pengaduan pekerja/buruh yang
menuduh dan dilaporkan pengusaha (kepada pihak yang
berwajib) melakukan kesalahan dan ternyata tidak benar (Pasal
169 ayat [3]).
Keempat, PHK akibat kesalahan atau pelanggaran berat
sebagaimana termaktub pada Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003, diantaranya:
a) Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang
dan / atau uang milik perusahaan;
b) Memberikan keterangan palsu atau dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan;
c) Mabuk, minum-minuman keras yang memabukkan,
memakai dan / atau mengedarkan narkotika, psikotropika
dan zat aditif lainnya di lingkungan kerja;
d) Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan
kerja;
e) Menyerang/menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi
teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f) Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melaukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
g) Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarjan
dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang
menimbulkan kerugian perusahaan;
h) Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja
atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
42

i) Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang


seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara;
j) Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan
yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih.
Pemutusan Hubungan Kerja ditentukan oleh hasil
pemufakatan antara internal perusahaan dengan pekerja atau
serikat pekerja tanpa adanya campur tangan pihak ketiga, kecuali
kedua belah pihak memutuskan untuk memutuskan perlunya
campur tangan pihak ketiga sebagai mediator atau penengah
perselisihan.
4) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
PHK oleh pengadilan terjadi saat para pihak antara pekerja/buruh
dan pengusaha bersikeras tidak menghendaki pengakhiran
hubungan kerja atau masih terjadinya perbedaan pendapat para
pihak. Perbedaan pendapat bisa saja mencakup perbedaan
pendapat besaran pesangon yang harus diterima oleh
pekerja/buruh sesuai dengan haknya ataupun mengenai
keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan
perusahaan terkait. PHK melalui jalur litigasi ini merupakan
langkah atau proses terakhir yang ditempuh oleh pekerja/buruh
dan perusahaan untuk menyelesaikan perselisihan diantara
keduanya setelah penyelesaian perselisihan secara non litigasi
gagal ditempuh atau tidak terjadinya suatu kesepakatan.
c. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Secara garis besar, menurut Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 2003
entang Ketenagakerjaan prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
dapat dipaparkan sebagai berikut:
1) Sebelum terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (HK) semua pihak
(pengusaha, pekerja/buruh, Serikat Pekerja, dan pemerintah)
dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) [Pasal 151 ayat (1)];
43

2) Jika segala upaya telah dilakukan akan tetapi Pemutusan


Hubungan Kerja (PHK) tidak juga dapat diindahkan, maka
pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja wajib mengadakan
perundingan [Pasal 151 ayat (2)] ;
3) Jika dalam perundngan kedua belah pihak sepakat untuk tidak
terjadi suatu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau dapat
dikatakan perundingan itu berhasil, maka kedua belah pihak
membuat persetujuan bersama;
4) Akan tetapi jika perundingan tersebut gagal, maka pengusaha
mengajukan permohonan penetapan secara tertulis disertai dasar
dan alasan-alasannya kepada Pengadilan Hubungan Industrial
(PHI) [Pasal 151 Ayat (3) jo. Pasal 152 ayat (1)];
5) Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, kedua belah pihak tetap
melaksanakan segala kewajiban mereka masing-masing dimana
buruh tetap menjalankan pekerjaannya dan pengusaha tetap
membayar upah [Pasal 155 ayat (2)];
6) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan
huruf “e” berupa tindakan skorsing kepada buruh yang sedang
dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan tetap
wajib membayar upah serta hak-hak lainnya yang biasa diterima
oleh buruh [Pasal 155 ayat (3)].
Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut Abdul Khakim
ada 5 (lima) poin, diantaranya:64
1) Sebelumnya semua pihak yaitu pengusaha, pekerja/buruh, Serikat
Pekerja/Serikat Buruh harus melakukan upaya untuk menghindari
ternjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);
2) Bila tidak dapat dihindari, pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat
Buruh atau pekerja/buruh mengadakan perundingan bersama;

64 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 137


44

3) Jika perundingan berhasil, maka dibuat persetujuan bersama;


4) Bila tidak berhasil, pengusaha mengajukan permohonan
penetapan disertai dasar dan alasan-alasannya kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
5) Selama belum ada penetapan/putusan dari lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial, kedua pihak tetap melaksanakan
segala kewajiban masing-masing dimana pekerja/buruh tetap
melaksanakan pekerjaannya dan pengusaha membayar upah

d. Hak Pekerja/Buruh Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja


(PHK)
Apabila suatu hubungan kerja berakhir baik itu atas kehendak
pekerja/buruh maupun kehendak perusahaan/pengusaha, maka
dimulailah masa yang sulit bagi pekerja/buruh dan keluarganya yang
disebabkan tidak adanya pemasukan pundi-pundi uang sebagaimana
pekerja/buruh yang sebelumnya bekerja di perusahaan tersebut. Oleh
karena itu untuk membantu atau setidaknya mengurangi ebban
pekerja/buruh yang di-PHK, undang-undang mengharuskan atau
mewajibkan pengusaha untuk memberikan uang pesangin, uang jasa,
dan uang ganti rugi bagi pekerja/buruh yang di-PHK.65
Ada 4 (empat) komponen kompensasi yang ditentukan dalam
Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
perangkat peraturan yang ada di perusahaan seperti yang termaktub
dalam Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), dan
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara lain:
1) Uang Pesangon
Yang dimaksud dengan uang pesangon adalah uang yang
diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang berhent bekerja
dengan catatan bahwa pemberian uang pesangon itu merupakan

65 Zainal Asikin dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan... h. 195


45

kewajiban yang harus dipenuhhi oleh pengiusaha bila


pemberhentian tersbeut dilakukan atas kehendak pengusaha, dan
pemberikan uang pesangon itu merupakan hak pengusaha bila
pemberhentian tersebut terjadi karena kehendak pekerja/buruh
yang bersangkutan.66 Uang pesangon terdiri dari upah pokok dan
tunjangan tetap. Besarnya uang pesangon yang berha diperoleh
dari pekerja/buruh berdasarkan ketentuan UU Nomor 13 Tahun
2003 adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1 Tabel Perhitungan Uang Pesangon

No. Masa Kerja Uang Pesangon


1. Kurang dari 1 (satu) tahun 1 (satu) bulan upah
1 (satu) tahun atau lebih
2. tetapi kurang dari 2 (dua) 2 (dua) bulan upah
tahun
2 (dua) tahun atau lebih tetapi
3. 3 (tiga) bulan upah
kurang dari 3 (tiga) tahun
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
4 4 (empat) bulan upah
kurang dari 4 (empat) tahun
4 (empat) tahun atau lebih
5 tetapi kurang dari 5 (lima) 5 (lima) bulan upah
tahun
5 (lima) tahun atau lebih
6 tetapi kurang dari 6 (enam) 6 (enam) bulan upah
tahun
6 (enam) tahun atau lebih
7 tetapi kurang dari 7 (tujuh) 7 (tujuh) bulan upah
tahun
7 (tujuh) tahun atau lebih
8 tetapi kurang dari 8 (delapan) 8 (delapan) bulan upah
tahun
9 8 (delapan) tahun atau lebih 9 (sembilan) bulan upah
Sumber: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (2)

66 Sri Subiandini Gultom, Aspek Hukum Hubungan Industrial, (Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005),
h. 82
46

2) Uang Penghargaan Masa Kerja atau Uang Jasa


Uang Jasa adalah pemberian uang yang diberikan bukan karena
buruh telah berjasa, tapi kalau buruh tyelah bekerja lebih dari lima
tahun dan terjadi pemutusan hubungan kerja, maka buruh tersebut
selain diberi uang pesangon juga mendapatkan uang jasa.67

Tabel 2.2 Tabel Perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja


No. Masa Kerja Uang Penghargaan Masa Kerja
3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
1. 2 (dua) bulan upah
kurang dari 6 (enam) tahun
6 (enam) tahun atau lebih
2. tetapi kurang dari 9 3 (tiga) bulan upah
(sembilan) tahun
9 (sembilan) tahun atau lebih
3. tetapi kurang dari 12 (dua 4 (empat) bulan upah
belas) tahun
12 (dua belas) tahun atau
4 lebih tetapi kurang dari 5 (lima) bulan upah
15(lima belas) tahun
15 (lima belas) tahun atau
5 lebih tetapi kurang dari 18 6 (enam) bulan upah
(delapan belas) tahun
18 (delapan belas ) tahun atau
6 lebih tetapi kurang dari 21 7 (tujuh) bulan upah
(dua puluh satu) tahun
21 (dua puluh satu) tahun
7 atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) bulan upah
24 (dua puluh empat) tahun
24 (dua puluh empat) tahun
8 9 (sembilan) bulan upah
atau lebih
Sumber: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (3)

3) Uang Penggantian Hak


Komponen uang penggantian hak diatur lebih rinci pada Pasal
256 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, diantaranya merupakan:

67 Wiwoho Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, (Jakarta: Bima Aksara, 1983), cet.1. h. 20
47

a) Cuti tahunna yang belum diambil dan belum gugur;


b) Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke
tempat dimana pekerja diterima bekerja;
c) Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan
ditetapkan 15% (lima belas persen) dari uang pesangon dan /
atau penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d) Hal-hal lain yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja,
Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
4) Uang Pisah
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
tidak mendefinisikan secara tegas mengenai Uang pisah. Hanya
saja di Pasal 158 ayat (4), Pasal 162 ayat (2), dan Pasal 168 ayat
(3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan
bahwasannya pengusaha yang melakukan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) terhadap pekerja/buruh ataupun pekerja/buruh yang
mengundurkan diri, maka pekerja/buruh yang bersangkutan
berhak menerima uang pisah. Besaran uang pisah dan
pelaksanannya diamanatkan oleh Undang-Undang
Ketenagakerjaan diatur lebih lanjut dalam Perjanjian Kerja (PK),
Perjanjian Kerja Bersama (PKB), dan Peraturan Perusahaan.

3. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


a. Definisi Perselisihan Hubungan Industrial
Pengertian Perselisihan Hubungan Industrial termaktub pada
Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perselisihan hubungan
industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para
pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari
unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Pengertian lain juga termaktub pada Pasal 1
48

Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian


Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan bahwa
perselisihan hubungan industrial merupakan penyelesaian perbedaan
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya
perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Bagaimanapun harmonisnya hubungan antara pengusaha
dengan pekerja suatu saat pasti akan ada saja satu atau beberapa
perselisihan yang timbul diantara mereka.68 Perselisihan atau konflik
tersebut merupakan suatu konsekuensi dari interaksi antar pelaku
hubungan industrial.69 Saat terjadinya interaksi, pasti akan terjadi
perselisihan pendapat atau kepentingan baik yang berasal dari
Perusahaan/Pengusaha maupun Pekerja ataupun dari Serikat
Buruh/Serikat Pekerja. Dengan adanya perselisihan bukan berarti
hubungan kerja tidak bisa mencapai keharmonisan, oleh karenanya
dibutuhkan adanya penyelesaian perselisihan. Penyelesaian
perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang
berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua
belah pihak.70
b. Jenis-Jenis Perselisihan Hubungan Industrial
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan jo. Pasal 2 Undnag-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, jenis-jenis
perselisihan hubungan industrial meliputi:

68 Sri Subiandini Gultom, Aspek Hukum Hubungan Industrial, (Jakarta: PT Hecca Mitra Utama, 2005),
h. 61
69 Cosmas Batubara, Hubungan Industrial, (Jakarta: Penerbit PPM, 2008), h. 69
70 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 179
49

1) Perselisihan Hak
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak
dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama.71 Karakteristik perselisihan hak pada intinya
perselisihan hak normatif atau hak atas hukum dalam hubungan
kerja yakni perselisihan yang menitikberatkan aspek hukum
(rechtmatigheid) sebagai akibat terjadinya perlanggaran/tidak
dipenuhinya hak, perbedaan perlakuan atau penafsiran terhadap
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan
perusahaan maupun perjanjian kerja bersama.72
2) Perselisihan Kepentingan
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja
yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.73 Karakteristik
perselisihan kepentingan berkaitan dengan syarat-syarat kerja
dan/atau keadaan perburuhan yang menitikberatkan pada
kebijaksanaan (doelmatigheid) permasalahan di luar aspek
hukum.74
3) Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah
perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian

71 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2015), h. 91


72 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet. 3, h.
184
73 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h. 147
74 Asri Wijayanti, Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi... h. 184
50

pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan


oleh salah satu pihak.75
4) Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan
Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan
adalah perselisihan antara serikat pekerja/buruh dengan serikat
pekerja/buruh lain hanya dalam satu eprusahaan karena tidak
adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan
hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.76
c. Prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
Secara garis besar menurut berbagai literatur hukum ketenagakerjaan,
prosedur Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu penyelesaian di luar Pengadilan Hubungan
Industrial (non litigasi) dan penyelesaian melalui Pengadilan
Hubungan Industrial (litigasi).
1) Penyelesaian Perselisihan Di Luar Pengadilan (non-Litigasi)
Penyelesaian Perselisihan di luar pengadilan atau jalur non
litigasi dibagi menjadi 4 (empat) cara, diantaranya
a) Bipartit
Sebelum perselisihan diajukan kepada lembaga penyelesian
perselisihan, setiap perselisihan wajib diupayakan
penyelesaiannya secara bipartit yaitu musyawarah antara
pekerja dan pengusaha.77 Penyeleisaian perselisihan melalui
bipartit harus mampu diselesaikan paling lama tiga puluh hari
kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.78 Apabila jangka
waktu yang ditentukan melebihi tiga puluh hari, maka

75 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial... h. 91


76 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h. 147
77 Asri Wijayanti, Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), cet. 3, h. 185


78 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h. 149
51

perundingan dianggap gagal dan salah satu atau kedua belah


pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat
dengan melampirkan bukti-butki bahwa penyelesaian secara
bipartit sudah dilakukan dan telah gagal. Setelah itu, instansi
yang menerima pencatatan gagalnya bipartit tersebut (dalam
hal ini adalah Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi) wajib
menawarkan kepada para pihak untuk menyelesaikan
perselisihannya melalui konsiliasi atau arbitrase. Apabila tidak
ada jawaban selama 7 (tujuh) hari dari salah satu pihak, maka
Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi melimpahkan
penyelesaian sengketa ke mediator.
b) Konsiliasi
Konsiliasi diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Konsiliasi yaitu suatu
proses penyelesaian perselisihan yang melibatkan pihak ketiga
yang netral, pilihan para pihak yang berseliish, yang
membantu pihak-pihak yang berselisih untuk mencari jalan
penyelesaian perselisihan yang terjadi secara win-win
solution.79 Yang bertugas sebagai penengah adalah konsiliator.
Tugas konsiliator adalah melakuka konsiliasi kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaiakan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dlam
satu perusahaan.80 Dalam hal trcapau kesepakatan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
konsiliasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang

79 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-Asas Hukum Perburuhan... h. 131


80 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial... h. 95
52

ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Konsiliator


dan didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan neegri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan
Perjanjian Bersama utnuk mendpatkan akta bukti
pendafataran.81 Jika tidak terjadi kesepakatan maka konsiliator
mengeluarkan anjuran tertulis tapi sifatnya tidak mengikat
hanya sebatas anjuran. Anjuran tertulis inilah yang cikal-bakal
terjadinya kesepakatan atau tidak. Karena tergantung jawaban
dari para pihak antara setuju dan tidak setuju terhadap anjuran
perdamaian.
c) Mediasi
Upaya mediasi diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 16
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial. Mediasi yaitu sutau proses
penyelesaian perselisihan yang melibatkan pihak ketiga yang
berperan sebagai perantara untuk mempertemukan kedua
pihak yang berselisih. Proses penyelesaian perselisihan yang
melibatkan pihak ketiga yang netral, pilihan para pihak yang
berselisih, yang membantu pihak-pihak yang berselisih untuk
mencari jalan penyelesaian perselisihan yang terjadi secara
win-win solution.82 Pihak ketiga dalam penyelesaian
perselisihan tahap mediasi adalah mediator yang berperan
sebagai saksi dalam perjanjian perdamaian jika berhasil
menempuh perdamaian. Jika tidak ada kesepakatan atau gagal
berdamai, maka kedudukan mediator sebagai penengah atau
perantara para pihak yang berselisih serta berperan
mengeluarkan putusan yang bersifat anjuran. Dalam hal
tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan

81 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), cet. 3, h.
190
82 Aloysius Uwiyono, dkk, Asas-Asas Hukum Perburuhan... h. 131
53

industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama


yang ditandatangani oelh para pihak dan disaksikan oleh
mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak
mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan hukti
pendaftaran.83 Sifat penetapan suatu putusan oleh mediator
hanyalah berupa anjuran. Jadi, pelaksanaan putusan mediator
tergantung kearifan para pihak yang bersengketa antara
menerima atau tidak dan dilanjutkan kepada proses
selanjutnya yaitu melalui jalur pengadilan hubungan
industrial.
d) Arbitrase
Pasal 1 Angka 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
mengartikan arbitrase adalah penyelesaian perselsihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat
buruh hanya dalam satu perusahaan diluar Pengadilan
Hubungan industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final. Arbitrase ini juga melibatkan pihak
ketiga yang netral berdasarkan kesepakatan para pihak yang
berselisih dan arbiter ditentukan oleh para pihak. Penyelesaian
sengketa melalui arbitrase ditentukan oleh kesepakatan para
pihak mengenai pemilihan lembaga arbiter lokal ataupun luar
negeri. Akan tetapi dalam praktiknya, mayoritas memilih
lembaga arbitrase BANI daripada lembaga arbitrase luar.
Selain itu, penyelesaian sengketa melalui arbitrase sangatlah

83 Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi... h. 187


54

jarang karena rata-rata penyelesaian di lembaga arbitrase


antara pengusaha dengan pengusaha.
2) Penyelesaian Sengketa Melalui Jalur Pengadilan (Litigasi)
Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus
yang berada pada lingkungan peradilan umum yang bertugas dan
berwenang untuk memeriksa dan memutus di tingkat pertama
mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja dan di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam suatu perusahaan.84 Guna lebih jelasnya berikut disajikan
tabel uraian sistem kelembagaan perselisihan hubungan
industrial.
Tabel 2.3:
Kelembagaan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Lingkup
Kewenangan, dan Jangka Waktu Penyelesaiannya
Lingkup Jangka
No. Lembaga Dasar Hukum
Kewenangan Waktu
(1) (2) (3) (4) (5)
PH, PKp, 30 Hari Pasal 6-7 UU No. 2 Tahun
1 Bipartit
PPHK, dan PAS Kerja 2004
PKp, PPHK, 30 Hari Pasal 17-18 UU No. 2 Tahun
2 Konsiliasi
dan PAS Kerja 2004
30 Hari Pasal 29-54 UU No. 2 Tahun
3 Arbitrase PKp dan PAS
Kerja 2004
PH, PKp, 30 Hari Pasal 8-16 UU No. 2 Tahun
4 Mediasi
PPHK, dan PAS Kerja 2004
5 Pengadilan Hubungan Industrial
a. Tingkat PH, PKp, 30 Hari Pasal 81-112 UU No. 2 Tahun
Pertama PPHK, dan PAS Kerja 2004
b. Tingkat 30 Hari Pasal 113-115 UU No. 2
PH dan PPHK
Kasasi Kerja Tahun 2004
Sumber: Buku Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaiain Perselisihan Hubungan Industrial

84 Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja... h. 158
55

Keterangan:
*) Bersifat alternatif yakni alternatif sukarela (voluntary) untuk konsiliasi
dan arbitrase dan alternatif wajib (compulsory) untuk mediasi
 PH : Perselisihan Hak
 PKp : Perselisihan Kepentingan
 PPHK : Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja
 PAS : Perselisihan antar serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan

B. Tinjauan Kajian Terdahulu


Penelitian ini memiliki tinjauan kajian terdahulu, antara lain:
1. Nama : Ali Usman85
Institusi : Universitas Pasundan
Tahun : 2016
Judul Skripsi : Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Di Hotel Grand
Aquila Bandung Atas Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Ditolaknya
Keikutsertaan Dalam Serikat Pekerja
Fokus pembahasan skripsi ini adalah penyelesaian perselisihan dan
perlindungan hukum bagi pekerja di Hotel Grand Aquila Bandung yang
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat keikutsertaannya dalam
Serikat Pekerja (SP) Mandiri di Hotel Grand Aquila Bandung, padahal
salah satu hak asasi manusia bahkan hak pekerja adalah kebebasan
mengeluarkan pendapat dan berorganisasi serta berkumpul dan berserikat
untuk ikut serta hingga membentuk Serikat Pekerja (SP). Perbedaan
skripsi diatas dengan penelitian peneliti adalah bahwasannya skripsi diatas
fokus kajiannya adalah pada penyelesaian perselisihan dan perlindungan
hukum terhadap pekerja di Hotel Grand Aquila Bandung, sedangkan
peneliti fokus pembahasannya pada Penyelesaian sengketa Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) akibat pelanggaran berat karyawan Perum Peruri

85Ali Usman, Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Di Hotel Grand Aquila Bandung Atas Pemutusan
Hubungan Kerja Akibat Ditolaknya Keikutsertaan Dalam Serikat Pekerja, (Skripsi S1 Fakultas Hukum,
Universitas Pasundan, Bandung, 2016)
56

dengan menganalisa bahan-bahan penelitian terkait seperti Perjanjian


Kerja Bersama (PKB) Perum Peruri karena Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) terjadi akibat adanya pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama (PKB)
yang sudah disepakati berdasarkan studi kasus pada putusan Mahkamah
Agung Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016.

2. Nama : Setya Qodar Al Haolandi86


Institusi : Universitas Islam Sultan Agung
Tahun : 2016
Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Terhadap Proses PHK Sepihak Di PT.
Karya Mitra Nugaraha Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan Pada Pengadilan Hubungan Industrial
Semarang
Skripsi ini meneliti tinjauan yuridisnya terhadap Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak di PT Karya Mitra Nugraha
berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan pada Pengadilan
Hubungan Industrial. Titik fokus pembahasannya pada keabsahan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap pekerja di Perusahaan
tersebut dengan pertimbangan peraturan perundang-undangan. Perbedaan
antara skripsi diatas dengan penelitian peneliti bahwasannya skripsi diatas
meneliti tinjauan yuridis terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di
PT Karya Mitra Nugraha berdasarkan ketentuan Undang-Undang
Ketenagakerjaan, sedangkan peneliti titik fokus mengkaji mengenai
penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan Perum Peruri
dengan studi kasus putusan Mahkamah Agung Nomor 536 K/Pdt. Sus-
PHI/2016

86 Setya Qodar Al Holandi, Tinjauan Yuridis Terhadap Proses PHK Sepihak Di PT. Karya Mitra

Nugaraha Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pada Pengadilan
Hubungan Industrial Semarang, (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang,
2016)
57

3. Nama : Abdul Khakim87


Judul Buku : Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (Antara Peraturan dan Pelaksanaan)
Tahun : 2015
Buku ini membahas lebih fokus kepada penyelesaian
perselisihan hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan
perusahaan atau pelaku usaha mulai dari potensi perselisihan hubungan
industrial hingga cara penyelesaiannya melalui musyawarah, tripartit,
bipartit hingga ke jalur pengadilan (litigasi) secara lugas dibahas dalam
buku ini. Perbedaan buku diatas dengan penelitian peneliti adalah buku
diatas fokus pembahasan konseptualnya yaitu mengenai Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) secara teoritis, sedangkan
peneliti membahas mengenai Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) Akibat Pelanggaran Berat Karyawan dimana titik fokus
pembahasannya adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan
Perum Peruri dengan menganalisis kebasahan suatu Pemutusan
Hubungan Kerja hingga proses penyelesaian menurut ketentuan
Undang-Undang yang berlaku.

4. Nama : Yetniwati, Hartati dan Meriyarni88


Judul Jurnal : Reformasi Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Secara Mediasi
Tahun : 2014
Fokus pembahasan jurnal ini adalah mengenai penyelesaian
sengketa perselisihan hubungan industrial melalui mediasi dimana
mediator yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil di instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang pemerintahan. Jurnal ini juga

87 Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Antara Peraturan dan

Pelaksanaan), (Jakarta: PT Citra Aditya Bakti, 2015), cet., 2.


88 Yetniwati, dkk, Reformasi Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Secara Mediasi,

Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2, (2 Mei 2014).


58

membahas mengenai prosedur dan konsep mediasi untuk


menyelesaikan perkara hubungan industrial dengan menekankan
bahwasannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial harus segera direvisi
agar memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Perbedaan jurnal
diatas dengan penelitian peneliti adalah jurnal diatas membahas
mengenai konsep dan prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi
dan terdapatnya rekomendasi dari penulis jurnal bahwasannya Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial diperlukan revisi guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Akan tetapi penelitian peneliti titik fokusnya pada penyelesaian
Pemutusan Hubungan Industrial (PHK) karyawan Perum Peruri akibat
pelanggaran berat yang dilakukan oleh karyawan tersebut yang
disebabkan kesalahan prosedur penyampaian keluh kesah atau aspirasi.
BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG PERUM PERCETAKAN
UANG REPUBLIK INDONESIA

A. Sejarah Perum Percetakan Uang Republik Indonesia1


Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (PERUM
PERURI) didirikan pada tahun 15 September 1971, merupakan gabungan dari
dua Perusahaan, yaitu PN. Pertjetakan Kebajoran dan PN. Artha Yasa sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor : 60 tahun 1971, selanjutnya diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor: 25 tahun 1982, kemudian diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2000 dan disempurnakan untuk terakhir
kalinya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2006.
Sesuai dengan PP 60 Tahun 1971 Pasal 3, dinyatakan bahwa tujuan
dan lapangan usaha Peruri adalah mencetak uang kertas dan yang uang logam
untuk Bank Indonesia (BI) dan mencetak barang-barang cetakan, surat-surat
berharga serta membuat barang-barang logam lainnya untuk pemerintah, BI,
Lembaga-lembaga Negara dan umum. Selain itu, ditegaskan pula bahwa Peruri
dapat menyelenggarakan usaha-usaha sampingan atas persetujuan Menteri
Keuangan dengan berpedoman kepada dasar-dasar dan prinsip-prinsip
ekonomi yang rasionil.
Di dalam perkembangannya kemudian, pemerintah kemudian
mengubah PP 60 Tahun 1971 dengan PP 32 Tahun 2006 dengan pengaturan
penugasan seperti yang diatur di dalam Bagian Ketiga tentang Kegiatan dan
Pengembangan Usaha Peruri, yaitu selain menyelenggarakan usaha mencetak
uang RI untuk memenuhi permintaan BI dan melaksanakan kegiatan mencetak
dokumen sekuriti untuk negara, yaitu dokumen keimigrasian, pita cukai,
meterai dan dokumen pertanahan atas permintaan instansi yang berwenang.
Perum Peruri juga mencetak dokumen sekuriti lainnya dan barang
cetakan logam non uang, mencetak uang dan dokumen sekuriti negara lain atas

1 Website Resmi Perum Peruri, Sejarah Perusahaan, https://www.peruri.co.id/history


59
60

permintaan negara yang bersangkutan. PP ini juga mengatur bahwa Peruri


dapat menyediakan jasa dengan nilai sekuriti tinggi yang berkaitan dengan
kegiatan usaha perusahaan dan usaha lainnya untuk menunjang tercapainya
maksud dan tujuan perusahaan.

B. Visi, Misi, Filosofi, Tata Nilai, dan Motto Perusahaan


1. Visi dan Misi 2
Visinya adalah menjadi perusahaan berkelas dunia di bidang integrated
security printing and system. Misinya adalah menghasilkan produk
berkualitas dan bernilai sekuriti tinggi kebanggan bangsa.
2. Filosofi, Tata Nilai, dan Motto Perusahaan 3
Insan Peruri harus memiliki Spirit untuk "Menjadi yang Terbaik".
Menjadi yang terbaik adalah lebih kepada dorongan hati (heart), dorongan
jiwa dan dorongan semangat untuk selalu berprestasi dan memberikan
kontribusi maksimal kepada perusahaan. Spirit merupakan soft aspect dari
sebuah organisasi yang tujuannya untuk membentuk karakter. Oleh karena
itu spirit berkaitan dengan motivasi tinggi yang terbentuk dari keyakinan
dasar (basic belief), nilai-nilai inti (core values) dan perilaku yang utama.
Di dalam konteks kepemimpinan, spirit lebih fokus kepada managing
people, yaitu bagaimana memimpin dan berinteraksi dengan setiap orang.
Seluruh pimpinan di Peruri perlu memiliki Strategi yang tepat
berdasarkan kepada "Imaginasi - Fokus - Aksi" (IFA) untuk membawa
perusahaan ini terbang tinggi. Di dalam menetapkan strategi, kita dituntut
untuk mempunyai kemampuan membuat perencanaan jauh ke depan
(imagine) yang bentuknya berupa Rencana Jangka Panjang Perusahaan
(RJPP) tetapi harus fokus kepada "Empat Pilar Bisnis dan Lima Inisiatif
Strategi" agar aksi dalam bentuk RKAP bisa kita laksanakan sesuai
panduan yang benar dan akurat.

2 Website Resmi Perum Peruri, Visi dan Misi, https://www.peruri.co.id/vision-mission


3 Website Resmi Perum Peruri, Filosofi Tata Nilai dan Motto Perusahaan,
https://www.peruri.co.id/values
61

Spirit yang bergelora dan strategi yang akurat akan sukses jika
dilandasi oleh filosofi kerja yang sudah melekat di seluruh jiwa insan
Peruri, yaitu "Totalitas dalam Bekerja dengan Antusias yang Tinggi".
Berdasarkan referensi dari berbagai sumber, pengertian filosofi adalah
anggapan, pandangan hidup, sikap batin paling umum yangn dimiliki oleh
seseorang atau sekelompok orang/masyarakat. Di dalam kaitan itu,
totalitas dan antusias sudah merupakan pandangan umum dan sikap batin
insan Peruri karena sudah melekat di dalam hati dan pikiran kita, artinya
semua itu telah menjadi panduan perilaku yang timbul dari kesadaran diri
sendiri.
Filosofi kerja secara totalitas dan antusias perlu didukung oleh "Tata
Nilai INSTINK", yaitu Integritas, Sekuriti, Teamwork, Inovasi dan
Kualitas. Guna mendukung implementasi Tata Nilai maka diperlukan
"Moto" yang mudah diingat, gampang dilaksanakan dan menjadi
pelengkap dari karakter insan Peruri, yaitu "Cergas - Cepat - Cermat -
Cerdas - Ceria". Kita sebut saja supaya mudah, bahwa Moto Peruri adalah
"5C". Berikut disampaikan makna dari 5 C tersebut sebagai berikut:
a. Cergas itu tangkas dan giat, gesit dan cekatan. Seseorang akan mudah
dilihat dan dipahami tingkah lakunya karena ia bekerja dengan
tangkas, giat, gesit dan cekatan sehingga menjadi tumpuan organisasi
di tempatnya bekerja. Karakter orang seperti ini akan mudah dikenali
karena ia selalu bekerja dengan semangat yang menyala-nyala;
b. Cepat itu lekas, segera atau dalam waktu singkat. Cepat di dalam
pengertian cara kerja Peruri adalah bertindak segera di dalam setiap
menyelesaikan pekerjaan maupun melakukan eksekusi pada waktu
singkat untuk mencapai tujuan perusahaan;
c. Cermat itu teliti, hati-hati, penuh minat, sungguh-sungguh, seksama.
Peruri sebagai perusahaan yang bergerak di bisnis security printing,
tentunya sangat mengharapkan SDM yang bekerja dengan cermat
karena secara filosofi kerja, perusahaan ini harus dikelola dengan
tingkat pengamanan (security) yang tinggi. Tingkat pengamanan yang
62

tinggi itu dapat diperoleh secara self censor dari semua karyawan
Peruri karena itu sudah merupakan bagian penting dari sisi hidupnya;
d. Cerdas itu sempurna perkembangan akal budinya untuk berfikir,
mengerti dengan memiliki pemikiran yang tajam. Cerdas di sini
mempunyai lingkup cerdas secara emosional, cerdas secara
intelektual dan cerdas secara spiritual. Dalam konteks ini maka
integritas, inovasi dan kualitas sebagai filosofi dari Peruri terangkum
di dalamnya. Oleh karena itu insan Peruri yang cerdas adalah insan
Peruri yang bertanggung jawab dan bertaqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa;
e. Ceria itu bersih, suci, murni, berseri-seri, bersinar, cerah. Hanya
orang-orang ceria yang mampu bekerja secara antusias dan
mempunyai team work yang solid. Ingat, kita bekerja di lingkungan
Obyek Vital Nasional sehingga filosofi antusias dan soliditas
mempunyai makna yang sangat penting. Oleh karena itu marilah kita
bekerja dengan ceria seraya mensyukuri nikmat yang sudah diberikan
Tuhan kepada kita.

C. Produk Perum Percetakan Uang Republik Indonesia


Perum Percetakan Uang Republik Indonesia memiliki 3 (tiga) jenis kegiatan
produksi, diantaranya:
1. Uang Kertas dan Logam4
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 32 tahun 2006, Peruri
memiliki tugas utama untuk mencetak uang Republik Indonesia sesuai
pesanan dari Bank Indonesia. Dalam pencetakan uang kertas, Peruri
menerapkan Standar Operasional Prosedur yang berpengaman tinggi
untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan proses cetak uang, mulai
dari proses desain uang, penyediaan kertas, tinta maupun proses
cetaknya hingga akhirnya menjadi uang Rupiah siap edar yang

4 Website Resmi Perum Peruri, Uang Kertas&Logam, https://www.peruri.co.id/banknotes-money-coins


63

memiliki beberapa fitur pengaman. Fitur pengamanan yang dikenal luas


oleh masyarakat pada uang kertas adalah penggunaan watermark, cetak
intaglio, benang pengaman dan tinta sekuriti. Selain fitur-fitur sekuriti
yang mudah dikenali oleh masyarakat umum tersebut juga diterapkan
unsur pengaman tidak kasat mata yang hanya dapat diketahui melalui
bantuan alat maupun oleh petugas laboratorium atau forensik. Untuk
uang logam, fitur pengamanannya lebih menonjolkan aspek kerumitan
desain dan detail hasil cetak.
a. Uang Pecahan 1.000-10.000 5
Bagi Peruri, kepuasan pelanggan merupakan salah satu hal yang
mutlak dan indikator keberhasilan perusahaan. Untuk itu Peruri
selalui mengembangkan tingkat pengamanan yang melekat pada
setiap produk, mulai dari kertas, desain, tinta bahkan teknik cetak
uang. Masyarakat umum biasanya hanya mengenal fitur
pengamanan yang kasat mata, padahal banyak fitur pengamanan
tidak kasat mata yang hanya bisa dilihat dengan alat bantu maupun
penelitian laboratorium forensik.
b. Uang Pecahan 20.000-100.000 6
Uang Kertas Pecahan Rp. 20.000, Rp. 50.000 dan Rp. 100.000
memiliki fitur sekuriti yang lebih tinggi dibandingkan uang kertas
pecahan lainnya. Pencetakan dua pecahan ini memerlukan
ketelitian khusus dan menggunakan mesin off-set simultan yang
mampu mencetak gambar depan dan belakang secara bersamaan
dengan tingkat presisi yang tinggi. Dengan teknik ini dapat
dihasilkan unsur pengamanan rectoverso, yakni dua gambar yang
berbeda di dua sisi berlawanan tetapi apabila diterawang
membentuk suatu kesatuan gambar yang utuh. Proses pencetakan

5Website Resmi Perum Peruri, Uang Rupiah Pecahan 1.000-10.000, https://www.peruri.co.id/banknotes-

money-coins/47/uang-rupiah-pecahan-1-000---10-000
6Website Resmi Perum Peruri, Uang Rupiah Pecahan 20.000-100.000,
https://www.peruri.co.id/banknotes-money-coins/48/uang-rupiah-pecahan-20-000---100-000
64

dua pecahan ini juga menggunakan teknik cetak intaglio yang akan
memberikan hasil cetak timbul pada permukaan kertas uang.
c. Uang Logam 7
Ukuran pengamanan atau sekuriti pada cetakan uang logam
berbeda dengan uang kertas yang memiliki banyak fitur. Aspek
sekuriti pencetakan uang logam pada prinsipnya lebih banyak
ditentukan oleh kualitas bahan, kerumitan desain dan ketajaman
pencetakan.

2. Logam Non Uang8


Tingkat sekuriti yang melekat pada pencetakan produk logam non uang
berbeda dengan produk Peruri lainnya yang memiliki banyak fitur.
Aspek sekuriti pencetakan pada produk logam non uang pada
prinsipnya lebih banyak ditentukan oleh kualitas bahan, kerumitan
desain dan ketajaman pencetakan. Peruri memiliki beberapa hasil
produk logam non uang, yaitu : medali, lencana, plakat, penghargaan
masa bakti dan logam emas.
a. Lencana 9
Produk Logam Non Uang (LNU) Peruri yang mengedepankan nilai
kualitas dari segi bahan, desain, hingga proses cetak dalam
menciptakan sebuah produk sehingga memberikan kebanggaan
untuk digunakan pada sebuah momen pemberian penghargaan.
Berbahan dari logam kuningan dan tembaga berbalut sepuhan
emas, nikel ,maupun perunggu.
b. Commemorative Coin10

7 Website Resmi Perum Peruri, Uang Logam, https://www.peruri.co.id/banknotes-money-coins/49/uang-


logam
8 Website Resmi Perum Peruri, Logam Non-Uang, https://www.peruri.co.id/non-money-coins
9 Website Resmi Perum Peruri, Lencana, https://www.peruri.co.id/non-money-coins/50/lencana
10 Website Resmi Perum Peruri, Commemorative Coin, https://www.peruri.co.id/non-money-

coins/64/commemorative-coin
65

Menampilkan sisi eksklusivitas dari produk Logam Non Uang


(LNU) menghasilkan produk dengan tema tertentu yang
disesuaikan dengan fungsi karakter dan pesan yang ingin
disampaikan oleh pemesan. Kombinasi bahan logam dengan teknik
pewarnaan mendetail menjadi keunggulan yang ditawarkan dari
produk Logam Non Uang (LNU) Perum Peruri.
c. Medali11
Prestisius merupakan salah satu tujuan dari produk Logam Non
Uang (LNU) Perum Peruri, dengan menampilkan tingkat relief dari
rendah hingga tinggi tanpa mengurangi kualitas dan segi artistik
desain yang diaplikasikan pada media logam.
d. Plakat12
Medali dikombinasikan dengan bingkai melalui proses etsa
bermotif seni menghasilkan plakat berkualitas dengan teknik sepuh
yang baik sehingga menimbulkan efek sekelas emas menjadi salah
satu produk unggulan Peruri.
e. Tanda Pengenal/Pin13
Sebagai bentuk kebanggaan kepemilikan identitas dari suatu
organisasi maupun institusi, Peruri mengolah media logam dengan
kombinasi pewarnaan menggunakan fitur sekuriti melalui invisble
ink ataupun dengan alternatif berbahan emas.
f. Olahan Emas14
Emas menjadi sebuah produk yang menjadi daya tarik di berbagai
kalangan masyarakat melalui tampilannya yang mewah dengan
nilai tinggi dan menjadi alat investasi. Peruri mengolah emas

11 Website Resmi Perum Peruri, Medali, https://www.peruri.co.id/non-money-coins/70/medali


12 Website Resmi Perum Peruri, Plakat, https://www.peruri.co.id/non-money-coins/71/plakat-
13Website Resmi Perum Peruri, Tanda Pengenal/Pin, https://www.peruri.co.id/non-money-
coins/72/tanda-pengenal---pin
14 Website Resmi Perum Peruri, Olahan Emas, https://www.peruri.co.id/non-money-coins/73/olahan-
emas
66

tersebut dengan nilai tambah dari segi desain dan bentuk sesuai
selera pemesan. Menjaga kualitas dengan mendapat support dari
Antam sebagai pemasok berbagai tingkatan emas dari EK 22 , EK
23, EK 24 hingga fine gold.
3. Kertas Berharga Non Uang15
Peruri juga diberikan amanat oleh pemerintah untuk mencetak
dokumen sekuriti negara seperti dokumen keimigrasian, pita cukai,
meterai dan dokumen pertanahan atas permintaan instansi yang
berwenang. Mengingat produk-produk tersebut merupakan dokumen
yang menjadi kebutuhan masyarakat luas dan sangat berkaitan dengan
masalah keamanan negara, maka Peruri selalu berinovasi untuk
mengembangkan teknologi pengamanan dokumen untuk memberikan
kenyamanan bagi pemesannya.
a. Pita Cukai16
Pita Cukai yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai merupakan bukti pembayaran cukai atas penjualan
tembakau berbentuk rokok kretek dan cigarette. Produk yang oleh
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipercayakan pencetakannya ke
Peruri tersebut, memiliki unsur sekuriti yang cukup handal dalam
rangka meminimalkan pemalsuan. Salah satunya adalah pemberian
hologram pada cetakan pita cukai. Pita Cukai dicetak sesuai
pesanan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, berdasarkan nilai
pajak yang dikenakan untuk produk yang terkena pajak.
b. Paspor17
Paspor Republik Indonesia sebagai salah satu dokumen sekuriti
negara yang penting atau vital, selama ini digunakan sebagai bukti
kewarganegaraan Indonesia bagi pemiliknya dan berfungsi sebagai

15 Website Resmi Perum Peruri, Kertas Berharga Non Uang, https://www.peruri.co.id/valuable-

documents
16 Website Resmi Perum Peruri, Pita Cukai, https://www.peruri.co.id/valuable-documents/51/pita-cukai
17 Website Resmi Perum Peruri, Paspor, https://www.peruri.co.id/valuable-documents/52/paspor
67

dokumen pendukung perjalanan khususnya keluar negeri atau antar


negara. Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia
mempercayakan pencetakan dan pembuatan Paspor Republik
Indonesia kepada Peruri, karena hasil produknya yang selalu
mengutamakan unsur sekuriti. Kini Peruri tidak hanya mencetak
pesanan Paspor RI dari Direktorat Jenderal Imigrasi Republik
Indonesia saja, tetapi juga pesanan Paspor dari Luar Negeri,
diantaranya dari Sri Lanka.
c. Materai18
Meterai Republik Indonesia sebagai salah satu dokumen sekuriti
negara yang dipergunakan sebagai tanda keabsahan dan legalitas
dokumen surat perjanjian dan penjualan, dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia dan pencetakannya
dipercayakan kepada Percetakan Uang RI. Kepercayaan yang
diberikan kepada Percetakan Uang RI, mengingat produk dokumen
sekuriti yang dicetak oleh Peruri selama ini mengandung unsur-
unsur sekuriti feature, diantaranya penggunaan hologram sekuriti
dan teknik cetak Intaglio, sebagaimana yang terdapat pada uang
kertas Republik Indonesia. Meterai yang dicetak oleh Peruri atas
pesanan dari Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia saat ini
bernilai Rp 3.000,- dan Rp 6.000,- .
d. Sertifikat Tanah19
Sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional
sebagai tanda bukti kepemilikan dan hak seseorang atas tanah
adalah salah satu dokumen negara yang vital. Atas dasar itulah
Badan Pertanahan Nasional mempercayakan pencetakan dokumen
Sertifikat Tanah kepada Peruri. Sertifikat Tanah yang dicetak oleh
Peruri mempunyai ciri khusus yang lebih mengutamakan unsur

18 Website Resmi Perum Peruri, Materai, https://www.peruri.co.id/valuable-documents/53/meterai


19 Website Resmi Perum Peruri, Sertifikat Tanah, https://www.peruri.co.id/valuable-
documents/54/sertifikat-tanah
68

pengamanan (security feature), sehingga dapat memperkecil resiko


pemalsuan.
e. Prangko20
Prangko merupakan salah satu dokumen wajib memiliki fitur
sekuriti yang melekat pada produknya mengingat sifatnya sebagai
bukti pelunasan biaya pengiriman dokumen. Secara umum,
prangko merupakan secarik kertas bergambar yang mencantumkan
nama negara penerbit, tahun penerbitan dan memiliki nominal nilai
tertentu. Sampai saat ini Peruri telah mencetak prangko beberapa
seri yang diterbitkan oleh PT Pos Indonesia, misalnya: Prangko seri
Shio Kambing (2015), Prangko Seri Gerhana Matahari Total dan
Prangko Shio Monyet (2016). Peruri juga mencetak prangko yang
berfungsi sebagai sarana promosi, misalnya Prangko seri peduli
lingkungan hidup. Peruri selalu meningkatkan teknologi dan
kapasitas untuk melakukan pencetakan prangko yang sesuai
spesifikasi yang dikehendaki oleh konsumen.

D. Serikat Pekerja/Buruh (SP/SB) Di Perum Percetakan Uang Republik


Indonesia 21
Serikat Pekerja (SP) di Perum Peruri ada 3 (tiga) SP, yaitu Serikat
Pekerja Peruri Bersatu (SPPB), Serikat Pekerja Perum Peruri (SP-Peruri), dan
Serikat Pekerja Bersama Membangun Peruri (SP BEMPER). SPPB
mempunyai anggota sebanyak 1190 orang, SP3 mempunyai anggota sebanyak
587 orang, dan SP Bemper sebanyak 39 orang.
Fungsi Serikat Pekerja bagi Perum Peruri, antara lain:
a) Sebagai pihak dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)

20 Website Resmi Perum Peruri, Prangko, https://www.peruri.co.id/valuable-documents/55/prangko


21 Data Serikat Pekerja Perum Percetakan Uang Republik Indonesia, dalam bentuk hard copy yang
didapatkan dari dokumen Departemen HRBP & IR Perum Percetakan Uang Republik Indonesia.
69

b) Sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang


ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya
c) Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis,
dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
d) Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan
kepentingan anggotanya
e) Sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan
pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

E. Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin Kategori Pelanggaran Sedang


Hingga Berat di Perum Peruri
1. Proses Secara Umum
Gambar 3.1 : Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin Kategori
Pelanggaran Tanpa Tilang

Pelanggaran Divisi
Peraturan Disiplin Pengamanan/Divisi
Karyawan SDM (Klarifikasi)

SDM (Rapat Surat Kepurusan


Disiplin) SDM

Sumber: Dokumen Resmi Departemen HRBP & IR


Setiap pekerja yang melakukan pelanggaran di Perum
Percetakan Uang Republik Indonesia akan mendapatkan “tilang” atau
bukti pelanggaran. Bagi pelanggaran ringan, akan mendapatkan
blanko “tilang” dari petugas yang berwenang. Akan tetapi, jika
pelanggaran tersebut dikateogrikan sebagai pelanggaran sedang
hingga berat, maka tidak akan mendapatkan blanko tilang.
Pelanggaran tanpa tilang merupakan saat karyawan melakukan
pelanggaran, maka ia tidak mendapat surat atau blanko tilang.
70

Biasanya pelanggaran ini tergolong pelanggaran sedang sampai berat.


Pelanggaran ini pertama-tama ditangani oleh divisi pengamanan. Di
Divisi Pengamanan, karyawan yang bermasalah akan mengklarifikasi
tindakan yang dilakukannya, divisi pengamanan akan melakukan
proses Berita Acara Klarifikasi (BAK) sesuai prosedur. Setelah selesai
klarifikasi, berkas akan dilimpahkan ke SDM, SDM akan melakukan
rapat disiplin. SDM yang dimaksud ialah Departemen HRBP & IR.
Rapat Disiplin melibatkan SDM terkait, Atasan Unit Kerja,
Karyawan, dan Pejabat Unit Kerja Lainnya. Jika rapat disiplin sudah
membuahkan hasil, maka hasil rapat tersebut merupakan keputusan.
Keputusan yang dimaksud ialah Keputusan Penjatuhan Hukuman
Disiplin bagi karyawan, dengan pertimbangan pelanggaran yang
dilakukan termasuk mendapatkan hukuman ringan, sedang, ataupun
berat.
2. Proses Di Divisi SDM / Seksi Hubungan Industrial
Gambar 3.2 : Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin Karyawan

Mengikuti dan
Mengagendakan Mencatat
DTH Diterima Sidang Pelaksanaan
Sidang

Membuat Surat
Mengarsipkan
Distribusi SK Keputusan
SK Hukuman
Hukuman

Sumber: Dokumen Resmi Departemen HRBP & IR


Pertama, Dakwaan dan Tuntutan Hukuman (DTH) diterima
dari Departemen Pengamanan atau SPI yang dicatat dalam buku
yang telah diarsipkan. Susunan DTH ini berisi antara lain:
1. Dasar
Poin ini berisi dasar hukumnya seperti Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) sesuai dengan periodenya, Surat Keputusan
71

Direksi mengenai Ketentuan Penjatuhan Hukuman Disiplin


Pegawai Perum Peruri (KPHD), Panggilan Dinas dari
FORUMSA, serta Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari
FORUMSA.
2. Keterangan Terduga
Pada bagian ini berisi mengenai keterangan terduga, yaitu
keterangan yang diberikan oleh pegawai yang bermasalah.
Keterangan ini didapatkan dari Berita Acara Pemeriksaan
(BAP) dari FORUMSA. Keterangan ini dijelaskan sesuai
urutan kejadian atau dari akar keterangan yang benar-benar
jelas.
3. Keterangan Saksi-Saksi
Poin ini berisi mengenai saksi yang terlibat dalam kejadian
yang dilakukan pegawai atau yang telah menyaksikan ataupun
mengalami ataupun melihat secara langsung perbuatan
pegawai bermasalah yang bersangkutan. Biasanya saksi
pertama yang dicantumkan ialah petugas. Contohnya di bagian
produksi mengenai pelanggaran membawa segala jenis uang
kertas, yang menjadi saksi pertama kali ialah petugas yang
menggeledah pegawai yang bersangkutan.
4. Barang Bukti
Merupakan unsur yang bisa membuat pegawai tersebut
dijatuhi hukuman. Bagian ini berisi Surat Pernyataan dari
saksi, bisa juga barang bukti tilang, serta bukti yang kuat.
5. Data Terduga
Bagian yang berisi tentang identitas terduga. Dicantumkan
usia, tempat tanggal lahir, masa kerja, tangungan, absensi,
penghargaan, Nomor Pegawai (NP)
6. Kesimpulan
Merupakan ringkasan pemeriksaan yang dilakukan, serta
analisis hukum yang digunakan untuk menuntut pegawai yang
72

bersangkutan. Analisis hukumnya berdasarkan Perjanjian


Kerja Bersama (PKB) maupun Undang-Undang diatasnya,
seperti Undang-Undang Ketenagakerjaan.
7. Faktor yang Memberatkan ataupun Meringankan
Faktor yang meringankan merupakan hal-hal yang bisa
meringankan perbuatan terduga, sedangkan faktor yang
memeberatkan ialah hal-hal yang bisa memberatkan hukuman
terduga.
8. Tuntutan
Merupakan tuntutan hukuman dari Pejabat Yang Berwenang
Menuntut (PYBMt) yang berisi hukuman pokok, bisa juga
dijatuhi hukuman tambahan.
9. Tanda Tangan
Merupakan tanda tangan bagian Kepada Departemen dan
Kepala Seksi FORUMSA
Kedua, mengagendakan Sidang Pelanggaran Disiplin
Karyawan dengan menyiapkan tempat sidang, undangan, dan
peralatan sidang. Ketiga, mengikuti dan mencatat pelaksanaan
sidang. Pencatatan yang dimaksud adalah mencatat hasil putusan
Majelis PYBM (Pejabat Yang Berwenang Menghukum). Keempat,
membuat Surat Keputusan (SK) terhadap hasil sidang yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Kelima, mendistribusikan Surat
Keputusan (SK) Hukuman kepada pihak terkait. Ada 2 (dua) jenis
Surat Keputusan berdasarkan hasil rapat, yaitu Hukuman non-PHK
dan Hukuman PHK. Hukuman non-PHK dan Keputusan PHK
berdasarkan hasil rapat disiplin. Apabila karyawan yang
bersangkutan menerima PHK, maka Perusahaan akan membuatkan
SK. Akan tetapi jika karyawan yang bersangkutan tidak menerima
SK PHK, maka diselesaikan sesuai dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan (UUK). Keenam, mengarsipkan Surat Keputusan
(SK) yang telah selesai diproses.
73

F. Jenis-Jenis Hukuman Disiplin


Jenis-jenis hukuman yang termaktub dalam PKB Periode 2016-2017 ada 2
(dua) jenis, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Untuk hukuman
pokok, ada 3 (tiga) jenis hukuman, yaitu hukuman ringan, hukuman sedang,
hukuman berat, dan sanksi administratif.
1. Hukuman Pokok
1. Hukuman Ringan
Apabila karyawan melangar ketentuan Pasal 96 ayat (1) sampai
dengan ayat (12) dan Pasal 97 Ayat (1) sampai dengan ayat (9).
Seperti lalai dalam melaporkan perkawinan, perceraian,dan kelahiran
anak kepada Perusahaan, tidak mentaati jam kerja Perusahaan (telat
datang), tidak atau lupa membawa identitas karyawan, membawa
uang tanpa izin tertulis ke dalam bagian produksi , merokok di area
kerja, melakukan kegiatan usaha dagang di dalam Perusahaan tanpa
ijin, dan tidak memakai pakaian yang telah ditentukan Perusahaan
contohnya memakai T-Shirt dan celana jeans. Adapun hukuman yang
akan diterima bagi pelanggar antara lain:
1) Teguran Tertulis I dengan masa berlaku serendah-rendahnya 1
(satu) bulan dan setinggi-tingginya 3 (tiga) bulan.
2) Teguran Tertulis II dengan masa berlaku serendah-rendahnya 4
(empat) bulan dan setinggi-tingginya 6(enam) bulan.
2. Hukuman Sedang
Apabila karyawan melangar ketentuan Pasal 96 ayat (13) sampai
dengan ayat (16) dan Pasal 97 ayat (10) sampai dengan ayat (14).
Seperti mangkir, melakukan pungutan liar atau tidak sah untuk
kepentingan pribadinya, menghalangi proses hukum yang dilakukan
oleh Pejabat Yang Berwenang Menunut (PYBMt), Pejabat Yang
Berwenang Menghukum (PYBM), dan Atasan Pejabat Yang
Berwenang Menghukum (APYBM), dan melakukan kegiatan kerja
yang bukan tugasnya. Adapun hukuman yang akan diterima bagi
pelanggar antara lain:
74

1) Pernyataan Tidak Puas I dengan masa berlaku serendah-


rendahnya 3 (tiga) bulan dan setinggi-tingginya 6 (enam) bulan.
2) Pernyataan Tidak Puas II dengan masa berlaku serendah-
rendahnya 7 (tujuh) bulan dan setinggi-tingginya 12 (dua belas)
bulan.
3. Hukuman Berat
Apabila karyawan melanggar ketentuan Pasal 96 ayat (17) sampai
dengan ayat (30) dan Pasal 97 ayat (15) sampai dengan ayat (49).
Seperti melakukan tindakan makar, spionase, dan sabotase, memotret
lingkungan Perum Peruri sehinga bisa dilihat oleh orang banyak yang
bersifat rahasia, melakukan perbuatan asusila seperti pelecehan
seksual, perzinaan, perselingkuhan pegawai, menggelapkan dan atau
mencuri barang-barang Perusahaan yang dilarang, menggunakan serta
mengedarkan obat-obatan terlarang, membocorkan rahasia
Perusahaan, menyalahgunakan barang serta fasilitas-fasilitas yang
diberikan Perusahaan, melakukan perbuatan yang mencemarkan
kehormatan sesama karyawan maupun Perusahaan, melakukan
kegiatan penipuan dan pemalsuan yang merugikan Perusahaan,
menyalahgunakan wewenang, dan lain-lain. Adapun hukuman yang
akan diterima bagi pelanggar antara lain:
1) Penurunan pangkat setingkat lebih rendah dengan masa berlaku
serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan setinggi-tingginya 12 (dua
belas) bulan
2) Penurunan pangkat dua tingkat lebih rendah dengan masa berlaku
serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan setinggi-tingginya 12 (dua
belas) bulan.
3) Penurunan jabatan setingkat lebih rendah dengan masa berlaku
serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan setinggi-tingginya 12 (dua
belas) bulan.
75

4) Penurunan jabatan dua tingkat lebih rendah dengan masa berlaku


serendah-rendahnya 3 (tiga) bulan setinggi-tingginya 12 (dua
belas) bulan
5) Pembebasan jabatan dengan masa berlaku serendah-rendahnya 3
(tiga) bulan setinggi-tingginya 12 (dua belas) bulan
6) Pembebasan tugas (skorsing) dengan masa berlaku serendah-
rendahnya 3 (tiga) bulan setinggi-tingginya 12 (dua belas) bulan
7) Pembebasan tugas (skorsing) oleh karena karyawan sebagai
tersangka tindak pidana sampai dengan adanya Keputusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
8) Penurunan pangkat dan/atau jabatan permanen
9) Pembehentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
10) Pemberhentian dengan tidak hormat

4. Sanksi Administratif
Sanksi administratif ini dimaksudkan kepada setiap karyawan yang
mendapat hukuman disiplin dikenakan sanksi administratif berupa
pemotongan penghasilan/upah, dengan ketentuan antara lain:
1) Karyawan yang mendapat hukuman ringan, upahnya dipotong
sebesar 1,4% sampai dengan 5% dari Gaji Pokok setiap bulan
selama masa hukuman
2) Karyawan yang mendapat hukuman sedang, upahnya dipotong
sebesar 2,8% sampai dengan 10% dari Gaji Pokok setiap bulan
selama masa hukuman
3) Karyawan yang mendapat hukuman berat kecuali hukuman
skorsing, upahnya dipotong sebesar 7% sampai dengan 15% dari
Gaji Pokok setiap bulan selama masa hukuman dan jasa
produksinya dipotong sebesar 50%
4) Karyawan yang mendapat hukuman skorsing maksimal 12 (dua
belas) bulan, upahnya dipotong sebesar 50% setiap bulan dan
tidak diberikan jasa produksi
76

5) Karyawan yang mendapat hukuman skorsing maksimal 12 (dua


belas) bulan, upahnya dipotong sebesar 50% setiap bulan dan
tidak diberikan jasa produksi
6) Dalam hal skorsing lebih dari 12 (dua belas) bulan, maka
selebihnya tidak lagi diberikan Gaji Pokok dan fasilitas
pemeliharaan kesehatan bagi yang bersangkutan.
2. Hukuman Tambahan
a. Penggantian sebagian atau seluruh kerugian dengan ketentuan
besarnya pemotongan setiap bulan tidak boleh melebihi 10% upah
b. Pencabutan/pengurangan fasilitas dari Perusahaan selama masa
hukuman
BAB IV

PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT


PELANGGARAN BERAT PEKERJA DI PERUM PERURI
PADA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 536 K/Pdt. Sus-PHI/2016

A. Kasus Posisi
Tri Haryanto merupakan Warga Negara Indonesia bertempat tinggal di
Komplek Departemen Dalma Negeri Blok G7 Nomor 24 Bojong Gede, Bogor,
Idang Mulyadi Warga Negara Indonesia bertempat tinggal di Jalan Raya Klari
RT 05/01, Kampung Kranjan, Desa Cibalongsari, Kecamatan Klari, Kabupaten
Karawang dan Marion Kova merupakan Warga Negara Indonesia bertempat
tinggal di Jalan H. Mugeni III, Kelurahan Pisangan Lama RT 03/20,
Kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur yang ketiganya disebut sebagai
TERGUGAT. TERGUGAT memberi kuasa kepada Ario Yogiawan S.H., dan
Kawan-Kawan yang merupakan Advokat yang berkantor di Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Bandung beralamat di Jalan Rereng Wulung Nomor 33,
Sukaluyu, Kota Bandung yang berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 9
Februari 2016. TERGUGAT melawan Perum Percetakan Uang Republik
Indonesia yang berkedudukan di Jalan Palatehan Nomor 4, Kebayoran Baru,
Jakarta yang diwakili oleh Prasetio selaku Direktur Utama Perum Percetakan
Uang Republik Indonesia yang selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT.
PENGGUGAT memberi kuasa kepada A. Kemalsjah Siregar dan Kawan-
Kawan yang merupakan Advokat yang berkantor di Graha CIMB Niaga Lantai
8, Jalan Jenderal Sudirman Kavling 58, Jakarta Selatan berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 29 Oktober 2015.
Tri Haryanto mulai bekerja pada 1 November 1984 dengan jabatan
Junior Petugas Pelayanan Remunerasi, Idang Mulyadi mulai bekerja pada 1
Mei 1990 dengan jabatan Senior Petugas Pemeriksaan LKU Blanko, dan
Marion Kova mulai bekerja pada 1 Februari 1991 dengan Jabatan Senior
77
78

Petugas Pemeriksaan LKU Berseri Nomor Untuk Masinal. Para Tergugat


bekerja pada Penggugat berdasarkan Surat Keputusan tertanggal 18 Juli 2013
dengan Nomor SKEP-482/VII/2013 tentang Mutasi jabatan (Bukti P-1), Surat
Keputusan tanggal 25 Oktober 2012 Nomor SKEP-499/X/2012 Tentyang
Kenaikan Kepangkatan Pegawai Pelaksana (Bukti P-2), dan Surat Keputusan
tertanggal 25 Oktober 2012 Nomor SKEP-449/X/2012 tentang Kenaikan
Kepangkatan Pegawai Pelaksana (Bukti P-3) dan skala gaji yang sudah diatur
pada Slip Upah Oktober 2015 (Bukti P-4, P-5, dan P-6). Para Tergugat juga
merupakan bagian dari pengurus Serikat Pekerja Perum Peruri (SP Peruri)
dimana Tri Haryanto selaku Ketua Umum DPP SP Peruri, Idang Mulyadi
selaku Sekertaris Umum DPP SP Peruri, dan Marion Kova selaku Sekretaris
Dewan Pembina SP Peruri.
Pengurus Serikat Pekerja Perum Peruri (SP Peruri) mengirim surat
kepada Kepala Divisi (Kadiv. Utas) Produksi Uang Kertas yaitu Sdr. Ahsari
tertanggal 26 Maret 2014 dengan Nomor 30/SP-Peruri/III/2014 dengan dalih
keprihatinan mengenai kondisi mesin Komori yang baru dibeli oleh Penggugat,
antara lain Mesin Komori baru dibeli dengan investasi tinggi yang diharapkan
bisa memenuhi order tetapi sudah 2 bulan lebih tidak berproduksi optimal dan
khawatir order dari Bank Indonesia sulit terpenuhi. SP Peruri mengirim surat
yang ditandatangani oleh para Tergugat tertanggal 4 April 2014 Nomor 31/SP-
Peruri/IV/2014 Perihal: Mesin Komori kepada Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia (BPK RI) yang intinya menyatakan bahwasannya
Pelaksanaan Site Acceptence Test (SAT) yang merupakan rangkaian Factory
Acceptence Test (FAT) yang dilakukan Penggugat tidak sesuai dengan standar
yang telah ditetapkan dalam kontrak yang mestinya diuji coba untuk mencetak
semua pecahan terntara hanya mencoba percahan Rp 10.000,00 sehingga uji
SAT mesin tersebut bisa lolos serta khawatir adanya oknum pejabat terkait di
Penggugat yang “bermain” dengan pihak pemasok yang akan menyebabka
terjadinya kerugian yang tidak sedikit bagi Penggugat yang akan
mengakibatkan kerugian Negara.
79

Kepala Divisi (Kadiv. Utas) Produksi Uang Kertas yaitu Sdr. Ahsari
memberikan tanggapan atas Surat Para Tergugat yang tertanggal 26 Maret
2014 dalam Suratnya tertanggal 28 April 2014 Nomor 289/D2-2/IV/2014
Perihal: Mesin Intaglo Ex Komori Jepang yang menyatakan berdasarkan hasil
pemantauan, hasil produksi selama 2 (dua) bulan kinerja mesin menunjukkan
peningkatan walau belum sesuai kapasitas yang diharapkan yang disebabkan
antara lain operator membutuhkan waktu adaptasi/pembelajaran (culture)
teknologi baru yang diterapkan di Mesin Intaglio Komori, pasokan kertas uang
dari Bank Indonesa yang sub standar mempengaruhi output produksi karena
dibutuhkan waktu setting mesin dan camera inspection, terjadinya kelangkaan
persediaan rubber blanket yang selama ini tersedia, dan pada April 2014
produksi telah mencapai 94,12% dari target kapasitas produksi per shift. SP
Peruri menanggapi Surat Kadiv. Produksi Uang yang ditandatangani para
Tergugat tertanggal 2 Mei 2014 Nomor 40/SP-Peruri/2014 dengan tembusan
kepada Ketua dan Anggota Dewan Perum Peruri, Direksi Perum Peruri, BPK
RI, Menteri Negara BUMN, Federasi SP Sinergi BUMN, Ketua SP Peruri
Bersatu dan Ketua SP BEMPER, dimana isinya menyatakan Sdr. Ahsari selaku
Kadiv. Produksi Uang Kertas telah melakukan kebohongan dalam Laporan
Divisi Produksi Uang kepada BPK RI bahwa SAT mesin Intaglio Komori
dalam kondisi bagus dan tanpa menyatakan penjelasan bahwa SAT terssebut
dilakukan hanya dengan 1 pecahan yaitu Rp 10.000,00 yang semestinya
dengan semua pecahan sesuai dengan standar internasional dan menyatakan
Divisi yang dipimpin Sdr. Ahsari telah melakukan pemufakatan yang tidak
baik karena membela sebuah produk yang pada akhirnya akan merugikan
Penggugat dan pasti berdampak merugikan Negara. Pemufakatan tersebut
berupa merubah target kapasitas produksi per shift yang semestinya 45.000
lembar per shift sesuai tender menjadi hanya 23.000 lembar per shift.
Atas surat yang dilayangkan oleh SP Peruri tersebut, Kadiv. Produksi
Uang yaitu Sdr. Ahsari melayangkan surat kepada Penggugat tertanggal 26
Juni 2014 Nomor NOTA-41/DIVPRODANG/VI/2014 agar Penggugat
melakukan penyelidikan dan memproses para Tergugat sesuai peraturan
80

dengan alasan pernyataan surat dari SP Peruri tertanggal 2 Mei 2014 tersebut
merupakan berita yang tidak benar dan merusak nama baik Sdr. Ahsaro baik
selaku pribadi maupun sebagai Kadiv. Produksi Uang Kertas baik diluar
maupun didala lingkungan Penggugat dan membuat suasana kerja menjadi
tidak kondusif khususnya didalam Divisi Produksi Uang Penggugat yang
sedang bekerja keras memenuhi target produksi yang sedemikian tinggi. Surat
BPK RI tertanggal 22 Juli 2014 Nomor 34/S/XX.3/7/2014 menyatakan
berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan, BPK RI belum menemukan
terjadinya indikasi permasalahan terkait mesin Komori sebagaimana
dinyatakan oleh Para Tergugat dalam suratnya ke BPK RI, oleh karenanya
BPK RI belum memandang perlu untuk melakukan pemeriksaan rinci.
Para Pekerja Unit Kerja Seksi Cetak Dalam Penggugat membuat
pernyataan sikap tertanggal 5 Juni 2014 yang menyatakan bahwa akibat dari
laporan tersebut membuat para Pekerja Unit Kerja Seksi Cetak Dalam saling
curiga dan membuat suasana tidak kondusif, para pekerja Penggugat meminta
kepada Penggugat memberikan sanksi yang berat terhadap pemberi laporan
yang tidak benar dan tidak sesuai fakta, hal tersebut diperlukan sebagai
pembelajaran dan membuat jera serta tidak sembarangan kepada semua pihak
agar tidak membuat laporan yang tidak benar, dan para pekerja Penggugat
mengancam akan melakukan mogok kerja apabila Penggugat tidak
memberikan sanksi berat terhadap pihak yang membreikan laporan tidak benar
dan tidak sesuai ke BPK RI tersebut. Pekerja Unit Kerja Seksi Cetak Dalam
kembali membuat pernyataan tertanggal 6 Agustus 2014 Perihal Pernyataan
Sikap yang menyatakan bahwa mengakui telah menandatangani Pernyataan
Sikap tertanggal 5 Juni 2014, mesin Komori tidak mendapat masalah dalam
sistem kerjanya dan membenarkan bahwa masalah yang terjadi selama ini
mengenai mesin Komori adalah rekayasa dari beberapa orang yang akan
membuat lingkungan Unit Kerja Seksi Cetak Dalam tidak kondusif (saling
curiga terhadap teman). Atas pertimbangan Surat Para Tergugat tertanggal 4
April dan 2 Mei 2014 serta Surat BPK RI tertanggal 22 Juli 2014 Penggugat
menjatuhkan hukuman disiplin pegawai kepada para Tergugat.
81

Pada 20 November 2014 para Tergugat mengadakan panel diskusi di


Gedung Juang 1945 mengenai penyimpangan pembelian Mesin Cetak Uang
oleh Direksi Penggugat (bukti foto terlampir pada Bukti P-16) dimana
Penggugat berasumsi bahwasannya Tergugat telah melanggar Pasal 108 ayat
(45) PKB yang menyebarkan isu negatif dan memutuskan untuk memutuskan
hubungan kerja dengan para Tergugat.
Putusan Pejabat Yang Berwenang Menghukum (PYBM) Perum
Peruri tertanggal 4 November 2014 Nomor 34/PYBM/XI/2014, Nomor
31/PYBM/XI/2014, dan Nomor 32/PYBM/XI/2014 menjatuhkan hukuman
yang menyatakan para Tergugat terbukti bersalah melakukan pelanggaran
Pasal 108 ayat 45 Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Putusan tertanggal 6
Februari 2015 Nomor 01/APYBM/II/2015, Nomor 03/APYBM/II/2015, dan
Nomor 04/APYBM/II/2015 tentang Penetapan Hukuman Disiplin setelah
melakukan pemeriksaan tingkat banding terhadap Para Tergugat, Atasan
Pejabat Yang Berwenang Menghukum (APYBM) menjatuhkan hukuman
kepada para Tergugat berupa pemberhentian tidak dengan hormat sesuai PKB
Pasal 109 ayat 1 a Butir 3 j karena telah terbukti secara sah dan meyainkan
melakukan pelanggaran terhadap PKB Pasal 108 ayat 45. Penggugat
mengenakan skorsing dalam rangka proses PHK kepada para Tergugat
terhitung sejak 18 Maret 2015 melalui Surat tertanggal 18 Maret 2015 Nomor
642/D3-1/III/2015, Nomor 644/D3-1/III/2015, Nomor 645/D3-1/III/2015.
DALAM BIPARTIT dan MEDIASI: atas PHK Penggugat kepada
Tergugat, Penggugat melayangkan surat kepada SP Peruri tertanggal 19
Januari 2015 untuk melakukan perundingan Bipartit pada 21 Januari 2015.
Atas PHK terhadap para Tergugat tersebut, Penggugat menawarkan
pembayaran sebagai berikut:
1. Tergugat I
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 7.466.244,00 =Rp 67.196.196,00

- Uang Penghargaan Masa Kerja


=Rp 74.662.440,00
10 x Rp 7.466.244,00
- Uang Penggantian Hak =Rp 21.278.795,00
82

15% x Rp 141.858.636,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 3.054.373,00
9/22 x Rp 7.466.244,00
Total =Rp 166.191.804,00
2. Tergugat II
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 6.431.806,00 =Rp 57.886.254,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 64.318.060,00
10 x Rp 6.431.806,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 18.330.647,00
15% x Rp 122.204.314,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 6.431.806,00
9/22 x Rp 6.431.806,00
Total =Rp 146.966.747,00
3. Tergugat III
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 6.441.665,00 =Rp 57.974.985,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 64.411.650,00
10 x Rp 6.441.165,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 18.357.995,00
15% x Rp 122.386.635,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 2.049.621,00
9/22 x Rp 6.441.665,00
Total =Rp 142.794.251,00
Pada perundingan Bipartit tertanggal 21 Januari 2015 para Tergugat yang
diwakili oleh kuasanya menolak PHK tersebut dan karenanya perundingan
Bipartit gagal mencapai kesepakatan. Penggugat mengajukan pencatatan atas
PHK terhadap para Tergugat ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Pemerintah Kabupaten Karawang (Disnakertrans Karawang) karena dalam
proses bipartit tidak mencapai kesepakatan. Atas perselisihan PHK ini,
Mediator Disnakertrans Karawang menerbitkan Anjuran tertanggal 29
September 2015 Nomor 567/7873/HI-S.
DALAM PHI: Pada pokoknya Penggugat memohon kepada
Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Bandung agar memberikan
putusan sebagai berikut: Pertama, mengabulkan gugatan PHK Penggugat
seluruhnya. Kedua, menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Para
Tergugat putus terhitung sejak putusan atas perkara ini dibacakan. Ketiga,
menetapkan kewajiban Penggugat antara lain:
1. Tergugat-I
83

- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 7.466.244,00 =Rp 67.196.196,00

- Uang Penghargaan Masa Kerja


=Rp 74.662.440,00
10 x Rp 7.466.244,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 21.278.795,00
15% x Rp 141.858.636,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 3.054.373,00
9/22 x Rp 7.466.244,00
Total =Rp 166.191.804,00
2. Tergugat – II
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 6.441.665,00 =Rp 57.974.985,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 64.411.650,00
10 x Rp 6.441.165,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 18.357.995,00
15% x Rp 122.386.635,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 2.049.621,00
9/22 x Rp 6.441.665,00
Total =Rp 142.794.251,00
3. Tergugat – III
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 6.431.806,00 =Rp 57.886.254,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 64.318.060,00
10 x Rp 6.431.806,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 18.330.647,00
15% x Rp 122.204.314,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 6.431.806,00
9/22 x Rp 6.431.806,00
Total =Rp 146.966.747,00
Keempat, menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara.
DALAM EKSEPSI: terhadap gugatan dari Penggugat, maka
Tergugat mengajukan eksepsi pada pokoknya atas dalil-dalilnya sebagai
berikut: Pertama, gugatan Pengguggat merupakan cacat formil karena tidak
dilampiri risalah penyelesaian perkara melalui mediasi atau konsiliasi yang
berdasar pada ketentuan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kedua, gugatan
Penggugat adalah error in persona dalam bentuk diskualifikasi in person
karena dalam gugatan Penggugat hanya menyebut Para Advokatnya tanpa
menyebut atau menjelaskan nama pihak pemberi kuasa yang berwenang
84

memberikan Surat Kuasa Khusus yang bertindak untuk dan atas nama Perum
Percetakan Uang Republik Indonesia.
Majelis Hakim menolak seluruh eksepsi Tergugat dengan alasan
bahwasannya: Pertama, ternyata guguatan perkara ini telah dilampiri dengan
Risalah dari Mediator pada Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kabupaten Karawang Nomor: 567/10171/XII/2015/HI-S tertanggal 31
Desember 2015. Kedua, menurut pendapat Majelis Hakim tidak wajib
dicantumkan atau dijelaskan ama Pihak Pemberi Kuasa yang berwenang
memberikan kuasa khusus yang bertindak untuk dan atas nama Perum
Percetakan Uang Republik Indonesia karena nama pihak dan jabatan Pemberi
Kuasa kepada Penerima Kuasa in casu para Advokat sudah dicantumkan dalam
Surat Kuasa Khusus tertanggal 29 Oktober 2015 untuk perkara a quo.
PERTIMBANGAN HAKIM: Setelah Jawab-Menjawab dan
Pembuktian dari kedua belah pihak selesai dilakukan, selanjutnya hakim
memberikan pertimbangan yang pada pokoknya antara lain: Pertama, Majelis
Hakim berkeseimpulan bahwa yang menjadi pokok perselisihan dalam perkara
ini adalah mengenai tindakan Para Tergugat mengirimkan Surat yang ditujukan
kepada Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) terkait Mesin Komori dan
Surat yang ditukan kepada Kadiv. Produksi Uang Kertas dengan tembusan ke
beberapa instansi/organisasi/lembaga pemerintah dan swasta merupakan
tindakan menyebar isu negatif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 108
ayat 45 Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kedua, dalil Tergugat mengenai isi
Pasal 11 Huruf d Anggaran Dasar Peruri yang menyatakan bahwa “Serikat
Pekerja (SP) berhak dan wajib menyalurkan aspirasi anggota kepada pihak
perusahaan” adalah tidak tepat karena muatan Pasal 11 Huruf d hanya
mengatur hak dan kewenangan pengurus Serikat Pekerja (SP) Perum Peruri
untuk menyalurkan aspirasi anggota kepada pihak perusahaan, sedangkan
surat-surat (aspirasi) yang disampaikan Para Tergugat bukan kepada pihak
perusahaan (Perum Peruri) melainkan kepada Ketua dan Anggota Dewan
Pengawas Perum Peruri, Direksi Perum Peruri, BPK RI, Menteri Negara
BUMN, FSP Sinergi BUMN, Ketua SP Peruri Bersatu dan Ketua SP
85

BEMPER. Ketiga, orang yang menyampaikan aspirasi tidak tercantum dalam


Rapat Pleno tertanggal 24 Maret 2014 di Gedung Wahyu Wagono Karawang.
Selain itu, para saksi yang diajukan di muka persidangan tidak ada satupun
yang menyampaikan informasi atau aspirasi dalam Rapat Pleno tersebut yang
dikaitkan dengan bukti-bukti surat terkait sehingga dapat dinyatakan
bahwasanny tindakan Para Tergugat mengirimkan Surat tertanggal 4 April
2014 dan 2 Mei 2014 menimbulkan keresahan dan kecurigaan diantara para
pekerja Penggugat sehingga mengakibatkan kondisi kerja menjadi tidak
kondusif. Keempat, Majelis Hakim berpendapat mengirimkan Surat ke BPK RI
tertanggal 4 April dan Kadiv. Produksi Uang Kertas tertanggal 2 Mei 2014
merupakan tindakan yang tidak tepat karena laporan (surat-surat) para
Tergugat bukan kepada atasan atau jajaran Pengamanan yang terdapat pada
Peurm Peruri, melainkan kepada Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Perum
Peruri, Direksi Perum Peruri, BPK RI, Menteri Negara BUMN, FSP Sinergi
BUMN, Ketua SP Peruri Bersatu dan Ketua SP BEMPER. Kelima, Majelis
Hakim berpendapat bahwasannya upaya atau langkah Para Tergugat bukan
mendahulukan penyelesaian secara internal mea=lainkan langsung mengirim
surat ke pihak eksternal in casu. Apabila jika menurut Para Tergugat atau SP
Sperum Peruri merasa Kadiv. Produksi Uang Kertas terlalu lama menjawab
atau merespon Surat Tergugat tertanggal 26 Maret 2014 sepatutnya Para
Tergugat mengirimkan surat untuk yang kedua kalinya kepada Kadiv. Produksi
Uang atau langsung kepada Direksi Perum Peruri. Keenam, Majelis Hakim
berpendapat bahwasannya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan
uang penggantian hak Para Tergugat harus diperbaiki dengan besaran dan
rincian sebagai berikut:
1. Kepada Tergugat I (Tri Haryanto)
- Uang Pesangon 2 x 9 x Rp 7.466.244,00 =Rp 134.392.392
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 74.662.440,00
10 x Rp 7.466.244,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 31.358.224,00
15% x Rp 209.054.832
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 3.054.373,00
9/22 x Rp 7.466.244,00
86

Total =Rp 243.467.429,00

2. Kepada Tergugat II (Idang Mulyadi)


- Uang Pesangon 2 x 9 x Rp 6.431.806,00 =Rp 115.772.508,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 64.318.060,00
10 x Rp 6.431.806,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 27.013.585,00
15% x Rp 180.090.568,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 6.431.806,00
9/22 x Rp 6.431.806,00
Total =Rp 213.535.959,00
3. Kepada Tergugat – III (Marion Kova)
- Uang Pesangon 2 x 9 x Rp 6.441.665,00 =Rp 115.949.970,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja
=Rp 64.411.650,00
10 x Rp 6.441.165,00
- Uang Penggantian Hak
=Rp 27.054.243,00
15% x Rp 180.361.620,00
- Istirahat Tahunan Yang Belum Diambil =Rp 2.049.621,00
9/22 x Rp 6.441.665,00
Total =Rp 209.465.484,00

UPAYA HUKUM KASASI: Para Tergugat melalui kuasanya


berdasarkan Surat Kuasa tanggal 2 April 2016 mengajukan permohonan kasasi
pada tanggal 11 April 2016 sebagaimana termaktub dari Akta Permohonan
Kasasi Nomor 52/Kas/G/2016/PHI/PN.Bdg permohonan tersebut diikuti
dengan memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 25 April 2016.
Terhadap pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung
memberikan putusan yang pada pokoknya menolak kasasi Para Pemohon
Kasasi (Tri Haryanto, Idang Mulyadi, dan Marion Kova) dan menguatkan
putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung.
Adapun amar putusannya adalah; Pertama, menolak permohonan kasasi dari
Para Pemohon Kasasi : 1. Tri Haryanto, 2. Idang Mulyadi, 3. Marion Kova,
tersebut; Kedua, menghukum Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp 500.000,00
87

(lima ratus ribu rupiah). Penetapan amar putusan pada hari Rabu tanggal 3
Agustus 2016.

B. Putusan Hakim
1. Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Bandung: atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut Pengadilan
Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung telah memberi
putusan Nomor 09/PDT.SUS-PHI/2016/PN.BDG tertanggal 28 Maret
2016 dan dibacakan pada hari Kamis, 31 Maret 2016 oleh Pranoto, S.H.
sebagai Ketua Majelis, serta Eko Wahyudi, S.H., S.E., M.M dan Harris
Manalu, S.H sebagai Hakim-Hakim Anggota yang amarnya sebagai
berikut:
MENGADILI
DALAM EKSEPSI
- Menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya;
DALAM POKOK PERKARA
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan
Para Tergugat terhitung sejak tanggal putusan ii diucapkan;
3. Memerintahkan Penggugat untuk membayar uang pesangon,
uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak
kepada Para Tergugat sebesar total Rp. 666.468.8672,-
(enam ratus enam puluh enam juta empat ratus enam puluh
delapan ribu tujuh puluh dua rupiah) dengan perincian:
kepada Tergugat I (Tri Haryanto) sebesar Rp 243.467.429,-
(dua ratus empat puluh tiga juta empat ratus enam puluh tujuh
ribu empat raus dua puluh sembilan rupiah), kepada Tergugat
II (Idang Mulyadi) sebesar Rp 213.535.959,- (dua ratus tiga
belas juta lima ratus tiga puluh lima ribu sembilan ratus lima
puluh sembilan rupiah), dan kepada Tergugat III (Marion
Kova) sebesar Rp 209.465.484,- (dua ratus sembilan juta
88

empat ratus enam puluh lima ribu empat ratus delapan puluh
empat rupiah;
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Para Tergugat
secara tanggung renteng sebesar Rp 1.141.000 (satu juta
seratus empat puluh satu ribu rupiah);
5. Menolak gugatan Para Penggugat I untuk selain dan
selebihnya.
2. Putusan Mahkamah Agung:. Majelis Hakim Agung telah memberi
putusan Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tertanggal 3 Agustus 2016 oleh
Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh
Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Dwi Tjahyo
Soewarsono, S.H., M.H., dan H. Buyung Marizal, S.H., M.H., Hakim-
Hakim Ad Hoc PHI masing-masing sebagai Anggota yang amarnya
sebagai berikut:
MENGADILI
1. Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi : 1. TRI
HARYANTO, 2. IDANG MULYADI, 3. MARION KOVA tersebut;
2. Menghukum Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp
500.000 (lima ratus ribu rupiah).

C. Analisis
Analisis akan dititikberatkan pada 4 (empat) aspek, yaitu Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK), Hak-Hak Pekerja, Penyelesaian Pemutusan
Hubungan Kerja, dan Pertimbangan Hakim. Ketiga aspek tersebut bertujuan
agar dapat menjawab permasalahan Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja
Akibat Pelanggaran Berat di Perum Percetakan Uang Republik Indonesia,
sehingga dapat diketahui keabsahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena
penyampaian aspirasi/keluh kesah sehingga terjadinya pelanggaran berat di
Perum Percetakan Uang Republik Indonesia, Analisis Yuridis, dan
penyelesaian permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja pekerja yang
89

bersangkutan berdasarkan ketentuan yang berlaku. Berikut akan dijelaskan


lebih lanjut mengenai hal tersebut.
1. Analisis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Akibat Pelanggaran
Berat
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada duduk perkara, para
Terguguat yaitu Sdr. Tri Haryanto, Sdr. Idang Mulyadi, dan Sdri. Marion
Kova yang ketiganya pengurus SP Peruri mengatasnamakan Serikat
Pekerja Perum Peruri (SP Peruri) mengirimkan Surat kepada Kadiv.
Produksi Uang Kertas yaitu Sdr. Ahsari untuk menyampaikan aspirasinya
kepada Perusahaan dengan dalih keprihatinannya mengenai kondisi mesin
Komori yang baru dibeli oleh Penggugat dalam hal ini adalah Perum
Peruri. Mesin Komori merupakan mesin yang ditujukan untuk mencetak
uang kertas. Penyampaian aspirasi tersebut melalui surat tertanggal 26
Maret 2014 kepada Kepala Divisi (Kadiv.) Produksi Uang yaitu Sdr.
Ahsari dengan dalil bahwasannya mesin Komori baru dibeli dengan
investasi tinggi akan tetapi dalam 2 (dua) bulan sejak pengoperasian
pertama tidak berjalan maksimal dan khawatir order atau permintaan dari
Bank Indonesia tidak terpenuhi. Sampai di tahap ini tindakan pengurus SP
Peruri yaitu Sdr. Tri Hartanto, Sdr. Idang Mulyadi, dan Sdri. Marion Kova
sudah benar karena sesuai dengan amanat dua peraturan yang
mengaturnya: Pertama, Pasal 11 Huruf d Anggaran Dasar Serikat Pekerja
Perum Peruri (SP-Peruri) Bab-IV HAK DAN KEWAJIBAN
ORGANISASI yang menyatakan sebagai berikut:
“Menyalurkan aspirasi anggota kepada pihak perusahaan”
Kedua, diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama Perum Peruri dengan SP
Peruri Bersatu (SPPB) dan SP Perum Peruri 2014-2015 Pasal 107 ayat (24)
yang menyebutkan:
“Segera melaporkan kepada atasan atau jajaran Pengamanan
apabila mengetahui ada hal-hal yang merugikan atau
membahayakan Perusahaan”
Dianggap sah dan patut aspirasinya mengingat penyampaian aspirasi
anggota SP-Peruri sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Anggaran
90

Dasar Serikat Pekerja Perum Peruri, yaitu menyampaikan aspirasnya


kepada pihak perusahaan dalam hal ini yang mewakili pihak perusahaan
adalah Kadiv. Produksi Uang Kertas yaitu Sdr. Ahsari.
Hak-hak untuk menyampaikan pendapat dan aspirasi tertuang pada
beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain: Pertama, Pasal 102
ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
yang menyatakan bahwa:
“Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan
serikat pekerja/serikat mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan
sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi
kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis,
mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan
anggota beserta keluarganya.”

Kedua, termaktub pada Pasal 4 ayat (2) Huruf b mengenai fungsi serikat
pekerja/serikat buruh pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, bahwasannya “Serikat
Pekerja/Serikat Buruh berfungsi sebagai sarana penyalur aspirasi dalam
memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya”. Ketiga, termaktub
pada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1999 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum
yang menyatakan bahwa,:
“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga
negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan
sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum lebih lanjut
menyatakan bahwa,:
“Setiap warga negara secara perorangan atau kelompok bebas
menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung
jawab demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.”
91

Kesalahan Para Tergugat bermula dari pengiriman surat untuk kedua


kalinya dengan mengatasnamakan Serikat Pekerja Perum Peruri kepada
Kepala Divisi Produksi Uang Kertas tertanggal 4 April 2014 dengan
tembusan kepada Ketua dan Anggota Dewan Perum Peruri, Direksi Perum
Peruri, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI),
Menteri Negara BUMN, Federasi SP Sinergi BUMN, Ketua SP Peruri
Bersatu dan Ketua SP BEMPER yang pada pokoknya menyampaikan
keprihatinan terhadap mesin Komori, pelaksanaan Site Acceptance Test
(SAT) yang merupkaan Factory Acceptence Test (FAT) yang tidak sesuai
dengan standar kontrak pelaksanaan, dan kecurigaan adanya oknum
pejabat yang bermain dengan pihak pemasok yang menimbulkan kerugian
negara. Kadiv. Produksi Uang Kertas menanggapi yang pada pokoknya
perlunya adaptasi pemakaian mesin Komori terhadap para pekerja di
pabrik, mesin sudah memenuhi standar, dan diyakini dapat memenuhi
target produksi. Akan tetapi, Para Tergugat mengirim surat kedua kalinya
pada tanggal 2 Mei 2014 dengan tembusan yang sama seperti diatas yang
menyatakan bahwasannya adanya dugaan kebohongan pernyataan Kepala
Divisi Produksi Uang Kertas kepada pihak BPK RI dan dugaan
pemufakatan yang tidak baik karena membela sebuah produk tertentu yang
mengakibatkan kerugian Perusahaan dan Negara, istilahnya ada dugaan
korupsi didalamnya. Pada akhirnya tanggal 26 Juni 2014 Kadiv. Produksi
Uang meminta Perusahaan agar melakukan penyelidikan dan memproses
Tergugat sesuai dengan kebijakan perusahaan karena pada intinya
Tergugat menyebarkan berita bohong dan merusak nama baik Sdr. Ahsari
selaku Kadiv. Produksi Uang dan mmebuat suasana kerja menjadi tidak
kondusif. Tentunya hal ini menyebabkan Unit Kerja Seksi Cetak Dalam
membuat pernyataan sikap pada tanggal 5 Juni 2014 dan 6 Agustus 2014
yang pada pokoknya menuntut agar penyebar berita tidak benar tersebut
diberi sanksi yang berat. Didalilkan oleh beberapa ketentuan, diantaranya:
92

Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama Peruri Periode 2014-
2015:
“Dilarang melakukan tindakan atau perbuatan membalas dendam,
memfitnah, menyebarkan isu negaif dan mengadu domba, yang
mengakibatkan timbunya kerugian bagi karyawan/karyawati
dan/atau pekerja lain dan perusahaan”
Pasal 109 ayat (1) a Butir 3 Huruf j PKB mengeni jenis Hukuman

(1) Jenis Hukuman Disiplin terdiri dari Hukuman Pokok dan


Hukuman Tambahan sebagai berikut
a. Hukuman Pokok:
1. Hukuman Ringan
2. Hukuman Sedang
3. Hukuman Berat;
a) ..........
j) Pemberhentian dengan tidak hormat

Pasal 109 ayat (3) huruf c PKB yang menyatakan


“C. Hukuman berat diberikan jika karyawan/karyawati melanggar
ketentuan Pasal 107 Ayat (16) sampai dengan ayat (29) dan Pasal
108 ayat (15) sampai dengan yat (49)

Saat laporan tersebut masuk kepada yang berwenang yaitu Divisi


Pengamanan dan Divisi SDM dikaji kasusnya dan menghasilkan beberapa
proses pengeluaran Surat Keputusan (SK). Pertama, tertanggal 4
Nopember 2014 Nomor 34/PYBM/XI/2014, Nomor 31/PYBM/XI/2014,
dan Nomor 32/PYBM/XI/2014 Pejabat Yang Berwenang Menghukum
(PYBM) menjatuhkan hukuman disiplin kepada para Tergugat karena
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggran Pasal 108 ayat
(45) PKB. Kedua, tertanggal 6 Februari 2015 Nomor 01/APYBM/II/2015,
Nomor 03/APYBM/II/2015, dan Nomor 04/APYBM/II?2015 tentang
penetapan hukuman disiplin setelah proses banding terhadap Para
Tergugat. Atasan Pejabat Yang Berwenang Menghukum (APYBM)
menjatuhkan hukuman pada Para Tergugat berupa Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) atau Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sesuai dengan
dasar hukum Pasal 109 ayat (1) a Butir 3 PKB dan Pasal 108 ayat (45)
93

PKB. Ketiga, tertanggal 18 Maret 2015 Nomor 642/D3-1/III/2015, nomor


644/D3-1/III/2015, Nomor 645/D3-1/III/2015, Perusahaan mengenakan
skorsing dalam proses PHK terhitung sejak 18 Maret 2015.
Dalam hal proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang
dilakukan oleh Perusahaan sudah tepat karena sesuai dengan prosedur
yang berlaku. Proses penjatuhan hukuman dalam praktiknya bisa terbilang
sempurna layaknya sidang di Pengadilan Umum, hal inilah yang membuat
Perum Peruri unggul dalam proses penjatuhan hukuman. Akan tetapi,
permasalahan timbul saat Pekerja yang bersangkutan menolak Surat
Keputusan (SK) atas Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan dalil:
Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang menjelaskan:
“Pengusaha, Pekerja/Buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan
Pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan
terjadi pemutusan hubungan kerja”
Penjelasan Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang menjelaskan:
“Yang dimaksud dengan segala upaya dalam ayat ini adalah
kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat
menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja antara lain
pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja,
dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.
Kedua dalil tersebut benar, akan tetapi pihak Perusahaan tetap keras
dengan dalilnya bahwa hubungan antara Para Tergugat dengan Perusahaan
tidak akan kembali seperti semula yaitu mempertahankan hubungan kerja
yang harmonis, sehingga dengan pertimbangan Pejabat Yang Berwenang
bahwasannya keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah hal
yang tepat mengingat hubungan kerja yang harmonis tersebut tidak bisa
dipertahankan seperti semula. Pertimbangannya pun karena Para Tergugat
sudah melakukan Pelanggaran Berat yang pada intinya membuat suasana
kerja tidak kondusif.
94

2. Analisis Penyelesaian Hubungan Industrial Akibat Adanya


Pemutusan Hubungan Kerja
Awal penyelesaian yang ditempuh pertama kali adalah dengan
Perundingan Bipartit yang ditentukan pada tanggal 21 Januari 2015
dengan mengirimi surat terlebih dahulu dan mengundang SP Peruri dan
Para Tergugat tertanggal 19 Januari 2015. Para Tergugat diwakili oleh
kuasanya menolak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pada akhirnya
perundingan bipartit gagal mencapai kesepakatan. Atas dasar
ketidakkesepakatan tersebut, Perum Peruri mengajukan pencatatan atas
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Para Tergugat ke Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Karawang
(Dinakertrans Karawang). Tertanggal 29 September 2015 Nomor
567/7873/HI-S mediator menerbitkan Anjuran bagi para pihak. Akan
tetapi anjuran tersebut tidak mencapai titik temu sehingga kedua belah
pihak sepakat untuk menyelesaikan perselsihan melalui jalur pengadilan
atau litigasi. Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal
5 menyatakan bahwa:
“Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi dan mediasi tidak
mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 56 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa:
“Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus:
a. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
b. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan
kepentingan;
c. Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan
kerja;
d. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Saat persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial dalam agenda
pembacaan eksepsi bahwasannya Para Tergugat berdalih tidak adanya
95

lampiran risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi sehingga


dianggap cacat formil. Akan tetapi menurut pendapat Majelis Hakim
bahwasannya sudah dilampiri Risalah dari Mediator pada Kantor Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang. Tentunya alasan
pihak Tergugat hanyalah mengada-ada.
Pada pokoknya Majelis Hakim berpendapat bahwasannya Para
Tergugat terbukti menyebar isu negatif dan menimbulkan keresahan dan
kecurigaan diantara Pekerja sebagaimana yang termaktub dan atas
pertimbangan Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Pasal
109 ayat (1) a Butir 3 Huruf j Jo. Pasal 109 ayat (3) Huruf c Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) maka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dapat
dikabulkan. Penyelesaian perselihan menurut pendapat Majelis Hakim
seharusnya diselesaikan secara internal terlebih dahulu. Jika SP Peruri
merasa respon atas surat yang dikirimnya lama, maka akan lebih baik
mengirimkan surat untuk yang kedua kalinya. Bukan dikirimkan kepada
pihak eksternal Perum Peruri, melainkan hanya perlu tembusan kepada
Kadiv. Produksi Uang Kertas atau mengirimkannya langsung kepada
Direksi Perum Peruri. Majelis Hakim juga berpendapat bahwasannya
ketentuan penggantian hak Pekerja/Buruh perlu ditingkatkan yang
pembahasannya akan dijelaskan pada analisis perlindungan dan hak-hak
Pekerja/Buruh setelah di-PHK.
Ujung dari penyelesaian perselisihan ini pada tahap Kasasi di
Mahkamah Agung. Tidak ada upaya hukum banding karena masalah ini
merupakan Perdata Khusus mengenai Hubungan Industrial dan hanya ada
4 (empat) jenis perselisihan Hubungan Industrial yang dapat diproses di
PHI dua diantaranya dapat diajukan kasasi dan dua yang lainnya
merupakan putusan akhir dan mengikat. Akan tetapi, upaya hukum yang
ditempuh Pekerja Perum Peruri tersebut tidak berbuah manis. Hasil
Putusan Kasasi tersebut adalah ditolak dan menguatkan Putusan
Pengadilan Negeri Bandung dengan pertimbangan Hakim Agung merasa
Putusan Hakim Tingkat Pertama sudah tepat.
96

3. Hak-Hak dan Perlindungan Pekerja Setelah Terjadinya Pemutusan


Hubungan Kerja (PHK)
Ada 4 (empat) komponen kompensasi yang ditentukan dalam
Undang-Undnag Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
perangkat peraturan yang ada di perusahaan seperti yang termaktub dalam
Perjanjian Kerja (PK), Peraturan Perusahaan (PP), dan Perjanjian Kerja
Bersama (PKB) diantaranya uang pesangon, uang penghargaan masa
kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah. Pertama, mengenai uang
pesangon yang ditawarkan oleh Perusahaan tidak sesuai dengan makna
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
diperkuat oleh pendapat Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial
yang menyatakan, “adil Para Tergugat berhak memperoleh uang pesangon
sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan dari Perusahaan yaitu Perum Peruri”. Hal
ini atas dasar pertimbangan masa kerja Para Tergugat yang sudah lama,
yaitu: Sdr. Tri Haryanto dengan masa kerja total 31 (tiga puluh satu) tahun
lebih 5 (lima) bulan, Sdr. Idang Mulyadi dengn masa kerja total 25 (dua
puluh lima) tahun lebih 10 (sepuluh) bulan, dan Sdri. Marion Kova dengan
masa kerja total 25 (dua puluh lima) tahun lebih 2 (dua) bulan. Penetapan
uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak
melebihi dari jumlah yang dimohonkan oleh Perum Peruri adalah
berdasarkan keadilan sebagaimana dimaksud Pasal 100 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dan ex aequo et bono yang dimohonkan Penggugat (Perum
Peruri). Uang pisah luput dari permasalahan sengketa karena baik dari Para
Tergugat maupun Perusahaan tidak mempermasalahkan mengenai uang
pisah, padahal Para Tergugat berhak menerima uang pisah sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
97

Ketenagakerjaan sehingga hak-hak yang diterima oleh Para Tergugat


belum sepenuhnya terpenuhi.
Kedua, mengenai perlindungan hukum yang didapatkan oleh
pekerja/buruh dalam menghadapi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pertama kali penyelesaian perselisihan PHK, Para Pekerja sudah
mendapatkan haknya yaitu didampingi oleh kuasa hukumnya baik itu
disediakan oleh Perusahaan dan inisiatif sendiri serta pendampingan oleh
Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Hingga proses penyelesaian perselisihan
PHK, Para Tergugat sudah mendapatkan perlindungan hukum seperti
proses penyelesaian perselisihan yang dilakukan mulai bipartit, mediasi,
dan jalur litigasi sampai kasasi. Tidak hanya itu, Para Tergugat
mendapatkan perlindungan hukum dari Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) atas pelaporan dugaan tindak pidana korupsi dalam
pengadaan mesin Intaglilo Komori di Perum Peruri. Hal ini diperkuat
dengan Surat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban No. R-311/DPP-
LPSK/03/2015yang telah dilaporkan kepada Kejaksaan Agung dengan
Nomor B-387/F.2/Fd.1/02/2015 kepada Direktur Umum Perum Peruri
tentang informasi Status Hukum Pemohon Perlindungan bahwa Pemohon
dalam hal ini Para Tergugat adalah Pelapor (whistleblower). Walaupun
menurut Majelis Hakim menyatakan bahwa rekomendasi LPSK tidak
mengikat, hanya (attention) maka tidak ada halangan bagi Pengadilan
untuk memeriksa dan memutus perkara a quo.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tinjauan Umum Perselisihan Hubungan Industrial di Indonesia
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akibat adanya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) karyawan Perum Peruri pertama-tama menempuh
penyelesaian bipartit, yaitu penyelesaian sengketa melalui musyawarah
untuk mufakat dengan melibatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan
Perum Peruri. Hal ini sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Inudstrial.
Apabila perundingan bipartit tidak menemukan titik temu, maka
penyelesaian selanjutnya dilimpahkah pada Dinas Ketenagakerjaan dan
Transmigrasi (Disnakertrans) untuk menempuh jalur mediasi atau
konsiliasi. Gagalnya perundingan secara mediasi membuat kasus ini sampai
ke jalur litigasi yaitu melalui Pengadilan Hubungan Industrial Bandung.
Pada pokoknya proses litigasi tingkat pertama membahas keberatan dari
Para Tergugat yaitu Pekerja Perum Peruri atas keputusan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dari Perum Peruri. Para Pekerja meminta kembali
dipekerjakan seperti sediakala. Akan tetapi, bukti-bukti dari Perum Peruri
memberatkan Para Pekerja sehingga gugatan Perum Peruri atas PHK Para
Tergugat dapat dikabulkan oleh Majelis Hakim. Faktor yang sangat
memberatkan Para Tergugat adalah pengiriman surat ke Badan Pemeriksa
Keuangan RI dan pihak eksternal Perum Peruri sehingga dianggap
menyebarkan isu negatif dan menyebabkan suasana kerja yang tidak
kondusif. Isi surat tersebut menyatakan keprihatinann terhadap Mesin
Intaglio Komori Jepang untuk kegiatan percetakan uang dan penyampaian
dugaan adanya tindak korupsi oleh oknum pejabat Perum Peruri. Pengadilan
Hubungan Industrial memberikan keputusan putusnya hubungan kerja Para
Tergugat terhadap Perusahaan dan kebijakan penetapan hak-hak buruh

98
99

seperti uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak. Para Tergugat pada akhirnya melakukan upaya hukum kasasi, akan
tetapi kasasi tersebut menguatkan putusan Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Bandung, dengan kata lain kasasinya ditolak oleh Mahkamah
Agung.
2. Gambaran Umum Perum Percetakan Uang Republik Indonesia
Perum Percatakan Uang Republik Indonesia dilihat dari sejarahnya
merupakan gabungan dari dua perusahaan, yaitu PN. Pertjcetakan
Kebajoran dan PN. Artha Yasa. Saat ini Perum Peruri menyelenggarakan
usaha mencetak uang RI untuk memenuhi permintaan dari Bank Indonesia
dan melaksanakan kegiatan mencetak dokumen sekuriti untuk negara.
Perum Peruri memiliki 3 (tiga) jenis kegiatan diantaranya uang kertas dan
logam, logam non uang, dan kertas berharga non uang. Perum Peruri
memiliki 3 (tiga) Serikat Pekerja/Serikat Buruh diantaranya Serikat Pekerja
Perum Peruri (SP Peruri), Serikat Pekerja Peruri Bersatu (SPPB) dan Serikat
Pekerja Bersama Membangun Peruri (SP BEMPER). Proses penjatuhan
hukuman bagi karyawan atau pekerja sangatlah terorganisir karena proses
penjatuhan hukuman disiplin alurnya hampir sama seperti proses
penanganan sengketa melalui jalur litigasi. Perbedaannya adalah Perum
Peruri mempunyai Divisi Pengamanan atau FORUMSA sebagai pengumpul
keterangan dan Divisi SDM yaitu Departemen HRBP & IR sebagai
penindak atau yang mengeksekusi serta mengambil keputusan. Dalam hal
penjatuhan hukuman, Divisi SDM tidak sewenang-wenang mengambil
keputusan karena terikat dengan prosedur baku yang harus dipenuhi dan
dijunjung tinggi. Seperti halnya terkadang penjatuhan hukuman akan
berjalan rumit jika adanya intervensi dari pekerja/karyawan yang
bersangkutan, serikat pekerja, ataupun perbedaan pendapat dari pejabat
yang berwenang mengenai penjatuhan hukuman yang pantas sesuai dengan
pertimbangan hukum dan rasa keadilan bagi pekerja/karyawan sesuai
kebijaksanaan perusahaan.
100

3. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Akibat Pelanggaran Berat Pekerja


Perum Peruri
Penyelesaian melalui non litigasi dan litigasi tidak terjadi
permasalahan karena penyelesaian tersebut sesuai dengan kaidah peraturan
perundang-undangan yang berlaku dengan dasar hukum Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 dan Perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
serta peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan. Akan tetapi,
ada satu tahap yang terlewatkan dalam upaya penyelesaian perselisihan
internal antara Para Tergugat dengan Penggugat sesuai dengan Penjelasan
Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang pada pokoknya harus menghindari terjadinya
pemutusan hubungan kerja. Pencegahan PHK dapat diupayakan dengan
cara antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode
kerja, dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh.
Hal ini mengakibatkan adanya indikasi tidak adanya upaya dari
Perusahaan untuk mempertahankan dan menghindari adanya Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) dengan cara negosiasi ataupun kebijaksanaan
lainnya seperti memberikan pembinaan terhadap Para Tergugat/Para
Pekerja Perum Peruri. Sebab menurut urutan penyelesaian perselisihan yang
terjadi adalah setelah adanya unsur pelanggaran berat pada Para Tergugat,
Kepada Divisi Produksi Uang melaporkan dan meminta penyelidikan
kepada pihak perusahaan yaitu Divisi Pengamanan dan SDM yang tertuju
pada Para Tergugat. Oleh karenanya, Divisi Pengamanan dan Divisi SDM
sesuai dengan kewajiban serta kewenangan jabatannya mengeluarkan Surat
Keputusan (SK) hukuman disiplin bagi Para Tergugat atau Para Pekerja
yang bersangkutan. Hak-Hak yang didapatkan oleh Para Pekerja setelah
101

terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh Perusahaan tidak


sepenuhnya terpenuhi sebelum adanya putusan oleh Pengadilan. Menurut
analsia peneliti bahwasannya putusan hakim Pengadilan Hubungan
Industrial Bandung merupakan putusan yang progresif karena tidak hanya
berpatokan pada aturan tertulis saja yaitu Undang-Undang, melainkan
mempertimbangkan faktor keadilan bagi Para Tergugat atau Para Pekerja.
Pertimbangan Majelis Hakim berdasarkan pada masa kerja yang ditempuh
oleh Para Pihak sangat panjang atau lama yaitu lebih dari 25 (dua puluh
lima) tahun. Selain itu, Para Tergugat atau Para Pekerja tidak pernah
sekalipun melanggar kode etik maupun peraturan yang ditetapkan oleh
Penggugat yaitu Perum Peruri bahkan sempat memperoleh penghargaan
prestasi bekerja sehingga Majelis Hakim berpendapat pantas bahwasannya
Para Tergugat tersebut memperoleh dua kali uang pesangon. Hal ini
bertentangan dengan gugatan Penggugat yaitu Perum Peruri yang hanya
ingin memberikan uang pesangon sesuai ketentuan yang ada di undang-
undang maupun peraturan Perusahaan. Uang pisah luput dari pembahasan
sengketa karena baik dari Para Tergugat maupun Perusahaan tidak
mempermasalahkannya, padahal uang pisah merupakan komponen hak-hak
pekerja/karyawan saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bahwasannya uang pisah lebih baik diatur dalam
Perjanjian Kerja atau Perjanjian Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
Perlindungan hukum Para Tergugat sudah terpenuhi dengan baik
walaupun ada beberapa hak yang tidak terpenuhi, salah satunya adalah
menyampaikan aspirasi adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh oknum
pejabat sehingga dianggap menyebarkan isu negatif dan membuat suasana
kerja tidak kondusif. Akan tetapi, prosedur yang dilakukan oleh Para
Tergugat yang juga menjabat sebagai pengurus Serikat Pekerja Perum
Peruri tidak tepat sehingga berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja. Para
Tergugat atau Para Pekerja Perum Peruri mendapatkan perlindungan hukum
dari kuasanya dan diperkenankannya perundingan bipartit antara Serikat
102

Pekerja dengan Perusahaan, walaupun hasilnya tidak berujung pada


kesepatakan. Para Tergugat juga mendapatkan perlindungan hukum dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atas pelaporannya
dengan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat
Perusahaan walaupun Majelis Hakim berpendapat bahwasannya keterangan
dari pihak LPSK hanyalah bersifat anjuran (attention).

B. Rekomendasi
1. Penyampaian aspirasi atau pendapat dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh
ataupun dari pekerja secara individu seharusnya memperhatikan prosedur
yang termaktub pada ketentuan undang-undang maupun peraturan
perusahaan. Entah konteks penyampaian tersebut merupakan keluh kesah
ataupun adanya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Perusahaan.
Penyampaian aspirasi, keluh kesah dan pendapat mayoritas sudah diatur
dalam Perjanjian Kerja Bersama dengan Serikat Pekerja/Buruh, maka
penuhi prosedur yang berlaku agar suasana kerja berjalan dengan kondusif
dan hubungan antar pekerja ataupun Serikat Pekerja dengan Perusahaan
berjalan harmonis. Perlunya diatur mengenai uang pisah yang seharusnya
didapatkan oleh Para Tergugat karena merupakan haknya yang tercantum
dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2. Perlunya penyelesaian sengketa secara internal sebelum perkara tersebut
masuk berkas ke Divisi Pengamanan dan Divisi SDM. Perlunya prioritas
penyelesaian masalah dengan musyawarah untuk mufakat, sehingga jika
adanya perselisihan antara pekerja dengan atasan kerja dapat diselesaikan
dengan cara kekeluargaan terlebih dahulu sebelum perkara tersebut
diselesaikan secara formal oleh Perusahaan. Sebagaimana diamanatkan
dalam Penjelasan Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan bahwasannya sebisa mungkin menghindari
terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) salah satunya dengan cara
pembinaan kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial sebaiknya dikedepankan terlebih dahulu
103

penyelesaiannya secara internal tanpa diketahui ataupun ‘menyeret’ pihak


yang tidak ada sangkut-pautnya dengan pekerja ataupun perusahaan terkait.
Hal ini disebabkan semua Perusahaan tidak ingin ada permasalahan atau
sengketa tercium pihak luar atau eksternal perusahaan. Oleh karena itu,
perlu adanya kerja sama antar Serikat Pekerja/Serikat Buruh, para
Pekerja/Buruh dengan Perusahaan demi menjaga keharmonisan hubungan
kerja. Bisa diambil contoh dari kasus ini, kesalahan yang paling fatal adalah
dari pihak Pengurus Serikat Pekerja Perum Peruri (Para Tergugat) yang
mengirimkan surat kepada eksternal Perum Peruri yang menyebabkan
terhembusnya isu negatif terhadap perusahaan akibat adanya dugaan isu
korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat. Selain merusak nama baik
atasan kerja, hal ini juga merusak nama baik Perusahaan sehingga pantas
digugat menyebabkan suasana kerja menjadi tidak kondusif.
3. Rekomendasi bagi Hakim PPHI adalah diperlukannya Hakim dan Hakim
Ad-Hoc yang berintegritas dan tidak memihak manapun baik itu dari sisi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Pekerja/Buruh, maupun dengan
Pengusahaa/Perusahaan/Pelaku Usaha yang dengan kata lain harus
mempunyai sikap netral. Peneliti memberikan rekomendasi diperlukannya
Hakim dan Hakim Ad-Hoc dari kalangan praktisi dan akademisi, meskipun
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial memberikan syarat bahwasannya Hakim Ad-Hoc
diwajibkan memiliki pengalaman minimal 5 (lima) tahun di bidang
hubungan industrial. Akan tetapi tidak menjamin persyaratan tersebut
menghasilkan Hakim yang berintegritas di bidang hubungan industrial
karena belum tentu yang memiliki pengalaman minimal 5 (lima) tahun
tersebut memiliki kapasitas ilmu dan integritas yang tinggi demi menjawab
permasalahan hubungan industrial di masa sekarang ataupun di masa yang
akan datang karena permasalahan hubungan industrial terus berkembang
dan menjadi masalah yang kompleks seiring berjalannya waktu dan
kepekaan para Pekerja/Buruh yang semakin tajam. Tidak semua yang
berpengalaman di bidang hubungan industrial selama 5 (lima) tahun
104

termasuk kalangan praktisi atau akademisi karena redaksi ‘berpengalaman’


bisa saja pengalaman tersebut kurang menunjang integritas calon hakim.
Berbeda jika sumber daya calon hakim benar-benar berkecimpung di dunia
akademisi hingga praktisi yang benar-benar menggeluti bidang hubungan
industrial dari segi praktik hingga ilmu yang dimiliki terasah dengan tajam.
Mengingat hukum tidak bisa hanya dilihat berdasarkan hukum tertulis,
melainkan harus dengan pertimbangan lain yang dianggap perlu yaitu sisi
keadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam. Hukum Perburuhan. Jakarta: PTIK, 2003.


Al Holandi, S. Q. "Tinjauan Yuridis Terhadap Proses PHK Sepihak Di PT. Karya
Mitra Nugraha Berdasarkan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Pada Pengadilan Hubungan Industrial Semarang"
. Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang,
2016.
Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. cet. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Aloewic, Tjepi. F. Naskah Akademis Tentang Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penyelesaian Perselisihan Industrial. cet. 11. Jakarta: BPHN, 1996.
Asikin, Zainal, dkk. Dasar Dasar Hukum Perburuhan. cet. 8.Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2010.
____________. Dasar Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2008.
Asyhadie, Zaeni, dkk. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan
Kerja. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2007.
Batubara, Cosmas. Hubungan Industrial. Jakarta: Penerbit PPM, 2008.
Budiono, Abdul Rachmad. Hukum Perburuhan Di Indonesia. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 1995.
Djumadi. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2006.
Gultom, Sri Subiandini. Aspek Hukum Hubungan Industrial. Jakarta: PT Hecca
Mitra Utama, 2005.
Halim, Ridwan, dkk. Seri Hukum Perburuhan: Perburuhan Aktual. Jakarta:
Penerbit Pradnya Paramita, 1987.
Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial. Jakarta: Prenamedia Group, 2010.
Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2003.

105
106

___________. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi. Jakarta:


PT Rajagrafindo Persada, 2003.
Khakim, Abdul. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Berdasarkan
Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cet.4. Jakarta: Kencana, 2010.
Oetomo, Goenawan. Pengantar Hukum Perburuhan & Hukum Perburuhan di
Indonesia. Depok: Grhadika Binangkit Press, 2004.
Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum PERURI). (t.thn.). Diambil
kembali dari Https://peruri.co.id
Pitoyo, Whimbo. Panduan Praktis Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2010.
Santoso, Budi. Hukum Ketenagakerjaan: Perjanjian Kerja Bersama. Malang:
Universitas Brawijaya Press (UB Press), 2012.
Soebekti. Hukum Perdjanjian. cet. 8. Jakarta: PT Inter Masa, 1984.
Soedjono, Wiwoho. Hukum Perjanjian Kerja. cet. 1. Jakarta: Bima Aksara. 1983.
Soepomo, Imam. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja. cet. 2. Jakarta:
Penerbit Pradnya Paramita, 1975.
_____________. Hukum perburuhan Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja. cet. 5.
Jakarta: Djambatan, 1983.
_____________. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan, 2003.
Sugiyono. Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Kuantiitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta, 2005.
Sutedi, Adrian. Hukum Perburuhan. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Tim Pengajar Hukum Perburuhan. Hukum Perburuhan Seri A: Seri Buku Ajar.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
____________________________. Hukum Perburuhan. Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2000.
Usman, Ali. "Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Di Hotel Grand Aquila
Bandung Atas Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Ditolaknya
Keikutsertaan Dalam Serikat Pekerja". Skripsi S1 Fakultas Hukum,
Universitas Pasundan, Bandung, 2016.
107

Uwiyono, Aloysius, dkk. Asas Asas Hukum Perburuhan. Jakarta: PT Rajagrafindo


Persada, 2014.
Wijayanti, Asri. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta: Sinar Grafika,
2013.
Wijayanti, A. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. cet. 3. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Yetniwati, Hartati, & Meriyani. "Reformasi Hukum Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial Secara Mediasi". Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14
No. 2. (2 Mei 2014): 250-261
LAMPIRAN
109

A. Direktorat Sumber Daya Manusia (SDM) dan Umum


110

B. Proses Penjatuhan Hukuman Disiplin


111

C. Penjatuhan Hukuman Disiplin Pekerja/Karyawan


112

D. Penjelasan Peraturan Disiplin


113

E. Penyusunan Perjanjian Kerja Bersama


114

F. Serikat Pekerja di Perum Peruri


am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PUTUSAN
Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016

si
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

ne
ng
MAHKAMAH AGUNG
memeriksa perkara perdata khusus perselisihan hubungan industrial pada
tingkat kasasi memutus sebagai berikut dalam perkara antara:

do
gu 1. TRI HARYANTO, bertempat tinggal di Komplek Departemen
Dalma Negeri Blok G7 Nomor 24, Bojong Gede, Bogor;

In
A
2. IDANG MULYADI, bertempat tinggal di Jalan Raya Klari
RT.5/1, Kampung Krajan, Desa Cibalongsari, Kecamatan Klari,
ah

lik
Kabupaten Karawang;
3. MARION KOVA, bertempat tinggal di Jalan H. Mugeni III,
Kelurahan Pisangan Lama RT.03/20, Kecamatan Pulogadung,
m

ub
Jakarta Timur, 13230, kesemuanya dalam hal ini memberi kuasa
kepada Ario Yogiawan, S.H., dan kawan-kawan, Para Advokat,
ka

ep
berkantor di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Jalan
Rereng Wulung Nomor 33, Sukaluyu, Kota Bandung,
ah

berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 2 April 2016;


R

si
Para Pemohon Kasasi dahulu Para Tergugat;
Lawan

ne
ng

PERUM PERCETAKAN UANG REPUBLIK INDONESIA,


berkedudukan di Jalan Palatehan Nomor 4, Kebayoran Baru,

do
gu

Jakarta, diwakili oleh Prasetio, Direktur Utama, dalam hal ini


memberi kuasa kepada A. Kemalsjah Siregar dan kawan-kawan,
berkantor di Graha CIMB Niaga Lantai 8, Jalan Jenderal Sudirman
In
A

Kavling 58, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus


tanggal 16 Mei 2016;
ah

lik

Termohon Kasasi dahulu Penggugat;


Mahkamah Agung tersebut;
m

ub

Membaca surat-surat yang bersangkutan;


Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang
ka

Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah mengajukan gugatan


ep

terhadap Para Pemohon Kasasi dahulu sebagai Para Tergugat di depan


ah

persidangan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung


R

pada pokoknya sebagai berikut:


s
1. Para Tergugat bekerja pada Penggugat dengan upah dan jabatan sebagai
M

ne
ng

berikut:

Halaman 1 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Upah Gross

R
Mulai

si
Nama Jabatan Bulanan
Bekerja
Terakhir

ne
ng
Junior Petugas Pelayanan 1 November
Tri Haryanto Rp7.466.244,00
Remunerasi 1984

do
gu Idang Mulyadi
Senior Petugas Pemeriksaan
LKU Blanko
1 Mei 1990 Rp6.431.806,00

Senior Petugas Pemeriksaan

In
A
1 Februari
Marion Kova LKU Berseri Nomor Untuk Rp6.441.665,00
1991
Masinal
ah

lik
Terlampir:
a. Surat Keputusan tertanggal 18 Juli 2013, Nomor SKEP-482/VII/2013,
m

ub
Tentang: Mutasi Jabatan sebagai bukti P-1;
b. Surat Keputusan tertanggal 25 Oktober 2012, Nomor SKEP-
ka

499/X/2012, Tentang: Kenaikan Kepangkatan Pegawai Pelaksana


ep
sebagai bukti P-2;
ah

c. Surat Keputusan tertanggal 25 Oktober 2012, Nomor SKEP-


R
449/X/2012, Tentang: Kenaikan Kepangkatan Pegawai Pelaksana

si
sebagai bukti P-3;

ne
ng

d. Slip Upah Para Tergugat Oktober 2015 sebagai bukti P-4, P-5 dan P-6;
2. Dalam Surat tertanggal 26 Maret 2014, Pengurus Serikat Pekerja Perum
Peruri (SP Peruri) mengirim surat kepada Kadiv. Produksi Uang Sdr. Ahsari,

do
gu

terkait apa yang mereka dalihkan sebagai keprihatinan mengenai kondisi


mesin Komori yang baru dibeli Penggugat, antara lain:
In
A

- Mesin Komori baru dibeli dengan investasi tinggi yang diharapkan bisa
memenuhi order tetapi sudah 2 bulan lebih tidak berproduksi optimal;
ah

- Khawatir order dari Bank Indonesia sulit terpenuhi;


lik

Terlampir surat SP Peruri tertanggal 26 Maret 2014, Nomor 30/SP-


Peruri/III/2014 sebagai bukti P-7;
m

ub

3. Dalam Surat tertanggal 4 April 2014, SP Peruri mengirim surat yang


ditandangani oleh Para Tergugat selaku Ketua Umum DPP SP Peruri
ka

ep

(Tergugat I), Sekretaris Umum DPP SP Peruri (Tergugat II) dan Sekretaris
Dewan Pembina SP Peruri (Tergugat III) kepada Badan Pemeriksa
ah

Keuangan RI (BPK RI) terkait dengan mesin Komori, antara lain:


R

- Pelaksanaan Site Acceptence Test (SAT) yang merupakan rangkaian


s
M

Factory Acceptence Test (FAT) yang dilakukan Penggugat tidak sesuai


ne
ng

Halaman 2 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
dengan standar yang telah ditetapkan dalam kontrak, yang mestinya

si
dicoba untuk mencetak semua pecahan ternyata hanya mencoba
pecahan Rp10.000,00 sehingga uji SAT mesin tersebut bisa lolos;

ne
ng
- Khawatir adanya oknum pejabat terkait di Penggugat yang “bermain”
dengan pihak pemasok, yang akan menyebabkan terjadinya kerugian
yang tidak sedikit bagi Penggugat yang akan mengakibatkan kerugian

do
gu Negara;
Terlampir surat Para Tergugat tertanggal 4 April 2014, Nomor 31/SP-

In
A
Peruri/IV/2014, Perihal: Mesin Komori sebagai bukti P- 8.
4. Atas surat Para Tergugat tertanggal 26 Maret 2014 (vide bukti T-7), dalam
ah

lik
Surat tertanggal 28 April 2014 Kadiv. Produksi Uang memberikan
tanggapan terkait mesin Intaglio Komori, antara lain:
• Berdasarkan hasil pemantauan, hasil produksi selama 2 bulan kinerja
m

ub
mesin menunjukkan peningkatan walau belum sesuai kapasitas yang
diharapkan, yang disebabkan:
ka

ep
- Operator membutuhkan waktu adaptasi/pembelajaran (culture)
teknologi baru yang diterapkan di mesin Itaglio Komori;
ah

- Pasokan kertas uang dari Bank Indonesia yang sub standar


R

si
mempengaruhi output produksi karena dibutuhkan waktu setting mesin
dan camera inspection;

ne
ng

- Terjadinya kelangkaan persediaan rubber blanket yang selama ini


tersedia;

do
gu

- Pada April 2014 produksi telah mencapai 94.12% dari target kapasitas
produksi per shift;
Terlampir surat Kadiv. Produksi Uang tertanggal 28 April 2014, Nomor 289/D2-
In
A

2/IV/2014, Perihal: Mesin Intaglio Ex Komori Jepang sebagai bukti P-9;


5. SP Peruri mengirim Surat tertanggal 2 Mei 2014, Perihal: Menanggapi Surat
ah

lik

Kadiv. Produksi Uang, yang ditandangani oleh Para Tergugat selaku Ketua
Umum DPP SP Peruri (Tergugat I), Sekretaris Umum DPP SP Peruri
m

ub

(Tergugat II) dan Sekretaris Dewan Pembina SP Peruri (Tergugat III)


kepada Sdr. Ashari selaku Kadiv. Produksi Uang dengan tembusan kepada
ka

Ketua dan Anggota Dewan Perum Peruri, Direksi Perum Peruri, BPK RI,
ep

Menteri Negara BUMN, Federasi SP Sinergi BUMN, Ketua SP Peruri


ah

Bersatu dan Ketua SP BEMPER;


R

Terlampir Surat SP Peruri tertanggal 2 Mei 2014, 40/SP-Peruri/V/2014,


s
Perihal: Menanggapi Surat Kadiv. Produksi Uang sebagai bukti P-10;
M

ne
ng

6. Dalam Surat tertanggal 2 Mei 2014 tersebut (vide Bukti P-10), SP Peruri

Halaman 3 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
menyatakan:

si
- Sdr. Ashari selaku Kadiv. Produksi Uang telah melakukan kebohongan
dalam laporan Divisi Produksi Uang yang dipimpinnya kepada BPK

ne
ng
bahwa Site Acceptence Test (SAT) mesin Intaglio Komori bagus, tanpa
menyatakan penjelasan bahwa SAT tersebut dilakukan hanya dengan 1
pecahan yaitu Rp10.000,00 yang semestinya dengan semua pecahan,

do
gu sesuai standar internasional;
- Divisi yang dipimpin Sdr. Ashari telah melakukan permufakatan yang

In
A
tidak baik karena membela sebuah produk yang pada akhirnya akan
merugikan Penggugat dan pasti berdampak merugikan Negara.
ah

lik
Permufakatan tersebut berupa merubah target kapasitas produksi per
shift, yang semestinya 45.000 lembar per shift sesuai tender, menjadi
hanya 23.000 lembar per shift;
m

ub
7. Atas Surat tertanggal 2 Mei 2014 tersebut (vide bukti P-10), dalam Surat
tertanggal 26 Juni 2014, Sdr. Ahsari selaku Kadiv. Produksi Uang meminta
ka

ep
kepada Penggugat agar Penggugat melakukan penyelidikan dan
memproses Para Tergugat sesuai peraturan di Penggugat dengan alasan
ah

Surat tertanggal 2 Mei 2014 (vide bukti P-10), yaitu:


R

si
- Merupakan berita yang tidak benar dan merusak nama baik Sdr. Ahsari
baik selaku pribadi maupun sebagai Kadiv. Produksi Uang, baik di dalam

ne
ng

maupun diluar lingkungan Penggugat;


- Membuat suasana kerja menjadi tidak kondusif, khususnya di dalam

do
gu

Divisi Produksi Uang Penggugat yang sedang bekerja keras memenuhi


target produksi yang demikian tinggi;
Terlampir Nota Direktorat Teknik dan Produksi Divisi Produksi Uang
In
A

tertanggal 26 Juni 2014, Nomor NOTA-41/DIVPRODANG/VI/2014 sebagai


bukti P-11;
ah

lik

8. Dalam Surat tertanggal 22 Juli 2014, Nomor 34/S/XX.3/7/2014 BPK RI


menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan pendahuluan, BPK RI belum
m

ub

menemukan terjadi indikasi permasalahan terkait mesin Komori sebagaimana


dinyatakan oleh Para Tergugat dalam suratnya ke BPK RI. Untuk itu BPK RI
ka

belum memandang perlu untuk melakukan pemeriksaan terinci;


ep

Terlampir Surat BPK RI tertanggal 22 Juli 2014, Nomor 34/S/XX.3/7/2014


ah

sebagai bukti P-12;


R

9. Tindakan Para Tergugat mengirimkan Surat tertanggal 4 April dan 2 Mei


s
2014 (vide bukti P-8 dan bukti P-10) yang berisikan hal yang tidak benar
M

ne
ng

tersebut telah menimbulkan keresahan dan kecurigaan di antara para

Halaman 4 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pekerja, Penggugat khususnya di Divisi Produksi Uang pada Unit Kerja

si
Seksi Cetak Dalam Penggugat, sehingga mengakibatkan kondisi kerja di
Divisi Produksi Uang pada Unit Kerja Seksi Cetak Dalam Penggugat

ne
ng
menjadi tidak kondusif;
10. Sehubungan dengan Surat Para Tergugat tertanggal 4 April dan 2 Mei 2014
(vide bukti P-8 dan bukti P-10) mengenai pelaporan mesin cetak Komori

do
gu tersebut, para pekerja Unit Kerja Seksi Cetak Dalam Penggugat membuat
pernyataan sikap tertanggal 5 Juni 2014 yang menyatakan:

In
A
- Akibat dari laporan tersebut membuat para pekerja Unit Kerja Seksi
Cetak Dalam Penggugat saling curiga dan membuat suasana tidak
ah

lik
kondusif;
- Para pekerja Penggugat meminta kepada Penggugat memberikan
sanksi yang berat terhadap pemberi laporan yang tidak benar dan tidak
m

ub
sesuai fakta;
- Hal tersebut diperlukan sebagai pembelajaran dan membuat jera serta
ka

ep
tidak sembarangan kepada semua pihak agar tidak membuat laporan
yang tidak benar;
ah

- Para pekerja Penggugat mengancam akan melakukan mogok kerja


R

si
apabila Penggugat tidak memberikan sanksi berat terhadap pihak yang
memberikan laporan tidak benar dan tidak sesuai ke BPK RI tersebut;

ne
ng

Terlampir Surat para pekerja Unit Kerja Seksi Cetak Dalam Penggugat
tertanggal 5 Juni 2014, Perihal: Pernyataan Sikap sebagai bukti P-13;

do
gu

11. Sebagai akibat dari kondisi kerja yang tidak kondusif tersebut, para pekerja
Penggugat khususnya dari Unit Kerja Seksi Cetak Dalam Penggugat
kembali membuat Pernyataan tertanggal 6 Agustus 2014 yang menyatakan
In
A

bahwa:
- Mengakui telah menandatangani Pernyataan Sikap tertanggal 5 Juni
ah

lik

2014 (vide bukti P-13);


- Mesin Komori tidak mendapat masalah dalam sistem kerjanya;
m

ub

- Membenarkan bahwa masalah yang terjadi selama ini mengenai mesin


Komori adalah rekayasa dari beberapa orang yang akan membuat
ka

lingkungan unit kerja seksi cetak dalam Penggugat tidak kondusif (saling
ep

curiga sesama teman);


ah

Terlampir Surat para pekerja Unit Kerja Seksi Cetak Dalam Penggugat
R

tertanggal 6 Agustus 2014, perihal: Pernyataan Sikap sebagai bukti P-14;


s
12. Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama Peruri periode 2014-2015
M

ne
ng

(“PKB”) mengatur:

Halaman 5 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
“Dilarang melakukan tindakan atau perbuatan membalas dendam,

si
memfitnah, menyebarkan isu negatif dan mengadu domba, yang
mengakibatkan timbulnya kerugian bagi karyawan/karyawati dan/atau

ne
ng
pekerja lain atau perusahaan.”
Terlampir Buku Perjanjian Kerja Bersama periode 2014-2015 sebagai bukti
P-15;

do
gu 13. Pasal 109 ayat (1) a butir 3 huruf j PKB (vide Bukti P-15) mengatur:
“Jenis hukuman

In
A
(1) Jenis hukuman disiplin terdiri dari Hukuman Pokok dan Hukuman
Tambahan, sebagai berikut:
ah

lik
a. Hukuman Pokok:
1. Hukuman Ringan;
2. Hukuman Sedang;
m

ub
3. Hukuman Berat:
a) …
ka

ep
j) Pemberhentian tidak dengan hormat;
14. Pasal 109 ayat (3) huruf c PKB (vide bukti P-15) mengatur:
ah

“c. Hukuman Berat diberikan jika karyawan/karyawati melanggar ketentuan


R

si
Pasal 107 ayat (16) sampai dengan ayat (29) dan Pasal 108 ayat (15)
sampai dengan ayat (49).”

ne
ng

15. Atas surat Para Tergugat tertanggal 4 April dan 2 Mei 2014 (vide bukti P-8 dan
bukti P-10) dan surat BPK RI tertanggal 22 Juli 2014 (vide bukti P-12) tersebut,

do
gu

Penggugat menjatuhkan hukuman disiplin pegawai kepada Para Tergugat;


Mohon perhatian Majelis Hakim bahwa Surat tertanggal 4 April 2014 dan 2
Mei 2014 (vide bukti P-8 dan bukti P-10) yang ditandatangani selain Para
In
A

Tergugat yaitu Sdr. M. Munif selaku Ketua Dewan Pembina SP Peruri oleh
Penggugat juga telah diajukan gugatan PHK di Pengadilan Hubungan
ah

lik

Industrial Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat;


16. Pada 20 Nopember 2014 Para Tergugat pada jam kerja mengadakan panel
m

ub

diskusi di Gedung Juang 1945 mengenai penyimpangan pembelian mesin


cetak uang oleh Direksi Penggugat, padahal telah ada surat dari BPK RI
ka

tertanggal 22 Juli 2014 yang menyatakan BPK RI belum menemukan terjadi


ep

indikasi permasalahan terkait mesin Komori (vide bukti P-8);


ah

Terlampir foto kegiatan Para Tergugat tertanggal 20 Nopember 2014


R

sebagai bukti P-16;


s
17. Akibat tindakan Para Tergugat yang melanggar Pasal 108 ayat (45) PKB
M

ne
ng

(vide bukti P-15) yaitu menyebarkan isu negatif, Penggugat memutuskan

Halaman 6 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
untuk memutuskan hubungan kerja dengan Para Tergugat;

si
18. Dalam putusan tertanggal 4 Nopember 2014, Nomor 34/PYBM/XI/2014,
Nomor 31/PYBM/XI/2014 dan Nomor 32/PYBM/XI/2014 Pejabat Yang

ne
ng
Berwenang Menghukum (PYBM) menjatuhkan hukuman yang menyatakan
Para Tergugat terbukti bersalah melakukan pelanggaran Pasal 108 ayat
(45) PKB;

do
gu Terlampir putusan Pejabat Yang Berwenang Menghukum (PYBM)
tertanggal 4 November 2014, Nomor 34/PYBM/XI/2014 Nomor

In
A
31/PYBM/XI/2014 dan Nomor 32/PYBM/XI/2014 sebagai bukti P-17, bukti
P-18 dan bukti P-19;
ah

lik
19. Dalam putusan tertanggal 6 Februari 2015, Nomor 01/APYBM/II/2015,
Nomor 03/APYBM/II/2015 dan Nomor 04/APYBM/II/2015 tentang penetapan
hukuman disiplin, setelah melakukan pemeriksaan tingkat banding terhadap
m

ub
Para Tergugat, atasan Pejabat Yang Berwenang Menghukum (“APYBM”)
menjatuhkan hukuman kepada Para Tergugat berupa pemberhentian tidak
ka

ep
dengan hormat, sesuai PKB Pasal 109 ayat (1) a butir 3. j, karena telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran terhadap PKB
ah

Pasal 108 ayat (45).


R

si
Terlampir putusan atasan Pejabat Yang Berwenang Menghukum (APYBM)
tertanggal 6 Februari 2015, Nomor 01/APYBM/II/2015, Nomor

ne
ng

03/APYBM/II/2015 dan Nomor 04/APYBM/II/2015, tentang Penetapan


Hukuman Disiplin sebagai bukti P-20, bukti P-21 dan bukti P-22;

do
gu

20. Melalui Surat tertanggal 18 Maret 2015, Nomor 642/D3-1/III/2015, Nomor


644/D3-1/III/2015, Nomor 645/D3-1/III/2015, Penggugat mengenakan
skorsing dalam rangka proses PHK kepada Para Tergugat terhitung sejak
In
A

18 Maret 2015;
Terlampir Surat Penggugat tertanggal 18 Maret 2015, Nomor 642/D3-
ah

lik

1/III/2015, Nomor 644/D3-1/III/2015, Nomor 645/D3-1/III/2015, Perihal:


Pemberitahuan Pengenaan Skorsing sebagai bukti P-23, bukti P-24 dan
m

ub

bukti P-25;
Tindakan Para Tergugat telah menciptakan hubungan kerja yang tidak harmonis
ka

dengan Penggugat sehingga hubungan kerja tidak lagi dapat dipertahankan;


ep

21. Adalah fakta yang tidak dapat dibantah kebenarannya bahwa tindakan Para
ah

Tergugat mengirimkan Surat tertanggal 4 April dan 2 Mei 2014 yang


R

berisikan hal yang tidak benar tersebut (vide bukti P-4 dan bukti P-6) telah
s
menimbulkan keresahan dan kecurigaan diantara para pekerja Penggugat
M

ne
ng

(vide bukti P-12 dan bukti P-13) dan tindakan tersebut merupakan

Halaman 7 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pelanggaran terhadap Pasal 108 ayat (45) PKB, tindakan tersebut telah

si
mengakibatkan hubungan kerja yang tidak kondusif lagi untuk
dipertahankan;

ne
ng
22. Penjelasan bagian umum Undang-Undang Nomor 2/2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial menyatakan bahwa:
“Perselisihan Hubungan Industrial dapat pula disebabkan oleh Pemutusan

do
gu Hubungan Kerja. Ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja yang
selama ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang

In
A
Pemutusan Hubungan Kerja di perusahaan swasta, ternyata tidak efektif
lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan
ah

lik
Hubungan Kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk
terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk
tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu
m

ub
dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan
bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur
ka

ep
dalam undang-undang ini akan dapat menyelesaikan kasus-kasus
Pemutusan Hubungan Kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak.”
ah

23. Atas PHK terhadap Para Tergugat tersebut, Penggugat menawarkan


R

si
pembayaran sebagai berikut:
1. Tergugat I

ne
ng

- Uang pesangon 1 x 9 x Rp7.466.244,00 = Rp 67.196.196,00


- Uang penghargaan masa kerja 10 x Rp7.466.244,00 = Rp 74.662.440,00

do
gu

- Uang penggantian hak 15% x Rp141.858.636,00 = Rp 21.278.795,00


- Istirahat tahunan yang belum diambil:
9/22 x Rp7.466.244,00 = Rp 3.054.373,00
In
A

Total = Rp166.191.804,00
2. Tergugat II
ah

lik

- Uang pesangon 1 x 9 x Rp6.431.806,00 = Rp57.886.254,00


- Uang penghargaan masa kerja 10 x Rp6.431.806,00 = Rp64.318.060,00
m

ub

- Uang penggantian hak 15% x Rp122.204.314,00 = Rp18.330.647,00


- Istirahat tahunan yang belum diambil
ka

22/22 x Rp6.431.806,00 = Rp 6.431.806,00


ep

- Total = Rp146.966.767,00
ah

3. Tergugat III
R

- Uang pesangon 1 x 9 x Rp 6.441.665,00 = Rp57.974.985,00


s
- Uang penghargaan masa kerja 10 x Rp6.441.165,00 = Rp64.411.650,00
M

ne
ng

- Uang penggantian hak 15% x Rp122.386.635,00 = Rp18.357.995,00

Halaman 8 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
- Istirahat tahunan yang belum diambil

si
7/22 x Rp6.441.665,00 = Rp 2.049.621,00
Total = Rp142.794.251,00

ne
ng
24. Atas PHK terhadap Para Tergugat tersebut dalam Surat tertanggal 19
Januari 2015, Penggugat mengundang SP Peruri untuk melakukan
perundingan Bipartite pada 21 Januari 2015;

do
gu Terlampir Undangan tertanggal 19 Januari 2015, Perihal: Undangan
sebagai bukti P-26;

In
A
25. Dalam perundingan Bipartit pada 21 Januari 2015, Para Tergugat yang
diwakili oleh kuasanya menolak PHK tersebut dan karenanya perundingan
ah

lik
Bipartite gagal mencapai kesepakatan;
Terlampir risalah perundingan Bipartit tertanggal 21 Januari 2015 sebagai
bukti P-27;
m

ub
26. Karena dalam proses Bipartit tidak tercapai kesepakatan, Penggugat
mengajukan pencatatan atas PHK terhadap Para Tergugat ke Dinas
ka

ep
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Kabupaten Karawang
(Disnakertrans Karawang). Atas perselisihan PHK ini, Mediator
ah

Disnakertrans Karawang menerbitkan Anjuran tertanggal 29 September


R

si
2015, Nomor 567/7873/HI-S;
27. Terlampir Anjuran Disnakertrans Karawang tertanggal 29 September 2015,

ne
ng

Nomor 567/7873/HI-S sebagai Bukti P-28;


Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat mohon kepada

do
gu

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung agar


memberikan putusan sebagai berikut:
Dalam Pokok Perkara
In
A

1. Mengabulkan gugatan PHK Penggugat seluruhnya;


2. Menyatakan hubungan kerja antara Penggugat dan Para Tergugat putus
ah

lik

terhitung sejak putusan atas perkara ini dibacakan;


3. Menetapkan kewajiban Penggugat terhadap Para Tergugat dengan
m

ub

perincian sebagai berikut:


4. Tergugat I
ka

- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp7.466.244,00 = Rp67.196.196,00


ep

- Uang Penghargaan Masa Kerja 10 x Rp7.466.244,00 = Rp74.662.440,00


ah

- Uang Penggantian Hak 15% x Rp141.858.636,00 = Rp21.278.795,00


R

- Istirahat tahunan yang belum diambil:


s
9/22 x Rp7.466.244,00 = Rp 3.054.373,00
M

ne
ng

Total = Rp166.191.804,00

Halaman 9 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
5. Tergugat II

si
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp6.431.806,00 = Rp57.886.254,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja 10 x Rp6.431.806,00 = Rp64.318.060,00

ne
ng
- Uang Penggantian Hak 15% x Rp122.204.314,00 = Rp18.330.647,00
- Istirahat tahunan yang belum diambil
22/22 x Rp6.431.806,00 = Rp6.431.806,00

do
gu Total = Rp146.966.767,00
6. Tergugat III

In
A
- Uang Pesangon 1 x 9 x Rp 6.441.665,00 = Rp57.974.985,00
- Uang Penghargaan Masa Kerja 10 x Rp6.441.165,00 = Rp64.411.650,00
ah

lik
- Uang Penggantian Hak 15% x Rp122.386.635,00 = Rp18.357.995,00
- Istirahat tahunan yang belum diambil
7/22 x Rp6.441.665,00 = Rp 2.049.621,00
m

ub
Total = Rp142.794.251,00
4. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara;
ka

ep
Apabila Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berpendapat lain, kami
mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
ah

Menimbang, bahwa terhadap gugatan tersebut Para Tergugat


R

si
mengajukan eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:
Dalam Eksepsi

ne
ng

Gugatan Cacat Formil


1. Bahwa dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

do
gu

tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Undang-Undang


PPHI), mengatur bahwa “Pengajuan gugatan yang tidak dilampiri risalah
penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi, maka Hakim Pengadilan
In
A

Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada Pengugat”;


2. Bahwa berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-
ah

lik

XIII/2015 dalam halaman 22-23, berdasarkan Pasal 13 ayat (2) Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, dalam hal tidak tercapai
m

ub

kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial, melalui


Mediasi maka Mediator mengeluarkan Anjuran tertulis dalam bentuk risalah
ka

penyelesaian melalui Mediasi dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor


ep

2 Tahun 2004 tentang PPHI. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan


ah

penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Konsiliasi, maka


R

Konsiliator mengeluarkan Anjuran tertulis dalam bentuk risalah


s
penyelesaian melalui Konsiliasi (vide bukti T-1);
M

ne
ng

3. Bahwa berdasarkan Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun

Halaman 10 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Undang-

si
Undang PPHI) dan amar putusan Mahkamah Nomor 68/PUU-XIII/2015 di
atas, Penggugat dalam mengajuan gugatan tidak melampirkan risalah

ne
ng
penyelesaian melalui Mediasi atau Konsiliasi dalam mengajukan gugatan,
sehingga gugatan Penggugat adalah cacat formil, dengan demikian gugatan
tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard);

do
gu Gugatan Error In Persona
Diskualifikasi In Person

In
A
1. Bahwa pada halaman 1 (satu) gugatan Pemutusan Hubungan Kerja, para
advokat pada Kantor Advokat Kemalsjah & Associate, berdasarkan Surat
ah

lik
Kuasa Khusus tertanggal 29 Oktober 2015, bertindak selaku kuasa dari dan
oleh karenanya untuk dan atas nama Perum Percetakan Uang Republik
Indonesia;
m

ub
2. Bahwa gugatan tersebut yang bertindak untuk dan atas nama Perum
Percetakan Uang Republik Indonesia, tidak menjelaskan nama pihak
ka

ep
pemberi kuasa yang berwenang memberikan kuasa khusus yang bertindak
untuk dan atas nama Perum Percetakan Uang Republik Indonesia;
ah

3. Bahwa berdasarkan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2006


R

si
tentang Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (vide bukti-T2)
menjelaskan yaitu :

ne
ng

(1). Direksi diberi tugas dan mempunyai wewenang untuk:


a. a……….

do
gu

b. mewakili perusahaan didalam dan diluar pengadilan.


c. .....dst…………... m ……..
4. Bahwa atas dasar tersebut diatas, kuasa khusus tersebut diberikan oleh
In
A

pihak yang tidak berwenang,maka dari itu gugatan Penggugat tidak dapat
diterima (Niet ontvankelijk verklaard);
ah

lik

Berdasarkan seluruh uraian dan alasan hukum diatas, maka mohon


kepada Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
m

ub

Klas 1.A Bandung menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima


(Niet ontvankelijk verklaard);
ka

Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Hubungan Industrial pada


ep

Pengadilan Negeri Bandung telah memberikan putusan Nomor 09/Pdt.Sus-


ah

PHI/2016/PN.Bdg., tanggal 31 Maret 2016 yang amarnya sebagai berikut:


R

Dalam Eksepsi
s
- Menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya;
M

ne
ng

Dalam Pokok Perkara

Halaman 11 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

si
2. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dengan Para Tergugat
terhitung sejak tanggal putusan ini diucapkan;

ne
ng
3. Memerintahkan Penggugat untuk membayar Uang Pesangon, Uang
Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak kepada Para
Tergugat sebesar total Rp666.468.872,00 (enam ratus enam puluh enam

do
gu juta empat ratus enam puluh delapan ribu delapan ratus tujuh puluh dua
rupiah) dengan perincian: kepada Tergugat I (Tri Haryanto) sebesar

In
A
Rp243.467.429,00 (dua ratus empat puluh tiga juta empat ratus enam puluh
tujuh ribu empat ratus dua puluh sembilan rupiah), kepada Tergugat II
ah

lik
(Idang Mulyadi) sebesar Rp213.535.959,00 (dua ratus tiga belas juta lima
ratus tiga puluh lima ribu sembilan ratus lima puluh sembilan rupiah) dan
kepada Tergugat III (Marion Kova) sebesar Rp209.465.484,00 (dua ratus
m

ub
sembilan juta empat ratus enam puluh lima ribu empat ratus delapan puluh
empat rupiah);
ka

ep
4. Membebankan biaya perkara ini kepada Para Tergugat secara tanggung
renteng sebesar Rp1.141.000 (satu juta seratus empat puluh satu ribu
ah

rupiah);
R

si
5. Menolak gugatan Para Penggugat I untuk selain dan selebihnya;
Menimbang, bahwa setelah putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada

ne
ng

Pengadilan Negeri Bandung tersebut telah diucapkan dengan hadirnya Kuasa


Penggugat dan Kuasa Para Tergugat pada tanggal 31 Maret 2016, kemudian Para

do
gu

Tergugat melalui kuasanya berdasarkan Surat Kuasa tanggal 2 April 2016


mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 11 April 2016, sebagaimana
ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 52/Kas/G/2016/PHI/PN.Bdg., yang
In
A

dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan


Negeri Bandung, permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi yang diterima
ah

lik

di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung


pada tanggal 25 April 2016;
m

ub

Bahwa memori kasasi telah disampaikan kepada Penggugat pada


tanggal 9 Mei 2016, kemudian Penggugat mengajukan kontra memori kasasi
ka

yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan


ep

Negeri Bandung pada tanggal 20 Mei 2016;


ah

Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta keberatan-


R

keberatannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan


s
dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang,
M

ne
ng

sehingga permohonan kasasi tersebut secara formal dapat diterima;

Halaman 12 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Menimbang, bahwa keberatan-keberatan kasasi yang diajukan oleh

si
Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya adalah:
Dalam Eksepsi

ne
ng
1. Bahwa di dalam pertimbangan eksepsi gugatan cacat formil Para Pemohon
Kasasi/semula Para Tergugat, Majelis Hakim menilai gugatan Termohon
Kasasi/semula Penggugat telah dilampiri risalah dari Mediator pada Dinas

do
gu Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang Nomor
567/10171/XII/2015/HI-S, tertanggal 31 Desember 2015 (vide berkas dan P-38);

In
A
2. Bahwa Majelis Hakim telah keliru dalam mempertimbangkan bahwa
gugatan tersebut tidak cacat secara formil. Bahwa telah dijelaskan didalam
ah

lik
jawaban dan dupliek dari Pemohon Kasasi/semula Para Tergugat dan
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan;
3. Bahwa Termohon Kasasi/semula Penggugat pernah mengajukan proses
m

ub
Mediasi di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang.
Dan kemudian pada tanggal 11 Mei 2015 Dinas Tenaga Kerja dan
ka

ep
Transmigrasi Kabupaten Karawang berdasarkan Surat Nomor
568/2653/HI-S perihal mengembalikan berkas permohonan pencatatan
ah

peselisihan hubungan industrial, karena berdasarkan Pasal 12 ayat (1)


R

si
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014
tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial

ne
ng

serta Tata Kerja Mediasi, yang berwenang melakukan penyelesaian


perselisihan hubungan industrial yang terjadi pada lebih dari 1 (satu)

do
gu

wilayah propinsi dilakukan oleh Mediator yang berkedudukan di


Kementerian (vide bukti T-25);
4. Bahwa kemudian selanjutnya proses Mediasi dilakukan di Kementerian
In
A

Tenaga Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan


Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan hasil risalah perselisihan hubungan
ah

lik

industrial atas Anjuran Mediator Hubungan Industrial Kementerian


Ketenagakerjaan Nomor B.338/PHIJSK-PPHI/XII/2015, tertanggal 11
m

ub

Desember 2015 (vide bukti T-28);


5. Bahwa dengan demikian risalah yang dikeluarkan oleh Dinas Tenaga Kerja
ka

dan Transmigrasi Kabupaten Karawang Nomor 567/10171/XII/2015/HI-S,


ep

tertanggal 31 Desember 2015 adalah cacat secara prosedur dan premature,


ah

karena Mediasi dilakukan di Kementerian Tenaga Kerja, Direktorat Jenderal


R

Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja dengan


s
Hasil Risalah Perselisihan Hubungan Industrial atas Anjuran Mediator
M

ne
ng

Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan Nomor B.338/PHIJSK-

Halaman 13 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
PPHI/XII/2015, tertanggal 11 Desember 2015;

si
6. Bahwa dengan demikian syarat formal dalam mengajukan gugatan tidak
terpenuhi, dan dengan demikian gugatan tidak dapat diterima (Niet

ne
ng
ontvankelijk verklaard);
Dalam Pokok Perkara
7. Bahwa Majelis Hakim menilai, surat yang dikirim oleh Para Pemohon

do
gu Kasasi/semula Para Tergugat tertanggal 4 April 2014 kepada BPK R.I. dan
surat tertanggal 2 Mei 2014 kepada Kepala Divisi Produksi Uang Bpk.

In
A
Ashari merupakan menyebarkan isu negatif dan menyebabkan suasana
kerja tidak menjadi kondusif dan menimbulkan keresahan sebagaimana
ah

lik
yang terdapat di dalam Pasal 108 ayat 45 Perjanjian Kerja Bersama antara
SP Peruri Bersatu, SP Perum Peruri dan Perum Peruri tahun 2014-2015;
8. Bahwa Para Pemohon Kasasi/semula Para Tergugat sebelum bersurat ke
m

ub
Kepala Divisi Produksi Uang Bpk. Ashari tanggal 2 Mei 2014, bahwa Para
Tergugat telah bersurat ke Kepala Divisi Produksi Uang Bpk. Ashari
ka

ep
tertanggal 26 Maret 2014, dengan surat SP-Peruri Nomor 030/Sp-
Peruri/III/2014, perihal mesin Komori, tertanggal 26 Maret 2014 yang
ah

ditandatangani oleh Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat, namun tidak ada


R

si
tanggapan;
9. Bahwa kemudian pada tanggal 4 April 2014, Para Pemohon Kasasi/Para

ne
ng

Tergugat berkirim surat kepada BPK R.I. selaku lembaga yang diberi
kewenangan untuk melakukan audit terhadap BUMN dengan Surat SP

do
gu

Peruri Nomor 031/Sp-peruri/IV/2014 tertanggal 4 April 2014 yang ditanda


tangani oleh Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat;
10. Bahwa di dalam pertimbangannya Majelis Hakim menilai bahwa sepatutnya
In
A

Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat seharus menyelesaikan


permasalahan mesin komori di dalam internal Perum Peruri dahulu dan
ah

lik

tidak bersurat ke BPK R.I.;


11. Bahwa Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat telah bersurat kepada Kepala
m

ub

Divisi Produksi Uang tertanggal 26 Maret 2016 namun tidak ada tanggapan,
berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
ka

Pemeriksa Keuangan yang menjelaskan tugas dan wewenang BPK yaitu:


ep

(1) BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan


ah

Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,


R

Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,


s
Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
M

ne
ng

badan lain yang mengelola Keuangan Negara;

Halaman 14 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
(2) Pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

si
dilakukan berdasarkan Undang-Undang tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;

ne
ng
12. Bahwa dengan demikian BPK R.I. adalah lembaga yang berwenang untuk
melakukan audit pada Badan Usaha Milik Negara termasuk Perum Peruri
dan tidak ada dasar hukum yang melarang Para Pemohon Kasasi/Para

do
gu Tergugat untuk bersurat ke BPK R.I.;
13. Bahwa Majelis Hakim mempertimbangkan (halaman 54 alinea ke satu), jika

In
A
Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat atau SP-Perum Peruri merasa Kadiv.
Produksi Uang Sdr. Ashari terlalu lama menjawab atau merespon surat
ah

lik
Para Tergugat tertanggal 26 Maret 2014 tersebut, sepatutnyalah Para
Terugat mengirim surat untuk kedua kalinya kepada Kadiv. Produksi Uang
Sdr. Ashari atau langsung kepada Direksi Perum Peruri;
m

ub
14. Bahwa Majelis Hakim telah keliru dalam pertimbangan tersebut diatas,
bahwa tidak ada alasan ataupun dasar hukum yang melarang Para
ka

ep
Pemohon Kasasi/Para Tergugat untuk bersurat ke BPK R.I. Bahwa sesuai
dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan
ah

Pemeriksa Keuangan, bahwa BPK R.I. berwenang untuk memeriksa dan


R

si
tanggung jawab pengelolaan Keuangan Negara termasuk di BUMN dan
Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat melaporkan permasalan ini pada

ne
ng

lembaga yang berwenang;


15. Bahwa di dalam pertimbangan Majelis Hakim (halaman 54 alinea ke dua),

do
gu

bahwa pengiriman surat ke BPK R.I. tertanggal 4 April 2014 dan ke Kadiv
Produksi Uang Sdr. Ashari tertanggal 2 Mei 2014 dengan tembusan ke
beberapa lembaga/instansi/organisasi adalah sesuai dengan hasil Rapat
In
A

Pleno SP Perum Peruri tertanggal 26 Maret 2014 dan amanat Pasal 11


huruf d Anggaran Dasar SP Perum Peruri, dan pengiriman surat tersebut
ah

lik

adalah tidak berlasan hukum dan oleh karena itu terbukti Para Pemohon
Kasasi/Para Tergugat menyebarkan isu negatif;
m

ub

16. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim diatas adalah keliru, bahwa tindakan
Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat adalah sesuai dengan
ka

kewenangannya masing-masing. Bahwa Kadiv. Produksi Uang Sdr. Ashari


ep

adalah pimpinan Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat dan bersurat ke


ah

Kadiv. Produksi Uang sudah sepatutnya dan layak, serta bersurat ke BPK
R

R.I., karena BPK R.I. berwenang untuk melakukan audit di BUMN serta
s
tindakan bersurat itu sesuai dengan hasil keputusan dari Notulensi Rapat
M

ne
ng

Pleno SP Perum Peruri 26 Maret 2016;

Halaman 15 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
17. Bahwa di dalam pertimbangan Majelis Hakim (halaman 52 alinea kedua)

si
adalah keliru. Bahwa sesuai dengan alat bukti tentang Hasil Notulensi Rapat
Pleno SP Perum Peruri dan sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan,

ne
ng
bahwa Rapat Pleno 26 Maret 2014 itu dibenarkan oleh Saksi Nuraedi, Astri
Asnuriyanti, Saksi Rudi Rajarjo dan Saksi M. Munif yang menyatakan
bersurat ke Kadiv. Produksi Uang dan BPK R.I. adalah hasil kesepakatan

do
gu dari Rapat Pleno 26 Maret 2014. Yang dihadiri oleh sebagian besar
pengurus SP Perum Peruri yang seluruh pengurus 45 orang;

In
A
18. Bahwa Rapat Pleno 26 Maret 2014 yang menurut pertimbangan Majelis
Hakim adalah dari daftar hadir dan Notulensi itu berbeda, adalah
ah

lik
pertimbangan yang sangat keliru. Bahwa Rapat Pleno itu dilakukan di
gedung SDM Perum Peruri di ruang Wahyu Wagono yang dihadiri sebagian
besar pengurus SP Perum Peruri;
m

ub
19. Bahwa sesuai dengan keterangan saksi-saksi dipersidangan bahwa panitia
telah mengirimkan undangan kepada seluruh pengurus yaitu 45 pengurus
ka

ep
namun yang hadir adalah sebagian besar pengurus, berdasarkan daftar
hadir berjumlah 24 orang. Dan keputusan Rapat Pleno tersebut telah sesuai
ah

dengan quorum yang terdapat dalam Anggaran Dasar SP Perum Peruri;


R

si
20. Bahwa pada Rapat Pleno 26 Maret 2016 dihadiri oleh 24 orang yang terdiri
dari pengurus, DPPO dan anggota, yang mana hasil kesepakatan Rapat

ne
ng

Pleno yaitu:
1. Bersurat ke manajemen tentang pengangkatan PKWT;

do
gu

2. Upah lembur sesuai dengan Undang-undang Ketenagakerjaan;


3. Pergantian Kasek Yankes;
4. Bubarkan Forumsa;
In
A

5. Kesehatan menggunakan system lama (non plafon);


6. Bersurat ke BPK-R.I., Kejaksaan Agung R.I., KPK dan bila perlu ke
ah

lik

Presiden R.I. tentang Investasi Mesin Komori;


21. Bahwa keputusan Rapat Pleno merupakan hasil kesepakatan para anggota
m

ub

yang hadir dalam rapat pleno dan sesuai dengan ketentuan AD/ART SP
Perum Peruri, yang terdapat dalam Pasal 30 AD/ART tentang quorum dan
ka

pengambilan keputusan yaitu:


ep

Musyawarah dan rapat sebagaimana yang dimaksud dalam Bab XII


ah

Anggaran Dasar ini adalah sah apabila dihadiri dari ½ (setengah) jumlah
R

peserta yang hadir dalam musyawarah atau rapat tersebut;


s
Serta diatur di Pasal 31 AD/ART yaitu:
M

ne
ng

1) Pengambilan keputusan pada dasarnya dilakukan secara musyawarah

Halaman 16 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
untuk mencapai mufakat, dan apabila tidak tercapai mufakat dalam

si
musyawarah maka keputusan diambil berdasarkan suara lebih dari ½
(setengah) jumlah peserta yang berhak hadir;

ne
ng
22. Bahwa Majelis Hakim keliru dalam pertimbangannya (halaman 52 alinea ke
tiga dan ke empat) yaitu bahwa Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat
merupakan pengurus dari SP Perum Peruri. Dan sesuai dengan struktur

do
gu organisasi SP Perum Peruri, Try Haryanto sebagai Ketua Umum, Idang
Mulyadi sebagai Sekretaris Umum dan Marion Kova sebagai Sekretaris DPPO;

In
A
23. Bahwa tindakan Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat bersurat ke Kadiv.
Produksi Uang Sdr. Ashari dan BPK R.I. adalah dalam menjalankan
ah

lik
kegiatan organisasi SP Perum Peruri. Dengan tembusan kepada Direksi
Perum Peruri, BPK R.I., Menteri BUMN, Federasi Sinergi BUMN, Ketua SP
Peruri Bersatu dan Ketua SP Bemper, yang kesemuanya adalah pihak yang
m

ub
terafiliasi dan stakeholder pada Perum Peruri dan tidak kepada pihak yang
tidak memiliki kepentingan;
ka

ep
24. Bahwa Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat dalam bersurat ke Kadiv.
Produksi Uang dan ke BPK R.I., berlandaskan dalam menjalankan kegiatan
ah

organisasi, hal ini terlihat dari logo dan stempel surat menggunakan logo SP
R

si
Perum Peruri, serta surat ke BPK R.I., perihalnya pun mengatasnamakan
Pengaduan SP Perum Peruri atas mesin Komori.

ne
ng

PHK kepada pekerja atas dugaan pelanggaran berat tidak dapat dilakukan oleh
perusahaan sebelum adanya putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai

do
gu

kekuatan hukum yang tetap


25. Bahwa Majelis Hakim keliru dan lalai karena tidak mempertimbangkan alat
bukti dari Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat (halaman 50 alinea ketiga)
In
A

T-1 sampai T-42 juncto halaman 44 hanya memuat T-1 sampai T-39, yang
mana T-40 Surat Panggilan Polda Metro Jaya Nomor S.Pgl/5059/III/Dit
ah

lik

Reskrimum terhadap Try Haryanto tertanggal 17 Maret 2016, T-41 Surat


Panggilan Polda Metro Jaya Nomor S.Pgl/5060/III/Dit Reskrimum terhadap
m

ub

Idang Mulyadi tertanggal 17 Maret 2016 dan T-42 Surat Panggilan Polda
Metro Jaya Nomor S.Pgl/5061/III/Dit Reskrimum terhadap Marion Kova
ka

tertanggal 17 Maret 2016. Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat telah


ep

dilaporkan oleh Kadiv. Produksi Uang Sdr. Ashari ke Polda Metro Jaya
ah

terkait dengan pencemaran nama baik atas surat yang dikirim Para
R

Pemohon Kasasi/Para Tergugat tertanggal 2 Mei 2014 dan surat 4 April


s
2014 kepada BPK R.I.;
M

ne
ng

26. Bahwa dalam menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (Presumption

Halaman 17 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
of Innocense), seharusnya Majelis Hakim menolak gugatan yang diajukan

si
oleh Termohon Kasasi/semula Penggugat;
27. Bahwa Majelis Hakim keliru dalam pertimbangannya (halaman 55 alinea

ne
ng
kedua dan ketiga), yang menyatakan bahwa rekomendasi LPSK tidak
mengikat, hanya (attention), maka tidak ada halangan bagi Pengadilan
untuk memeriksa dan memutus perkara a quo;

do
gu 28. Bahwa untuk menjunjung tinggi gerakan pemerintah dalam rangka
pemberantasan korupsi di Indonesia, seharusnya Majelis Hakim

In
A
mempertimbangkan rekomendasi dari LPSK tersebut. Bahwa Para
Pemohon Kasasi/Para Tergugat adalah whistle blower dugaan tindak
ah

lik
pidana korupsi pengadaan mesin cetak Intaglio Komori 2013-2014 di Perum
Peruri yang telah dilaporkan kepada Kejaksaan Agung dengan Nomor B-
387/F.2/Fd.1/02/2015;
m

ub
29. Bahwa adalah kewajiban setiap warga negara untuk melaporkan/membuat
pengaduan tentang suatu tindak pidana yang diketahui kepada pihak yang
ka

ep
berwajib, berdasarkan Pasal 1 Angka 24 KUHAP yaitu “laporan adalah
pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau
ah

kewajiban berdasarkan undang-undang, kepada pejabat yang berwenang


R

si
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”
serta Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang

ne
ng

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang


Perlindungan saksi dan korban, yaitu “Pelapor adalah orang yang

do
gu

memberikan laporan, informasi atau keterangan pada penegak hukum


mengenai tindak pidana yang akan, sedang atau telah terjadi”;
30. Bahwa di dalam pertimbangan Majelis Hakim (halaman 55 alinea keempat
In
A

dan kelima) karena menganggap surat Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat


kepada Kadiv. Produksi Uang Sdr. Ashari tertanggal 2 Mei 2014 dan Surat ke
ah

lik

BPK R.I. tertanggal 4 April 2014 adalah menyebarkan isu negatif dan
melanggar Pasal 108 ayat (45) PKB serta berdasarkan Pasal 109 ayat (1) a
m

ub

butir 3 huruf j juncto Pasal 109 ayat (3) huruf c PKB, adalah beralasan hukum
Majelis Hakim menyatakan putus hubungan kerja Termohon
ka

Kasasi/Penggugat dengan Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat, karena


ep

Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat telah melakukan pelanggaran berat;


ah

31. Bahwa sangat keliru Majelis Hakim menganggap surat yang dilayangkan
R

oleh Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat tersebut diatas adalah


s
menyebarkan isu negatif dan telah melakukan pelanggaran berat. Bahwa
M

ne
ng

Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat bersurat kepada Kadiv. Produksi

Halaman 18 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
Uang Bpk Ashari adalah selaku pimpinan dari Para Pemohon Kasasi/Para

si
Tergugat serta surat ke BPK R.I. adalah sesuai dengan kewenangan BPK
R.I. untuk melakukan audit di BUMN, serta Para Pemohon Kasasi/Para

ne
ng
Tergugat bersurat tersebut dalam rangka menjalankan kegiatan organisasi
SP Perum Peruri;
32. Bahwa Negara menjamin hak setiap warga negara, hal ini di atur dalam

do
gu Konstitusi Pasal 28 E UUD 1945 yaitu:
(3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

In
A
mengeluarkan pendapat”.
Serta Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
ah

lik
Pekerja/Serikat Buruh khususnya Pasal 29 ayat (1) yaitu
“Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau
anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat
m

ub
pekerja/serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah
pihak dan/atau yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama”
ka

ep
33. Bahwa Majelis Hakim telah keliru memutuskan perbuatan Para Pemohon
Kasasi/Para Tergugat telah melakukan pelanggaran berat dan mengabaikan
ah

asas praduga tidak bersalah (presumption of innocense), karena jelas di


R

si
muka persidangan saksi Rudi Raharjo dan M. Munif menjelaskan ketika
Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat ataupun SP Perum Peruri ketika

ne
ng

bersurat ke Kadiv. Produksi Uang Sdr Ashari dan BPK R.I. tidak pernah
melampirkan laporan harian mesin Komori sebagaimana yang didalilkan

do
gu

oleh Termohon Kasasi/Penggugat terdapat dalam P-40 yang didalilkan


sebagai isu negatif;
34. Bahwa dalam fakta persidangan saksi Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat
In
A

Nuraedi, Astri Asnuriyanti, dan Rudi Raharjo menjelaskan situasi kondisi di


Perum Peruri tetap kondusif, target order tercapai. Saksi Rudi menjelaskan
ah

lik

bahwa target tercapai lebih awal dari jadi jadwal yang ditentukan, pada
bulan November 2015 target sudah terpenuhi. Berbeda pada tahun 2014,
m

ub

target tidak tercapai karena banyaknya kerusakan hasil produksi, jika tahun
2015 target tercapai karena ada pembelian mesin baru yaitu KBA;
ka

Hal ini pun diperkuat oleh saksi dari Termohon kasasi/Penggugat Adi Putra
ep

Jaya dan Sulaiman, bahwa target order tercapai, situasi kondisi di


ah

perusahaan tetap kondusif, targer produksi tercapai;


R

35. Bahwa terkait dengan dalil Termohon Kasasi/Penggugat yang menyatakan


s
akibat surat Para Pemohon Kasasi/Tergugat (SP Perum Peruri) ke BPK
M

ne
ng

atau ke Kepala Divisi Uang kertas yang didalilkan menyebarkan isu negatif

Halaman 19 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
yang menyebabkan kerugian pada perusahan. Bahwa berdasarkan

si
keterangan seluruh saksi, saksi Adi Putra Jaya, saksi Sulaiman, saksi
Nuraedi, saksi Astri Asnuriyanti, dan saksi Rudi Raharjo, perusahaan tidak

ne
ng
mengalami kerugian yang nyata sebagaimana yang didalilkan oleh
Termohon Kasasi/Penggugat. Bahwa target produksi tercapai, situasi
kondisi di Perum Peruri tetap kondusif, Perum Peruri tetap berproduksi;

do
gu 36. Bahwa dalam fakta persidangan saksi Nuraedi, saksi Astri Asnuriyanti, saksi
Rudi Raharjo menjelaskan bahwa Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat

In
A
berkelakuan baik dalam bekerja, baik hal ini dapat dilihat dari penghargaan
masa kerja Para Pemohon Kasasi/Tergugat. Para Pemohon Kasasi/Para
ah

lik
Tergugat sebelumnya belum pernah mendapatkan sanksi atau teguran
karena kesalahan dalam bekerja. Namun akibat berkirim surat ke Kepala
Divisi Uang Bpk Ashari 2 Mei 2014 dan bersurat ke BPK tanggal 4 April
m

ub
2014, Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat mendapatkan sanksi skorsing
dan menuju PHK di Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan
ka

ep
Negeri Bandung;
37. Bahwa berdasarkan Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun
ah

2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan yaitu “Pengusaha, pekerja/


R

si
buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah, dengan segala upaya
harus mengusahakan agar jangan terjadi Pemutusan Hubungan Kerja”;

ne
ng

Serta Penjelasan Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan, yaitu “Yang dimaksud dengan

do
gu

segala upaya dalam ayat ini adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang
pada akhirnya dapat menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja,
antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode
In
A

kerja dan memberikan pembinaan kepada pekerja/buruh;


38. Bahwa tidaklah tepat Termohon Kasasi/Penggugat langsung melakukan
ah

lik

PHK tanpa dilakukan pembinaan, hal ini bertentangan dengan Pasal 151
ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
m

ub

39. Bahwa Majelis Hakim telah keliru untuk menyatakan putusnya hubungan
kerja karena Para Pemohon/Para Tergugat telah melakukan pelanggaran
ka

berat berupa menyebarkan isu negatif sebelum adanya putusan pidana


ep

yang menyatakan bahwa Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat telah


ah

bersalah melakukan tindak pidana menyebarkan isu negatif, serta


R

mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU/2003 yang telah


s
menyatakan Pasal 158, 159, dst. tentang pelanggaran/kesalahan berat yang
M

ne
ng

bertentangan dengan UUD 1945;

Halaman 20 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
40. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi

si
Republik Indonesia Nomor SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tentang putusan
Mahkamah Konstitusi Atas Uji Materiil Undang-Undang Nomor 13 Tahun

ne
ng
2003 Tentang Ketenagakerjaan pada intinya menyatakan:
“Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh
melakukan kesalahan berat (teks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat

do
gu dilakukan setelah ada putusan Hakim Pidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap”;

In
A
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Karawang tidak berwenang mengeluarkan
Anjuran dan risalah karena proses Mediasi telah dilakukan di Kementerian
ah

lik
Tenagakerja Republik Indonesia;
41. Bahwa Majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Bandung telah lalai
dalam memutus perkara ini, karena tidak mengacu pada Tripartit di
m

ub
Kementerian Tenaga Kerja, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Dan Hasil Risalah Perselisihan
ka

ep
Hubungan Industrial atas Anjuran Mediator Hubungan Industrial Kementrian
Ketenagakerjaan Nomor B.338/PHIJSK-PPHI/XII/2015, tertanggal 11
ah

Desember 2015;
R

si
42. Bahwa Termohon Kasasi/Penggugat pernah mengajukan proses Mediasi di
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Karawang. Kemudian

ne
ng

pada tanggal 11 Mei 2015 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Karawang berdasarkan surat Nomor 568/2653/HI-S mengembalikan berkas

do
gu

permohonan pencatatan Perselisihan Hubungan Industrial, karena


berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan
In
A

Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi,


yang berwenang melakukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
ah

lik

yang terjadi pada lebih dari 1 (satu) wilayah Provinsi dilakukan oleh
Mediator yang berkedudukan di Kementerian, (vide bukti T-25);
m

ub

43. Bahwa berdasarkan keterangan saksi dari Para Pemohon Kasasi/Para


Tergugat Rudi Raharjo dan M Munif dimuka persidangan membenarkan,
ka

upaya Mediasi di Dinas Tenaga Kerja Karawang akibat dari pengiriman


ep

Surat ke BPK dari SP Peruri Nomor 031/Sp-peruri/IV/2014, tertanggal 04


ah

April 2014 yang ditandatangani oleh Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat


R

tersebut, Termohon Kasasi/Penggugat beranggapan pengiriman surat


s
bukan atas nama Serikat Pekerja Perum Peruri, namun atas nama individu
M

ne
ng

Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat;

Halaman 21 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
44. Bahwa berdasarkan keterangan saksi M Munif, Rudi Raharjo, Astri

si
Asnuriyanti, Nuraedi, Para Tergugat bekerja di Perum Peruri Kabupaten
Karawang, Jawa Barat dan M. Munif selaku Ketua Dewan Pembina SP

ne
ng
Perum Peruri bekerja di Perum Peruri Jakarta Selatan, DKI Jakarta;
45. Bahwa terang dan jelas apa yang disampaikan saksi dibawah sumpah di
muka persidangan, karena regional penyelesaiannya melibatkan dua

do
gu Provinsi yaitu DKI Jakarta dan Jawa Barat, maka yang berwenang
berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan

In
A
Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial serta Tata Kerja Mediasi,
ah

lik
yang berwenang adalah Kementerian Tenagakerja Republik Indonesia;
46. Bahwa selanjutnya saksi M Munif menjelaskan di muka persidangan,
Kementerian Tenaga Kerja Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan
m

ub
Industrial Dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja telah mengeluarkan hasil
risalah perselisihan hubungan industrial atas Anjuran Mediator Hubungan
ka

ep
Industrial Kementrian Ketenagakerjaan dan menyatakan agar pihak
pengusaha Perum Peruri untuk memperkerjakan kembali Para Pemohon
ah

Kasasi/Para Tergugat pada posisinya semula, (vide bukti T-28);


R

si
47. Bahwa berdasarkan keterangan saksi Rudi Raharjo dan M Munif tersebut
diatas, maka seharusnya Anjuran yang disampaikan Termohon

ne
ng

Kasasi/Penggugat dalam gugatan tidak berdasar, karena Dinas Tenaga


Kerja Kabupaten Karawang tidak berwenang mengeluarkan Anjuran Nomor

do
gu

567/7873/HI-S, tertanggal 29 September 2015, karena proses Mediasi ini


dalam perkara a quo telah diproses pada Kementerian Ketenagakerjaan
Republik Indonesia
In
A

Menimbang, bahwa terhadap keberatan-keberatan tersebut Mahkamah


Agung berpendapat:
ah

lik

Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah


meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 25 April 2016 dan kontra
m

ub

memori kasasi tanggal 20 Mei 2016, dihubungkan dengan pertimbangan Judex


Facti Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Bandung tidak
ka

salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:


ep

Bahwa Para Pemohon Kasasi terbukti melakukan pelanggaran terhadap


ah

Pasal 108 ayat (45) Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yaitu menyebarkan isu
R

negatif tentang pelaksanaan SAT dan FAT, maka sesuai ketentuan Pasal 109
s
ayat (1) d butir j juncto Pasal 109 ayat (3) huruf c, maka beralasan untuk
M

ne
ng

melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Para Pemohon Kasasi dan

Halaman 22 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
mewajibkan kepada Termohon Kasasi untuk membayar Uang Pesangon 1

si
(satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), Uang Penghargaan Masa Kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan

ne
ng
Pasal 156 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan;
Bahwa sesuai Pasal 124 ayat (2) Perjanjian Kerja Bersama hanya

do
gu mengatur pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja karena pelanggaran
berat tetap diberikan kompensasi, maka Para Pemohon Kasasi yang di PHK

In
A
karena pelanggaran berat, maka berdasarkan keadilan sesuai ketentuan Pasal
100 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dengan masa kerja Pemohon Kasasi I
ah

lik
selama 31 (tiga puluh satu) tahun dan 6 (enam) bulan, masa kerja Pemohon
Kasasi II selama 25 (dua puluh lima) tahun dan 10 (sepuluh) bulan, serta
Pemohon Kasasi III selama 25 (dua puluh lima) tahun dan 2 (dua) bulan;
m

ub
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata
bahwa putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
ka

ep
Bandung dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-
undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Para Pemohon
ah

Kasasi Tri Haryanto dan kawan-kawan tersebut harus ditolak;


R

si
Menimbang, bahwa oleh karena nilai gugatan dalam perkara ini
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) keatas, sebagaimana

ne
ng

ditentukan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004, maka biaya


perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Para Pemohon Kasasi;

do
gu

Memperhatikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang


Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
In
A

tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985


tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
ah

lik

Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang


Nomor 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang
m

ub

bersangkutan;
MENGADILI
ka

1. Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi: 1. TRI


ep

HARYANTO, 2. IDANG MULYADI, 3. MARION KOVA, tersebut;


ah

2. Menghukum Para Pemohon Kasasi/Para Tergugat untuk membayar biaya


R

perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu
s
rupiah);
M

ne
ng

Demikianlah diputuskan dalam rapat musyawarah Majelis Hakim

Halaman 23 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23
am

ub
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

ep
putusan.mahkamahagung.go.id
hk

a
pada Mahkamah Agung pada hari Rabu tanggal 3 Agustus 2016 oleh Dr. H.

si
Zahrul Rabain, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung sebagai Ketua Majelis, H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H., dan H.

ne
ng
Buyung Marizal, S.H., M.H., Hakim-Hakim Ad Hoc PHI, masing-masing sebagai
Anggota, putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada
hari itu juga oleh Ketua Majelis dengan dihadiri oleh Para Hakim Anggota

do
gu tersebut dan oleh Susi Saptati, S.H., M.H., Panitera Pengganti tanpa dihadiri
oleh para pihak.

In
A
Hakim-Hakim Anggota, Ketua Majelis,
ah

lik
Ttd/.H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H. Ttd/.Dr. H. Zahrul Rabain, S.H., M.H.
m

ub
Ttd/.H. Buyung Marizal, S.H., M.H.,
ka

ep
Panitera Pengganti,
ah

Ttd/.Susi Saptati, S.H., M.H.


R

si
Biaya Kasasi:

ne
ng

1. M e t e r a i …..………… Rp 6.000,00
2. R e d a k s i ..………….. Rp 5.000,00
3. Administrasi Kasasi…… Rp489.000,00 +

do
Jumlah .………………….. Rp500.000,00
gu

Untuk Salinan
In
A

Mahkamah Agung RI
an panitera
Panitera Muda Perdata Khusus
ah

lik
m

ub
ka

ep

RAHMI MULYATI,S.H.,M.H.,
NIP. 19591207 198512 2 002
ah

s
M

ne
ng

Halaman 24 dari 24 hal. Put. Nomor 536 K/Pdt.Sus-PHI/2016


do
gu

In
A

Disclaimer
Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. N
h

Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :
ik

Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.id
Telp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24

Anda mungkin juga menyukai