Dosen Pembimbing:
Khainuddin, S.Pd.I., M.Ag
E-mail: khainuddin@iainkediri.ac.id
Penulis :
ABSTRAK
Identifikasi dan penghindaran hadis maudhu' memiliki peran dalam pembentukan hukum
Islam. Hadis maudhu' merujuk kepada hadis palsu atau terdistorsi yang disusun dengan maksud
tertentu untuk mempengaruhi keyakinan atau praktik keagamaan. Penelitian ini membahas
metode-metode kritis dalam menilai keabsahan hadis, mengutamakan kriteria sanad (rantai
perawi) dan matan (teks) hadis. Identifikasi dini hadis maudhu' menjadi prasyarat esensial untuk
menjaga integritas ajaran Islam dan mencegah penyebaran informasi yang salah. Penghindaran
hadis maudhu' juga membahas upaya preventif dan kuratif, termasuk peran otoritas keagamaan,
ulama, dan masyarakat dalam mendeteksi serta menyebarkan pemahaman yang benar.
Keterlibatan teknologi modern dalam verifikasi hadis juga menjadi fokus, dengan penggunaan
sumber daya digital untuk memvalidasi keabsahan hadis. Penelitian ini memberikan kontribusi
penting terhadap literatur keislaman dengan menyoroti urgensi perlindungan terhadap ajaran Islam
dari manipulasi informasi. Melalui identifikasi dini dan upaya penghindaran hadis maudhu',
pembentukan hukum Islam dapat lebih akurat dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama,
menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan dan beretika. Kehadiran hadis maudhu' dapat
mengakibatkan pemahaman agama yang salah dan dapat mempengaruhi perumusan hukum Islam
yang sahih. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya proses
identifikasi dan upaya penghindaran hadis maudhu' dalam konteks pembentukan hukum Islam.
Studi ini dilakukan dalam bentuk penelitian kepustakaan (library research) dengan metode
penelitian kuantitatif kausalitas. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan didapatkan
kesimpulan bahwa hadis maudhu’ adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari
Rasulullah, tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Penggunakam kata
“hadist” bukan sebagai hadis yang biasa kita dengar tetapi sebagai alasan seseorang untuk
bohong supaya mengikutinya yang kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Ungkapan hadis disini adalah pemalsu hadis bermaksud membuat suatu ajakan agar orang
mengikutinya dalam kehendaknya. Hadis ini adalah kategori hadis yang paling rendah
atau buruk kualitasnya karena hadis ini tidak ada kebenarannya atau haram, hadis ini juga
tidak boleh atau bahkan haram diriwayatkan siapapun kecuali menjelaskan tentang
kepalsuan hadisnya. Dan juga hadis ini tidak boleh dijadikan sumber atau hukum karena
kebohongan dan kepalsuannya.
PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber hukum ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an, keberadaan
hadis telah mewarnai kehidupan masyarakat Islam dan menjadi kajian yang menarik untuk
dibahas. Para ulama dan peneliti hadis telah berhasil mendokumentasikan hadis baik pada
kalangan akademisi ataupun masayarakat yang pada akhirnya membuka peluang untuk
mewujudkan sebuah disiplin ilmu, yaitu ulumul hadis. Ulumul Hadis adalah istilah ilmu di
dalam tradisi ulama hadis, pada dasarnya ulumul hadis lahi sejak dimulainya periwayatan
hadis di dalam Islam, ketika Rasululllah SAW. Wafat, dan pada saat umat Islam
merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW. dikarenakan adanya
kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang. Para sahabat mulai giat melakukan
pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah memulai mempergunakan kaidah-kaidah
dan metodemetode tertentu dalam menerima hadis, akan tetapi mereka belumlah
menuliskan kaidah-kaidah tersebut.1
Ilmu hadis pada awalnya merupakan beberapa disiplin ilmu yang berdiri masing-
masing, yang membahas tentang hadis Nabi SAW. dan para perawinya. Seperti ilmu al-
mursal, ilmu al-asma wa al-kuna ilmu hadis al-shahih dan lainnya. Penulisan ilmu-ilmu
hadis tersebut dilakukan oleh ulama abad ketiga hijriah khususnya. Ilmu-ilmu yang yang
terpisah secara parsial disebut dengan ulumul hadis, karena didalamnya masing-masing
membahas tentang hadis dan perawinya. Pada masa selanjutnya ilmu yang terpisah
tersebut digabung menjadi satu dan dipandang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap
1
Nawir Yuselem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001),
digunakan nama ulumul hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan.
Hadits sebagai sumber hukum Islam setelah Al Qur’an telah disepakati oleh ulama
tokoh-tokoh ummat Islam. Setiap gerak dan aktivitas ummat, harus dilakukan berdasarkan
petunjuk yang ada dalam al Qu’an dan dan hadits. Begitu pula jika ada permasalahan yang
yang muncul di tengah tengah masyarakat, tentu haruslah diselesaikan dan dicarikan jalan
keluarnya. Cara penyelesaian dan jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpedoman
kepada Al Qur’an dan Hadits.
Namun sangat disayangkan keberadaan hadis yang benar-benar berasal dari
Rasulullah saw, dinodai oleh munculnya hadis-hadis maudhu (palsu) yang sengaja dibuat-
buat oleh orang-orang tertentu dengan tujuan dan motif yang beragam, dan disebarkan
ditengah-tengah masyarakat oleh sebagian orang dengan tujuan yang beragam pula.
Meyakini dan mengamalkan hadis maudhu merupakan kekeliruan yang besar,
karena meskipun ada hadis maudlu yang isinya baik, tetapi kebanyakan hadis palsu itu
bertentangan dengan jiwa dan semangat Islam, lagi pula pembuatan hadis maudlu
merupakan perbuatan dusta kepada Nabi Muhammad saw.2
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif kausalitas yaitu dengan cara
penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur kepustakaan, baik berupa buku, catatan, maupun laporan
hasil penelitian terdahulu. Metode penelitian ini mengumpulkan sumber literatur dari berbagai
sumber, seperti buku, jurnal ilmiah, artikel online, dan publikasi terkait. Sumber-sumber ini
mencakup teori-teori, penelitian terkini, dan pandangan ahli tentang hadis maudhu’ dan Identifikasi
hadis maudhu' memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah perawi, konteks sejarah,
serta kriteria keaslian hadis. Kemudian, langkah-langkah pencegahan harus diterapkan untuk
meminimalkan risiko pengaruh hadis maudhu' dalam pembentukan hukum Islam.
ما ُنِس َب إَلى الَّرُسوِل َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْخ ِتاَل ًفا َو ِكذًبا ِمَّم ا َلْم َيُقْلُه َأْو َيْفَع ُلُه َأْو ُيقرُه
Sesuatu yang disandarkan kepada Rasul secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak
dikatakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak disetujuinya.
2
Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni (2016), h.24
Sebagian ulama mengartikannya:
ُهَو اْلُم ْخ َتَلُق اْلَم ْص ُنوُع الَم ْكُذ وُب َع َلى َرُسْو ِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم
Hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan seseorang pada Rasulullah3
ُهَو َم ا ُنِسَب ِإَلى َر ُسْو ِل هّللا َص َّلى هّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم إْخ ِتَالًقا َو ِكْذ ًبا ِمَّم ا َلْم َيُقْلُه َأْو َيْفَع ْلُه َأْو ُيَقَّر ُه
“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta,
padahal beliau tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan4
Sedangkan secara istilah, pengertian hadis maudhu’ adalah “Sesuatu yang disandarkan pada
Rasulullah Saw. dengan membuat-buat dan berbohong padahal-belum pernah disabdakan,
dilakukan, dan ditetapkan Rasulullah Saw.” hadis maudhu’ adalah bukan hadis yang bersumber
dari rasul atau dengan kata lain bukan hadis rasul, akan tetapi suatu perkataan atau
perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan sutau alasan kemudian dinisbatkan
kepada rasul.5
Jadi, hadis mawdhu' adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari Rasulullah, tetapi
dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang
tidak memasukkannya sebagai bagian dari hadis dha'if karena ia bukan hadis dalam arti yang
sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadis, tetapi palsu
dan bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadis.
3
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012) Hlm, 225
4
.Drs.M.Agus Solahudin,M Ag ,Agus Suyadi,Lc.M.Ag Hlm 171
5
Zuman Malaka, “Sekilas Tentang Hadis Maudu”, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021), 132–40
6
Muhammad Saw, ‘DIRAYAH : Jurnal Ilmu Hadis ’عضو عيضي اقس الا كترال ط.
Namun, saat terjadi permasalahan antara khalifah Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi
Sufyan, dampaknya sangat signifikan terhadap pecahnya umat Islam dan munculnya berbagai
aliran keagamaan dan politik. Setiap kelompok berusaha melegitimasi pendapatnya dengan
merujuk kepada al-Qur'an dan al-Sunnah. Sejak saat itu, hadis-hadis tentang keutamaan khalifah
muncul, bersamaan dengan hadis-hadis yang dengan tegas mendukung kelompok politik dan
aliran keagamaan tertentu.
Pemalsuan hadis pada periode tabiin dikatakan lebih terbatas dibandingkan dengan masa-masa
selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh praktik para sahabat dan tabiin yang menerapkan amalan
hadis dengan memberikan penjelasan terkait kualitas hadis, sehingga dapat dibedakan antara
hadis yang sahih dan dha'if. Di samping itu, pada masa ini, pemalsuan hadis belum begitu marak
karena masih berada dalam jangka waktu yang sangat dekat dengan masa kehidupan Nabi.
Penting juga untuk mencatat bahwa pengaruh langsung dari arahan Nabi masih sangat kuat
pada masa tabiin, yang merupakan bentuk perlindungan terhadap pesan-pesan agama yang
mencakup nilai-nilai seperti taqwa, wara', dan khasyyah. Semua ini bersama-sama berkontribusi
untuk mengurangi penyebaran dan meredam kemunculan kedustaan, terlebih lagi karena faktor-
faktor dan sebab-sebab yang mendorong praktik pemalsuan hadis masih terbatas pada periode ini.
7
Lajnah Ilmiah, Pengantar Ilmu Hadis, 142.
berupaya memenangkan dukungan dan mengalahkan lawan mereka. Awalnya, tujuan
mereka hanya menciptakan pemalsuan hadis untuk mendukung pandangan kelompok
mereka sendiri8. Namun, seiring berjalannya waktu, dorongan untuk memalsukan hadis juga
muncul sebagai bentuk penentangan terhadap lawan mereka. Kelompok lain juga melakukan
tindakan serupa untuk menyaingi dan melawan kelompok lainnya. berdampak pada
munculnya hadis-hadis maudhu’ untuk mendukung faksi masing-masing golongan9
2. Siasat Musuh-musuh islam
Musuh Islam yang terlibat dalam pemalsuan hadis dikenal dengan kaum Zindik. Mereka
senantiasa berusaha merusak akidah Islam, mengaburkan nilai-nilai kebaikan, dan memecah
belah umat Islam dengan berbagai cara, misalnya menyamar sebagai kelompok Syi’ah,
zuhud, tasawuf atau filsafat dan ahli hikmah. Oleh karena itu, mereka berupaya mengalihkan
masyarakat dari keyakinan dan menggambarkan Islam dengan ajaran yang keliru, termasuk
dalam hal keyakinan, praktik ibadah, dan pemikiran.
3. Primordialisme dan Chauvinisme
Diskriminasi yang yang dialami non Arab (‘Ajami) pada pemerintahan Bani Umayyah,
bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam persoalan jabatan bahkan dalam
pembagian harta baik dari harta rampasan perang maupun hadiah-hadiah antara orang Arab
dan non Arab tidak sama.
Dalam menghadapi situasi demikian, maka orang-orang non Arab yang mayoritas
bangsa Persia berusaha mening-katkan prestise bangsanya dengan jalan membuat hadis
maudhu’
4. Fanatisme mazhab fikhi dan kalam
Hadis maudhu’ juga tercipta dari para pengikut mazhab, baik dalam bidang fikhi atau
ilmu kalam. Mareka menciptakan hadis-hadis maudhu’ dalam upaya mendu-kung dan
menguatkan pendapat, hasil ijtihad dan pendirian imam mereka.
5. Kultus Individu
Sikap fanatic terhadap golongan, politik, atau mazhab menyebabkan sebagian
pengikut mereka mengkultuskan pemimpin-nya. Perpecahan dan perbedaan ini telah
memberikan dampak besar terhadap munculnya hadis-hadis maudhu'. Hal ini menyebabkan
beberapa kelompok merasa perlu menciptakan narasi yang dapat menunjukkan superioritas
dan kekuatan kelompok serta pemimpin mereka. Hasil dari upaya ini adalah kemunculan
hadis-hadis maudhu' yang menyajikan klaim kelebihan tentang kelompok tertentu. Selain itu,
perpindahan pusat pemerintahan Islam dari satu tempat ke tempat lain juga memiliki
pengaruh yang signifikan, mendorong beberapa kelompok fanatik untuk memalsukan hadis
terkait tempat atau pemimpin mereka.
6. Pembuatan Cerita
Para ahli cerita (al-qashas) mulai marak pada akhir masa Pemerintahan Harun al-
8
Lajnah Ilmiah, Pengantar Ilmu Hadis, 144
9
H Mukhlis Mukhtar, Hadis Maudhu, And Dan Permasalahannya, "Hadis Maudhu' Dan Permasalahannya"
Dosen Uin Alauddin Dpk Pada Stai Ddi Maros’, 1996.
Rasyid dan semakin menjamur pada masa-masasesudahnya. Untuk menarik simpati orang
banyak atau agar para pendengarnya kagum terhadap kisah cerita yang disampaikan, atau
untuk mendapatkan imbalan materi, maka mereka tidak segan-segan menyatakan bahwa
cerita itu berasal dari sabda Nabi, demi untuk menguatkan kandungan kisah atau cerita yang
cenderung bersifat berlebihan atau tidak masuk akal.
7. Menjilat Penguasa
Ada juga yang membuat hadis palsu dengan tujuan agar diberi hadiah atau simpatik
dari pimpinan, seperti ghiyas bin ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis sebagai
pemalsu hadis tentang perlombaan.
8. Keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama
Hadis yang dibuat oleh sebagian orang saleh yang ilmu pengetahuan agamanya
dangkal, dengan maksud memotivasi manusia untuk melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar.10
Dari beberapa motif membuat hadis palsu diatas, kiranya dapat dikelompokkan
menjadi empat yakni :
a) Dengan kesengajaan merusak agama.
b) Tidak sengaja merusak agama.11
c) Dengan keyakinan bahwa membuat hadis palsu diperbolehkan.
d) Dirinya tidak tahu jika dirinya membuat hadis palsu.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini,
adalah:
1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’tentang
hukum halal-haram, ia membuat hadis untuk menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin
Sulaiman, Walikota Bashrah.
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh Abu Ja’far Al-Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin
Abdillah.
10
Mukhlis Mukhtar, Maudhu, And Permasalahannya.
11
Jurnal Keislaman, "Ciri Ciri Hadist Maudhu", 3.1, 25–33.
1. pengakuan dari pembuat hadis maudu’ Maisaroh ibnu Abi Rabbih Al Farisi mengaku
bahwa ia telah membuat hadis maudu’ tentang keutamaan –keutamaan Al quran, beliau
juga mengaku telah memaudhu’kan 70 hadis tentang keutamaan Ali ra.
2. Kenyataan sejarah bahwa perowi itu tidak bertemu / tidak sezaman dengan orang yang
dikatakn gurunya. Misalnya, ma’mun ibnu ahmad al harawi mengaku mendengar hadis
dari hisyam ibnu hammer al hafid ibnu hibban menanyakan, “kapan kamu (ma’mun)
dating ke negeri syam”, ma’mun menjawab tahun 250 H. ibnu hibban mengatakan
bahwa hisyam ibnu ammar itu meninggal pada tahun 245 H. ma’mun menjawab lagi,
“itu hisyam ibnu amaar yang lain.”
3. Keadaan perowi itu sendiri terkenal dengan kedustaannya
B. Ciri-ciri yang terdapat pada matan
1. berlawanan dengan pendapat akal
2. berlawanan dengan Al quran
3. berlawanan dengan sunnah atau hadis mutawatir
4. berlawanan dengan ijma12
Inalloha yuhibbu an yaro ‘abdahu ta’iban fi tholabil halal “Sesungguhnya Allah suka
melihat hamba-Nya yang lelah dalam mencari rezeki yang halal.”
Berikut ini contoh dari hadits palsu yang membahas tentang perselisihan umat, yaitu:
12
Zuman Malaka, “Sekilas Tentang Hadis Maudu”, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021), 132–40
Hadits ini tidak ada sumbernya. Imam As-Subki mengatakan, “Hadits tersebut tidak
dikenal di kalangan para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang
shahih, dha’if ataupun maudhu’
Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, “Ini bukan
hadits.” [ Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no. 57. hal 68-69 ]
Hadist yang menjelaskan keutamaan mengenal diri sendiri ini, ternyata tidak jelas
sumbernya. Berikut adalah hadistnya:
Hadits ini tidak ada sumbernya menurut Imam Nawawi. Ibnu Taimiyah menyatakan
ini hadits maudhu’.
Artinya: “Kita telah pulang dari jihad ashghor (yang paling kecil) menuju kepada
jihad akbar (yang paling besar).”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “ini adalah ucapan Ibrahim bin ‘Ablah
(seorang Tabi’in) dan bukan hadits.” Tidak seorang pun yang memiliki pengetahuan
(ma’rifah) memandangnya sebagai sabda Nabi SAW dan perbuatannya.
Hadits tentang tafakkur ini merupakan salah satu contoh hadits maudhu.
Berikut haditsnya:
Hadits ini maudhu’. Diriwayatkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab al-Maudhu’at
dengan sanad dari Utsman bin Abdullah al-Qurasyi dari ishaq bin Najih al-Multhi,
dari atha’ Al-Khurasani dari Abu Hurairah. Ibnul Jauzi berkata, “Utsman dan
gurunya adalah pendusta.”
1) Al-Maudhu’ al-Kubra, karya Ibn al-Jauzi (Ulama yang paling awal menulis ilmu
ini).
2) Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-hadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuti (Ringkasan
Ibnu al-Jauzi dengan beberapa tambahan).
3) Tanzihu Asy-Syariah al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah alMaudhu’ah,
karya Ibnu ‘Iraq al-Kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
4) Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya al-Albani.13
13
Ilham Tanzilulloh, ‘Delegitimasi Hukum Islam : “Studi Terhadap Hadith Maudhu”, Al-Syakhsiyyah: Journal
Of Law & Family Studies, 1.2 (2019), 229–41
14
Zuman Malaka, ‘Sekilas Tentang Hadis Maudu’’, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021), 132–40.
adalah haram (ijmaq), Hal ini berkaitan dengan permasalahan seperti hukum syariah, narasi,
Targhib dan Talhib. Mereka yang tidak setuju dengan perjanjian ini adalah sekelompok bidaah,
yang menuntut penciptaan hadis untuk memajukan kebaikan (targhib), menghalangi keburukan
(talghib), dan mendorong asketisme, mereka menilai Targib dan Talhib tidak termasuk dalam
ruang lingkup hukum Islam.
Pendapat ini jelas salah, karena Rasulullah memperingatkan keras orang-orang yang
berbohong tentang namanya dengan mengatakan, ``Membohongi namaku tidak sama dengan
berbohong kepada orang lain “Siapa pun yang berbohong atas nama saya dengan sengaja
mempersiapkan tempatnya di neraka”
Para ulama as-Sunnah wal-Jama'a mengatakan bahwa berbohong dalam urusan hukum
dan Targib serta sepakat untuk tidak mengakui urusan mengenai Talhib. Semuanya itu termasuk
dalam salah satu dosa mematikan.
Ada perbedaan pendapat di kalangan Ahl Sunnah Wal mengenai status orang yang
membuat hadis, apakah perbuatannya menjadikannya kafir, dan apakah taubatnya membatalkan
hadis. Jumhur al-Sunnah berpendapat bahwa orang yang melakukan 'hadits maudu' tidak menjadi
kafir karena kebohongannya, kecuali dia menganggap perbuatannya halal. Namun menurut Abu
Muhammad al-Juwayni, ayah dari Imam al-Haramain Abu al-Ma'ari (w. 478H), salah seorang
mazhab Syafie, orang tersebut menjadi kafir dengan melakukan pembohongan tersebut secara
sengaja dan boleh dijatuhi hukuman mati. Pendapat ini dianggap lemah oleh Imam al-Haramain
sendiri.
Seseorang yang berdusta atas Nabi walaupun hanya satu hadis saja, ia telah menjadi fasik
dan riwayat-riwayatnya yang lainnya juga ditolak dan tidak boleh dijadikan hujah. Namun jika ia
bertaubat dan taubatnya sungguh- sungguh, sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu
Bakar al-Humaidi (w. 219H) (guru Imam Bukhari dan sahabat Imam Syafie), Abu Bakar al-
Sairafi (w. 330H) (salah seorang fuqaha` mazhab Syafie), ashabul wujuh dalam mazhab Syafie
dan fuqaha’ mutaqaddimin dalam usul dan furu’ mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi
pengaruh dan riwayatnya tidak boleh diterima selama. Bahkan kesalahannya itu dijadikan catatan
atasnya untuk setrusnya. 15
Namun menurut Imam Nawawi (w. 677H) pendapat golongan ulama ini lemah karena
berlawanan dengan kaidah syarak. Menurutnya, sah taubatnya secara pasti dan riwayatnya boleh
diterima setelah dia bertaubat sesuai dengan syarat-syarat taubat yang benar. Pendapat Imam
Nawawi ini berdasar pada ijmak ulama yang mengatakan bahwa sah riwayat orang-orang yang
kafir setelah memeluk Islam dan kebanyakan sahabat dulunya juga kafir, kemudian mereka
memeluk Islam dan persaksian mereka diterima dan tidak ada perbedaan di antara persaksian dan
periwayatan.
Namun yang pasti para ulama berijmak bahwa haram membuat hadis-hadis maudhu’,
yang berarti juga haram meriwayatkan atau menyebarkan hadis-hadis maudhu’ padahal ia
mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadis tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang
15
Ahmad Zumaro dkk “Ulumul Hadis” (2021) hlm.117-119
tetap meriwayatkan dan menyebarkan hadis-hadis maudhu’ dalam keadaan mengetahui dengan
yakin atau zann kedudukan hadis tersebut dan tidak menerangkan kedudukannya, ia termasuk
pendusta atas nama Rasulullah. Ini dijelaskan dalam sebuah hadis sahih yang berbunyi:
“Barangsiapa yang menceritakan satu hadis dariku dan dia mengira bahwa hadis itu adalah dusta,
maka dia termasuk di dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama mengatakan sudah
seharsunya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu hadis agar memastikan kedudukan
hadis tersebut.
Tapi jika meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadis tersebut
sebagai maudhu’, tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadis tersebut
membuat orang bisa bisa membedakan antara hadis yang sahih dengan yang maudhu’ dan
sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara yang tidak benar.16
16
Ahmad Zumaro dkk “Ulumul Hadis” (2021) hlm.117-119
i. Upaya Pencegahan Hadist Maudhu’
Sebagai suber rujukan kedua, hadis memiliki urgensi validitas yang sangat mendalam agar
otoritasnya tetap terjaga seutuhnya. Para ulama‟ berupaya memberantas hadis palsu dengan
beberapa pengujian serta penelitian hadis, yakni(al-Siba‟i,1993):meneliti sanadserta
matanhadis, mengukuhkan hadis, meneliti rawi hadis dalammenetapkan status kejujurannya,
dan juga menetapkan kaidah-kaidah umum untuk mengklasifikasikan hadis. 17
Perkembangan teknologi yang terus meningkat tidak menutup kemungkinan untuk lebih
mempermudah mereka yang tidak mendukung Islam dalam upaya menghancurkannya, salah
satunya melalui penyebaran hadis palsu di era digital. Dalam era ini, penyebaran informasi dapat
terjadi dengan sangat cepat dan mudah diakses. Untuk mencegah penyebaran hadis palsu di era
digital dan agar masyarakat Islam tidak lagi mengamalkannya, terdapat beberapa langkah, di
antaranya adalah:
1. Melakukan penelitian terhadap sanad hadis
Penelitian terhadap sanad hadis memiliki peran penting dalam mendeteksi keaslian
hadis. Hal ini berkaitan dengan kualifikasi keabsahan rantai perawi yang merupakan
bagian integral dari kelangsungan hadis. Seorang peneliti atau kritikus hadis perlu
meneliti dan mengevaluasi kualifikasi perawi untuk memastikan keabsahan dan
keandalan hadis tersebut.
2. Memperkuat keabsahan hadis
Proses penguatan ini dilakukan dengan cara meneliti dan membandingkan kembali
informasi kepada para sahabat, tabi'in, dan ulama ahli hadis. Pengukuhan hadis
sebagai bagian dari upaya mengatasi isu pemalsuan hadis mencerminkan komitmen
dalam melestarikan warisan intelektual. Tindakan ini bertujuan untuk mendukung
integritas ajaran Islam dan melawan pencemaran melalui pemalsuan hadis. Contohnya,
seperti upaya Sa'id al Mussayab yang rela berjalan siang dan malam hanya untuk
mendapatkan satu hadis. Ini adalah upaya sungguh-sungguh untuk memperkuat
keabsahan hadis.
3. Meneliti kejujuran para perawi hadis untuk menetapkan status keabsahannya
Ibnu Daqiq memandang bahwa keberadaan perawi hadis memiliki peran krusial dalam
menentukan keabsahan atau kepalsuan suatu hadis. Oleh karena itu, perawi, sebagai
peneliti terhadap rantai perawi dan teks hadis, dianggap sebagai penjaga integritas
hadis dan bahkan dianggap sebagai orang yang melembagakannya dalam karyanya.
4. Memiliki kriteria yang lebih selektif terhadap hadis-hadis yang beredar di media sosial
Sikap selektif dan kritis terhadap hadis-hadis yang tersebar di media sosial merupakan
langkah untuk mencegah penyebaran hadis palsu di kalangan masyarakat. 18 Dengan
memiliki kriteria yang ketat, masyarakat dapat lebih waspada terhadap informasi yang
tidak terverifikasi secara akurat.
17
AL-FATIH:JurnalStudiIslam Vol.10No.1| hlm.55
18
A F Dzakiy, A D Ustadiyah, and ..., ‘Hadis Palsu, Pemalsuan Dan Pencegahannya Di Era Digital’, Al-Bayan:
Journal of …, 1.2 (2022), 1–13 <https://ejournal.staikhozin.ac.id/ojs/index.php/al-bayan/article/view/91>.
5. Meningkatkan pemahaman tentang hadis
Meningkatkan pemahaman tentang hadis menjadi hal mendasar untuk menilai
keabsahan sebuah hadis, sehingga masyarakat tidak sembarangan mengamalkan hadis
yang beredar di media sosial. Dengan mendalaminya terlebih dahulu, dapat dihindari
pengamalan hadis palsu yang dapat menyesatkan.
6. Membaca tafsir dan kitab-kitab fiqih yang terpercaya untuk memahami konteks dan
implikasi hadis.
Membaca tafsir dan kitab-kitab fiqih yang terpercaya adalah salah satu upaya yang
bisa dilakukan untuk memahami konteks dan implikasi hadis, termasuk hadis maudhu'.
Dalam tafsir dan kitab-kitab fiqih tersebut, kamu bisa menemukan penjelasan lebih
detail mengenai hadis maudhu' dan bagaimana menghindarinya.