Anda di halaman 1dari 16

Pentingnya Identifikasi dan Penghindaran Hadis Maudhu' dalam

Pembentukan Hukum Islam

Dosen Pembimbing:
Khainuddin, S.Pd.I., M.Ag
E-mail: khainuddin@iainkediri.ac.id

Penulis :

Aura Suci Lestari


Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Kediri
E-mail: aurasucilestari5@gamil.com

Fanny Pratama Putra


Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Kediri
E-mail: putrafanny68@gmail.com

Krisno Rohmat Arsy


Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Kediri
E-mail: kr.arsy1407@gmail.com

ABSTRAK

Identifikasi dan penghindaran hadis maudhu' memiliki peran dalam pembentukan hukum
Islam. Hadis maudhu' merujuk kepada hadis palsu atau terdistorsi yang disusun dengan maksud
tertentu untuk mempengaruhi keyakinan atau praktik keagamaan. Penelitian ini membahas
metode-metode kritis dalam menilai keabsahan hadis, mengutamakan kriteria sanad (rantai
perawi) dan matan (teks) hadis. Identifikasi dini hadis maudhu' menjadi prasyarat esensial untuk
menjaga integritas ajaran Islam dan mencegah penyebaran informasi yang salah. Penghindaran
hadis maudhu' juga membahas upaya preventif dan kuratif, termasuk peran otoritas keagamaan,
ulama, dan masyarakat dalam mendeteksi serta menyebarkan pemahaman yang benar.
Keterlibatan teknologi modern dalam verifikasi hadis juga menjadi fokus, dengan penggunaan
sumber daya digital untuk memvalidasi keabsahan hadis. Penelitian ini memberikan kontribusi
penting terhadap literatur keislaman dengan menyoroti urgensi perlindungan terhadap ajaran Islam
dari manipulasi informasi. Melalui identifikasi dini dan upaya penghindaran hadis maudhu',
pembentukan hukum Islam dapat lebih akurat dan sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama,
menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan dan beretika. Kehadiran hadis maudhu' dapat
mengakibatkan pemahaman agama yang salah dan dapat mempengaruhi perumusan hukum Islam
yang sahih. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyoroti pentingnya proses
identifikasi dan upaya penghindaran hadis maudhu' dalam konteks pembentukan hukum Islam.
Studi ini dilakukan dalam bentuk penelitian kepustakaan (library research) dengan metode
penelitian kuantitatif kausalitas. Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan didapatkan
kesimpulan bahwa hadis maudhu’ adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari
Rasulullah, tetapi dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Penggunakam kata
“hadist” bukan sebagai hadis yang biasa kita dengar tetapi sebagai alasan seseorang untuk
bohong supaya mengikutinya yang kemudian disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.
Ungkapan hadis disini adalah pemalsu hadis bermaksud membuat suatu ajakan agar orang
mengikutinya dalam kehendaknya. Hadis ini adalah kategori hadis yang paling rendah
atau buruk kualitasnya karena hadis ini tidak ada kebenarannya atau haram, hadis ini juga
tidak boleh atau bahkan haram diriwayatkan siapapun kecuali menjelaskan tentang
kepalsuan hadisnya. Dan juga hadis ini tidak boleh dijadikan sumber atau hukum karena
kebohongan dan kepalsuannya.

KATA KUNCI: Hadis Maudhu’, Hukum, Islam, Palsu

PENDAHULUAN
Hadis merupakan sumber hukum ajaran islam kedua setelah Al-Qur’an, keberadaan
hadis telah mewarnai kehidupan masyarakat Islam dan menjadi kajian yang menarik untuk
dibahas. Para ulama dan peneliti hadis telah berhasil mendokumentasikan hadis baik pada
kalangan akademisi ataupun masayarakat yang pada akhirnya membuka peluang untuk
mewujudkan sebuah disiplin ilmu, yaitu ulumul hadis. Ulumul Hadis adalah istilah ilmu di
dalam tradisi ulama hadis, pada dasarnya ulumul hadis lahi sejak dimulainya periwayatan
hadis di dalam Islam, ketika Rasululllah SAW. Wafat, dan pada saat umat Islam
merasakan perlunya menghimpun hadis-hadis Rasul SAW. dikarenakan adanya
kekhawatiran hadis-hadis tersebut akan hilang. Para sahabat mulai giat melakukan
pencatatan dan periwayatan hadis. Mereka telah memulai mempergunakan kaidah-kaidah
dan metodemetode tertentu dalam menerima hadis, akan tetapi mereka belumlah
menuliskan kaidah-kaidah tersebut.1
Ilmu hadis pada awalnya merupakan beberapa disiplin ilmu yang berdiri masing-
masing, yang membahas tentang hadis Nabi SAW. dan para perawinya. Seperti ilmu al-
mursal, ilmu al-asma wa al-kuna ilmu hadis al-shahih dan lainnya. Penulisan ilmu-ilmu
hadis tersebut dilakukan oleh ulama abad ketiga hijriah khususnya. Ilmu-ilmu yang yang
terpisah secara parsial disebut dengan ulumul hadis, karena didalamnya masing-masing
membahas tentang hadis dan perawinya. Pada masa selanjutnya ilmu yang terpisah
tersebut digabung menjadi satu dan dipandang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Terhadap ilmu yang sudah digabungkan dan menjadi satu kesatuan tersebut tetap

1
Nawir Yuselem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001),
digunakan nama ulumul hadis, sebagaimana halnya sebelum disatukan.
Hadits sebagai sumber hukum Islam setelah Al Qur’an telah disepakati oleh ulama
tokoh-tokoh ummat Islam. Setiap gerak dan aktivitas ummat, harus dilakukan berdasarkan
petunjuk yang ada dalam al Qu’an dan dan hadits. Begitu pula jika ada permasalahan yang
yang muncul di tengah tengah masyarakat, tentu haruslah diselesaikan dan dicarikan jalan
keluarnya. Cara penyelesaian dan jalan keluar yang terbaik adalah dengan berpedoman
kepada Al Qur’an dan Hadits.
Namun sangat disayangkan keberadaan hadis yang benar-benar berasal dari
Rasulullah saw, dinodai oleh munculnya hadis-hadis maudhu (palsu) yang sengaja dibuat-
buat oleh orang-orang tertentu dengan tujuan dan motif yang beragam, dan disebarkan
ditengah-tengah masyarakat oleh sebagian orang dengan tujuan yang beragam pula.
Meyakini dan mengamalkan hadis maudhu merupakan kekeliruan yang besar,
karena meskipun ada hadis maudlu yang isinya baik, tetapi kebanyakan hadis palsu itu
bertentangan dengan jiwa dan semangat Islam, lagi pula pembuatan hadis maudlu
merupakan perbuatan dusta kepada Nabi Muhammad saw.2

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif kausalitas yaitu dengan cara
penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang
dilaksanakan dengan menggunakan literatur kepustakaan, baik berupa buku, catatan, maupun laporan
hasil penelitian terdahulu. Metode penelitian ini mengumpulkan sumber literatur dari berbagai
sumber, seperti buku, jurnal ilmiah, artikel online, dan publikasi terkait. Sumber-sumber ini
mencakup teori-teori, penelitian terkini, dan pandangan ahli tentang hadis maudhu’ dan Identifikasi
hadis maudhu' memerlukan pemahaman mendalam tentang sejarah perawi, konteks sejarah,
serta kriteria keaslian hadis. Kemudian, langkah-langkah pencegahan harus diterapkan untuk
meminimalkan risiko pengaruh hadis maudhu' dalam pembentukan hukum Islam.

HASIL DAN PEMBAHASAN


a. Pengertian Hadits Maudhu
Kata mawdha berasal dari ankar kata ‫ َو َضَع َيَض ُع َو ْض ًعا َفُهَو َم ْو ُضوع‬berarti diletakkan,
dibiarkan, digugurkan, ditinggalkan, dan dibuat-buat,Sedangkan menurut istilah hadits
maudu’ adalah hadits yang dibuat-buat diciptakan atau didustakan atas nama nabi

‫ما ُنِس َب إَلى الَّرُسوِل َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم اْخ ِتاَل ًفا َو ِكذًبا ِمَّم ا َلْم َيُقْلُه َأْو َيْفَع ُلُه َأْو ُيقرُه‬
Sesuatu yang disandarkan kepada Rasul secara mengada-ada dan bohong dari apa yang tidak
dikatakan beliau atau tidak dilakukan dan atau tidak disetujuinya.
2
Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni (2016), h.24
Sebagian ulama mengartikannya:
‫ُهَو اْلُم ْخ َتَلُق اْلَم ْص ُنوُع الَم ْكُذ وُب َع َلى َرُسْو ِل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬
Hadis yang diada-adakan, dibuat, dan didustakan seseorang pada Rasulullah3

‫ُهَو َم ا ُنِسَب ِإَلى َر ُسْو ِل هّللا َص َّلى هّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم إْخ ِتَالًقا َو ِكْذ ًبا ِمَّم ا َلْم َيُقْلُه َأْو َيْفَع ْلُه َأْو ُيَقَّر ُه‬

“Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta,
padahal beliau tidak mengatakan, memperbuat dan mengerjakan4

Sedangkan secara istilah, pengertian hadis maudhu’ adalah “Sesuatu yang disandarkan pada
Rasulullah Saw. dengan membuat-buat dan berbohong padahal-belum pernah disabdakan,
dilakukan, dan ditetapkan Rasulullah Saw.” hadis maudhu’ adalah bukan hadis yang bersumber
dari rasul atau dengan kata lain bukan hadis rasul, akan tetapi suatu perkataan atau
perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan sutau alasan kemudian dinisbatkan
kepada rasul.5
Jadi, hadis mawdhu' adalah hadis bohong atau hadis palsu, bukan dari Rasulullah, tetapi
dikatakan dari Rasulullah oleh seorang pembohong. Oleh karena itu, sebagian ulama ada yang
tidak memasukkannya sebagai bagian dari hadis dha'if karena ia bukan hadis dalam arti yang
sebenarnya dan ada pula yang memasukkannya, karena walaupun dikatakan hadis, tetapi palsu
dan bohong dalam arti palsu dan bohong ini meniadakan makna hadis.

b. Latar Belakang timbulnya Hadist Maudhu’


Beberapa ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai kapan pemalsuan hadis mulai
terjadi, dan salah satu pandangan yang berbeda tersebut diajukan oleh Ahmad Amin. Ahmad
Amin berpendapat bahwa pemalsuan hadis telah terjadi bahkan pada masa Nabi. Pendapat ini
didasarkan pada ketegasan Nabi yang mengancam bahwa seseorang yang dengan sengaja
membuat berita bohong atas namanya akan mendapat tempat di Neraka. Menurut Ahmad Amin,
hadis ini menciptakan gambaran bahwa kemungkinan besar pemalsuan hadis telah terjadi pada
masa Nabi.
Mayoritas ulama hadis berpendapat bahwa pemalsuan hadis baru terjadi setelah tahun 40 H.
Pada masa sebelumnya, ketika umat Islam masih di bawah kepemimpinan empat khalifah, belum
terdapat perpecahan internal dan infiltrasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. Hadis Nabi
pada periode ini dianggap murni tanpa adanya unsur kedustaan.6

3
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012) Hlm, 225
4
.Drs.M.Agus Solahudin,M Ag ,Agus Suyadi,Lc.M.Ag Hlm 171
5
Zuman Malaka, “Sekilas Tentang Hadis Maudu”, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021), 132–40
6
Muhammad Saw, ‘DIRAYAH : Jurnal Ilmu Hadis ‫’عضو عيضي اقس الا كترال ط‬.
Namun, saat terjadi permasalahan antara khalifah Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah ibn Abi
Sufyan, dampaknya sangat signifikan terhadap pecahnya umat Islam dan munculnya berbagai
aliran keagamaan dan politik. Setiap kelompok berusaha melegitimasi pendapatnya dengan
merujuk kepada al-Qur'an dan al-Sunnah. Sejak saat itu, hadis-hadis tentang keutamaan khalifah
muncul, bersamaan dengan hadis-hadis yang dengan tegas mendukung kelompok politik dan
aliran keagamaan tertentu.
Pemalsuan hadis pada periode tabiin dikatakan lebih terbatas dibandingkan dengan masa-masa
selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh praktik para sahabat dan tabiin yang menerapkan amalan
hadis dengan memberikan penjelasan terkait kualitas hadis, sehingga dapat dibedakan antara
hadis yang sahih dan dha'if. Di samping itu, pada masa ini, pemalsuan hadis belum begitu marak
karena masih berada dalam jangka waktu yang sangat dekat dengan masa kehidupan Nabi.
Penting juga untuk mencatat bahwa pengaruh langsung dari arahan Nabi masih sangat kuat
pada masa tabiin, yang merupakan bentuk perlindungan terhadap pesan-pesan agama yang
mencakup nilai-nilai seperti taqwa, wara', dan khasyyah. Semua ini bersama-sama berkontribusi
untuk mengurangi penyebaran dan meredam kemunculan kedustaan, terlebih lagi karena faktor-
faktor dan sebab-sebab yang mendorong praktik pemalsuan hadis masih terbatas pada periode ini.

c. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadist Maudhu’


Munculnya pemalsuan hadis berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam. Dimulai
dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian Utsman bin ‘Affan,
dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok ta’ashub ‘Ali bin Abi
Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi perselisihan yang tidak bisa
terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum muslimin yang berselisih ini ingin
menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-masing dengan al-Qur’an dan al-Hadis.
Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-
masing, karena banyaknya pakar al-Qur’an dan al- Hadis pada saat itu, akhirnya sebagian
diantara mereka membuat hadishadis yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi
wasallam untuk mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadis palsu
dikalangan umat islam.7
Berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya lakukan oleh orang-orang Islam,
tetapi juga dilakukan oleh orang-orang nonIslam. Ada beberapa motif yang mendorong mereka
membuat hadis palsu yaitu sebagai berikut:
1. Pertikaian Politik
Terjadinya pertikaian politik di kalangan umat muslim dimulai sejak masa
pemerintahan Ali bin Abi Talib. Setelah khalifah Utsman ibn Affan meninggal, terjadi
perpecahan di tengah umat Islam. Perpecahan ini terus berlanjut dengan munculnya
kelompok-kelompok pendukung yang berselisih, seperti Syiah, Khawarij, dan pendukung
Muawiyah. Perpecahan ini, yang memiliki motif politik, mendorong setiap kelompok untuk

7
Lajnah Ilmiah, Pengantar Ilmu Hadis, 142.
berupaya memenangkan dukungan dan mengalahkan lawan mereka. Awalnya, tujuan
mereka hanya menciptakan pemalsuan hadis untuk mendukung pandangan kelompok
mereka sendiri8. Namun, seiring berjalannya waktu, dorongan untuk memalsukan hadis juga
muncul sebagai bentuk penentangan terhadap lawan mereka. Kelompok lain juga melakukan
tindakan serupa untuk menyaingi dan melawan kelompok lainnya. berdampak pada
munculnya hadis-hadis maudhu’ untuk mendukung faksi masing-masing golongan9
2. Siasat Musuh-musuh islam
Musuh Islam yang terlibat dalam pemalsuan hadis dikenal dengan kaum Zindik. Mereka
senantiasa berusaha merusak akidah Islam, mengaburkan nilai-nilai kebaikan, dan memecah
belah umat Islam dengan berbagai cara, misalnya menyamar sebagai kelompok Syi’ah,
zuhud, tasawuf atau filsafat dan ahli hikmah. Oleh karena itu, mereka berupaya mengalihkan
masyarakat dari keyakinan dan menggambarkan Islam dengan ajaran yang keliru, termasuk
dalam hal keyakinan, praktik ibadah, dan pemikiran.
3. Primordialisme dan Chauvinisme
Diskriminasi yang yang dialami non Arab (‘Ajami) pada pemerintahan Bani Umayyah,
bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam persoalan jabatan bahkan dalam
pembagian harta baik dari harta rampasan perang maupun hadiah-hadiah antara orang Arab
dan non Arab tidak sama.
Dalam menghadapi situasi demikian, maka orang-orang non Arab yang mayoritas
bangsa Persia berusaha mening-katkan prestise bangsanya dengan jalan membuat hadis
maudhu’
4. Fanatisme mazhab fikhi dan kalam
Hadis maudhu’ juga tercipta dari para pengikut mazhab, baik dalam bidang fikhi atau
ilmu kalam. Mareka menciptakan hadis-hadis maudhu’ dalam upaya mendu-kung dan
menguatkan pendapat, hasil ijtihad dan pendirian imam mereka.
5. Kultus Individu
Sikap fanatic terhadap golongan, politik, atau mazhab menyebabkan sebagian
pengikut mereka mengkultuskan pemimpin-nya. Perpecahan dan perbedaan ini telah
memberikan dampak besar terhadap munculnya hadis-hadis maudhu'. Hal ini menyebabkan
beberapa kelompok merasa perlu menciptakan narasi yang dapat menunjukkan superioritas
dan kekuatan kelompok serta pemimpin mereka. Hasil dari upaya ini adalah kemunculan
hadis-hadis maudhu' yang menyajikan klaim kelebihan tentang kelompok tertentu. Selain itu,
perpindahan pusat pemerintahan Islam dari satu tempat ke tempat lain juga memiliki
pengaruh yang signifikan, mendorong beberapa kelompok fanatik untuk memalsukan hadis
terkait tempat atau pemimpin mereka.
6. Pembuatan Cerita
Para ahli cerita (al-qashas) mulai marak pada akhir masa Pemerintahan Harun al-

8
Lajnah Ilmiah, Pengantar Ilmu Hadis, 144
9
H Mukhlis Mukhtar, Hadis Maudhu, And Dan Permasalahannya, "Hadis Maudhu' Dan Permasalahannya"
Dosen Uin Alauddin Dpk Pada Stai Ddi Maros’, 1996.
Rasyid dan semakin menjamur pada masa-masasesudahnya. Untuk menarik simpati orang
banyak atau agar para pendengarnya kagum terhadap kisah cerita yang disampaikan, atau
untuk mendapatkan imbalan materi, maka mereka tidak segan-segan menyatakan bahwa
cerita itu berasal dari sabda Nabi, demi untuk menguatkan kandungan kisah atau cerita yang
cenderung bersifat berlebihan atau tidak masuk akal.
7. Menjilat Penguasa
Ada juga yang membuat hadis palsu dengan tujuan agar diberi hadiah atau simpatik
dari pimpinan, seperti ghiyas bin ibrahim merupakan tokoh yang banyak ditulis sebagai
pemalsu hadis tentang perlombaan.
8. Keinginan berbuat baik tanpa dasar pengetahuan agama
Hadis yang dibuat oleh sebagian orang saleh yang ilmu pengetahuan agamanya
dangkal, dengan maksud memotivasi manusia untuk melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar.10
Dari beberapa motif membuat hadis palsu diatas, kiranya dapat dikelompokkan
menjadi empat yakni :
a) Dengan kesengajaan merusak agama.
b) Tidak sengaja merusak agama.11
c) Dengan keyakinan bahwa membuat hadis palsu diperbolehkan.
d) Dirinya tidak tahu jika dirinya membuat hadis palsu.
Tokoh-tokoh terkenal yang membuat hadist maudhu’ dari kalangan orang zindiq ini,
adalah:
1) Abdul Karim bin Abi Al-Auja, telah membuat sekitar 4000 hadist maudhu’tentang
hukum halal-haram, ia membuat hadis untuk menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal. Akhirnya, ia dihukum mati olen Muhammad bin
Sulaiman, Walikota Bashrah.
2) Muhammad bin Sa’id Al-Mashlub, yang dihukum bunuh oleh Abu Ja’far Al-Mashur.
3) Bayan bin Sam’an Al-Mahdy, yang akhirnya dihukum mati oleh Khalid bin
Abdillah.

d. Ciri-ciri Hadis Maudhu’


Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam mengukur kualitas hadis, seperti sanad atau
rantai periwayatan, matan atau teks hadis, dan kesesuaian dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Para ulama’membuat kaidah-kaidah yang menjadi dasar dalam menetapkan hadis-hadis maudu’.
Para ulama’ telah menetapkan tanda-tanda atau ciri-ciri yang harus diperhatikan dengan seksama
agar dapat membedakan mana hadis maudu’ dan bukan maudu’. Ciri-ciri itu sebagai berikut :
A. Ciri-ciri yang terdapat pada sanad

10
Mukhlis Mukhtar, Maudhu, And Permasalahannya.
11
Jurnal Keislaman, "Ciri Ciri Hadist Maudhu", 3.1, 25–33.
1. pengakuan dari pembuat hadis maudu’ Maisaroh ibnu Abi Rabbih Al Farisi mengaku
bahwa ia telah membuat hadis maudu’ tentang keutamaan –keutamaan Al quran, beliau
juga mengaku telah memaudhu’kan 70 hadis tentang keutamaan Ali ra.
2. Kenyataan sejarah bahwa perowi itu tidak bertemu / tidak sezaman dengan orang yang
dikatakn gurunya. Misalnya, ma’mun ibnu ahmad al harawi mengaku mendengar hadis
dari hisyam ibnu hammer al hafid ibnu hibban menanyakan, “kapan kamu (ma’mun)
dating ke negeri syam”, ma’mun menjawab tahun 250 H. ibnu hibban mengatakan
bahwa hisyam ibnu ammar itu meninggal pada tahun 245 H. ma’mun menjawab lagi,
“itu hisyam ibnu amaar yang lain.”
3. Keadaan perowi itu sendiri terkenal dengan kedustaannya
B. Ciri-ciri yang terdapat pada matan
1. berlawanan dengan pendapat akal
2. berlawanan dengan Al quran
3. berlawanan dengan sunnah atau hadis mutawatir
4. berlawanan dengan ijma12

e. Contoh Hadis Maudhu’


a) Hadits Maudhu tentang Mencari Rezeki
Terdapat Hadits Maudhu yang membahas tentang rezeki, yaitu:

‫إَّن َهللا يحُّب أن يرى عبَده تعًبا في طلِب الحالِل‬

Inalloha yuhibbu an yaro ‘abdahu ta’iban fi tholabil halal “Sesungguhnya Allah suka
melihat hamba-Nya yang lelah dalam mencari rezeki yang halal.”

Riwayat hadits tersebut maudhu’. Al-Hafizh al-Iraqi mengatakan bahwa dalam


sanadnya terdapat Muhammad bin Sahl Al-Aththar. Ad-Daruquthni menyatakan
bahwa al-Aththar adalah pemalsu hadits. [Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad
Nashirudin Al-Albani, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no 10. hal 41]

b) Hadits Maudhu Perselisihan umat

Berikut ini contoh dari hadits palsu yang membahas tentang perselisihan umat, yaitu:

‫اختالف أمتي رحمة‬

Ikhtilafu ummati rahmah.

“Perselisihan (ikhtilaf) di antara umatku adalah rahmat.”

12
Zuman Malaka, “Sekilas Tentang Hadis Maudu”, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021), 132–40
Hadits ini tidak ada sumbernya. Imam As-Subki mengatakan, “Hadits tersebut tidak
dikenal di kalangan para pakar hadits dan saya pun tidak menjumpai sanadnya yang
shahih, dha’if ataupun maudhu’

Ibnu Hazm dalam kitab Al-Ahkam fi Ushulil Ahkam V/64 menyatakan, “Ini bukan
hadits.” [ Silsilah Hadits Dha’if Jilid 1, Muhammad Nashirudin Al-Albani, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995, hadits no. 57. hal 68-69 ]

c) Hadits Maudhu Tentang Mengenal Diri Sendiri

Hadist yang menjelaskan keutamaan mengenal diri sendiri ini, ternyata tidak jelas
sumbernya. Berikut adalah hadistnya:

‫َم ْن َع َر َف َنْفَس ُه َفَقْد َع َر َف َر َّبُه‬

“Man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu"

Artinya: “Barang siapa mengenal dirinya, berarti ia telah mengenal Tuhannya.”

Hadits ini tidak ada sumbernya menurut Imam Nawawi. Ibnu Taimiyah menyatakan
ini hadits maudhu’.

d) Hadits Maudhu Tentang Jihad

‫ إلى الجهاد األكبر‬،‫رجعنا من الجهاد األصغر‬

Roja’na min jihadil ashghor ila jihadil akbar

Artinya: “Kita telah pulang dari jihad ashghor (yang paling kecil) menuju kepada
jihad akbar (yang paling besar).”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “ini adalah ucapan Ibrahim bin ‘Ablah
(seorang Tabi’in) dan bukan hadits.” Tidak seorang pun yang memiliki pengetahuan
(ma’rifah) memandangnya sebagai sabda Nabi SAW dan perbuatannya.

e) Hadits Maudhu Tentang Tafakur

Hadits tentang tafakkur ini merupakan salah satu contoh hadits maudhu.
Berikut haditsnya:

‫فكرة ساعة خير من عبادة ستين سنة‬


“Fikroh sa’ah khoirun min ‘ibadati sittiina sanah."

Artinya: “Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadah selama 60 tahun.

Hadits ini maudhu’. Diriwayatkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab al-Maudhu’at
dengan sanad dari Utsman bin Abdullah al-Qurasyi dari ishaq bin Najih al-Multhi,
dari atha’ Al-Khurasani dari Abu Hurairah. Ibnul Jauzi berkata, “Utsman dan
gurunya adalah pendusta.”

f. Kitab-kitab yang memuat Hadith Maudhu’

Para ulama muhaditsin dengan menggunakan berbagai pedoman studi kritik


hadith, berhasil mengumpulkan hadith-hadith maudhu’ dalam sejumlah karya yang
cukup banyak, diantaranya:

1) Al-Maudhu’ al-Kubra, karya Ibn al-Jauzi (Ulama yang paling awal menulis ilmu
ini).
2) Al-La’ali al-Mashnu’ah fi al-hadits al-Maudhu’ah, karya As-Suyuti (Ringkasan
Ibnu al-Jauzi dengan beberapa tambahan).
3) Tanzihu Asy-Syariah al-Marfu’ah ‘an Al-Ahadits Asy-Syani’ah alMaudhu’ah,
karya Ibnu ‘Iraq al-Kittani (ringkasan kedua kitab tersebut).
4) Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, karya al-Albani.13

g. Hukum Meriwayatkan Hadist Maudlu


Umat Islam secara bersama-sama menyepakati bahwa membuat dan menyampaikan hadis
maudhu' secara sengaja dianggap haram secara mutlak bagi mereka yang menyadari bahwa hadis
tersebut palsu. Namun, bagi mereka yang meriwayatkannya dengan niatan memberitahu orang
lain bahwa hadis tersebut adalah palsu setelah menyampaikannya atau membacanya, tidak
dikenakan dosa.14
Bagi mereka yang sama sekali tidak mengetahui kepalsuan hadis tersebut dan kemudian
meriwayatkannya atau mengamalkan maknanya karena ketidaktahuannya, mereka tidak
mendapat dosa atas tindakan tersebut. Namun, setelah mendapatkan penjelasan bahwa hadis yang
mereka sampaikan atau amalkan adalah palsu, disarankan untuk segera meninggalkannya. Jika
masih tetap diamalkan, padahal dari jalur atau sanad lain tidak ada dukungan, maka hukumnya
dianggap tidak boleh. Oleh karena itu, status hadis maudhu' menjadi batal, dan meriwayatkannya
dianggap haram, kecuali jika terdapat keadaan terpaksa atau tindakan tersebut dilakukan di
hadapan ahli ilmu pengetahuan. Selain itu, berdasarkan data sejarah, pemalsuan hadis tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang Islam, tetapi juga oleh orang-orang non-Islam.
Umat Islam juga sepakat bahwa hukum sengaja menulis dan meriwayatkan hadits maudu

13
Ilham Tanzilulloh, ‘Delegitimasi Hukum Islam : “Studi Terhadap Hadith Maudhu”, Al-Syakhsiyyah: Journal
Of Law & Family Studies, 1.2 (2019), 229–41
14
Zuman Malaka, ‘Sekilas Tentang Hadis Maudu’’, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021), 132–40.
adalah haram (ijmaq), Hal ini berkaitan dengan permasalahan seperti hukum syariah, narasi,
Targhib dan Talhib. Mereka yang tidak setuju dengan perjanjian ini adalah sekelompok bidaah,
yang menuntut penciptaan hadis untuk memajukan kebaikan (targhib), menghalangi keburukan
(talghib), dan mendorong asketisme, mereka menilai Targib dan Talhib tidak termasuk dalam
ruang lingkup hukum Islam.
Pendapat ini jelas salah, karena Rasulullah memperingatkan keras orang-orang yang
berbohong tentang namanya dengan mengatakan, ``Membohongi namaku tidak sama dengan
berbohong kepada orang lain “Siapa pun yang berbohong atas nama saya dengan sengaja
mempersiapkan tempatnya di neraka”
Para ulama as-Sunnah wal-Jama'a mengatakan bahwa berbohong dalam urusan hukum
dan Targib serta sepakat untuk tidak mengakui urusan mengenai Talhib. Semuanya itu termasuk
dalam salah satu dosa mematikan.
Ada perbedaan pendapat di kalangan Ahl Sunnah Wal mengenai status orang yang
membuat hadis, apakah perbuatannya menjadikannya kafir, dan apakah taubatnya membatalkan
hadis. Jumhur al-Sunnah berpendapat bahwa orang yang melakukan 'hadits maudu' tidak menjadi
kafir karena kebohongannya, kecuali dia menganggap perbuatannya halal. Namun menurut Abu
Muhammad al-Juwayni, ayah dari Imam al-Haramain Abu al-Ma'ari (w. 478H), salah seorang
mazhab Syafie, orang tersebut menjadi kafir dengan melakukan pembohongan tersebut secara
sengaja dan boleh dijatuhi hukuman mati. Pendapat ini dianggap lemah oleh Imam al-Haramain
sendiri.
Seseorang yang berdusta atas Nabi walaupun hanya satu hadis saja, ia telah menjadi fasik
dan riwayat-riwayatnya yang lainnya juga ditolak dan tidak boleh dijadikan hujah. Namun jika ia
bertaubat dan taubatnya sungguh- sungguh, sebagian ulama seperti Ahmad bin Hanbal, Abu
Bakar al-Humaidi (w. 219H) (guru Imam Bukhari dan sahabat Imam Syafie), Abu Bakar al-
Sairafi (w. 330H) (salah seorang fuqaha` mazhab Syafie), ashabul wujuh dalam mazhab Syafie
dan fuqaha’ mutaqaddimin dalam usul dan furu’ mengatakan bahwa taubatnya tidak memberi
pengaruh dan riwayatnya tidak boleh diterima selama. Bahkan kesalahannya itu dijadikan catatan
atasnya untuk setrusnya. 15
Namun menurut Imam Nawawi (w. 677H) pendapat golongan ulama ini lemah karena
berlawanan dengan kaidah syarak. Menurutnya, sah taubatnya secara pasti dan riwayatnya boleh
diterima setelah dia bertaubat sesuai dengan syarat-syarat taubat yang benar. Pendapat Imam
Nawawi ini berdasar pada ijmak ulama yang mengatakan bahwa sah riwayat orang-orang yang
kafir setelah memeluk Islam dan kebanyakan sahabat dulunya juga kafir, kemudian mereka
memeluk Islam dan persaksian mereka diterima dan tidak ada perbedaan di antara persaksian dan
periwayatan.
Namun yang pasti para ulama berijmak bahwa haram membuat hadis-hadis maudhu’,
yang berarti juga haram meriwayatkan atau menyebarkan hadis-hadis maudhu’ padahal ia
mengetahui dengan yakin atau zann kedudukan hadis tersebut adalah maudhu’. Barangsiapa yang

15
Ahmad Zumaro dkk “Ulumul Hadis” (2021) hlm.117-119
tetap meriwayatkan dan menyebarkan hadis-hadis maudhu’ dalam keadaan mengetahui dengan
yakin atau zann kedudukan hadis tersebut dan tidak menerangkan kedudukannya, ia termasuk
pendusta atas nama Rasulullah. Ini dijelaskan dalam sebuah hadis sahih yang berbunyi:
“Barangsiapa yang menceritakan satu hadis dariku dan dia mengira bahwa hadis itu adalah dusta,
maka dia termasuk di dalam salah seorang pendusta”. Oleh sebab itu, ulama mengatakan sudah
seharsunya bagi seseorang yang hendak meriwayatkan sesuatu hadis agar memastikan kedudukan
hadis tersebut.
Tapi jika meriwayatkan hadis-hadis maudhu’ dan menyebutkan kedudukan hadis tersebut
sebagai maudhu’, tidak ada masalah. Sebab dengan menerangkan kedudukan hadis tersebut
membuat orang bisa bisa membedakan antara hadis yang sahih dengan yang maudhu’ dan
sekaligus dapat menjaga Sunnah dari perkara-perkara yang tidak benar.16

h. Pentingnya Identifikasi dalam menentukan hukum islam


Identifikasi sangat penting dalam menentukan hukum Islam karena dapat memastikan
keaslian dan keotentikan ajaran Islam yang dijadikan rujukan. untuk mengidentifikasi hadis
maudhu', kita bisa melihat beberapa ciri-cirinya, seperti tidak adanya sanad atau periwayatan
hadis yang jelas, tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya, dan tidak memiliki
kesesuaian dengan hadis-hadis sahih lainnya. Dengan mengidentifikasi hadis maudhu', kita dapat
memastikan bahwa hadis yang digunakan sebagai rujukan dalam menentukan hukum Islam
adalah hadis yang sahih dan dapat dipercaya. Hal ini dapat memastikan bahwa hukum Islam yang
ditetapkan adalah sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memperkuat kepercayaan umat Islam
terhadap hadis yang dijadikan rujukan dalam menentukan hukum Islam, antara lain:
1. Menyebarluaskan pengetahuan tentang kualitas hadis dan kriteria yang digunakan dalam
mengukur kualitas hadis.
2. Memperkenalkan kitab-kitab hadis dan tafsir yang terpercaya kepada umat Islam agar mereka
lebih memahami konteks dan implikasi hadis.
3. Mengedukasi umat Islam tentang pentingnya menghindari hadis maudhu' dan mengidentifikasi
hadis yang sahih.
4. Menunjukkan bukti-bukti konkret tentang keotentikan hadis yang dijadikan rujukan dalam
menentukan hukum Islam.
Seperti yang telah kita bahas sebelumnya, penghindaran hadis maudhu' sangat penting
dalam menentukan hukum Islam karena dapat memastikan keaslian dan keotentikan ajaran Islam
yang dijadikan rujukan. Implikasinya bagi umat Islam adalah dapat menghindarkan kita dari
kesalahan dalam beribadah atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Selain
itu, penghindaran hadis maudhu' juga dapat meningkatkan kualitas pengajaran agama Islam dan
memperkuat kepercayaan umat Islam terhadap hadis yang dijadikan rujukan.

16
Ahmad Zumaro dkk “Ulumul Hadis” (2021) hlm.117-119
i. Upaya Pencegahan Hadist Maudhu’
Sebagai suber rujukan kedua, hadis memiliki urgensi validitas yang sangat mendalam agar
otoritasnya tetap terjaga seutuhnya. Para ulama‟ berupaya memberantas hadis palsu dengan
beberapa pengujian serta penelitian hadis, yakni(al-Siba‟i,1993):meneliti sanadserta
matanhadis, mengukuhkan hadis, meneliti rawi hadis dalammenetapkan status kejujurannya,
dan juga menetapkan kaidah-kaidah umum untuk mengklasifikasikan hadis. 17
Perkembangan teknologi yang terus meningkat tidak menutup kemungkinan untuk lebih
mempermudah mereka yang tidak mendukung Islam dalam upaya menghancurkannya, salah
satunya melalui penyebaran hadis palsu di era digital. Dalam era ini, penyebaran informasi dapat
terjadi dengan sangat cepat dan mudah diakses. Untuk mencegah penyebaran hadis palsu di era
digital dan agar masyarakat Islam tidak lagi mengamalkannya, terdapat beberapa langkah, di
antaranya adalah:
1. Melakukan penelitian terhadap sanad hadis
Penelitian terhadap sanad hadis memiliki peran penting dalam mendeteksi keaslian
hadis. Hal ini berkaitan dengan kualifikasi keabsahan rantai perawi yang merupakan
bagian integral dari kelangsungan hadis. Seorang peneliti atau kritikus hadis perlu
meneliti dan mengevaluasi kualifikasi perawi untuk memastikan keabsahan dan
keandalan hadis tersebut.
2. Memperkuat keabsahan hadis
Proses penguatan ini dilakukan dengan cara meneliti dan membandingkan kembali
informasi kepada para sahabat, tabi'in, dan ulama ahli hadis. Pengukuhan hadis
sebagai bagian dari upaya mengatasi isu pemalsuan hadis mencerminkan komitmen
dalam melestarikan warisan intelektual. Tindakan ini bertujuan untuk mendukung
integritas ajaran Islam dan melawan pencemaran melalui pemalsuan hadis. Contohnya,
seperti upaya Sa'id al Mussayab yang rela berjalan siang dan malam hanya untuk
mendapatkan satu hadis. Ini adalah upaya sungguh-sungguh untuk memperkuat
keabsahan hadis.
3. Meneliti kejujuran para perawi hadis untuk menetapkan status keabsahannya
Ibnu Daqiq memandang bahwa keberadaan perawi hadis memiliki peran krusial dalam
menentukan keabsahan atau kepalsuan suatu hadis. Oleh karena itu, perawi, sebagai
peneliti terhadap rantai perawi dan teks hadis, dianggap sebagai penjaga integritas
hadis dan bahkan dianggap sebagai orang yang melembagakannya dalam karyanya.
4. Memiliki kriteria yang lebih selektif terhadap hadis-hadis yang beredar di media sosial
Sikap selektif dan kritis terhadap hadis-hadis yang tersebar di media sosial merupakan
langkah untuk mencegah penyebaran hadis palsu di kalangan masyarakat. 18 Dengan
memiliki kriteria yang ketat, masyarakat dapat lebih waspada terhadap informasi yang
tidak terverifikasi secara akurat.

17
AL-FATIH:JurnalStudiIslam Vol.10No.1| hlm.55
18
A F Dzakiy, A D Ustadiyah, and ..., ‘Hadis Palsu, Pemalsuan Dan Pencegahannya Di Era Digital’, Al-Bayan:
Journal of …, 1.2 (2022), 1–13 <https://ejournal.staikhozin.ac.id/ojs/index.php/al-bayan/article/view/91>.
5. Meningkatkan pemahaman tentang hadis
Meningkatkan pemahaman tentang hadis menjadi hal mendasar untuk menilai
keabsahan sebuah hadis, sehingga masyarakat tidak sembarangan mengamalkan hadis
yang beredar di media sosial. Dengan mendalaminya terlebih dahulu, dapat dihindari
pengamalan hadis palsu yang dapat menyesatkan.
6. Membaca tafsir dan kitab-kitab fiqih yang terpercaya untuk memahami konteks dan
implikasi hadis.
Membaca tafsir dan kitab-kitab fiqih yang terpercaya adalah salah satu upaya yang
bisa dilakukan untuk memahami konteks dan implikasi hadis, termasuk hadis maudhu'.
Dalam tafsir dan kitab-kitab fiqih tersebut, kamu bisa menemukan penjelasan lebih
detail mengenai hadis maudhu' dan bagaimana menghindarinya.

j. Hikmah menghindari hadits maudhu dalam menentukan hukum islam


Ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dari mempelajari dan mengidentifikasi
hadis maudhu'. Salah satunya adalah kita bisa memastikan bahwa hadis yang kita gunakan
sebagai rujukan dalam menentukan hukum Islam adalah hadis yang sahih dan dapat dipercaya.
Hal ini dapat memastikan bahwa hukum Islam yang kamu tetapkan adalah sesuai dengan ajaran
Islam yang sebenarnya.
Ada banyak hikmah atau manfaat dari menghindari hadis maudhu'. Beberapa di antaranya
adalah:
1. Membuat kita lebih selektif dalam memilih hadis yang kita gunakan sebagai rujukan dalam
kehidupan beragama.
2. Mampu menjaga keaslian dan keotentikan ajaran Islam dalam menentukan hukum.
3. Menghindarkan kita dari kesalahan dalam beribadah atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai
dengan ajaran Islam.
4. Meningkatkan kualitas pengajaran agama Islam dan memperkuat kepercayaan umat Islam
terhadap hadis yang dijadikan rujukan.
KESIMPULAN
Hadis Maudhu’ adalah Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah
shollallahu’alaihi wasallam secara dibuat-buat dan dusta, baik itu disengaja maupun tidak
sengaja, padahal beliau tidak mengatakan, tidak memperbuatnya dan tidak
mentaqrirkannya.
Munculnya pemalsuan hadis berawal dari terjadinya fitnah di dalam tubuh Islam.
Dimulai dengan terbunuhnya Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab, kemudian Utsman
bin ‘Affan, dilanjutkan dengan pertentangan yang semakin memuncak antara kelompok
ta’ashub ‘Ali bin Abi Thalib di Madinah dan Mu’awiyah di Damaskus sehingga terjadi
perselisihan yang tidak bisa terelakan lagi. Namun lebih ironis lagi bahwa sebagian kaum
muslimin yang berselisih ini ingin menguatkan kelompok dan golongan mereka masing-
masing dengan al-Qur’an dan al-Hadis. Dikarenakan mereka tidak menemukan teks yang
tegas yang mengukuhkan pendapatnya masing-masing, karena banyaknya pakar al-
Qur’an dan al- Hadis pada saat itu, akhirnya sebagian diantara mereka membuat
hadishadis yang disandarkan kepada Rasulullah shollallahu’alaihi wasallam untuk
mendukung golongan masing-masing. Inilah awal sejara timbulnya hadis palsu
dikalangan umat islam.
Faktor-faktor Penyebab Munculnya Hadis Maudhu’: (1) Pertentangan Politik. (2)
Usaha kaum Zindiq. (3) Sikap Ta’ashub terhadap bangsa, suku, bahasa, negeri, dan
pimpinan. (4) Mempengaruhi kaum awam dengan kisah dan nasihat. (5) Perbedaan
pendapat dalam masalah ‘Aqidah dan ilmu Fiqih. (6) Membangkitkan gairah beribadah,
tanpa mengerti apa yang dilakukan. (7) Pendapat yang membolehkan seseorang untuk
membuat hadis demi kebaikan.
Ciri-ciri Hadis Maudhu’ : (1) Ciri-ciri yang Terdapat pada Sanad. (2)Ciri-ciri yang
Terdapat pada Matan. Pendapat Muhadisin Penggunaan Hadis Maudhu’: Ulama Islam
telah sepakat (ijmak ulama) bahwa hukum membuat dan meriwayatkan hadis maudhu’
dengan sengaja adalah haram. Ini terkait dengan perkara-perkara hukum-hukum syarak,
cerita-cerita, targhib dan tarhib dan sebagainya.
Pencegahan hadis maudhu’ bisa dengan cara : (1) Melakukan penelitian terhadap
sanad hadis (2) Memperkuat keabsahan hadis (3) Meneliti kejujuran para perawi hadis untuk
menetapkan status keabsahannya (4) Memiliki kriteria yang lebih selektif terhadap hadis-hadis
yang beredar di media sosial (5) Meningkatkan pemahaman tentang hadis supaya bisa
mengetahui mana saja hadis yang termasuk maudhu’
DAFTAR PUSTAKA

Nawir Yuselem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya, 2001),


Alhiwar Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah Vol. 04 No. 07 Januari-Juni (2016)
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012)
Drs.M.Agus Solahudin,M Ag ,Agus Suyadi,Lc.M.Ag
Zuman Malaka, “Sekilas Tentang Hadis Maudu”, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021)
Muhammad Saw, ‘DIRAYAH : Jurnal Ilmu Hadis ‫’عضو عيضي اقس الا كترال ط‬.
Lajnah Ilmiah, Pengantar Ilmu Hadis
H Mukhlis Mukhtar, Hadis Maudhu, And Dan Permasalahannya, "Hadis Maudhu' Dan Permasalahannya"
Dosen Uin Alauddin Dpk Pada Stai Ddi Maros’, 1996.
Jurnal Keislaman, "Ciri Ciri Hadist Maudhu", 3.1
Zuman Malaka, “Sekilas Tentang Hadis Maudu”, Jurnal Keislaman, 2.2 (2021)
Ilham Tanzilulloh, ‘Delegitimasi Hukum Islam : “Studi Terhadap Hadith Maudhu”, Al-Syakhsiyyah: Journal Of
Law & Family Studies, 1.2 (2019)
Ahmad Zumaro dkk “Ulumul Hadis” (2021)
AL-FATIH:JurnalStudiIslam Vol.10No.1
A F Dzakiy, A D Ustadiyah, and ..., ‘Hadis Palsu, Pemalsuan Dan Pencegahannya Di Era Digital’, Al-Bayan:
Journal of …, 1.2 (2022), 1–13 <https://ejournal.staikhozin.ac.id/ojs/index.php/al-bayan/article/view/
91>.

Anda mungkin juga menyukai