Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MANDIRI

MATA KULIAH ILMU MA’ANI AL-HADIS


Imin Abdul Muhaemin, 1808304016

“PANJANG RAMBUT NABI MUHAMMAD SAW: Studi Ma’ani al-Hadis dan


Implementasinya pada Jamaah an-Nadzhir Gowa-Sulawesi Selatan”
Karya Radhie Munadi
Jurnal TAHDIS Vol. 10 No 2, 2019.
Permasalahan yang dikaji dalam artikel ini adalah tentang pengamalan suatu hadis
Nabi Saw yang bersifat khalqiyyah yakni meniru gaya berbusana dan sifat rambut Nabi, hal
ini dilakukan oleh aliran Islam di Gowa, Sulawesi Selatan yang terkumpul dalam sebuah
jemaah yang diberi nama Jamaah an-Nadzhir. Pada jemaah ini mereka mencontoh dan
meniru pakaian Nabi dengan memakai jubah warna hitam serta menggunakan sorban hitam
dan pada bagian gaya rambutnya yaitu dengan memanjangkan rambut mereka serta mewarnai
rambutnya dengan warna pirang yang mana ini menurut mereka dijelaskan dalam hadis Nabi.
Tentu ini adalah pemikiran atau pemahaman yang berbeda dengan masyarakat muslim pada
umumnya, mereka berbeda cara pandang mengenai kehidupan Nabi sehingga mereka
tunjukkan dengan ciri-ciri fisik.
Dalam memahami suatu hadis Nabi, tokoh-tokoh Jamaah an-Nadhir tidak sedikit
memiliki perbedaan persepsi terhadap hadis yang mereka ajukan dengan pandangan
masyarakat pada umumnya, mereka memiliki pendekatan yang berbeda dan kekhassan
memiliki rambut pirang yang panjang.
Penelitian ini menggunakan metode library research terlebih dahulu, yaitu dengan cara
menggunakan takhrij hadis, pada bagian ini adalah penelitian mengenai biografi, nama
gurunya serta dari segi jarh wa ta’dil yang nantinya adalah berlanjut kepada analisis kualitas
hadis baik itu dari segi sanad dan dari segi matan. Lalu setelah kedua analisis tersebut sudah
mendapatkan hasil, maka cara selanjutnya adalah dengan menganalisis kandungan hadis
tersebut dengan menggunakan interpretasi tekstual, interpretasi intertekstual, dan
interpretasi kontestual, dan yang terakhir adalah analisis kritis pemahaman kandungan hadis
dan pemahaman Jamaah an-Nadzir tentang panjang rambut tersebut.
PEMBAHASAN
Untuk menelusuri hadis-hadis tentang panjang rambut nabi, penulis menerapkan
metode penelusuruan hadis dengan menggunakan salah satu lafadz Matan hadis. Dalam hal
ini, penulis menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadis karya A.J. Weinsinck yang
dialihbahasakan Muhammad Fuad Abd al-Baqi.
Analisis kualitas hadis dapat dilihat dari segi sanad, dalam rangkaian sanad, terdapat
beberapa perawi yang menjadi objek kajian untuk mendapatkan keterangan terkait kualitas
pribadi dan kapasitas intektual masing-masing. Dilihat dari segi matan, dalam penelitian
Matan hadis untuk membuktikan apakah Matan tersebut memenuhi syarat kesahihan Matan
hadis. Adapun syarat kesahihan Matan hadis ditinjau dari dua segi, yaitu terhindar dari
syuzuz dan ‘illah. M. Syuhudi Ismail menyebut keduanya dengan kaedah mayor, dan kaedah
mayor masing-masing memiliki kaedah minor. Kaidah mayor penelitian hadis ada dua yaitu
terhindar dari syuzuz dan ‘illah, yang masing- masing mempunyai kaidah minor.
Kaidah Minor ‘illah;
1) Tidak inqilab atau hadis tersebut tidak mengalami pemutarbalikan lafal,
2) Tidak terjadi idraj atau tidak adanya tambahan kalimat dari sebagian perawi sehingga
pendengarnya mengira bahwa tambahan itu bagian dari Matan asli,
3) tidak ada ziyadah atau tidak ada tambahan dari perkataan perawi yang tsiqah yang
biasanya terletak di akhir Matan,
4) Musahhaf/muharraf yaitu perubahan yang terjadi pada titik huruf atau harakat huruf
tersebut yang terdapat pada Matan hadis,
5) Adanya naqis atau mengurangi dari lafal Matan hadis sebenarnya. Kaidah Minor
Syuzuz; tidak bertentangan al-qur’an, tidak berbeda dengan hadis lain yang lebih
sahih, tidah bertentangan dengan sejarah, tidak bertentangan dengan logika.
Analisis Kandungan Hadis Panjang Rambut Nabi Muhammad saw. Pendekatan
Ma‘ani al-Hadis;
1) Interpretasi Tekstual, menurut Fu’ad ‘Abd al-Baqi yang mengutip dari pendapat ahlu al-
lugah mengatakan bahwa panjang pada bagian rambut terbagi atas dua bagian, pertama
disebut dengan al-jummah dan kedua disebut dengan al-wafrah. Dari pendapat
tersebut, peneliti akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian dari al- jummah dan al-
wafrah. Menurut Fu’ad al Baqi, al-jummah lebih banyak jika dibandingkan dengan
alwafrah. Al-jummah adalah rambut yang panjangnya sampai kedua bahu sedangkan al-
wafrah adalah rambut yang panjangnya sampai kedua daun telinga.
2) Interpretasi Intertekstual, salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam memahami
hadis adalah dengan melihat adanya hubungan suatu teks dengan teks lain, atau dalam
istilah disebut dengan interpretasi intertekstual. Dalam memahami sebuah hadis
dengan pendekatan intertekstual, peneliti memahami hadis yang menjadi objek kajian
dengan mempertimbangkan adanya tanawwu’ fi al-hadis.
3) Interpretasi Kontekstual, aplikasi teknik interpretasi kontekstual dapat dilakukan
dengan cara memahami kandungan hadis dengan memperhatikan segi konteksnya,
yaitu dilihat dari segi ada atau tidaknya asbab al-wurud. Yakni, dilihat dari segi Nabi
Muhammad saw. sebagai subyek hadis, yakni sebagai Rasulullah saw, kepala negara,
hakim, suami, atau pribadi beliau. Dilihat dari segi objeknya, yakni pihak yang
dihadapi Rasulullah saw. dalam menyampaikan sabdanya sangat memperhatikan latar
belakang budaya, kapasitas intelektual, dan kondisi kejiwaan audience- nya.
Dilihat dari segi bentuk peristiwa, qawliyah, fi‘liyah, taqririyyah Rasululla saw.,
pertanyaan dan perbuatan audience, tempat dan waktu peristiwa hadis. Analisis Kritis
terhadap Pemahaman Kandungan Hadis dan Pemahaman Jamaah an-Nadzir tentang
Panjang Rambut Nabi, melihat dari bentuk tekstual, substansi dan formalnya, maka Jamaah an-
Nadzir yang memiliki rambut panjang sepanjang penelusuran peneliti juga telah mengamalkan
bentuk substansi dan formalnya dengan merapikan rambut mereka dengan mengikatnya ataupun
juga terkadang dengan menyisirnya. Sehingga menurut peneliti, Jamaah an-Nadzir dapat
dikatakan mereka adalah salah satu komunitas yang berusaha mengamalkan salah satu bentuk
sunah Rasulullah saw. dari segi panjang rambut dan hal tersebut merupakan bagian dari
menghidupkan sunah Nabi saw.
“PERINTAH MEMERANGI NON MUSLIM DALAM HADIS (Analisis Ma’ani al-Hadis
dan Kontekstualisasinya)”
Karya A.M Ismatullah dan Haidir Rahman
Jurnal RAUSYAN Fikr, Vol.14 No.1, Juni 2018.
Permasalahan yang disajikan pada artikel ini adalah terdapat dua hadis yang saling
berkontradiksi jika dipahami secara tekstual, yang mana ada suatu hadis yang berisi perintah
memerangi penganut agama lain diluar Islam, dan memberikan kesan pemaksaan Islam
terhadap penganut agama lain dan disisi lain juga terdapat hadis-hadis Nabi juga yang
memerintahkan agar bersikap toleransi yang berasal dari sumber yang sama memunculkan
kemusykilan tersendiri dalam pemahaman hadis tersebut. Padahal telah diketahui bahwa
agama adalah hal yang sensitif, ketika seseorang mengutip sebuah hadis dalam argumennya
maka hal tersebut akan cukup mempengaruhi pemikiran-pemikiran, pola pikir dan tingkah
laku masyakarat muslim itu sendiri, karena masyarakat muslim sendiri menganggap hadis
adalah sesuatu yang sakral atau sebagai sumber kebenaran yang disampaikan oleh Nabi.
Hadis yang bermakna toleransi dan di satu sisi hadis-hadis perang ini, selain sumber
masalahnya adalah kurangnya pemahaman mereka terhadap kaidah-kaidah penafsiran, hal
lainnya adalah mereka tidak cukup ahli dalam memposisikan keberadaaan atau penempatan hadis-
hadis tersebut, karena misal hadis perang saja harus diletakkan pada posisi dan porsi yang
tepat, karena jika tidak ini akan mempengaruhi terhadap tindakan-tindakan seorang muslim
yang justru jauh dari nilai-nilai keislaman.
Penelitian terhadap kontradiksi hadis ini bertujuan mengungkap pemaknaan hadis
secara komprehensif dan mencari relevansinya dalam konteks zaman sekarang, karena bagi
hadis sendiri harus mencakup dua kontekstualisasi yakni konteks pada zaman Nabi atau pada
saat hadis tersebut muncul dan juga konteks pada zaman sekarang, dengan itu hadis akan
tetap eksis sampai akhir zaman.
Penelitian ini menggunakan penelitian pustaka yang bersifat deksriptif analistik, dan data-
data yang dikumpulkan memakai metode dokumentasi lalu dikelola lebih lanjut dengan metode
analisis ma’ani al-hadis. Peneliti menampilkan sebuah hadis yang lengkap dengan rawi, sanad,
matan dan jalur periwatan dari hadis yang sedang diteliti. Selain itu, peneliti memakai kritik
sanad dimana di dalamnya terdapat pemaparan mengenai biografi, jenis thabaqat dan juga
predikat jarh wa ta’dil setiap rawi dari jalur periwayatan yang berbeda. Namun bukan hanya
kritik sanad saja melainkan memakai kritik matan juga yang nantinya akan diketahui frase-
frase dari hadis yang sedang diteliti. Selain dari kritik sanad dan kritik matan, peneliti mencoba
menyajikan pemaknaan dari segi liungistik atau literal yang mana peneliti mencari kata kunci
dari hadis-hadis yang sedang diteliti, lalu ditampilkan juga penjelasan dari segi asbabul wurud
atau latar belakang historis hadis tersebut muncul yang nantinya akan mempunyai arti atau
kesinambungan dengan pemaknaan dari kata kunci yang diambil oleh peneliti dari hadis tersebut
yakni dari segi literal.
Metode deskriptif analistik yang dipakai dalam penelitian ini pun memakai
munasabah hadis dengan hadis, dan hadis dengan al-Qur’an kemudian peneliti menyajikan hadis-
hadis yang berkontradiktif dengan apa yang sudah diteliti, sehingga nantinya kesimpulan
dari artikel ini dapat dipertanggung jawabkan karena penyajian atau pemaparannya dengan
hal-hal yang valid.
PEMBAHASAN
Pada hadis tentang memerangi non muslim diriwayatkan oleh tujuh sahabat, salah satunya
adalah oleh Abdullah bin Umar yang mana dipertimbangkan atas tingkat keshahihan dan
kelengkapan matan, dan riwayat dari Abdullah bin Umar mengenai tingkat keshahihannya
sama dengan redaksi riwayat dari Abu Hurairah, tetapi untuk kelengkapan informasi matan
redaksi dari Abdullah bin Umar lebih unggul daripada riwayat dari Abdullah bin Umar.
Dari riwayat Abdullah bin Umar itu terdapat dua jalur periwayatan yakni jalur
periwayatan Bukhari dan jalur periwayatan Muslim, yang kedua-duanya diteliti mengenai
kritik sanadnya yaitu dari masalah biografi (nama, nasab, nisbah dan kuniyah), jenis thabaqat
serta predikat jarh wa ta’dil-nya. Dan setelah diteliti dalam ruang lingkup kritik sanad maka
terciptalah kesimpulan bahwa dari Bukhari untuk meriwayatkan hadis ini adalah hasan,
karena dari sisi dhabit terdapat Harami yang menempati shaduq yaitu jarh wa ta’dil dibawah
predikat tsiqah, tetapi sejatinya seluruh sanad nya shahih kecuali hadis riwayat Harami dari
Syu’bah itu menempati hasan. Jika hadis itu adalah shahih, maka akan menduduki shahih
lidzatihi.
Dari penelitian kritik matan mendapatkan tiga frase, yakni pertama berisikan tema
“perintah memerangi non muslim”, kedua berisikan tema “batasan akhir perang terhadap
muslim yaitu apa saja yang harus dilakukan non muslim agar mereka tidak diperangi oleh
pihak muslim”, ketiga berisikan tema “hak-hak yang diterima pihak non muslim setelah
melakukan perkara yang dituntutkan kepada mereka”. Seluruh matan hadis sepakat
menyebutkan hak suatu kaum yang telah bersyahadat yaitu terpelihara jiwanya dan harta
mereka, dalam artian jika sudah bersyahadat maka diharamkan untuk dibunuh. Dalam
pemaknaan hadis secara literal, terdapat dua kata kunci yakni al-qital yang mempunyai arti
dua pihak yang saling menyerang dan terjadi pertumpahan darah dan al-Nass menunjukkan
arti masih akan terus diperangi suatu kaum dalam jumlah banyak yang belum bersyahadat.
Adapun jika dilihat dari segi asbabul wurud atau latar belakang historis hadis tersebut
ternyata hadis ini muncul ketika perang khaibar yang terjadi pada bulan Muharram tahun ke-
7 H. Ini memberikan arti bahwa konteks hadis ini adalah konteks perang, bukan dalam
konteks damai, artinya non muslim yang diperintahkan untuk diperangi adalah kafir yang
telah memenuhi kriteria untuk diperangi, bukan semua kafir atau kafir yang hidup
berdampingan dengan damai bersama kaum muslim.
Penelitian terhadap hadis yang setema pun dilakukan, yakni hadis Miqdad bin Aswad
yang temanya sama yaitu tentang keharaman membunuh jiwa yang telah mengucapkan
syahadat, hanya saja dalam hadis ini tidak terdapat perintah untuk memulai peperangan
dengan non muslim. Selain dari hadis yang setema, ada hadis yang saling bertolakbelakang
juga yakni tentang toleransi, terdapat dua hadis yang dijelaskan yakni dua hadis tentang
pengampunan dan penjaminan Nabi terhadap kafir Quraisy saat fathul Mekkah, yang mana
hadis ini menunjukkan Nabi tidak memaksa orang-orang kafir untuk bersyahadat apalagi
sampai diperangi terlebih dahulu.
Selain dari hadis, peneliti pun membahas dari pemahaman hadis sesuai dengan
petunjuk al-Qur’an, yang mana al-Qur’an mengatakan bahwa orang kafir dibagi dua, ada
kafir yang boleh diperangi yaitu yang menjajah, merusak, mengusir kaum muslim dari
negerinya, dan ada pula yang haram diperangi yakni non muslim yang tidak memerangi,
tidak mengusir dan tidak memusuhi kaum muslim. Sehingga ini memberikan arti pada setiap
hadis harus ditempatkan pada porsi dan tempatnya, sehingga tidak menimbulkan hal yang
tidak diinginkan hanya karena pemahaman yang salah terhadap sebuah hadis Nabi.
“STUDI MAANI AL-HADIS (Hadis-Hadis Tentang Laba Perdagangan)”
Karya Rokhmad.
Jurnal Vol. 22 Nomor 2, Juli 2011
Permasalahan yang dikaji dalam artikel ini adalah mengenai boleh atau tidaknya
mengambil laba perdagangan lebih dari seratus persen, dimana perdagangan merupakan jalan
yang wajar dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan setiap orang pun
bebas untuk berusahan mendapatkan harta dan mengembangkannya, dimana untuk
memperoleh laba yang di dambakan, ada banyak cara yang dilakukan penjual untuk
mempengaruhi konsumen agar membeli barang dagangannya. Dari sini maka akan timbul
permasalahan yang jika kita kaitkan dengan hadis adalah bagaimana relevansi hadis tentang
laba perdangan jika dikaitkan dengan konteks kekinian, sehingga para pedagang dapat
mengambil laba dalam transaksi perdagangan dan tujuan dari perdagangan sendiri itu dapat
terpenuhi. Ketika berbicara hadis, ia adalah literatur yang dijadikan pedoman kedua oleh
umat Islam di dunia terkhusus di Indonesia sendiri, maka yang harus dilakukan oleh
masyarakat muslim sendiri adalah bagaimana cara memahaminya, dimana hadis muncul
ketika Nabi masih hidup dan hadis sendiri muncul disesuaikan dengan konteks sosial atau
keadaan yang terjadi pada kala itu. Dan tentunya setiap zaman akan menemukan perbedaan
masalah atau perkembangan masalah yang berbeda dengan zaman Nabi, termasuk
permasalahan mengenai laba perdagangan yang setiap zaman akan berbeda.
Hadis merupakan sumber tasyri’ kedua setelah al-Qur’an, pengkajian ulang serta
pengembangan pemikiran terhadap hadis sangat perlu untuk dilakukan dengan pemaknaan
kembali terhadap hadis, dan pada artikel ini membahas mengenai hadis yang secara tekstual
membolehkan mengambil laba perdagangan lebih dari seratus persen, namun seyogyanya
ketika memahami hadis tidak cukup jika dipahami secara tekstual saja melainkan harus juga
dipahami secara kontekstual dan ilmu- ilmu penunjang lainnya.
Pada artikel ini memakai metode ilmu maani al-Hadis yakni mencoba memahami
hadis dengan cara yang bijak, tidak dengan hawa nafsu sehingga nantinya akan dikembalikan
kepada data literatur yang menunjang dalam pemaknaan hadis ini dan juga mencoba
mengkontestualisasikan terhadap zaman sekarang, karena dalam dunia hadis itu terdapat dua
konteks yakni konteks pada zaman Nabi dan juga konteks pada zaman sekarang,
pengkontekstualisasian Hadis ini akan sangat berguna karena dapat menjadikan hadis tetap
eksis dan mewangi walaupun perkembangan zaman dan teknologi terus maju. Teori yang
dipakai dalam artikel ini menggunakan secara bahasa atau linguistik yaitu mencoba
memahami bagaimana pandangan secara bahasa ketika mendeksripsikan mengenai laba
perdagangan, dan nantinya dilandasi dengan beberapa pendapat para ulama seperti
Muhammad Syarbini, Syekh Zainuddin, As-Sayyid Sabiq, Hasbi Ash-Shidiqi lalu diakhiri
dengan pendapat atau rumusan dari Abdul Mujib. Selain bahasa yang digunakan dalam
artikel ini, peneliti pun mencoba memasukkan teori dan sistem ekonomi Islam yang terdiri
dari prinsip dan tujuannya, serta menggunakan konsep ekonomi mikro yang terjadi di zaman
modern, hal ini dilakukan dalam upaya pengkontekstualisasian hadis di zaman sekarang ini.
Setelah itu baru dilakukan takhrij hadis, lalu kritik sanad dan matan, pengambilan kata kunci
dalam hadis tersebut, lalu diakhiri dengan latarbelakang atau faktor historis hadis tersebut
muncul.
PEMBAHASAN
Perdagangan adalah persetujuan saling mengikat antara penjual, yakni pihak yang
menyerahkan barang dan pembeli sebagai pihak yang membayar harga yang dijual. Dalam
bahasa Arab, perdagangan disebut al-Bai’ yang artinya adalah menjual, sedangkan kata beli
dalam bahasa Arab dikenal dengan kata Syara’i yang artinya membeli, namun pada
umumnya kata bai’ sudah mencakup keduanya diartika muthlaq mubadalah yang artinya
mutlak tukar menukar. Jadi secara bahasa perdagangan adalah mengganti atau menukar
sesuatu dengan sesuatu. Adapun menurut istilah para ulama berbeda pendapat, termasuk
menurut al-Sayyid al-Sabiq, beliau berkata:
“Tukar menukar harta dengan harta yang dilakukan berdasarkan kerelaan atau
memindahkan hak milik dengan (mendapatkan benda lain) sebagai ganti dengan jalan yang
diizinkan oleh syara’”
Selain itu, Abdul Mujib mencoba merumuskan definisi al-Bai sebagai pelaksanaan akad
untuk penyerahan kepemilikan suatu barang dengan harta atau atas saling ridha, atau ijab dan
qabul atas dua jenis harta yang tidak berarti bederma atau menukarkan harta dengan bukan
atas dasar tabarru. Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
perdagangan dapat terjadi dengan cara, yakni: pertama, pertukaran harta antara dua pihak
atas dasar saling rela atau dapat dikatakan perdagangan dalam bentuk barter, kedua yaitu
memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan yakni berupa alat tukar yang sah
dalam lalu lintas perdagangan. Dengan melaksanakan transaksi perdagangan ini, maka
masyarakat mempunyai tujuan yaitu untuk kelangsungan hidup manusia yang teratur dengan
saling membantu antara sesamanya di dalam hidup bermasyarakat atau bersosial, dimana
pihak penjual mencari rizki dan laba, sedangkan pembeli mencari alat untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Kegiatan ekonomi adalah kegiatan dalam upaya memudahkan manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya yang mana untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka manusia harus
bertarung terhadap situasi, sosial dan lingkungan hidup yang berbeda-beda, maka terjadilah
antara sesama warga masyarakat berbagai macam perhubungan (muamalah) dan hal tersebut
jika dikaitkan terhadap agama Islam, dikenal dengan sebutan ekonomi Islam. Ekonomi Islam
adalah suatu sistem ekonomi yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan hadis yang
menekankan kepada nilai-nilai keadilan dan keseimbangan, dan dalam ekonomi Islam
terdapat konsep-konsep tentang prinsip-prinsipnya yaitu kebebasan individu, hak terhadap
harta, ketidaksamaan ekonomi dalam batasan, kesamaan sosial, keselamatan sosial, larangan
menumpuk kekayaan, larangan terhadap institusi anti-sosial dan kebajikan individu dalam
masyarakat. Dan pada prinsip tersebut terdapat nilai keislaman yang terkandung yakni
keadilan dan kebijakan antar sesama manusia dalam kegiatan bisnis, khususnya bisnis yang
baik dan etis, yang dari nilai keislaman tersebut terciptalah prinsip pokok ekonomi Islam
yakni kekayaan tidak dipusatkan pada sebagian kecil tangan manusia, namun melalui situasi
yang kontinyu pada komunitas dan dari berbagai ragam rakyat yang berpatisipasi dalam
bidak kekayaan nasional mendapatkan imbalan secara adil dan pantas.
Pada kajian ilmu maani al-hadis, langkah awal yang dilakukan adalah takhrij hadis
yang terdapat Kutub al-Tis’ah yang dari hasil takhrij tersebut menemukan hadis sebanyak 5
hadis, dan dari semua kitab hadis tersebut yang meriwayatkan hadis tentang laba
perdagangan adalah Urwah dan dari beberapa jalur periwayatan. Selanjutnya untuk
mempermudah i’tibar, bahwa tidak ada periwayat yang berstatus syahid karena yang
meriwayatkan hadis tersbeut hanya ‘Urwah bin Ja’ad, dalam penelitian terhadap sanad hadis
ini maka disimpulkan bahwa ini termasuk hadis yang marfu’ yakni hadis yang
periwayatannya sampai kepada Nabi, setelah itu barulah kepada penilaiain kritik matan,
dimana hadis tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’an, tidak bertentangan dengan hadis
karena tidak ada hadis yang melarang mengenai pengambilan laba sebesar 100 persen,
melainkan adanya yang membolehkan, dan tidak juga bertentangan dengan akal karena
sistemnya berlandaskan al-Qur’an dan hadis, dan jika disimpulkan maka hadis-hadis tentang
laba perdagangan itu bernilai shahih. Selain itu, peneliti mencoba meneliti kata kunci dalam
hadis tersebut, maka di dapatkanlah tiga kata kunci yakni isytira’ (menjual), ribh (laba) dan
bai’ (membeli) yang dikaitkan dengan hadis maka mengandung pemahaman “jika ingin
mendapat laba maka harus melakukan perdagangan”.
Dari pemahaman hadis tersebut jika sesuaikan dengan petunjuk al-Qur’an ternyata
tidak terdapat satupun ayat al-Qur’an yang secara tersurat menyatakan tentang batasan
pengambilan laba perdagangan, melainkan hanya mengenai keharaman riba dan perdagangan
didasarkan atas kerelaan dari kedua belah pihak. Sedangkan jika dilihat secara historis atau
asbabul wurud sebenarnya tidak ditemukan tetapi mencantumkan riwayat yang memang
menjelaskan bahwa dilarangnya mengambil laba dalam perdangan dengan jalan menipu,
menyamarkan perdagangan dengan menyembunyikan cacatnya barang dagangan, atau
menampakkannya (mengemasnya) dalam bentuk yang menipu yang tidak sesuai dengan
hakikatnya dengan tujuan mengecoh pembeli.

MUSIK; ANTARA HALAL DAN HARAM (Kajian Ma’ani al-Hadis)


Karya Amir Mahmud
Jurnal MAFHUM: Jurnal Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, Vol 2, No 2, November 2017
Permasalahan yang disajikan pada artikel adalah mengenai hadis yang berbicara musik dan
dibenturkan dengan Islam sebagai agama fitrah manusia yang cenderung mengarah kepada
sebuah kebenaran, keindahan, kesucian, kemurnian dan nilai mulia lainnya. Dan yang dititik
tekankan pada fitrah manusia ini adalah mengenai keindahan (seni musik) yang menjadi
sebuah tren pada zaman sekarang ini, dimana musik menjadi seni yang digandrungi oleh
semua elemen masyarakat, termasuk diantaranya yang masih remaja, yang muda, sampai orang-
orang tua pun ternyata cukup menggandrungi seni musik ini karena dianggap sebagai media
untuk membuang jenuh ketika mereka sudah beraktivitas seharian penuh dan juga dijadikan
sebagai media untuk mencurahkan isi hati, pikiran, menumbuhkan semangat dan hal lainnya
lalu dituangkan dalam bentuk lyric sebuah lagu. Namun, secara literatur terdapat beberapa hadis
yang jika dipahami secara terkstual maka akan memberi pengertian kepada kita bahwa hadis
tersebut melarang atau mengharamkan musik.
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan satu ayat pun yang menjelaskan tentang musik
secara eksplisit, namun jika melihat beberapa karya ulama yang berfokus dalam masalah
hadis maka akan ditemukan yaitu kitab hadis Shahih al-Bukhari yang disepakati oleh para
ulama sebagai kitab yang hanya mengkoleksi hadis yang berstatus shahih saja, dan secara
tekstual hadis itu memberikan indikasi bahwa musik adalah sesuatu yang diharamkan di
agama Islam, namun disisi lain agama Islam adalah agama fitrah yang menyukai keindahan
dan apakah mendengarkan musik termasuk hal yang dilarang dan akan berakibat terhadap hal-
hal yang berbau dosa.
Metode yang dipakai dalam artikel ini adalah ilmu ma’ani al-hadis, dan teori yang
dipakainya adalah linguistik, munasabah hadis dengan hadis, muqarran hadis dengan hadis,
ditambahi dengan penjelasan dari ilmu-ilmu penunjang lainnya seperti ushul fiqih dan
penafsiran dari para ulama tafsir modern yang cukup memahami dan ahli dalam dunia hadis
sebagai bentuk pengkontekstualisasian hadis-hadis yang melarang musik dengan konteks
zaman sekarang yang mana banyak masyarakat yang mempunyai rasa suka dan senang
terhadap musik itu sendiri.
PEMBAHASAN
Artikel ini diawali dengan pemaparan mengenai redaksi hadis tentang musik yang
terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, makna dari hadis tersebut adalah Nabi ketika
menyampaikan hadis tersebut sedang berposisi sebagai Nabi, indikatornya adalah hadis ini
berbicara dalam ruang lingkup norma, kehalalan dan keharaman sesuatu dan hadis prediksi.
Dan jika kita melihat pemaknaan secara tekstual maka hadis ini berorientasi tentang hukum,
yang konsekwensinya adalah menjalankan atau meninggalkan, dan peneliti mencoba melihat
dari secara bahasa dimana mengambil beberapa kata kunci yakni layakuunanna (sungguh-
sungguh benar terjadi), yasta’jiluna (menduga halal/keharamannya tidak hilang), al-Hira
(menganggap halal jina), al-Harir (sutra), al-Khamr (minuman keras/memabukkan), dan al-
Ma’ajif (alat musik yang bersenar banyak), setelah peneliti mencoba melihat dari pemaknaan
intertekstual dan disini ada dua pernyataan hadis yang berkontradiktif yang mana disatu sisi
ada yang melarang dan ada juga membolehkan, adapun hadis yang melarang terdapat dalam
kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, at-Tirmizi dan Tabrani namun dari keempat riwayat
ini ternyata adakalanya riwayat bi-al makna dan berbeda secara konteks, yang berbeda
secara makna terdapat dalam kitab at-Tirmizi dan Tabrani yang mencakup satu konteks, dan
secara makna dan satu konteks juga terdapat dalam Musnad Ahmad, dan untuk Shahih
Bukhari terdapat dalam satu konteks, sehingga dari keempat riwayat tersebut mempunyai
perbedaanya masing-masing. Adapun hadis yang membolehkan musik terdapat dalam
beberapa kitab hadis seperti Shahih Bukhari yang mempunyai empat riwayat, Kitab Shahih
Muslim mempunyai tiga riwayat, at-Tirmizi mempunyai satu riwayat, Sunan Ibnu Majah
mempunyai satu riwayat dan dalam kitab Musnad Ahmad bin Hanbal mempunyai satu
riwayat.
Dan jika melihat dalam pemaknaan kontesktual, ternyata tidak ditemukan asbabul
wurud mengenai hadis yang melarang musik baik asbabul wurud yang bersifat langsung atau
tidak langsung, maka peneliti melakukan analisa terhadap sesuatu yang terdekat dengan hadis
tentang musik yakni yang setema dan mengenal latarbelakang sahabat yang mendengar hadis
ini. Dan mengenai status keshahihan hadis terutama yang melarang memainkan musik,
menurut beberapa pengkritik hadis menganggapnya sebagai hadis yang tidak memenuhi
unsur keshahihan, dan ketika mengenal sahabat yang meriwayatkan hadis ini yang mana
bertujuan untuk menemukan korelasi antara sahabat dan hadis yang diriwayatkannya
Dan dalam tadabur hadis tentang musik jika melihat dari Kitab Shahih Bukhari, hadis
tentang larangan musik ini menyatakan bahwa hadis tersebut dinilai sebagai hadis muallaq
tapi bukan berarti terjadi keterputusan sanad yang mutlaq atau terjadi tadlis, melainkan
karena isnad hadis ini adalah tidak bertemu secara langsung antara al-Bukhari dengan
Hisyam bin ‘Ammar dan ini tidak menggugurkan status keshahihan hadis dikarenakan
adanya keterangan yang begitu jelas dalam sanad tersebut, baik dari jalur sanad itu sendiri
dan dari jalur lain. Sedangkan hadis yang membolehkan musik dapat disimpulkan tidak ada
keraguan dengan status keshahihannya.
Selain dari validitas ini, peneliti pun mencoba memaparkan dalil lain yang saling
terkait dengan hadis tentang musik yakni tentang pelarangan musik, ada beberapa ulama yang
mencoba menguatkan argumentasi tentang pelarangan musik tersebut dengan tafsir ayat al-
Qur’an seperti Mujahid yang menafsirkan surat al-Furqan ayat 72, pada lafadz bisautika
dimaknai dengan nyanyian. Namun disisi lain juga ada argumentasi tentang kebolehan musik
yang mana dalam ushul fiqih terdapat kaidah yang disepakati oleh para ulama yakni ketika
menetapkan hukum yang tidak ada dasar keharamannya secara jelad dalam syariat, dan dalam al-
Qur’an dan hadis tidak ada pernyataan secara tegas bahwa musik merupakan perkara yang
diharamkan, dan jika memakai kaidah ini maka musik baik itu memainkan, mendengarkan
dan apapun yang berkaitan dengannya adalah sesuatu yang diperbolehkan dalam agama
Islam.
Disamping ada penguat ushul fiqih ternyata ada beberapa penafsiran para ulama
terhadap ayat al-Qur’an yang memperbolehkan terhadap musik, dan musik dalam
pembahasan makna holistiknya adalah suara yang disusun sedemikian rupa sehingga
mengandung irama, lagu dan keharmonisasn terutama dari suara yang dihasilkan dari alat-alat
yang dapat menghasilkan irama, walaupun ada hadis yang melarang penggunaan seruling dan
lonceng namun itu tak bisa dijadikan dalil untuk pengharam kedua alat musik tersebut, karena
Nabi tidak secara tegas menyatakan pengharamannya melainkan Nabi tidak sukanya apakah
karena dzatnya atau hal yang melatarbelakanginya, sebab jika dinalar dengan logika, secara
substansif adakah perbedaan antara seruling dan lonceng yang bisa menimbulkan suara atau bunyi-
bunyian yang dirangkai dalam menghasilkan irama yang indah. Selain itu tujuan dari dilarangnya
musik adalah supaya umat muslim terhindar dari kelalaian, dan dalam konteks kekinian terkadang
musik bisa membuat umat muslim malah bersemangat kembali dalam beribadah, sebagai
penghilang penat karena aktivitasnya dan untuk menambah semangat dan gairah beraktivitas
kembali, sehingga dengan ini musik hanyalah sarana bukan tujuan, dan bisa disimpulkan
bahwa hal apapun yang dapat melalaikan itu harus dijauhi, sarana nya apa saja yang penting
adalah jika hal tersebut malah melalaikan terhadap individu umat Islam maka hal tersebut harus
dijauhi.

ANJURAN BERPAKAIAN PUTIH DALAM NORMATIVITAS HADIS


(Studi Takhrij al-Hadis dan Ma’ani al-Hadis)
Karya Eko Zulfikar
Jurnal Diroyah: Jurnal Ilmu Hadis, Vol 3, Nomor 2, Maret 2019.
Permasalahan yang diangkat pada artikel ini adalah anjuran berpakaian putih karena
dari hadis Nabi yang berbicara bahwa pakaian putih dianggap akan lebih baik dan suci,
sehingga dengan ini akan indikasi atau stigma di masyarakat muslim yaitu harus selalu
memakai pakaian yang berwarna putih, padahal disisi lain banyak masyarakat yang
melakukan kegiatan atau pekerjaannya yang di luar rumah seperti menjadi tukang bangunan,
menjadi petani, pedagang dan sebagainya, dan jika memakai pakaian berwarna putih malah
akan mengotori dari pakaian putih itu sendiri.
Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah dengan metode takhrij hadis dengan
berfokus pada library reserch atau studi pustaka yang mana nantinya berusaha melacak
seluruh hadis-hadis Nabi tentang anjuran berpakaian putih dalam kutubu tis’ah. Selain itu,
peneliti pun metode kualitatif dengan teori pendekatan etika serta analisis data
intertekstualitas atau ma’ani al-hadis.
Dalam memahami hadis harus mengetahu terlebih dahulu susunan matan hadis,
namun sebelum itu harus dilakukan studi sanad guna memperoleh orisinalitas dan validitas
setiap hadis, dan dari kedua pendekatan ini menjadi titik terang dan penting agar hadis tidak
mengarah salah pemahaman.
PEMBAHASAN
Ada beberapa hadis yang berisi tentang anjuran berpakaian berwarna putih yakni riwayat dari
Ibnu Majah dengan redaksi tsiyabikum al-bayad, dan ada juga dari riwayat at-Tirmidzi
dengan menggunakan redaksi ilbasu al-bayad, dilihat dari redaksi tsibikum al-bayad dan
ibasu al-bayad, tampak jelas bahwa konten kandungan maknanya menguraikan persoalan
yang sama yakni umat Islam dianjurkan oleh Nabi untuk senantiasa mengenakan pakaian
putih, dengan alasan karena lebih baik, bersih dan suci. Meski kedua hadis tersebut
redaksinya sedikit berbeda namun maknanya tetap sama. Hal ini mengindikasikan bahwa
kedua perawi hadis tersebut menggunakan periwayatan bi al-makna. Berdasakan pada
metodologi takhrij al-hadis, yaitu takhrij al-hadis dengan lafadz dan takhrij al-hadis dengan
tema pembahasan, penulis menemukan beberapa hadis tentang anjuran berpakaian putih
diantaranya, yaitu Sunan Abu Dawud , Al-Jami’ al-shahih, Sunan al-Kubra dan Musnad
Ahmad bin Hanbal.
I’tibar sanad merupakan upaya menyertakan berbagai sanad lain pada suatu hadis, di
mana pada hadis tersebut bagian sanad-nya hanya terdapat satu jalur periwayatan saja.
Kegunaan I’tibar sanad tidak lain hanya untuk mendapat kondisi sanad hadis apakah terdapat
pendukung perawinya atau tidak, baik perawi yang mutabi’ ataupun syahid. Setelah
dilakukan i’tibar sanad, peneliti pun melakukan rangkaian skema sanad dan menemukan dua
jalur sahabat dalam hadis yang berkenaan dengan anjuran berpakaian putih, yakni jalur
sahabat Ibn ‘Abbas dan Samurah bin Jundab.
Lalu peneliti mencoba memaparkan para kritikus hadis yang mana mayoritas kritikus
hadis seperti Abu Hatim al-Razi, al-Nasa’i, Utsman bin Abi Syainah, Ibn Hibban, alDzahabi,
Ibn Hajar al-‘Asqalani, dan Yahya bin Ma’in –memiliki perspektif yang relative sama bahwa
para perawi dalam hadis tentang anjuran berpakaian putih adalah tsiqah. Adapun jalur sanad
pada hadis tersebut juga muttashil (bersambung) mulai awal sampai akhir, dan dari sisi matan-
nya, hadis tersebut tidak mengandung ‘illat dan terbebas dari syadz. Oleh karena itu, validitas dan
orisinalitas hadis tentang anjuran berpakaian putih dinilai shahih karena telah termuat
persyaratan hadis sahih.
Lalu jika hadis ini dibahas dengan pendekatan etika maka secara historis sebenarnya
tidak ditemukan latar belakang kemunculan hadis asbab al-wurud. Tetapi yang jelas, hadis
tersebut berbicara tentang berpakaiain putih yang sangat dianjurkan oleh Nabi, dengan alasan
karena dianggap lebih baik, bersih dan suci daripada warna pakaian yang lain. Namun
realitasnya dalam beberapa riwayat lain yang berkaitan tentang pakaian Nabi, beliau tidak
hanya mengenakan pakaian putih dan salah satu etika yang melekat pada diri manusia adalah
memperhatikan keindahan dirinya baik itu kesucian maupun kebersihan, sehingga dengan ini
Nabi sangat senang mengenakan pakaian putih karena akan terlihat kebersihannya, dan jika
kotor pun maka akan terlihat dimana kotornya karena dari warna putih itu sendiri.
Secara substansi, hadis-hadis Nabi tentang anjuran berpakaian putih tersebut bersifat
perintah, karena bentuk redaksinya adalah spontan dari qauly atau ucapan Nabi dan posisi
Nabi ketika itu berada dalam posisi sebagai Rasulullah. Dan hal ini berbeda dengan beberapa
riwayat yang menyatakan keadaan berpakaian Nabi yang lain, sebab hanya berbentuk hal-
ihwal (taqriry) Nabi yang disampaikan oleh para sahabat yang menyaksikan. Meski
demikian, walaupun redaksinya berbentuk perintah namun hadis tersebut mengindikasikan
perintah sunah, bukan wajib dan hal ini memberikan arti kepada kita bahwa masyarakat
muslim diberi kebebasan silahkan memakai pakaian berwarna apa saja, namun yang harus
dijunjung tinggi adalah prilaku, moral dan akhlak muslim itu sendiri sehingga sesuai dengan
makna warna putih yang disukai oleh Nabi, bukan dinilai dari pakaiannya melainkan dari
nilai kepribadian individu itu sendiri.
Hadis tentang anjuran berpakaian putih memiliki jalur sanad yang banyak dan merupakan
bentuk periwayaytan bi al-makna yang bernilai sahih, karena telah memenuhi kriteria dan
persyaratan hadis shahih. Terlebih pada perawi thabaqat pertama, yakni Ibn’Abbas dan
syahid-nya Samurah bin Jundab yang dikomentari oleh para kritikus hadis sebagai perawi
‘adil, stiqah, dan dhabit. Hadis Nabi tentang berpakaian putih ini merupakan sebuah anjuran
yang berbentuk perintah sunah. Meski dalam praktiknya Nabi tidak hanya mengenakan
pakaian putih, tetapi jika dicermati secara seksama terdapat indikasi bahwa anjuran Nabi itu
berlaku untuk seluruh umatnya dengan redaksi memotivasi agar mengenakan pakaian putih.
Dengan mengenakan pakaian putih, Nabi menginginkan umatnya untuk selalu
memperhatikan kebaikan dan kebersihan, warna putih di samping mengandung nilai etika
yang lebih baik, bagus dan suci, seorang yang mengenakannya juga tampak lebih indah dan
elegan. Untuk itu seseorang yang mengenakan pakaian warna putih diharapkan dapat menjadi
pribadi yang beretika dan berperilaku sesuai dengan nilai warna tersebut. Warna putih yang
dianjurkan Nabi ini secara filosofis hanya merupakan simbol semata agar sesuai dengan kualitas-
kuantitas kandungan makna yang ada di dalamnya yaitu bersikap luhur dalam prilaku dan
pribadinya sesuai dengan warna putih itu sendiri, meskipun hanya sebuah simbol, tetapi dengan
simbol itulah akan lebih memudahkan pencapaian tujuan yang diinginkan.

Anda mungkin juga menyukai