Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Yusron

Nim : 1808304075
MK : Ayat Tafsir sufi & Falsafi
TUGAS RESUME
Pengertian Tafsir Falsafi
Tafsir sebagai wahana menghidupkan Al Qur’an dengan mendasarkan pada
pemahaman terhadap ayat ayat Al Qur’an telah mengalami perkembangan yang panjang.
Selain karena keterlibatan ulama mufassirin, Tafsir juga berkembang pesat dari beragam
sudut disiplin keilmuan yang biasa disebut dengan corak tafsir. Tafsir yang dikembangkan
oleh para Fuqoha akan bernuanasa Fikih dan disebut Tafsir Fiqhi, tafsir yang dikembangkan
para sainstis disebut corak tafsir ilmi dan Tafsir yang dikembangkan berdasarkan pendekatan
Filsafat dan Tasawuf maka disebut corak Tafsir Falsafi dan Sufistik.
Penafsiran terhadap al-Quran telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam.
Sejalan dengan kebutuhan umat manusia untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Quran
serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Quran pun terus
berkembang, baik pada masa ulama salaf maupun khalaf bahkan hingga sekarang. Pada
tahapan-tahapan perkembangannya tersebut, muncullah karakteristik yang berbeda-beda baik
dalam metode maupun corak penafsirannya.
Pengertian Tafsir Sufistik
Dalam tradisi ilmu tafsir klasik, tafsir bernuansa tasawuf atau juga sufistik sering
didefinisikan sebagai suatu tafsir yang berusaha menjelaskan makna ayat-ayat al-Quran dari
sudut esotorik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam
suluknya. Kata tasawuf sendiri menurut Muhammad Husen alDzahabi adalah transmisi jiwa
menuju Tuhan atas apa yang ia inginkan atau dengan kata lain munajatnya hati dan
komunikasinya ruh.
Secara umum, dapat dipahami bahwa ciri khas tafsir sufi dalam mendekati AlQur’ân
adalah pada sisi penggunaan intuisi atau ‘irfan. Dalam konteks pemikiran kaum sufi, intuisi
memiliki makna yang lebih dalam, karena berada dalam ranah spiritualketuhanan. Intuisi
kaum sufi bukan sekedar bisikan atau gerak hati yang murni bersifat manusiawi, namun di
sana terdapat pancaran Ilahiyah yang hadir melalui penyingkapan (mukasyafah). Model
inilah yang membawa dampak dalam penafsiran Al-Qur’ân yang melahirkan dua model
penafsiran sufistik yang dikenal dengan tafsir sufi al-isyâri dan tafsir sufi nazhari.
Sejarah Tafsir falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan sains mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan
Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing
ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara
bukubuku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para filosofi seperti Aristoteles
dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua golongan, sebagai
berikut:
Pertama, golongan ini menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan
para filosofi tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami
ada di antara yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka dengan
menolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya,
membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya
dari kaum muslimin.
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah
Hujjah al-Islam al-Imam, Abu Hamid al-Ghazaly. Oleh karena itu, ia mengarang kitab al-
Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd,
demikia pula Imam al-Fakhr al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka
dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan dengan
agama dan al-Quran.
Kedua, sebagian ulama Islam yang lain justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni
dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma (dasar) Islam,
berusaha memadukan antara filsafat dan agama, kemudian menghilangkan pertentangan yang
terjadi di antara mereka keduanya.
Golongan ini hendak menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan teori-teori filsafat
mereka semata, akan tetapi mereka gagal, oleh karena itu mungkin nash al-Quran
mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya. Muhammad Husain al-
Dzahabi menanggapi sikap golongan ini, ia berkata: “Kami tidak pernah mendengar ada
seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filsafat, yang mengarang satu kitab
tafsir al-Quran yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian
dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Quran yang berpencar-pencar dikemukakan
dalam bukubuku filsafat karangan mereka”.
Sejarah tafsir sufistik
Corak penafsiran sufi ini didasarkan pada argumen bahwa setiap ayat al-Quran secara
potensial mengandung empat tingkatan makna: zhahir, bathin, hadd, dan matla’. Keempat
tingkatan makna ini diyakini telah diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila corak penafsiran semacam ini memang bukan
hal yang baru, bahkan telah dikenal sejak awal turunnya al-Quran kepada Rasulullah SAW,
sehingga dasar yang dipakai dalam penafsiran ini umumnya juga mengacu pada penafsiran
ini al-Quran melalui hierarki sumber-sumber Islam tradi sional yang disandarkan kepada
Nabi SAW, para sahabat, dan pendapat kalangan tabi’i.
Klaim sebagai pengemban risalah akhlaqiyyah memberi peluang bagi kemungkinan
bahwa para sufi mampu menerima pengetahuan Tuhan berkat kebersihan hati mereka ketika
mencapai tahapan ma’rifat dalam tahap-tahap muraqabah kepada Allah SWT. Sebuah konsep
mistik yang oleh Ibn ‘Arabi dikategorikan sebagai kemampuan para sufi dalam mencapai
kedudukan yang disebutnya sebagai al-nubuwwat al-amma al-muktasabah (predikat kenabian
umum yang dapat diusahakan). Berbeda dengan predikat para Rasul dan Nabi yang menerima
nubuwwat al-ikhtisas (kenabian khusus) ketika mereka dipilih oleh Allah sebagai utusannya,
kenabian umum bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan setelah pintu kenabian tertutup sampai
akhir zaman nanti.
Corak tafsir sufi
(Tafsîr al-Shufiyah) adalah yakni tafsir yang didasarkan atas olah sufistik, dan ini
terbagi dalam dua bagian, yaitu tafsîr shûfi nadzary dan tafsîr shûfi isyary. Tafsir sufi nadzary
adalah tafsir yang didasarkan atas perenungan pikiran sang sufi (penulis) seperti renungan
filsafat dan ini tertolak. Tafsir sufi isyary adalah tafsir yang didasarkan atas pengalaman
pribadi (kasyaf) si penulis seperti tafsîr al-Quran al-‘Adzîm karya al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr
karya al-Sulami dan ‘Arâis al-Bayân fî Haqâiq al-Quran karya alSyairazi. Tafsir sufi isyari ini
bisa diterima (diakui) dengan beberapa syarat, yaitu: ada dalil syar’i yang menguatkan, tidak
bertentangan dengan syariat/rasio, tidak menafikan makna zahir teks. Dan jika tidak
memenuhi syarat ini, maka ditolak.
Corak ini ada dua macam yaitu :

1. Taṣawuf Teoritis
Aliran ini mencoba meneliti dan mengkaji al-Qur‟an berdasarkan teori-teori
mazhab dan sesuai dengan ajaran-ajaran orang-orang sufi. Penafsir berusaha maksimal untuk
menemukan ayat-ayat al-Qur‟an tersebut, faktor-faktor yang mendukung teori, sehingga
tampak berlebihan dan keluar dari dhahir yang dimaksudkan syara‟ dan didukung oleh kajian
bahasa. Penafsiran demikian ditolak dan sangat sedikit jumlahnya. Karya-karya corak ini
terdapat pada ayat-ayat al-Qur‟an secara acak yang dinisbatkan kepada Ibnu Arabi dalam
kitab al-futuhat makkiyah dan al-Fushuh.

2. Taṣawuf Praktis
Yang dimaksud dengan taṣawuf praktis adalah tasawuf yang mempraktekan gaya
hidup sengsara, zuhud dan meleburkan diri dalam ketaatan kepada Allah. Para tokoh aliran
ini menamakan tafsir mereka dengan al-Tafsir al-Isyari yaitu menta‟wilkan ayat-ayat,
berbeda dengan arti dhahir-nya berdasar isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak jelas
oleh para pemimpin suluk, namun tetap dapat dikompromikan dengan arti dhahir yang
dimaksudkan.

*Corak Tafsir Falsafi*


Corak Tafsir falsafi yaitu tafsir yang didominasi oleh teori-teori filsafat sebagai
paradigmanya. Ada juga yang mendefinisikan tafsir falsafi sebagai penafsiran ayat-ayat al-
Quran dengan menggunakan teori-teori filsafat.
Hal ini berarti bahwa ayat-ayat al-Quran dapat ditafsirkan dengan menggunakan filsafat.
Karena ayat al-Quran bisa berkaitan dengan persoalan-persoalan filsafat atau ditafisirkan
dengan menggunakan teoriteori filsafat. Dengan kata lain, Tafsîr al-Falâsifah berarti
menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan pemikiran atau pandangan falsafi, seperti tafsir
bi al-ra’y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan
pemikiran yang menjustifikasi ayat.
[14/9 07.54] Agus IAT: *Contoh*:
Penafsiran Sufi surat al-Fatihâh dalam tafsir Tâj Al- Muslimîn dan al-Iklîl karya K.H. Misbah
Mustofa :

) ُ‫ك ن َۡست َِعین‬


َ ‫ك ن َۡعبُ ُد َوإِیَّا‬
َ ‫(إِیَّا‬
[Surat Al-Fatihah ]
Ayat ini ditafsirkan sebagai berikut: “ketika orang menjalankan suatu ibadah tanpa
dilandasi dengan khusuk, ibadah orang tersebut belum bisa dinamakan ibadah karena belum
mendapatkan pertolongan dari Allah. Disini beliau membagi tiga tingkatan tentang ibadah
Pertama : tingkatan rendah yaitu Ibadah kepada Allah hanya untuk mendapatkan
pahala dari Allah, atau jangan sampai diberi siksa dari Allah, sebab sejatinya yang disembah
itu adalah pahala bukanlah Allah SWT dan Allah dijadikan perantara untuk menghasilkan apa
yang makhluk kehendaki. *Kedua*, tingkatan tengah adalah sebab ada tujuan untuk menjadi
orang yang mulia atau ingin menjadi orang yang dekat sama Allah. *Ketiga*. tingkatan luhur
adalah ibadah kepada Allah ,sebab Allah adalah Tuhan yang paling besar dengan rahmatnya,
kekuasaannya, sudah semestinya orang ini takzim dan mengagungkan Allah.
Contoh Tafsir Falsafi
Contoh Penafsiran dalam Kitab Tafsir al-Mizan, Tafsir Thabathaba’i atas ayat tentang
pluralisme dalam QS. Al-Baqarah Ayat 62:
‫هّٰلل‬
َ ‫ َل‬g‫ ِر َو َع ِم‬g‫وْ ِم ااْل ٰ ِخ‬ggَ‫ِ ْينَ َم ْن ٰا َمنَ بِا ِ َو ْالي‬gِٕ‫ ٰرى َوالصَّابِـٕـ‬g‫ص‬
‫ َد َربِّ ِه ۚ ْم َواَل‬g‫ ُرهُ ْم ِع ْن‬gْ‫الِحًا فَلَهُ ْم اَج‬g‫ص‬ ٰ َّ‫ا ُدوْ ا َوالن‬ggَ‫وْ ا َوالَّ ِذ ْينَ ه‬ggُ‫اِ َّن الَّ ِذ ْينَ ٰا َمن‬
٦٢ – َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم يَحْ َزنُوْ ن‬ ٌ ْ‫خَ و‬
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan
orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa
takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.”
Al-Thabathaba’i mengutip sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab al-Dur al-
Mantsur, karya al-Suyuthi bahwa ayat di atas memiliki setting historis (asbab alwurud)
tersendiri. Yaitu sebuah kisah yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi bahwa ia pernah
bertanya kepada Nabi Muhammad saw. tentang posisi ahli kitab yang hidup bersamanya,
kelak di akhirat. Kemudian ia menuturkan tentang ritual ibadahnya. Lalu turunlah ayat di
atas. Al-Thabathaba’i menjelaskan ayat di atas dengan menyatakan bahwa pengulangan kata
iman ( َ‫ ) َم ْن ٰا َمن‬adalah sebuah sifat yang hakiki. Yakni kebahagia yang dijanjikan oleh ayat di
atas tidak diharuskan beragama Islam, orang-orang Yahudi, Nasrani. Melainkan orang-orang
yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuat kebaikan.
Pluralisme Menurut Mufassir yang Lain: Imam al-Qurthubi mengutip pendapat dari
Ibnu Abbas bahwa ayat di atas telah dinaskh dengan ayat dalam QS. Al—Imran ayat 85 yang
berbunyi :

٨٥ - َ‫ َوهُ َو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين‬gُ‫َو َم ْن يَّ ْبت َِغ َغي َْر ااْل ِ ْساَل ِم ِد ْينًا فَلَ ْن يُّ ْقبَ َل ِم ْن ُۚۚه‬

“Barang siapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima”
Dilain pihak, al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyafnya memberikan komentar atas
ayat di atas dengan menyatakan bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Shabi’ah, akan
selamat sekiranya mereka beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal shaleh serta masuk
Islam dengan tulus. Analisis Perbandingan Dari ketiga pendapat para mufassir di atas
setidaknya bisa dianalisa lebih mendalam bahwa perbedaan pendapat antara Thabathaba’i
dengan al-Qurthubi adalah berangkat dari permasalah naskh. Bagi Thabathaba’i, naskh dalam
ayat ini tidak terjadi, karena naskh hanya berkaitan dengan masalah hukum, bukan dalam
masalah ancaman dan janji sebagaimana ayat di atas. Sementara bagi al-Qurthubi, naskh bisa
dilakukan dalam wilayah non hukum. Sedangkan pendapat al-Zamakhsyari bermula dari
redaksi kewajiban beriman kepada Allah dipahami bahwa secara implisit ayat itu bermakna
keharusan masuk Islam.
Dari contoh ayat di atas, setidaknya bisa disimpulkan secara sederhana bahwa
penafsiran Thabathaba’i adalah penafsiran yang mengkompromikan kedua sumber tafsir, baik
bi al-Ma’tsur maupun bi al-Ra’yi. Di samping itu, kajian yang ia tawarkan dalam kajian
pluralism agama juga bisa dikatakan progresif, karena tidak hanya berhenti pada riwayat-
riwayat. Melainkan juga menggunakan nalar, di samping sejarah agama-agama yang juga
disampaikannya dalam kajian ini.

Anda mungkin juga menyukai