NIM : 201910110311402
Mata Kuliah : Hukum Islam
Kelas :H
20 Kaidah fiqh
1. Kaidah fiqh 1
كل شرط يخالف أصول الشريعة باطل
“Semua syarat yang menyalahi prinsip-prinsip dasar syariat adalah batal”
Kaidah ini berlaku dalam semua bidang fikih, baik dalam ibadah mahdhah, munakabat, waris,
muamalah, sinayah, jinayah, dan peradilan. Yang dimaksud dengan dasar-dasar syriah adalah
prinsip-prinsip syariah dan/atau semangat atau jiwa syariah.
Contoh: Dalam jinayah misalnya, mensyaratkan suka (ridha) sama suka dalam hubungan
seksual antara wanita dan laki-laki tanpa akad nikah adalah batil. Demikian pula
mensyaratkan si istri tidak berhak atas warisan, atau juga mensyaratkan riba dalam
muamalah.
2. Kaidah fiqh 2
ما حرم إستعماله حرم إتخاذ
“Apa yang haram digunakannya, maka haram pula didapatkannya”
Maksudnya adalah apa yang haram digunakannya, baik diamakan, diminum, atau
diapakainya, maka haram pula mendapatkannya.
Contoh: Khamer dan barang-barang yang memabukkan seperti narkoba adalah haram,
maka haram pula membuatnya, membelinya, membawanya, menyimpannya, dan harga
penjualannyapun haram.
3. Kaidah fiqh 3
االمور بمقاصدها
“Segala sesuatu tergantung pada tujuannya”
Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapan seorang suami kepada
istrinya: ( انت خاليةengkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan
menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun
jika ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.
Contoh: Seorang yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk berdiri ketika shalat
fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu juga ketika ia merasa kesulitan
shalat dengan duduk, maka diperbolehkan melakukan shalat dengan tidur terlentang. Atau
karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan untuk menggunakan air dalam
berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.
5. Kaidah fiqh 5
الضرورات تبيح المحظورات
“Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang”
Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh ketika ada hajat.
Dalam kondisi terdesak, seseorang bisa melakukan hal yang semula haram menjadi halal,
dikarenakan suatu kondisi yang memaksa seseorang untuk melakukan hal tersebut, untuk
alasan keselamatan misalnya.
Contoh: Seorang tentara yang sedang berperang didalam hutan belantara, tidak ada
sumber makanan lain kecuali binatang-binatang liar didalam hutan, seperti ular dan babi.
Maka babi maupun ular yang semula hukumnya haram menjadi hahal.
6. Kaidah fiqh 6
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
“Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar
daruratnya”
Dalam kondisi darurat seorang bisa melakukan tindakan yang haram menjadi halal, seperti
kiranya orang yang tersesat dihutan dan menangkap babi untuk mengobati rasa laparnya.
Babi tersebut menjadi halal ketika dalam kondisi darurat, namun ketika dalam kondisi normal
memakan babi tersebut haram hukumnya.
Contoh: Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, seseorang yang dalam
kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu sekira cukup
untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia. selebihnya (melebihi kadar
kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak diperbolehkan.
7. Kaidah fiqh 7
َالَّتاِبُع َتاِبٌع
“Hukum dari suatu cabang itu harus mengikuti pokoknya”
Hal ini karena hukum yang ada pada “yang diikuti” berlaku juga untu yang mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak yang ada didalam kandungannya
termasuk kedalam akad itu.
َاَّتاِبُع َس اِقٌط ِبُس ُقْو ِط اْلَم ْتُبْو ِع
“Pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang dikuti”
Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu, karena itu tidak disunnahkan shalat
sunnah rawatib, kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya shalat sunnah
menjadi gugur pula.
8. Kaidah fiqh 8
Contoh: Sengambil kendaraan diparkiran mall, tapi orang tersebut mengambil kendaraan
orang lain karena merk dan warnanya sama
Contoh: Orang melakukan persetubuhan di bulan Ramadlan karena lupa, tidak wajib
membayar kafarat.
9. Kaidah fiqh 9
ما كا ن اكثر فعال كا ن اكا ن اكثر فضال
“Sesuatu yang lebih banyak pekerjaannya maka akan lebih banyak upahnya”
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya yang dimaksud
oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak dipebuat, makin tambah
keutamaannya.
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama dibanding dengan secara disambung,
sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik daripada shalat
dengan tidak qashar.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab
memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Yang dikecualikan dari kaidah tersebu yaitut:
Sujud sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan tentu tidak
boleh dilakukan.
Contoh: Ketika dijalan Yadi menemukan sebuah khamer, lalu ia mengambil khamer itu.
Karena Yadi tahu bahwa khamer itu haram, maka ia memberikannya pada orang lain.
Perbuatan Yadi tersebut sudah menyalahi kaidah fikih ini.
Contoh: Barang yang statusnya digadaikan itu tidak boleh digadaikan lagi, tidak boleh ada
dua akad.
Dalam kondisi memiliki hajat, seseorang bisa melakukan suatu hal yang sebelumnya tidak
diperbolehkan menjadi dibolehkan.
Contoh: Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam
muamalah atau karena khithbah (lamaran).
14. Kaidah fiqh 14
اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah yang lebih “
.”besar dengan mengerjakan yang lebih ringan
Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya (timbulnya rasa
aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
Contoh: Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang
dikandungnya diharapkan masih hidup. Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi
karena bahaya yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.
Contoh: Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu
yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga
masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.
Seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah (budak
perempuan) dengan menyebut ciri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat menyerahkan jariyah
yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil) tersebut meninggal. Maka
sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu belum halal bagi muwakkil karena
walaupun memiliki ciri-ciri yang disebutkannya, dikhawatirkan wakil membeli jariyah untuk
dirinya sendiri.
Contoh: Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam
sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut
dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi istrinya. Termasuk
dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya perlu
diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah perempuan yang
terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya yang haram dinikahi
dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat
dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup
dan pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.
17. Kaidah fiqh 17
العادة محكمة
“Adat bisa dijadikan sandaran hukum”
Adat maupun kebiasaan dalam suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai sandaran atau
landasan hukum dalam pedoman kehidupan sehari-hari.
Contoh: Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang
dikehendaki, maka berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
ما ورد به الشرع مطلقا وال ضابط له فيه وال فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف
“Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya
dan tidak pula dalam bahasa, maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-urf)
yang berlaku”
Bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilakukan
apabila sudah menjadi sebuah kebiasaan.
Contoh: Jual beli dengan meletakan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah
tidak sah. Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiasaan.
Contoh: Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke
dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak
memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan
demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah
yang berbeda pada setiap rakaatnya.
Segala hal yang hukumnya haram dikerjakan maka haram pula bila dicari.