Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

LANJUTAN KAIDAH – KAIDAH UMUM

Dosen Pengampu :

Miftah Solehuddin, M.HI

Disusun Oleh :
Esa Faiz Arridha (220201110200)
Muhammad Iqbal Al-Azizi (220201110065)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


ISLAM FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam adalah agama rahmatanlilálamin. Yakni senantiasa membawa kasih sayang dan kedamaian
bagi alam semesta serta kebaikan kehidupan manusia. Syariat Islam yang dalam konteks ini adalah
maqosid syariah merupakan tuntunan yang Allah turunkan kepada manusia dengan tujuan kemaslahatan
sekaligus solusi bagi berbagai problematika hidup yang dialami oleh umat manusia di dunia ini.

Syariat Islam adalah suatu jalan yang harus dilalui, yang menghimpun berbagai aturan-aturan
hidup, yang Allah wahyukan kepada manusia melalui nabi-Nya untuk dijadikan sebagai pijakan utama
dalam kehidupan mereka selama di dunia. Namun dalam perjalanannya bahwa hukum-hukum yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadis sifatnya global tidak terperinci.

Ilmu fiqih adalah ilmu yang terpenting dimiliki cabang ilmu yang luas dan tersebr cabang-
cabangnya, yang tidak bisa dibatasi dengan hitungan. Cabang-cabang ilmu fiqih bisa dibatasi atau
dikelompokkan hanya melalui qoidah-qoidah.

Kaidah-kaidah fiqih adalah salah satu hal penting sebagai pedoman bagi umat Islam untuk
menyelesaikan masalah hukum yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa pedoman, mereka
tidak dapat mengetahui batas-batas boleh-tidaknya sesuatu itu dilakukan, mereka juga tidak dapat
menentukan perbuatan yang lebih utama untuk dikerjakan atau lebih utama untuk ditinggalkan. Dalam
berbuat atau berprilaku mereka terikat dengan rambu-rambu dan nilai-nilai yang dianut, baik berdasarkan
ajaran agama maupun tradisi-tradisi yang baik.

Dalam Islam, pedoman yang dijadikan rujukan dalam berbuat tersebut adalah petunjuk-petunjuk
Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi. Kita diperintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh
berpaling dari keduanya. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup (way of life) mengandung ajaran yang
sempurna dan lengkap, sekalipun memang terkadang di dalamnya hanya dijelaskan prinsip-prinsip atau
dasar-dasarnya saja. Kesempurnaan dan kelengkapan ini dipahami dari Al-Quran. Tidak ada persoalan
yang tidak ada aturannya dalam Al-Qur`an, sekalipun hanya berbentuk isyarat atau prinsip-prinsipnya saja.

Prinsip-prinsip ajaran tersebut lebih lanjut ditafsirkan dan dirinci oleh Sunnah Nabi, baik dalam
bentuk perkataan, perbuatan maupun dalam bentuk persetujuannya terhadap perbuatan atau perilaku
sahabat-sahabatnya. Pertanyaan yang muncul: Apakah masih diperlukan kaidah-kaidah fiqh, padahal sudah
ada Al-Qur’an dan Sunnah yang telah menjelaskan aturan-aturan yang dapat dipedomani dalam perbuatan
atau tindakan? Jawaban pertanyaan ini dipahami dari uraian-uraian dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Lanjutan Kaidah Umum


1. Kaidah Pertama

‫َم ا اَل َيِتُم اْلَو اِج ُب ِإاَّل ِبِه َفُهَو َو اِج ب‬


Artinya : “ Sesuatu (media) yang wajib tidak akan sempurna tanpanya, maka sesuatu (media) itu
adalah wajib.”

Kaidah di atas, sejalan dengan kaidah yang berbunyi:

‫ِلْلَو َس اِئِل ُح ْك ُم اْلَم َقاِص د‬

Artinya: "Bagi wasilah-wasilah (media-media) berlaku hukum tujuan."

Dari kaidah kaidah di atas dipahami, bahwa wajibnya suatu kewajiban itu ditentukan oleh
sesuatu yang disebut sebab dan syarat. Umpamanya, kewajiban melaksanakan shalat fardhu
ditentukan oleh suatu sebab, yakni tiba atau masuk waktu shalat dan ada syarat, yaitu baligh serta
berakal. Contoh lain, adalah kewajiban menunaikan zakat harta tergantung kepada sesuatu yang
disebut sebab, yaitu sampai nisab zakat dan tergantung kepada sesuatu yang disebut syarat, yaitu
haul atau sudah dimiliki selama satu tahun.

Sebab-sebab yang menjadi tautan musabbab ini, terkadang: Pertama, disebut sebab 'adi
(menurut adat kebiasaan), seperti penguasaan suatu ilmu sebab ketekunan belajar atau penelitian.
Kedua, disebut sebab syar'i (menurut ketentuan syari'at), seperti perpindahan harta yang
diwakafkan dari wakif kepada penerima wakaf menurut ketentuan syariat, sebab adanya pernyataan
wakif yang mengandung pengertian "menahan harta untuk dimanfaatkan hasilnya dalam kebaikan."

Adapun syarat-syarat yang menjadi tautan masyruth ada tiga jenis, yaitu; Pertama, disebut
syarat 'aqli (menurut akal). Umpamanya, menurut akal berlaku jujur tidak akan tercapai, jika tidak
menjauhi sifat dusta. Kedua, disebut syarat 'adi (menurut adat kebiadsaan). Umpamanya, menurut
adat kebiasaan, membasuh muka tidak akan sempurna, sekiranya tidak membasuh beberapa bagian
kepala. Ketiga, disebut syarat syar'i (menurut syariat), umpamanya melaksanakan shalat, menurut
syara', tidak sah jika tidak berwudhu'.

2. Kaidah Kedua
‫ماحرم استعماله حرم اتخاذه‬
Artinya : "Sesuatu yang haram menggunakannya haram pula mendapatkannya"
Contoh:
Misalnya, memakan babi adalah haram, maka membelinya atau memeliharanya juga haram,
dan makan harta hasil penjualannya juga haram.
3. Kaidah Ketiga

‫َم ا ُح ِر َم َأْخ ُذ ُه ُحِّر َم اْع َطاُتُه‬

Artinya: "Sesuatu yang diharamkan mengambilnya diharamkan memberikan" (as-Suyuthi, t.t:


102)

Kaidah di atas memberikan pengertian kepada kita bahwa mengambil sesuatu


yang haram, memberikannya kepada orang lain juga diharamkan. Atas dasar kaidah ini, maka:

1. Memberikan harta yang didapatkan dengan riba kepada orang lain hukumnya haram,
sebagaimana haram mendapatkan harta melalui riba tersebut untuk dirinya sendiri.

2. Mendapatkan harta dengan cara korupsi adalah haram, demikian juga memberikan harta
hasil korupsi kepada orang lain juga haram.

3. Mendapatkan uang dari hasil menjual kehormatan adalah haram, sebagaimana juga haram
mensedekahkannya kepada orang lain atau badan- badan sosial.

4. Mengambil uang suap adalah haram, demikian juga halnya memberikan uang suap itu
kepada porang lain.

Kaidah di atas, dirumuskan oleh para ahli ilmu ushul al-fiqh dari beberapa dalil, baik berupa
ayat maupun hadist. Umpamanya, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 3, yang berbunyi:
"Janganlah kamu bertolong- tolongan atas perbuatan dosa dan permusuhan Kemudian sebuah
hadits yang berbunyi: "Innallaha Thoyyibun la yaqbalu illa thoyyiban." Aartinya:
Sesungguhnya Allah adalah baik, dan Dia hanya akan menerima sesuatu yang baik.
Selanjutnya, sabda rasul : "Barangsiapa yang mengumpulkan harta dari jalan yang haram,
kemudian dia menyedekahkan harta itu, maka sama sekali ia tidak akan mendapat pahala,
bahkan dosa akan menimpanya" (H.R Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-hakim).

Ayat dan hadits di atas mengandung makna larangan melakukan perbuatan


dosa, perbuatan yang akan mendatangkan permusuhan sesama manusia. Selanjutnya,
peringatan bahwa yang diterima oleh Allah adalah harta yang baik. Melakukan perbuatan yang
diharamkan, kemudian dilanjutkan dengan melibatkan orang lain, dilarang sepanjang aturan
hukum Allah. Sebab itu, apapun yang diharamkan diambil oleh seseorang, maka
memberikannya kepada orang lain juga diharamkan.

Kendatipun demikian seandainya ada upaya seseorang yang mendapatkan harta atau uang di
jalan haram, maka pada prinsipnya tetap tidak dibenarkan. Tetapi, demi kepentingan dan
kebutuhan masyarakat umum, maka pemilik harta tersebut segera bertaubat dan harta atau
uang tersebut dapat digunakan untuk hal-hal tersebut, tetapi tidak berkaitan langsung dengan
ibadah dan rumah ibadah, seperti membangun jalan umum, reboisasi hutan, dll.

Ada pandangan yang mengatakan bahwa memberikan harta hasil korupsi atau merampok
umpamanya kepada fakir miskin atau didermakan untuk lembaga-lembaga pendidikan atau
lembaga-lembaga ibadah dibolehkan, dengan alasan untuk kemalsahatan. Mereka
merumuskan kaidah :
‫َم ا ُح ِرَم َأْخ ُذ ُه ُحِّر َم اْع َطاُتُه‬
Artinya: "Apa yang diharamkan mengambilnya dibolehk memberikannya.

Tetapi, penulis sendiri tetap berpegang pada kaidah :"Apa yang diharamkan mengambilnya
diharamkan memberikannya." Sebab, kalau kita berprinsip bahwa harta yang didapatkan dari
yang haram boleh diberikan kepada orang lain, maka tidak sesuai dengan firman Allah yang
berbunyi:
‫َو اَل َتَع اَو ُنوا َع َلى اِإْل ْثِم َو اْلُع ْد َو اِن‬

Dari ayat ini dipahami bahwa kita dilarang saling menolong dalam berbuat dosa
dan permusuhan. Dengan demikian, mengambil manfaat dari sesuatu yang dilarang untuk
dirinya sendiri, maka memberikannya kepada orang lain juga dilarang. Karena, dari makna
dan spirit ayat ini, kalau kita melakukan atau membolehkan hal itu, berarti kita sama dengan
saling membantu, atau menyetujui perbuatan yang dilarang itu. Berarti kita menyetujui
perbuatan korupsi, kita menyetujui perampokan, kita menyetujui pencurian, dan seterusnya.

4. Kaidah Keempat

‫اْلَم ْشُغ وُل ال ُيْش َغُل‬


Artinya : "Sesuatu yang sedang dijadikan objek perbuatan tertentu, maka tidak boleh
dijadikan objek perbuatan lainnya."

Contoh dari kaidah di atas, ialah:

a. Menjual barang yang sudah dibeli oleh orang kemudian dijual kepada orang lain lagi. Sabda
Nabi SAW :
)‫ال َيِبْع َبْعُض ُك ْم َع َلى َبْيَع َبْع ٍض (متفق عليه‬

"Janganlah menjual sesuatu yang sudah dibeli oleh orang lain." (HR. Muttafaq Alaih).

b. Meminang perempuan yang sudah menjadi pinangan laki-laki lain. Sabda Nabi SAW:

‫ال َيْخ ُطُب الَّرُجُل َعلى ِخ ْطَبِة الَّرُج ِل َح َّتى َيْتُرَك اْلَخ اِط ُب َقْبَلُه‬
)‫َأْو َياُء َذ َن َلُه (رواه مسلم‬

"Seorang laki-laki tidak boleh meminang pinangan laki-laki lain, sehingga peminang pertama
itu meninggalkan / membatalkan (pinangannya) atau mengijinkannya (dalam arti ia sudah
membatalkan juga)." (HR. Bukhari).

5. Kaidah Kelima
‫اْلَم ْيُسوُر اَل َيْس ُقُط ِباْلَم ْع ُسْو ر‬

Artinya : "Sesuatu perbuatan yang mudah dikerjakan tidak digugurkan sebab adanya
perbuatan yang sukar dijalankan"

Kaidah tersebut diasumsikan dari sabda Nabi SAW:


‫ِإَذ ا َأَم ْر ُتُك ْم ِبَأْم ِر َفاْعُتْؤ ِم ْنُه َم ا اْسَتَطْع ُتْم‬
()‫رواه بخاري (مسلم‬

"Apabila aku perintahkan sesuatu, maka kerjakanlah menurut kemampuanmu" (HR. Bukhari
Muslim)

Pengertian kaidah di atas adalah setiap pelaksanaan amalan syara' hendaklah


dikerjakan menurut kemampuan si mukallaf. Tidaklah apa yang mudah dikerjakan itu akan
menjadi gugur dengan sesuatu yang benar-benar sukar untuk mencapainya atau dengan kata
lain apa yang dapat yang dicapai menurut batas maksimal kemampuannya dipandang sebagai
perbuatan hukum yang sah.

Contoh yang dapat diambil dari kaidah ini adalah orang yang baru bisa membaca al-Fatihah
sebagian, maka dalam shalat haruslah membaca apa yang dia bisa itu. Begitu pula orang yang
hanya memiliki satu lengan, dalam wudhu ia harus membasuh apa adanya yaitu satu tangan
yang dimilikinya itu.

Ulama Syafi'i menolak pendapat Imām Abū Hanifah yang menyatakan bahwa orang yang
telanjang shalatnya adalah dengan duduk. Mafhumnya ialah, bagi seseorang yang tidak dapat
menutupi aurat pada shalatnya, maka menggugurkan shalat dengan berdiri. Ulama Syafi'iyah
berpendapat bahwa tidak dapat menutup aurat tidak menggugurkan shalat dengan berdiri.
Beberapa masalah yang dikecualikan dari kaidah ini adalah:

a. Orang yang hanya mampu berpuasa setengah hari karena sakit atau lain sebagainya, ia tidak
diwajibkan imsyak setengah hari yang terakhir. Sehingga tetap harus mengulangi sehari
penuh.

b. Seseorang berkewajiban membayar kafarat dengan memerdekakan budak. Apabila ia hanya


memiliki separuh maka tidak boleh memerdekakan separuh yang dimilikinya itu melainkan
harus menggantikan saja dengan puasa dua bulan berturut-turut.

c. Apabila ada seseorang yang habis berbelanja, ketika sampai di rumah, mendapati barang
yang dibelinya cacat. Sewaktu hendak dikembalikan, tokonya sudah tutup. Kemudian cacat itu
hendak ditunjukkan dan dipersaksikan kepada orang lainpun tidak bisa sebab kebetulan ia
sendiri jatuh sakit. Dalam keadaan yang demikian, ia tidak wajib mengucapkan kata-kata:
"Jual beli ini saya batalkan", karena memberitahu atau memperkesaksikan kepada diri sendiri
itu tidak ada artinya sama sekali.

d. Ketika seseorang hendak meninggal dunia, ia berwasiat membeli sebuah rumah guna
dijadikan sekolahan, namun ternyata dari harta peninggalannya tidak mencukupi buat membeli
sebuah rumah, maka hal itu menjadi batal wasiatnya.

Anda mungkin juga menyukai