Anda di halaman 1dari 29

Kaidah pertama

㷟 㷟⿏ 㷟 昀 㷟
“Ijtihad tidak dibatalkan oleh ijtihad”

Hukum hasil ijtihad yang terdahulu tidak batal karena adanya ijtihad yang
kemudian , sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil ijtihad
terdahulu, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan
adanya hukum hasil ijtihad yang baru. Yang demikian ini adalah karena :
1. Nilai ijtihad adalah sama, sehingga hasil ijtihad kedua tidak lebih kedua tidak lebih
kuat dari hasil ijtihad pertama.
2. Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijtihad dapat dibatalkan oleh hasil ijtihad yang
lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya
kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.

Berdasarkan kaidah ini, maka apabila suatu pengadilan telah memutuskan


hukum terhadap suatu peristiwa , kemudian pada kesempatan lain ada peristiwa
yang sama, pengadilan tersebut memutuskan hukum yang lain, maka hasil
keputusan yang baru tidak merubah keputusan terdahulu, tetapi hanya berlaku
pada peristiwa yang baru.
Contoh :
Seorang hakim berdasarkan ijtihad telah mengambil keputusan dengan
menjatuhkan hukuman penjara 10 tahun. Tetapi pada kesempatan yang lain dalam
peristiwa yang sama dia mengambil keputusan dengan menjatuhkan hukuman
kurang dari 10 tahun. Maka dalam hal ini keputusan yang baru tidak merusak
keputusan yang terdahulu, artinya pelaku yang pertama tetap dihukum 10
tahun, dan pelaku yang kedua tetap dihukum kurang dari 10 tahun.

1
Contoh lain :
1. Seorang sembahyang dengan menghadap suatu arah yang dianggap kiblat,
kemudian pada waktu masuk sembahyang berikutnya berubah angapannya tetang
kiblat, maka dia harus menghadapi arah yang dianggapnya kiblat dan tidak wajib
mengqadla shalatnya yang pertama.
2. Seseorang yang ijtihadnya telah menentukan sucinya salah satu dari bejana
kemudian mengunakannya dan meninggalkannya, kemudian berubah anggapannya,
maka tidak boleh melakukan seperti anggapan yang kedua, tetapi harus tayamum.
Catatan :
Rusak keputusan ijtihad seorang hakim apabila berlawanan dengan nash atau
ijma’ atau qiyas jaly, atau menurut Al-Iraqy, berlawanan dengan kaidah-kaidah
yang kully, atau menurut ulama-ulama Hanafi, hukumnya tidak berdasarkan suatu
dalil.

2
Kaidah Kedua

‫˴˴˴ ˴ ˴ ˴ ﲀ‬έ˴˴ ‫˴ ˴ ˴ ˴ ﲀ‬Σ ˴ϼ˴ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴


“Apabila berkumpul antara yang halal dan yang haram, dimenangkan yang
haram”.

Segolongan ulama mendasarkan kaidah ini pada suatu hadist :

˴e˴ ˴ ˴Σm˴ υ˶ ˴ ˴ ˴ ‫˴˴˴ ˴ ˴ ˴ ﲀ‬έ˴˴˴ ‫˴ ˴ ˴ ˴ ﲀ‬Σ ˴ϼ˴ ˴ r˴a˴έ˴ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴


r˴ ˴ ˴a˴ ˴˴ ˴
“Manakala berkumpul yang halal dengan haram, maka dimenangkan yang
haram”.

Walaupun hadis diatas ini sanadnya dhaif, tetapi kaidahnya sendiri adalah
benar sesuai perintah agama, yaitu untuk selalu berhati-hati, yakni upaya
preventif sebelum terjadi pelanggaran yang lebih berat.
Demikian pula apabila dua dalil bertentangan yang satu mengharamkan, dan
yang lain menghalalkan, maka di dahulukan yang mengharamkan.
Contoh : ketika sahabat Utsman bin Affan RA ditanya tentang umumnya
mengumpulkan dua orang wanita bersaudara, yang satu merdeka, yang satu budak,
yang keadaanya.

3
menurut ayat An-Nisa :
ϥ˴˸˴˸˴ ˴ԩ ˴˴ ˴ϥ˴˸˴m ˴Σ ˴ ˴ ˴ ˴ϥ˴ ˴Σ
“Dan haram mengumpulkan (dalam perkawinan) dan dua orang wanita
bersaudara.”(hal 51-52)

Pertentangan antara dua hadis, yaitu :


˴ ˴˴ ˴r˴Σ˴˶ ˴ ν˶ ˴ ˴ ˴ϥ ˴ ˴
“bagimu boleh berbuat sesuatu terhadap istrimu yang sedang haid pada
segala yang berada di atas kain pinggang”.
Dengan Hadis:
Ρ ˴ ϛ ˴ r˴ ˴ ˴Σ ˴ϛ˴a
“perbuatlah segala sesuatu (terhadap istri yang sedang haid) kecuali
persetubuhan”.
Hadits yang pertama menunjuk kepada hukum haram istri yang sedang haid
berbuat sesuatu antara pusar dan lutut.
Sedangkan hadits yang kedua membolehkan berbuat segala sesuatu terhadap
istri yang sedang haid, kecuali bersetubuh.
ϛ ˴ ˴ ˴‫ﲀ‬ ˴ e˴ ˴e ˴ ˴Σ ϛ ˴ ˴ ˴ν˴ ˴ ˴ ˴
“Apabila berlawanan antara yang mencegah dan yang mengharuskan,
didahulukan yang mencegah”.
Contoh : Orang yang junub kemudian mati syahid, maka yang lebih sah ia tidak dimandikan.
Bahkan apabila waktunya sempit atau airnya kurang untuk kesempurnaan mandi,
haram memandikannya.(hal 53)

4
Kaidah ketiga

˴˴Σm˴ ˴ ˴ ˴a˴˴ ˶Σ ˴Σ ˴Σ ˴ ˴ ˴˴ e˴ m ˴Ύ˴˸˴


“Mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah adalah makruh, dan dalam
urusan selain ibadah adalah disenangi.”

Asal dari kaidah ini adalah firman Allah :


Ε ˴ ˴a˴ԩ˴ rm˴ ˴έ ˴˶
“berlomba-lombalah kamu sekalian didalam kebajikan.”(hal 55)

Kaidah keempat

m˴ m ˴
“Pengikut itu adalah mengikuti”

Artinya : Sesuatu yang mengikuti kepada yang lain maka hukumnya adalah
hukum yang diikuti.
Yang termasuk dalam kaidah ini adalah:

‫ ˴ ˴ﲀ‬m ˴ ˴a˴˴ m ˴
“Pengikutnya hukumnya tidak tersendiri”

5
Hal ini karena hukum yang ada pada “ yang diikuti ” berlaku juga untuk yang
mengikuti.
Contoh: Jual beli binatang yang sedang bunting, anak yang ada didalam
kandungannya termasuk kedalam akad itu.

ω˴Σm˴ ˴ ˴ ρ˴Σeέm ρ ˴έ m ˴
“pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang dikuti”
Apabila hukum yang diikuti gugur, maka gugur pula hukum yang mengikuti.
Contoh: Orang gila tidak berkewajiban shalat fardhu, karena itu tidak disunnahkan
shalat sunnah rawatib, kewajiban shalat fardhu telah gugur, dengan sendirinya
shalat sunnah menjadi gugur pula.
Dekat dengan kaidah diatas adalah :
˴a˴˴ ˴ρ˴e˴έ ˴ ρe˴έ˴a ω˴ ˴ ˴
“cabang menjadi jatuh apabila pokoknya jatuh”
Contoh : Apabila anak yang pandai dan baik itu bebas (dari kesalahan), bebas pula
penanggungannya; dan apabila dia jatuh (dinyatakan bersalah), salah pula
penanggungnya, sebab penanggung adalah cabang dari yang ditanggung.
ω˴Σm˴ ˴ ˴ ˴έ˴ ‫˴ ﲀ‬e˴a˴˴ m ˴
“pengikut itu tidak mendahului yang diikuti”.
Jadi yang di ikuti harus lebih dahulu dari yang mengikuti.
Contoh: makmum tidak boleh mendahului iman, bila tempat berdirinya maupun
gerakannya.

6
˴ ˴a˴˴ ˶ ˴ ˴ ˴ a˴˴ ˴ m ˴Σ ˶ ˴˴˴ a
“dapat dimaafkan dari hal-hal yang mengikuti, tidak dimafkan pada yang
lainnya”.
Dengan kaidah yang di atas;
˴ ˴a˴˴ ˶ ˴ ˴ ˴ a˴˴ ˴ ϛ˴ e r˴˴˴ ˶ ˴˴˴ a
“sesuatu itu dapat dimaafkan karena terkait yang lain, tidak dapat dimaafkan
karena sengaja”.
Kadang-kadang dikatakan;
˶ ˴Σ˴˴ ˶ ˴ ˴ ˴a˴˴ ˴ ϛ ˴ΣΎ ˶ ˴˴˴ a
“dapat dimaafkan bagi yang meniru, tidak demikian bagi yang lain.
Contoh: Orang yang sedang ihram tidak sah nikah, tetapi sah rujuknya, karena adanya
rujuk setelah adanya nikah.(hal 57-60)

7
Kaidah kelima

i˴ ˴έ˴a˴ m ρ˴Σϛ ia έ˴ ‫˴ ˶ ˴ ˴ ﲀ‬a˴

“tharruf (tindakan) imam terhadap rakyat harus dihubungkan dengan


kemaslahatan”.

Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin/penguasa harus sejalan


dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau diri sendiri. Penguasa
adalah pengayom dan bukan pengemban kesengsaraan umat.
Kaidah ini berasal dari fatwa Imam Syafi’I :

i˴ ˴έ˴a˴ ˴ m ρ˴Σϛ˴ ia ˴ϥ ‫ ˴˴ ˴ ﲀ‬i˴ ˴ϛ˴


“kedudukan imam terhadap rakyat adalah seperti kedudukan wali terhadap
anak yatim”.(hal 61).

Kaidah keenam

Ε ˴ mϬ m ρe˴έ˴ ˴Σ ˴ ˴
“hukum-hukuman itu gugur karena syubhat”

Suatu kasus yang belum bisa dibuktikan secara faktual sebagai suatu tindak
pelanggaran, tersangka tidak bisa dijatuhi hukuman. Karena untuk memvonis

8
pelaku tindak krimnalitas (jarimah) seorang hakim memerlukan bukti-bukti obyektf
meyakinkan.
Kaidah ini berasal dari sabda Nabi :
Ε ˴ mϬ m ˴Σ ˴ ˴ ˴
“hindarkanlah hukuman hukuman karena adanya syubhat”.
contoh: mengambil kendaraan ditempat parkiran, karena cat dan merk sama,
ternyata bukan.
Ε ˴ mϬ m ρe˴έ˴ ˴ ˴ ˴ ˴
“kewajiban membayar kafarat gugur karena adanya syubhat”.
Contoh : orang melakukan persetubuhan di bulan Ramadlan karena lupa, tidak
wajib membayar kafarat.(hal64)

Kaidah ketujuh

˴a˴ ˴Ε˴ ˴ ԩ ˴ ˴a˴˴Ϭ ˴ ˴


“Orang yang merdeka itu tidak masuk dalam kekuasaan”.
Contoh : Seandainya mengurung orang yang merdeka, dengan memperlakukannya dengan
baik, kemudian dia mati karena tertimpa tembok yang roboh dan sebagainya, maka
tidak wajib membayar ganti ruginya.(hal 65)

9
Kaidah kedelapan

r˴ ‫˴ﲀ‬a ˴ ˴Σ ˴ ‫˴ﲀ‬ r˴ ‫˴ﲀ‬a ˴ ˴


“yang mengelilngi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilingi”.

Dasar dari kaidah ini ialah hadis Nabi :

ϥ˴ ˴˶ α ϛ ˴ϥ ˴aΎ˴ ϥ ˴ ˴έ˴ ˴a˴ϼ ˴ m˴ ˴ ˴Σ ˴ ϛ˴ ˴a˴m˴Σ ˴ϥ˴a˴m ‫˴ ˴ ˴ ˴ ﲀ‬Σ ϥa˴m ϼ


˴ ˴ ria
rϛ˴a ˴r˴ ˴m˴ ˴έ ˴e˴˶ Ε ˴ mϬ ˴˴e
˴ ˴ ˴ ˴Σ˴ ˴ ˴ ˴a ˴ ‫˴ ˴ ˴ﲀ‬ ˶ ˴ ˴ ˴Σ Ε ˴ mϬ ˴ ˴ ˴Σ ˴ϥ˴ ˴Σ re˴ Σ˴
r˴a˶ ˴ ˴ ˴ ˴a ˴Σa˴
“Yang halal telah jelas dan yang haram talah jelas, dan diantara keduanya
ada masalah-masalah mutsyabihat( yang tidak jelas hukumnya), yang
kebanyakan orang tidak mengetahui hukumnya. Maka barangsiapa yang
menjaga diri dari syubhat, berarti ia halal membersihkan agama dan
dirinya;dan barang siapa yang jatuh kepada keharaman, seperti seorang
penggembala yang mengembala disekitar pagar dan larangan, dikhawatirkan
akan melanggar (memasuk) ke dalam pagar”.(hal-67)

10
Kaidah kesembilan

m ˴˴ ԩ˴˴ ˶ ˴ ˴ԩ˴ ˴ ˴Σa˴e˴ ˴˶έ˴ ˴ԩ˴a ˴‫˴ﲀ‬ ˴Σ α˴ϛ ˴ϥ ϥ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴ ˴


“Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari
keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain”.
Contoh : Apabila orang hadas kecil dan hadas besar (junub), maka cukup dengan
bersuci saja, seperti kalau orang junub dan mandi.(hal 69)

Kaidah kesepuluh

r ˴ϥ ˴ ˴Σ˴ ‫˴ﲀ‬ϼ ˴ ˴ ˴
“Mengamalkan maksud suatu kalimat, lebih utama daripada menyia-
nyiakannya”.
Perkara itu ada kalanya jelas maksudnya, dan ada kalanya kurang jelas
maksudnya. Terhadap yang telah maksudnya. Maka haruslah diamalkan sesuai
dengan yang dimaksud itu, dan terhadap yang belum jelas maksudnya, maka
mengamalkan lebih baik daripada meniadakannya atau menyia-nyiakannya.
Contoh : Orang berwasiat memberikan hartanya kepada anak-anaknya, padahal ia sudah
tidak mempunyai anak lagi kecuali cucu-cucunya, maka harta harus diberikan
kepada cucu-cucunya.

˴a ˴˶ ˴ϥ ˴ Σ˴ α˴aέ ˴˶ ˴
“Membuat dasar itu lebih utama dari pada memperkuat”.

11
Contoh : seorang laki-laki berkata pada istrinya : “engkau saya tolak, enkau saya
talak” dengan tdak ada niat apa-apa dalam pengulangannya, maka yang lebih sah
adalah diartikan sebagai ta’sis ( ucapan permulaan, bukan memperkuat).(hal 69)

Kaidah kesebelas

ϥ ˴ e m Ν ˴ ˴ԩ˴ ˴
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menaggung
kerugian”.(hal 70)

Kaidah kedua belas

˴˴ ˴ ˴έ ˶˴ϼԩ ˴ϥ ˴Ν˴Σ ԩ˴ ˴
“keluar dari khilaf itu diutamakan”.
Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang
hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.

Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi SAW :


rϛ˴a ˴ ˴ ˴m˴ ˴έ ˴e˴˶ Ε ˴ mϬ ˴e ϥ˴ ˴˶
“Maka barang siapa yang menjaga diri dari syubhat (tidak jelas
hukumnya), maka ia mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.

12
Maksud kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum
halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.

Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat yaitu :
1. Jangan sampai membawa khilaf yang lain.
2. Jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabit.
3. Hendaknya kuat dasarnya.(hal 73)

Kaidah ketiga belas

˴˶ ˴ϥ ˴Σ˴ ˴ ˴˶
“Menolak itu lebih kuatdari pada mengangkat”

Artinya menolak agar tidak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan
seperti sebelum terjadi.
Menjaga diri agar tidak sakit, lebih utama daripada mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini adalah: adanya air sebelum shalat bagi orang yang
tayamum, berarti mmencegah untuk melaksanakan shalat. Tetapi adanya di
tengah-tengah shalat tidak membatalkan shalat.(hal 74)

13
Kaidah keempat belas

a ˴ ˴ ˴ m ρ ˴ϛ ˴˴ ι˴ԩϬ
“keringanan (rikhshah) itu tidak dihubungkan/dikaitkan dengan
kemaksiatan-kemaksiatan”.
Rukhshah diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada
kaitannya dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshah in
tidak diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu bisa diberikan
rukhshah.
Berpergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqashar dan menjama’,
atau berbuka puasa. Sedang kalau bepergiannya tidak maksiat semua ini
dibolehkan.(hal 75)
Kaidah kelima belas

ΙέΎ m ρ ˴ϛ ˴˴ ι˴ԩϬ
“keringanan (rukhshah) tidak dikaitkan dihubungkan dengan syak (ragu-
ragu)”.
Artinya orang ragu-ragu tentang dibolehkannya qashar, maka ia wajib
menyempurnakan shalatnya, karena yang asal ibadah harus dikerjakan secara
sempurna.(hal76)

14
Kaidah Keenam Belas

rϛ Σa m e m e

“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul
dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini ialah kaidah:
r Ύ ˴ ra˶ ϥΣ ϥ Σ

“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada
pengaruh baginya”.
Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, maka ia harus
menerima segala rentetan persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima.
Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh: Orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan
akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya berkembang lebih besar. Demikian pula
membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari
sakitnya binatang tersebut.

15
Kaidah Ketujuh Belas

˴ Σ ˶ έ
“Pertanyaan itu diulangi dalam jawaban”
Jadi hukum dari suatu jawaban itu adalah terletak pada soalnya. Sehingga
apabila seseorang hakim bertanya dengan maksud minta keterangan kepada
seorang tergugat: “apakah istrimu telah engkau talak?”. Apabila dijawab: “ya”,
maka istri tergugat telah berlaku hukum sebagai wanita yang telah ditalak oleh
suaminya. Dalam hal ini tergugat telah mengakui (ikrar) atas gugatan mudda’iy.

Kaidah Kedelapan Belas

Σ Ε έ ˴έϛa˴
ϼe˶ Ύ ϥ ϥ ϼ˶ Ύ ϥ
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaannya”.
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:

‫ﲀ‬έέ Σ maϛ έ
“Pahalamu adalah Berdasarkan kadar usahamu”.
Sesuai dengan hadits yang menjadi dasar kaidah, maka dengan sendirinya
yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak
diperbuat, makin tambah keutamaannya.

16
Contoh: Shalat witir dengan cara diputus lebih utama dibandingkan dengan secara
disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan,
diantaranya ialah:
Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik
daripada shalat dengan tidak qashar.

Kaidah Kedua Puluh

a e ϥ e˶
“perbuatan yang mencakup kepentingan orang lain, lebih utama
daripada yang terbatas untuk kepentingan sendiri”.
Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat
mencakup kepada kepada orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang
manfaatnya hanya dapat dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini, maka Abu Ishaq, Imam Haromain dan ayahnya
berpendapat, bahwa bagi yang melakukan fadlu kifayah mempunyai
kelebihan daripada melakukan fadlu ain, karena dengan melakukan fadlu
kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran yang ada pada
ummat.
Menurut imam Syafi’I, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat
sunat, karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak,
sedangkan shalat sunnat itu hanya manfaatnya pada diri sendiri.

17
Kaidah Kedua Puluh Satu

ϛ ϥ e˶ ν
“Fardhu itu lebih utama daripada sunnat”
Dasar dari kaidah ini ialah Sabda Rasulullah SAW dalam salah satu Hadits
beliau:
ϥ Σ Σέ a˶ iea ˶ ϥ ϥ aԩ aԩ ϥ iέaԩm ra˶ ˴ e ϥ
Σέ a˶ iea ˶ ϥa mέ ϥ ϥ ra˶ iea ˶
“Barangsiapa mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah dalam bulan
Ramadhan dengan salah satu perbuatan kebaikan (ibadah sunnah), maka dia
seperti menunaikan ibadah fardlu diluar bulan Ramadhan, dan barangsiapa
nmelakukan satu ibadah fardlu dalam bulan Ramadhan, maka dia seperti
menunaikan 70 ibadah fardlu diselain bhulan Ramadhan.”
Dalam Hadits ini Nabi telah memperbandingkan antara sunnah dalam bulan
Ramadhan dengan 70 fardlu di luar Ramadhan, semua ini memberi pengertian
bahwa fardlu itu lebih utama daripada sunnat dengan 70 derajat/tingkat.
Kaidah Kedua Puluh Dua

rϛ m ieέ ϥ Σ m Ε m ieέ iέae


“Keutamaan yang dipautkan dengan ibadah sendiri, lebih baik dari
pada yang dipautkan dengan tempatnya”.
Pensyarah kitab Al-Muhadzab berkata: segolongan dari segolongan
kami (Syafi’iyyah) menegaskan, bahwa kaidah ini adalah penting, dan kaidah
ini difahamkan dari perkataan ulama-ulama yang terdahulu.

18
Diantara hukum yag ditetapkan berdasarkan kaidah ini ialah:
1. Shalat fardlu di masjid lebih utama daripada diluar masjid
2. Shalat sunnah dirumah adlah lebih uta daripada suhalat sunnah di masjid.
3. Thawaf dekat dengan ka’bah adlah sunnah, larikecil disunatkan dengan
dekat pada ka’bah.

Kaidah Kedua Puluh Tiga

˴ Σ ˴ a˴˴ Σ
“Sesuatu yang wajib tidak boleh ditinggalkan kecuali karena sesuatu yang
wajib”
Jadi dari kaidah ini dapat ditegaskan, bahwa sesuatu yang telah diwajibkan,
tidak boleh ditinggalkan kecuali ada sesuatu kewajiban, tidak boleh ditinggalkan
kecuali ada sesuatu kewajiban yang mengaharuskan untuk meninggalkan.
Contoh: Memotong tangan pencuri, seandainya tidak wajib tentu hukumnya haram, sebab
memotong/melukai adalah tindak pidana haram.
Yang dikecualikan dari kaidah tersebu yaitut:
Sujud sahwi dan sujud tilawah itu tidak wajib, namun jika tidak disyari’atkan
tentu tidak boleh dilakukan.

19
Kaidah Ketiga Puluh Lima

ρ m˴ Σ έ ‫ ﲀ‬e ω m ΙmΎ
“Apa yang telah tetap menurut syara’, didahulukan daripada apa yang
wajib menurut syara”.
Ketetapan yang berasal dari syara’ harus didahulukan pengamalannya
daripada ketetapan yang timbul dari syarat-syarat yang dibuat oleh manusia,
sehingga karenannya tidak boleh bernadzar dengan sesuatu yang wajib, seperti
nadzar berpuasa Ramadhan, atau nadzar shalat fardlu dan sebagainya.
Demikian pula apabila seorang suami berkata pada istrinya: “Saya thalak
kamu dan kepadamu akan saya beri uang Rp. 10.000,- asal saya masih ada hak
untuk rujuk kepadamu”.
Perkataan memberi uang Rp. 10.000,- sebagai syarat untuk rujuk adalah
gugur, sebab pada hakikatnya syara’ telah menetapkan akan haknya, yaitu rujuk.
Kaidah Kedua Puluh Enam

ԩ ‫ﲀ‬ r έ ‫ﲀ‬
“Apa yang haram menggunakannya, haram pula memperolehnya”
Dasar kaidah ini ialah Sabda Nabi saw.
aϥ Σa Σ a ‫ﲀ‬ ˶ Σ m ˶ Σϛ Σ
raέ r ra˶
“Barangsiapa jauh pada barang syubhat, jauh pada haram, seperti
pengembala yang mengembalakan disekitar larangan dikhawatirkan akan
masuk pada larangan”

20
Maka oleh karena itu orang diharamkan menyimpan alat/sarana
kemaksiatan. Menyimpan wadah/bejana terbuat dari bahan mas atau perak. Sutra
dan mas bagi laki-laki. Sebab larangan menyimpan barang-barang tersebut karena
boleh jadi akan menggunakannya. Demikian juga dilarang memelihara anjing, selain
anjing untuk menjaga keamanan dan berburu.
Kaidah Kedua Puluh Tujuh

ρ ‫ﲀ‬ ԩ ‫ﲀ‬
“Sesuatu yang haram diambilnya, diharamkan pula memberikannya”

Dasar kaidah ini adalah Firman Allah:


3 ˶ ϥΣ Σ ‫ﲀ‬Ύ ˴ έ ΣϛΣ ˴Σ
“jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan”.
Jadi artinya apabila dibolehkan memberikannya, maka berarti menolong dan
mendorong untuk mengambilnya, sehingga keduanya menjadi berserikat dalam
dosa. Untuk itu apabila diharamkan mengambilnya, maka untuk memberikannya
juga diharamkan.
Berdasarkan kaidah ini maka diharamkan memberi uang riba suap, upah
pelacur, pemberian pada kahin dan sebagainya, sebagaimana diharamkan untuk
mengambilnya.

21
Kaidah Kedua Puluh Delapan

a˴ Σ
“Sesuatu yang sedang dijadikan obyek perbuatan tertentu, tidak boleh
obyek perbuatan tertentu yang lain”.
Artinya apabila ada sesuatu yang sudah menjadi obyek sesuatu aqad, tidak
boleh dijadikan obyek aqad lain, karena itu telah terikat dengan aqad yang pertama.
Contoh: Tidak boleh barang yang sudah dijadikan jaminan sesuatu hutang, kemudian
dijadikan jaminan hutang yang lain.

Kaidah Kedua Puluh Sembilan

m a˴ m
“Yang sudah diperbesar tidak boleh dibesarkan”
Apabila suatu perkara sudah dibesarkan atau ditinggalkan hukumnya sampai
pada hukum yang tertinggi, maka tidak dapat ditingkatkan lagi, atau
ditambah/diperbesar dengan hukum yang dibawanya.

22
Kaidah Ketiga Puluh

rϛ m ˴ Σ rϛ Σ m ˶a έ ϥ
“Barangsiapa yang berusaha menyegarkan sesuatu yang sebelum waktunya,
menanggung akibat tidak mendapat sesuatu itu”.
Kaidah ini lebih bersifat sebagai peringatan agar orang tidak tergesa-gesa
melakukan sesuatu perbuatan atau suatu tindakan dalam rangka untuk
mendapatkan haknya sebelum waktunya. Sebab akibatnya dapat merupakan
kegagalan.

Kaidah Ketiga Puluh Satu

ν ϥ έΣ ϛ
“Sunnah itu telah longgar dari pada fardlu”
Suatu perbuatan yang disyariatkan sebagai perbuatan sunnah, pelaksanaannya
lebih longgr daripada perbuatan yang disyari’atkan sebagai perbutan yang wajib.

23
Kaidah Ketiga Puluh Dua

i ia ˴Σ ϥ Σ ia ԩ ia ˴ Σ
“Kekuasaan yang khusus lebih kuat daripada kekuasaan yang umum”
Suatu benda atau persoalan yang berada dibawah suatu kekuasaan, maka
pemegang kekuasaan yang khusus terhadap benda dan persoalan tersebut,
kedudukan dan wewenangnya lebih kuat daripada pengusa umum, sehingga
penguasa umum tidak dapat bertindak langsung terhadap benda atau persoalan
yang ada penguasa khususnya, selama penguasa khususnya ada dan masih
berfungsi.

Kaidah Ketiga Puluh Tiga

ρԩ ϥam ϥυ m m ˴
“Tidak dipegangi sesuatu (hukum) yang berdasarkan pada yang jelas
salahnya”
Arti dhon ialah persangkaan yang kuat, atau suatu pendapat yang lebih
cenderung kepada tetapnya atau benarnya daripada tidaknya.Jadi maksud kaidah
ini ialah bahwa suatu keputusan hukum yang didasarkan pada dhon, tetapi
kemudian jelas salahnya, maka hukum tersebut tidak berlaku atau batal.

24
Kaidah Ketiga Puluh Empat

Σae ϥ ν Σae am ˴
“Berbuat yang bukan dimaksud, berarti berpaling dari yang dimaksud.
(sehingganya karena batal yang dimaksud)”
Contoh: Orang bersumpah tidak bertempat tinggal pada suatu rumah.kalau setelah
bersumpah itu dia masih mondar-mandir dirumah itu,berarti dia telah melanggar
sumpahnya. Tetapi kalau dia mondar-mandir itu karena sibuk mengumpulkan
barang-barangnya karena keindahannya, maka dia tidak melanggar sumpah.

Kaidah Ketiga Puluh Lima

raέ ϛa ϛ ra˶ ˶έ ԩ ϛa˴


“Tidak diingkari perbuatan yang diperselisihkan (hukum haramnya), dan
sesungguhnya yang di ingkari ialah yang telah disepakati (hukum
haramnya) ”.
Menurut kaidah ini sesorang tidak dianggap berbuat perbuatan yang munkar,
sehingga karenanya wajib diingkari (dilarang) kalau perbuatan yang dikerjakan itu
hukum haramnya diperselisihkan.Tetapi baru dianggap munkar dan wajib diingkari
(dicegah) kalau perbuatan tersebut keharamannya telah disepakati.

25
Kaidah Ketiga Puluh Enam

α ˴Σ ˶a e έ Σe ԩ˸
“Yang kuat mencakup yang lemah, tidak sebaliknya”.
Suatu perkara yang dituntut, baik untuk mengerjakan atau untuk
meninggalkan, dengan tuntutan atau hukuman yang lebih berat dapat mencakup
perkara yang sejenis, yang tuntutannya atau hukumannya lebih lemah, tetapi tidak
sebaliknya, yakni yang tuntutannya lebih lemah tidak dapat mencakup yang
tuntutannya lebih kuat.
Berdasarkan kaidah ini diperbolehkan melakukan ibadah haji sekaligus
umroh, tetapi tidak boleh melakukan ibadah umroh sekaligus haji.

Kaidah Ketiga Puluh Tujuh

ae ˶ a˴ ˶ έΣ ˶ a
“Dimaafkan yang pada sarana, tidak dimaafkan yang pada maksud”
Pengertiannya adalah, bahwa sesuatu yang harus ada pada apa yang menjadi
maksud haruslah dipenuhi, sedangkan pada cara untuk mencapai maksud dapat
dimaafkan atau dilonggarkan dengan menghilangkan atau mengurangi.

26
Kaidah Ketiga Puluh Delapan

Σέ m ρeέa˴ Σέa
“Yang mudah dilaksanakan, tidak gugur/ditinggalkan karena adanya yang
sukar dilksanakan”
Dasar kaidah ini ialah sabda Nabi saw:
‫ ﲀ‬ρ έ rϛ Σ ˶˶ m‫ﲀ‬
“Apabila aku memerintahkan sesuatu, maka kerjakanlah menurut
perintahmu”
Setiap amalan dalam syara’ harus dilaksanakan menurut daya kemampuan si
mukallaf.
Berdasarkan kaidah ini, ulama Syafi’iyyah menolak pendapat Imam Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa orang yang tidak dapat menutupi auratnya, shalatnya
harus dengan duduk, artinya karena tidak dapat menutup aurat, maka gugurlah
kewajiban shalat dengan berdiri.
Kaidah Ketiga Puluh Sembilan

rέ ρ eέ re m ρ eέ Σ rέ aԩ re m a ԩ ˶ νa m mea˴
“Sesuatu yang tidak dapat dibagi, maka mengusahakan sebagian seperti
mengusahakan keseluruhannya, dan menggugurkan sebagian seperti
menggugurkan keseluruhannya”
Sesuatu barang atau pekerjaan atau keadaan ada kalanya dapat dibagi-bagi
yang sebagian dapat dipisahkan dengan bagian yang lain tetapi ada pula yang tidak
dapat dibagi-bagi, seperti thalak, qishas, merdeka dan sebagainya.

27
Kaidah Keempat Puluh

m Ε m Σ Σ Σ ˴mέ
“Apabila berkumpul antara sebab, kicuhan dan pelaksana langsung, maka
didahulukan pelaksanaan langsung ”

Apabila dalam suatu peristiwa terdapat tiga faktor yang mengakibatkan


terjadinya, yaitu:
1. Yang merupakan sebab bagi terjadinya peristiwa.
2. Berwujud penipuan yang membantu terjadinya peristiwa.
3. Perbuatan langsung yang mengakibatkan terjadinya peristiwa.

Maka dalam kasus ini, perbuatan yang langsung mengakibatkan peristiwa itulah
yang mula-mula harus dimintai pertanggungan jawabannnya.
Contoh:
Dalam suatu pembunuhan, bekerja sama tiga orang yang pertama sebagai
penunjuk jalan, yang kedua sebagai pelaksana penipu si korban,untuk datang pada
suatu tempat tertentu, sedangkan yang ketiga dialah yang langsung membunuhnya
setelah berada di tempat yang ditentukan, maka dalam hal ini orang ketigalah yang
pertama-tama harus dituntut lebih dahulu.

28

Anda mungkin juga menyukai