Fiqh jinayah adalah hukum Islam yang membahas tentang aturan berbagai kejahatan
dan sanksinya; membahas tentang pelaku kejahatan dan perbuatannya. Dalam fiqh jinayah
dibicarakan pula upaya-upaya preventif, rehabilitatif, edukatif, serta upaya-upaya represif
dalam menanggulangi kejahatan disertai tentang teori-teori tentang hukuman.
Dalam konteks ini, Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal telah menyusun buku yang
berjudul, “Kaidah Fiqh Jinayah”. Dalam buku tersebut, tidak kurang dari seratus kaidah dan
dhabith-nya.
1.
“ Tidak ada jarimah (tindak pidana) dan tidak ada hukuman tanpa nash (aturan)”1
Dalam sejarah hukum Islam, tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak
pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut dinyatakan sebagai
tindak pidana dan diberi sanksinya baik oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Hal ini berlaku
sejak Nabi pindah ke Madinah yaitu sekitar 14 abad abad yang lalu atau pada abad ke-7 M.
2.
إ د رء وا الحدو د با لشبها ت
“Hindari hukuman had karena ada syubhat”
1
‘Abd al-Qadir ‘Awdah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh’i, cet. III, (Mesir:
Maktabah al-‘Urubah, 1963 M), h. 118.
Atau dengan ungkapan lain :
Ada tiga macam syubhat yang dapat menggugurkan sanksi had, yaitu : pertama,
syubhat yang berhubungan dengan pelaku (al-fa’il) yang disebabkan oleh salah sangkaan si
pelaku, seperti mengambil harta orang lain yang dikira harta miliknya. Kedua, syubhat karena
perbedaan pendapat para ulama (fi al-jihah) seperti Imam Malik membolehkan nikah tanpa
saksi tapi harus ada wali. Imam Abu Hanifah membolehkan nikah tanpa wali tapi harus ada
saksi. Ketiga, syubhat karena tempat (fi al-mahal) seperti me-wathi istri yang sedang haidl.3
ال يجو ز إثبا ت الحدود من طريق القياس وإنما طر يق إثبا تها التو قيف
“Tidak boleh penetapan jarimah (tindak pidana) hudud dengan cara analogi,
penetapannya harus dengan nash”4
Menurut kaidah ini, tidak boleh menyamakan tindak pidana homoseksual atau lesbian
dengan zina, meskipun keduanya diharamkan oleh hukum Islam.
3.
Yang dimaksud dengan ghasab adalah mengambil dan menguasai hak orang lain
dengan maksud jahat. Maka orang tersebut harus mengembalikan hak orang lain yang
dirampasnya atau mengganti dengan harganya.
2
Al-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, al- Asybah wa al-Nazhair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Syafi’i, cet. I,
(Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1339H/1979) h. 136.
3
‘Abd al-Qadir Awdah, h. 212.
4
Asyumuni A. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet. I, h. 103.
5
Al-Subki, Imam Tajjudin ‘Abd a;-Wahab, al-Asybah wa al-Nazhair, cet. I, (Beirut: dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1414
H/1991 M), h. 320.
4.
5.
6.
6
‘Abd al-Aziz Amir, al-Ta’zir fi al-Syari’at al Islam, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1969), h. 55.
7
Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islami, cet. I, (Beirut: Dar al-Qalam, tt), h. 270.
tertangkap tangan. Harta yang dicuri pada waktu tertangkap tangan belum sampai kepada
nisab, maka dia tidak akan terkena sanksi potong tangan. Meskipun hartanya bertambah
setelah pencurian sehingga sampai kepada nisab, si pencuri hanya kena sanksi ta’zir.
7.
8.
“Pelukaan karena binatang tidak ada sanksinya” (HR. Bukhari Muslim dari Abu
Hurairah)
Dalam hukum Islam, yang dapat dikenai sanksi hanyalah manusia, karena dialah
subjek hukum. Binatang adalah benda. Adapun pemilik binatang yang binatangnya melukai
orang lain atau bahkan membunuh orang lain, harus dilihat kasus per kasus.
9.
8
Ali Ahmad Al-Nadwi, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Qalam, 1420 H/2000 M), cet. V, h. 202.
Maksud kaidah ini adalah tidak bisa seseorang yang tidak memiliki kekuasaan untuk
melaksanakan hudud atau menyelesaikan pertengkaran, kecuali melalui petugas khusus dari
penguasa.
10.
Kaidah ini akibat dari kaidah No. 1; jadi karena tidak ada tindak pidana dan tidak ada
hukuman sebelum adanya nash, maka baru ada tindak pidana dan hukumannya setelah
adanya aturan. Oleh karena itu, hukum pidana itu tidak berlaku surut. Meskipun demikian, di
kalangan ulama ada yang berpendapat bahwa untuk kejahatan yang benar-benar berbahaya
bagi masyarakat dan keamanan, maka aturan pidana boleh berlaku surut, seperti dalam
perampokan. Selain itu, aturan pidana dapat berlaku surut jika aturan itu menguntungkan bagi
si pelaku.
11.
Oleh karena itu, anak kecil atau orang yang belum dewasa apabila melakukan
kejahatn, tidak boleh dijatuhin hukuman had, tetapi boleh diberi hukuman ta’zir, yang
bersifat mendidik, karena kesengajaan anak kecil dianggap sebagai kesalahan.
12.
“Tidak boleh bagi seseorang mengambil harta orang lain tanpa dibenarkan oleh
syariah”
9
‘Abd al-Qadir Awdah, h. 262.
10
‘Abd al-Wahab Khalaf, Ushul al-Fiqh, h. 137.
Pengambilan harta orang lain tanpa dibenarkan oleh syariah adalah pencurian atau
perampasan harta yang ada sanksinya. Tetapi jika dibenarkan oleh syariah maka dibolehkan.
13.
“Setiap pelaku kejahatan maka (tanggung jawab) kejahatan itu kembali kepada
dirinya sendiri”11
Kaidah ini berhubungan dengan sanksi pidana itu bersifat individual. Artinya, hanya
pelaku kejahatan itu sajalah yang kena sanksi, bukan keluarganya atau yang lainnya.
11
Al-Nadwi, h. 124.