Anda di halaman 1dari 15

Oleh: Khairul Muttaqin, M.Th.

I
 Fiqh Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu Fiqh dan Jinayah. Fiqh
secara bahasa berarti pengertian dan pemahaman yang
mendalam. Sedangkan secara istilah, Fiqh adalah :” Ilmu tentang
hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci”. Atau Fiqih adalah :” Himpunan Hukum-hukum syar’i
yang praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci”.
 Jinayah secara bahasa adalah nama dari hal yang diperoleh
manusia dari perbuatan jelek yang dilakukannya. Sedangkan
menurut istilah :” Nama dari suatu perbuatan yang diharamkan
secara syara’, baik perbuatan tersebut terkait dengan jiwa, harta
atau selainnya “.
 Dari pengrtian Fiqh dan Jinayah ini, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Fiqh Jinayah adalah :” Ilmu tentang
hukum-hukum syara’ yang terkait perbutan-perbuatan yang
dilarang syara’ serta hukumannya yang diambil dari dalil-dalil
nya yang terperinci “.
 Jinayah menurut bahasa merupakan nama bagi suatu
perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah
adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan
Syara’, baik perbuatan terebut mengenai jiwa, harta
benda, maupun selain jiwa dan harta benda. Jadi,
pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang
diharamkan, karena perbuatan tersebut
membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan
harta benda.
 kata jarimah mengandung arti perbuatan buruk,
jelek, atau dosa. Jadi, pengertian jarimah secara
harfiah sama halnya dengan pengertian jinayah.
 Walaupun pengertian antara jinayah dengan jarimah
sukar dipisahkan, dalam pemakaian sehari-hari,
kedua kata tersebut dapat kita bedakan.
 Jarimah, biasa dipakai sebagai perbuatan dosa-bentuk, macam, atau
sifat dari perbuatan dosa tersebut. Jarimah lebih identik dengan
pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak
pidana atau pelanggaran. Misalnya, pencurian, pembunuhan,
perkosaan, atau perbuatan yang berkaitan dengan politik dan
sebagainya. Semua itu kita sebut dengan istilah jarimah yang kemudian
dirangkaikan dengan satuan atau sifat perbuatan tadi. Oleh karena itu,
kita menggunakan istilah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan,
jarimah perkosaan, dan jarimah politik dan bukan istilah jinayah
pencurian, jinayah pembunuhan, jinayah perkosaan dan jinayah politik.
 Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih
umum (luas), yaitu ditujukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut
pautnya dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan
perbuatan dosa tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fiqih yang
memuat masalah-masalah kejahatan, pelanggaran yang dikerjakan
manusia, dan hukuman yang diancamkan kepada pelaku perbuatan
disebut Fiqih Jinayah dan bukan istilah Fiqih Jarimah.
 Jadi perbedaan antara jinayah dan jarimah terletak pada pemakaian, arah
pembicaraan, serta dalam rangkaian apa kedua kata itu digunakan.
 Dari definisi Fiqh Jinayah di atas, dapat
dipahami bahwa objek kajiannya adalah
tindakan-tindakan pidana yang dilakukan
oleh orang yang mukallaf baik yang terkait
dengan jiwa, harta atau selainnya serta
hukuman dari masing-masing tindak pidana
tersebut.
 Secara garis besar Ulama menklasifikasikan jinayah ( tindakan
pidana ) menjadi tiga: Hudud, Qishash dan Diyat, serta Ta’zir.
1. Hudud
Hudud adalah kata plural dari had yang berarti “larangan“.
Dinamakan demikian karena hudud ini bisa mencegah dari
perbuatan yang mengharuskan diberlakukannya hukuman ini,
atau karena Syari’( Allah ) menetapkan batasan hukumannya,
yang mana tidak boleh ditambah atau dikurangi”. Yang dimaksud
dengan had secara syar’i adalah hukuman yang sudah ditentukan
oleh Allah untuk memelihara keturunan, harga diri, akal, harta
dan pengamanan jalan. Dengan demikian hukuman ini tidak
memiliki batas paling rendah atau paling tinggi, dan seratus
persen hak Allah, tidak boleh digugurkan baik oleh individu atau
kelompok.
Tindak pidana yang hukumannya masuk kategori hudud ini dan
disepakati oleh mayoritas ulama jumlahnya ada tujuh: Zina,
Qadzaf, Minum Khamer, pencurian, hirabah ( perampokan ),
riddah dan al-Baghyu ( pemberontakan ).
2. Qishash dan Diyat (Denda/Tebusan)
Qishsash dan Diyat adalah tindakan pidana yang
diancam dengan qishash atau diyat. Tindak
pidana ini merupakan hak individual bukan hak
komunitas, sehingga orang yang mnjadi korban
bisa memberikan maaf kepada pelaku, menuntut
qishash atau diyat.
Para Fuqaha berbeda dalam menyebut tindak
pidana ini. Ada yang menamainya dengan “ al-
Jirah “, sebagian menamainya dengan “ al-Dima’ “
dan sebagian lagi menamakannya : al-Jinayat “.
Tindak pidana ini memiliki lima macam :
 al-Qathlu al-‘Amdu ( Pembunuhan sengaja)
 al-Qathlu Syibhu al-‘Amdi ( Pembunuhan semi sengaja)
 al-Qathlu al-Khatha’ ( Pembunuhan karena kesalahan )
 al-Jarhu al-‘Amdu ( Penganiayaan sengaja)
 al-Jarhu al-Khatha’ ( Penganiayaan tidak disengaja).

3. Ta’zir
Ta’zir adalah tindakan pidana yang sanksinya tidak
ditentukan oleh Allah SWT.Penjatuhan sanksi dan kadarnya
diberikan sepenuhnya kepada ijtihad Qadhi sesuai dengan
situasi dan kondisi pelaku serta kemaslahatan.
 Sanksi Hudud ditentukan oleh Allah SWT. dan tertutup
peluang untuk ijtihad. Tak ada seorang pun yang bisa
menambah atau menguranginya. Sedangkan sanksi ta’zir
sepenuhnya diberikan kepada ijtihad hakim sesuai
dengan kondisi sosial dan psikologis pelaku.
 Sanksi ta’zir boleh diberlakukan kepada anak-anak dan
orang gila yang memiliki sedikit ingatan, karena fungsi
ta’zir memberi pendidikan. Sedangkan Hudud tidak bisa
diberlakukan kepada mereka, karena syarat mukallaf
tidak terpenuhi dalam diri mereka.
 Ta’zir bervariasi tergantung pelakunya. Orang yang
cacat akan mendapatkan hukuman yang lebih ringan
dari pada yang sempurna. Sementara dalam hudud
berlaku asas persamaan.
 Apabila ta’zir tersebut berupa hak Allah, maka wajib dilaksanakan, dan
boleh dimaafkan dan mendapat syafaat apabila dilihat ada maslahatnya
atau pelaku sudah jera. Dan apabila ta’zir tersebut merupakan hak
adami ( manusia ), maka yang berhak boleh memberikan maaf walaupun
tidak terlihat sisi kemaslahatananya. Berbeda dengan hudud, tidak boleh
seorang pun yang bisa menggugurkan atau memberi syafaat (bantuan )
setelah kasus tersebut sampai di tangan Imam (penguasa), kecuali
tindak pidana Qadzaf karena korban bisa memberikan maaf menurut
pendapat jumhur.
 Sanksi Ta’zir gugur dengan taubat pelaku. Sementara dalam had, taubat
pelaku – menurut pendapat yang kuat - tidak bisa digugurkan, kecuali
dalam kasus tindak pidana perampokan yang pelakunya bertaubat
sebelum tertangkap.
 Hudud tidak diberlakukan dengan adanya unsur syubhat, baik yang
masuk kategori hak penuh Allah, seperti Zina, pencurian dan minum
khamer, atau yang musytarakah antara hak Allah dan hak makhluk-Nya,
seperti Qadzaf. Sedangkan ta’zir tetap diberlakukan jika memenuhi
syarat walau pun ada unsur syubhat.
 Kerusakan yang diakibatkan pelaksanaan hudud
tidak wajib diberikan jamainan apabila
dilaksanakan sesuai dengan aturan syar’i.
Sdangkan kerusakan yang diakibatkan oleh
plaksanaan ta’zir - menurut pendapat Imam
Syafi’i yang populer - wajib diberikan jaminan.
 Dalam kasus ta’zir diperbolehkan adanya
penengah. Terdakwa dan penggugat keduanya
bisa menunjuk penengah untuk menyelesaikan
sengketa antara keduanya, sementara dalam
hudud penengah apa pun kapasistasnya tidak
diperbolehkan.
 Dalam qishash diperbolehkan adanya pengampunan
dan syafa’at baik yang terkait dengan jiwa atau
selainnya, sementara dalam had pengampunan tidak
diterima, dan syafa’at dinyatakan tidak sah apabila
kasusnya sudah ditangan Hakim, kecuali dalam kasus
qadzaf menurut pendapat selain Hanafiyah.
 Qishash masuk kategori hak yang bisa berpindah
kepada ahli waris apabila pemiliknya meninggal dunia.
Dengan demikian mereka berhak menuntut qishash
apabila sang pewaris sebelum meninggal belum
memberikan maaf terhadap terdakwa. Sedangkan
dalam hudud tidak boleh adanya campur tangan dari
ahli waris, kecuali dalam hal qadzaf dan yang diqadzaf
telah melakukan penuntutan sebelum meninggal
dunia.
 Dalam qishash diperbolehkan penggantian
dengan harta, sementara dalam hudud hal
tersebut tidak diperbolehkan.
 Pelaksanaan had hanya bisa dilakukan oleh
Kepala Negara atau yang mewakilinya,
sementara dalam qishash koban atau walinya
berhak untuk melakukannya jika mampu
melakukannya sesuai dengan aturan syar’i.
 Tahkim boleh dilakukan dalam qishash,
semenara dalam hudud sama sekali tidak
diperbolehkan.
 Hukum Pidana Islam dibuat sebelum adanya
manusia
 Bebas dari kepentingan pribadi
 Memperhatikan akhlak
 Lentur dan fleksibel

Anda mungkin juga menyukai