FIKIH JINAYAH
Aan Afandi
Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Email : afandiaan4@gmail.com
Abstrak
Syariat Islam telah mengatur sedemikian lengkap berbagai aturan
dalam permasalahan kehidupan umat manusia agar supaya terwujudnya dan
terjaganya kemaslahatan umat, begitupun syariat Islam telah mengatur aturan
mengenai jarimah pencurian baik itu mengenai pengertian, unsur-unsur,
pembuktian maupun sanksi yang diterapkan yang sebagaimana pencurian
merupakan tindak perbuatan buruk yang merugikan masyarakat dan
lingkungan.
Pendahuluan
Pembahasan
1
Ahmad Syafii, “Pencurian dalam perspektif kitab undang-undang hukum pidana dan hukum
Islam” , Tadulako law riview, vol. 2 issue 2, (Desember 2017), 141.
2
Nurul Irfan, Masyrofah, Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2013), hlm.99.
3
Ibid.,
Ketika terjadi tindak kejahatan jarimah pencurian memang pada dasarnya
akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi hal ini dimaksudkan agar
supaya pencurian tersebut berjalan mulus tanpa ada yang mengetahui
termasuk si pemilik barang yang dicuri, dalam unsur yang pertama ini
bahwa si pelaku atau pencuri mengambil barang atau harta curian dari
tempat bisasanya barang tersebut disimpan. 4
2. Barang Yang di Curi Harus Berupa Harta
Adapun yang menjadi objek pencurian itu sendiri adalah berupa harta yang
berharga artinya mempunyai nilai, jika dilihat dari presektif sejarah dahulu
bahwa manusia sebagai (budak) adalah merupakan salah satu objek atau
harta yang dapat dicuri sehingga kemudian Islam menghapus perbudakan
dan yang demikian itu tidak berlaku lagi, hal ini senada dengan yang
dikatakan oleh Ibnu Qudamah yang dikutip oleh Mardani bahwa barang
yang dicuri haruslah berupa harta sebab ketika yang dicuri itu manusia
maka tidak dapat dikenakan hukuman potong tangan. 5
3. Harta yang di Curi yaitu Milik Orang Lain
Dalam hal ini bahwa ketika seseorang mengmbil barang atau harta yang
kemudian barang tersebut bukanlah milik orang lain atau kita dapat
analogikan bahwa barang tersebut milik bersama ataupun kerabat
sehingga yang demikian itu tidak termasuk dalam pencurian. 6 Hal ini
senada sebagaimana yang diriwayatkan dalam Hadits riwayat Ahmad,
bahwa ada seseorang mendatangi Nabi SAW, lalu kemudian mengadukan
ayahnya seraya dia berkata, wahai Rassulullah, sesungguhnya ayahku
menginginkan harta ku, kemudian Rassulullah SAW, bersabda, kamu dan
hartamu adalah milik ayah mu. 7
4. Terdapat Niat Melawan Hukum
Adanya suatu niat untuk melakukan pencurian atau dalam kata lain
melawan hukum yaitu menjadi salah satu unsur dalam tindak jarimah
4
Ibid.,h.114.
5
Mardani, “Sanksi Potong Tangan Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian Dalam Prespektif
Hukum Islam”, Jurnal Hukum no. 2 vol.15 ( April 2008), 243.
6
Op.cit, h. 116.
7
Eensiklopedi kitab 9 imam Hadits
pencurian ini sehingga ketika suatu harta atau barang tersebut statusnya
adalah mubah meskipun pada awalnya milik seseorang dan kemudian
orang tersebut tidak membutuhkanya lagi sehingga misalnya barang
tersebut kemudian dibuang maka dalam kasus ini tidak dapat dikenakan
sanksi pencurian, dalam hal ini perlu kita ketahui bahwa adanya niat
melawan hukum adalah ketika si pencuri mengetahui bahwa harta atau
barang yang akan dia curi itu adalah status hukumya diharamkan. 8
8
Op.cit, h.248.
9
Hanif Azhar, “ Alat Bukti Petunjuk Dalam Hukum Pidana Islam”, Jurnal Al-Adalah Syariah
dan Hukum no. 2 vol 5 ( Desember 2020), 164.
dalam bukunya Hukum Pidana Islam yang dikutif oleh Hanif Azhar akan
diuraikan berikut.10
1. Bayyinah atau Saksi
Dalam hal jarimah pencurian saksi dapat dijadikan sebagai alat bukti dan
adapun jumlah saksi itu harus memenuhi minimal 2 orang dan kemudian
ketika saksi atau bayyinah tersebut berjulah 2 orang perempuan maka
sama dengan 1 orang saksi laki-laki.
2. Iqrar atau Pengakuan
Dalam hal bukti pengakuan ini pada dasarnya diucapkan satu kali dan
diucapak didepan sidang.
3. Al-Yamin Al-Mardudah atau Sumpah yang dikembalikan
Sumpah ini pada dasarnya terkhusus pada jarimah pencurian ketika belum
adanya bukti atau kesaksian yaitu sumpah yang ketika pemilik harta atau
barang yang dicuri meminta untuk pelaku pencurian bersumpah bahwa dia
tidak melakukan pencurian tersebut dan adapun ketika yang tertuduh
melakukan pencurian tidak bersedia untuk melakukan sumpah tersebut
maka sumpah dikembalikan kepada pelapor atau pemilik harta yang dicuri
dengan menyatakan sumpah bahwa sang terdakwalah yang melakukan
pencurian tersebut.
10
Ibid, h. 175-178
11
Ibid,h. 174.
dapat diganti dengan hukuman atau jenis sanksi lain yang dianggap dapat
meringankan hukuman terseebut dan kemudian sanksi tersebut dapat di
lakukan ketika unsur-unsur dalam pencurian sebagaimana telah dibahas pada
bagian awal terpenuhi. 12 Kemudian dalam sebuah hadits riwayat Ahmad yang
dikutip oleh Nurul Irfani dalam bukunya Fikih Jinayah bawha diriwayatkan
dari Aisyah bahwa Rassulullah besabda “ potonglah tangan pencuri yang
mencuri seperempat dinar dan jangan dipotong pada pencurian yang kurang
dari itu”. (HR.Ahmad).13
Selajutnya berdasarkan pendapat ulama madzhab imam Syafi’i,
Hambali, dan Hanafi bahwa pencurian dalam ranah keluarga artinya bahwa
dari salah satu anggota keluaraga melakukan pencurian maka tidak ada sanksi
hukuman potong tangan karena pada dasarnya harta atau barang tersebut
statusnya adalah milik bersama, namun kemudian ada perbedaan pandangan
menurut imam Maliki bahwa dalam ranah keluarga yang dapat dikenakan
sanksi hukuman potong tangan yaitu hanya ayah saja, kemudian ketika istri
melakukan pencurian dalam hal ini harta tersebut tersimpan ditempat yang
terspisah atau dalam istilah disebut hirz maka hukumanya adalah potongan
tangan dan pendapat yang kedua ini disepakati oleh pendapat baru atau qaul
jadid imam Syafi’i. 14
Kemudian mengenai teknis hukuman potongan tangan berdasarkan
ulama madzhab terbagi menjadi dua presepsi pertama menurut imam madzhab
Hanafi dan Hambali bahwa secara teknis hukuman potong tangan terhadap
pelaku pencurian yaitu tangan kanan terhadap sanksi pencurian pertama dan
kemudian tangan kiri ketika sipelaku melakukan pencurian kembali,
kemudian ketika sipelaku mencuri kembali maka hukuman berikutnya adalah
dipenjarakan selama waktu yang tidak diketahui, kemudian berdasarkan
pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki bahwa hukuman atau sanksi tindak
pencurian yaitu ketika tindak pencurian pertama yang dipotong adalah tangan
kanan dan kemudian jika dia mencuri lagi selanjutnya hukumanya yaitu
12
Mardani, “ Sanksi potong tangan bagi pelaku tindak pidana pencurian dalam prespektif
hukum Islam”, Jurnal Hukum no. 2 vol 15 ( April 2008), 249.
13
Nurul Irfan, Masyrofah, Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika Offest, 2013), hlm.104.
14
Op.Cit, h.252.
dipotong pada kaki kiri serta kemudian ketika dia kembali melakukan
pencurian ke tiga dan ke empat kalinya maka secara secara berurutan
sanksinya yaitu dipotong tangan kiri lalu kemudian dipotong kaki kanan
sehingga apabila pencuri itu tidak ada kapoknya dan melakukan pencurian
yang kelima kalinya maka sanksinya yaitu dipenjarakan sampai dia hendak
bertaubat.15
Kesimpulan dalam sanksi potong tangan untuk melakukan tindak
pidana pencurian dalam perspektif hukum Islam, dapat disimpulkan sebagai
berikut larangan potong tangan dalam tindak pidana pencuri menurut Ulama
adalah larangan maksimal, oleh karena itu tidak setiap pencurian yang
dilakukan tunduk pada pembatasan. dan pembatasan diberlakukan. Hal ini
dibuktikan dengan syarat dan ketentuan pencurian yang sangat ketat. Jika
salah satu syarat atau rukun pencurian tidak terpenuhi dengan sempurna, maka
sanksinya tidak dipotong, melainkan sanksi alternatif yang disebut ta'zir, yaitu
sanksi pendidikan yang tidak ditentukan oleh syariat, maka hakim memiliki
hak mutlak. kekuatan melalui ijtihad untuk dapat menjatuhkan hukuman zir
jenis ini, demikian pula tidak boleh diberikan larangan potong tangan terhadap
pencurian dalam keluarga, seperti orang tua mencuri harta anaknya atau
sebaliknya, istri mencuri harta suaminya atau sebaliknya dan pembantu
mencuri harta majikannya, karena masing-masing memiliki hak untuk hidup.
yaitu dalam harta anak terdapat hak orang tua atau sebaliknya, alasan lain yang
dikemukakan oleh para ulama adalah karena menurut syariat orang tua dan
anak tidak diterima sebagai saksi di pengadilan dan merupakan ahli waris yang
tidak terikat, dan karena keraguan dan perselisihan bercampur dengan harta..16
Penutup
Dalam hukum pidana Islam hukuman diartikan sebagai pembalasan
yang terjadi untuk melindungi kepentingan masyarakat, karena melanggar
ketentuan syariah, dapat disimpulkan bahwa mencuri adalah tindakan
mengambil barang milik orang lain yang dilindungi dan mengeluarkannya
15
Mardani, “ Sanksi potong tangan bagi pelaku tindak pidana pencurian dalam prespektif
hukum Islam”, Jurnal Hukum no. 2 vol 15 ( April 2008),523.
16
Ibid,h.256.
dari tabungannya tanpa keragu-raguan di dalamnya dan dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, dalam Islam tindak pidana pencurian merupakan tindak
pidana yang seyogianya berupa potong tangan sebagai hukuman maksimal,
sepanjang memenuhi syarat-syarat yang dipersyaratkan syariat. Namun jika
tidak memenuhi syarat yang harus dilaksanakan karena ada subhat, maka
pencurian dikenakan sanksi ta’zir, yaitu sanksi pendidikan yang tidak
ditentukan syariah, maka hakim harus memiliki kekuasaan mutlak untuk
menentukan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku pencurian.
Daftar Pustaka
Syafii,Ahmad. 2017. Pencurian dalam perspektif kitab undang-undang hukum
pidana dan hukum Islam. Tadulako law riview. vol. 2 issue 2.
Mardani. 2008. Sanksi Potong Tangan Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian
Dalam Prespektif Hukum Islam. Jurnal Hukum. No. 2 Vol.15.
Azhar,Hanif. 2020. Alat Bukti Petunjuk Dalam Hukum Pidana Islam. Jurnal
Al-Adalah Syariah dan Hukum. No. 2 Vol 5.