Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FIKIH JINAYAH KELOMPOK VI

JARIMAH SARIQAH
(PENCURIAN)

DISUSUN OLEH:

1. FAJAR YOANDA (11920714370)


2. HANI ADDINA ZAHRA (11920724386)

KELAS E

DOSEN PENGAMPU:
FERLAN NIKO, S.H.I., M.Sy.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat berdiskusi dan

bekerja sama untuk menyelesaikan makalah dengan tema “Jarimah Sariqah” tepat

pada waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Fikih

Jinayat pada Kelas E yang diampu oleh Bapak Ferlan Niko, S.H.I., M.Sy.

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dalam

memahami konsep jarimah pencurian. Penulisan makalah ini masih belum

sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

demi perbaikan bagi penulisan karya ilmiah lain kedepannya.

Pekanbaru, Oktober 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3. Tujuan Pembahasan .................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
2.1. Pengertian Pencurian (Sariqah) ................................................................ 5
2.2. Unsur-Unsur Pencurian ............................................................................ 8
2.3. Hukuman Pencurian ............................................................................... 10
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 15
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 15
3.2. Saran ....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar norma-norma

yang ada dalam masyarakat, baik norma hukum nasional maupun norma

hukum agama. Salah satu bentuk tindak pidana adalah pencurian. Dalam

hukum pidana yang berlaku di Indonesia, tindak pidana pencurian diatur

pada Pasal 362-367 Bab XXII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Ancaman pidananya berupa pidana mati, pidana penjara, pidana

denda, serta pencabutan hak, tergantung pada bentuk atau cara pencurian

dilakukan.

Pada dasarnya terdapat tiga klasifikasi hukuman dalam hukum pidana

Islam, yakni jarimah hudud, jarimah qishash/diyat, dan jarimah ta’zir.

Tindak pidana pencurian dapat dijatuhi hudud (had) atau ta’zir. Hukuman

hudud adalah jenis hukuman yang telah ditentukan nas dan merupakan hak

Allah (had). Sementara, ta’zir merupakan hukum yang pelaksanaannya

diserahkan kepada pihak yang berwenang.

Had merupakan hukuman pokok terhadap tindak pidana pencurian

beruapa hukum potong tangan. Namun, pelaksanaan hukuman potong

tangan ini harus memenuhi berbagai rukun dan persyaratan. Apabila tidak

terpenuhi, maka terhadap pidana pencurian tersebut dapat dijatuhi hukum

ta’zir. Makalah ini akan membahas mengenai definisi tindak pidana

3
pencurian dalam hukum Islam, unsur-unsur pencurian yang dapat dijatuhi

had, serta membahas tentang hukuman tindak pidana pencurian dalam

hukum Islam secara lebih mendalam.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah pada

makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Bagaimana definisi atau pengertian jarimah pencurian?

2) Bagaimana pemenuhan unsur-unsur pencurian dalam fikih jinayah?

3) Bagaimana hukuman terhadap pencurian dalam fikih jinayah?

1.3. Tujuan Pembahasan

1) Mengetahui definisi atau pengertian jarimah pencurian.

2) Mengetahui pemenuhan unsur-unsur pencurian dalam fikih jinayah.

3) Mengetahui hukuman terhadap pencurian dalam fikih jinayah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pencurian (Sariqah)

Sariqah berasal dari bahasa Arab dari bentuk dasar saraqa-yasriqu-saraqan, dan

secara etimologis yakni ً‫أ َ َخذَ َمالَهُ ُخ ْفيَةً َو ِحلَة‬ mengambil harta milik seseorang

secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.1 Dalam kriminologi, pencurian

dikenal dengan larceny, yaitu pengambilan alih properti orang lain tanpa hak

dengan cara sembunyi-sembunyi atau diluar sepengetahuan pemiliknya.

Definisi jarimah pencurian secara terminologi menurut para ahli:

a. Ali bin Muhammad Al-Jurjani

Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong

tangan adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih

berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan

oleh seorang mukallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur

syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih

berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya

diancam hukuman potong tangan.2

1
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwie Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997), h. 628.
2
Ali bin Muhammad Al-Jurjani, Kitab Al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar Al-Hikmah, 1988), h. 118.

5
b. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi’i)

Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) secara

sembunyi-sembunyi dan secara istilah syara’ adalah mengambil harta (orang

lain) secara sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat

penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai

syarat.3

c. Wahbah Al-Zuhaili

Sariqah ialah mengambil harta milik orang lain dari tempat

penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam

dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam kategori mencuri adalah

mencuri-curi informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-

sembunyi.4

d. Abdul Qadir Audah

Ada dua macam sariqah menurut Islam, yaitu sariqah yang diancam dengan

had dan sariqah yang diancam dengan ta’zir. Sariqah yang diancam dengan

had dibedakan menjadi dua macam yaitu pencurian kecil dan pencurian

besar. Pencurian kecil yaitu mengambil harta milik orang lain secara diam-

diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil harta milik orang lain

dengan kekerasan.5

3
Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 158.
4
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr), h. 5422.
5
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, (Beirut: Mu’assanah Al-Rialah,
1992), jilid II, h. 514.

6
Dari beberapa rumusan definisi sariqah di atas, dapat disimpulkan bahwa sariqah

adalah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari

tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau

harta kekayaan tersebut.

Pencurian kecil diancam dengan had, yakni terhadap pencurian yang hanya

memenuhi dua unsur: (1) tidak disadari oleh korban; dan (2) dilakukan tanpa izin.

Tidak terpenuhinya salah satu dan/atau kedua unsur tersebut, pencurian tidak

dapat digolongkan sebagai pencurian kecil. Jika pencurian dilakukan tanpa izin

dan tanpa kekerasan, namun disaksikan oleh pemiliknya, maka tidak termasuk

pencurian kecil melainkan penjarahan. Demikian pula dengan merebut harta atau

barang orang lain, disebut dengan perampasan. Terhadap penjarahan dan

perampasan dijatuhi hukuman ta’zir. Hadis Rasulullah SAW, bahwa:

“Tidak dipotong tangan orang yang menipu, dan tidak dipotong tangan

orang yang mencopet.” (H.R Ahmad)

Adapun pengambilan harta atau barang yang direlakan pemiliknya, meskipun

tanpa disadari, bukan termasuk pencurian.

Pencurian besar, juga diancam dengan had, yaitu pengambilan harta atau

barang dengan sepengetahuan pemilik tanpa izinnya sehingga terjadi kekerasan.

Pencurian besar disebut sebagai perampokan. Jadi, jika dilakukan tanpa kekerasan

disebut penjarahan, penjambretan, perampasan, dan perampokan. 6

6
Abdul Qadir Audah, Ibid, h. 514.

7
2.2. Unsur-Unsur Pencurian

Sesuai dengan definisinya, unsur pencurian adalah mengambil harta orang lain

secara diam-diam, yang diambil berupa harta, harta yang diambil merupakan

milik orang lain dan ada itikad tidak baik. 7

a. Mengambil harta secara diam-diam

Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah

mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaannya,

seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang

tidur. Pengambilan harta itu dapat dianggap sempurna, jika:

• pencuri mengambil harta atau barang dari tempatnya;

• barang yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemiliknya;

• barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ke tangan si pencuri.

Bila salah satu syarat di atas tidak terpenuhi, maka pengambilan tersebut

tidak sempurna. Dengan demikian hukumannya bukan had, melainkan

ta’zir.

b. Barang yang dicuri berupa harta

Disyaratkan yang dicuri itu berupa:

• harta yang bergerak, karena pencurian mempunyai makna

perpindahan harta yang dicuri dari pemilik kepada pencuri;

7
Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Penerbit Amzah, 2013), h.114.

8
• harta atau benda berharga, maksudnya adalah bahwa barang tersebut

berharga bagi pemiliknya;

• harta atau benda yang disimpan di tempat penyimpanan;

• harta yang dicuri harus mencapai nisab.

Nisab harta curian ditentukan sebagaimana hadis Rasulullah SAW:

Dari Aisyah, “Potonglah tangan pencuri yang mencuri seperempat

dinar dan jangan dipotong pada pencurian yang kurang dari itu.”

(H.R. Ahmad)

Mengenai ukuran konversi seperempat dinar, jumhur ulama berbeda

pendapat. Pertama, Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi, seorang ulama besar di

Mesir, berpendapat bahwa seperempat dinar setara dengan tiga dirham,

sebab melihat nilai tersebut melalui pendekatan ekonomis-matematis serta

aspek sosiologi-historis. Begitu pula dengan al-San’ani, al-Syafi’i, dan

ulama Hijaz lain. Kedua, nisabnya sepuluh dirham oleh ulama Irak. Adapun

pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama. 8

c. Harta yang dicuri itu milik orang lain

Disyaratkan dalam jarimah pencurian bahwa sesuatu yang dicuri itu

merupakan milik orang lain. Yang dimaksud dengan milik orang lain adalah

bahwa harta itu ketika terjadinya pencurian adalah milik orang lain dan yang

dimaksud dengan waktu pencurian memindahkan harta dari tempat

8
Abu Al-Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Azhim Abadi, ‘Aun Al-Ma’bud Syarh
Sunan Abi Dawud, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2001), h. 459.

9
penyimpanannya. Atas dasar ini, maka tidak ada hukuman had dalam

pencurian terhadap harta yang status pemilikannya bersifat syubhat.

Barang-barang yang pada asalnya tidak ada pemiliknya boleh diambil,

akan tetapi jika sudah ada dalam penguasaan seseorang atau Ulul Amri

maka dianggap telah ada pemiliknya. Sedangkan harta yang sengaja

ditinggalkan atau dibuang pemiliknya adalah sama dengan harta yang tidak

ada pemiliknya.

d. Ada itikad tidak baik (melawan hukum)

Adanya itikad tidak baik seorang pencuri terbukti bila ia mengetahui bahwa

hukum mencuri itu adalah haram dan dengan perbuatannya itu ia bermaksud

memiliki barang yang dicurinya tanpa sepengetahuan dan kerelaan

pemiliknya.

2.3. Hukuman Pencurian

Firman Allah SWT:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai

siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

(Q.S. Al-Maidah [5]: 38)

10
Ancaman hukum potong tangan terhadap jarimah pencurian sudah ada sejak

zaman jahiliah. Kemudian Allah SWT memerintahkan untuk

memberlakukan hukuman ini dalam Islam. Pada ayat di atas, seakan setiap

pencuri harus dihukum potong tangan karena secara sepintas bersifat umum.

Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab terdapat syarat-syarat yang harus

dipenuhi selain dari pencurian tersebut termasuk ke dalam pencurian kecil

atau pencurian besar.

Adapun syarat-syarat pencuri yang dapat dihukum potong tangan (had),

adalah sebagai berikut:9

• Cakap hukum (taklif), yaitu bahwa pencuri tersebut telah dewasa

(baligh) dan berakal.

• Kehendak sendiri, yaitu bahwa pencuri tersebut mempunyai

kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau terdesak oleh

kebutuhan hidup.

• Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku,

seperti anak mencuri harta milik ayahnya atau sebaliknya.

• Tidak terdapat unsur syubhat dalam kepemilikan harta atau barang

yang dicuri, misalnya yang kepemilikannya merupakan milik

bersama antara pencuri dan pemilik.

• Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah.

9
Shahih Sa’id Al-Haidan, Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada’, (Riyadh: Masafi, 1984), h.
81.

11
Pelaksanaan hukuman potong tangan dilaksanakan dengan teknis sebagai berikut:

1) Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat pada pencurian pertama yang

dipotong adalah tangan kanan, pada pencurian kedua yang dipotong adalah

kaki kiri, pada pencurian yang ketiga yang dipotong adalah tangan kiri, pada

pencurian ke empat yang dipotong adalah kaki kanan. Jika pencuri masih

mencuri yang kelima kalinya maka dipenjara seumur hidup atau sampai dia

bertaubat.

2) Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pada pencurian pertama

pencuri dipotong tangan kanannya, pada pencurian kedua dipotong kaki

kirinya, dan pada pencurian ketiga dipenjara sampai si pencuri bertaubat.

Salah satu hal yang disepakati oleh para ulama adalah bahwa kewajiban

potong tangan itu dihapus, jika tangan yang akan dipotong itu telah hilang

sesudah pencurian terjadi. Batas pemotongan menurut Imam Abu Hanifah, Imam

Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan Zahiri adalah dari pergelangan tangan ke

bawah, begitupula bila yang dipotong kakinya. Alasannya adalah batas minimal

anggota yang disebut tangan dan kaki adalah telapak tangan atau kaki dengan jari-

jarinya. Selain itu, Rasulullah melakukan pemotngan tangan pada pergelangan

tangan pencuri.

Apabila syarat dan rukun hukuman potong tangan (had) terhadap pencurian

kecil atau pencurian besar tidak terpenuhi, maka berlaku hukum ta’zir, berupa

pengganti kerugian (dhaman). Menurut ‘Abd al-Qadir Audah, prinsip hukuman

12
ta’zīr dalam syari’at Islam adalah tidak membinasakan, akan tetapi hanya sebagai

ta’dīb atau pengajaran.

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman had dan ta’zir

terhadap jarimah pencurian dapat digabungkan. Alasannya, pencuri melanggar

dua hak, yakni hak Allah berupa keharaman mencuri dan hak hamba berupa

pengambilan atas harta orang lain. Oleh karena itu, pencuri harus

mempertanggungjawabkan akibat dua hak ini. Pencuri harus mengembalikan

harta yang dicurinya bila masih ada dan harus membayar ganti rugi bila hartanya

sudah tidak ada. Selain itu, ia tetap harus menanggung sanksi atas perbuatannya.

Menurut Imam Abu Hanifah, had dan ta’zir itu tidak dapat digabungkan,

artinya bila pencuri sudah dikenal sanksi hukuman potong tangan, maka baginya

tidak ada keharusan untuk membayar ganti rugi. Alasanya, al-Qur’an hanya

menyebutkan hukuman had saja. Selain itu, jika pencuri harus membayar ganti

rugi, maka seakan-akan harta itu adalah miliknya. Akan tetapi, mazhab Hanafi

pada umumnya berpendapat bahwa pemilik harta itu boleh meminta

dikembalikannya harta itu setelah pencurinya dikenai had bila harta itu masih ada,

baik masih berada di tangan pencuri maupun telah berpindah ke tangan orang

lain.10

Dengan demikian, sesungguhnya para ulama sepakat bahwa bila harta

yang dicuri itu masih ada di tangan pencuri, maka ia harus mengembalikannya.

10
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h.
7—8.

13
Perbedaan pendapat hanya terjadi apabila harta yang dicuri masih ada atau tidak

ada di tangan pencuri.

Bentuk ancaman pidana pencurian dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) pada hukum positif di Indonesia lebih menitikberatkan pada suatu

perasaan tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada

pencuri. Sementara, dalam hukum pidana Islam, hukuman diartikan sebagai suatu

pembalasan yang diterapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena

adanya pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan syara’. Untuk

menanggulangi kasus pencurian dilakukan dengan cara mendidik dan

membersihkan jiwa manusia dengan akhlak yang luhur, agar setiap individu atau

kelompok (masyarakat) tidak berkeinginan untuk memiliki hak orang lain.

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hukuman jarimah pencurian dapat dijatuhi had atau ta’zir. Hukuman

potong tangan dilaksanakan hanya dengan cara yang dibenarkan syari’at dan

wajib berhati-hati. Adapun syarat yang menjadi unsur tindak pidana

pencurian ada empat, yakni: (1) pencurian dilakukan secara diam-diam; (2)

barang yang dicuri berupa harta; (3) harta yang dicuri milik orang lain; dan

(4) ada itikad tidak baik. Serta, syarat seorang pencuri dapat dijatuhi

hukuman had ialah: baligh dan berakal, melakukan pencurian atas kehendak

sendiri, tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pencuri,

kepemilikan harta tidak syubhat, dan pencurian tidak terjadi pada saat

peperangan di jalan Allah. Apabila salah satu syarat dan rukun tidak

terpenuhi, maka hukuman potong tangan harus dibatalkan dan dialihkan

kepada hukum ta’zir berupa ganti kerugian.

3.2. Saran

Sebagai umat muslim, hendaknya kita senantiasa meningkatkan rasa

syukur atas segala nikmat yang telah Allah SWT berikan agar kita selalu

merasa cukup, sehingga dapat terhindar dari perbuatan pidana pencurian.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Haq, Islamul. Fiqh Jinayah, Parepare: Nusantara Press, 2020.

Irfan, Nurul. Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta: Penerbit Amzah, 2013.

Marsaid. Al-Fiqh Al-Jinayah (Hukum Pidana Islam): Memahami Tindak Pidana

dalam Hukum Islam, Palembang: Rafah Press, 2020.

Jurnal

Ahmad Syarbaini. “Teori Ta’zir dalam Hukum Pidana Islam.” Jurnal Ius Civile

Volume 2. No. 2 (2018).

Budi Dermawan & M. Noor Harisudin. “Transformasi Pemikiran Hukum Pidana

Islam terhadap Hukum Pidana Nasional (Analisis Implementatif Jarimah

Hudud, Qishash, dan Ta’zir).” Rechtenstudent Juornal Volume 1. No. 3

(2020).

Misran. “Kriteris Tindak Pidana yang Diancam Hukuman Ta’zir.” Legitimasi

Volume 10. No. 1 (2021).

Rusmiati, Syahrizal, Moh. Din. “Konsep Pencurian dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana dan Hukum Pidana Islam.” Syiah Kuala Law Journal

Volume 1 No. 1 (2017).

16

Anda mungkin juga menyukai