Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TINDAK PIDANA JARIMAH

Disusun Untuk Memenuhi tugas Kelompok Mata KuliahFiqih Jinayah Sinasah

Dosen Pengampu: H. Kafrawi, S.Pd.I., MA.

Disusun Oleh:

M. NUR HILMI FUADY : 1209.20.08.939

MISTAR PERMANA : 1209.20.08918

SISKA FARIDAH : 12092022010054

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM

AULIAURRASYIDIN

TEMBILAHAN

2023
A. Pengertian Jarimah
Menurut bahasa kata jarimah berasaldari kata jarama kemudian bentuk
masdarnya adalah jaramatan yang artinya perbuatan dosa, perbuatan salah, atau
kejahatan. Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak
pidana, (peristiwa pidana, delik) dalam hukum pidana positif. Perbedaannya
hanyalah bahwa hukum positif mengklasifikasikan antara kejahatan dan
pelanggaran melihat berat dan ringannya hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak
membedakannya, semuanya disebut jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya.
Pelakunya dinamakan dengan jarim, dan yang dikenai perbuatan itu adalah
mujaram alaihi. Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah menurut istilah para
fuqaha’ adalah “larangan-larangan syara’ yang diancamkan oleh Allah dengan
hukuman had atai ta’zir.
Para fuqaha’ sering kali memakai kata-kata jinayah untuk jarimah. Yang
dimaksud dengan kata jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara' baik
perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda atau pun lain-lainnya.
Akan tetapi, para fuqaha' memakai kata-kata jinayah hanya untuk perbuatan yang
mengenai jiwa orang atau anggota badan. Ada pula golongan fuqaha’ yang
membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qishas saja.
Dengan mengesampingkan perbedaan pemakaian kata-kata jinayah
dikalangan fuqaha, dapatlah penulis katakan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah
fuqaha’ sama dengan kata-kata jarimah. Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila
dapat merugikan tata aturan masyarakat, atau kepercayaan-kepercayaannya, atau
merugikan kehidupan masyarakat, baik berupa benda, nama baik, atau perasaannya
dengan pertimbangan-pertimbangan yang lain yang harus dihormati dan dipelihara.
Suatu hukuman dibuat agar tidak terjadi jarimah atau pelanggaran dalam
kehidupan masyarakat, sebab dengan larangan-larangan saja tidak cukup. Meskipun
hukuman itu dirasakan kejam bagi si pelaku, namun hukuman itu sangat diperlukan
karena dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian dalam kehidupan
masyarakat, karena dasar pelanggaran suatu perbuatan itu adalah pemeliharaan
kepentingan masyarakat itu sendiri.1

1
Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Masyrofah, S.Ag., M.Si. Fiqih jinayah. AMZAH Jl. Sawo Raya No. 18
Jakarta 13220 Imprint Bumi Aksara ISBN 978-602-8689-76-2
B. Jarimah Pencurian

Kata pencurian merupakan terjemahan dari kata-kata sariqah, dalam bahasa


Arab yang berasal dari akar kata saraqa, yashiqu, sariqan, sariqatan. Secara
etimologi, kata ini berarti akhzu al syai khufyah, yaitu mengambil suatu secara
diam-diam. Secara terminologi, para ulama mengemukakan batasan-batasan
limitatif yang berbedabeda. definisi yang dikemukakan oleh Ibn Abidin tersebut
maka terlihat dengan jelas beberapa syarat yang diperlukan untuk dinyatakan
sebagai suatu perbuatan percurian yaitu :
1) Pelaku pencurian adalah seorang mukalaf yang bisa bicara dan melihat. Orang
bisu tidak di Had karena jika ia bisa bicara mungkin akan timbul masalah syubhat
dari pembicaraannya. Begitu orang buta ia tidak dapat membedakan dengan jelas
mana yang merupakan hartanya dan mana yang bukan;
2) Jumlahnya sepuluh dirham murni atau setaranya;
3) Adanya unsur kesengajaan;
4) Secara nyata mengeluarkan dari tempat simpanan;
5) Dilakukan secara diam-diam;
6) Diambil dari tangan pemilik yang sah;
7) Barang yang di ambil tidak cepat rusak;
8) Pencurian terjadi di wilayah yang adil (Islam);
9) Harta yang diambil berada di tempat simpanannya;
10) Tidak ada unsur-unsur yang membawa kepada keraguan
(syubhat) atau ada alasan untuk menghindar dari mencuri (ta‘wil) seperti mencuri
al-Quran.
Mencuri Al Qur‘an bisa saja bertujuan untuk dibaca. Karena itu orang seperti
itu disebut dalam kelompok syubhat. Ibn Abidin adalah kelompok Hanafiah, maka
seorang Hanafiah yang mencuri tidak bisa diancam dengan hukuman Hadd apabila
tidak memenuhi syarat-syarat tersebut.
Seorang ulama Malikkiyah, yaitu al Hattab (906-954 H) mengutip dari Ibn
Irfah mengatakan difinisi dari pencurian yang artinya adalah :
“Mencuri adalah pengambilan yang dilakukan oleh seorang Mukallaf terhadap anak
kecil merdeka yang belum berakal atau harta yang dihormati (Muhtaram) milik
orang lain yang mencapai jumlah tertentu (marb) dikeluarkan dari tempat
simpanannya dengan sengaja serta mengambilnya secara diam-diam yang tidak ada
unsur syubhat dalam pengambilan
tersebut.”
Dengan demikian terdapat beberapa unsur dari satu perbuatan pencurian
dikalangan Malikkiyah yaitu
a. Pencuri mukallaf;
b. Yang dicuri anak kecil merdeka atau harta yang dihormati;
c. Milik orang lain;
d. Mencapai nisab;
e. Mengeluarkan dari tempat simpanan;
f. Dengan sengaja secara diam-diam; dan
g. Tidak ada syubhat.
Dalam pandangan malikiyah orang yang mengambil(mencuri) anak kecil
yang belum berakal dikategorikan sebagai pencuri yang dijatuhi hukuman had.
Harta yang dicuri adalah harta muhtaram atau harta yang mempunyai nilai
ekonomi, oleh karena itu pencuri terhadap harta yang non ekonomis atau ghair al
muhtaram tidak menyebabkan pelakunya dijatuhi hukuman potong tangan (had).
Mengambil anak kecil yang belum berakal menurut penulis dapat
dikelompokkan pada kasus penculikan anak bukan pencurian. Hal ini perlu
dibedakan karena secara substansial kedua tindak pidana tersebut sangat
berbeda.
 Pembuktian pencurian
 Pengakuan(iqrar)
 Saksi(syahadat)
 Qarinah(tanda-tanda)
 Sanksi pencurian
Dari Abi Hurairah r.a. bahwa nabi s.a.w. bersabda jika seseorang mencuri
maka potonglah tangannya (yang kanan) jika masih mencuri potonglah kakinya
(yang kiri) kemudian jika masih mencuri potonglah tangannya (yang kiri) jika masih
mencuri maka potonglah kakinya (yang kanan). (HR. Nasa‘i, Abu Daud dan
AlDaruquthni).
Menurut mazhab Syafi‘i pemotongan tangan dan kaki dilakukan karena
kedua bagian tubuh ini merupakan sarana yang paling pokok untuk mencuri,
tangan untuk mengambil dan kaki untuk berjalan. Sedangkan pemotongan yang
dilakukan secara timbal balik antara tangan dan kaki bertujuan agar tidak
menghilangkan sama sekali sarana untuk beraktivitas tetapi tetap membatasi ruang
gerak. Hal ini menunjukkan pada sifat penjeraan dari hukuman dalam hukum
Islam.
Mengenai batas pemotongan tangan keempat mazhab, Hanafi, Maliki,
Hambali dan Syafi‘i sepakat dilakukan mulai dari pergelangan tangan yaitu
persendian antara hasta dan telapak tangan Imam yang empat beralasan karena:
1. Sunnah rasul yang memberlakukan memotong telapak tangan pada pergelangan
bagi orang yang mencuri.
2. Ijma Sahabat, yaitu Umar dan Abu Bakar melakukan pemotongan tangan pada
pergelangan tidak ada sahabat lain yang membantah walaupun pengertian
pemotongan mencakup tiga hal yaitu pergelangan, siku dan bahu. Akan tetapi
yang dimaksud adalah hanya pergelangan karena memperlakukan pada siku dan
bahu masih diragukan sedangkan sesuatu yang masih diragukan tidak
dibenarkan dalam syari‘at Islam.2

C. Perampokan (hirabah)
Secara etimologis berarti mengurangi, atau dalam bentuk kaliamat
harabaallah berarti seseorang bermaksiat kepada Allah. Dalam ensiklopedi hukum
Islam,hirabah diartikan sebagai aksi kelompok orang dalam suatu negara untuk
melakukan kekacauan, pembunuhan, perampasan harta, pemerkosaan yang secara
terang-terangan mengganggu dan menentang aturan yang berlaku,
perikemanusiaan dan agama. Mengenai unsur hirabah sendiri terbagi menjadi
berapa macam yaitu, Keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian
mengambil harta tanpa membunuh. Dalam penjatuhan hukuman-hukuman
diantaranya yaitu Mereka yang membunuh orang yang melakukan perjalanan tanpa
merampas hartanya, maka sebagai hukumannya adalah dibunuh(qishas),Mereka
yang membunuh serta merampas harta orang lain yang melakukan perjalanan,
maka hukuman bagi mereka ada dibunuh dan disalib, diarak kekerumunan selama
tiga hari sampai mayatnya membusuk untuk selanjutnya mereka dimandikan,
dikafani, di shalati dan dikuburkan apabila mereka orang Islam.Perampokan atau
hirabah adalah salah satu bentuk tindak pidana sangat merugikan orang lain karena
sama saja tidak mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan, merampas hak-hak
orang lain yang berstatus sebagai korban perampokan,hukuman bagi pelaku
hirabah ini sesuai dengan tingkatan kejahatannya, apabila pelaku perampokan
hanya mengambil harta dengan cara merampas, maka iadi hukum potong tangan
dan kaki dengan bersilang. Apabila pelaku perampokan membunuh dan mengambil
harta maka dia dihukum mati dan disalib. Jika pelaku perampokan hanya menakut
nakuti maka ia dihukum dengan diasingkan atau penjara.
Alasannya adalah hadits riwayat Syafi’i dari Ibnu Abbas, sesungguhnyaIbnu
Abbas berkata tentang sanki pelaku perampokan, yaitu kalau mereka telah
membunuh jiwa dan merampas harta benda, maka sanksi mereka berupa hukuman
mati dan salib, tetapi bila tidak merampas harta, maka diberikan hukuman mati
tanpa disalib, apabila hanya merampas harta maka pelaku dipotong tangan dan kaki
secara bersilang. An-Nawawi menyetujui pendapat Syafi’i yaitu memberikan
hukuman sesuai tindakannya.
D. Jarimah Murtad(riddah)

2
Dr. Khairul Hamim, MA. 2020. Fikih Jinayah Sanabil Jl. Kerajinan 1 Blok C/13 Mataram Telp. 0370-
7505946, Mobile: 081-805311362 ISBN : 978-623-317-075-8
Riddah dalam arti bahasa adalah kembali dari sesuatu ke sesuatu yang lain.
Menurut istilah syara’ pengertian riddah sebagaimana dikemukakan oleh wahbah
zuhaili, “riddah menurut syara’ kembali dari agama islam kepada kekafiran, baik
dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan. Menurut
Abdul Qadir Aulah “riddah adalah kemali(ke luar) dari agama islam atau
memutuskan (ke luar) dari agama islam.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas, dapatlah dipahami bahwa
orang yang murtad adalah orang yang keluar dari agama islam dan kembali kepada
kekafiran. Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam
dengan hukuman diakhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Hal ini
dijelaskan oleh Allah dalam surah Al-Baqarah 217:
“barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati, dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya disunia dan diakhirat, dan
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamya.” (QS. Al-Baqarah: 217).

 Macam-macam murtad
1. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.Keluar dari islam
dengan perbuatan terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang
diharamkan oleh islam dengan menganggapnya boleh atau tidak haram, baik ia
melakukannya dengan sengaja atau melecehkan islam, menganggap ringan atau
menunjukkan kesombongan. Contohnya seperti sujud kepada berhala, matahari,
bulan, atau binatang, melemparkan mushaf alqur’an atau kitab hadis ke tempat
yang kotor,atau menginjak-injaknya,atau tidak mempercayai ajaran yang dibawa
oleh alquran. Termasuk juga dalam kelompok ini orang yang melakukan
perbuatan haram,seperti zina,pencurian,minum minuman keras (khamr),dan
membunuh dengan keyakinan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut hukumnya
halal.
Adapun yang dimaksud dengan menolak melakukan perbuatan adalah
keenggangan seseorang untuk melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh
agama (islam), dengan diiringi keyakinan bahwa perbuatan tersebut tidakwajib.
Contohnya seperti enggan melaksanakan salat, zakat, puasa, atau haji, karena
merasa semuanya itu tidak wajib.
2. Murtad dengan Ucapan Keluar dari islam juga bisa terjadi dengan keluarnya
ucapan dari mulut seseorang yang berisi kekafiran. Contohnya seperti
pernyataannya bahwa Allah punya anak, mengaku menjadi nabi, mempercayai
pengakuan seseorang sebagai nabi, mengingkari nabi, malaikat, dan lain-lain.
3. Murtad dengan Iktikad atau Keyakinan Keluar dari islam bisa terjadi dengan
iktikad atau keyakinan yang tidak sesuai dengan akidah islam. Contohnya
seperti seseorang yang meyakini langgengnya alam, atau keyakinan bahwa Allah
itu makhluk, atau keyakinan bahwa manusia menyatu dengan Allah, atau
keyakinan bahwa Alquran itu bukan dari Allah, atau bahwa Nabi Muhammad itu
bohong, Ali sebagai nabi, atau bahkan menganggapnya sebagai tuhan, dan lain-
lain yang bertentangan dengan Alquran dan sunah rasul.
Adapun keyakinan semata-mata tidak menyebabkan seseorang menjadi
murtad (kafir), sebelum diwujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan.Hal
ini berdasarkan hadis yang dirawayatkan empat imam ahli hadis dari Abu
Hurairah bahwa rasulullah shalallahualaihi wassalam, bersabda : “Sesungguhnya
Allah Ta’ala mengampuni umatku dari apa-apa yang terlintas dalam hatinya,
selama belum diucapkan atau dikerjakan.” (hadis riwayat yang empat dari Abu
Hurairah)
Dengan demikian seseorang yang baru beriktikad dalam hatinya dengan
iktikad yang bertentangan dengan islam, belum dianggap ke luar dari islam dan
di dunia secara lahiriyah ia tetap dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan
hukuman. Adapun di akhirat ketentuan dan urusannya diserahkan kepada Allah
SWT. Apabila iktikadnya itu telah diwujudkan dan dibuktikan dengan ucapan
atau perbuatan maka ia sudah termasuk murtad
E. Ta’zir
Secara bahasa, "ta'zir" berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah
"pemberian hukuman tanpa ketentuan yang jelas." Secara istilah, hukum ta'zir
merujuk pada hukuman atau sanksi yang diberlakukan oleh otoritas hukum tanpa
adanya ketentuan hukum yang spesifik untuk suatu perbuatan.
Dalam konteks hukum Islam, ta'zir digunakan untuk menegakkan
kedisiplinan sosial dan melindungi kepentingan umum. Hukuman ta'zir dapat
diberikan terhadap tindakan-tindakan yang dianggap merugikan masyarakat,
meskipun tidak ada hukuman yang dijelaskan secara rinci dalam Al-Quran atau
hadis.
Jarimah ta’zir yakni suatu hukumam yang landasan dan penentuan
hukumannya didasarkan pada ijma’ (konsensus) yang berkaitan dengan hak negara
untuk melakukan kriminalisasi serta menghukum semua perbuatan yang tidak
pantas, yang menyebabkan kerugian/ kerusakan fisik, sosial dan lain-lain.
Pengertian ta’zir yakni memberi pengajaran (at ta’dib). Namun pada hukum
pidana Islam istilah tersebut memiliki pengertian tersendiri. Syara’ tidak
menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah takzir, namun
hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai
kepada yang seberat-beratnya.
Maka dari itu hakim diberi kebebasan untuk memilih jenis hukuman mana
yang sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pelakunya. Dengan
demikian hukuman-hukuman pada jarimah ta’zir tidak memiliki batas tertentu.
Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sementara pada jarimah-jarimah
hudud dan qisas diyat sudah ditentukan, karena memang jarimah ta’zir tidak
mungkin ditentukan jumlahnya.
Syara’ hanya menentukan sebagian jarimah-jarimah ta’zir, yakni suatu
perbuatan dimana perbuatan tersebut selamanya tetap dianggap sebagai jarimah:
misalnya menggelapkan titipan, memaki-maki orang, dan sebagainya. Sebagian
besar dari jarimah jarimah ta’zir diserahkan pada penguasa untuk memutuskannya
secara adil, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan
masyarakat serta tidak boleh berlawanan dengan nas-nas (ketentuan-ketentuan)
syara’ serta prinsip-prinsip yang umum.
Tujuan pemberian hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir kepada para
penguasa, yakni agar mereka bisa mengatur masyarakat serta memelihara
kepentingan-kepentingannya, dan biasa menghadapi sebaik-baiknya terhadap
keadaan yang sifatnya mendadak.

Contoh hukum ta'zir dalam konteks hukum Islam dapat mencakup berbagai
jenis pelanggaran dan sanksi yang diberlakukan oleh otoritas hukum. Berikut
adalah beberapa contoh:

1. *Perjudian:* Orang yang terlibat dalam kegiatan perjudian dapat dikenai


hukuman ta'zir. Ini bisa mencakup denda, hukuman penjara, atau sanksi lainnya
sesuai dengan kebijakan hukum di suatu negara.

2. *Kehormatan dan Kesusilaan:* Pelanggaran terhadap norma-norma moral dan


kesusilaan, seperti perilaku cabul atau menyebarkan konten pornografi, dapat
dikenai hukuman ta'zir. Sanksinya dapat berupa denda, hukuman penjara, atau
bentuk pembinaan.

3. *Minuman Keras:* Konsumsi minuman keras di beberapa negara yang


menerapkan hukum Islam dapat dikenai hukuman ta'zir. Ini bisa melibatkan denda,
hukuman penjara, atau sanksi lainnya.

4. *Pencurian Ringan:* Tindakan pencurian yang dianggap ringan dan tidak masuk
dalam kategori hudud (hukuman yang dijelaskan secara spesifik dalam sumber
hukum Islam) dapat dikenai hukuman ta'zir, seperti pemotongan tangan.
5. *Pelanggaran Etika Bisnis:* Tindakan-tindakan yang dianggap merugikan
masyarakat atau melanggar etika bisnis, seperti penipuan atau praktik bisnis yang
tidak adil, dapat dikenai hukuman ta'zir.3

3
Dr. H. Marsaid, M.A, 2020, Al – Fiqih al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) Rafah Press bekerja sama
dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UIN RF Palembang, ISBN:
978-623-250-156-0
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Marsaid, M.A, 2020. Al – Fiqih al-Jinayah (Hukum Pidana Islam) Rafah Press bekerja
sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UIN RF
Palembang, ISBN: 978-623-250-156-0

Dr. Khairul Hamim, MA. 2020. Fikih Jinayah Sanabil Jl. Kerajinan 1 Blok C/13 Mataram Telp.
0370- 7505946, Mobile: 081-805311362 ISBN : 978-623-317-075-8

Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Masyrofah, S.Ag., M.Si. Fiqih jinayah. AMZAH Jl. Sawo Raya
No. 18 Jakarta 13220 Imprint Bumi Aksara ISBN 978-602-8689-76-2

Anda mungkin juga menyukai