Anda di halaman 1dari 12

MUQARRANAH MAZAHIB FIL JINAYAH

“Had Pencurian (al-sariqoh)”

DISUSUN OLEH :
1. Ahmad Karaeng V. 1810102002
2. Jayman Tikob 1810102007
3. Pebruandu Trifa S. 1810102009
4. Faisal Ali Akbar 1820102022

Dosen Pengampuh:
Bitoh Purnomo, LL. M

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu yang dibanggakan oleh manusia adalah harta. Ajaran Islam bukan ajaran
yang materialisme, akan tetapi Islam mengajarkan kepada umat Islam untuk berusaha
sekuat tenaga sesuai kemampuan untuk mencari harta. Syariat Islam yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT dan Muhammad Rasulullah SAW memuat seperangkat aturan
dalam hal memperoleh harta. Memperoleh harta dengan cara yang haram seperti berbuat
curang, merugikan orang lain, mencari keuntungan yang berlebihan, dan lain-lain harus
dihindari oleh umat Islam.1
Di dalam kehidupan masyarakat, kejahatan terhadap harta benda/harta kekayaan
orang (pencurian) sangat banyak terjadi, dan hal ini dapat dilakukan dengan berbagai
macam cara dan kesempatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencuri memiliki
pengertian mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan
sembunyi-sembunyi.2
Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat adalah pencurian.
Dari media-media massa dan media elektronik menunjukkan bahwa seringnya terjadi
kejahatan pencurian dengan berbagai jenisnya dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup
yang tidak tercukupi. Dengan berkembangnya tindak pidana pencurian maka berkembang
pula bentuk-bentuk lain dari pencurian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi pencurian dalam Fiqh Jinayah?
2. Bagaimana unsur, syarat dan ketentuan pencurian yang pelakunya dihukum had?
3. Apakah saja hukuman dan permasalahan pencurian yang terjadi perselisihan antara
madzhab?

1
Zainnudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 67
2
Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 281
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Al-Sariqoh dalam Fiqh Jinayah
a. Pengertian al-sariqoh secara etimologi :
‫ اي اخذه خفية وجلية‬-‫سرقا – وسرقة وسرقاتا‬-‫يسرق‬-‫سرق‬
Artinya : Pencurian asal kata dari saraqa yasriqu – saraqan, wa sariqan wa saraqatan,
wa sariqatan wa sirqatan, yang berarti mengambil sesuatu secara sembunyi –
sembunyi atau secara terang terangan.3

Menurut Muhammad Syaltut Pencurian adalah mengambil harta orang lain

dengan sembunyi – sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai

menjaga barang tersebut.

Sedangkan Menurut Sayyid Sabiq Pencurian adalah mengambil barang orang

lain secara sembunyi – sembunyi misalnya mencuri suara, karena mencuri suara

dengan sembunyi – sembunyi dan dikatakan pula mencuri pandang karena

memandang dengan sembunyi – sembunyi ketika yang dipandang lengah.

Definisi lain tentang Pencurian adalah perbuatan mengambil harta orang lain

secara diam-diam dengan tujuan tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil harta

secara diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan

tanpa kerelaanya, seperti mengambil barang dari rumah orang lain ketika

penghuninya sedang tidur.

b. Macam- Macam al-sariqoh


Dari berbagai definisi tentang pencurian, yaitu mengambil harta orang lain

secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya, pencurian ditinjau dari

segi hukumnya dibagi menjadi dua macam, yaitu:


3
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV INDHILL CO, cet – 1,
2008, hlm. 91.
1. Pencurian yang hukumannya ta’zir

Pencurian ini dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama yaitu, semua

jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat–syaratnya tidak

terpenuhi, atau ada syubhat. Contohnya seperti pengambilan harta milik

ayah oleh anaknya. Yang kedua adalah pengambilan harta milik orang

lain dengan sepengetahuan pemilik tanpa kerelaannya dan tanpa

kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung dari leher wanita, lalu

penjambret itu melarikan diri dan pemilikan barang tersebut melihatnya

sambil berteriak meminta bantuan.

Contoh hukuman ta’zir misalnya seorang yang mencuri barang

berharga bukan ditempat penyimpanannya atau tidak mencapai

nishab(batas minimal), maka pencuri tersebut dapat dikenakan hukuman

ta’zir, seperti: hukuman penjara atau hukuman dera. Pemberian

hukuman tersebut diserahkan kepada hakim atau penguasa.

2. Pencurian yang hukumannya had

Menurut Abdul Qodir Audah pencurian dikategorikan menjadi dua

bagian, yaitu pencurian ringan (sirqatus sughra) dan pencurian berat

(sirqatus kubra). Pencurian ringan (sirqatus sughra) adalah :

‫اما السر قة الصغر فهي اخذ مال لغير خفية على سبيال اال ستخفاء‬

Artinya : “Pencurian ringan adalah mengambil harta milik orang lain

cara diam-diam, yaitu dengan jalan sembunyi- sembunyi.”4

Sedangkan pengertian pencurian berat (sirqatus kubra) adalah :


4
Abdul Qadir Awdah, Al-Tasyri’ Al-Jina’y Al-Islami, Beirut: Muassasah al Risalah, Juz1, hlm 214
‫اما السر قة الكبرى فهى اخذ مال على لغير سبيال المغالبة‬

Artinya : Pencurian berat adalah mengambil harta milik orang lain


dengan cara kekerasan.”
Contoh hukuman had misalnya seseorang yang mencuri barang

berharga di tempat penyimpanannya yang lebih dari batas minimal

(nishab) pencurian, maka pencuri tersebut dikenakan hukuman had

berupa potong tangan.

B. Unsur hukum, syarat dan ketentuan pencurian yang pelakunya dihukum had?

a. Unsur-unsur pencurian

Unsur pencurian merupakan mengambil harta orang lain secara diam-diam,

yang diambil berupa harta, harta yang diambil milik orang lain dan ada itikad

tidak baik. Adapun unsur-unsur pencurian itu dibagi ada empat macam, yaitu:

1. Pengambilan secara diam-diam

Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilik (korban) tidak

mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut, dan tanpa

merelakannya. Pengambilan harta harus dilakukan dengan sempurna. Jadi,

sebuah perbuatan tidak dianggap sebagai tindak pidana jika tangan pelaku

hanya menyentuh barang tersebut. Sedangkan pengambilan harta harus

memenuhi tiga syarat yang diantaranya:5

a. Pencuri mengeluarkan barang yang dicuri dari tempat simpanannya.

b. Barang yang dicuri dikeluarkan dari kekuasaan pemilik.

c. Barang yang dicuri dimasukkan ke dalam kekuasaan pencuri.

5
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm 83.
2. Barang yang diambil berupa harta

Salah satu unsur penting untuk dapat dikenakannya hukuman potong tangan
adalah barang yang dicuri harus barang yang bernilai harta. Sedangkan barang
yang dicuri telah ditentukan syarat- syaratnya untuk bisa dikenakan hukuman
potong tangan, diantaranya :
a. Barang yang dicuri harus berupa harta mutaqawwim
Pencurian dapat dikenakan hukuman had, apabila barang yang dicuri itu
barang yang mutaqawwim, yaitu barang yang dianggap bernilai menurut
syarah. Sedangkan barang yang tidak bernilai menurut pandangan syarak tidak
termasuk mutaqawwim dan pelakunya tidak dikenai hukuman
b. Barang tersebut barang yang bergerak
Dalam menjatuhkan hukuman had bagi pencurian, maka disyaratkan
bahwa barang yang dicuri harus barang atau benda bergerak. Hal ini karena
pencurian itu memang menghendaki dipindahkannya sesuatu dan
mengeluarkannya dari tempat simpanannya, dan ini tidak akan terjadi kecuali
pada benda yang bergerak. Dengan ini, suatu benda dianggap sebagai benda
bergerak apabila benda tersebut dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat
yang lainnya.6
c. Barang tersebut adalah barang yang tersimpan
Jumhur fukaha berpendapat bahwa salah satu syarat untuk dikenakannya
hukuman had bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan
ditempat simpanannya. Sedangkan Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadits
tetap memberlakukan hukuman had, walaupun pencurian bukan dari tempat
simpanannya apabila barang yang dicuri mencapai nisab pencurian.
d. Barang tersebut mencapai hisab pencurian
Untuk dapat dikenakan hukuman had, maka barang yang dicuri harus
mencapai satu nisab. Jadi, satu niab yang harus dijadikan sebagai standart
minimal untuk menegakkan hukuman had, dan barang tersebut merupakan
barang yang berharga dimana manusia sangat membutuhkannya.
3. Harta tersebut milik orang lain
6
Ibid., hlm 84
Untuk terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai
hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang
lain. Apabila barang yang diambil dari orang lain itu hak milik pencuri yang
dititipkan kepadanya, maka perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai pencurian,
walaupun pengambilan tersebut dilakukan secara diam-diam. Dengan demikian,
orang yang mencuri tidak dapat dikenai hukuman had apabila terdapat syubhat
(ketidakjelasan) dalam barang yang dicuri, dan dalam hal ini pelaku hanya
dikenakan hukuman takzir.
4. Adanya niat yang melawan hukum
Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu barang padahal ia
tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karenanya haram untuk
diambil. Dengan demikian, apabila ia mengambil barang tersebut dengan
keyakinan bahwa barang tersebut adalah barang yang mubah, maka ia tidak
dikenai hukuman, karena dalam hal ini tidak ada maksud melawan hukum.
Di samping itu, untuk terpenuhinya unsur ini disyaratkan dalam pengambilan
barang tersebut dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang yang dicuri.
Apabila tidak ada maksud untuk memiliki maka dengan sendirinya tidak ada
maksud melawan hukum, oleh karena itu ia tidak dianggap sebagai pencuri.
b. Syarat-syarat dalam pencurian

Dalam memberlakukan sanksi potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek

penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini menurut

Shalih Sa’id Al-Haidan yang dikutip oleh Nurul Irvan dan Masyarofah dalam

bukunya Fiqh Jinayah mengemukakan ada lima syarat untuk dapat diberlakukannya

hukuman ini, yaitu sebagai berikut:7

a. Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Jika pelakunya sedang tidur, anak

kecil, orang gila, dan orang dipaksa tidak dapat dituntut.

b. Pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan

7
Nurul Irvan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), hlm 113.
hidup.

c. Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti

anak yang mencuri harta milik ayah atau sebaliknya.

d. Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperti harta yang

dicuri itu menjadi milik bersama antara pencuri dan pemilik.

e. Pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah swt.

C. Hukuman al-sariqoh dan perselisihan ulama madzhab dalam Fiqh Jinayah

Apabila tindak pidana pencurian dapat dibuktikan dan melengkapi segala unsur

dan syarat-syaratnya maka pencurian itu akan dijatuhi dua hukuman, yaitu:

a. Pengganti kerugian (Dhaman).

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman potong tangan sama-sama.

Alasan mereka adalah bahwa dalam perbuatan mencuri potong tangan dan

penggantian kerugian dapat dilaksanakan bersama – sama terdapat dua hak, yaitu hak

Allah sedangkan penggantian kerugian dikenakan sebagai imbangan dari hak

manusia.8

Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya penggantian kerugian dapat

dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenakan hukuman potong tangan.

Akan tetapi apabila hukuman potong tangan dilaksanakan maka pencuri tidak

dikenai hukuman untuk pengganti kerugian. Dengan demikian menurut mereka,

hukum potong tangan dan penggantian kerugian tidak dapat dilaksanakan sekaligus

bersama - sama.

Alasanya adalah Bahwa Al - Qur’an hanya menyebutkan hukuman potong tangan

8
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm 90.
untuk tindak pidana pencurian, sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Maidah

ayat 38, dan tidak menyebutkan penggantian kerugian.

b. Hukuman potong tangan

Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok, sebagaimana tercantum

dalam Surat Al-Maidah ayat 38 :

ٰ ۟
ِ ‫َّارقَةُ فَٱ ْقطَع ُٓوا أَ ْي ِديَهُ َما َجزَٓا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكاًل ِّمنَ ٱهَّلل ِ ۗ َوٱهَّلل ُ ع‬
‫َزي ٌز‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوٱلس‬ ِ ‫َوٱلس‬

‫ َح ِكي ٌم‬...

Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah kedua
tangannya sebagai pembalasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan
sebagai siksaan dari Allah dan Allah Maha perkasa lagi Maha
Bijaksana .” (QS. Al-Maidah: 38)
Aisyah menerangkan hadits Nabi, beliau bersabda : “Bahwa Nabi memotong

tangan pencuri yang mencuri seharga seperempat dinar atau lebih dari padanya.

“Demikian menurut Jama’ah kecuali Ibnu Majah. Menurut Ahmad, Muslim, Nisai,

dan Ibnu Majah, Nabi bersabda : “Tidak dipotong tangan pencuri kecuali apabila

barang curiannya seharga seperempat dinar, atau lebih dari padanya.

Sedangkan menurut Jama’ah kecuali Ibnu Majah Nabi bersabda:“Tidak

dipotong tangan pencuri kecuali apabila barang curian itu seharga seperempat dinar

lebih.9Hukuman potong tangan dikenakan terhadap pencurian dengan tehnis menurut

ulama madzhab empat berbeda-beda. Cara yang pertama, memotong tangan kanan

pencuri pada pergelangan tangannya. Apabila ia mencuri untuk yang kedua kalinya

maka ia dikenai hukuman potong kaki kirinya. Apabila ia mencuri untuk yang ketiga

kalinya maka para ulama berbeda pendapat.


9
H.M.K. Bakri, Hukum Pidana Dalam Islam, Sala: Ramadani, tt, hlm. 67- 68
Menurut Iman Abu Hanifah, pencuri tersebut dikenai hukuman ta’zir dan

dipenjarakan. Sedangkan menurut Imam yang lainya, yaitu menurut Imam Malik,

Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad pencuri tersebut dikenai hukuman potong tangan

kirinya. Apabila ia mencuri lagi untuk yang keempat kalinya maka dipotong kaki

kanannya. Apabila masih mencuri lagi untuk yang kelima kalinya maka ia dikenai

hukuman ta’zir dan dipenjara seumur hidup (sampai mati ) atau sampaiia bertobat.10

10
Ibid., hlm 91
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pencurian adalah perbuatan mengambil harta orang lain secara diam-diam dengan
tujuan tidak baik. Yang dimaksud dengan mengambil harta secara diam-diam adalah
mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaanya, seperti
mengambil barang dari rumah orang lain ketika penghuninya sedang tidur.
2. Syari’at Islam memberi hukuman yang sangat berat atas perbuatan mencuri, dan juga
menetapkan pandangan yang lebih realistis dalam menghukum seorang pelanggar
(pencuri) yaitu dengan hukuman potong tangan. Tujuan dari hukuman tersebut adalah
untuk memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan tersebut, sehingga tercipta
rasa perdamaian di masyarakat.
3. Terjadi nya perselihan, menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, hukuman potong
tangan sama-sama. Alasan mereka adalah bahwa dalam perbuatan mencuri potong
tangan dan penggantian kerugian dapat dilaksanakan bersama – sama terdapat dua
hak. Sedangkan Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya penggantian
kerugian dapat dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenakan hukuman
potong tangan.
DAFTAR PUSTAKA

Zainnudin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2009


Dendy Sugono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008
Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: CV INDHILL CO,
cet – 1, 2008,
Abdul Qadir Awdah, Al-Tasyri’ Al-Jina’y Al-Islami, Beirut: Muassasah al Risalah, Juz 1
Nurul Irvan dan Masyarofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Amzah, 2013
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005

Anda mungkin juga menyukai