PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada zaman akhir saat saat ini banyak manusia yang telah melupakan kewajiban dan
larangan dalam agama Islam khusunya. Di kota besar ataupun di pedesaan sering kali
terjadi tindakan kriminalitas,umunya mereka mencuri ataupun menyamun (merampok).
Demi memenuhi kebutuhan hidup sehingga mereka berani untuk melakukan tindakan
haram tersebut.
Mencuri ataupun merampok dalam Islam dapat diartikan sebagai tindakan mengambil
hak harta orang lain tanpa sepengetahuan atau tidak dari pemiliknya. Dalam Islam
mencuri dan menyamun adalah perbuatan yang dilarang. Kebanyakan orang hanya
mengerti dasar hukum mencuri dan menyamun secara mendasar dan tanpa ada pemikiran
untuk dapat memahami lebih mendalam mengenai hukum tindakan tersebut dalam kajian
Islam yang sesunguhnya.
Untuk dapat memahami pengertian mencuri dan menyamun yang dalam artian
sesunguhnya. Maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang tindakan mencuri dan
menyamun dalam kajian Islam.
B. Rumusan Masalah
I.
II.
Pencurian
A. Apa yang dimaksud pengertian pencurian (saraqah) ?
B. Mengapa orang tersebut termasuk pencuri ?
C. Apa dasar hukum mengenai larangan mencuri ?
D. Apa saja macam-macam pencurian
E. Apa hukuman untuk tindak pidana pencurian ?
F. Apa saja syarat dilaksanakannya hukuman had ( hukuman potong
tangan ) ?
G. Apa pembuktian untuk tindak pidana pencurian ?
H. Apa hal-hal yang menggugurkan hukuman ?
Page 1
C. Tujuan
Pembuatan makalah ini memiliki tujuan, yaitu :
1. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan pencurian, perampokan, dan
penyamun.
2. Untuk menjelaskan dasar hukum dari ketiga permasalahan tersebut.
3. Untuk menjelaskan hukuman bagi pelaku mencuri, merampok, dan
menyamun. Dan hal-hal yang menyangkut ketiga permasalahan tersebut.
BAB II
Makalah Fiqih Pencurian, Perampokan, dan Penyamun
Page 2
PEMBAHASAN
I.
PENCURIAN
A. Pengertian Pencurian ( Saraqah )
Secara bahasa mancuri berarti mengambil secara diam-diam. Sedangkan secara istilah
Page 3
memiliki
nilai
(mutaqawwim).
Yang dimaksud dengan nilai adalah sesuatu yang memiliki nilai yang
harus ditanggung untuk diganti oleh orang yang merusakkannya
ketika ia melakukan pelanggaran terhadapnya.
Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu
dengan jalan bathil (Q.S Al-Baqarah :188)
D.Macam-macam Pencurian
Pencurian dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Pencurian yang hukumannya had ( potong tangan )
2. Pencurian yang hukumannya tazir (memberi pelajaran bagi orang yang berdosa yang
tidak ada hukuman dan tidak ada kafarah tentang dosa yang dilakukan-nya ).
Page 4
Pencurian yang hukumnya tazir juga dibagi kepada dua bagian sebagai berikut:
1. Semua jenis pencurian yang dikenai hukuman had, tetapi syarat-syaratnya tidak
terpenuhi atau ada syubhat. Contohnya seperti pengambilan harta milik ayah oleh
anaknya.
2. Pengambilan harta milik orang lain dengan sepengetahuan pemilik tanpa kerelaannya
dan tanpa kekerasan. Contohnya seperti menjambret kalung dari leher seorang wanita,
lalu penjambret itu melarikan diri dan pemilik barang tersebut melihatnya sambil
berteriak meminta bantuan.
Page 5
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana .
Menurut Imam Syafii dan Imam Ahmad, hukuman potong tangan dan penggantian
kerugian dapat dilaksanakan bersama-sama. Alasan mereka adalah bahwa dalam pencurian
terdapat dua hak yang disinggung, pertama hak Allah dan kedua hak manusia. Hukuman
potong tangan dijatuhkan sebagai imbangan dari hak Allah, sedangkan penggantian kerugian
dikenakan sebagai imbangan dari hak manusia.
Menurut Imam Malik dan murid-muridnya, apabila barang yang dicuri sudah tidak ada
dan pencuri adalah orang yang mampu maka ia diwajibkan untuk mengganti kerugian sesuai
dengan nilai barang yang dicuri, di samping ia dikenai hukuman potong tangan. Akan tetapi,
Page 6
apabila ia tidak mampu maka ia hanya dijatuhi hukuman potong tangan dan tidak dikenai
penggantian kerugian.
2. Hukuman Potong Tangan
Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana pencurian.
Ketentuan ini didasarkan kepad firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 38:
Artinya : Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana . (QS. Al-Maidah: 38)
Hukuman potong tangan merupakan hak Allah yang tidak bisa digugurkan, baik oleh
korban maupun oleh ulil amri, kecuali menurut Syiah Zaidiyah. Menurut mereka, hukuman
potong tangan bisa gugur apabila dimaafkan oleh korban (pemilik barang).
Barangsiapa yang mencuri senilai satu nishab, maka ia dipotong berdasarkan kesepakatan.
Dalam Shahihain dari shahabat Ibnu Umar r.a :
Bahwasannya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memotong (tangan seorang pencuri)
yang mencuri perisai yang harganya tiga dirham.
Dalam Shahihain dari Aisyah radliyallaahu anhaa, ia berkata : Telah berkata
Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam :
Dipotong tangan (seorang pencuri) karena (mencuri) seperempat dinar atau lebih.
Hukuman potong tangan dikenakan terhadap pencurian yang pertama, dengan cara
memotong tangan kanan pencuri dari pergelangan tangannya. Apabila ia mencuri untuk
Page 7
kedua kalinya maka ia dikenai hukuman potong kaki kirinya. Apabila ia mencuri untuk ketiga
kalinya, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah, pencuri tersebut
dikenai hukuman tazir dan dipenjarakan. Sedangkan menurut Imam yang lainnya, yaitu
Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad, pencuri tersebut dikenai hukuman potong
tangan kirinya. Apabila ia masih mencuri untuk keempat kalinya maka dipotong kaki
kanannya. Apabila ia masih mencuri untuk kelima kalinya maka ia dikenai hukuman tazir
dan dipenjara seumur hidup (sampai ia mati) atau sampai ia bertobat.
Adapun batas pemotongan menurut ulama yang empat, yaitu Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Ahmad adalah dari pergelangan tangan. Sedangkan
menurut Khawarij pemotongan dari pundak. Alasan jumhur ulama adalah karena pengertian
minimal dari tangan itu adalah telapak tangan dan jari. Alasan Khawarij adalah karena
pengertian tangan itu mencakup keseluruhan dari sejak ujung jari sampai batas pundak.
Had bagi pencuri laki-laki sama dengan pencuri perempuan. Had pencuri hamba
sahaya dan budak wanita sama seperti had orang merdeka. Had tersebut diterapkan ketika
mencuri harta kaum muslim atau non muslim.
Page 8
Suatu benda dianggap sebagai benda bergerak apabila benda tersebut bisa dipindahkan
dari satu tempat ketempat lainnya. Ini tidak berarti benda itu bergerak menurut tabiatnya,
melainkan cukup apabila benda itu dipindahkan oleh pelaku atau orang lain.
3. Barang Tersebut Tersimpan di Tempat Simpanannya
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa salah satu syarat untuk dikenakannya hukuman had
bagi pencuri adalah bahwa barang yang dicuri harus tersimpan ditempat simpanannya.
Sedangkan Zhahiriyah dan sekelompok ahli hadis tetap memberlakukan hukuman had,
walaupun pencurian bukan dari tempat simpanannya apabila barang yang dicuri mencapai
nishab pencurian. Hirz atau tempat simpanan ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
1) Hirz bil makan atau hirz binafsih
2) Hirz bil hafizh atau hirz bigairih
Pengertian hirz bil makan adalah setiap tempat yang disiapkan untuk penyimpanan
barang, dimana orang lain tidak boleh masuk kecuali dengan izin pemiliknya seperti
rumah, warung, gudang, dan sebagainya. Tempat ini disebut tempat simpanan karena
bentuk dan perlengkapannya dengan sendirinya merupakan tempat simpanan tanpa
memerlukan penjagaan.
Adapun yang dimaksud dengan hirz bilhafiz atau hirz bi gairih adalah setiap tempat
yang tidak disiapkan untuk penyimpanan barang, dimana setiap orang boleh masuk tanpa
izin, seperti jalan, halaman, dan tempat parkir. Hukumnya sama dengan lapangan terbuka
jika disana tidak ada orang yang menjaganya. Artinya tempat tersebut baru dianggap
sebagai hirz apabila ada orang yang menjaganya. Itulah sebabnya tempat tersebut disebut
hirz bilhafizh atau hirz bigairih. Sebagai contoh adalah seseorang yang memarkir
kendaraannya dipinggiar jalan tanpa penjaga dianggap memarkir bukan pada hirz atau
tempat simpanannya. Akan tetapi, apabila di tempat tersebut terdapat penjaga seperti
satpam maka jalan tersebut dianggap sebagai hirz bigairih.
4. Barang Tersebut Mencapai Nishab Pencurian
Tindak pidana pencurian baru dikenakan hukuman bagi pelakunya apabila barang yang
dicuri mencapai nishab pencurian. Ketentuan ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw.
Yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah, bahwa Rasulullah
saw. Bersabda:
Page 9
Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian seperempat dinar ke atas .
Berdasarkan hadist tersebut, jumhur fuqaha berpendapat bahwa hukum potong tangan
baru diterapkan kepada pencuri apabila nilai barang yang dicurinya mencapai seperempat
dinar emas atau tiga dirham perak. Akan tetapi, beberapa ulama seperti Imam Hasan Basri,
Abu Dawud Azh-Zhahiri, dan kelompok Khawarij berpendapat bahwa pencurian baik
sedikit maupun banyak tetap harus dikenai hukuman potong tangan. Mereka ini disamping
berpegang kepada mutlaknya ayat 38 Surah Al-Maidah.
Di kalangan jumhur ulama sendiri tidak ada kesepakatan mengenai nishab pencurian
ini. Disamping pendapat yang menyatakan nishab pencurian itu seperempat dinar emas
atau tiga dirham perak, yang dikemukakan oleh Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam
Ahmad, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa nishab pencurian itu adalah sepuluh
dirham yang setara dengan satu dinar.
:
Artinya : Abdullah bin Umar ,dia berkata : Nabi memotong tanganp encuri atas pencurian
perisai seharga tiga dirham . ( Buhkaridan Muslim )
Sebenarnya masih terdapat pendapat-pendapat lain yang beraneka ragam mengenai
nishab pencurian ini, di antaranya yang tertinggi yaitu empat dinar atau empat puluh
dirham, yang dikemukakan oleh Imam An-Nakhai, namun pendapat ini tidak ada
dasarnya.
Terdapat beberapa pendapat ulama, yaitu :
1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa nisab barang curian adalah sepuluh dirham
2. Mazhab Syafii berpendapat bahwa nisab barang curian adalah dinar atau sekitar
3,34 gram emas.
3. Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat bahwa nisab barang curian adalah dinar
atau 3 dirham atau sekitar 3,34 3,36 gram emas.
Catatan :
Makalah Fiqih Pencurian, Perampokan, dan Penyamun
Page 10
Selain keempat syarat tersebut, berikut ini adalah syarat dan ketentuan yang lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Page 11
Alasan tidak diterimanya persaksian dari orang yang pelupa adalah karena
orang yang pelupa itu, apa yang dikatakannya tidak bisa dipercaya sehingga
kemungkinan terjadi kekeliruan dan kesalahan dalam persaksiannya.
4. Dapat Berbicara
Seorang saksi disyaratkan harus bisa berbicara. Apabila ia bisu status
persaksiannya diperselisihkan oleh para ulama. Menurut mazhab Maliki, persaksian
orang yang yang bisu dapat diterima apabila isyaratnya dapat dipahami. Menurut
mazhab Hanbali, orang yang bisu persaksiannya tidak bisa diterima, walaupun
isyaratnya dapat dipahami, kecuali apabila ia dapat menulis. Dalam hal ini ia dapat
melaksanakan persaksian dengan tulisannya. Dalam mazhab Hanafi juga persaksian
orang yang bisu tidak dapat diterima, baik dengan isyarat maupun dengan tulisan.
Adapun dalam mazhab Syafii terdapat dua pendapat. Sebagian ulama Syafiiyah
dapat menerima persaksian orang yang bisu, karena isyaratnya sama seperti ucapan,
sebagaimana yang dilaksanakan dalam akad nikah dan talak. Akan tetapi sebagian lagi
berpendapat persaksian orang yang bisu tidak dapat diterima, karena isyarat yang
menggantikan ucapan itu hanya berlakudalam keadaan darurat.Kalau orang yang bisu
diterima isyaratnya sebagai pengganti ucapannya, seperti dalam nikah dan talak, hal
itu merupakan keadaan darurat, karena tidak ada jalan lain selain dengan isyarat.
Namun dalam persaksian, kondisinya tidak bisa dianggap darurat karena masih
banyak orang lain yang bisa berbicara yang dapat digunakan sebagai saksi. Dalam
mazhab Syiah Zaidiyah juga ada dua pendapat. Pendapat pertama membolehkan
persaksian orang bisu dan pendapat kedua tidak membolehkannya.
5. Dapat Melihat
Orang yang menjadi saksi disyaratkan harus dapat melihat apa yang
disaksikannya. Apabila saksi tersebut orang yang buta maka para ulama berselisih
pendapat tentang diterimanya persaksian tersebut. Menurut kelompok Hanafiyah
persaksian orang buta tidak dapat diterima. Hal ini karena untuk dapat melaksanakn
persaksian, saksi harus dapat menunjukkan objek yang disaksikannya.
Golongan Malikiyah menerima persaksian orang yang buta dalam masalah
yang berkaitan dengan ucapan yang bisa diketahui dengan pendengaran, asal ia tidak
ragu dan ia meyakini objek yang disaksikannya. Apabila ragu maka persaksiannya
tidak sah.
Mazhab Hanbali membolehkan persaksian orang buta dalam tindak pidana
yang berhubungan dengan ucapan. Sedangkan dalam tindak pidana yang berkaitan
dengan perbuatan, mereka membolehkan persaksian terhadap apa yang disaksikannya
itu, baik namanya maupaun keturunannya.
Makalah Fiqih Pencurian, Perampokan, dan Penyamun
Page 12
6. Adil
Pengertian adil menurut Malikiyah adalah selalu memelihara agama dengan
jalan menjauhi dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, selalu menunaikan amanat
dan bermuamalah dengan baik. Ini tidak berarti tidak melakukan maksiat sama sekali,
karena hal itu tidak mungkin bagi manusia biasa. Hanafiyah berpendapat bahwa adil
adlah menjauhi dosa besar dan tidak melanggengkan dosa kecil, lebih banyak
kebaikannya daripada keburukannya, dan lebih banyak benarnya daripada salahnya.
Hambaliyah berpendapat bahwa adil itu adalah lurusnya seseorang dalam agamanya,
dan ucapan serta perbuatannya.
7. Islam
Seorang saksi disyaratkan harus beragama Islam. Dengan demikian,
persaksian orang yang bukan Islam tidak dapat diterima, baik untuk perkara orang
muslim maupun perkara nonmuslim.
Dengan Pengakuan
Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian. Menurut
Zahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang.
Demikian pula pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah,dan Imam Syafii. Akan tetapi
Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syiah Zaidiyah berpendapat bahwa pengakuan
harus dinyatakan sebanyak dua kali.
Dengan Sumpah
Dikalangan Syafiiyah berkembang suatu pendapat bahwa pencurian bisa juga
dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam suatu peristiwa pencurian
tidak ada saksi dan tersangka tidak mengakui perbuatannya maka korban dapat meminta
kepada tersangka untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan pencurian. Apabila
tersangka enggan bersumpah maka sumpah dikembalikan kepada penuntut (pemilik
barang). Apabila pemilik barang mau bersumpah maka tindak pidana bisa dibuktikan
dengan sumpah tersebut dan keengganan bersumpah tersangka, sehingga ia dikenai
hukuman had. Akan tetapi, pendapat yang kuat dikalangan Syafiiyah dan ulama-ulama
yang lain tidak menggunakan sumpah yang dikembalikan sebagai alat bukti untuk tindak
pidana pencurian.
Page 13
II.
atau menjegal atau disebut hirabah yang artinya peperangan. Adapun secara istilah
adalah mengambil harta orang lain dengan cara paksa, kekerasan, ancaman senjata,
penganiayaan bahkan kadang kala dengan membunuh pemilik barang.
Menyamun adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan
menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang disertai penganiayaan dan
pembunuhan yang dilakukan di tempat-tempat sunyi. Perbuatan ini termasuk dosa besar
karena merupakan suatu kejahatan merampas harta orang lain yang disertai ancaman jiwa,
oleh karena hukumnya adalah haram.
Merampok adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan
menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang disertai penganiayaan dan
pembunuhan yang dilakukan di tempat-tempat yang ramai, contohnya pasar atau mal. Sama
dengan menyamun hal ini termasuk dosa besar karena merupakan suatu kejahatan merampas
harta orang lain yang disertai ancaman jiwa, oleh karena hukumnya adalah haram.
Page 14
Hukum penyamun dan perampok adalah dosa besar atau haram. Allah swt.
menganggap perbuatan tersebut termasuk memerangi Allah dan rasul-Nya. Penyamun dan
perampok merupakan bentuk kriminal yang biasanya memiliki jaringan terorganisir (mavia)
dengan rapi, kompak dan kuat, daerah operasinya cukup luas, korbannya cukup banyak, baik
korban materi ataupun jiwa. Oleh karena itu cukup rasional jika sanksi hukum yang di terima
cukup barat, baik sanksi hukum duniawi ataupun akhirat, kecuali pelakunya bertobat.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi
Allah dan Rosul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah
dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bersilang (tangan kanan dan tangan kiri), atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka di dunia, sedangkan di Akhirat (kelak) mereka boleh siksaan
yang besar. ( Q.S. Al-Maidah [5] : 33)
Kecuali
orang-orang
yang
bertaubat
(diantara
mereka)
Page 15
Telah menjadi ijma ulama atas gugurnya had harabah jika perampok dan penyamun
tersebut bertaubat sebelum mereka tertangkap, sebab jika taubatnya setelah tertangkap maka
tidak dapat merubah sedikitpun ketentuan sanksi hukum terhadapnya. Hukum-hukum yang
menjadi hak Allah menjadi gugur, yaitu potong tangan dan kaki sebab taubat. Akan tetapi
yang berkaitan dengan hak badani berupa jiwa, harta tidak bisa gugur begitu saja.
III.
Page 16
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Mencuri adalah mengambil harta milik orang lain yang tidak ada hak untuk
memilikinya, yang dilakukan tanpa sepengetahuan pemiliknya, dan secara sembunyisembunyi. Menyamun adalah mengambil harta milik orang lain secara paksa dengan
menggunakan kekerasan, ancaman senjata dan terkadang disertai penganiayaan dan
pembunuhan yang dilakukan di tempat-tempat sunyi. Merampok adalah mengambil
harta milik orang lain secara paksa dengan menggunakan kekerasan, ancaman senjata
dan terkadang disertai penganiayaan dan pembunuhan yang dilakukan di tempattempat yang ramai. Ketiga perbuatan itu dilarang oleh agama Islam dan haram
hukumnya, selain itu juga sangat mengganggu orang lain dan sebaiknya dihindari agar
kehidupan bermasyarakat tentram, aman dan damai.
1.2 Saran
1. Menghindari tindakan mencuri, merampok, dan menyamun.
2. Memahami pengertian mencuri, merampok, dan menyamun dalam hukum Islam.
3. Dapat melaksanakan hukum Islam yang sebenarnya pada tindakan mencuri,
merampok, dan menyamun.
Makalah Fiqih Pencurian, Perampokan, dan Penyamun
Page 17
1.3 Kritik
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kesalahan yang
tidak disengaja, sehingga kami masih membutuhkan kritikan yang membangun
agar makalah selanjutnya dapat lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul,Baqi Fuad Muhammad. Al Lulu wal Marjan, Jakarta: Pustaka as-sunnah.
2008.
2. Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Tanpa tahun. Matan Al Bukhari. Beirut: Dar AlFikr.
3. Ali, H.Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
4. Al-Jauziyah, Syamsudin, Muhammad ibn Al-Qayyim. 1977. Ilam Al-Muwaqqiin.
Beirut: Dar Al-Fikr.
5. Al-Kasani,Ala Ad-Din. 1996. Badai Ash-Shanai fi Tartib Asy-Syrai. Beirut: Juz
VII. Dar Al Fiqr.
6. Al-Maqdisi, Abdullah ibn Qudamah. 1368. Al-Mughni. Dar Al-Manar.
7. Al-Qurthubi, Muhammad ibn Rusyid. Tanpa tahun. Bidayah Al-Mujahid waNihayah
Al-Muqtashid. Dar Al-Fikr.
8. Asy-Syaukani, Muhammad ibn Ali.Tanpa tahun. Nail Al-Authar. Saudi Arabia: Idarah
Al-Buhuts Al-Ilmiyah.
9. Audah, Abd Al-Qadir. Tanpa tahun. At-Tasyri Al-Jinaiy Al-Islamiy. Beirut: Dar AlKitab Al-Arabi.
10. Muslich, H.A., Wardi. 2004. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bumi Aksara Group.
11. Sabiq,Sayid. 1980. Fiqh As-Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr.
12. Departemen agama Jatim. Fiqih untuk Madrasah Aliyah kelas 2, 2005.
13. Team musyawarah guru bina PAI Maadrasah Aliyah, Fiqih.
14. Malida, Andri nur.2012. http://ndriistoryelf.blogspot.com fiqih-bab-mencuri-dan
menyamun.html.05 maret.
15. Feather Friend.2010. http://irvanyintanshambodo.blogspot.com pengertian-danhukum-pencuri-dan.html.06 november.
Page 18
Page 19