Oleh : Kelompok 8
1. Irmayani Sirait (2002050050)
Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya, atas
anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Pencurian dan
Perampokan”.
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..........................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................ii
BAB I PEMBAHASAN
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencurian....................................................................................2
B. Unsur-unsur Pencurian.................................................................................3
C. Sanksi Hukum..............................................................................................4
a. Kesimpulan................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, defenisi tersebut secara
jelas mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh karena itu, penggelapan harta
orang lain tidak dianggap sebagai jarimah pencurian dan tentu tidak dibukum
dengan hukuman potong tangan, namun dalam bentuk hukuman lain. Di samping
itu, defenisi di atas mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-
terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara
terang-terangan dan membawanya lari.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pencurian dan perampokan?
2. Apa unsur-unsur pencurian dan perampokan?
3. Apa sanksi hukum pencurian dan perampokan?
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pencurian
Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut secara jelas
mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh karena itu, penggelapan harta
orang lain tidak dianggap sebagai jarimah pencurian dan tentu tidak dihukum
dengan hukuman potong tangan, namun dalam bentuk hukuman lain. Di samping
itu, definisi di atas mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-
terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara
terang-terangan dan membawanya lari.1
Ketiga, Dilihat dari segi tempat objek harta tersebut. Dalam pencurian,
harta yang diambil tersimpan pada tempat tertentu yang memang sengaja
1
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1999),
hlm: 93.
2
disimpan pemiliknya, sedangkan pada penggelapan, penyimpanan harta tersebut
tidak diketahui pemiliknya dan hanya diketahui orang yang dipercayai, pemilik
hanya mengetahui bahwa harta itu ada.
B. Unsur-unsur Pencurian
Adapun unsur-unsur pencurian mengacu pada definisi pencurian itu
sendiri. Dari definisi tersebut, dapat kita rinci unsur-unsur sebagai berikut:3
Pertama, pengambilan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti
telah disinggung tidak termasuk jarimah pencurian kalau hal itu dilakukan tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
Kedua, yang dicuri itu harus berupa harta kongkrit sehingga barang-barang
yang dicuri adalah barang yang dapat bergerak, dipindah-pindahkan, tersimpan
oleh pemiliknya pada penyimpanan yang layak dan dianggap sebagai suatu yang
berharga. Tentu ada batasan tertentu (kadar) yang menjatuhkan had. Barang yang
tidak bergerak sulit untuk dipindahtangankan, sedangkan salah satu unsur
pencurian adalah berpindahnya barang tersebut dari salah satu tempat ke tempat
lain dari pemilik ke pencuri. Perpindahan itu sulit terjadi atau barang yang tidak
dapat dipindah-pindahkan. Walaupun dalam praktiknya, pemilikan atau
perpindahan dapat saja terjadi, tanpa mengubah posisi barang yang dicuri.
Ketiga, harta yang dicuri adalah sesuatu yang berharga, setidaknya
menurut versi pemiliknya. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan, bukan atas
pandangan si pencuri. Karena menganggap berharga, pemilik barang
menyimpannya di tempat tertentu, yang aman menurut anggapannya. Oleh karena
itu, mengambil atau memindahkan barang atau harta yang tidak mempunyai
tempat penyimpanan tertentu menjadi alasan ke syubhatan bagi jari ini, seperti
mengambil barang yang ditemukan di tengah jalan, di lapangan atau menangkap
2
Ibid, hlm: 94.
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm: 91.
3
hewan yang ada di kebun, di jalan yang tidak ditunggui penggembalanya atau
tempat-tempat lain yang dianggap tidak layak bagi keberadaan harta-harta
tersebut. Semua itu tidak dikategorikan sebagai pencurian dalam arti
dikenakannya hukuman had potong tangan, namun perbuatan itu bukan berarti
lepas dari hukuman, melainkan dihukum dengan hukuman ta’zir. Hal ini karena
perbuatan-perbuatan tersebut mengindikasikan adanya kesamaran atau syubhat,
seperti yang telah kita pahami bahwa hukuman pokok harus dihindari.4
Keempat, harta diambil atau dicuri pada waktu terjadinya pemindahan
adalah harta orang lain secara murni dan orang yang mengambilnya tidak
mempunyai hak pemilikan sedikitpun terhadap harta tersebut. Umpamanya harta
kelompok atau harta bersama orang yang mencurinya mempunyai hak atau bagian
dari harta tersebut. Oleh karena itu, kalau dia mengambil sebagian walaupun
dinilai melewati nishab tidak dianggap sebagai jarimah pencurian, sebab hak dia
yang melekat pada barang yang diambil menjadikan kesyubhatan. Namun, hal ini
pun bukan berarti dia tidak dihukum sekalipun tidak dikenakan hukuman had
potong tangan. Dimaksud dengan orang lain, juga apabila harta itu milik anaknya
atau milik bapaknya.
Kelima, seperti pada jarimah-jarimah lain, terdapatnya unsur kesengajaan
untuk memilik barang tersebut atau ada itikad jahat pelakunya. Oleh karena itu,
seandainya barang atau harta itu terbawa tanpa disengaja, sekalipun dalam jumlah
besar dan mencapai nisab, tidaklah dianggap sebagai jarimah pencurian, paling-
paling dianggap sebagai kelalaian dan hukumannya pun hanya sekadar peringatan
untuk berhati-hati.5
4
Ibid, hlm: 92.
5
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm: 94.
4
Artinya: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.
5
E. Pengertian Perampokan atau Hirabah
Jarimah hirabah adalah jarimah gangguan keamanan di jalan umum.
Secara etimologi hirabah berarti memotong jalan (qath’ut tarieq). Menurut H.A
Djazuli, perbedaan antara pencuri dan perampok (pembegalan) terletak pada
teknis pengambilan harta. Yang pertama pencurian dilakukan secara diam-diam,
sedangkan yang kedua perampokan dilakukan secara terang-terangan dan disertai
kekerasan atau ancaman kekerasan.
7
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
hlm: 110.
6
Bentuk jarimah dan macam hukuman bagi pelaku jarimah hirabah
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dalam Nainul Maram yang artinya:
Pertama: Apabila dia membunuh dan sekaligus mengambil harta korban, maka
hukumannya adalah dibunuh dan disalib.
Kedua; Apabila dia membunuh tetapi tidak mengambil harta korban maka
hukumannya adalah dibunuh, tidak disertai salib.
Ketiga: Apabila dia hanya mengambil hartanya saja dan tidak membunuh, maka
hukumnya adalah dipotong tangan dan kaki secara silang.
Keempat: Apabila dia hanya menakut-nakuti membuat keonaran, maka
hukumannya diasingkan keluar wilayah.
2. Hukuman mati
7
Hukuman mati ini hanya dijatuhkan bagi pelaku yang membuh korban
tanpa disertai dengan pengambilan harta korban. Hukuman mati ini pun tergolong
hukuman hudud dan bukan hukuman Qishas. Oleh karena itu tidak dapat
dimaafkan. Pembunuhan yang dilakukan pelaku jarimah ini dilakukan di jalan
umum dan berkaitan dengan gangguan keamanan. Oleh karena itu, perbuatan ini
termasuk dalam hirabah. Walaupun pembunuhan yang masuk ke dalam kelompok
qishash dapat saja dilakukan di luar rumah, pembunuhan pada jarimah qishah
tidak berkaitan dengan gangguan keamanan. Di samping itu tersebut sedikit
banyak berkaitan dengan harta atau perampokan. Si pelaku tidak mengambil harta
korban bisa jadi karena ia belum sempat mengambilnya atau karena berbagai
kemungkinan lain.
8
Menurut kami, faktor itulah yang menyebabkan beratnya hukuman yang
harus diterima si pelaku sesuai dengan betapa besamya akibat yang bakal terjadi,
baik bagi korban perseorangan ataupun masyarakat. Oleh karena itu, sangat pantas
kalau hukuman pelaku jarimah ini dilipat gandakan.
Melipatgandakan hukuman bukan saja dikenal dalam Fiqih Jinayah tapi di
negara lain pun dikenal penjatuhan sanksi seperti ini. Bahkan, di Indonesia
diadakan sanksi, yang dikenal dalam hukum positif. Pasal 362 KUH Pidana
menyebutkan sebagai berikut: Barang siapa yang mengambil barang sesuatu yang
seluruhnya sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau denda paling banyak enam puluh ribu rupiah.
Hukuman penjara maksimal lima tahun yang diancamkan bagi pelaku pencurian
tersebut dalam Pasal 362 KUH Pidana dilipat gandakan sampai lima belas tahun
apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kematian atau mengakibatkan luka
berat (pasal 365 ayut 3). Bahkan, hukuman penjara itu dapat bertambah lagi
menjadi lebih lama sehingga mencapai dua puluh tahun apabila perbuatan tersebut
di- lakukan secara kelompok, seperti yang tertera dalam Pasal 365 ayat (4).
4.Hukuman pengasingan
Hukuman ini dijatuhkan bagi pelaku hirabah yang sengaja membuat onar
di jalan umum atau tempat keramaian umum, menakut-nakuti, mengacaukan
situasi sehingga membuat suasana menjadi kacau. Walaupun tidak merugikan
masyarakat secara material, dipastikan timbulnya dampak kejiwaan bagi
masyarakat. Menurut kami, mengacaukan situasi dapat saja dengan ucapan yang
dilakukan di tempat umum, seperti provokasi. Situasi yang kacau tersebut dapat
memancing orang lain berbuat jarimah, mengambil kesempatan dalam situasi
yang galau dan ini dapat menjurus ke arah situasi yang anarkis dan berdampak
pada masalah sosial ekonomis serta stabilitas nasional. Bisa jadi perbuatan
tersebut merupakan bagian dari skenario untuk menstabilkan keamanan nasional
untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk mencegah keadaan menjadi lebuh parah dan
9
sulit dikendalikan, sangat pantas bila pelakunya diberikan sanksi yang berat, yaitu
diasingkan atau diisolasi.
Bentuk hukuman pengasingan ini pun tak luput dari perbedaan pendapat
para ulama, namun bukan pada eksistensinya, melainkan pada bentuk dan
lamanya pengasingan. Sebagian mengatakan bahwa pengasingan yang dimaksud
ayat tersebut adalah pengasingan dalam arti sebenarnya yaitu dibuang keluar
daerah. Sebagian lagi mengatakan bahwa pengasingan tersebut dapat berupa
hukuman penjara sebab ini pun pada hakikatnya adalah pengasingan juga.
Mengenai lamanya pengasingan, karena tidak dijelaskan ayat 33 Surat Al-Maidah,
terdapat perbedaan pendapat, namun sebagian besar berpendapat bahwa lamanya
pengasingan sama dengan sanksi pengasingan pada jarimah zina, yaitu satu tahun.
10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut secara jelas
mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian.
11
DAFTAR PUSTAKA
Aziz al- Halawi, Muhammad Abdul. 1999. Fatwa dan Ijtihad Umar bin
Khaththab: Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih. Surabaya: Risalah Gusti.
12