Anda di halaman 1dari 15

PENCURIAN DAN PERAMPOKAN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah


Dosen pembimbing: Drs.H. Sofyan Karim, Lc, M.A

Oleh : Kelompok 8
1. Irmayani Sirait (2002050050)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR
AL ULUUM ASAHAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya, atas
anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Pencurian dan
Perampokan”.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Asahan, 1 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pencurian....................................................................................2

B. Unsur-unsur Pencurian.................................................................................3

C. Sanksi Hukum..............................................................................................4

D. Kadar atau Batas Pencurian.........................................................................5

E. Pengertian Perampokan atau Hirabah..........................................................6

F. Unsur-Unsur Hirabah dan Hukumannya......................................................6

G. Jenis-jenis Hirabah dan Penerapan Hukumannya........................................7

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, defenisi tersebut secara
jelas mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh karena itu, penggelapan harta
orang lain tidak dianggap sebagai jarimah pencurian dan tentu tidak dibukum
dengan hukuman potong tangan, namun dalam bentuk hukuman lain. Di samping
itu, defenisi di atas mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-
terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara
terang-terangan dan membawanya lari.

Jarimah hirabah adalah jarimah gangguan keamanan di jalan umum.


Secara etimologi hirabah berarti memotong jalan (qath’ut tarieq). Di samping itu
terdapat unsur-unsur yang ada dalam jarimah pencurian seperti pemindahan
barang yang bukan miliknya serta kesengajaan dalam melakukan tindakan
tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud pencurian dan perampokan?
2. Apa unsur-unsur pencurian dan perampokan?
3. Apa sanksi hukum pencurian dan perampokan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pencurian
Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut secara jelas
mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian. Oleh karena itu, penggelapan harta
orang lain tidak dianggap sebagai jarimah pencurian dan tentu tidak dihukum
dengan hukuman potong tangan, namun dalam bentuk hukuman lain. Di samping
itu, definisi di atas mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-
terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet yang mengambil barang secara
terang-terangan dan membawanya lari.1

H.A. Djazuli membedakan antara pencurian dengan penggelapan sebagai


berikut:

Pertama, dilihat dari segi hukuman. Pencurian dikenai hukuman had


potong tangan, sedangkan penggelapan dikenai hukuman ta’zir dan hal ini tentu
menjadi wewenang hakim dalam penjatuhan hukuman tersebut.

Kedua, dilihat dari segi pelaksanaan pengambilan harta tersebut. Pada


pencurian, pengambilan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tanpa
sepengetahuan pemiliknya. Sedangkan pada kasus penggelapan dilakukan dengan
terang-terangan. Dalam hal ini si pemilik mengira harta tersebut masih ada dan
dijaga oleh orang yang dipercayainya. Oleh karena itu, kalau penjaganya
mengambilnya, dia dianggap telah berbuat terang-terangan.

Ketiga, Dilihat dari segi tempat objek harta tersebut. Dalam pencurian,
harta yang diambil tersimpan pada tempat tertentu yang memang sengaja

1
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1999),
hlm: 93.

2
disimpan pemiliknya, sedangkan pada penggelapan, penyimpanan harta tersebut
tidak diketahui pemiliknya dan hanya diketahui orang yang dipercayai, pemilik
hanya mengetahui bahwa harta itu ada.

Keempat, dilihat dari ukuran harta. Pada pencurian dikenal ukuran-ukuran


tertentu yang mengakibatkan jatuhnya hukuman had atau yang dikenal dengan
term nisbah. Adapun pada kasus penggelapan tidak dikenal ukuran-ukuran
tertentu sejauh mana penggelapan tersebut harus dikenakan hukuman.2

B. Unsur-unsur Pencurian
Adapun unsur-unsur pencurian mengacu pada definisi pencurian itu
sendiri. Dari definisi tersebut, dapat kita rinci unsur-unsur sebagai berikut:3
Pertama, pengambilan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti
telah disinggung tidak termasuk jarimah pencurian kalau hal itu dilakukan tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
Kedua, yang dicuri itu harus berupa harta kongkrit sehingga barang-barang
yang dicuri adalah barang yang dapat bergerak, dipindah-pindahkan, tersimpan
oleh pemiliknya pada penyimpanan yang layak dan dianggap sebagai suatu yang
berharga. Tentu ada batasan tertentu (kadar) yang menjatuhkan had. Barang yang
tidak bergerak sulit untuk dipindahtangankan, sedangkan salah satu unsur
pencurian adalah berpindahnya barang tersebut dari salah satu tempat ke tempat
lain dari pemilik ke pencuri. Perpindahan itu sulit terjadi atau barang yang tidak
dapat dipindah-pindahkan. Walaupun dalam praktiknya, pemilikan atau
perpindahan dapat saja terjadi, tanpa mengubah posisi barang yang dicuri.
Ketiga, harta yang dicuri adalah sesuatu yang berharga, setidaknya
menurut versi pemiliknya. Inilah yang menjadi dasar pertimbangan, bukan atas
pandangan si pencuri. Karena menganggap berharga, pemilik barang
menyimpannya di tempat tertentu, yang aman menurut anggapannya. Oleh karena
itu, mengambil atau memindahkan barang atau harta yang tidak mempunyai
tempat penyimpanan tertentu menjadi alasan ke syubhatan bagi jari ini, seperti
mengambil barang yang ditemukan di tengah jalan, di lapangan atau menangkap
2
Ibid, hlm: 94.
3
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hlm: 91.

3
hewan yang ada di kebun, di jalan yang tidak ditunggui penggembalanya atau
tempat-tempat lain yang dianggap tidak layak bagi keberadaan harta-harta
tersebut. Semua itu tidak dikategorikan sebagai pencurian dalam arti
dikenakannya hukuman had potong tangan, namun perbuatan itu bukan berarti
lepas dari hukuman, melainkan dihukum dengan hukuman ta’zir. Hal ini karena
perbuatan-perbuatan tersebut mengindikasikan adanya kesamaran atau syubhat,
seperti yang telah kita pahami bahwa hukuman pokok harus dihindari.4
Keempat, harta diambil atau dicuri pada waktu terjadinya pemindahan
adalah harta orang lain secara murni dan orang yang mengambilnya tidak
mempunyai hak pemilikan sedikitpun terhadap harta tersebut. Umpamanya harta
kelompok atau harta bersama orang yang mencurinya mempunyai hak atau bagian
dari harta tersebut. Oleh karena itu, kalau dia mengambil sebagian walaupun
dinilai melewati nishab tidak dianggap sebagai jarimah pencurian, sebab hak dia
yang melekat pada barang yang diambil menjadikan kesyubhatan. Namun, hal ini
pun bukan berarti dia tidak dihukum sekalipun tidak dikenakan hukuman had
potong tangan. Dimaksud dengan orang lain, juga apabila harta itu milik anaknya
atau milik bapaknya.
Kelima, seperti pada jarimah-jarimah lain, terdapatnya unsur kesengajaan
untuk memilik barang tersebut atau ada itikad jahat pelakunya. Oleh karena itu,
seandainya barang atau harta itu terbawa tanpa disengaja, sekalipun dalam jumlah
besar dan mencapai nisab, tidaklah dianggap sebagai jarimah pencurian, paling-
paling dianggap sebagai kelalaian dan hukumannya pun hanya sekadar peringatan
untuk berhati-hati.5

C. Sanksi Hukum Pencurian


Asas legalitas berikut hukumannya tertera pada surah al-Maidah
ayat 38:
‫هّٰللا هّٰللا‬ ۤ
ِ ‫ اَ ْي ِديَهُ َما َجزَ ا ۢ ًء بِ َما َك َسبَا نَ َكااًل ِّمنَ ِ َۗو ُ ع‬i‫َّارقَةُ فَا ْقطَع ُْٓوا‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ُ ‫َّار‬
ِ ‫ق َوالس‬ ِ ‫َوالس‬

4
Ibid, hlm: 92.
5
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, hlm: 94.

4
Artinya: Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan
sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

D. Kadar atau Batas Pencurian


Mengenai batas yang menyebabkan dijatuhkannya hukum potong, terjadi
perbedaan di antara ulama. Hal tersebut disebabkan keumuman surah al-Maidah
ayat 83. Di antara ulama, ada yang meniadakan nishab pencurian, artinya sedikit
apalagi banyak sama-sama dihukum potong tangan. Adapun jumhur Fuqaha
mensyaratkan adanya nisab (batas tertentu) sehingga seorang pencuri dapat
dikenai hukum potong tangan. Namun, ini pun terdapat perbedaan tentang batasan
atau nisab tersebut. Imam Syafi’I dan Imam Malik mengatakan seperempat dinar,
sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan sepuluh dirham atau satu dinar,
berdasarkan hadits Nabi yang artinya: “Tidaklah dipotong tangan pencuri, kecuali
pada satu dinar atau sepuluh dirham.”
Di samping itu, ada yang mengatakan (seperti Ibnu Rusyd) batasan
tersebut adalah empat dinar, seperti hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dan
Imam Muslim, melalui perawi Siti Aisyah yang artinya: “Janganlah dipotong
tangan pencuri, kecuali pada empat dinar atau lebih.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mengenai batas tangan yang dipotong, Imam Asy-Syafi’I, Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud Azh-Zahiri sepakat
bahwa batas tangan yang dipotong adalah dari pergelangan tangan ke bawah.
Mengenai pengulangan perbuatan setelah yang pertama dipotong tangan
kanannya, pencurian yang kedua dipotong tangan kirinya, dan pencurian
selanjutnya dihukum dengan hukuman ta’zir atau hukuman potong kaki kiri.6
Mengenai status barang yang dicuri, sebagian ulama seperti Imam Asy-
Syafi’I dan Imam Ahmad, mengatakan bahwa barang yang dicuri harus
dikembalikan sendainya masih ada dan menggantinya kalau telah hilang walaupun
pelakunya telah menjalani hukuman. Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan
sanksi hudud yang telah dijatuhkan tidak harus diikuti dengan ganti rugi barang
yang hilang.
6
Muhammad Abdul Aziz al- Halawi, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khaththab:
Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, (Surabaya: Risalah Gusti, 1999), hlm: 276.

5
E. Pengertian Perampokan atau Hirabah
Jarimah hirabah adalah jarimah gangguan keamanan di jalan umum.
Secara etimologi hirabah berarti memotong jalan (qath’ut tarieq). Menurut H.A
Djazuli, perbedaan antara pencuri dan perampok (pembegalan) terletak pada
teknis pengambilan harta. Yang pertama pencurian dilakukan secara diam-diam,
sedangkan yang kedua perampokan dilakukan secara terang-terangan dan disertai
kekerasan atau ancaman kekerasan.

F. Unsur-unsur Hirabah dan Hukumannya


Unsur-unsur hirabah yang utama adalah dilakukan di jalan umum atau di
luar pemukiman korban, dilakukan secara terang-terangan serta adanya unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan. Di samping itu terdapat unsur-unsur yang ada
dalam jarimah pencurian seperti pemindahan barang yang bukan miliknya serta
kesengajaan dalam melakukan tindakan tersebut.
Hukuman jarimah ini seperti disebutkan dalam surah al-Maidah ayat 33
terdiri atas empat macam hukuman. Hal ini berbeda dengan hukuman bagi
jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud lainnya yang hanya satu macam
hukuman untuk setiap jarimah. Sanksi hirabah yang 4 macam itu tidak seluruhnya
dijatuhkan kepada muhrib julukan bagi pembuat hirabah, namun hukuman
tersebut merupakan hukuman alternatif yang dijatuhkan sesuai dengan macam
jarimah yang dilakukan. Oleh karena itu bentuk jarimah hirabah ada 4 macam
sesuai dengan banyaknya sanksi yang tersedia di dalam Al-Qur’an.7
Dari ayat di atas, dapat kita lihat 4 macam hukuman yang berkaitan
dengan jarimah hirabah atau tindak pidana perampokan ini, yaitu hukuman mati
dan disalib, pemotongan tangan dan kaki secara bersilang, dan pengasingan keluar
wilayah.

G. Jenis-jenis Hirabah dan Penerapan Hukumannya

7
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000),
hlm: 110.

6
Bentuk jarimah dan macam hukuman bagi pelaku jarimah hirabah
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dalam Nainul Maram yang artinya:
Pertama: Apabila dia membunuh dan sekaligus mengambil harta korban, maka
hukumannya adalah dibunuh dan disalib.
Kedua; Apabila dia membunuh tetapi tidak mengambil harta korban maka
hukumannya adalah dibunuh, tidak disertai salib.
Ketiga: Apabila dia hanya mengambil hartanya saja dan tidak membunuh, maka
hukumnya adalah dipotong tangan dan kaki secara silang.
Keempat: Apabila dia hanya menakut-nakuti membuat keonaran, maka
hukumannya diasingkan keluar wilayah.

1. Hukuman Mati dan Salib


Mengenai pelaksanaan hukuman mati dan sekaligus hukuman salib ini,
para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan hukuman salib didahulukan,
kemudian hukuman mati. Sebagian lagi mengatakan sebaliknya bahwa hukuman
mati didahulukan kemudian hukuman salib. Imam Abu Hanifah dan Imam Malik
memilih pelaksanaan yang pertama, yaitu mendahulukan hukuman salib kemudian
hukuman mati. Menurut mereka, penyaliban merupakan suatu bentuk hukuman
yang harus dirasakan pelaku dan itu hanya dapat dirasakan kalau pelaku masih
hidup. Karena itu, harus didahulukan sebelum dilakukan hukuman mati. Kalau
hukuman mati didahulukan, hukuman salib tidak berpengaruh apa-apa bagi si
terhukum.
Adapun Imam Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad berpendapat sebaliknya,
yaitu mendahulukan hukuman mati kemudian disalib. Menurut versi ini,
mendahulukan hukuman mati daripada hukuman salib sesuai dengan ayat Al-
Qur'an yang mendahulukan hukuman mati daripada salib. Di samping itu,
mendahulukan tindakan penyiksaan yang melampaui batas tidak seharusnya
terjadi.
Dalam hukum positif. perbuatan yang mirip dengan jarimah hirabah ini
diancam dengan hukuman mati atau penjara paling lama dua puluh.

2. Hukuman mati

7
Hukuman mati ini hanya dijatuhkan bagi pelaku yang membuh korban
tanpa disertai dengan pengambilan harta korban. Hukuman mati ini pun tergolong
hukuman hudud dan bukan hukuman Qishas. Oleh karena itu tidak dapat
dimaafkan. Pembunuhan yang dilakukan pelaku jarimah ini dilakukan di jalan
umum dan berkaitan dengan gangguan keamanan. Oleh karena itu, perbuatan ini
termasuk dalam hirabah. Walaupun pembunuhan yang masuk ke dalam kelompok
qishash dapat saja dilakukan di luar rumah, pembunuhan pada jarimah qishah
tidak berkaitan dengan gangguan keamanan. Di samping itu tersebut sedikit
banyak berkaitan dengan harta atau perampokan. Si pelaku tidak mengambil harta
korban bisa jadi karena ia belum sempat mengambilnya atau karena berbagai
kemungkinan lain.

3. Hakuman potong tangan dan kaki bersilang


Hukuman ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan perampokan yang
dilakukan di jalan umum. Dalam hal ini si pelaku hanya mengambil harta tanpa
berusaha membunuh korban. Hukuman potong tangan dan kaki bersilang adalah
memotong tangan kanan pembuat sekaligus kaki kirinya. Pemotongan tangan dan
kaki sekaligus ini, dinisbatkan pada orang yang melakukan dua kali pencurian.
Sebagaimana Ulama mengatakan hukuman potong kaki pelaku pada pencurian
yang kedua
Pemberian hukuman seberat ini disebabkan perbuatan si pelaku bukanlah
hanya sekadar mengambil harta seperti layaknya pencuri, tetapi juga
melakukannya secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, bahkan
bisa jadi akan dilakukan dengan pembunuhan seandainya si korban melawan atau
bersikeras untuk tidak menyerahkan harta yang dibawanya. Perbuatan pelaku
seperti itu, berdampak psikologis yang sangat dalam bagi si korban.
Kehidupannya dihantui oleh pengalaman perampokan dan dia menjadi traumatis
terhadap tindakan dan itu selalu mengasosiasikan dengan pengalaman buruknya di
masa lalu. Perbuatan si pelaku seperti itu, juga berdampak bagi ketentraman
umum. Masyarakat menjadi takut keluar melaksanakan aktivitas melalui jalan
tempat terjadi peristiwa perampokan.

8
Menurut kami, faktor itulah yang menyebabkan beratnya hukuman yang
harus diterima si pelaku sesuai dengan betapa besamya akibat yang bakal terjadi,
baik bagi korban perseorangan ataupun masyarakat. Oleh karena itu, sangat pantas
kalau hukuman pelaku jarimah ini dilipat gandakan.
Melipatgandakan hukuman bukan saja dikenal dalam Fiqih Jinayah tapi di
negara lain pun dikenal penjatuhan sanksi seperti ini. Bahkan, di Indonesia
diadakan sanksi, yang dikenal dalam hukum positif. Pasal 362 KUH Pidana
menyebutkan sebagai berikut: Barang siapa yang mengambil barang sesuatu yang
seluruhnya sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau denda paling banyak enam puluh ribu rupiah.

Hukuman penjara maksimal lima tahun yang diancamkan bagi pelaku pencurian
tersebut dalam Pasal 362 KUH Pidana dilipat gandakan sampai lima belas tahun
apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kematian atau mengakibatkan luka
berat (pasal 365 ayut 3). Bahkan, hukuman penjara itu dapat bertambah lagi
menjadi lebih lama sehingga mencapai dua puluh tahun apabila perbuatan tersebut
di- lakukan secara kelompok, seperti yang tertera dalam Pasal 365 ayat (4).

4.Hukuman pengasingan
Hukuman ini dijatuhkan bagi pelaku hirabah yang sengaja membuat onar
di jalan umum atau tempat keramaian umum, menakut-nakuti, mengacaukan
situasi sehingga membuat suasana menjadi kacau. Walaupun tidak merugikan
masyarakat secara material, dipastikan timbulnya dampak kejiwaan bagi
masyarakat. Menurut kami, mengacaukan situasi dapat saja dengan ucapan yang
dilakukan di tempat umum, seperti provokasi. Situasi yang kacau tersebut dapat
memancing orang lain berbuat jarimah, mengambil kesempatan dalam situasi
yang galau dan ini dapat menjurus ke arah situasi yang anarkis dan berdampak
pada masalah sosial ekonomis serta stabilitas nasional. Bisa jadi perbuatan
tersebut merupakan bagian dari skenario untuk menstabilkan keamanan nasional
untuk tujuan-tujuan tertentu. Untuk mencegah keadaan menjadi lebuh parah dan

9
sulit dikendalikan, sangat pantas bila pelakunya diberikan sanksi yang berat, yaitu
diasingkan atau diisolasi.
Bentuk hukuman pengasingan ini pun tak luput dari perbedaan pendapat
para ulama, namun bukan pada eksistensinya, melainkan pada bentuk dan
lamanya pengasingan. Sebagian mengatakan bahwa pengasingan yang dimaksud
ayat tersebut adalah pengasingan dalam arti sebenarnya yaitu dibuang keluar
daerah. Sebagian lagi mengatakan bahwa pengasingan tersebut dapat berupa
hukuman penjara sebab ini pun pada hakikatnya adalah pengasingan juga.
Mengenai lamanya pengasingan, karena tidak dijelaskan ayat 33 Surat Al-Maidah,
terdapat perbedaan pendapat, namun sebagian besar berpendapat bahwa lamanya
pengasingan sama dengan sanksi pengasingan pada jarimah zina, yaitu satu tahun.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pencurian menurut Mahmud Syaltut adalah mengambil harta orang lain
dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai
menjaga barang tersebut. Menurut beliau selanjutnya, definisi tersebut secara jelas
mengeluarkan perbuatan menggelapkan harta orang lain yang dipercayakan
kepadanya (ikhtilas) dari kategori pencurian.

Adapun unsur-unsur pencurian mengacu pada definisi pencurian itu


sendiri. Dari definisi tersebut, dapat kita rinci unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama, pengambilan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti telah
disinggung tidak termasuk jarimah pencurian kalau hal itu dilakukan tanpa
sepengetahuan pemiliknya.
Kedua, yang dicuri itu harus berupa harta kongkrit sehingga barang-barang yang
dicuri adalah barang yang dapat bergerak, dipindah-pindahkan, tersimpan oleh
pemiliknya pada penyimpanan yang layak dan dianggap sebagai suatu yang
berharga.
Mengenai batas yang menyebabkan dijatuhkannya hukum potong, terjadi
perbedaan di antara ulama. Hal tersebut disebabkan keumuman surah al-Maidah
ayat 83. Di antara ulama, ada yang meniadakan nishab pencurian, artinya sedikit
apalagi banyak sama-sama dihukum potong tangan. Adapun jumhur Fuqaha
mensyaratkan adanya nisab (batas tertentu) sehingga seorang pencuri dapat
dikenai hukum potong tangan.
Jarimah hirabah adalah jarimah gangguan keamanan di jalan umum.
Secara etimologi hirabah berarti memotong jalan (qath’ut tarieq). Di samping itu
terdapat unsur-unsur yang ada dalam jarimah pencurian seperti pemindahan
barang yang bukan miliknya serta kesengajaan dalam melakukan tindakan
tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2009. Hukum Pidana Islam. Jakarta, Sinar Grafika.

Aziz al- Halawi, Muhammad Abdul. 1999. Fatwa dan Ijtihad Umar bin
Khaththab: Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih. Surabaya: Risalah Gusti.

Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka


Setia.

Rosyada, Dede. 1999. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: PT


RajaGrafindo.

12

Anda mungkin juga menyukai