Anda di halaman 1dari 18

PENYITAAN DAN EKSEKUSI

Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara

Peradilan Agama

Dosen Pengampu :

Adri Latif, S.H., M.H

Disusun oleh kelompok 5 :

1. Cindy Adellia V 2121020160

2. KGS. M. Alfarizi 2121020210

3. Kharisma Lulu Novayani 2121020213

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya ,
sehingga penyusun dapat menyelesaikan naskah dengan judul “PENYITAAN DAN
EKSEKUSI”

Sholawat beserta salam tak lupa juga mari kita sanjung agungkan kepada junjungan
besar kita nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah ke jaman
yang terang benderang ini, serta akan memberikan syafaat nya kepada kita di yaumul
qiyamah nanti.

Kami juga mengucapkan terimakasih banyak kepada bapak Adri Latif, S.H., M.H

yang telah memberikan tugas kami, sehingga kami bisa menambah wawasan dan
pengetahuan tentang mata kuliah HUKUM ACARA PERDATA DAN PERADILAN
AGAMA . Pastinya makalah ini juga tidak luput dari kesalahan baik penulisan atau pun
pengetahuannya..

Tak ada gading yang tak retak. Begitu pula dengan makalah yang kami susun ini,
tentunya masih banyak terdapat kekurangan. Akhirnya sambil mengharapkan kritik dan saran
yang membangaun utuk masa mendatang, penyusun pun berharap makalah yang sederhana
ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, 20 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................... 2

C. Tujuan.......................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Penyitaan ................................................................................................................................ 3

1. Pengertian dan Tujuan Penyitaan.......................................................................................3

2. Jenis - Jenis Penyitaan........................................................................................................4

B. Eksekusi ...................................................................................................................................9

1. Pengertian dan Tujuan Eksekusi........................................................................................ 9

2. Sumber Hukum Eksekusi...................................................................................................10

3. Asas - Asas Eksekusi......................................................................................................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................................................................. 13

B. Saran......................................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Di dalam sebuah lingkup pemahaman, terdapat macam macam hal yang harus
dilakukan dan pasti akan terjadi. Baik dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Mulai
dari permohonan suatu gugatan,pemeriksaan suatu perkara, penyitaan,pembuktian,pemberian
suatu putusan sampai upaya banding untuk mempertahankan suatu hak atas kebenaran yang
diharapkan, lalu yang terakhir adalah ekseskusi yang dilakukan setelah melakukan rangkaian
diatas.

Dalam pembahasan kali ini akan memberikan penjelasan yang berkaitan dengan
penyitaan dan eksekusi. Penyitaan atau yang biasa dikenal dengan kata sita adalah suatu
tindakan yang dimana menempatkan harta kekayaan dari tergugat yang berada di dalam
pengawasan agar tidak terjadi pemindah tanganan kepada pihak ketiga guna untuk
memperlancar proses pemeriksaan suatu perkara. Eksekusi adalah adalah menjalankan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata / inkracht van
gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir), yang dilakukan secara paksa, jika
perlu dengan bantuan kekuatan umum.

Sebagai pihak yang berada dalam ruang lingkup sengketa,seorang penggugat


memiliki suatu hak untuk mengajukan permohonan untuk mengadakan sita terhadap harta
yang di miliki oleh tergugat. Hal tersebut dapat diserahkan kepada hakim meskipun suatu
kasus belum diperiksa dan diadili oleh pihak pengadilan. Eksekusi juga termasuk tindakan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara baik pidana maupun perdata.
Atau dengan kata lain eksekusi ini adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari
pelaksanaan tata tertib beracara di pengadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan penyitaan ?
2. Apa tujuan dari penyitaan ?
3. Jelaskan jenis jenis penyitaan ?
4. Apa yang dimaksud dengan eksekusi ?
1
5. Apa tujuan dari eksekusi ?
6. Jelaskan sumber hukum eksekusi ?
7. Sebutkan asas - asas eksekusi ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian penyitaan
2. Untuk mengetahui tujuan dari penyitaan
3. Untuk memahami jenis jenis penyitaan
4. Untuk mengetahuipengertian eksekusi
5. Untuk mengetahui tujuan eksekusi
6. Untuk memahami sumber hukum eksekusi
7. Untuk memahami asas asas eksekusi

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN DAN TUJUAN PENYITAAN


a. Pengertian Penyitaan

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda),dan istilah indonesia beslah tetapi
istilah bakunya ialah sita atau penyitaan1. Sita adalah saat tindakan hukum oleh hakim yang
bersifat eksepsional atas permohonan satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek
sengketa atau menjadi jaminan dari kemungkinan dipindahtangankan dibebani sesuai sebagai
jaminan, dirusak atau dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang
tersebut, untuk menjamin suatu putusan perdata dapaat dilaksanakan.2 Menurut Wildan
Suyuthi, sita (beslag) adalah tindakan hukum Pengadilan atas benda bergerak ataupun benda
tidak bergerak milik Tergugat atas permohonan Penggugat untuk diawasi atau diambil untuk
menjamin agar tuntutan Penggugat/ Kewenangan Penggugat tidak menjadi hampa. Dalam
pengertian lain dijelaskan, bahwa sita adalah mengambil atau menahan barang-barang (harta
kekayaan dari kekuasaan orang lain) dilakukan berdasarkan atas penetapan dan perintah
Ketua Pengadilan atau Ketua Majelis.3

Pengertian yang terkandung di dalamnya, antara lain:

a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada dalam keadaan
penjagaan (to take costody the property of a defendant).

b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan
perintah pengadilan atau hakim.

c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan,
tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang

1
Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta,1999, hlm. 49.
2
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hal. 124
3
Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta: PT Tatanusa, 2004),
hal. 20.

3
debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (ezecutorial verkoop) barang yang disita
tersebut.

d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita, berlangsung selama proses pemeriksaan,
sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau
tidak tindakan penyitaan tersebut.4

Pengertian penyitaan juga sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat 16 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatakan bahwa “ Penyitaan adalah serangkaian
tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau dibawah penguasaannya benda betgerak
atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan,penuntutan, dan peradilan”

b. Tujuan Penyitaan

Tujuan dari sita adalah upaya untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan hakim di
kemudian hari atas barang-barang milik tergugat baik benda bergerak maupun benda tetap
selama proses berlangsung. Dengan demikian barang-barang yang disita tidak dapat dialihkan,
diperjual belikan, disewakan, atau dipindah tangankan kepada pihak lain yang beri’tikad
buruk.5 Dengan mengaitkan tujuan penyitaan dengan ketentuan pasal 199 HIR, 214 Rbg dan
Pasal 231 KUH Perdata, terjamin perlindungan yang kuat Penggugat atas terpenuhinya
pelaksanaan putusan pengadilan pada saat eksekusi dijalankan. Terdapat tujuan lain dari
penyitaan selain dari memberi kepastian kepada Penggugat bahwa gugatannya telah dijamin
dan mempunyai arti serta nilai apabila gugatannya dikabulkan oleh pengadilan, yaitu adanya
sita berarti sudah ada secara pasti objek eksekusi atas kemenangan Penggugat, atau
disebutkan objek eksekusi sudah pasti. Hal ini menjaga agar kemenangan Penggugat tidak
illusioner (hampa), sehingga kemenangan Penggugat ada suatu materinya, yakni barang yang
disita tersebut.6

2. JENIS JENIS PENYITAAN

A. Sita Jaminan (Conservatoir Beslaag)

4
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 282
5
Muhammad Nashir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 59.
6
M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal, 285-287
4
Sita ini dilakukan untuk menjamin hak-hak pihak yang dimenangkandalam suatu
perkara sehingga gugatannya tidak sia-sia (Illusior). Dasarhukumnya Pasal 227 HIR/ 261
RBg. Tujuannya untuk menjaminterlaksananya putusan pengadilan. Sita ini dapat dilakukan
jika ada permintaan dari penggugat dengan mengemukakan alasan ada dugaan atausangkaan
bahwa tergugat akan berusaha menghilangkan, merusak,memindahtangankan benda-benda
harta kekayaan miliknya. Benda-bendayang menjadi objek sita ini adalah benda bergerak dan
benda tidak bergerakmilik tergugat.Perihal sita conservatoir yang diatur dalam Pasal 227 jo.
Pasal 197 HIR,Pasal 261 jo. Pasal 208 RBg., yang inti sari pengaturannya yaitu:

1. Harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sebelum putusandijatuhkan atau
dilaksanakan mencari akal akan menggelapkan ataumelarikan barang-barangnya itu.

2. Barang yang disita itu adalah kepunyaan orang yang terkena sita, artinya bukan
milik penggugat.

3. Permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara


yang bersangkutan.

4. Permohonan harus diajukan dengan surat tertulis.

5. Barang harus ditetapkan secara terperinci

Sita conservatoir dapat dilakukan atau diletakkan terhadap barang-barangyang


bergerak dan barang-barang yang tidak bergerak.Menurut ketentuan yang termuat dalam
pasal 227 ayat (1) HIR, sitaconservatoir dapat dimohonkan “sebelum dijatuhkan putusan”
atau “sudah ada putusan tetapi putusan tersebut belum bisa dijalankan”.7

B. Sita Revindikasi (Menyita Terhadap Hak Milik)

M. Yahya Harahap (hal. 326) menjelaskan sita revindikasi (revindicatoir beslag)


termasuk kelompok sita yang mempunyai kekhususan tersendiri terutama terletak pada objek
barang sitaan dan kedudukan penggugat atas barang itu:

A. Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat),

7 Bambang Sugeng & Sujiyadi,Op Cit.,hal. 76-77

5
B. Barang itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan

C. Permintaan sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri agar dikembalikan
kepadanya.

Oleh karena yang meminta dan mengajukan penyitaan adalah pemilik barang sendiri,
maka lazim disebut penyitaan atas permintaan pemilik. Jadi, sita revindikasi merupakan
upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang yang
menguasai barang itu tanpa hak. Syarat atau alasan pokok sita revindikasi merujuk pada
alenia pertama pasal 226 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan pasal 714 Reglement Op
De Rechtsvordering (RV), yaitu:

a. Objek sengketa adalah barang bergerak

Alinea Pertama Pasal 226 HIR menyatakan, objek sita revindikasi adalah barang
bergerak dan barang bergerak yang dimaksud berada di tangan orang lain (tergugat).

b. Pemohon adalah pemilik barang

Alasan yang dibenarkan untuk meminta sita revindikasi adalah pemohon merupakan
pemilik barang. Sita ini tidak dapat diajukan penyewa atau peminjam. Hal ini sesuai
dengan pengertian maupun tujuan sita revindikasi, yaitu menuntut kembali barang
milik penggugat yang berada di tangan dan penguasaan tergugat.

c. Barang berada di bawah penguasaan tergugat tanpa hak berdasarkan jual beli maupun
pinjam meminjam

1) Berdasarkan penguasaan tanpa hak

Penguasaan tanpa hak, misalnya pencurian atau tindakan lain yang bertentangan
dengan hukum. Maka, pemilik barang dapat menuntut kembali barang miliknya dari
orang lain yang menguasainya.

2) Berdasarkan hak reklame yang diberikan undang-undang kepada penjual

6
Dalam transaksi jual beli, undang-undang memberi hak reklame kepada penjual, yaitu
hak menuntut kembali pengembalian barang apabila pembeli tidak melunasi harga
yang disepakati.

3) Barang berada di tangan tergugat karena pinjam meminjam

Pemilik yang barangnya dipinjamkan kepada orang lain dapat menuntut


pengembalian barang meskipun belum lewat tenggang waktu yang diperjanjikan
apabila karena alasan mendesak barang itu sangat diperlukan pemilik.

4) Menyebut dengan saksama barang yang hendak disita

Barang yang hendak disita harus dinyatakan dengan saksama dalam surat permintaan
meliputi jenis, jumlah, merek atau identitas maupun sifat yang melekat pada barang.
Apabila penggugat tidak mampu menjelaskannya, maka pengadilan dapat menolak
permintaan tersebut.8

C. Sita Marital (Harta Bersama) (Marital Beslag)

Sita marital (marital beslag) adalah sita yang diletakkan atas harta bersama suami-
istri baik yang berada di tangan suami maupun yang berada di tangan istri apabila terjadi
sengketa perceraian. Apabila terjadi perkara perceraian berlangsung, maka para pihak berhak
mengajukan permohonan sita atas harta perkawinan dan sita yang demikian disebut dengan
Sita Marital. 9 Sita Marital tidak terdapat di dalam HIR atau RBg melainkan hanya dijumpai
di dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dan Rsv.10 Pengaturan sita marital dapat ditemukan dalam
beberapa peraturan perundang- undangan, antara lain yang terdapat dalam Pasal 190 KUH
Perdata yang berbunyi: “Sementara perkara berjalan dengan izin Hakim, istri boleh

8
https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-berbagai-jenis-sita-
dalam-hukum-acara-perdata-lt5efecaabbaf83/
9
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag
(Sita Jaminan), (Cet. 1; Jakarta: Pustaka, 1987), 145.
10
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet.2; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2003), 208.
7
mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis
atau diboroskan”.11

D. Sita Eksekusi

Sita Eksekusi adalah sita yang ditetapkan dan dilaksanakan setelah suatu perkara
mempunyai putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.12 Ada dua jenis dalam
sita eksekusi yaitu sita secara langsung alah sita eksekusi yang langsung diletakkan atas
barang bergerak dan barang tidak bergerak milik debitur atau termohon eksekusi.
Sehubungan dengan pelaksanaan grosse akta hipotek atau grosse akta hak tanggungan yang
berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau sita eksekusi
lanjutan,apabila barang-barang yang di sebelumnya dengan sita conservatoir,yang dalam
rangka eksekusi berubah menjadi sita eksekusi dan di lelang. Hasilnya tidak cukup untuk
membayar jumlah uang yang harus dibayar berdasarkan putusan pengadilan,maka akan
dilakukan sita eksekusi lanjutan terhadap barang barang tergugat untuk kemudian di lelang.
Yang kedua adalah sita eksekusi secara tidak langsung adalah sita eksekusi yang berasal dari
sita jaminan yang telah dinyatakan sah dan berharga dan dalam rangka eksekusi otomatis
berubah menjadi sita eksekusi. Dalam rangka eksekusi dilarang untuk menyita hewan atau
perkakas yang benar benar dibutuhkan oleh tersita untuk mencari nafkah (Pasal 197 ayat(8)
HIR)13. makna sita eksekusi yang dirangkum dari Pasal 197 dengan Pasal 200 ayat (1) HIR,
adalah penyitaan harta kekayaan termohon atau debitur setelah dilampaui tenggang masa
peringatan. Penyitaan sita eksekusi dimaksudkan sebagai penjamin jumlah uang yang harus
dibayarkan kepada pihak pemohon. Cara untuk melunasi pembayaran jumlah uang tersebut
dengan jalan menjual lelang harta kekayaan termohon yang telah disita. Perampasan harta
kekayaan termohon eksekusi adalah sebagai dana pembayaran sejumlah uang yang
dihukumkan kepadanya.14

11
R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita),
60.
12
M. Yahya H., Op., hlm. 62.
13
Teknis Peradilan Perkara Perdata, Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan
Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding. Para Ketua Pengadila Tingkat Pertama dari Semua
Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, (Bandung: 16-20 Januari 1994), hlm. 30-31.
14
Dr. H. Zainal Asikin, S.H., SU. (2013). HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA. Mataram:
2015.

8
3. PENGERTIAN DAN TUJUAN EKSEKUSI

a. Pengertian Eksekusi

Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang mengandung
perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan
putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang kalah
tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya paksa dari
Pengadilan untuk melaksanakannya.15 Menurut M. Yahya H pengertian eksekusi adalah
tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan yang
berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata. 16

Menurut Prof. R. Subekti adalah pelaksanaan suatu keputusan yang sudah tidak dapat
diubah lagi, ditaati secara sukarela oleh pihak yang bersengketa. Jadi dalam makna perkataan,
eksekusi sudah mengandung arti pihak yang kalah mau tidak mau harus menaati putusan itu
secara sukarela. Sehingga putusan itu harus dipaksakan kepadanya dengan bantuan kekuatan
hukum, yang dimaksud bantuan hukum adalah polisi atau kalau perlu militer(angkatan
bersenjata.

Eksekusi merupakan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetap(in kracht van gewjsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak
yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara putusan pengadilan. Dalam
pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan “ Hal menjalankan putusan pengadilan negeri dalam
perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri atas perintah dan tugas
pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut
cara yang diatur dalam pasal pasal HIR .” selanjutnya dalam pasal 1966 HIR/ Pasal 208 RBG
dikatakan “ jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi putusan

15
https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/eksekusi%20dan%20lelang%20dalam%20h
uku m%20acara%20perdata.pdf.pdf
16
M.Yahya Harahap, S. H., Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, cet. 3,
(Jakarta: PT Gramedia, 1991), hlm. 1.
9
pengadilan dengan damai maka pihak yang menang dalam perkara mengajukan permohonan
kepada ketua pengadilan negeriuntuk menjalankan putusan pengadilan itu”.17

b. Tujuan Eksekusi

Tujuan dilaksanakan eksekusi ini adalah sebagai upaya tindakan baik paksa ataupun
tidak guna untuk menjalankan putusan dari pengadilan yang telah ditetapkan, sebagai
kekuatan hukum tetap. Akan menjadi pilihan untuk dilakukan apabila pihak tergugat kalah
dalam persedingan dan tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan tersebut secara
sukarela.18

4. SUMBER HUKUM EKSEKUSI

Beberapa sumber hukum eksekusi,yaitu:

a. Undang Undang Hukum Acara Perdata

b. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

c. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia

Penjelasan dari sumber hukum eksekusi yaitu:

A. Undang Undang Hukum Acara Perdata

Undang - undang Hukum Acara Perdata pada saat ini secara umum (lex generalis)
menggunakan HIR, RBg, dan BW, dimana berdasarkan asas konkordansi yang merupakan
produk hukum di zaman kolonial belanda yang masih berlaku sebagai hukum acara perdata
yang harus di pedomani oleh lembaga peradilan dan praktisi hukum serta para pihak yang
berperkara. Di dalam HIR khususnya dalam pasal 195 sampai dengan pasal 224 diatur
tentang eksekusi putusan pengadilan pada bagian kelima, sedangkan dalam RBg dalam pasal
206 sampai dengan pasal 225 diatur pada bagian keempat.

17
Dr. H. Zainal Asikin, S.H., SU. (2013). HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA. Mataram:
2015.
18
https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/993-
eksekusi#:~:text=Pada%20dasarnya%20eksekusi%20sebagai%20tindakan,memenuhi%20isi%20p
utus an%20secara%20sukarela
10
B. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dalam praktik hukum masih ada upaya hukum yang luar biasa untuk dapat
membatalkan suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum bersifat tetap,
dan upaya hukum yang luar biasa tersebut dikenal dengan peninjauan kembali pada putusan
mahkamah agung. Selanjutnya berdasarkan pasal 5 peraturan mahkamah agung nomor 1
tahun 1980 dinyatakan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan eksekusi.

C. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dalam surat edaran mahkamah agung nomor 4 tahun 1975 tentang gijzeling
(penyanderaan) sebagaimana diakui dalam pasal 209 HIR/Pasal 242 RBg tidak dibenarkan
lagi untuk dilaksanakan dalam hukum acara perdata di peradilan indonesia oleh karena
bertentangan dengan perikemanusiaan. Dengan demikian, hukum acara perdata di indonesia
tidak lagi mengenal adanya penyanderaan (gijzeling) apabila seseorang tidak mampu
membayar utangnya.19

5. ASAS - ASAS EKSEKUSI

Di dalam hukum acara perdata, terdapat beberapa asas yang menjadi landasan
dilaksanakannya proses eksekusi, antara lain :

a. Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

b. Pelaksanaan Putusan Lebih Dahulu

c. Pelaksanaan Putusan Provinsi

d. Akta Perdamaian

e. Eksekusi terhadap Grosse Akta

f. Putusan Tidak Dijalankan Secara Sukarela.20

19
Dr. Endang Hadrian, S.H., M.H. dan Dr. Lukman Hakim, S.H., M.H. (2012). HUKUM ACARA
PERDATA DI INDONESIA. Permasalahan Eksekusi dan Mediasi hlm 65-68. Jakarta:2020.
20
Dr. Endang Hadrian, S.H., M.H. dan Dr. Lukman Hakim, S.H., M.H. (2012). HUKUM ACARA
PERDATA DI INDONESIA. Permasalahan Eksekusi dan Mediasi hlm 68- 70. Jakarta:2020.
11
12
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

A. Sita adalah saat tindakan hukum oleh hakim yang bersifat eksepsional atas permohonan
satu pihak yang berperkara, untuk mengamankan objek sengketa atau menjadi jaminan
dari kemungkinan dipindahtangankan dibebani sesuai sebagai jaminan, dirusak atau
dimusnahkan oleh pemegang atau pihak yang menguasai barang tersebut, untuk
menjamin suatu putusan perdata dapaat dilaksanakan.

B. Tujuan dari sita adalah upaya untuk menjamin pelaksanaan suatu putusan hakim di
kemudian hari atas barang-barang milik tergugat baik benda bergerak maupun benda
tetap selama proses berlangsung

C. Jenis jenis sita adalah sita jaminan,sita marital,sita revendikasi,dan sita eksekusi.

D. Eksekusi adalah hal menjalankan putusan Pengadilan yang sudah berkekuatan hukum
tetap. Putusan Pengadilan yang dieksekusi adalah putusan Pengadilan yang mengandung
perintah kepada salah satu pihak untuk membayar sejumlah uang, atau juga pelaksanaan
putusan hakim yang memerintahkan pengosongan benda tetap, sedangkan pihak yang
kalah tidak mau melaksanakan putusan itu secara sukarela sehingga memerlukan upaya
paksa dari Pengadilan untuk melaksanakannya.

E. Tujuan dilaksanakan eksekusi ini adalah sebagai upaya tindakan baik paksa ataupun
tidak guna untuk menjalankan putusan dari pengadilan yang telah ditetapkan, sebagai
kekuatan hukum tetap.

F. Sumber eksekusi yaitu Undang Undang Hukum Acara Perdata, peraturan mahkamah
agung republik indonesia, dan surat edaran mahkamah agung republik indonesia.

G. Asas asas eksekusi yaitu Menjalankan Putusan yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap,
Pelaksanaan Putusan Lebih Dahulu , Pelaksanaan Putusan Provinsi, Akta Perdamaian,
Eksekusi terhadap Grosse Akta, Putusan Tidak Dijalankan Secara Sukarela.

13
2. SARAN

Apabila ada kekurangan dari pemaparan materi makalah kami, kami meminta saran dan kritik
serta masukan dari pembaca agar penulis dapat membangun makalah yang lebih baik lagi.

14
DAFTAR PUSTAKA

Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Djambatan, Jakarta,1999, hlm.


49.

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hal. 124

Wildan Suyuthi, Sita Eksekusi: Praktek Kejurusitaan Pengadilan, (Jakarta: PT Tatanusa,


2004), hal. 20.

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal. 282

Muhammad Nashir, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 59.

https://www.hukumonline.com/klinik/a/mengenal-berbagai-jenis-sita- dalam-hukum-
acara-perdata-lt5efecaabbaf83/

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Permasalahan dan Penerapan Conservatoir Beslag (Sita
Jaminan), (Cet. 1; Jakarta: Pustaka, 1987), 145.

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Cet.2; Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003), 208.

R. Subekti, R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya Paramita), 60.

Teknis Peradilan Perkara Perdata, Bahan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI dengan Para
Ketua Pengadilan Tingkat Banding. Para Ketua Pengadila Tingkat Pertama dari Semua
Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia, (Bandung: 16-20 Januari 1994), hlm. 30-31.

Zainal Asikin, S.H., SU. (2013). HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA. Mataram: 2015.

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/images/artikel/eksekusi%20dan%20lelang%20dalam%20hukum%2
0acara%20perdata.pdf.pdf

https://pn-karanganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/993-
eksekusi#:~:text=Pada%20dasarnya%20eksekusi%20sebagai%20tindakan,memenuhi%20isi%20putusan%
20secara%20sukarela

Endang Hadrian, S.H., M.H. dan Dr. Lukman Hakim, S.H., M.H. (2012). HUKUM ACARA PERDATA
DI INDONESIA. Permasalahan Eksekusi dan Mediasi hlm 68- 70. Jakarta:2020.

15

Anda mungkin juga menyukai