Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan
kemudahan dan kesehatan kepada kami sehingga kami mampu menyelesaikan sebuah makalah
kelompok untuk mata kuliah Hukum Acara Pidana dengan tema Upaya Paksa Penangkapan dan
Penahanan. Makalah yang sudah kami susun ini untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum
Acara Pidana yang mesti digarap bersama karena membutuhkan waktu dan tenaga yang cukup
besar.

Kemudian makalah berikut bisa rampung berkat pihak-pihak yang sudah membantu,
khususnya Ibu Nisa Lestari, S.H.,M.H. selaku dosen pengampumata kuliah Hukum Acara
Pidana, dan teman-teman kelompok penyusun.

Kami pun menyadari jika isi makalah ini jauh dari sempurna karena keterbatasan kami.
Oleh sebab itu, kami harapkan adanya umpan balik berupa kritik dan saran yang membangun
agar di kemudian hari kami sanggup makalah yang lebih maksimal. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua terutama kami seaku penyusun makalah ini. Terimakasih.

Bogor, 23 Oktober 2023

Penyusun

1
KATA PENGANTAR
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ...................................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................. 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................................... 4
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................................ 5
A. Upaya Paksa ..........................................................................................................................5
B. Penangkapan ...........................................................................................................................6
1. Pengertian Penangkapan ..........................................................................................6
2. Bukti Permulaan.......................................................................................................7
3. Melaksanakan Penangkapan ....................................................................................9
4. Proses dan Syarat Penangkapan .............................................................................10
5. Mengapa Penangkapan Dilakukan .........................................................................11
6. Siapa yang Berhak Melakukan Penangkapan ....................................................... 11
C. Penahanan .............................................................................................................................13
1. Pengertian Penahanan ............................................................................................13
2. Jenia Penahanan .....................................................................................................15
3. Lamanya Penahanan ...............................................................................................16
4. Penangguhan Penahanan ........................................................................................18
5. Pelaksanaan Penangguhan Penahanan Dengan Jaminan Orang dan atau Jaminan
Uang .......................................................................................................................20
D. Contoh Kasus ...................................................................................................................... 21
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 19

A. Kesimpulan .......................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Upaya paksa merupakan suatu tindakan yang bersifat memaksa yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum pidana atas kebebasan seseorang atau kebebasan memiliki
serta menguasai suatu batangang atau kebebasan pribadinya untuk tidak memperoleh
gangguan dari tidak ada. Upaya paksa adalah bagian dari penyidik yang dilakukan oleh
para penyidik. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHAP, dikatakan bahwa "Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya." Kepentingan pemeriksaan
tindak pidana bisa terlaksana dengan baik karena undang-undang memberi kewenangan
kepada penyidik dan melakukan umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa
penangkapan, pengasingan, penyataan, dan sebagainya. Takan melakukan upaya paksa
yang dikenakan instansi penegak hukum adalah pengurangan bertindak kemerdekaan
serta hak asasi tersangka. Tindakan ini harus dilakukan secara bertanggung jawab
mengikuti ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum yang
demokratis, berdasarkan pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan atas kekuasaan
semata-mata. Maka dari itu. Indonesia membutuhkan yang namanya sebuah hukum yang
hidup atau yang berjalan, dengan hukum itu diharapkan akan terbentuk suasana yang
tentram dan teratur bagi kehidupan masyarakan Indonesia. Tak lepas dari itu, hukum
tersebut juga butuh ditegakkan, demi membela dan melindungi hak-hak setiap Hukum
Acara Pidana merupakan keseluruhan aturan hukum yang mengatur warga Negara.
Bagaimana negara dengan menggunakan alat-alatnya dapat mewujudkan
wewenangnya untuk memidana atau membebaskan pelaku tindak pidana. Didalam
KUHAP disamping mengatur ketentuan tentang cara proses pidana juga mengatur
tentang hak dan kewajiban seseorang yang terlibat proses pidana. Proses pidana yang
dimaksud adalah tahap pemeriksaan tersangka (interogasi) pada tingkat penyidikan.
Pemaparan diatas sangat menarik dan melatar belakanngi penulis untuk membahas

3
mengenai penangkapan yang dilakukan oleh petugas terhadap tersangka pelaku tindak
pidana.

B. RUMUSAN MASALAH
Dari penjabaran belakang masalah diatas, kami menemukan beberapa Pokok
permasalahan yang akan kami kaji lebih lanjut dalam pada makalah ini yaitu:
1. Apa alasan penangkapan dan terpencil dalam suatu penyidik suatu perkara
pidana?
2. Bagaimana pelaksanaan upaya paksa penanganan terhadap tersangka menurut
Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana?
3. Bagaimana persyaratan terpencil sebagai upaya paksa menurut Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Dapat mengetahui mengenai apa saja upaya paksa dalam pelaksanaan Hukum
Acara Pindana.
2. Dapat mengetahui tentang Penangkapan dan Penahanan.
3. Dapat mengetahui tentang proses penangkapan dan penahanan serta mengapa
penangkapan dan penahanan dilakukan.
4. Mengetahui siapa yang berhak melakukan penangkapan dan penahanan.
5. Mengetahui jenis penahanan, lamanya penahanan, dan penangguhan
penahanan.

4
BAB 2 PEMBAHASAN

UPAYA PAKSA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN

A. UPAYA PAKSA

Dalam Hukum Acara Pidana dikenal sebuah konsep yang disebut sebagai upaya
paksa. Upaya paksa adalah segala bentuk tindakan yang dapat dipaksakan oleh aparat
penegak hukum pidana terhadap kebebasan bergerak seseorang atau untuk memiliki dan
menguasai suatu barang, atau terhadap kemerdekaan pribadinya untuk tidak mendapat
gangguan terhadap siapapun.[1] Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) ada beberapa jenis upaya paksa,
yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Dalam
tulisan ini, upaya paksa yang akan dibahas adalah penangkapan. Berdasarkan Pasal 1 angka
20 KUHAP dinyatakan bahwa:

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu


kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”

Tujuan dilakukannya penangkapan sudah secara eksplisit dijelaskan pada Pasal 1


angka 20 KUHAP, yaitu untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau
peradilan. Selanjutnya, mengenai syarat penangkapan diatur pada Pasal 17 KUHAP yang
menyatakan bahwa:

“Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan


tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa penangkapan dapat dilakukan


terhadap seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana dan dugaan
tersebut didasarkan 3pada permulaan bukti yang cukup.[2] Berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, frasa “permulaan bukti yang cukup”
harus ditafsirkan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang termuat dalam Pasal 184
KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Berdasarkan Pasal 184 ayat
(1) KUHAP dinyatakan bahwa:

“alat bukti yang sah ialah:

1. keterangan saksi;
2. keterangan ahli;
3. surat;
4. petunjuk;
5. keterangan terdakwa.”

5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “permulaan bukti yang
cukup” pada Pasal 17 KUHAP adalah minimal 2 (dua) alat bukti pada Pasal 184 ayat (1)
KUHAP yang telah dijabarkan di atas dan dengan adanya pemeriksaan calon tersangka.
Selanjutnya, penjelasan Pasal 17 KUHAP menyatakan bahwa perintah penangkapan tidak
dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-
betul melakukan tindak pidana. Berdasarkan Pasal 16 KUHAP, pihak yang berwenang
untuk melakukan penangkapan adalah penyelidik atas perintah penyidik, penyidik, dan
penyidik pembantu.

Selain itu, penangkapan memliki batas waktu yang diatur oleh Pasal 19 ayat (1)
KUHAP. Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa penangkapan dapat
dilakukan paling lama 1 (satu) hari. Jika penangkapan dilakukan lewat dari 1 (satu) hari,
maka telah terjadi pelanggaran hukum yang menyebabkan tersangka harus dibebaskan demi
hukum.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penangkapan bertujuan


untuk kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan. Penangkapan harus
dilakukan berdasarkan Pasal 17 KUHAP, yaitu dilakukan terhadap seorang tersangka yang
diduga keras melakukan tindak pidana dan dugaan tersebut didasarkan pada permulaan
bukti yang cukup. Penangkapan juga tidak boleh dilakukan lebih dari satu hari.

B. PENANGKAPAN

1. Penegrtian Penangkapan

Sering dikacaukan pengertian penangkapan dan penahanan. Penangkapan sejajar


dengan arrest (Inggris), sedangkan penahanan sejajar dengan detention (Inggris). Jangka
waktu penangkapan tidak lama. Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan (yang dapat
dilakukan setiap orang) hanya berlangsung antara ditangkapnya tersangka sampai ke pos
polisi terdekat. Sesudah sampai di kantor polisi atau penyidik, maka polisi atau penyidik
dapat menahan jika delik yang dilakukan ditentukan tersangkanya
dapat ditahan.
Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi "penangkapan" sebagai berikut:
"Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara
waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan/ atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang- undang ini".

6
Jika definisi ini dibandingkan dengan bunyi Pasal 16 yang mengatur tentang
penangkapan, maka nyata tidak cocok. Pasal 16 mengatakan sebagai berikut:
a. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik
berwenang melakukan penangkapan
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu
berwenang melakukan penangkapan.
Adapun yang berwenang melakukan penangkapan itu adalah:
a. Penyidik
b. Penyidik Pembantu, dan
c. Penyelidik atas perintah Penyidik.

Menurut Pasal 11KUHAP, yang dimaksud dengan atas perintah Penyidik,


termasuk juga perintah Penyidik Pembantu. Pelimpahan wewenang untuk melakukan
penangkapan kepada penyidik pembantu hanya diberikan apabila perintah dari penyidik
tidak dimungkinkan, berhubung karena sesuatu hal atau dalam keadaan yang sangat
diperlukan. Atau dalam hal terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau
tempat yang belum ada petugas penyidik. Dan dalam hal lain yang dapat di- terima
menurut kewajaran.
Perintah penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap se- seorang yang diduga
keras telah melakukan tindak pidana ber- dasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17
KUHAP). Bukti permulaan berarti bukti-bukti awal sebagai dasar untuk menduga adanya
tindak pidana. Perintah penangkapan tidak dapat dilaku- kan secara sewenang-wenang,
agar tidak terjadi pelanggaran hak- hak asasi manusia dan tuntutan terhadap petugas yang
telah salah dalam melaksanakan tugasnya oleh orang-orang yang menderita akibat
kesalahan itu. Oleh karena itu perintah penangkapan harus betul-betul ditujukan kepada
orang yang melakukan tindak pidana.

2. Bukti Permulaan

Tentang bukti permulaan yang cukup sebagai alasan untuk melakukan


penangkapan atau penahanan masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak

7
hukum. Oleh karena itu di bawah ini dikemukakan beberapa pendapat mengenai "bukti
permulaan" itu, sebagai berikut:
a. Menurut Kapolri
Kapolri dalam surat keputusannya No. Pol. SKEEP/04/1/1982. tangga; 18
Februari 1982 menentukan, bahwa bukti permulaan yang cukup itu, adalah
bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di
antara:
1) Laporan Polisi
2) Berita Acara Pemeriksaan di TKP
3) Laporan Hasil Penyelidikan
4) Keterangan Saksi/Saksi Ahli; dan
5) Barang Bukti
Yang setelah disimpulkan menunjukkan telah terjadi tindak pidana
kejahatan (Din Muhamad, S.H. 1987:12).

b. Menurut drs. P.A.F. Lamintang, S.H.


Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. dalam bukunya Kitab Undang- Undang Hukum
Acara Pidana, mengatakan bahwa "bukti permulaan yang cukup" dalam
rumusan pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai "bukti-bukti minimal",
berupa alat-alat bukti seperti dimaksud dalam Pasal 184 (1) KUHAP, yang
dapat menjamin bahwa Penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk meng-
hentikan penyidikannya terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak
pidana setelah terhadap orang tersebut dilakukan penangkapan (Drs. P.A.F.
Lamintang, S.H. 1984:117)
c. Menurut Rapat Kerja MAKEHJAPOL Rapat Kerja Mahkamah Agung
Kehakiman Kejaksaan Polisi atau MAKEHJAPOL I, tanggal 21 Maret 1984
menyimpulkan, bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal:
Laporan Polisi ditambah salah satu alat bukti lainnya (Din Muha- mad, S.H.
1987:12).

8
d. Menurut Pengadilan Negeri Sidikalang Pengadilan Negeri Sidikalang-
Sumatera Utara, melalui penetap- annya No. 4/Pred-Sdk/1982, tanggal 14
Desember 1982 menen- tukan sebagai berikut:
1) Bahwa Penyidik berwenang untuk melakukan penangkapandan penahanan
Pasal 17 dan 21 (1) KUHAP, yaitu penangkapan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup dan penahanan berdasarkan bukti yang cukup dan
tentu saja bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup tersebut ada
terlebih dahulu sebelum diadakannya penangkapan dan penahanan;

2) Bahwa bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dikemukakan di
atas kiranya tidak merupakan dan tidak termasuk salah satu alat bukti yang
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP, dan menurut Pengadilan Negeri hal
tersebut sebagai bukti lebih merupakan informasi untuk mengusut dari
pada sebagai alat bukti yang memberikan dugaan keras, bahwa pemohon
telah melakukan tindak pidana perkosaan dan pembunuhan Rbp;

3) Penangkapan dan penahanan atas diri pemohon adalah tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang. Dari penetapan pengadilan negeri Sidikalang
ini dapat di- simpulkan, bahwa "Bukti Permulaan yang Cukup" itu
haruslah mengenai alat-alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 (1)
KUHAP, bukan yang lain-lainnya, seperti: Laporan Polisi, dan lain-lain.

3. Melaksanakan Penangkapan
a. Pada waktu melaksanakan penangkapan, petugas wajib
1) Menyerahkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka, yang memuat
identitas tersangka (nama lengkap, umur, pe- kerjaan, agama), alasan
penangkapan yang dilakukan atas diri tersangka dan uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan, serta tempat tersangka diperiksa.
2) Menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarga
tersangka.

9
4. Proses dan Syarat Penangkapan
Untuk mencegah terjadinya tindakan secara sewenang-wenang terhadap tersangka
atau terdakwa, maka pelaksanaan penangkapan harus dilakukan sesuai dengan
persyaratan ketentuan yang diatur KUHAP, yaitu sebagai berikut:
a. Tindakan penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyidikan
penuntutan/peradilan (pasal 1 butir 20)
b. Perintah penangkapan terhadap tersangka yang diduga keras melakukan
tindak pidana, baru dilakukan apabila penyidik telah memiliki alat bukti
permulaan yang cukup; (pasal 1 butir 20 JO 17 KUHAP)
c. Pelaksanaan penangkapan dilakukan dengan surat perintah penangkapan
(model serse: A-5) yang ditanda tangani oleh kepala kesatuan/Instansi
(KAPOLWIL, KAPOLRES atau KAPOLSEK) selaku penyidik [pasal 1 butir
60 JO 16 ayat (2): Apabila yang melaksanakan penangkapan adalah
penyidik/penyidik membantu, maka petugasnya cukup memberikan satu
lembar kepada tersangka dan satu lembar kepada keluarga yang disangka
ditangkap (pasal 18)
d. Surat perintah penangkapan berisi:
1. Pertimbangan dan dasar hukum tindakan penangkapan
2. Nama-nam petugas, pangkat. Nrp. jabatan
3. Identitas penangkapan yang tidak ditangkap (ditulis secara jelas atau
lengkap
4. Uraian singkat tentang tindak pidana yang dipersangkakan
5. Tempat atau kantor dimana tersangka akan diperiksa (pasal 18 ayat 1)
6. Jangka waktu berlakunya Surat Perintah penangkapan.
7. Selain untuk kepentingan penyidikan. Penyidik atau Penyedik pembantu
berwenang melakukan tindakan penangkapan terhadap tersangka atau
terdakwa atas permintaan PU untuk kepentingan penuntutan, atau atas
permintaan Hakim untuk kepentingan peradilan atau atas permintaan
instansi atau penyidik lain atau Interpol (pasal 7 ayat 1 huruf j Jo pasal 1
butir 20 KUHAP)

10
8. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran, meskipun tidak dapat ditangkap
akan tetapi apabila sudah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut
tidak mau memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah, dapat ditanggap
oleh Penyidik (pasal 19 ayat 2 KUHAP)

5. Mengapa penangkapan dilakukan

Penangkapan dilakukan antara lain guna mendapatkan waktu yang cukup


untuk mendapatkan informasi yang akurat. Seseorang ditangkap apabila diduga
keras melakukan tindak pidana dan ada dugaan kuat yang didasarkan pada
permulaan bukti yang cukup. Hal ini menunjukkan perintah penangkapan tidak
tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang. Ketentuan mengenai
penangkapan dalam. KUHAP amat berbeda dengan ketentuan dalam HIR, dahulu
penangkapan dilakukan tanpa adanya bukti sehingga tidak terdapat kepastian
hukum.

6. Siapa yang berhak melakukan penangkapan


Petugas yang berwenang melakukan penangkapan adalah Polisi Republik
Indonesia (Polri) sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHAP. Jaksa penuntut
umum tidak berwenang melakukan penangkapan kecuali dalam kedudukannya
sebagai penyidik. Petugas keamanan seperti satpam atau hansip juga tidak
berwenang melakukan penangkapan, kecuali dalam hal tertangkap tangan, sebab
dalam kasus tertangkap tangan setiap orang berhak melakukan penangkapan.
Pelaksanaan penangkapan menurut Drs.DPM Sitompul, SH dapat dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
1) Penangkapan Tanpa Surat Perintah Pada dasamya setiap orang dapat
melakukan penangkapan dengan syarat dalam keadaan tertangkap
tangan.Tertangkap tangan menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah
tertangkapnya seseorang saat sedang melakukan tindak pidana dengan
segera setelah dilakukannya tindak pidana sesaat setelah masyarakat
meneriaki pelaku tindak pidana dan setelah ditemukan benda yang diduga.

11
keras digunakan untuk melakukan tindak pidana, dimana benda tersebut
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau
melakukan tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan penangkapan tanpa
surat perintah, polisi harus memperhatikan hal-hal ketentuan dalam Pasal
111. Pasal 18 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) KUHAP.
2) Penangkapan Dengan Surat Perintah Syarat penangkapan dengan surat
perintah adalah sebagaimana syarat penangkapan pada umumnya yang
dinilai sah apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan peraturan
perundang-undangan sebagai berikut:
a) Petugas yang diperintahkan melakukan penangkapan harus
membawa surat perintah penangkapan. Surat perintah
penangkapan merupakan syarat formal yang bersifat imperatif. Hal
ini demi kepastian hukum dan menghindari penyalahgunaan
jabatan serta menjaga ketertiban masyarakat.
b) Surat perintah penangkapan harus diperlihatkan kepada orang yang
disangka melakukan tindak pidana. Surat tersebut berisi :
i) Identitas tersangka, seperti nama, umur, dan tempat tinggal.
Apabila identitas dalam surat tersebut tidak sesuai, maka
yang bersangkutan berhak menolak sebab surat perintah
tersebut dinilai tidak berlaku.
ii) Alasan penangkapan, misalnya untuk pemeriksaan atas
kasus pencurian dan lain sebagainya.
iii) Uraian singkat perkara kejahatan yang disangkakan
terhadap tersangka, misalnya disangka melakukan
kejahatan pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362
KUHP.
iv) Tempat pemeriksaan dilakukan

Salinan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarga


tersangka segera setelah penangkapan dilakukan, pemberitahuan tidak dapat
diberikan secara lisan. Apabila salinan surat perintah penangkapan tidak diberikan

12
kepada pihak keluarga. mereka dapat mengajukan pemeriksaan Praperadilan
tentang ketidakabsahan penangkapan sekaligus dapat menuntut ganti kerugian.

Selain surat perintah penangkapan, aparat yang bersangkutan harus


dilengkapi dengan surat perintah tugas yang ditandatangani oleh kepala polisi atau
pejabat yang ditunjuk selaku penyidik. Isi surat perintah tugas antara lain,
pertimbangan dan dasar penangkapan; nama, pangkat, nrp, jabatan dan kesatuan
tugas; tugas yang harus dilakukan; batas waktu berlakunya perintah tugas serta
keharusan untuk membuat laporan hasil penangkapan bagi aparat yang diberi
surat perintah tugas”.

Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seorang yang diduga keras


melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 17 KUHAP. Mengenai bukti permulaan yang cukup,
KUHAP tidak mengaturnya, melainkan diserahkan kepada penyidik untuk
menentukannya. Menurut Kapolri dalam SKEP/04/1/1982 tanggal 18 Februari
1982.

C. PENAHANAN
1. Pengertian Penahanan

Menurut pasal 1 butir 21 KUHAP penahan adalah penempatan tersangka atau


terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari
rumusan pasal tersebut maka jelas kiranya. bahwa penahanan dapat dilakukan oleh
penyidik, penuntut umum maupun hakim dengan penetapannya kepada tersangka atau
terdakwa

Tidak ada perdebatan terkait penggunaan istilah. Karena di dalam pasal 21ayat (1)
ditegaskan, bahwa penahanan dapat dilakukan berdasarkan bukti yang cukup. Selain bukti
yang cukup terdapat syarat syarat lain untuk dapat dilakukannya penahanan, syarat syarat
tersebut antara lain dengan syarat subjektif dan syarat objektif.

13
1. Syarat Subjektif Penahanan
Menurut terminologi bahasa.subjektif artinya adalah menurut pendapat sendiri,
atau menurut masing masing pribadi. Salah satu syarat penahanan adalah adanya
syarat subjektif. Yaitu syarat yang hanya pihak yang melakukan penahanan yang bias
memahami. Syarat ini tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, “Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup.dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana”
Di dalam rumusan tersebut tercantum adanya kekhawatiran”. Yakni mengenai
kekhawatiran hanya pihak yang khawatir saja yang bisa memahami, tidak dapat
terukur dan tidak dapat dibuktikan, oleh karena itu disebut dengan alasan subjektif.
Ketika penyidik penuntut umum dan atau hakim tidak memiliki rasa khawatir bahwa
tersangka atau terdakwa akan melarikan diri. Merusak atau menghilangkan barang
bukti serta mengulangi tindak pidana, maka syarat subjektif tidak terpenuhi. Akan
tetapi walaupun syarat subjektif terpenuhi, masih dibutuhkan satu syarat lagi agar
penahanan dapat dilakukan, yaitu syarat objektif”.
2. Syarat Objektif Penahanan
Objektif memiliki makna berkenaan dengan keadaan sebenarnya tanpa
dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi. Syarat ini menjadi syarat berikutnya
dalam menentukan penahanan. Pasal 21ayat (4) masyarakat.
Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka Atau terdakwa
yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam
tindak pidana tersebut dalam Hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3). Pasal 296,
Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal
378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan
Pasal 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26
Rechtordonantic (Pelanggaran terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir

14
diubah dengan staatblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1. Pasal 2 dan Pasal 4
Undang Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 drt.
Tahun 1955 Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal
41. Pasal 42. Pasal 43. Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang nomor 9 Tahun
1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3086).

Ketentuan tersebut dinamakan syarat objektif karena terukur dan dapat dibuktikan
tidak atas penilaian pribadi masing-masing pihak Ukurannya jelas yaitu untuk tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih dan untuk tindak pidana
walaupun tidak diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih akan tetapi mengganggu dan
membahayakan ketertiban umum dapat dikenai upaya paksa penahanan.

2. Jenis Penahanan
Terdapat tiga macam jenis penahanan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 22
ayat (1) KUHAP, yaitu:
a. Penahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Selama belum ada rumah
tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan rumah. Tahanan
negara dapat dilakukan:
a) Di kantor kepolisian negara:
b) Di kantor kejaksaan negeri;
c) Di lembaga pemasyarakatan;
d) Di rumah sakit. (penjelasan Pasal 22 ayat (1) KUHAP)
e) Di tempat lain dalam keadaan yang memaksa, misalnya
f) Tersangka atau terdakwa pecandu narkotika, sejauh
g) Mungkin ditahan di tempat tertentu yang sekaligus
h) Merupakan tempat perawatan (penjelasan Pasal 21
KUHAP).
b. Penahanan Rumah
a) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal Atau
rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan Mengadakan
Pengawasan terhadapnya untuk Menghindarkan segala sesuatu

15
yang dapat menimbulkan Kesulitan dalam penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di Sidang pengadilan (Pasal 22 ayat (2) KUHAP)
b) Oleh karena itu tahanan rumah juga merupakan jenis penahanan,
maka tersangka bila akan ke luar rumah harus dengan ijin
penyidik, penuntut umum atau hakim yang memberi perintah
penahanan
c) Karena masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari Pidana yang
dijatuhkan, maka penahanan rumah tersebut Juga dikurangkan
yang besarnya adalah sepertiga dari Jumlah lamanya waktu
penahanan (Pasal 22 ayat (4) (5) KUHAP).
d) Di samping itu, apabila masih diperlukan maka penahanan Rumah
tersebut juga diperlukan ijin perpanjangan Penahanan.

c. Penahanan Kota
Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau Tempat
kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau
terdakwa melaporkan diri pada waktu yang ditentukan (Pasal 22 ayat (3)
KUHAP).
Demikian juga karena tahanan kota merupakan jenis Penahanan, maka
tersangka bila akan keluar kota harus seijin Pejabat yang menahan.

Karena masa penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana Yang


dijatuhkan, maka masa penahanan kota tersebut juga Dikurangkan, yang
besarnya adalah seperlima dari jumlah Lamanya waktu penahanan (Pasal 22
ayat (4) (5) KUHAP),

3. Lamanya Penahanan
Lamanya penahanan diatur dalam KUHAP masing-masing di dalam Pasal 24
untuk penyidik. Pasal 25 untuk Penuntut Umum (PU), Pasal 26 untuk hakim

16
Pengadilan Negeri (PN), Pasal 27 untuk hakim Pengadilan Tinggi (PT) dan Pasal 28
untuk Hakim Mahkamah Agung (MA).
Dari pasal-pasal KUHAP tersebut di atas dapat diringkas sebagai berikut:
a. Lamanya penahanan oleh:
1) Penyidik maksimum ( 20 hari )
Perpanjangan oleh penuntut umum maksimum ( 40 hari)
2) Penuntut umum maksimum ( 20 hari )
Perpanjangan oleh ketua PN maksimum ( 30 hari )
3) Hakim PN maksimum ( 30 hari )
Perpanjangan oleh ketua, PN maksimum ( 60 hari )
4) Hakim PT maksimum (30 hari )
Perpanjangan oleh ketua. PT maksimum ( 60 hari )
5) Hakim MA maksimum ( 50 hari )
Perpanjangan oleh ketua MA ( 60 hari )

Jangka waktu penahanan baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan


maupun pemeriksaan di pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah
Agung, diatur dalam Pasal 24 KUHAP sampai dengan Pasal 29 KUHAP, dengan
perincian sebagai berikut:

a. Pada tingkat penyidikan diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP,
jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh
penuntut umum paling lama 40 hari.
b. Pada tingkat penuntutan diatur dalam Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP,
jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh
Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari.
c. Pada tingkat Pemeriksaan Pengadilan Negeri diatur dalam Pasal 26 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 30 hari dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 60 hari.
d. Pada tingkat Pemeriksaan Pengadilan Tinggi diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP, jangka waktu penahanan paling lama 30 hari dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi paling lama 60 hari.

17
e. Pada Tingkat Pemeriksaan Pengadilan Kasasi, diatur dalam Pasal 28 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP, di mana jangka waktu penahanan paling lama 50 hari
dan dapat diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung paling lama 60 hari.

4. Penangguhan Penahanan

Penangguhan penahanan didasarkan pada Pasal 31 KUHAP yang berbunyi:

a. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum


atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat mengadakan
penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan
orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
b. Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu
waktu dapat mencabut penangguhan penaharan dalam hal tersangka atau
terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud ayat (1).

Yang dimaksud syarat disini ialah wajib lapor, tidak keluar rumah
atau kota. Masa penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau
terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.
Berapa jumlah minimum uang jaminan, tidak ditentukan dalam
undang-undang, hal tersebut terserah pada kebijaksanaan penyidik,
penuntut umum atau hakim yang berwenang dalam tingkat pemeriksaan,
yang disesuaikan dengan kemampuan penjamin serta Berat ringannya
kejahatan.
Di samping besar kecilnya uang jaminan penangguhan Penahanan
hendaknya difikirkan secara bijaksana oleh pejabat yang hendak
melakukan penangguhan penahanan, pantas tidaknya seorang terdakwa
ditangguhkan penahanannya jika dilihat dari sudut keadilan, dan kepatutan
masyarakat luas.
Jadi perlu dibatasi (R. Soesilo. 1977: 41) hanya pada hal-hal yang
sungguh-sungguh perlu dan dalam hal-hal tertentu serta jangan merupakan
sesuatu kebiasaan. Namun sebaliknya para penegak hukum juga jangan

18
sampai menutup sama sekali kesempatan baik ini yang Diberikan oleh
undang-undang kepada tersangka atau terdakwa.
Pasal 1 butir 21 UU RI nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana yang selanjutnya disebut KUHAP menyebutkan bahwa :
“Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu
oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Selanjutnya dalam pasal 22 ayat 1 KUHAP, penahanan tersebut
dibedakan 3 jenis penahanan yang didasarkan pada tempat dan cara
pelaksanaan penahanan itu, yaitu :
1) Apabila penahanan itu dilaksanakan di rumah tahanan Negara
maka jenis penahanannya disebut penahanan rumah Tahanan
Negara.
2) Penahanan rumah, penahanan rumah dilaksanakan di rumah
tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa
dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk
menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan
kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di
sidang pengadilan (pasal 22 ayat 2).
3) Penahanan kota, penahanan kota dilaksanakan di kota tempat
tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa dengan
kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada
waktu yang ditentukan (pasal 22 ayat 3).

Selanjutnya menurut pasal 31 ayat 1 KUHAP, penahanan ini dapat


ditangguhkan yaitu atas permintaan tersangka atau terdakwa , penyidik
atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-
masing dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa
jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan.

Dalam penjelasan pasal 31 KUHAP disebutkan bahwa yang


dimaksud dengan syarat yang ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar

19
rumah atau kota. Pada umumnya tersangka atau terdakwa banyak yang
mengajukan permohonan penangguhan penahanan pada aparat hukum
yang berwenang memberikan penangguhan penahanan ini, tetapi
permohonan ini lebih banyak yang ditolak dari pada yang dikabulkan.
Meskipun para tersangka atau terdakwa tersebut bersedia dan sanggup
memenuhi semua syarat yang diajukan kepada mereka.

Alasan penolakan permohonan penangguhan penahanan


disebabkan oleh adanya anggapan dari aparat hukum yang berwenang
tersebut bahwa seorang tersangka atau pelaku tindak pidana harus ditahan
karena adanya kekhawatiran tersangka atau pelaku tindak pidana akan
melarikan diri ataupun akan menghilangkan barang bukti. Atas alasan
inilah pada umumnya permohonan penangguhan penahanan ditolak oleh
aparat hukum yang memiliki kewenangan.

Demikian pula sebaliknya pemberian penangguhan penahanan oleh


aparat hukum yang berwenang, dimungkinkan sewaktu-waktu dapat
dicabut kembali, sepanjang tersangka atau terdakwa mengkhawatirkan
melarikan diri atau melanggar syarat-syarat yang sudah ditetapkan atau
ditentukan.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka perlu


dikaji studi penelitian tentang Tinjauan KUHAP tentang penangguhan
penahanan. Tujuan penelitian ini adalah untuk meninjau pelaksanaan
penangguhan penahanan menurut KUHAP.

5. Pelaksanaan Penangguhan Penahanan Dengan Jaminan Orang dan atau


Jaminan Uang

Pelaksanaan jaminan penangguhan penahanan dengan jaminan uang


disebutkan dalam pasal 35 ayat (1) dan (2) penjelasan peraturan pemerintah nomor 27
tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang disebutkan sebagai berikut :

20
a. Uang jaminan penangguhan penahanan yang ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, disimpan di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri.
b. Apabila tersangka atau terdakwa melarikan diridan setelah lewat waktu 3
(tiga) bulan tidak diketemukan, uang jaminan tersebut menjadi milik negara
dan disetor ke kas negara.

Uang jaminan ini disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan pejabat


yang memberikan penangguhan penahanan tidak berwenang umtuk menyimpan
uang jaminan ini, sekalipun yang memberikan penangguhan penahanan seorang
penyidik, penuntut umum atau hakim Pengadilan Negeri, atau Hakim Pengadilan
Tinggi atau Hakim Mahkamah Agung.

Penyetoran uang jaminan dilakukan oleh pemohon atau melalui penasehat


hukumnya atau keluarganya. Penyetoran dilakukan berdasarkan formulir
penyetoran yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Uang jaminan
tersebut baru dapat kembali kepada pemohon setelah perjanjian penangguhan
penahanan berakhir.

Dalam hal pemohon melanggar syarat-syarat yang ditentukan dalam


perjanjian pelaksanaan penangguhan penahanan berupa tindakan melarikan diri,
maka uang jaminan yang dititipkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dengan
sendirinya berubah menjadi milik negara dan di setor ke kas negara oleh panitera
yang bersangkutan.

D. CONTOH KASUS

21

Anda mungkin juga menyukai