Anda di halaman 1dari 21

PRAPERADILAN, GANTI KERUGIAN DAN REHABILITAS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah :
HUKUM ACARA PIDANA
Dosen Pengampu :
Abdul Aziz, S.H.I.,S.H.,M.H.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Muhamad Aldin Hanafi Asy’arie 11200490000045
Alvina Damayanti 11200490000048
Nazhif Haqqi Baidhowi 11200490000073

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022 M / 1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul ” Praperadilan, Ganti kerugian
dan Rehabilitas” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen pada
mata kuliah Hukum Acara Pidana. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang beretika dalam membuat makalah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Abdul Aziz, S.H.I.,S.H.,M.H. selaku
Dosen mata kuliah Hukum Acara Pidana sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya untuk membantu kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Kami
menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 14 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1
C. Tujuan .................................................................................................................................. 1
BAB II ............................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 2
A. Praperadilan ......................................................................................................................... 2
1.Acara Praperadilan ............................................................................................................... 3
2. Kasus-kasus Praperadilan dalam Praktik ............................................................................. 4
B. Ganti Kerugian ..................................................................................................................... 6
1.Macam-Macam Ganti Kerugian ........................................................................................... 8
2.Jangka Waktu / Kadaluarsa Permintaan Ganti Rugi .......................................................... 12
3. Pengaturan Tentang Jumlah Pembayaran Ganti Kerugian Pengaturan imbalan kerugian 12
C. Rehabilitas ............................................................................................................................ 13
1.Jenis-jenis Rehabilitasi ....................................................................................................... 14
2.Rehabilitasi untuk Terdakwa .............................................................................................. 15
3.Rehabilitasi untuk Tersangka ............................................................................................. 15
4.Prosedur Permohonan Rehabilitasi bagi Tersangka ........................................................... 16
BAB III......................................................................................................................................... 17
PENUTUP.................................................................................................................................... 17
A. Simpulan ............................................................................................................................ 17
B. Saran .................................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum merupakan suatu instrumen perwujudan rasa keadilan di dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, Hukum selalu mengalami perubahan dan
perkembangan mengikuti keadaan dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu.
Apabila hukum tidak mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat, maka hukum
bisa dianggap mengkhianati hati nurani masyarakat dan dapat menciptakan keadilan
yang buta. Maksud dari keadilan buta disini adalah bahwa hukum tersebut akan dapat
menjadi sarana bagi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dengan
menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya. Penyalahgunaan jabatan oleh seorang
aparat penegak hukum termasuk juga kedalam suatu tindakan penyalahgunaan hukum.
Penyalahgunaan hukum dapat dianggap terjadi, apabila seseorang menggunakan
haknya dengan cara yang bertentangan dengan tujuan untuk mana hak itu diberikan,
dengan perkataan lain bertentangan dengan tujuan kemasyarakatannya.
Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan hal yang sudah lama dikenal dalam dunia
hukum, baik Hukum Perdata maupun Hukum Pidana. Dalam Hukum Pidana, istilah
Ganti Kerugian tidak ditemui pada Hukum Pidana Materiil. Ganti Kerugian merupakan
materi yang terdapat dalam Hukum Pidana Formil, yakni pada pasal 95 sampai pada
pasal 101 KUHAP. Ganti kerugian merupakan pembayaran sejumlah uang sebagai
kompensasi terhadap tersangka, terdakwa, ataupun terpidana karena ditangkap,
ditahan, dituntut, diadili, atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan. Sedangkan Rehabilitasi merupakan pemulihan hak seseorang dalam
kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh pengadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Praperadilan ?
2. Apa yang dimaksud dengan Ganti Kerugian ?
3. Apa yang Dimaksud dengan Rehabilitas ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Praperadilan.
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ganti Kerugian.
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Rehabilitas.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Praperadilan
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia yang diperkenalkan Kitab
Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kehidupan penegakan hukum.
Praperadilan di tempatkan dalam Bab X bagian ke satu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup
wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Secara harfiah pengertian praperadilan dalam
KUHAP memiliki arti yang berbeda, Pra memilik arti “mendahului” dan “praperadilan” sama
dengan pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang di pengadilan. Istilah praperadilan juga diambil
dari kata “pre trial”, walaupun fungsi dan tujuan pretrial adalah meneliti apakah ada dasar hukum
yang cukup untuk mengajukan penuntutan mengenai suatu perkara tuduhan pidana di hadapan
pengadilan yang berbeda dengan maksud praperadilan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi
tersangka terhadap pelanggaran syarat formil maupun materiil yang dilakukan dalam tingkat
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam pasal-pasal mengenai penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, hak-hak tersangka/terdakwa dan
mengenai bantuan hukum. Menurut pasal 1 butir 10 KUHAP, Praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini tentang :
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
tersangka/ penyidik/ penuntut umum demi tegaknya hukumdan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasanya, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Praperadilan merupakan tiruan dari Rechter Commisaris di Negeri Belanda. Lembaga
Rechter Commisaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan), muncul sebagai wujud
dari peran serta keaktifan Hakim, yang di Eropa Tengah memberikan peranan ”Rechter
Commisaris” suatu posisi yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang
middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, pemeriksaan surat-surat.
Tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah untuk kepentingan pengawasan yang
lebih menunjukkan pada perlindungan dan jaminan hukum terhadap hak asasi manusia, yang mana
lembaga ini tujuannya untuk mengawasi hak asasi manusia dan tersangka dalam pemeriksaan
pendahuluan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan yang kadang tidak sesuai dengan harkat
dan martabat manusia atau dengan kata lain melindungi hak asasi manusia dari tindakan sewenang-
wenang alat negara penegak hukum.1

1
Andi Muhammad Sofyan dan Abd. Azis, Op., Cit, hlm. 183.

2
1.Acara Praperadilan
Hukum acara praperadilan sampai saat ini belum terdapat pengaturan secara khususnya, oleh
karena itu belum ada keseragaman tentang acara praperadilan.Yang diperiksa dalam sidang
praperadilan hanyalah masalah formil dari suatu tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum.
1. Penyidik/Penuntut Umum dapat memperadilankan dirinya sendiri untuk meminta
penetapan, tentang sah atau tidaknya penghentian penyidikan/penuntut,
penangkapan/penahanan.
2. Penyidik dapat mem-Praperadilankan Penuntut Umum, atau Penuntut Umum dapat mem-
Praperadilankan Penyidik tersebut tentang sah atau tidaknya tindakan yang dilakukannya.
Adapun acara pemeriksaan sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) KUHAP, sebagai berikut :
a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan
hari sidang;
b. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan,
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk
alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun
dan pejabat yang berwenang;
c. Pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh hari hakim harus
sudah menjatuhkan putusannya;
d. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan
pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur;
e. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk
mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut
umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru.
Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undangundang ini tentang :
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
2. Ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.

3
Pemeriksaan praperadilan harus dilakukan secara cepat, dalam waktu 7 (tujuh) ghari harus
sudah diputuskan.Hal ini membedakan dengan perkara biasa yang tidak ditentukan batas waktu
penyelesaiannya.2
2. Kasus-kasus Praperadilan dalam Praktik
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 24 Desember 1982 Nomor 07/1982/Pra.
Per.
Kasus Posisi
Pemohon Ny. R.R. Pandelaki dan Ny. J.A. Pandelaki memohon praperadilan bahwa penahanan
atas suami-suami mereka yang dilakukan oleh KOSEK METRO 702-01 Koja tidak sah. Alasan
yang dikemukakan oleh pemohon yang terpenting ialah sebagai berikut.
a. Pemanggilan tidak sah.
b. Tidak benar alasan termohon, bahwa R.R. Pandelaki dan J.A. Pandelaki ditahan karena
dikhawatirkan akan melarikan diri atau setidak-tidaknya akan mempersulit pemeriksaan, karena:
1) tempat tinggal tetap dan diketahui oleh termohon;
2) pekerjaan tetap;
3) keluarga (anak-anak dan istri dan sebagai kepala rumah tangga);
4) rasa patuh dan taat untuk selalu memenuhi panggilan termohon.
c. Tidak benar tembusan surat perintah penahanan telah diterima-kan kepada keluarganya.
Putusan Pengadilan
Hakim menyatakan bala surat perintah penahanan tidak sah karena telah mengabaikan dan
melanggar Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan Pasal 112 ayat (2) KUHAP. Jadi, mengabulkan
permohonan pemohon.
Tanggapan Penulis
Sebenarnya ketiga butir alasan yang diajukan pemohon itu tidak langsung berkaitan dengan sahnya
penahanan. Sebagaimana telah dikemukakan di muka dalam bab Penangkapan dan Penahanan. Ini
yang menyangkut substansi sahnya penahanan. Formalitas penahanan kalau yang penahanan itu
berwenang menahan. Tentang sah tidaknya pemanggilan tidak termasuk wewenang praperadilan
dan tidak berkaitan langsung dengan sahnya penahanan. Penahanan dapat dilakukan melalui:
a. tertangkap tangan;
b. tersangka ditangkap lebih dahulu;

2
S. Wulandari, SH.MHum.MKn, “kajian tentang praperadilan di dalam hukum pidana”, 2015.

4
c. sesudah dipanggil dan menghadap;
d. tersangka menyerahkan diri.
Jadi, penahanan tidak selalu melalui pemanggilan. Dengan demikian, putusan praperadilan ini
keliru karena telah mencampuradukkan sahnya penahanan dan perlunya penahanan
(rechtvaardigheid dan noodzakelijkheid).
Alasan yang dilakukan polisi baru tingkat penyelidikan, belum tingkat penyidikan, bagaimana
mungkin ada penghentian penyidikan yang belum dimulai. Menurut pendapat penulis, alasan
Pengadilan Tinggi ini terlalu harfiah mengartikan "penghentian penyidikan" dengan mesti ada
permulaan penyidikan itu. Kalau demikian halnya, jika penyidikan tidak atau tidak mau memulai
penyidikan tidak dapat diprapera-dilankan? Jadi, bagaimana pencari keadilan jika jelas terjadi
delik, mencuri upaya? Jika menilik maksud praperadilan itu maka mestinya
"penghentian penyidikan" diartikan termasuk tidak atau tidak mau memulai penyidikan.
Putusan Pengadilan Negeri Ujungpandang tanggal 19 Oktober 1982.
Nomor 3/Pts. Prp/1982/PN. UP. dan Putusan Pengadilan Tinggi Ujungpandang tanggal 7 Januari
1983, Nomor 1/1982/PT/Pid. Pr.
Kasasi Posisi
Pemohon memohon agar Fonny Chandra yang disangka menyerobot rumah (memasuki rumah
tanpa izin) yang dihentikan penyidikannya oleh KOSEKTA 05/DAN TABES Ujungpandang
dinyatakan bahwa penghentian penyidikan tersebut tidak sah. Di dalam rumah Jalan Ratulangi
Nomor 200 Ujungpandang tersebut telah berdiam cucu pemohon yang kemudian dipaksa keluar
tersangka Fonny Chandra.
Putusan Hakim
Menerima permohonan pemohon, dan menyatakan bahwa penghentian penyidikan tersebut tidak
sah
Tanggapan Penulis
Suatu penyerobotan rumah yang masih ditempati orang lain yang, dipaksa keluar dari rumah itu,
tetapi tersangka mempunyai gugatan perdata atas status rumah tersebut, menurut pendapat penulis,
memang dapat diterapkan Pasal 167 KUHP, yaitu memasuki rumah tanpa izin. Ini perlu, karena
jangan sampai menjadi hakim sendiri atau eksekutor sendiri. Tanpa atau belum ada putusan hakim
perdata langsung memasuki rumah sengketa yang sementara dihuni orang lain. Jadi, penulis
berpendapat, bahwa putusan hakim praperadilan ini tepat.
Sayang, putusan Pengadilan Tinggi dalam tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan.
Negeri tersebut dengan sahnya (rechna-ardigheid) penahanan tercantum dalam Pasal 21 ayat (4)
KUHAP sedangkan Pasal 21 ayat (1) menyangkut perlunya (noodiake-lijkheid) penahanan.

5
Perlunya penahanan itu bersifat relatif dan subjektif. Siapakah yang menentukan bahwa ada tanda-
tanda tersangka akan melarikan diri atau mengulangi perbuatan atau mempersulit pemeriksaan?
Hal ini relatif dan subjektif, karena sepenultaya tergantung yang menahan. Lain halnya dengan
sahnya penahanan yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (4)KUHAP yang bersifat mutlak dan
objektif. Artinya kalau delik in tidak diancam dengan lima tahun Penjara atau tidak disebut dalam
ayat itu dapat ditahan maka tidak sah kalau tersangka ditahan. Memang pemohon tidak akan
mengajukan hal ini karena delik yang dicantumkan oleh penyidik ialah delik penipuan (Pasal 378
KUHP) yang tersangka sah untuk ditahan.
Pada waktu revisi total tulisan ini disusun, telah disempurnakan perbaikan KUHAP. Yang paling
penting perubahan tersebut Menyangkut praperadilan yang ternyata tidak efektif.
Dalam kasus Syahril Sabirin, Gubernur Bank Indonesia yang ditahan, tersangka
mempraperadilankan Jaksa Agung pada bulan Agustus 2000 dengan alasan penahanan tidak sah
karena dia pernah diajukan sebagai saksi atas perkara yang sama.
Jadi, berdasarkan Pasal 168 KUHAP ia tidak dapat dijadikan tersangka lagi. Hakim praperadilan
menolak atas dasar pasal itu hanya berlaku jika tersangka di sidang bersama-sama.
Jika perkara dipisah, tersangka/terdakwa dapat berganti-ganti menjadi saksi. Putusan ini
menjadikan praperadilan tidak berguna karena hanya menilik perkara secara formal bukan materi
perkara. Jadi, walaupun. dengan bukti permulaan tidak cukup alasan untuk menahan terdakwa,
tetap sah penahanan itu asal pasal yang dicantumkan penyidik atau penuntut umum tersangka dapat
ditahan.
Jadi, hanya melihat pasal yang tercantum, bukan materi perkara, apakah ada cukup alasan berdasar
bukti permulaan, tersangka sungguh-sungguh diduga keras melanggar pasal itu.
Lembaga praperadilan akan diganti menjadi hakim komisaris yang wewenangnya lebih luas.
Wewenang hakim komisaris di samping memutuskan sah tidaknya penahanan, penyidikan, dan
penyitaan, juga melakukan penahanan. Baik hakim komisaris di Belanda maupun di Prancis
mengeluarkan perintah penahanan.3

B. Ganti Kerugian
Seperti kita ketahui bahwa “Ganti kerugian” merupakan suatu lembaga baru dan tidak dikenal
sebelumnya di dalam HIR. Dasar hukum bagi pengadilan untuk memberikan ganti kerugian
tercantuk dalam pasal Pasal 9 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut :

3
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 193

6
1) Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan
Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya,
berhak menuntut ganti rugi.
2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat
di pidana.
3) Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, pembebanan diatur lebih lanjut dengan perundang-
undangan.4
Pengertian ganti kerugian menurut Pasal 1 butir (22) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:
Ganti kerugian merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang
berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya menurut tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Memperhatikan bunyi Pasal 1 butir (22), dapat dilihat beberapa penegasan berkenaan dengan
tuntutan ganti kerugian :
1) Ganti kerugian merupakan hak tersangka atau terdakwa.
2) Hak itu pemenuhan berupa “imbalan sejumlah uang”.
3) Hak atas imbalan sejumlah uang tersebut diberikan kepada tersangka atau terdakwa atas dasar:
a. Karena terhadapnya dilakukan penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan tanpa alasan
berdasarkan undang-undang, atau ;
b. Karena tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang, atau;
c. Karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
Apa yang dijelaskan dalam Pasal 1 butir 22 sama maksud dan tujuan yang diatur dalam Pasal 95
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun perbedaan antara kedua
ketentuan:
Hanya terletak pada tambahan unsur alasan tuntutan ganti kerugian dalam Pasal 95 ayat (1). Kalau
pada Pasal 1 butir 22 alasan hak menuntut ganti kerugian disebutkan karena ditangkap, ditahan,
dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan, pada Pasal 95 ayat (1) ditambah satu unsur alasan lagi karena
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undan-Undang.

4
Djoko Prakoso, surat dakwaan, tuntutan pidana, dan eksaminasi perkara didalam proses pidana, liberty,
yogyakarta, 1988, hlm.96

7
Apabila memperhatikan rumusan pasal-pasal tersebut diatas, maka ganti kerugian itu timbul jika
ada perbuatan yang melanggar hukum atau yang melanggar undang-undang yang berlaku yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum dan menimbulkan kerugian pada orang lain dalam hal ini
tersangka.
Tuntutan ganti kerugian dalam KUHAP ada 2 (dua) jenis, yakni :
1) Ganti kerugian yang ditujukan kepada aparat penegak hukum, yang diatur Bab XII Bagian
kesatu;
2) Ganti kerugian yang ditujukan kepada pihak yang bersalah, yang merupakan penggabungan
perkara pidana dengan perkara gugatan ganti kerugian, yang diatur Bab XIII.
Kedua jenis tuntutan ganti rugi di atas bersumber pada perbuatan “melawan hukum” sebagaimana
diatur oleh Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi
sebagai berikut : “Setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang
lain mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Ganti kerugian yang tercantum pada Bab XII Bagian kesatu (butir 2.1 a di atas), yag dituntut adalah
instansinya buka penjabatnya. Dengan demikian, maka yang dituntut memberi ganti rugi adalah
pemerintah dan yang memberikan ganti rugi pun adalah Menteri Keuangan RI.5
1.Macam-Macam Ganti Kerugian
Istilah ganti kerugian tidak ditemui pada hukum pidana materil. Hal ini muncul pada
hukum pidana formil yakni pada Pasal 95 sampai Pasal 101 KUHAP, didalam Hukum Pidana
terdapat berbagai macam ganti kerugian yaitu:
1. Ganti Kerugian Karena Seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili Tanpa Alasan
yang Berdasarkan Undang-Undang atau Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Salah dalam
Menerapkan Hukum.
Salah satu landasan pokok dari KUHAP ialah jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi
manusia, dengan memperhatikan asas-asas penting seperti asas praduga tak bersalah. Hak asasi
seseorang harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai harkat dan martabatnya, sehingga dengan
demikian penggunaan upaya paksa harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah
ditetapkan. Misalnya untuk dapat menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak
pidana, maka diisyaratkan harus ada bukti permulaan yang cukup.6
Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenangnya
oleh aparat penegak hukum. Dalam hal penahanan, penegak hukum juga harus mempunyai dasar
menurut hukum dan dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang. Dasar menurut hukum
disini maksudnya adalah harus terdapatnya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa
seseorang telah melakukan tindak pidana. Dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang

5
Leden Marpaung, proses penanganan perkara pidana, sinar grafia, jakarta, 1992, hlm.66
6
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 207

8
ialah adanya kekhawatiran bahwa Tersangka/Terdakwa akan melarikan diri, atau
merusak/menghilangkan bukti-bukti, atau akan mengulangi tindak pidana tersebut.7
Pasal 95 KUHAP dikatakan, bahwa alasan bagi Tersangka/Terdakwa atau terpidana untuk
menuntut ganti kerugian, selain dari pada adanya penangkapan, penahanan, penuntutan atau
diadilinya orang tersebut, juga apabila dikenakan tindakan-tindakan lain yang secara tanpa alasan
yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkan. “Tindakan-tindakan lain” maksudnya adalah tindakan-tindakan upaya paksa lainnya,
seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan-penyitaan yang secara melawan hukum dan
menimbulkan kerugian materiil. Dalam pasal inilah kita melihat adanya alasan bagi suatu
permintaan ganti kerugian oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan8
2. Ganti Kerugian kepada Pihak Ketiga atau Korban (Victim of Crime atau Beledigde Partij).
Bentuk ganti kerugian ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII KUHAP mengenai
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP) yang tidak
dimasukkan ke dalam pengertian ganti kerugian.Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian
pihak ketiga dalam perkara pidana maupun perdata juga dikenal di Prancis, yang ternyata pihak
ketiga itu luas artiannya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga bisa muncul
gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran izin usaha, perpajakan,
dan lain-lain.9
Dapatkah diterapkan di Indonesia ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP tersebut?
Apakah juga ada kemungkinan pihak ketiga yang lain selain korban delik yang langsung itu juga
dapat mengajukan gugatan ganti kerugian? Menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, hal tersebut dapat
dilakukan, dengan alasan sebagai berikut.10
1) Pasal 98 KUHAP mengatakan “...menimbulkan kerugian bagi orang lain...” dijelaskan didalam
penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain (termasuk
kerugian pihak korban). Jadi, korban delik bukan satu-satunya “orang lain” itu. Tidak limitatif
pada korban delik saja.
2) Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata diterapkan bagi gugatan ganti kerugian ini
sepanjang KUHAP tidak menentukan lain.
Dan kita mengetahui bahwa gugatan perdata itu mempunyai ruang lingkup yang luas. Jadi, semua
pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan.
Hukum pidana Soviet pun mengenal semacam ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan yang
dinamai perbaikan kerusakan (reparation of damage). Bahkan dicantumkan sebagai hukum pidana
menurut Pasal 32 Criminal Code of RSFSR (Rusia). Pidana perbaikan ini dapat diterapkan sebagai

7
Djoko prakoso., Op Cit. hlm. 98
8
Ibid., hlm. 98-99
9
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm 207
10
Ibid

9
pidana pokok, misalnya kerusakan sebagai akibat perbuatan yang disengaja, terhadap milik
sosialis, dan pidana tambahan, jika kerusakan yang disengaja terhadap milik pribadi warga negara.
Pidana tersebutr dapat diterapkan dalam tiga cara yatu: 11
1) Mewajibkan terpidana memperbaiki kerusakan itu, kalau pengadilan memandang terpidana
dapat melakukannya;
2) Mewajibkan terpidana untuk membayar kerusakan-kerusakan itu, jika kerusakan-kerusakan itu
tidak lebih dari seratus rubel;
3) Mewajibkan terpidana meminta maaf di muka umum kepada korban atau anggota-anggota
kolektif, menurut cara yang ditentukan oleh pengadilan, apabila delik itu ditujukan kepada
martabat atau integritas seseorang atau kepada aturan kehidupan masyarakat sosialis dan tidaka
ada kerusakan materiil yang ditimbulkan oleh delik tersebut.
Apabila terpidana tidak memperbaiki kerusakan itu menurut cara dan dalam batas waktu yang
ditentukan oleh Pengadilan, Pengadilan dapat mengubah pidana itu menjadi kerja paksa, denda,
pemecatan dari tugas khusus atau ditegur dimuka umum.Meskipun dalam peraturan lama (HIR)
tidak diatur tentang penggabungan perkara pidana, tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan
pidana bersyarat seperti diatur di penggabungan perkara yang diatur dalam KUHAP tersebut.
Pasal-pasal di dalam KUHP dimungkinkannya suatu syarat khusus, yaitu misalnya terpidana
dipidana pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian kepada korban, maka tercapai juga
penyelesainan secara perdata, namun perlu diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana
bersyarat yang pada umumnya mengenai perkara-perkara yang tidak berat. Sekarang pun
penyelesaian melalui pidana bersyarat ini masih dapat dilaukan. Dalam hal ini korban delik tidak
perlu mengajukan gugatan khusus.12
3. Ganti Kerugian Kepada Terpidana Setelah Peninjauan Kembali Pasal 266 ayat (2) butir b yang
berbunyi: “Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung
memebatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dengan menjatuhkan putusan
yang berupa:
1) Putusan bebas;
2) Putusan lepas dari segala tuntutan;
3) Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4) Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”
Jelaslah bahwa yang disebutkan pada butir 1 sampai dengan 3 membawa akibat terpidana tidak
dijatuhi hukuman pidana dalam peninjauan kembali itu. yang menjadi masalah ialah bagaimana
caranya menuntut ganti kerugian, yang dalam Bagian Kedua Bab XVIII tentang peninjauan

11
Ibid, hlm.210
12
Ibid, hlm.211

10
kembali itu tidak disebut-sebut, hal ini merupakan kelemahan KUHAP. Sedangkan peraturan yang
lama yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Reglement op de Strafvordering dan juga Ned.Sv.
mengatur tentang hal ganti kerugian di bagian peninjauan kembali (herziening).13
Oemara Seno Adji mengadakan perbandingan antara kedua peraturan tersebut, dimana terdapat
persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Menurut beliau persamaannya adalah sebagai
berikut.14
1) Ganti kerugian kedua pasal itu merupakan bagian ketentuan tentang peninjauan kembali dan
keduanya merupakan pasal terajhir bab tentang peninjauan kembali.
2) Kedua pasal itu menentukan bahwa ganti kerugian diberikan menurut pertimbangan hakim
berdasarkan keadilan.
3) Kedua pasal itu menentukan bahwa pemberian ganti kerugian bersifat imperatif. Sedangkan
ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah bersifat fakultatif.
Perbedaannya adalah didalam Pasal 481 Ned. Sv. Menghubungkan ganti kerugian yang
disebabkan oleh penahanan yang tidak sah yang fakultatif itu, sedangkan R. Sv. Tidak
menyebutkan tentang ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah.
Jadi, terdapat kesenjangan dalam KUHAP mengenai ganti kerugian setelah peninjauan kembali
ini. Apakah masalah ganti kerugian setelah peninjauan kembali dapat dipertautkan dengan
ketentuan tentang ganti kerugian yang diatur didalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP (ganti
kerugian yang disebabkan oleh penangkapan, penahanan, penuntutan, danmengadili yang tidak
sah) terhadap tersangka?
Hal ini masih menjadi masalah yang menunggu pemecahannya dan perlu diuji pula dengan
yurisprudensi yang akan datang KUHAP sama sekali tidak menyebutnya baik dalam perumusan
pasal-pasal 16 maupun dalam penjelasannya.15 Ketentuan tentang ganti kerugian setelah
peninjauan kembali sangat penting dan telah menjadi ketentuan yang universal pula, didalam Pasal
14 ayat (6) International Convenant of Civil Political Rights setelah diterjemahkan berbunyi
sebagai berikut;
“Apabila seseorang telah dipidana dengan putusan akhir karena suatu perbuatan kriminal atau
delik dan apabila akhirnya pidananya dihapus atau diberi pengampunan berdasar ditemuinya fakta
baru atau diperbarui yang menunjukkan dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi kekeliruan
dalam peradilan, orang yang telah dijatuhi pidana sebagai akibat pemidanaan, akan diberi ganti
kerugian menurut undang-undang, kecuali dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak
diketahui itu, seluruhnya atau sebagian atas tanggungan sendiri”

13
Ibid, hlm.212
14
Oemar Seno., Hukum Acara Pidana dalam Propeksi, Erlangga, Jakarta, 1976, hlm 69.
15
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm 213

11
2.Jangka Waktu / Kadaluarsa Permintaan Ganti Rugi
Dalam KUHAP telah dicantumkan tentang hal ini diatur lebih lanjut dalam PP No. 27
Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Penjelasan Pasal 7 dari PP ini berbunyi : pembatasan
jangka waktu pengajuan ganti rugi (bukan pengajuan permohonan pembayaran ganti rugi, vide
tata cara pembayaran dimaksud agar penyelesaian tidak terlalu lama sehingga menjamin kepastian
hukum.
Sedangkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP
dicantumkan tenggang waktu guna menjamin kepastian hukum adalah 3 (tiga) bulan bagi :
1. Tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 95 KUHAP dihitung sejak putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap;
2. Tuntutan ganti rugi berdasarkan Pasal 77 huruf b KUHAP dihitung dari saat pemberitahuan
penetapan praperadilan. Untuk Menghindari kesalah-pahaman, haruslah dibedakan antara tuntutan
ganti rugi tersebut dengan pengajuan permohonan pembayaran ganti rugi berdasarkan SKO (surat
keputusan otorisasi) yang telah diterbitkan Departemen Keuangan RI. 16
3. Pengaturan Tentang Jumlah Pembayaran Ganti Kerugian Pengaturan imbalan
kerugian
Ini diatur dalam perubahan Pasal 9 angka 1 PP No 27 Tahun 1983, dalam PP No 92 Tahun
2015 menyebutkan bahwa: “Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud
didalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Pasal 9 angka 2 menyebutkan
bahwa: “Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan,
besarnya kerugian paling sedikit Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).” Jika perbuatan tindak pidana tersebut sampai
mengakibatkan kematian seseorang maka besarnya ganti kerugian itu diatur dalam perubahan
Pasal 9 angka 3 PP No 27 Tahun 1983, yang menyebutkan bahwa: “Besarnya ganri kerugian
berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati,
besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Besarnya ganti kerugian atas benda atau barang yang diajukan permintaannya oleh pihak ketiga
yang berkepentingan dan atau saksi korban tidaklah diatur dalam PP No 27 Tahun 1983; hal ini
bergantung pada kasus per kasus dengan mengingat pula perbedaan cara yang ditempuh menurut
acara yang ditentukan dalam Pasal 99 ayat (2) KUHAP yang pada intinya menyatakan bahwa,
“jika Pengadilan Negeri tidak mempunyai wewenang untuk mengadili penggabungan perkara

16
M.hanafi Asmawie, ganti rugi dan rehabilitasi menurut kuhap, pradya paramita, jakarta, 1990, hlm.22

12
gugatan ganti kerugian, maka putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukum
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan”.17
Benda sitaan terdiri dari benda yang dapat dikembalikan lebih dahulu kepada pihak yang
berkepentingan dan juga benda sitaan yang tidak dapat dikembalikan. Benda sitaan jenis ini juga
dapat diputus Hakim dengan diktum dirampas/disita untuk negara, untuk dimusnahkan atau
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi. Dan siapapun orang yang memiliki benda sitaan
tersebut tidak dapat menuntut ganti rugi.18 Namun bila suatu perkara dikesampingkan untuk
kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, maka akan terdapat pula
kemungkinan adanya benda sitaan yang dapat dikembalikan dan yang tidak dapat dikembalikan
karena:
1. Barang tersebut termasuk dalam kategori terlarang atau dilarang (misalnya narkotika)
2. Barang tersebut diperoleh dari suatu tindak pidana
3. Barang tersebut dilakukan untuk melakukan suatu tindak pidana (misalnya alat untuk membuat
uang palsu, amunisi dsb.).

C. Rehabilitas
Rehabilitasi merupakan pemulihan hak. Aturan mengenai rehabilitasi tertuang dalam UU
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam KUHAP, rehabilitasi adalah
hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
Rehabilitasi dapat diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan. Dalam tingkat
penyidikan, permintaan rehabilitasi oleh tersangka diajukan atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan UU atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan.
Rehabilitasi juga dapat diajukan akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Selain
itu, seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila telah diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum oleh pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.19
Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan,
kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan

17
M. Hanafi Asmawi, S.H., Op. Cit. hlm. 28
18
Ibid
19
Kompas com, Contoh Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi di Indonesia,
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/24/00150071/contoh-amnesti-abolisi-grasi-dan-rehabilitasi-di-indonesia,
Diakses pada tanggal 15 oktiber 2022.

13
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya, atau hukum yang diterapkan menurut
cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).20
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi dapat diberikan kepada
seseorang tersangka dan/atau terdakwa yang memenuhi kondisi berikut:
a. Tersangka/terdakwa ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau diadili; dan
b. Penangkapan, penahanan, penuntutan dan/atau peradilan tersebut dilakukan tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena adanya kekeliruan mengenai orang (error in persona) atau
kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan.
Perlu diketahui, terdapat perbedaan aturan antara rehabilitasi untuk tersangka dan terdakwa.
1.Jenis-jenis Rehabilitasi
1. Rehabilitasi Medis (Medical Rehabilitation ) Rehabilitasi medis adalah lapangan specialisasi
ilmu kedokteran yang berhubungan dengan penanganan secara menyeluruh (comprehensive
management) dari pasien yang mengalami gangguan fungsi/cedera (impairment), (musculos
keletal), susunan otot syaraf (system), serta ganggungan mental, sosial dan kekaryaan yang
menyertai kecacatan tersebut.
2. Rehabilitasi karya (Vocational Rehabilitation) Istilah rehabilitasi vokasional berarti bagian dari
suatu proses rehabilitasi secara berkesinambungan dan terkoordinasikan yang menyangkut
pengadaan pelayanan-pelayanan di bidang jabatan seperti bimbingan jabatan (vocational
guidance), latihan kerja (vocational training), penempatan yang selektif (selective placement),
adalah diadakan guna memungkinkan para penderita cacat memperoleh kepastian dan
mendapatkan pekerjaan yang layak. Kegiatan dalam rehabilitasi vokasional meliputi:
a. Kegiatan evaluasi;
b. Bimbingan vokasional;
c. Latihan kerja;
d. Penempatan kerja dan follow-up;
Peserta program rehabilitasi vokasional adalah Individu penyandang cacat fisik atau mental, yang
mengakibatkan individu terhambat untuk mendapatkan pekerjaan. Adanya dugaan yang logis,
masuk akal, bahwa pelayanan rehabilitasi vokasional akan bermanfaat bagi individu untuk dapat
mencari pekerjaan.
3. Rehabilitasi Sosial (Sosial Rehabilitation) Rehabilitasi sosial merupakan bagian dari proses
rehabilitasi penderita cacat yang berusaha untuk menghilangkan atau setidaktidaknya mengurangi

20
Pasal 1 angka 23 KUHAP

14
semaksimal mungkin pengaruh-pengaruh negatif yang disebabkan kecacatannya, sehingga
penderita dapat aktif dalam kehidupan di masyarakat.
2.Rehabilitasi untuk Terdakwa
Rehabilitasi untuk terdakwa diatur dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP :
Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas
dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Jadi, apabila seorang terdakwa diputus bebas, atau pun diputus lepas oleh suatu putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, ia berhak untuk memperoleh rehabilitasi. Rehabilitasi ini
dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa
tersebut.21
Tapi, bagaimana jika amar putusan pengadilan tersebut tidak mencantumkan pemberian
rehabilitasi bagi terdakwa?
Merujuk pada Poin 1, 2, dan 3 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11 Tahun 1985
tentang Permohonan Rehabilitasi dari Terdakwa yang Dibebaskan atau Dilepas dari Segala
Tuntutan Hukum (“SEMA 11/1985”), dalam hal putusan bebas/lepas tidak mencantumkan
pemberian rehabilitasi terdakwa, maka:
a. Terdakwa dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkaranya dalam tingkat pertama.
b. Setelah menerima permohonan itu, Ketua Pengadilan Negeri kemudian memberikan rehabilitasi
dalam bentuk penetapan.
3.Rehabilitasi untuk Tersangka
Rehabilitasi untuk tersangka diatur dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP :
Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.
Jadi, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka berhak menuntut rehabilitasi jika penangkapan,
penahanan, penggeledahan atau penyitaannya dilakukan tanpa alasan hukum yang sah atau adanya
kekeliruan mengenai orang maupun hukum yang diterapkan.
Bagaimana cara rehabilitasi untuk tersangka? Merujuk pada ketentuan di atas, permintaan
rehabilitasi untuk tersangka yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan dilakukan
melalui proses praperadilan. Hal demikian untuk memastikan keabsahan penangkapan atau
penahanan yang dialami seseorang dalam tahap penyidikan.

21
Pasal 97 ayat (2) KUHAP

15
4.Prosedur Permohonan Rehabilitasi bagi Tersangka
1. Mengajukan permohonan praperadilan kepada Ketua Pengadilan Negeri
Dalam hal ini, tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan
ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan, penahanan, atau akibat
sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebutkan alasannya.22
2.Pemeriksaan praperadilan oleh hakim, dengan tahapan sebagai berikut:
a. Hakim menetapkan hari sidang
Dalam waktu 3 hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari
sidang.23
b. Hakim memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi
Dalam memeriksa dan memutus permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak
sahnya penangkapan atau penahanan, atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan,
hakim mendengar keterangan baik dari tersangka/pemohon maupun dari pejabat yang
berwenang.24
c. Hakim menjatuhkan putusan
Pemeriksaan dilakukan secara cepat. Maksimal 7 hari terhitung sejak pemeriksaan dimulai, hakim
harus sudah menjatuhkan putusannya.25 Putusan hakim dalam acara pemeriksaan praperadilan
harus memuat dengan jelas dasar dan alasannya.26 Selain itu, putusan hakim juga memuat hal-hal
sebagai berikut berkaitan dengan rehabilitasi:27
1. Jika putusan menetapkan suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik/jaksa
penuntut umum dalam tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka.
2. Jika putusan menetapkan suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan
dicantumkan jumlah besar ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan.
3. Jika putusan menetapkan suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.28

22
Pasal 81 KUHAP
23
Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP
24
Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP
25
Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP
26
Pasal 82 ayat (2) KUHAP
27
Pasal 82 ayat (3) huruf a dan c KUHAP
28
Hukum Oline com, Syarat dan Prosedur Rehabilitasi bagi Tersangka dan Terdakwa,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-dan-prosedur-rehabilitasi-bagi-tersangka-dan-terdakwa-
lt4c43fc1d59dc8#_ftn3. , Diakses tanggal 15 oktober 2022.

16
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan
Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia yang
diperkenalkan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam kehidupan
penegakan hukum. Praperadilan di tempatkan dalam Bab X bagian ke satu, sebagai salah
satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri. Secara harfiah
pengertian praperadilan dalam KUHAP memiliki arti yang berbeda, Pra memilik arti
“mendahului” dan “praperadilan” sama dengan pendahuluan sebelum pemeriksaan sidang
di pengadilan. Pengertian ganti kerugian menurut Pasal 1 butir (22) Undang-Undang No.
8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:
Ganti kerugian merupakan hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya
yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang yang berlaku atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya menurut tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini. Rehabilitasi merupakan pemulihan hak. Aturan mengenai rehabilitasi
tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam
KUHAP, rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya karena ditangkap, ditahan, dituntut
atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan.
B. Saran
Kami selaku penulis makalah mengaku masih banyak kesalahan baik dalam
menggunakan ejaan,tata bahasa, kalimatmaupun yanglainnya. Kami sudah mengerjakan
dan memaparkan dengan penuh usaha agar dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini.
Oleh sebab itu, kami mengharapkan pembaca untuk memberikan masukan saran dan kritik
untuk kami, agar kedepannya kami bisa menjadi lebih baik dalam pembuatan selanjutnya.
Kami juga mengharapkan kepada pembaca agar mengambil hal-hal positif dari apa yang
telah kami kerjakan pada makalah ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Op. Cit.


Andi Hamzah, Op. Cit.
Andi Hamzah, Op. Cit.
Andi Hamzah, Op. Cit.
Andi Muhammad Sofyan dan Abd. Azis, Op., Cit,
Djoko Prakoso, surat dakwaan, tuntutan pidana, dan eksaminasi perkara didalam proses pidana,
liberty, yogyakarta, 1988,
Djoko prakoso., Op Cit.
https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-dan-prosedur-rehabilitasi-bagi-tersangka-dan-
terdakwa-lt4c43fc1d59dc8#_ftn3. , Diakses tanggal 15 oktober 2022.
Hukum Oline com, Syarat dan Prosedur Rehabilitasi bagi Tersangka dan Terdakwa,
Ibid
Ibid
Ibid.,
Kompas com, Contoh Amnesti, Abolisi, Grasi, dan Rehabilitasi di Indonesia,
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/24/00150071/contoh-amnesti-abolisi-grasi-
dan-rehabilitasi-di-indonesia, Diakses pada tanggal 15 oktiber 2022.
Leden Marpaung, proses penanganan perkara pidana, sinar grafia, jakarta, 1992,
M. Hanafi Asmawi, S.H., Op. Cit.
M.hanafi Asmawie, ganti rugi dan rehabilitasi menurut kuhap, pradya paramita, jakarta, 1990.
Oemar Seno., Hukum Acara Pidana dalam Propeksi, Erlangga, Jakarta, 1976.
Pasal 1 angka 23 KUHAP
Pasal 81 KUHAP
Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP
Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP
Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP
Pasal 82 ayat (2) KUHAP
Pasal 82 ayat (3) huruf a dan c KUHAP
Pasal 97 ayat (2) KUHAP
S. Wulandari, SH.MHum.MKn, “kajian tentang praperadilan di dalam hukum pidana”, 2015.

18

Anda mungkin juga menyukai