Anda di halaman 1dari 11

SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah


Dosen pembimbing: Drs.H. Sofyan Karim, Lc, M.A

Oleh : Kelompok 3
1. Rizki Ananda Putra (2002050035)

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM DAAR
AL ULUUM ASAHAN
2022/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. Karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya, atas
anugerah hidup serta kesehatan yang telah saya terima, dan petunjuk-Nya
sehingga saya bisa menyusun makalah ini. Di makalah ini, saya sebagai penyusun
hanya sebatas ilmu yang bisa saya sajikan dengan judul “Sumber Hukum Pidana
Islam”.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Asahan, 6 Oktober 2022

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..........................................................................................................i

Daftar Isi..................................................................................................................ii

BAB I PEMBAHASAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1

B. Rumusan Masalah........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an.....................................................................................................2

B. As-Sunnah....................................................................................................4

C. Ijma..............................................................................................................4

D. Qiyas............................................................................................................5

BAB III PENUTUP

a. Kesimpulan..................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pengertian hukum pada dasarnya adalah apa-apa yang difirmankan Allah
Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang yang dibebani hukum
(mukallaf) dan dituntut pelaksanaaannya. Itulah yang dinamai dengan syara’ atau
jalan yang ditempuh. Dengan pemgertian itu, maka hukum syara’ adalah hukum
yang dijalani atau dipatuhi oleh mereka yang dibebani hukum, yakni orang
mukallaf. Jika tidak dilaksanakan, si mukallaf tersebut mempunyai konsekuensi
hukum tertentu.

Firman Allah yang menjadi syari’at tersebut adalah semua yang


disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dalam bentuk
wahyu. Kodifikasi firman tersebut disebut Al-Quran Al- Karim atau Al-Kitab.
Sebagai imbalan kata Sunnah Rasulullah, Al-Qur’an terkadanng disebut juga
dengan Sunnah Allah (jalan Allah).

B. Rumusan Masalah
Apa saja sumber hukum pidana Islam?

1
BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian hukum pada dasarnya adalah apa-apa yang difirmankan Allah


Ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan orang yang dibebani hukum
(mukallaf) dan dituntut pelaksanaaannya. Itulah yang dinamai dengan syara’ atau
jalan yang ditempuh. Dengan pemgertian itu, maka hukum syara’ adalah hukum
yang dijalani atau dipatuhi oleh mereka yang dibebani hukum, yakni orang
mukallaf. Jika tidak dilaksanakan, si mukallaf tersebut mempunyai konsekuensi
hukum tertentu.

Firman Allah yang menjadi syari’at tersebut adalah semua yang


disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril dalam bentuk
wahyu. Kodifikasi firman tersebut disebut Al-Quran Al- Karim atau Al-Kitab.
Sebagai imbalan kata Sunnah Rasulullah, Al-Qur’an terkadanng disebut juga
dengan Sunnah Allah (jalan Allah).

A. Al-Qur’an
Jumhur Fuqaha sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum yang
pertama sekaligus yang utama, sepanjang di dalamnya terdapat ketentuan-
ketentuan yang dimaksud. Oleh karena itu, ketentuan Al-Qur’an mengikat bagi
setiap Muslim, bagaimanapun juga macam hukum tersebut.
Al-Qur’an sebagai kitab suci Allah dan sebagai sumber yang utama
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw dalam bentuk wahyu.
Untuk selanjutnya divisualkan dalam huruf Arab kemudian dikodifikasikan dalam
bentuk mushaf. Mushaf berisi ayat-ayat yang diturunkan di kota Mekkah atau
ayat-ayat Makkiyah dan sebagian lagi ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau
ayat-ayat Madaniyyah. Al-Qur’an terdiri atas 114 surah, dimulai dari surah Al-
Fatihah dan diakhiri surah An-Nas, dan terbagi dalam 30 juz.
Al-Qur’an diturunkan secara tawatur, berturut-turut dan tidak secara
sekaligus. Al-Qur’an dilisankan melalui Rasulullah Saw dan ditulis oleh para

2
sahabat. Ini memberikan keyakinan kepada kita akan kebenaran isi Al-Qur’an.
Oleh karena itu nash-nash Al-Qur’an dinamai qath‘iyyul wurud (pasti
kebenarannya). Kata-kata dalam Al-Qur’an bila dilihat dari sudut dalalahnya
(penunjukannya terhadap hukum) terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Penunjukannya kepada hukum (dalalah) disebut qath’iyyud dalalah.
Artinya kata-kata yang qath’i dalalahnya hanya mempunyai satu
pengertian.
2. Penunjukanny terhadap hukum, disebut dhanny atau dhanniyyud dalalah,
artinya penunjukannya terhadap hukum hanya berdasarkan dugaan yang
kuat. Dalam ungkapan lain, kata-kata yang dhanny dalalah nya
mempunyai dua arti atau lebih. Oleh karena itu, sering terjadi ikhtilaf
(perbedaan pendapat) di antara para ulama. Apabila seorang ulama
berpendapat (memegng) salah satu dari satu kata yang dhanny, tidak
berarti bahwa itulah arti yang sebenarnya karena pengertian yang mereka
pegang itu hanyalah dugaan kuat mereka.

Pada pokoknya Al-Qur’an mengatur hukum yang berkenaan dengan


kepercayaan dan ibadah Allah yang bersifat vertical dan hukum-hukum yang
berkaitan dengan interaksi kemanusiaan, bersifat horizontal. Kandungan yang
terakhir ini meliputi masalah-masalah keluarga, kepidanaaan, keperdataan, dan
sebagainya.
Ketentuan hukum dalam Al-Quran, terutama yang menyangkut
kemasyarakatan seperti kepidanaan memiliki akibat ganda, yaitu di dunia dalam
bentuk hukuman pidana dan di akhirat dalam bentuk siksa (dalamsurah An-Nisa
ayat 93 dan surah Al-Maidah ayat 33). Jadi, pelaku jarimah akan mendapat
hukuman di dunia ini sesuai dengan jenis jarimahnya dan juga akan mendapat
siksa Allah SWT di akhhirat nanti. Begitu pum halnya perbuatan yang dilakukan
di dunia ini (berbuat jarimah) telah dibalas dengan hukuman di dunia ini, tidaklah
serta merta hilangnya hukuman ukhrawi. Itu bergantung pada diterima tidaknya
tobat yang bersangkutan oleh Allah SWT.

3
B. As-Sunnah
Sunnah adalah semua yang diriwayatkan dari Rasul Allah SWT baik
perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan sahabat (qauliyyah, fi’liyyah ataupun taqririyyah).
As-Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran. As-
Sunnah berfungsi sebagai penguat (mu’akkid) hukum yang difirmankan Allah
dalam Al-Qur’an, serta penjelas pengertian, pembatasan dari keumuman,
memberikan rincian, dan sebagai hukum baru selama tidak termmaktub secara
eksplisit maupun implicit dalam Al-Qur’an.

C. Ijma
Urutan ketiga dalam hirarki sumber hukum pidana Islam adalah Ijma. Ijma
merupakan produk dari kebulatan pendapat ulama Mujtahid pada suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah Saw, baik dalam forum pertemuan atau terpisah.
Status hukumnya dianggap qath’i sehingga kaum Muslimin wajib menaatinya.
Kewajiban kita mengikuti Ijma adalah disebabkan keputusan yang
dihasilakan dari produk ijma tersebut tidak dilakukan semena-mena, mempunyai
sandaran, dan berpijak kepada sumber-sumber terdahulu. Ijma harus ditegakkan di
atas aturan-aturan yang umum serta roh syari’at. Oleh karena itu, meskipun
pendapat tersebut keluar dari berbagai negeri dan bangsa yang berbeda, kebulatan
pendapat tersebut menunjukkan loyalitas mereka terhadap kebenaran syari’at.
Itulah sebabnya, hukum yang bersifat ijma itu sesuai dengan prinsip-prinsip dan
roh syari’at. Satu hal lagi adalah umat Islam sebagai umat Nabi Muhammad Saw
tidak akan berkolaborasi dalam kesalahan.
Kalau umat Nabi yang umumnya manusia biasa atau orang kebanyakan
saja tidak akan bersepakat dalam membuat kesalahan, apa lagi umat-umat pilihan,
ulama-ulama, para mujtahidin. Keputusan mereka bukan untuk kepentingan
pribadi, tetapi demi kepentingan umat. Di samping itu, keputusan mereka tidak
akan keluar dari prinsip-prisip umum dan roh syari’at dan bukan karena akal
semata.

4
D. Qiyas
Apabila menghadapi suatu masalah kontemporer, sering kali kita
menemukan ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul, ataupun Ijma.
Cara menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengikuti ketentuan yang
telah ada (telah diketahui) hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah,
kemudian menarik kesimpulan bahwa ketentuan yang telah ada hukumnya
tersebut, dapat diberlakukan karena adanya persamaan secara analogis. Cara
semacam ini dalam terminologi fiqih disebut Qiyas. Kebanyakan ulama
menganggapnya sebagai sumber hukum yang keempat.
Kehujjahan melalui metode analogis ini menurut jumhur ulama adalah sah.
Oleh karena itu, dapat diterima sebagai hujjah syar’iyyah. Artinya perbuatan-
perbuatan yang diqiyaskan itu dapat mempunyai kekuatan hukum asalkan
persyaratan kumulatif dari masalah tersebut dipenuhi. Namun demonian, menurut
Ahmad Hanafi keberadaan qiyas sebagai sumber hukum masih diperselisihkan,
tidak seperti tiga sumber hukum yang sebelumnya, yang keberadaannya telah
disepakati para ulama.
Menurut Ahmad Hanafi, Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber
dan dasar syari’at Islam, sedangkan sumber-sumber yang selainnya (ijma dan
qiyas) kurang tepat dikatakan sebagai sumber. Di samping tidak membawa aturan-
aturan dasar yang baru yang bersifat umum, keduanya lebih tepat disebut sebagai
sebuah metodologi ketimbang sumber hukum. Sekalipun dalam kenyataannya,
ijma dan qiyas itu merupakan cara pengambilan hukum dari dua sumber utama
dan kedua (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

Penggunaan keempat sumber hukum tersebut, harus sesuai dengan urutan


(berurutan atau tertib). Halini karena urutan tersebut menggambarkan tingkat atau
martabat sumber hukum tersebut berdasarkan skala prioritas. Artinya urutan
terakhir hanya dapat dipertimbangkan manakala tidak dijumpai dalam urutan
sebelumnya.
Tata cara penggunaan dalil (beristidhlal) dalam berhujjah, yaitu secara
tertib berdasarkan urutan dan tertib ayat. Pertam-tam kita harus menggunakan
dalil Al-Qur’an selama di dalamnya terdapat ketentuan mengenai hal yang

5
dimaksud, baik secara eksplisit (termaktub dengan jelas) maupun secara implicit
(tersirat). Kalau masalah tersebut tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, langkah
selanjutnya adalah mencarinya dalam Sunnah Rasul, yaitu Al-Hadis. Kalau dalam
kedua sumber tersebut tidak didapati, kita harus mengikuti pendapat orang-orang
yang mempunyai kekuasaan (ulul amri). Ulul Amri terdiri atas orang-orang yang
mengurus masalah duniawi, seperti presiden, raja dengan pembantunya serta
lembaga-lembaga kenegaraan lainnya. Mereka juga terdiri atas orang-orang ulil
yang yang mengurus masalah keagamaan seperti ulama, mujtahid dan lain-lain.
Oleh sebab itu, kalau semua komponen dari ulil amri telah sepakat untuk
menetapkan suatu ketentuan hukum atas suatu perkara, seluruh rakyat wajib
menaatinya, seperti halnya menaati perintah Allah dan Rasul. Kalau dalam ketiga
sumber tersebut tidak didapati, kita berupaya secara sungguh-sungguh untuk
mengqiyas kan (menganalogikan) perkara yang belum ada ketentuan hukum tadi
dengan peristiwa serupa yang telah mempunyai ketentuan yang jelas. Namun
demonian, tidak semua perkara kontemporer dapat dianalogikan (diqiyaskan),
sebab penetapan status hukum suatu perkara dengan metode analogis hanya dapat
dilakukan apabila persyaratan-persyaratan untuk itu terpenuhi.

6
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Jumhur Fuqaha sepakat bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum yang
pertama sekaligus yang utama, sepanjang di dalamnya terdapat ketentuan-
ketentuan yang dimaksud. Oleh karena itu, ketentuan Al-Qur’an mengikat bagi
setiap Muslim, bagaimanapun juga macam hukum tersebut. Al-Qur’an sebagai
kitab suci Allah dan sebagai sumber yang utama diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad Saw dalam bentuk wahyu.
As-Sunnah merupakan sumber hukum yang kedua setelah Al-Quran. As-
Sunnah berfungsi sebagai penguat (mu’akkid) hukum yang difirmankan Allah
dalam Al-Qur’an, serta penjelas pengertian, pembatasan dari keumuman,
memberikan rincian, dan sebagai hukum baru selama tidak termmaktub secara
eksplisit maupun implicit dalam Al-Qur’an.

Urutan ketiga dalam hirarki sumber hukum pidana Islam adalah Ijma. Ijma
merupakan produk dari kebulatan pendapat ulama Mujtahid pada suatu masa
setelah wafatnya Rasulullah Saw, baik dalam forum pertemuan atau terpisah.
Status hukumnya dianggap qath’i sehingga kaum Muslimin wajib menaatinya.

Apabila menghadapi suatu masalah kontemporer, sering kali kita


menemukan ketentuan hukumnya dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul, ataupun Ijma.
Cara menyelesaikan masalah tersebut adalah dengan mengikuti ketentuan yang
telah ada (telah diketahui) hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah,
kemudian menarik kesimpulan bahwa ketentuan yang telah ada hukumnya
tersebut, dapat diberlakukan karena adanya persamaan secara analogis. Cara
semacam ini dalam terminologi fiqih disebut Qiyas. Kebanyakan ulama
menganggapnya sebagai sumber hukum yang keempat.

7
DAFTAR PUSTAKA

Zuhalli, Wahbah. 2010.Figh imam Syafi’i. Terjemahan. Jakarta: Almaria

Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia,
2000).

Anda mungkin juga menyukai