Anda di halaman 1dari 11

UNSUR MORAL JARIMAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Jinayat

Dosen Pengampu : Prof. Dr. H. Zakaria Syafe’I, M.Pd.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 9

III/HKI-A

Dhaifina Khairani (221110033)

Choirini Fidya Amara (221110034)

Ira Intan Aulia (221110035)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Unsur Moral
Jarimah”. Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini, untuk memenuhi upaya
penyusun dalam memenuhi salah satu tugas mata kuliah yang sedang penyusun pelajari.
Pada kesempatan ini tidak lupa penyusun sampaikan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. H. Zakaria Syafe’I, M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Fiqih Jinayah dan teman-
teman yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman
lebih lanjut. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang
bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.

Serang, 01 November 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I – Pendahuluan

Latar Belakang .................................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ............................................................................................................... 1

Tujuan ................................................................................................................................. 1

BAB II – Pembahasan

Pertanggungjawaban Pidana ............................................................................................... 2

Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana .............................................................................. 4

BAB III – Penutup

Simpulan ............................................................................................................................. 7

Saran ................................................................................................................................... 7

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 8

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Dalam Fiqih Jinayah suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-
unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum
berlaku untuk semua tindak pidana, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-
masing tindak pidana dan berbeda antara tindak pidana yang satu dengan tindak pidana yang
lain. Adapun unsur-unsur umum ada 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Unsur formal, yaitu ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya
dengan hukuman
b. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana baik berupa
nyata maupun sikap.
c. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang dapat
dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.

Disamping unsur umum itu, harus pula diketahui unsur khusus yakni, ketentuan-
ketentuan yang dilanggar itu khusus memberi ciri khas pada bentuk tindakan jarimah yang
dilakukannya. Di mana setiap jarimah yang dilakukan akan berbeda ciri-cirinya, khususnya
pada pencurian misalnya ciri khususnya adalah mengambil dengan jalan kekerasan, dan
sebagainya. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa, tindakan jarimah dapat dianggap
sempurna apabila telah memenuhi unsur-unsur umum dan unsur-unsur khusus tersebut diatas.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan tentang pertanggungjawaban pidana?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana tersebut bisa terhapus?
C. Tujuan
1. Agar mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana.
2. Agar memahami sebab terhapusnya pertanggungjawaban pidana.

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. PertanggungJawaban Pidana
Dalam bahasa inggris pertanggungjawaban pidana disebut sebagai responsibility, atau
criminal liability. Konsep pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut
soal hukum semata-mata melaikan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan
umum yang dianut oleh suatu masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat, hal ini
dilakukan agar pertanggungjawaban pidana itu dianggap memenuhi keadilan.
Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang
tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah
seseorang tersebut dibebasakan atau dipidana.1
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan
seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakan dengan
kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
Dalam syari’at Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga hal:
a. Adanya perbuatan yang dilarang.
b. Perbuatan itu dikarenakan dengan kemauan sendiri.
c. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban pidana.
Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan demikian, orang
gila, anak dibawah umur, orang yang dipaksa dan terpaksa, tidak dibebani
pertanggungjawaban. Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang
yang melakukan kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain.
Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur’an Surat Faathir ayat 18 yang
berbunyi:
‫ي ٌء َّو َل ْو َكانَ ذَا قُ ْر ٰب ۗى ِانَّ َما‬
ْ ‫ش‬ َ ُ‫َو ََل ت َِز ُر َو ِاز َرة ٌ ِّ ِو ْز َر اُ ْخ ٰرى َۗوا ِْن تَدْعُ ُمثْقَ َلةٌ ا ِٰلى ِح ْم ِل َها ََل يُحْ َم ْل ِم ْنه‬
‫صي ُْر‬ ِ ّٰ ‫ص ٰلوةَ َۗو َم ْن تَزَ ّٰكى فَ ِانَّ َما يَتَزَ ّٰكى ِلنَ ْفسِه ۗ َو ِا َلى‬
ِ ‫ّٰللا ا ْل َم‬ ِ ‫ت ُ ْنذ ُِر ا َّل ِذيْنَ يَ ْخش َْونَ َربَّ ُه ْم ِبا ْلغَ ْي‬
َّ ‫ب َواَقَا ُموا ال‬
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika
seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu

1
Repository UMY, “PertanggungJawaban Pidana”
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12507/G.%20BAB%203.pdf?sequence=5&isAllowed=
y#:~:text=Pertanggungjawaban%20pidana%20adalah%20suatu%20bentuk,seseornag%20tersebuut%20dibebas
akn%20atau%20dipidana. Hlm.40
2
tidak akan dipikulkan sedikit pun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.
Sesungguhnya yang dapat engkau beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada (azab)
Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka yang melaksanakan salat. Dan
barangsiapa menyucikan dirinya, sesungguhnya dia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya
sendiri. Dan kepada Allah-lah tempat kembali.”
Dan surat An-Najm ayat 39, Allah SWT berfirman:

َ ‫ان ا ََِّل َما‬


‫سعٰى‬ ِ ‫س‬َ ‫ْل ْن‬ َ ‫َواَ ْن َّلي‬
ِ ْ ‫ْس ِل‬
Artinya: “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”
Adapun tingkata-tingkatan pertanggungjawaban pidana adalah:
a. Sengaja (al-‘Amdu)
Dalam arti yang umum sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan perbuatan yang
dilarang atau sudah direncanakan sebelumnya. Tentu saja pertanggungjawaban pidana dalam
tingkat ini lebih berat dengan tingkat dibawahnya.
b. Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)
Pengertian Syibhul ‘Amdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan
hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam pertanggungjawabannya
menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.
c. Keliru (Khata)
Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa ada
maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi karena kelalaiannya atau
kurang hati-hatinya. Kekeliruan ada 2 macam yaitu:
➢ Keliru dalam perbuatan, seperti seorang pemburu yang menembak burung, tetapi
pelurunya menyimpang dan mengenai orang.
➢ Keliru dalam dugaan, seperti seorang tentara yang menembak seseorang yang
disangkanya anggota pasukan musuh, tetapi setelah diteliti ternyata anggota
pasukan sendiri.
d. Keadaan yang Disamakan dengan Keliru
Ada 2 (dua) bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan, yaitu:
➢ Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi hal itu
terjadi di luar Pengadilan dan sebagai akibat kelalainnya, seperti seseorang yang tidur
di samping seorang bayi di suatu barak penampungan dan ia menindih bayi itu sehingga
bayi tersebut mati.
➢ Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang dilarang karena kelalainnya
tetapi tanpa dikehendakinya, seperti seseorang yang menggali parit di tengah jalan

3
untuk mengalir air tetapi ia tidak memberi tanda bahaya, sehingga pada malam hari
terjadi kecelakaan atas kendaraan yang lewat.
Dalam segi pertanggungjawabannya, keadaan ini lebih ringan dari pada keliru, karena
pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk melakukan perbuatan,
melainkan perbuatan itu terjadi semata-mata akibat keteledoran dan kelalaiannya. Sedangkan
dalam hal keliru pelaku sengaja melakukan perbuatan, walaupun akibatnya terjadi karena
kurang hati-hati.
B. Hapusnya PertanggungJawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam Fiqih Jinayah dapat dihapuskan karena hal-hal yang
berkaitan dengan perbuatan atau karena hal-hal yang berkaitan dengan keadaan pelaku. Sebab
hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan itu dibolehkan, melainkan tetap pada
asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan
dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman.
Adapun sebab-sebab dihapusnya hukuman terbagi atas lima macam, yaitu:
a) Paksaan.
Paksaan adalah mendorong orang lain atas sesuatu yang tidak diinginkannya, baik berupa
ucapan atau perbuatan. Suatu perbuatan dikatakan terpaksa apabila terpenuhi empat syarat,
yaitu:
• Ancaman yang menyertai pemaksaan adalah berat. Sehingga dapat
menghilangkan kerelaan, seperti ancaman dibunuh, dipukul dengan pukulan yang
berat, dikurung dalam waktu yang lama dan sebagainya.
• Ancaman harus seketika yang diduga kuat pasti terjadi, jika orang yang dipaksa
tidak melaksanakan keinginan si pemaksa.
• Orang yang memaksa mempunyai kesanggupan (kemampuan) untuk
melaksanakan ancamannya, meskipun dia bukan penguasa atau petugas tertentu.
Apabila orang yang memaksa tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan
ancamannya, dalam hal ini tidak ada paksaan.
• Pada orang yang menghadapi paksaan timbul dugaan kuat bahwa apa yang
diancamkan padanya benar-benar akan terjadi, kalau ia tidak memenuhi
tuntutannya.
b) Pembelaan diri.
Adapun syarat-syarat pembelaan diri adalah:
• Adanya serangan atau tindakan melawan hukum, serangan itu harus perbuatan jarīmah
dan pelakunya tidak perlu dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

4
• Penyerangan harus terjadi seketika, artinya pembelaan baru terdapat apabila benar-
benar telah terjadi penyerangan atau diduga dengan kuat akan terjadi.
• Tidak ada jalan lain untuk mengelakan serangan kecuali harus menyerang.
• Dalam penolakan serangan hanya kekuatan seperlunya yang boleh dipakai, tidak
berlebih-lebihan. Dalam hal pembelaaan yang melampaui batas, tentu hal itu tidak
dapat dikecualikan dari hukuman.2
c) Mabuk.
Mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau
sejenisnya.
d) Gila.
Gila adalah hilangnya akal, rusak, atau lemah.
e) Dibawah umur.
Adapun kriteria dikatakan sebagai anak dibawah umur dalam Fiqh Jinayah, adalah
sebagai berikut:
i. Masa tidak adanya kemampuan berfikir (idrak)
Masa ini dimulai sejak seseorang dilahirkan dan berakhir pada usia 7 (tujuh) tahun.
Seorang anak yang belum tamyiz, karena belum mencapai usia 7 (tujuh) tahun, apabila ia
melakukan suatu tindak pidana, maka ia tidak dijatuhi hukuman, baik yang bersifat pidana
maupun pendidikan. Ia tidak dikenakan hukuman had apabila ia melakukan jarimah hudud dan
tidak dikenakan qishash apabila ia melakukan jarimah qishash.
ii. Masa kemampuan berfikir yang lemah
Masa ini dimulai sejak seorang anak memasuki usia 7 (tujuh) tahun dan berakhir pada
usia (sembilan belas) tahun (balig). Pada masa kedua ini, seorang anak tidak dikenakan
pertanggungjawaban pidana atas jarimah-jarimah yang dilakukan baik jarimah hudud, qishash
maupun ta’zir. Akan tetapi, ia dapat dikenakan hukuman pengajaran. Pengajaran ini meskipun
sebenarnya berupa hukuman juga, akan tetapi tetap dianggap sebagai hukuman pengajaran dan
bukan hukuman pidana. Oleh karena itu, apabila anak tersebut berkali-kali melakukan tindak
pidana dan berkali-kali pula dijatuhi pengajaran, namun ia tidak dianggap sebagai pengulang
kejahatan.
iii. Masa kemampuan berfikir penuh

2
Zakaria Syafe’i. “Pertanggunggjawaban Pidana Dalam Hukum Islam” Al-Qalam Vol. 31 No. 1 (Januari-Juni)
2014. Hlm.114-116
5
Masa ini dimulai sejak seorang anak mencapai usia dewasa yaitu usia (delapan belas)
tahun. Pada periode ini seorang anak dikenakan pertanggungjawaban pidana atas semua
jarimah yang dilakukannya, apapun jenis dan macamnya.
Dengan demikian orang gila, orang yang dipaksa, orang mabuk dan anak dibawah umur
tidak dibebani pertanggungjawaban pidana, karena dasar pertanggungjawaban pada mereka ini
tidak ada. Pembebasan pertanggungjawaban terhadap mereka.
f) Maaf
Pada dasarnya pemaafan tidak dapat menggugurkan hukuman bagi pelaku tindak pidana,
namun sehubungan tindak pidana itu ada yang berkaitan dengan hak Allah atau hak masyarakat
dan hak perorangan, maka ada pula pengecualian hukuman itu. Tindak pidana yang
mendapatkan pengecuaian hukuman itu, apabila tindak pidana itu berkaitan dengan hak
perorangan, terutama pada tindak pidana yang diancam dengan hukuman qisash, yakni tindak
pidana pembunuhan dan penganiayaan baik dilakukan dengan sengaja atau dilakukan dengan
kekeliruan, sedangkan tindak pidana lainnya seperti pencurian, perzinaan, tuduhan berbuat
zina, pemberontakan, tidak diketemukan maaf sebagai unsur yang mengecualikan hukuman.
g) Meninggalnya si Pelaku.
Meninggalnya si pelaku menjadi sebab hapusnya sanksi hukum, meskipun tidak
menghapuskan seluruhnya.
h) Taubat
Tobat bisa menghapuskan sanksi hukum baik jarimah yang dilakukan oleh si pelaku
adalah jarimah yang berhubungan dengan hak Allah/hak masyarakat atau hak
Adami/perorangan. Indikator tobat itu bisa menghapuskan hukuman adalah manakala si pelaku
menunjukkan adanya penyesalan terhadap perbuatan jarimah yang telah dilakukan,
menjauhkan diri darinya dan adanya niat dan rencana yang kuat untuk tidak kembali
melakukannya. Sedangkan bila berkaitan dengan hak Adami harus ditambah dengan satu
indikator lagi yaitu melepaskan kezaliman yang dalam hal ini adalah minta maaf kepada
korban.

6
BAB III

PENUTUP
A. Simpulan

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk untuk menentukan apakah seorang


tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi.
Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana adalah suatu bentuk yang menentukan apakah
seseorang tersebut dibebasakan atau dipidana.

Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam adalah pembebanan


seseorang dengan akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakan dengan
kemauan sendiri, di mana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri dan bukan orang lain.

Pertanggungjawaban pidana dalam Fiqih Jinayah dapat dihapuskan karena hal-hal yang
berkaitan dengan perbuatan atau karena hal-hal yang berkaitan dengan keadaan pelaku. Sebab
hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan itu dibolehkan, melainkan tetap pada
asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan
dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman.

B. Saran

Melalui makalah ini kami berharap semoga pembahasan mengenai “unsur moral
jarimah”, sedikit banyaknya dapat dipahami oleh pembaca, selain itu kami sebagai penyusun
mohon maaf apabila masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
untuk itu kami mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca, untuk kesempurnaan dari
makalah kami ini.

7
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’I, Zakaria. “Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Islam” Al-Qalam, Vol.
31 No. 1. (Januari-Juni) 2014.

Khairunnisa, Nisrina. “Pertanggungjawaban Pidana Anak Pada Putusan Nomor 37/Pid.Sus-


Anak/2016/Pn.Smr Dalam Fiqih Jinayah” Qonun, Volume 7, No. 1. (Juni 2023)

UMY, Repository. “Pertanggungjawaban Pidana”


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/12507/G.%20BAB%203.pdf?s
equence=5&isAllowed=y#:~:text=Pertanggungjawaban%20pidana%20adalah%20suat
u%20bentuk,seseornag%20tersebuut%20dibebasakn%20atau%20dipidana.

Anda mungkin juga menyukai