Kelompok 2
Tedy Dwi Cahyadi (23041070277)
Rangga Apri Sandi (23041070279)
Dosen Pengampu
Sofyan, M.HI.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Sofyan M.HI. Pada mata kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sofyan M.HI. Selaku dosen
pengampu dari mata kuliah Ushul Fiqh, yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.
Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna.
Untuk itu, kepada dosen pengampu, kami meminta masukan demi perbaikan
pembuatan makalah dimasa yang akan datang. Kami menyampaikan terima kasih yang
sebesar-besarnya dan kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun
tidak langsung. Semoga hal yang kami sampaikan bisa bermanfaat dan menambah
ilmu bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
3
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kajian Ushul Fiqh terdapat istilah mahkum fih dan mahkum alaih. Dalam
perkembangannya istilah-istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda-beda
menurut ulama’, sehingga perlulah kita mengetahui serta memahami apa itu mahkum fih
dan mahkum alaih. Karena semua pengertian pemahaman mempunyai dasar ataupun latar
belakang sendiri. Ushul Fiqh merupakan alat dalam penetapan hukum, perlu pemahaman
lebih dalam penggunaannya. Konsep dasar tentang mahkum fih dan mahkum alaih penuh
perbedaan pendapat para ulama dalam pengertian serta penggunaannya dalam hukum
islam, diantara masalah yang sangat penting yng harus dijelaskan dalam kajian syari’at
islam ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum. Sebab pengetahuan Al-
hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan dengan
nyasar bahwa hukum syara’ itu ialah kehendak allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum ialah Allah AWT.
4
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Al-Mahkum fih?
2. Syarat-Syarat Al-Mahkum fih?
3. Apa itu masyaqqoh dalam Al-Mahkum fih?
4. Pengertian Al-Mahkum alaih?
C. Tujuan Penulisan
1. Memahami apa itu Al-Mahkum fih.
2. Mengetahui syarat-syarat Al-Mahkum fih.
3. Mengetahui masyaqqoh dalam Al-Makum fih.
4. Memahami apa itu Al-Mahkum alaih.
5
PEMBAHASAN
A. Al-Mahkum fih
Mahkum fih atau objek hukum adalah perbuatan mukalaf yang bersangkutan dengan
hukum syar’i atau sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan,
ditinggalkan oleh mukallaf. Misalnya dalam D.S Al-Maidah ayat 1 adalah tentang
perbuatan menepati janji.1
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan orang mukallaf yaitu
perbuatan menyempurnakan janji yang diwajibkan dengan ayat tersebut.
Mahkum fih adalah sesuatu yang dikehendaki oleh pembuat hukum untuk dilakukan
atau ditinggalkan oleh manusia atau dibiarkan oleh pembuat hukum untuk dilakukan atau
tidak. Dalam istilah ulama’ ushul fiqh, yang disebut mahkum fih atau objek hukum adalah
perbuatan itu sendiri. Hukum itu berlaku pada perbuatan dan bukan pada zat. Umpamanya
“daging babi”. Pada daging babi itu tidak berlaku haram, baik suruhan atau larangan.
Berlaku larangan adalah pada memakan daging babi yaitu sesuatu perbuatan memakan,
bukan pada zat daging babi itu.2
Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya
adalah:3
1
Iwan Hermawan, Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam, (Kuningan: hidayatul quran, 2019), hal. 57
2
Abdul Latif, DKK., Ushul Fiqh dan Kaedah Ekonomi Syari’ah, (Medan: Merdeka Kreasi, 2021), hal. 175
3
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih”, jurnal pendidikan dan studi keislaman,
Vol.2 No.1 (2021), hal. 85.
6
a. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf sehingga
tergambar tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya. Dengan demikian
seorang itu tidak diwajibkan melaksanakan sholat sebelum jelas rukun-rukun dan
kaifiyahnya.
b. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk
memberikan taklif Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan mampu
mengarahkan kehendak untuk melaksanakannya. Yang perlu diperhatikan dalam
masalah ini adalah mengenai pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah
imkan al-ilm (kemungkinan untuk mengetahui) bukan pengetahuan secara praktis.
Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu memahami
hukum-hukum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya pada ahlinya, maka
ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa yang ditaklifkan kepadanya.
(Wahab Khallaf,: 129).
c. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika berupa perbuatan yang
mustahil untuk dikerjakan, seperti mengharuskan untuk melaksanakan dua hal yang
saling bertentangan, mewajibkan dan melarang dalam satu waktu, mengharuskan
manusia untuk terbang dll. Meski demikian, ternyata masih ada sekelompok ulama
yang memperbolehkan taklif pada perbuatan yang mustahil Pendapat ini dipegangi
oleh ulama-ulama dari kalangan Asy’ariyah.Mereka mengajukan hujjah andaikan
taklif terhadap hal yang mustahil itu tidak Al-Madãris, Volume 2(1), 202186
diperbolehkan maka tidak akan pernah terjadi, sementara kenyataannya taklif itu
telah terjadi, seperti pada kasus taklif yang diberikan pada Abu Jahal untuk beriman
dan membenarkan risalah rasul.Dalam hal ini Allah telah mengetahui bahwa Abu
jahal tidak akan pernah beriman.Pendapat ini disanggah jumhur bahwa maskipun
pada kenyataannya Abu jahal tidak beriman, namun taklif tersebut sebenarnya
masih bersifat mungkin dan tidak mustahil bagi abu jahal. (Az-Zuhaili, 137).
4
Latif, Loc.Cit.
7
a. Masyaqqoh yang mungkin dilakukan dan berketerusan dalam melaksanakannya.
b. Masyaqqoh yang tidak mungkin seorang melakukannya secara berketerusan atau
tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengarahan tenaga yang maksimal.
Sehubungan dengan persyaratan bahwa objek hukum itu harus sesuatu yang jelas
keberadaannya, para ulama’ ushul membicarakan kemungkinan berlakunya taklif terhadap
sesuatu yang mustahil adanya. Dalam hal ini ulama’ ashul membagi mustahil menjadi lima
tingkatan:
D. Al-Mahkum alaih
Definisi secara etimologi, mukallaf berarti yang di bebani hukum5. mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab/
perintah Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf .Sehingga muncul istilah mahkum
alaih disebut dengan subyek hukum.
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang sah
apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:
5
Tihami, H. M. A. (2000). Antropologi Fiqh (Gambaran tentang Isyarat dan Pendekatan). In Al-Qalam (Vol. 17,
Issue 85, pp. 120–149).
8
bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa ditemukan oleh indera zhahir, oleh
karenanya syari’ mengimbangi dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan
sesuatu yang riil,yang bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat
baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk- petunjuk taklif.
Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup dalam kategori mukallaf.6
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-
dalil tuntutan syara’ dari al-Quran dan as-Sunnah, maka jalan keluarnya untuk
mengatasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu;
6
Khallaf, Abdul Wahab. (1978). ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Daar al-Qalam. Hal. 134
7
Az-Zuhaili, Wahbah. (1999). Al-Wajiiz fi Ushul al-Fiqh. Beirut: Daar al-Fikr. Hal. 163
9
untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa menerima kewajiban yang dibebankan
kepadanya. Sedangkan yang kedua adalah ketika seorang itu mampu menerima
hak sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada setiap manusia.
2) Ahliyah al-Ada’ , yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak. Artinya, tindakan
orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara syariat telah
dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an). Terkait dengan konsep ini, manusia
terbagi menjadi tiga jenis klasifikasi, yaitu: Pertama, Seseorang tidak
mempunyai kecakapan bertindak sama sekali seperti orang gila dan anak kecil.
Kedua, seseorang tersebut mempunyai kecakapan bertindak namun belum
sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum sampai pada taraf baligh dan
orang idiot (ma'tuh). Ketiga, Seseorang yang mempunyai kecakapan bertindak
secara sempurna seperti seorang yang telah berakal dan baligh.
10
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang berhubungan dengan perintah
syara’ baik itu tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, maupun memilih pekerjaan
yang bersifat syarat, sebab,halangan, azimah, rukhshah, sah dan batal.
Terdapat beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya
adalah: 1) Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf, 2)
Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
taklif 3) Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum
syara. Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu
mukallaf atau manusia yang menjadiobyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih berarti
orang mukallaf (orangyang layak dibebani hukum taklifi).
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Latif, D. (2021). Ushul Fiqh dan Kaedah Ekonomi Syari'ah . Medan: Merdeka Kreasi.
Ali, I. C. (2021). Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum Alaih (Studi pemahaman Dasar
Ilmu Hukum Islam). pendidikan dan studi keislaman, Vol.2, No.1, 85-86.
Hermawan, I. (2019). Ushul Fiqh Metode Kajian Hukum Islam. Kuningan: Hidayatul Quran.
Khallaf, Abdul Wahab. (1978). ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Cairo: Daar al-Qalam.
Tihami, H. M. A. (2000). Antropologi Fiqh (Gambaran tentang Isyarat dan Pendekatan). In Al-
Qalam (Vol. 17, Issue 85, pp. 120–149).
12