Anda di halaman 1dari 15

Kaidah al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi

Tugas ini disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Qawaid Fiqhiyah

Yang di ampuh oleh :

A.H Kusairi, M.HI

Disusun Oleh :

Ryan Ivan Bahtiar (20382041105)

Samsul Arifin (20382041113)

Ach Fahrosil Amin (20382041124)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA
OKTOBER 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT.Yang telah melimpahkan karunianya sehingga kami
diberi kesehatan dan dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan benar.Shalawat serta
salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Nabi Muhammad SAW,yang
telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang canggih seperti sekarang
ini,sehingga kami bisa mencari refrensi dengan lancar dalam menyelesaikan makalah ini.

Pembuatan penyusunan makalah dengan materi “kaidah al-‘adatu muhakkamatun dan al-
ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi dan cabang ” kami berharap agar makalah ini berguna bagi
para pembaca,agar lebih meningkatkan kesadaran untuk menghargai hasil karya cipta seseorang
dan benar-benar menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.Oleh sebab itu,kritik dan saran yang
membangun sangat kami butuhkan agar di masa yang akan datang kami bisa lebih baik lagi.

Kami ucapkan terimakasih kami kepada orang-orang yang telah membantu dalam
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Kami haturkan terima kasih kepada kedua orangtua kami
yang telah memfasilitasi kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dan kami juga
haturkan terimakasih kepada yang terhormat bapak A.H Kusairi, M.HI yang telah membimbing
kami atas saran dan masukannya sehingga makalah ini dapat di selesaikan dengan baik .

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB 1.........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................5
C. Tujuan Penulisan..............................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................6
A. Definisi kaidah al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi................6
B. Dasar hukum al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi................8
C. Kaidah cabang al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi...........................10
BAB llI......................................................................................................................................................12
PENUTUP.................................................................................................................................................12
A. Kesimpulan..................................................................................................................................12
B. Saran.............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

3
BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fikih merupakan kaidah hukum yang berisfat menyeluruh yang mencakup semua
bagian-bagiannya. Terdapat lima kaidah fikih asasi yang disepakati, salah satunya yaitu al-‘adat al-
muhakkamah (adat itu bisa menjadi dasar dalam menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-
kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan
menguasai kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui benang merah yang menguasai fikih, karenanya
menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih, dan lebih arif di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan
tempat yang berbeda untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Kaidah fikih asasi kelima
adalah tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf.

Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran
dapat diterima akal dan secara kontinyu manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu
perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya dalam berbabagi kebiasaan
termasuk dalam bermuamalah. Kendati, demikian adat –istiadat atau kebiasaan yang dapat dilegitimasi
oleh syariat adalah adat-istiada yang shahih, bukan yang fasid

Ijtihad merupakan sebuah upaya pencerahan bagi pembaharuan hukum yang berhubungan dengan
kejadian baru dan belum didapati di dalam nash, sehingga diperlukan upaya penggalian hukum syara’
yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Salah satu upaya untuk mengetahui ijtihad secara pasti
adalah dengan mempelajari ilmu Qawa’id Fiqhiyyah. Qawa’id Fiqhiyyah sendiri merupakan suatu cabang
ilmu yang mempelajari tentang kaidah-kaidah dalam proses istinbath (penggalian) suatu hukum syara’.
Berbagai kaidah telah disusun oleh para ulama dalam memudahkan seorang mujtahid untuk melakukan
istinbath al-Ahkam. Salah satunya adalah kaidah al-Ijtihadu la Yunqadhu bi alIjtihad. Dalam disiplin ilmu
Qawa’id Fiqhiyyah, kaidah “al-Ijtihadu la Yunqadhu bi al-Ijtihad” merupakan salah satu kaidah kulliyyah
aghlabiyyah (mayoritatifrepresentatif). Kaidah aghlabiyyah yaitu kaidah yang cakupannya tidak
menyeluruh terhadap semua permasalahan fikih. Meski mencakup beragam persoalan, namun dalam
kaidah-kaidah ini terdapat banyak pengecualian. Dalam beberapa kaidah, bahkan ditemukan lebih banyak
masalah yang dikecualikan daripada masalah yang masuk dalam cakupannya

4
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang definisi dari al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi?

2. Apa dasar hukum dari al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi?

3. Apa kaidah cabang dari al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-
ijtihadi

2. Untuk mengetahu dasar hukum dari al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi
al-ijtihadi?

3. Untuk mengetahu kaidah cabang dari al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi
al-ijtihadi

5
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi kaidah al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi
1) al-‘adatu muhakkamatun (Kearifan lokal atau adat dapat menjadi patokan atau acuan
hukum”)
Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa makna
kaidah secara bahasa “ Aladatu “ (‫ )العادة‬terambil dari kata “ al audu” (‫ )العود‬dan “ al muaawadatu
“ (‫ )الموادة‬yang berarti “pengulangan”. Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan
atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan
karena sudah menjadi kebiasaan.Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa
dikatakan sebagai sebuah ‘adah’ adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.
Sedangkan “Mukhakkamatun” secara bahasa adalah isim maf’uI dari “takhkiimun” yang
berarti “menghukumi dan memutuskan perkara manusia.” Jadi arti kaidah ini secara bahasa
adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara
perselisisihan antara manusia.1
Kaidah tersebut di atas merupakan salah satu kaidah terkait adat-istiadat yang mendapatkan
legitimasi syariat.
Menurut al-Jurjani (2012), yang dimaksud dengan adat adalah:

“ialah sesuatu yang terus menerus dilakukan oleh manusia, dapat diterima oleh akal, dan
manusia mengulangulanginya terus menerus”.
Sebagian ulama menyamakan antara adat dengan al-‘urf dengan alasan subtansinya sama,
hal ini dapat difahami melalui defenisi al-‘urf (al-Jurjani: 2012):

1
Rahmi Kurniati, ‘Mandi Taman Dalam Pernikahan Adat Melayu Desa Tualang Menurut Hukum Islam’,
Repository Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015, 13
<http://repository.iainpurwokerto.ac.id/205/>. 18

6
“ialah suatu perkara dimana jiwa merasakan ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah
sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiannya. Maka dari itu ia dapat
dijadikan sebagai Hujjah, tetapi hal ini lebih cepat dimengerti”.2
Sebagai contoh: dahulu tradisi mahar menikah adalah seperangkat alat sholat, dan
dimaknai mukena saja. Lalu muncul tradisi baru bahwa yang dimaksud seperangkat alat sholat
adalah mukena, sajadah, tasbih. Maka suami yang menikah dengan tradisi lama (hanya mukena
saja), maka tidak membayar sebagaimana tradisi baru, karena tradisi terjadinya akad waktu dulu
sebagai acuan hukum.
2) al-ijtihad la yunqadlu bil ijtihad (ijtihad tak dapat dianulir ijtihad lain)
Dalam kaidah ini ada dua kalimat yang akan menjadi kajian yaitu kata-kata : ‫ االجتهاد‬al
(Ijtihadu) dan ‫( النقض‬An nakdu) Makna ‫ االجتهاد‬menurut bahasa :Al-ijtihad merupakan bentuk
mashdar dari kata (ijtihâda) yang berarti mengerahkan segenap kemampuan, menurut
Ibn Faris, al-jahdu berarti ‫( الطاقة‬At-thakotu) yaitu kemampuan.
Sedangkan kata ‫( النقض‬An nakdu) menurut bahasa merupakan bentuk mashdar dari kata
(nakodo yankidu nakdon) yang mempunyai arti runtuh atau rusak. 3
Sebagai sebuah produk pemikiran manusia, hasil ijtihad ada kalanya tidak sesuai lagi dengan
perkembangan situasi dan kondisi. Para ulama ahli fiqh sepakat bahwa hukum-hukum yang
berdiri di atas landasan yang berubah dan berkembang, niscaya ia juga akan berubah dan
berkembang.
Perubahan bukan berarti pembatalan hukum yang lama, melainkan hanya penyesuaian terhadap
tuntutun keadaan. Menurut Wahbah al-Zuhailī, pembatalan berbeda dengan perubahan.
Perubahan adalah persoalan menetapkan hukum baru yang berbeda dari ijtihad sebelumnya.
Sedangkan pembatalan ijtihad terkait dengan aspek kehidupan dan fatwa yang dapat
menjerumuskan kepada perselisihan dan kekacauan di antara manusia.
Abd al-‘Azīz Muhammad ‘Azzām menjelaskan bahwa ijtihad hanya menghasilkan suatu
kesimpulan hukum pada tingkat zhanni, dan semua hasil ijtihad memiliki potensi benar dan
salah. Ijtihad yang kedua tidak lebih kuat daripada yang pertama, karena keduanya sama-sama

2
al 'adatu muhakkamah https://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2014/04/al-adatu-muhakkamah.html diakses
tanggal 1 oktober 2022
3
Muhammad Rusdi, "Analisis Kaidah Al Ijtihad La Yunqadh Bi Al Ijtihad Dan Aplikasinya Dalam Hukum Islam"
Al-Qadhâ: Vol. 5, No. 2, Juli 2018’, 5.2 (2018). 49

7
pada kategori zhanni. Oleh sebab itu, sesuatu yang zhanni tidak dapat membatalkan sesuatu
lainnya yang juga bersifat zhanni.
Makanya Sayyid Sabiq berpandangan bahwa apabila seorang hakim menghukumi suatu
perkara berdasarkan ijtihadnya kemudian muncul hukum baru darinya yang bertentangan dengan
hukum yang pertama maka hukum baru itu tidaklah merusak hukum yang pertama. Demikian
pula bila diajukan kepadanya keputusan dari hakim lain, sedang dia tidak sependapat dengan
yang demikian, maka keputusan hukum yang lain itu tidaklah merusak keputusan yang telah
ditetapkannya.
Hal senada juga diutarakan Mohammad Hashim Kamali dengan mencontohkan seorang
hakim yang memutus suatu sengketa atas dasar ijtihadnya sendiri ketika tidak ada teks yang jelas
untuk menentukan persoalan tersebut. Kemudian hakim ini pensiun dan hakim lainnya dari
tingkatan peradilan yang sama mengkaji kembali perkara tersebut dan dengan ijtihadnya sendiri
menemukan kesimpulan berbeda atas persoalan yang sama. Perbedaan ijtihad ini tidak
mempengaruhi otoritas ijtihad yang pertama semata-mata karena satu ijtihad tidak dapat
dibalikkan oleh putusan ijtihad yang lain, sesuai dengan kaidah yang berlaku, al-ijtihādu lā
yunqadhu bi al-ijtihādi.4

B. Dasar hukum al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi


1. Al-‘adatu muhakkamatun (Kearifan lokal atau adat dapat menjadi patokan atau
acuan hukum”)
a. Al-Qur’an
Sebagian ulama melandaskan kehujjahan kaidah ini kepada ayat Al-Qur’an surat al-
A’raf: 199

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


َ‫ف َواَ ْع ِرضْ َع ِن ْال ٰج ِهلِ ْين‬
“Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh”. Menurut Al-Suyuthi> seperti dikutip S{aikh ya>sin bin Isa al-
Fadani> kata al-‘urf pada ayat diatas bisa diartikan sebagai kebiasaan atau adat. Ditegaskan juga,
adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun pendapat
ini dianggap lemah oleh komunitas ulama lain. Sebab jika al- ‘urf diartikan sebagai adat istiadat,

4
Rusdi Ali, “Otoritas Ijtihad Dalam Kajian Hukum Islam (Analisis Kaedah Fikih Al-Ijtihadu La Yunqadhu Bi Al-
Ijtihadi)” El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol. 4 No.1 (Januari-Juni 2021), 122

8
maka sangat tidak selaras dengan asba>b alnuzul-nya, dimana ayat ini diturunkan dalam konteks
dakwah yang telah dila– 18 Moh Rifa’i, Ushul Fiqh (Semarang: Wicaksana, 1984), 64 kukan
Nabi SAW kepada orang-orang Arab yang berkarakter keras dan kasar, juga kepada orang-orang
yang masih lemah imannya
b. Hadist
yang dikutip oleh al-Shafi’i tentang unta milik sahabat Barra’ bin ‘Azib al-Ansari RA. yang
memasuki kebun milik orang lain dan merusak tanamannya, Nabi menegakan:.

“Pemilik kebun harus nejaga kebunnya di siang hari dan pemilik ternak harus menjaga
ternaknya di malam hari”
Penunjukan hadis diatas adalah jika ternak yang merusak tanaman pada waktu malam, maka
pemilik ternak wajib membayar ganti rugi, karena kebiasaan arab ketika itu adalah semua ternak
dimasukkan ke dalam kandangnya pada malam hari, akan tetapi apabila ternak tersebut merusak
tanaman pada siang hari, maka pemi– lik ternak tidak mempunyai kewaji– ban membayar ganti
rugi.5

2. Al-ijtihad la yunqadlu bil ijtihad (ijtihad tak dapat dianulir ijtihad lain)
a. Al-quran
Kaidah al-Ijtihad la yunqadhu bi alIjtihad bersumber dari al-Quran, sunnah, ijma’ dan atsar.
Adapun dalil kaidah ini dari alQur-an : Firman Allah Ta’ala QS. Al-Anfal :67-68 :
‫هّٰلل‬ ‫هّٰلل‬ ٰ ۤ
ِ ‫ض ال ُّد ْنيَا ۖ  َوا ُ ي ُِر ْي ُد ااْل ٰ ِخ َرةَ ۗ  َوا ُ ع‬
‫َز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ْ‫َما َكا نَ لِنَبِ ٍّي اَ ْن يَّ ُكوْ نَ لَهٗ اَس ْٰرى َحتّى ي ُْث ِخنَ فِى ااْل َ ر‬
َ ‫ض ۗ تُ ِر ْي ُدوْ نَ َع َر‬
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan, sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, (QS.
8:67)

َ َ‫لَوْ اَل ِك ٰتبٌ ِّمنَ هّٰللا ِ َسب‬


‫ق لَ َم َّس ُك ْم فِ ْي َم ۤا اَخ َْذتُ ْم َع َذا بٌ َع ِظ ْي ٌم‬

5
Hukum Islam, ‘Al- ‘ A < DAH MUH { AKKAMAH ‘ A > Dah d an ‘ Urf Sebagai Metode Istinba < T’, 2005, 325.

9
"Sekiranya tidak ada ketetapan terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar
karena (tebusan) yang kamu ambil."
(QS. Al-Anfal 8: Ayat 68.
b. Hadist
Diriwayatkan oleh Amir bin Rabi’ah dari ayahnya beliau berkata: ketika kami melakukan
perjalanan dengan Rasulullah Saw, cuaca sedang mendung, dan sulit bagi kami untuk
menentukan arah kiblat, maka kami terus saja melakukan shalat, ketika cuaca sudah cerah
kembali kami menyadari bahwa kami telah shalat bukan ke arah kiblat, maka kami ceritakan
hal itu kepada Rasulullah saw lalu turunlah ayat:

diriwayatkan dari Atha’ bin Jabir beliau berkata : ketika kami bersama Rasulullah dalam
perjalanan, tiba-tiba cuaca berubah menjadi mendung, ketika itu kami berselisih paham tentang
arah kiblat, maka setiap dari kami shalat dengan keyakinan arah kiblat masing-masing. Ketika
cuaca kembali cerah dan kami sudah bisa melihat posisi matahari maka kami dapati shalat
kami tidak mengarah ke arah kiblat, maka kami menceritakan hal itu kepada Rasulullah dan
beliau bersabda : “Shalat setiap kalian telah diterima oleh Allah”.
Dua hadist tersebut diatas secara tegas menyebutkan bahwa shalat Sahabat dalam hari yang
mendung yang tidak kelihatan matahari dan mereka saling berselisih paham dalam penentuan
arah kiblat dan mereka melaporkan kepada rasul ketika cuaca sudah kembali cerah dan sabda
rasulullah bahwa shalat mereka telah diterima oleh Allah serta tidak adanya perintah dari Rasul
untuk mengi’adah (mengulang) shalat mereka tersebut menjadi dalil bahwasanya shalat mereka
sah, dan bahwasanya shalat yang dilakukan dengan berijitihad terhadap arah kiblat seperti
dalam kasus hadis tersebut diatas dan tidak adanya perintah untuk mengulang kembali shalat
tersebut menjadi dalil atas kaidah al-Ijtihad La Yunqadhu bi al-Ijtihad.6

6
Muhammad Rusdi Bin Muhammaddiah, “Analisis Kaidah Al-Ijtihad La Yunqadh Bi Al-Ijtihad Dan Aplikasinya
Dalam Hukum Islam” Al-Qadhâ: Vol. 5, No. 2, (Juli 2018), 54

10
C. Kaidah cabang al-‘adatu muhakkamatun dan al-ijtihadu la yanqudhu bi
al-ijtihadi
1. al-‘adatu muhakkamatun
a. Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/ argumen/ dalil) yang wajib
diamalkan.
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan dimasyarakat, menjadi
pegangan, dalam arti setiap anggota masyarakat mentaatinya. Contohnya menjahitkan pakaian
kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan
menjahitnya adalah tukang jahit.
b. Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus menerus
berlaku atau berlaku umum.
Maksudnya, tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila
adat kebiaaan itu hanya sekali-sekali terjadi dan/ atau tidak berlaku umum. Kaidah ini
sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, taitu terus menerus dilakukan dan
bersifat umum (keberlakuannya).
D. Adat yang diakui adalah adat yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan
dengan yang jarang terjadi.
Contohnya, para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila
menggunakan kaidah di atas, maka waktu hamil terpanjang tidak melebihi satu tahun. Demikian
pula menentukam menopause wanita dengan 55 tahun.7
2. al-ijtihadu la yanqudhu bi al-ijtihadi
‫َّعيَّ ِة َمنُوطٌ بِ ْال َمصْ لَ َح ِة‬
ِ ‫صرُّ فُ اِإْل َم ِام َعلَى الر‬
َ َ‫ت‬
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat".

Qā’idah ini merupakan Qā’idah Fiqh yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam
implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat
yang dipimpin.

7
Susi Susanti, " Implementasi Kaidah Al’adatu Muhakkamah Pada Tradisi Marosok Dalam Akad Jual Beli Di Pasar
Ternak Nagari Palangki Kecamatan Iv Nagari Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat" Skripsi Uin Suska Riau,
(2020), 44.

11
Kaitan Qā’idah ini dengan Qā’idah “Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād”, dimana kebijakan
pemimpin yang merupakan ijtihan yang zhanniyyah dikondisikan dengan kemaslahatan umum,
sehingga tidak kecil kemungkinan akan berubah-ubah seiringnya masa, dalam konteks Qā’idah
“Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād” berarti kebijakan pemimpin yang terdahulu tetap
diberlakukan sebagaimana yang telah berlaku namun untuk masa kemudia harus mengikuti
kebijakan yang baru.8

8
“Makalah | Kaidah "Al-Ijtihad La Yanqudhu Bi Al-Ijtihad" - Qawaid Fiqhiyah (Referensi Kitab Kuning)”
Https://Kitabkuning90.Blogspot.Com/2019/10/Makalah-Kaidah-Al-Ijtihad-La-Yanqudhu.Html Diakses Tanggal 2
Oktober 2022

12
BAB llI

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kaidah Fiqhiyah al‐‘Âdah Muhakkamah atau yang biasa disebut dengan teori Adat adalah
merupakan kaidah sangat penting dalam memahami hukum Islam. Terlebih teori adat ini
digolongkan oleh para ulama fiqh ke dalam kategori kaidah besar yang memiliki sub cabang
kaidah fiqhiyah di dalam. Hal ini tentu menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai
pedoman pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam oleh para mujtahid di setiap zaman,
terkhusus pada era saat ini dalam menjawab tantangan problematika hukum yang senantiasa
berkembangan mengikuti arus globalisasi dan modernisasi.
Dalam implementasinya, teori adat atau kaidah al’Âdah Muhakkamah memiliki syarat
dan aturan tertentu yang harus dipenuhi, di antaranya yang paling penting adalah tidak
adanya nash dalil yang qoth’I atau dzonny yang memenuhi syarat argumentasi sebagai dalil,
dan harus tidak bertentangan secara substansinya dengan kaidah fiqh lain yang lebih tinggi
kedudukannya.
Implementasi teori adat dalam hukum keluarga Islam juga sangat penting digunakan,
terlebih dalam beberapa masalah yang tidak ditemukan solusinya dalam literatur klasik para
fuqoha’. Di antara contoh implementasi kaidah al-Âdah muhakkamah dalam hukum
keluarga Islam adalah terkait ukuran nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada istri
dan anakanaknya, juga terkait redaksi talak yang tidak dimaksudkan untuk menceraikan
istrinya, dan termasuk ukuran kaffarat yang wajib ditunaikan ketika melanggar beberapa
ketentuan hukum Islam, baik yang bersifat mahdhah maupun ghairu mahdhah.
2. Ijtihād adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihād merupakan
sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum
yudisial Islam (fiqh).
Tanpa peran Ijtihād, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri
kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman
dengan beragam problematikanya. Dengan demikian Ijtihād adalah sebuah keniscayaan
dalam Islam.

13
Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. Tindakan
dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan
kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah
pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.

B. Saran
Penyusun menyadari kekurangan sempurnanya tulisan ini, itu semua karena kurangnya
ilmu pengetahuan yang penyusun miliki. Oleh karena itu diharapkan kritik serta saran yang
bersifat memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya terutama
bagi penyusun sendiri. Amiinn

14
DAFTAR PUSTAKA
Rahmi Kurniati, ‘Mandi Taman Dalam Pernikahan Adat Melayu Desa Tualang Menurut Hukum Islam’, Repository
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2015, 13 <http://repository.iainpurwokerto.ac.id/205/>.
al 'adatu muhakkamah https://habyb-mudzakir-08.blogspot.com/2014/04/al-adatu-muhakkamah.html diakses tanggal
1 oktober 2022
Muhammad Rusdi, "Analisis Kaidah Al Ijtihad La Yunqadh Bi Al Ijtihad Dan Aplikasinya Dalam Hukum Islam"
Al-Qadhâ: Vol. 5, No. 2, Juli 2018’, 5.2 (2018).

Rusdi Ali, “Otoritas Ijtihad Dalam Kajian Hukum Islam (Analisis Kaedah Fikih Al-Ijtihadu La Yunqadhu Bi Al-
Ijtihadi)” El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga Vol. 4 No.1 (Januari-Juni 2021),
Hukum Islam, ‘Al- ‘ A < DAH MUH { AKKAMAH ‘ A > Dah d an ‘ Urf Sebagai Metode Istinba < T’, 2005, 325.
Muhammad Rusdi Bin Muhammaddiah, “Analisis Kaidah Al-Ijtihad La Yunqadh Bi Al-Ijtihad Dan Aplikasinya
Dalam Hukum Islam” Al-Qadhâ: Vol. 5, No. 2, (Juli 2018),
Susi Susanti, " Implementasi Kaidah Al’adatu Muhakkamah Pada Tradisi Marosok Dalam Akad Jual Beli Di Pasar
Ternak Nagari Palangki Kecamatan Iv Nagari Kabupaten Sijunjung Provinsi Sumatera Barat" Skripsi Uin
Suska Riau, (2020), .
Makalah | Kaidah "Al-Ijtihad La Yanqudhu Bi Al-Ijtihad" - Qawaid Fiqhiyah (Referensi Kitab Kuning)”
Https://Kitabkuning90.Blogspot.Com/2019/10/Makalah-Kaidah-Al-Ijtihad-La-Yanqudhu.Html Diakses
Tanggal 2 Oktober 2022

15

Anda mungkin juga menyukai