FAKULTAS SYARIAH
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG………………………………………………………...3
RUMUSAN MASALAH...................................................................................3
TUJUAN............................................................................................................3
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA..............................4
B. PENGKALSIFIKASIAN UNSUR UNSUR TINDAK PIDANA
ISLAM…………………………………………………...…………..……….5
PENUTUP
KESIMPULAN……………………………………………………………….10
SARAN……………………………………………………………………….11
PENUTUP…………………………………………………………………….11
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum pidana Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang, karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan tersebut melanggar syari’at yang ada.
Seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima akibatnya seperti dikenakan salah satu
jenis jarimah. Dalam hukum pidana Islam, ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur
sedemikian rupa. Jadi, apabila seseorang berani melakukan sebuah kejahatan, maka dia juga
telah siap menerima jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Umat Islam, perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana, agar
sikap yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal ini menyangkut pula syari’at, dimana
Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya akan dipegang teguh. Oleh sebab itu, dalam makalah ini
penulis mengangkat tema yang didasarkan pada pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur
dalam tindak pidana Islam, sehingga penulis akan memaparkan masalah tersebut dalam makalah
dengan judul “Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam.”
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan
unsur normatif dan moral sebagai berikut:
1. Secara yuridis normatif disuatu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan
larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis
normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran
terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.
2. Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata
mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi.
Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua
jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda
antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga
macam:
1. Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
mengancamnya dengan hukuman.
2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa
perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat
dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
4
Sebagai contoh, suatu perbuatan baru dianggap sebagai pencurian dan pelakunya dapat
dikenakan hukuman apabila memenuhi unsure-unsur sebagai berikut :
1. Ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan mengancamnya dengan hukuman. Ketentuan
tentang hukuman pencurian ini tercantum dalam Surah Al-Maidah (38) yang berbunyi :
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
2. Perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukan, walaupun baru percobaan saja. Misalnya
sudah mulai membongkar pintu rumah korban, meskipun belum mengambil barang-barang yang
ada di dalamnya.
3. Orang yang melakukannya adalah orang yang cakap (mukallaf) yaitu baligh dan berakal.
Dengan demikian apabila orang yang melakukannya gila atau masih di bawah umur maka ia
tidak dikenakan hukuman, karena ia orang yang tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana.
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila sebelumnya sudah ada
nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Unsur
ini disebut unsur formal jarimah. Dalam membicarakan unsur formal ini, terdapat lima masalah
pokok sebagai berikut :
Salah satu kaidah yang penting dalam syariat Islam adalah : “Sebelum ada nash (ketentuan),
tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.”
Kaidah di atas juga identik dengan kaidah lain yang berbunyi : “Pada dasarnya semua perkara
dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”
5
Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut : “Suatu perbuatan atau sikap tidak
berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas
yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian
sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.”
Asas legalitas yang terkenal di dalam hukum positif telah ada sejak Islam diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang menggambarkan adanya asas legalitas diantaranya
adalah Surah Al-Isra ayat 15 dan Al-Qashash ayat 59. Dengan demikian maka syariat Islam telah
mengenal lebih dahulu asas ini.
Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-
Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Untuk hukum pidana Islam formil, atau hukum acara
pidana semua sumber hukum tersebut bisa terpakai. Akan tetapi, penggunaan qiyas dalam
jarimah tertentu masih diperdebatkan oleh para fuqaha.
Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada
prinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya dalam hukum positif, peraturan pidana
dalam hukum Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang
terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum
pidana Islam juga tidak berlaku surut. Hal ini juga dijelaskan oleh Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat
22-23, Al-Maidah ayat 38.
Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis para
fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian, yaitu Negeri Islam dan Negeri Bukan Islam.
Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak di
dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam kelompok ini,
negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum-hukum Islam.
Termasuk dalam kelompok negeri bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh
6
kaum muslimin atau negeri dimana hokum Islam tidak dijalankan walaupun di sana terdapat
umat Islam.
Artinya : “Wahai sekalian manusia, kami ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan dan kami
jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia diantara
kamu adalah yang paling takwa.”
Unsur materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada
individu atau masyarakat. Misalnya dalan jarimah zina unsur materiilnya adalah perbuatan yang
merusak keturunan, jarimah qadzaf unsut materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina,
sedangkan jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa orang lain. Dengan kata lain pengertian unsur materiil dari suatu jarimah adalah
sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah : “Melakukan perbuatan atau
perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh pengadilan.”
Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka terdapat tiga
fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase
pelaksanaan.
7
Pada fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah
tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku
dalam syariat Islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya
atau niat yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW : Abu
Hurairah ra. Berkata : Nabi SAW telah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku
karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.”
Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila
perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat. Akan tetapi mazhab Hambali dan
Maliki, perbuatan persiapan dipandang sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan
hukumnya adalah haram. Sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman.
Fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk
dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat.
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta secara langsung dan secara
tidak langsung. Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan jarimah
dengan nyata lebih dari satu orang. Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang
mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat
dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut
disertai dengan kesengajaan.
1) Pertanggungjawaban pidana
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan
kejahatan itu sendiri, bukan orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban
8
pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau
meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang
itu ada enam macam, yaitu pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan,
permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan
melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman
itu ada empat macam, yaitu paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya
dengan hukuman.
2. Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan
nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
3. Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
1. Unsur formal jarimah, meliputi asas legalitas, sumber-sumber aturan pidana Islam, masa
berlaku, lingkungan berlaku, serta terhadap siapa aturan itu berlaku.
2. Unsur materiil jarimah, meliputi percobaan dan turut serta melakukan tindak pidana Islam.
10
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdurrahman. (2014), (jurnal online) Fiqh Jinayah, Pengertian unsur-unsur tindak pidana
Islam, 218-222
Disu, Muazzin, (2015), (jurnal online) Fiqh Jinayah, unsur formal jarimah, 5
11