Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH FIQIH JINAYAH

“PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DAN UQUBAH (HUKUMAN)”

DOSEN PENGAMPU : Khairul Hamim, Dr, MA

Di Susun Oleh :

Kelompok 2

Nisrina Durratul Hikmah (200202102)

Dayu Fauzia Maimunah (200202089)

Fajrian Hidayat (200202072)

HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT , yang telah memberikan kita rahmat
dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan tepat waktu.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya
sangat membutuhkan kritik serta saran dari semua pihak. Saya berharap semoga makalah ini
dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada para pembaca.

Akhir kata, saya ucapkan terimakasih kepada pihak – pihak yang berkontribusi sehingga
saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Mataram, 2 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................. 2
D. Manfaat penulisan ............................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Pengertian dan dasar hukum penanggungjawaban pidana ................... 3


B. Tingkat – tingkat penanggungjawaban pidana..................................... 5
C. Faktor – faktor yang mempengaruhi penanggungjawaban pidana....... 6
D. Dihapusnya penanggungjawaban pidana.............................................. 7
E. Pengertian uqubah ................................................................................ 9
F. Dasar hukum uqubah ........................................................................... 10
G. Tujuan uqubah ..................................................................................... 11
H. Dihapusnya uqubah .............................................................................. 13

BAB III PENUTUP ............................................................................................... 16

A. Kesimpulan ......................................................................................... 16
B. Saran ................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hukum Pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh Jinayah. Fiqh Jinayah adalah
segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang
terperinci dari Al-Qur’an dan Hadist.
Tindakan kriminal dimaksud, adalah tindakan-tindakan kejahatan yang menggangu
ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Hadits.
Hukum Pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi
kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syari’at Islam dimaksud secara materil
mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksankannya.
Konsep kewajiban asasi syari’at yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak,
baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya
pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah.

Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula dikatakan balasan atas suatu
kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab disebut uqubah. Lafadz uqubah menurut
bahasa berasal dari kata aqoba, yang memiliki sinonim “aqobahu bidzanbihi au ‘ala
dzanbihi”, yang mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain “akhodzahu
bidzanbihi”, yang artinya menghukum atas kesalahannya.
Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan
(kesalahan dosa). Yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hukuman
adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang
dan lain sebagainya (yang bersifat mengikat dan memaksa).
Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan, hukuman adalah seperti
didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut “Hukuman adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk memlihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas
ketentuanketentuan syara”

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan dasar hukum pertanggungjawaban pidana ?
2. Apasajakah tingkat – tingkat pertanggungjawaban pidana ?
3. Apasajakah faktor – faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana ?
4. Apasajakah penyebab dihapusnya pertanggungjawaban pidana ?
5. Apakah pengertian uqubah ?
6. Bagaimana dasar hukum uqubah ?
7. Apa tujuan dari uqubah ?
8. Apa penyebab di hapusnya uqubah ?
1
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui pengertian dan dasar hukum dari pertanggungjawaban pidana
2. Mengetahui tingkat – tingkat pertanggungjawaban pidana
3. Mengetahui faktor – faktor dari pertangungjawaban pidana
4. Mengetahui penyebab di hapusnya pertanggungjawaban pidana
5. Mengetahui pengertian dari uqubah
6. Mengetahui dasar hukum dari uqubah
7. Mengetahui tujuan dari uqubah
8. Mengetahui penyebab dari tujuan uqubah

D. MANFAAT PENULISAN
Dapat di jadikan sumber belajar mengajar dalam konteks fiqih jinayah yang berfokus
pada pertanggungjawaban pidana dan uqubah (hukuman)

BAB II
PEMBAHASAN
2
A. PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
 Pengertian pertanggung jawaban pidana
Pertanggung jawaban pidana dalam bahasa asing di sebut sebagai “teore
kenbaarheid” atau “criminal responsibility” atau “criminal liability”. Maksutnya adalah
bahwa pertanggung jawaban pidana di maksutkan untuk menentukan apakah seseorang
tersangka/terdakwa di pertanggung jawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau
tidak. Dengan kata lain, apakah terdakwa akan di pidana atau di bebaskan. Jika ia di
pidana, harus nyata bahwa tindakan yang di lakukan itu bersifat melawan hukum dan
terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan
dari pelaku tindak pidana yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. 1
Dalam perspektif hukum pidana islam (Fiqih al-jinayah al-islamiyah),
pertanggung jawaban pidana disebut dengan istilah al-mas’ulyyah al-jinaiyah. Menurut
A.Hanafi, pertanggung jawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan
seseorang akibat perbuatan yang di kerjakanya dengan kemauan sendiri di mana ia
mengetahui maksud dan akibat-akibat dari perbuatnya itu.2

Dalam syariat islam pertanggung jawaban itu didasarkan kepada:


1) Melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang di wajibkan.
2) Perbuatan tersebut dikerjakan dengan kemauan sendiri artinya pelaku memiliki
pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut.
3) Pelaku mengetahui akibat perbuatan yang dilakukan. Apabila ketiga hal tersebut
maka terdapat pula pertanggung jawaban apabila tidak terdapat maka tidak terdapat
pula pertanggung jawaban dengan demikian orang gila, anak dibawah umur, orang
yang dipaksa dan terpaksa tidak di bebani pertanggung jawaban karena dasar
pertanggung jawaban pada mereka ini tidak ada pembebasan pertanggung jawaban.

Dalam hal pertanggung jawaban pidana, hukum islam hanya membebani


hukuman pada orang yang masih hidup dan mukallaf, hukum islam juga mengampuni
anak-anak dari hukuman yang semestinya dijatuhkan bagi orang dewasa kecuali ia telah
baligh.

 Dasar hukum pertanggung jawaban pidana


Syari’at islam memberikan ketentuan bahwa pembebanan hukum itu hanya berlaku
bagi manusia yang masih hidup dan resiko perbuatan yang di lakukannya harus di
pertanggung jawabkan sendiri dan tidak ada pembebanan terhadap orang lain. Di jelaskan
dalam Qs. Fathir ayat 18 yang berbunyi :

1
Dr.khairul Hamim, MA. “Fikih jinayah”. Mataram : sanabil, 2020. hlm 85.
2
A. Hanafi, M.A, “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1967, hlm. 154.

3
‫ء َو َل ۡو َك اَن َذ ا ُق ۡر َبٰۗٓى ِإَّنَم ا‬ٞ ‫ة ِوۡز َر ُأۡخ َر ٰۚى َو ِإن َتۡد ُع ُم ۡث َقَلٌة ِإَلٰى ِح ۡم ِلَها اَل ُيۡح َم ۡل ِم ۡن ُه َش ۡي‬ٞ ‫َو اَل َتِزُر َو اِزَر‬
‫ُتنِذ ُر ٱَّلِذ يَن َيۡخ َشۡو َن َر َّبُهم ِبٱۡل َغ ۡي ِب َو َأَقاُم وْا ٱلَّص َلٰو َۚة َو َم ن َتَز َّك ٰى َفِإَّنَم ا َيَتَز َّك ٰى ِلَنۡف ِس ۚۦِه َو ِإَلى ٱِهَّلل ٱۡل َم ِص يُر‬
Artinya : “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika
seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu
tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum
kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang
takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka
mendirikan sembahyang. Dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia
mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah kembali(mu)”.

Dan di jelaskan dalam Qs. Al-najm ayat 39, yang berbunyi :


‫َو َأن َّلۡي َس ِلِإۡل نَٰس ِن ِإاَّل َم ا َسَع ٰى‬
Artinya : dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya,

Faktor yang menyebabkan terjadinya pertanggung jawaban pidana adalah di


karenakan perbuatan maksiat (pelanggaran-pelanggaran) yaitu meninggalkan yang di
suruh/di wajibkan oleh syara’ dan mengerjakan yang di larang oleh syara’ jadi sebab
pertanggung jawaban pidana adalah melakukan kejahatan apabila tidak melakukan
kejahatan maka tidak ada pertanggung jawaban pidana.
Hukuman yang merupakan cara pembebanan pertanggung jawaban pidana di
maksudkan untuk memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat atau dengan
perkataan lain, adalah sebagai alat menegakkan kepentingan masyarakat oleh karena itu
besarnya hukuman harus di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yakni tidak boleh
melebihi apa yang diperlukan untuk melindungi kepentingan masyarakat.3

Suatu hukuman dapat dianggap mewujudkan kepentingan masyarakat manakal


memenuhi syarat-syarat berikut ini yaitu :
1) hukuman mempunyai daya kerja yang cukup sehingga bisa menahan seseorang untuk
tidak mengulangi perbuatannya.
2) Hukuman tersebut juga mempunyai daya bagi orang lain, sehingga ketika ia
memikirkan akan memperbuatkan jarimah, maka terpikir pula olehnnya bahwa
hukuman yang akan menimpanya terlalu besar daripada keuntungan yang di
perolehnya.
3) Ada persesuaiannya antara hukuman dengan jarimah yang di perbuat.
4) Ketentuan hukuman bersifat umum, artinya berlaku untuk setiap orang yang berlaku
jarimah tanpa memandang pangkat, keturunan atau pertimbangan pertimbangan lain.

3
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/11055/05.%202%20Bab%202.pdf?
sequence=6&isAllowed=y. hlm 16-17.

4
Hubungan hukuman dengan pertanggungjawaban ditentukan oleh sifat “ke-
seseorangan hukuman” yang merupakan salah satu prinsip dalam syariat islam, dimana
seseorang tidak bertanggung jawaban kecuali terhadap jarimah yang telah diperbuatnya
sendiri dan bagaimanapun juga tidak bertanggung jawab terhadap jarimah orang lain.

B. TINGKAT – TINGKAT PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA

Adapun tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban pidana adalah :


a. Sengaja (Al- ‘Amdu)
Dalam arti yang umum sengaja terjadi apabila pelaku berniat melakukan perbuatan
yang dilarang atau sudah direncanakan sebelumnya. Tentu saja pertanggungjawaban
pidana dalam tingkat ini lebih berat dengan tingkat dibawahnya.

b. Menyerupai Sengaja (Syibhul ‘Amdi)


Pengertian Syibhul ‘Amdi adalah dilakukannya perbuatan itu dengan maksud
melawan hukum, tetapi akibat perbuatan itu tidak dikehendaki. Dalam pertanggung
jawabannya menyerupai sengaja berada di bawah sengaja.

c. Keliru (Al- Khata’)


Pengertian keliru adalah terjadinya suatu perbuatan di luar kehendak pelaku, tanpa ada
maksud melawan hukum. Dalam hal ini, perbuatan tersebut terjadi karena kelalaiannya
atau kurang hati-hatinya. Kekeliruan ini ada 2 (dua) macam, yaitu :
1) Keliru dalam perbuatan, seperti seorang pemburu yang menembak burung, tetapi
pelurunya menyimpang dan mengenai orang.
2) Keliru dalam dugaan, seperti seorang tentara yang menembak seseorang yang
disangkanya anggota pasukan musuh, tetapi setelah diteliti ternyata anggota pasukan
sendiri.

d. Keadaan yang Disamakan dengan Keliru


Ada 2 (dua) bentuk perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan, yaitu :
1. Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang dilarang, tetapi hal
itu terjadi di luar pengadilan dan sebagai akibat kelalainnya, seperti seseorang yang
tidur di samping seorang bayi di suatu barak penampungan dan ia menindih bayi itu
sehingga bayi tersebut mati.
2. Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang dilarang karena kelalainnya
tetapi tanpa dikehendakinya, seperti seseorang yang menggali parit di tengah jalan
untuk mengalir air tetapi ia tidak memberi tanda bahaya, sehingga pada malam hari
terjadi kecelakaan atas kendaraan yang lewat.

5
Dalam segi pertanggung jawabannya, keadaan ini lebih ringan dari pada keliru,
karena pelaku dalam keadaan ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk melakukan
perbuatan, melainkan perbuatan itu terjadi semata-mata akibat keteledoran dan
kelalaiannya. Sedangkan dalam hal keliru pelaku sengaja melakukan perbuatan,
walaupun akibatnya terjadi karena kurang hati-hati. 4

C. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA


 Pengaruh tidak tahu, lupa dan keliru
- Pengaruh tidak tahu
Ketentuan yang berlaku dalam syari’at islam adalah pelaku tidak di hukum karena
suatu perbuatan yang dilarang, kecuali ia mengetahui dengan sempurna tentang
dilarangnya perbuatan tersebut.
Apa bila ia tidak tahu dilarangnya perbuatan tersebut. Apabila ia tidak tahu tentang di
larangnya perbuatan tersebut maka ia tidak di kenakan pertanggungjawaban pidana.

- Pengaruh lupa
Lupa ialah tidak tersiapnya sesuatu pada saat di butuhkan. “lupa” selalu di
gandengkan dengan “keliru”. Seperti pada ayat Qs. Al-baqarah ayat 286, yang
berbunyi :
.……‫َر َّبَنا اَل ُتَؤ اِخ ۡذ َنٓا ِإن َّنِس يَنٓا َأۡو َأۡخ َطۡأ َنا‬..……
Artinya : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah" 5

Dalam membicarakan hukum lupa ini para fuqoha terbagi kepada dua golongan,
yaitu :
a. Golongan pertama menyatakan bahwa lupa adalah alas an yang umum baik dalam
urusan ibadah maupun dalam urusan pidana. Mereka berpegang pada prinsip umum
yang menyatakan bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang di larang karena
lupa, ia tidak berdosa dan di bebaskan dari hukuman. Meskipun demikian ia tetap di
kenakan pertanggungjawaban perdata.
b. Golongan ke dua menyatakan bahwa lupa hanya menjadi hapusnya hukuman
akhirat. Untuk hukuman – hukuman di dunia lupa tidak menjadi alasan hapusnya
hukuman sama sekali kecuali dalam hal – hal yang berhubungan dengan hak allah
SWT.

- Pengaruh keliru

4
http://digilib.uinsby.ac.id/18838/5/Bab%202.pdf. hlm 31-35
5
Dr.khairul Hamim, MA. “Fikih jinayah”. Mataram : sanabil, 2020. hlm 94-99

6
Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu di luar kehendak pelaku. Pelaku
melakukan perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan kerena
kelainan dan kekurang hatian.
Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang keliru ini di persamakan dengan
orang – orang yang sengaja perbuat, apabila perbuatannya itu merupakan perbuatan
yang di larang oleh syara’. Hanya saja yang membedakannya adalah segi
pertanggungjawabannya.

D. DI HAPUSNYA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA

Pertanggung jawaban pidana dapat di nyatakan hapus karena ada kaitanya dengan
perbuatan yang terjadi atau kaitanya dengan hal-hal yang terjadi menurut keadaan bagi si
pelaku. Dalam keadaan yang pertama ini adalah perbuatan yang di lakukan tersebut
merupakan perbuatan mubah (dalam agama tidak ada pelarangan karena hukum asal),
sedangkan keadaan yang kedua adalah perbuatan yang di lakukan itu merupakan perbuatan
yang terlarang namun si pelaku tidak dapat di beri hukuman karena ada suatu keadaan pada
si pelaku yang dapat terhindar dari hukuman. Kedua keadaan ini (perbuatan dan pelaku)
dalam Suatu perbuatan pidana di dalamnya terdapat alasan pembenar sebagai penghapus
pidana maka suatu perbuatan tersebut menjadi kehilangan sifat melawan hukum sehingga
menjadi legal atau secara agama terdapat kebolehan melakukannya sehingga pelaku tidak di
kenai hukuman. 6

1. Disebabkan Perbuatan Mubah (Asbab Al-Ibaḥah)


Pada dasarnya perbuatan-perbuatan yang di larang oleh hukum islam itu
merupakan perlarangan secara umum bagi semua orang. Meski demikian hukum islam
melihat adanya pengecualian atas dasar pembolehan bagi sebagian orang yang memiliki
karekter-karekter khusus di sebabkan oleh keadaan tuntutan dari masyarakat tertentu.
Contohnya dalam hal melukai, perbuatan melukai adalah tidak di benarkan dalam islam.
Akan tetapi melukai dengan maksud melakukan operasi merupakan perbuatan yang di
bolehkan karena suatu kebolehan yang di kehendaki oleh keadaan. Juga dalam
memukul, perbuatan tersebut adalah di larang dalam islam, akan tetapi memukul dengan
maksud memberikan pendidikan/pelajaran adalah sesuau yang dapat di bolehkan sejauh
pemukulan itu tidak bermaksud melukai. Di samping itu hukum islam memperkenankan
para pendidik tersebut memukul anak didiknya dalam rangka memberi pendidikan dan
mengajari mereka sebagai bentuk perwujudan atas kewajiban yang di bebankan kepada
para pendidik. Perwujudan atas kewajiban yang di bebankan kepada paran pendidik.
Perwujudan dari kewajiban itu merupakan menjalankan kemaslahatan individu dan
masyarakat serta mewujudkan tujuan dari syari’ itu sendiri.
6
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/11055/05.%202%20Bab%202.pdf?sequence=6&isAllowed=y.
hlm 29-30

7
2. Disebabkan Keadaan Si Pelaku (Asbab Raf’i Al-‘Uqubah)
Sebab hapusnya hukuman tidak mengakibatkan perbuatan yang di lakukan itu di
bolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu di larang. Hanya saja oleh karena keadaan
si pelaku tidak mungkin di laksanaknya hukuman maka ia di bebaskan dari hukuman di
dalam islam ada 4 macam sebab yang dapat menghapuskan hukuman :
a. Karena paksaan
Sebagian fuqoha sebagimana dikutip oleh Abdul Qodir Audah memberikan definisi
paksaan adalah suatu perbuatan yang di lakukan oleh seseorang karena orang lain
dan oleh karena itu hilanglah kerelaan atau tidak sempurna pilihannya, atau
paksaannya adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan
menimbulkan pada diri orang yang di paksa suatu keadaan yang mendorong dirinya
untuk mengerjkan perutan yang di mintakan kepadanya.
b. Mabuk
mabuk dalam islam sangat di larang baik mabuk karena minuman atau karena
makanan yang sifat pekerjaan nya di sengaja. Mabuk termasuk dalam salah satu
kelompok jarimah, yaitu meminum minuman keras. Secara umum yang di
maksudkan dengan mabuk adalah hilangnya akal sehat sebagai akibat minum
minuman keras, khamar atau yang sejenis dengan itu. Semua para fukaha
sependapat bahwa mabuk bisa mneghilangkan akal sehatnya dan akan selalu
mengigau dalam setiap pembicaraanya. Menurut pendapat yang kuat (rajah) dari
ulam mazhab yang empat, bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana bagi orang
yang mabuk manakala mabuknya itu di paksakan oleh orang lain, mabuk karena
tidak mengetahui terhadap minuman yang di minum atau makanan yang di makan,
maka ketika melakukan perbuatan atau tindak dalam keadaan mabuk di hukum
sama dengan orang gila.
c. Gila
Pertanggungjawaban pidana di bebankan pada seseorang yang mukallaf, yaitu yang
memiliki kemampuan berpikir dan pilihan dalam berbuat. Jika kedua faktor tersebut
tidak di miliki oleh seorang maka tidak dapat di mintai pertanggungjawaban.
kemampuan berpikir seseorang itu bisa atau dapat hilang karena suatu bahwa sejak
lahir atau karena suatu sebab adanya gangguan dari luar. Manusia ketika mencapai
kedewasaan sudah dapat dengan matang menggunakan kekuatan berpikirnya , akan
tetapi karena adanya suatu gangguan atau karena serangan penyakit baik itu
sebagian atau seluruh alam berpikirnya hilang bisa kapan dan di mana saja tanpa
ada waktu tertentu.
d. Di bawah umur
Konsep pertanggung-jawaban anak kecil (anak di bawah umur) merupakan konsep
yang paling baik dan tepat dalam hukum islam. Di samping itu hukum romawi yang
merupakan hukum positip pertama di dunia membuat pemisahan
pertanggungjawaban anak-anak di bawah umur dengan orang dewasa dalam
8
batasan usia tujuh tahun. Hukum ini menjadikan anak berusia di atas tujuh tahun
memiliki tanggungjawab pidana, dalam keadaan seperti si anak yang belum
mencapai umur dewasa menurut hukum islam telah mendapatkan tanggungjawab
pidana atas perbuatan yang di lakukanya. Hukum islam di pandang sebagai hukum
pertama di dunia yang membedakan secara sempurna antara anak kecil dengan
orang dewasa dari segi tanggungjawab pidana. Dalam hukum islam tanggungjawab
pidana terdiri dari dua unsur yaitu mempunyai berpikir dan mempunyai pilihan.

E. PENGERTIAN UQUBAH

Hukuman secara etimologi berarti sanksi atau dapat pula dikatakan balasan atas suatu
kejahatan/pelanggaran, yang dalam bahasa Arab disebut uqubah. Lafadz uqubah menurut
bahasa berasal dari kata aqoba, yang memiliki sinonim “aqobahu bidzanbihi au ‘ala
dzanbihi”, yang mengandung arti menghukum, atau dalam sinonim lain “akhodzahu
bidzanbihi”, yang artinya menghukum atas kesalahannya.

Sementara dalam bahasa Indonesia hukuman berarti siksaan atau pembalasan kejahatan
(kesalahan dosa). Yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa hukuman
adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang
dan lain sebagainya (yang bersifat mengikat dan memaksa). 7

Secara istilah, dalam hukum pidana Islam disebutkan, hukuman adalah seperti
didefinisikan oleh Abdul Qodir Audah sebagai berikut “Hukuman adalah pembalasan yang
ditetapkan untuk memlihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas
ketentuanketentuan syara”

Selanjutnya dalam ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa hukuman adalah sanksi yang
diatur dengan undang-undang atau reglemen terhadap pelanggaran-pelanggaran norma
hukum tertentu. Dalam KUHP termuat berbagai macam hukuman yang bersifat pidana.
Yang hukuman-hukuman itu terbagi atas hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Sementara dalam hukum positif di Indonesia, istilah hukuman hampir sama dengan pidana.
Yang dalam istilah Inggris sentencing yang disalin oleh Oemar Seno Adji dan Karim
Nasution menjadi “penghukuman”.
Sementara menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul Sistem Pidana dan
Pemidanaan di Indonesia disebutkan bahwa, hukuman adalah suatu pengertian umum,
sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada
seseorang.
Sedangkan menurut Sudarto, sebagaimana dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben
Ahmad, istilah pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
7
Ibid., h. 63

9
Sedangkan menurut Roeslan Saleh yang juga dikutip oleh Mustafa Abdullah, pidana adalah
reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara
pada pembuat delik itu.
Dapat di simpulkan secara istilah uqubah (hukuman) adalah suatu penderitaan atau
nestapa, atau akibat akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja
oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah
melakukan perbuatan atau peristiwa pidana. dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan
kepentingan masryarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.

F. DASAR HUKUM UQUBAH

Berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Islam dalam upaya menyelamatkan manusia baik
perseorangan maupun masyarakat dari kerusakan dan menyingkirkan hal-hal yang
menimbulkan kejahatan. Islam berusaha mengamankan masyarakat dengan berbagai
ketentuan, baik berdasarkan Al-Qur’an, Hadis Nabi, maupun berbagai ketentuan dari ulil
amri atau lembaga legislatif yang mempunyai wewenang menetapkan hukuman bagi kasus-
kasus ta’zir. Semua itu pada hakikatnya dalam upaya menyelamatkan manusia dari ancaman
kejahatan. Dasar penjatuhan hukuman tersebut di antaranya Qs. Shad ayat 26, yang berbunyi
:

‫َٰي َداُوۥُد ِإَّنا َجَع ۡل َٰن َك َخ ِليَفٗة ِفي ٱَأۡلۡر ِض َفٱۡح ُك م َبۡي َن ٱلَّناِس ِبٱۡل َح ِّق َو اَل َتَّتِبِع ٱۡل َهَو ٰى َفُيِض َّلَك َعن َس ِبيِل ٱِۚهَّلل ِإَّن ٱَّل ِذ يَن‬
yhg ‫ب َش ِد يُۢد ِبَم ا َنُسوْا َيۡو َم ٱۡل ِحَس اِب‬ٞ‫َيِض ُّلوَن َعن َس ِبيِل ٱِهَّلل َلُهۡم َع َذ ا‬
Artinya : “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Qs. An-Nisa ayat 135 :

‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنوْا ُك وُنوْا َقَّٰو ِم يَن ِبٱۡل ِقۡس ِط ُش َهَدٓاَء ِهَّلِل َو َلۡو َع َلٰٓى َأنُفِس ُك ۡم َأِو ٱۡل َٰو ِل َد ۡي ِن َو ٱَأۡلۡق َر ِبيَۚن ِإن َيُكۡن َغ ِنًّي ا َأۡو‬
‫َفِقيٗر ا َفٱُهَّلل َأۡو َلٰى ِبِهَم ۖا َفاَل َتَّتِبُعوْا ٱۡل َهَو ٰٓى َأن َتۡع ِد ُلوْۚا َو ِإن َتۡل ٓۥُو ْا َأۡو ُتۡع ِرُضوْا َفِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبَم ا َتۡع َم ُلوَن َخ ِبيٗر ا‬
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang
dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi,
maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.”8
8

10
G. TUJUAN UQUBAH

Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah
pertama, pencegahan serta balasan (ar-rad-u wazzajru) dan kedua, adalah perbaikan serta
pengajaran (al-islah wat-tajdzib). Dengan tujuan tersebut tersebut, pelaku jarimah
(terpidana) tidak mengulangi perbuatan jeleknya. Di samping itu, juga merupakan tindakan
preventif bagi orang lain untuk tidak melakukan hal yang sama. Selain mencegah dan
menakut-nakuti, syari’at Islam tidak lupa memberikan perhatian terhadap pelaku jarimah
(terpidana). Karena hukuman (sanksi) juga bertujuan mengusahakan kebaikan dan
pengajaran bagi pelaku jarimah. Selain itu diharapkan juga dengan adanya hukuman ini
dapat membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh rasa saling menghormati
dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban
masing-masing. Dalam aplikasinya, hukuman dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan,
sebagai berikut : 9

a) Pertama, untuk memelihara masyarakat (prevensi umum). menyelamatkan masyarakat


dari perbuatannya. Pelaku sendiri sebenarnya bagian dari masyarakat, tetapi demi
kebaikan masyarakat yang banyak, maka kepentingan perseorangan dapat dikorbankan.
Sebagaimana ketentuan umum (kaidah), kepentingan yang lebih banyak harus
didahulukan daripada kepentingan perseorangan. Oleh karena itulah, hukum
mengorbankan kesenangan perseorangan untuk menciptakan kesenangan orang banyak.
Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut. Oleh karena itu,
pelaksanaannya dilakukan di hadapan umum agar berdampak sugestif bagi orang lain.
b) Kedua, sebagai upaya pencegahan atau preventif khusus bagi pelaku. Apabila seseorang
melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan yang sesuai dengan perbuatannya.
Yang harapannya pelaku menjadi jera karena rasa sakit dan penderitaan lainnya,
sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di masa datang. Dan juga
orang lain tidak meniru perbuatan si pelaku sebab akibat yang sama juga akan
dikenakan kepada peniru.
c) Ketiga, sebagai upaya pendidikan dan pengajaran (ta’dib dan tahdzib). Hukuman bagi
pelaku pada dasarnya juga sebagai upaya mendidiknya agar menjadi orang baik dan
anggota masyarakat yang baik pula. Dia diajarkan bahwa perbuatan yang dilakukannya
telah mengganggu hak orang lain, baik materil ataupun moril dan merupakan perkosaan
terhadap hak orang lain.
d) Keempat, hukuman sebagai balasan atas perbuatan. Pelaku jarimah (terpidana) akan
mendapatkan balasan atas perbuatan yang dilakukannya. Karena pada intinya menjadi
kepantasan jika suatu perbuatan dibalas dengan perbuatan lain yang sepadan, baik

9
Ibid., h. 63

11
dibalas dengan dengan perbuatan baik dan jahat dengan kejahatan pula dan itu sesuatu
yang adil.

Tujuan dari adanya hukuman adalah untuk menjaga jiwa setiap manusia, seperti
hukuman qishos lahir sebagai upaya menjaga kehidupan, dengan adanya hukuman
pembalasan yang simbang diharapkan agar menjadi alat pencegahan (preventif) terhadap
orang yang akan melakukan kejahatan. Yang dalam bukunya Prof. Islamil Muhammad Syah
mengatakan, dalam upaya memelihara jiwa, Islam melarang pembunuhan dan pelaku
pembunuhan diancam dengan hukuman qishas (pembalasan yang seimbang), sehingga
dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan pembunuhan, berpikir sepuluh
kali, karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka si pembunuh juga akan mati atau
jika yang dibunuh itu tidak mati tetapi hanya cedera, maka si pelaku juga akan cedera pula.
Kalau tujuan-tujuan hukuman di atas tidak dapat tercapai, upaya terakhir dalam hukum
positif adalah menyingkirkan penjahat. Artinya pelaku kejahatan tertentu yang sudah sangat
sulit diperbaiki, dia harus disingkirkan dengan pidana seumur hidup atau hukuman mati.
Dalam hal ini hukum Islam juga berpendirian sama, yaitu kalau dengan cara ta’dib
(pendidikan) tidak menjerakan si pelaku jarimah dan malah menjadi sangat membahayakan
masyarakat, hukuman ta’zir bisa diberikan dalam bentuk hukuman mati atau penjara tidak
terbatas.

Hukuman ta’zir berlaku atas semua orang yang melaukan kejahatan. Syaratnya
adalah berakal sehat. Tidak ada perbedaan, baik lakilaki maupun perempuan, dewasa
maupun anak-anak, atau kafir maupun muslim. Setiap oarang yang melakukan kemunkaran
atau mengganggu pihak lain dengan alasan yang tidak dibenarkan, baik itu dengan
perbuatan, ucapan atau isyarat, perlu diberikan sanksi ta’zir agar tidak mengulangi
perbuatannya. Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman
harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau
lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat prinsip keadilan
dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai
untuk memberikan perhatiannya terhadap diri pembuat. Bahkan memberi pelajaran dan
mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama. Dengan hukuman
itu dimaksudkan untuk alat penyuci dirinya, dan demikian maka terwujud rasa keadilan.

Dari aplikasi tujuan-tujuan hukum, tujuan akhirnya atau tujuan pokoknya adalah
meyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jelek,
mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang lain dan sehingga apa yang
diperbuatnya dikemudian hari berdasarkan kesadaran tadi, tidak selalu dikaitkan dengan
ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan baiknya semata-mata karena kesadaran
hukumnya yang meningkat, bukan karena takut hukum.

Sementara dalam hukum positif tujuan hukuman atau lebih dikenal dengan tujuan
pidana, diantaranya adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang

12
dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban
kejahatan. Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum
menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.

Sementara prevensi khusus yang dianut oleh Van Hamel (Belanda) dan Von Liszt (Jerman)
mengatakan bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader)
bertujuan mencegah pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar
melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakan.

H. DI HAPUSNYA UQUBAH

Asbab raf’ al uqubah atau sebab hapusnya hukuman, tidak mengakibatkan perbuatan
yang dilakukan itu diperbolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja
oleh karena keadaan pelaku tidak memungkainkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan
dari hukuman. Pada dasarnya sebab-sebab hapusnya hukuman bertalian dengan keadaan diri
pembuat, sedang sebab kebolehan sesuatu yang bertalian dengan keadaan perbuatan itu
sendiri. Adapun sebab-sebab hapusnya hukuman ialah sebagai berikut: 10

a. Paksaan
Beberapa pengertian yang telah diberikan oleh para fuqaha tentang paksaan.
Pertama, paksaan ialah suatu perbuatan yang diperbuat oleh seseorang karena orang lain
dan oleh karena itu hilang kerelaannya atau tidak sempurna lagi pilihannya. Kedua,
paksaan ialah suatu perbuatan yang ke luar dari orang yang memaksa dan menimbulkan
pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk
melakukannya perbuatan yang diperintahkan. Ketiga, paksaan merupakan ancaman atas
seorang dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakaannya. Keempat, paksaan
ialah apa yang diperintahkan seorang pada orang lain yaitu membahayakan dan
menyakitinya.

b. Mabuk
Syari’at Islam melarang minuman Khamar baik sampai mengakibatkan mabuk
atau tidak. Minum khamar termasuk jarimah hudud dan dihukum dengan delapan puluh
jilid sebagai hukuman pokok. Mengenai pertanggung jawab pidana bagi orang yang
mabuk maka menurut pendapat yang kuat dari empat kalangan mazhab fiqih ialah bahwa
dia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang diperbuatnya, jika ia dipaksa atau
secara terpaksa atau dengan kehendak sendiri tapi tidak mengetahui bahwa apa yang
diminumnya itu bisa mengakibatkan mabuk.

c. Gila

10
Ahmad Wardi Muslich, Loc. Cit., h. 117.

13
Seseorang dipandang sebagai orang Mukallaf oleh Syari’at Islam artinya dibebani
pertanggungjawaban pidana apabila ia adalah orang yang mempunyai kekuatan berpikir
dan kekuatan memilih (idrak dan ikhtiar). Secara umum dan luas, gila memiliki
pengertian “hilangnya akal, rusak atau lemah”. Definisi tersebut merupakan definisi
secara umum dan luas, sehingga mencakup gila (junun), dungu (al-‘ithu), dan semua
jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilangkan idera (kemampuan berfikir).
Beberapa jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berpikir maupun
sebagiannya.

d. Gila terus menerus


Gila terus menerus adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat berpikir
sama sekali, baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang datang kemudian. Dikalangan
fuqaha, gila semacam ini disebut dengan Al-Jununu Al-Muthbaq.

e. Gila berselang
Orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-
menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama
sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berpikir kembali
seperti biasa.
Pertanggungjawaban pidana pada gila terus menerus hilang sama sekali, sedang pada gila
berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban ketika ia dalam kondisi sehat.

f. Gila sebagian
Gila sebagian menyebabkan seseorang tidak dapat berpikir dalam perkara-perkara
tertentu, sedangkan pada perkara-perkara yang lain ia masih tetap dapat berpikir. Dalam
kondisi dimana ia masih dapat berpikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana,
tetapi ketika ia tidak dapat berpikir, ia bebas dari pertanggungjawaban pidana.
Menurut para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi
sebagai.

g. Dungu (Al-‘Ithu)
Berikut. “orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya
bercampur baur, tidak beres pemikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul
kemudian karena suatu penyakit”. Dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan
gila yang paling rendah dan dungu bias dikatakan berbeda dengan gila, karena hanya
mengakibatkan lemahnya berpikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila
mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-
tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama
kemampuan berpikirnya dengan orang biasa (normal). Namun secara umum orang dungu
tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.

14
Dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah dan
dungu bias dikatakan berbeda dengan gila, karena hanya mengakibatkan lemahnya
berpikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau
kacaunya kekuatan berpikir, sesuai dengan tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun
orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berpikirnya dengan orang biasa
(normal). Namun secara umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana.

h. Di Bawah Umur
Konsep yang dikemukakan oleh Syari’at Islam tentang pertanggungjawaban anak
belum dewasa merupakan konsep yang baik sekali dan meskipun telah lama usianya,
namun menyamai teori terbaru di kalangan hukum positif. Menurut Syari’at Islam
pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara yaitu ketentuan berpikir dan
pilihan idrak dan ikhtiar. Oleh karena itu kedudukan anak kecil berbeda-beda menurut
masa yang dilalui hidupnya mulai dari waktu kelahirannya sampai memiliki kedua
perkara tersebut. Secara alamiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak
ia dilahirkan sampai dewasa, pertama; Masa tidak adanya kemampuan berpikir (idrak),
kedua; Masa kemampuan berpikir yang lemah, dan ketiga; Masa kemampuan berpikir
penuh.

BAB III
PENUTUP

15
A. KESIMPULAN
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at islam adalah pembebanan
seseorang dengan hasil perbuatan yang di kerjakan dengan kamauan sendiri, dimana ia
mengetahui maksut – maksut dan akibat – akibat dari perbuatannya itu.
Dasar hukum pertanggungjawaban pidana dalam islam dalam Qs. Al-najm ayat 39 dan
Qs. Father ayat 18.

Tingkat-tingkat pertanggungjawaban pidana ada 4 yaitu :


a. Sengaja
b. Menyerupai sengaja
c. Keliru
d. Keadaan yang di samakan dengan keliru

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana


a. Pengaruh tidak tahu, lupa dan keliru
- Pengaruh tidak tahu
- Pengaruh lupa
- Pengaruh keliru

Pengertian uqubah secara istilah yang di definisikan oleh abdul qodir audah “hukuman
adalah pembalasan yang di tetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena
adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan syara’”.
Dapat di simpulkan secara istilah uqubah (hukuman) adalah suatu penderitaan atau
nestapa, atau akibat akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja
oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah
melakukan perbuatan atau peristiwa pidana. dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan
kepentingan masryarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.

Faktor di hapusnya uqubah


a. Paksaan
b. Mabuk
c. Gila
d. Gila terus menerus
e. Gila berselang
f. Gila sebagian
g. Dungu
h. Di bawah umur
Tujuan uqubah adalah meyadarkan semua anggota masyarakat untuk berbuat baik
dan menjauhi perbuatan jelek, mengetahui kewajiban dirinya, dan menghargai hak orang
lain dan sehingga apa yang diperbuatnya dikemudian hari berdasarkan kesadaran tadi,
16
tidak selalu dikaitkan dengan ancaman hukuman. Dalam ungkapan lain, perbuatan
baiknya semata-mata karena kesadaran hukumnya yang meningkat, bukan karena takut
hukum.

B. SARAN
Kami tahu bahwasanya Makalah yang kami buat ini memiliki banyak kesalahan,
kekeliruan baik dalam penulisan dan penyajian materi. Jadi memohon kepada para pembaca
sekiranya memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga kedepanya kami
dapat membuat Makalah yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Dr.khairul Hamim, MA. “Fikih jinayah”. Mataram : sanabil.


17
A. Hanafi, M.A, “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/11055/05.%202%20Bab%202.pdf?
sequence=6&isAllowed=y.

Dikitup dari : http://digilib.uinsby.ac.id/18838/5/Bab%202.pdf

18

Anda mungkin juga menyukai