Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PIDANA

Dadershap En Deelneming
Dosen Pembimbing: Bu. Rina Septiani, S.H, M.H

Disusun oleh:

Nama : M. Haidar Al Fairuz

Prodi : AS

Semest : 3 (Tiga)

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA (UNUSIA) JAKARTA

TAHUN PELAJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat, serta pengikut-
pengikutnya sampai akhir zaman. Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat, hidayah, dan inayah-Nya akhirnya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah untuk memenuhi sebagian tugas dalam mata kuliah
Hukum Pidana.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik
dalam hal penyusunan, penggunaan bahasa, maupun kelengkapan materi. Oleh karena itu
penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Tersusunnya makalah ini
tidak luput dari berbagai kendala, dukungan moral, bantuan, dan dorongan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan baik. Akhir kata penulis berharap agar
makalah ini bermanfaat bagi semua pembaca.

Bogor, 18 Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah........................................................................................ iii

B. Rumusan Masalah ................................................................................................. iii

C. Tujuan dan Manfaat .............................................................................................. iv

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Deelneming atau Keturutsertaan (Penyertaan) ................................... 1

B. Deelneming (Penyertaan ) Diatur Dalam Pasal 55 dan 56 KUHP ........................ 1

C. Bentuk-Bentuk Deelneming .................................................................................. 2

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 11
B. Saran ...................................................................................................................... 11

Daftar Pustaka ............................................................................................................ 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada saat ini banyak sekali terdapat kasus dimana pelakunya lebih dari satu orang, yang
terjadi di masyarakat kita. Dalam beracara, hakim menjatuhkan pidana atas suatu perkara.
Hakim mendasarkan putusannya selain pada undang-undang juga mempertimbangkan
tuntutan dari jaksa penuntut umum.
Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang
disertai ancaman pada barang-barang siapa yang melanggar larangan
tersebut, wadah tidak pidana ialah undang-undang, baik berbentuk kodefikasi yakni KUHP
dan diluar kodefikasi yang tersear luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Penyertaan atau dalam bahasa Belanda Deelneming di dalam hukum Pidana
Deelneming dipermasalahkan karena berdasarkan kenyataan sering suatu delik dilakukan
bersama oeleh beberapa orang, jika hanya satu orang yang melakukan delik, pelakunya
disebut Alleen dader.
Dalam makalah ini kami menjelaskan beberapa bahasan tentan pengertian, peraturan
dalam KUHP yang mengatur tentang hal tersebut serta bentuk, sifat dan contoh kasusnya
dalam kehiduapan masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian delneming secara umum?
2. Apa landasan atau dasar hukum dari delneming?
3. Apa saja bentuk bentuk delneming?
4. Bagaimana contoh kasus delneming berdasarkan bentuk bentuk atau macam macam
jenis delneming?

iii
C. Tujuan dan Manfaat
1. Untuk melengkapi tugas kelompok Hukum Pidana.
2. Untuk mengetahui pengertian delneming.
3. Untuk mengetahui dasar hukum delneming.
4. Untuk memahami bentuk bentuk delneming.
5. Untuk mengetahui contoh contoh kasus dalam kehidupan sehari hari yang termasuk
delneming.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Deelneming atau Keturutsertaan (Penyertaan)

Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang

yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang dilakukan,tetapi ada juga yang

dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang

berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan

perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak

pidana dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan

orang lain 1

Prof.Satochid Kartanegara mengartikan Deelneming apabila dalam satu delik

tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Menurut doktrin, Deelneming

menurut sifatnya terdiri atas : 2

a. Deelneming yang berdiri sendiri,yakni pertanggung jawaban dari setiap peserta


dihargai sendiri-sendiri.
b. Deelneming yang tidak berdiri sendiri,yakni pertanggungjawaban dari peserta yang
satu digantunggkan dari perbuatan peserta yang lain.

B. Deelneming (Penyertaan ) Diatur Dalam Pasal 55 dan 56 KUHP


Pasal 55 KUHP berbunyi 3 :
(1) “Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu:
- Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan.

1
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm 174.
2
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah bagian satu, Balai Lektur Mahasiswa, hlm.
497 – 498
3
Moeljatno, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), Ketentuan pasal 55
dan 56.

1
- Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan
menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana
atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakan orang lain untuk
melakuakn tindak pidana yang bersangkutan
(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka
gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana seperti yang telah diatur didalam Pasal 56 KUHP adalah
sebagai berikut:
“Dihukum sebagai pembantu-pembantu didalam suatu kejahatan, yaitu:
1. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan
tersebut.
2. Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-saran atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.”

C. Bentuk-Bentuk Deelneming
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan
pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah:
1. Pleger atau orang yang melakukan
Orang yang memenuhi semua unsur delik sebagaimana di rumuskan oleh
undang-undang,baik unsur subjektif maupun objektif,Umumnya pelaku dapat diketahui
dari jenis delik yakni delik formil dan delik materil.
2. Doen plegen atau menyuruh melakukan
Di dalam ilmu hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu
tindak pidana itu biasanya disebut sebagai orang middellijk dader atau seorang
mettelbare tater, yang artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut pelaku tidak
langsung karena ia memang secara tidak langsung melakukan sendiri tindak pidana,
malinkan dengan perantara orang lain.
Menurut ketentuan pidana di dalam pasal 55 KUHP, seorang middelijke dader
atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya
dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini
yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku materialnya itu sendiri.

2
Oleh karena dalam bentuk deelneming doen plegen ini selalu terdapat seorang
middelijke dader, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu
middelijke daderschap.
Untuk adanya suatu doen plegen seperti yang dimaksudkan di dalam pasal 55
ayat 1 angka 1 KUHP itu, orang yang disuruh melakukan itu haruslah memenuhi
beberapa syarat tertentu yaitu:
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang
yang ontoerekeningvatbaar seperti yang dimaksudkan didalam pasal 44 KUHP
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana mempunyai suatu
dwaling atau suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak pidana
yang bersangkutan.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindakpidana itu sama sekali tidak
mempunyai unsur schuld, baik dolus maupun culpa, ataupun apabila orang tersebut
tidak memenuhi unsur opzet seperti yang tela disyaratkan oleh undang-undang bagi
tindak pidana tersebut
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu memenuhi unsur
oogmerk, padahal unsur tersebut telah disyaratkan didalam rumusan undang-
undang mengenai tindak pidana tersebut diatas
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu telah melakukannya
dibawah pengaruh suatu overmacht atau dibawah pengaruh suatu keadaan yang
memaksa, dan terhadap paksaan mana orang tersebut tidak mampu memberikan
suatu perlawanan.
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik telah
melaksanakan suatu perintah jabatan, padahal perintah jabatan tersebut diberikan
oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam itu
- Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu tidak mempunyai
suatu hoedanigheid atau suatu sifat tertentu, seperti yang telah disyaratkan oleh
undang-undang, yakni sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya
sendiri.
Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah tidak perlu, bahwa orang yang telah
menyuruh melakukan itu harus secara tegas memberikan perintahnya kepada orang
yang telah disuruhnya melakukan sesuatu. Untuk adanya suatu doen plegen itu adalah
juga tidak perlu, bahwa suruhan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus

3
diberikan secara langsung untuk middelijke dader kepada orang materieele dader.
Melainkan ia dapat juga diberikan dengan perantaraan orang lain.
3. Medeplegen atau turut melakukan
Medeplegen disamping merupakan suatu bentuk deelneming, maka ia juga
merupakan suatu bentuk daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak
pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila
beberapa orang yang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap
peserra didalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta
atau peserta lainnya.
Misalnya tiga orang secara bersama-sama telah melakukan pelanggaran dengan
bersepeda secara berjejer diatas jalan umum, yang oleh pembentuk undang-undang
telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman.
Menurut Prof. Lamintang, hakim tidak perlu menyebutkan secara tegas bentuk-
bentuk keturutsertaan yang telah dilakukan oleh seorang tertuduh, oleh karena
pencantuman dari peristiwa yang sebenarnya telah terjadi itu sendiri sebenarnya telah
menunjukkan bentuk ketrutsertaan yang dilakukan oleh masing-masing peserta didalam

suatu tindak pidana yang telah mereka lakukan. 4

Menurut van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada,
yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta didalam suatu tindak pidana dapat dianggap
sebagai telah menghasilkan suatu dadrschap secara sempurna.
Menurut Prof. Van Hattum, perbuatan medepelegen didalam pasal 55 KUHP
itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan
untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Ini berarti bahwa suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu culpoos delict
itu dapat dihukum dan sebaliknya suatu ketidaksengajaan turut melakukan sesuatu
opzetettelijk atau suatu culpos delict itu menjadi tidak dapat dihukum. Ini berarti bahwa
menurut Prof. Van Hattum opzet seorang medeplegen itu harus ditujukan kepada:
- Maksud untuk bekerjasama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana
dan

4
Drs. P.A.F.Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1997), hlm. 615-633.

4
- Dipenuhinya semua unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet
yang harus dipenuhi oleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan
dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
Menurut Prof. Legemeijer, baik orang yang mempunyai opzet untuk membunuh
koraban, maupun orang yang turut melakukan dengan maksud semata-mata
menganiaya koraban itu kedua-duanya harus dipersalahkan telah turut melakukan suatu
penganiayaan berat yang menyebabkan matinya orang lain.
Sebagai alasan telah dikemukakannya bahwa bentuk-bentuk daderschap yang
disebutkan dalam pasal 55 KUHP itu harus ditafsirkan sedemikian rupa, sehingga
bentuk-bentuk daderschap tersebut harus disamakan dengan plegen.
Menurut Prof. Van Hattum, untuk adanya suatu medeplegen itu tidak diperlkan
adanya suatu kesamaan opzet pada masing-masing peserta kejahatan.
Perbedaan medeplegen dengan medeplichtigheid disebutkan dalam Memorie
van toechlichting : “Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang
yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara
langsung telah ikut mengambil bagian dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang
telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung
turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan untuk menyelesaikan
tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebutkan terakhir itu hanyalah
memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan”.
Kedua bentuk ini mempunyai akibat yang berbeda-beda, yaitu dihubungkan
dengan jenis delik yang dapat menjadi objek dari kedua bentuk deelneming tersebut.
Pada medeplegen yang dapat dihukum adalah turut melakukan baik kejahatan maupun
pelanggaran, sedang pada medeplichtigheid itu yang dapat dihukum hanyalah
membantumelakukan kejahatan saja. Oleh karena menurut pasal 60 KUHP itu,
perbuatan membantu melakukan pelanggaran dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang
tidak dapat dihukum.
Dewasa ini sudah tidak lagi menjadi persoalan, apakah orang yang tidak
mempunyai suatu “persoonlijke hoedanigheid” atau suatu “sifat pribadi” itu dapat turut
melakukan suatu Kwaliteitsdelict atau tidak, oleh karena menurut paham yang terbaru,
seseorang yang tidak mempunyai kualitas tertentu yang oleh undang-undang telah
disyaratkan harus dimiliki oleh pelakunya itu, dapat saja turut melakukan apa yang
disebut kwaliteits delicten, hanya saja dengan satu syarat, yaitu bahwa mereka itu

5
mengetahui bahwa rekan pesertanya didalam melakukan suatu kwaliteitsdelict itu
memiliki kualitas seperti itu.
Bagi suatu medeplegen, seperti halnya dengan suatu poging, diperlukan adanya
suatu begin van uitvoering atau suatu permulaan pelaksanaan, walaupun undang-
undang sendiri telah mensyaratkan hal tersebut secara tegas.
4. Uitlokking atau menggerakkan orang lain
Uitlokking atau mereka yang menggerakkan untuk melakukan suatu tindakan
dengan daya – upaya tertentu, adalah bentuk penyertaan penggerakkan yang inisiatif
berada pada penggerak. Dengan perkataan lain, suatu tindak pidana tidak akan terjadi
bila inisiatif tidak ada pada penggerak. Karenanya penggerak harus dianggap sebagai
petindak dan harus dipidana sepadan dengan pelaku yang secara fisik menggerakkan.
Tidak menjadi persoalan apakah pelaku yang digerakkan itu sudah atau belum

mempunyai kesediaan tertentu sebelumnya untuk melakukan tindak pidana. 5

Syarat – syarat dalam bentuk penyertaan penggerak:


- Kesengajaan penggerak ditujukan agar suatu tindakan tertentu dilakukan
oleh pelaku yang digerakkan.
Tujuan penggerakan itu adalah terwujudnya suatu tindak pidana tertentu. Ini berarti
apabila yang dilakukan oleh pelaku yang digerakkan adalah tindak pidana lain,
maka penggerak bukan merupakan petindak. Harus ada hubungan kausal antara
kesengajaan dengan tindak pidana yang terjadi. Menurut undang – undang secara
harafiah tidak ada pengaruh dari kesengajaan yang ada pada penggerak, selama
orang yang digerakkan tidak melakukan tindakan yang digerakkan atau selama
tindakannya hanya sampai pada persiapan-pelaksanaan. Kesengajaan penggerak
mempunyai pengaruh melalui pasal 163 hanya dalam hal tindakan yang digerakkan
merupakan kejahatan. Bilamana tindakan yang digerakkan itu adalah pelanggaran,
maka penggerak tidak dapat dipidana.
- Daya upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan
dalam undang-undang.
Daya-upaya untuk menggerakkan adalah tertentu sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang yaitu suatu pemberian, suatu perjanjian, penyalahgunaan

5
E.Y. Kanter, S.H., dan S.R. Sianturi, S.H., Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
(Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm 350-359.

6
kekuasaan, kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan pemberian
kesempatan, sarana atau keterangan.
a) Pemberian dan perjanjian, dirumuskan tanpa memberikan suatu pembatasan.
Pengertiannya menjadi luas yaitu dapat berbentuk uang atau benda, bahkan di
luar bentuk uang atau benda seperti misalnya jabatan, kedudukan atau lebih luas
lagi yaitu suatu janji yang akan membantu si tergerak baik secara material
maupun secara moril untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dan lain sebagainya.
b) Penyalahgunaan kekuasaan, bukan saja terbatas pada kekuasaan yang ada
padanya karena jabatan, tetapi juga meliputi kekuasaan yang dimiliki oleh
penggerak secara langsung terhadap si tergerak, seperti hubungan kekeluargaan,
pekerjaan, pendidikan, kepercayaan, dan sebagainya. Ini harus dibedakan
dengan perintah jabatan yang termaksud pada pasal 52 KUHP. jika pada
perintah jabatan perbuatan tersebut termasuk wewenang dari penguasa, maka
pada penyalahgunaan kekuasaan tidak dipersyaratkan bahwa perintah itu
termasuk tindakan yang benar-benar diharuskan dalam rangka kekuasaan yang
disalahgunakan itu.
c) Penyalahgunaan martabat, merupakan suatu kekhususan di Indonesia yang
ditambah dalam KUHP yang di dalam W.v.S tidak ada. Contohnya adalah
kepala suku yang dipatuhi karena disegani.
d) Kekerasan, di sini harus sedemikian ringan sehingga tidak merupakan suatu
alasan untuk meniadakan unsur kesalahan/kesengajaan dari si tergerak (pasal 48
daya paksa) yang mengakibatkan tidak dipidananya si tergerak. Batas yang
tegas antara kekerasan yang dimaksud di pasal 48 dan menurut pasal 55 agak
sukar ditentukan, karena undang – undang juga tidak menentukan. Perbatasan
ini lebih diserahkan kepada penafsiran, yang sedemikian ringan sehingga
menurut perhitungan layak, si tergerak mampu mengelak atau menolak untuk
melakukan tindak pidana yang digerakkan. Misal, seorang wanita mendorong-
dorong pacarnya untuk memukul bekas tunangannya yang pernah menyakiti
hatinya.
e) Ancaman, tidak terbatas pada ancaman kekerasan seperti di atas, tetapi meluas
juga sampai pada ancaman penghinaan, ancaman pembukaan rahasia pribadi,
ancaman akan memecat atau menyisihkan dari suatu pergaulan, ancaman akan
mengurangi hak/kewenangan tertentu, dan lain sebagainya.

7
f) Penyesatan, ada juga yang menyebutnya tipu-daya, tetapi agar tidak disamakan
dengan penipuan dan kejahatan tipu-daya maka lebih baik disebut penyesatan.
Yang dimaksud penyesatan ialah agar supaya seseorang tergerak hatinya untuk
cenderung melakukan suatu tindakan sebagaimana yang digerakkan oleh
penggerak. Unsur kesengajaan harus ada pada orang yang digerakkan.
Contohnya A bilang pada B bahwa C telah menjelekkan nama B, yang
sesungguhnya tidak benar, karenanya B jadi marah dan memukul C. Akibat dari
penyesatan adalah untuk menimbulkan ketegangan dalam hati orang lain yang
dapat berupa iri hati, pembangkitan dendam terpendam, kebencian, amarah dan
sebagainya sehingga ia cenderung untuk melakukan suatu tindakan tetapi dalam
batas-batas bahwa ia sesungguhnya masih dapat mengendalikan diri sendiri.
g) Pemberian kesempatan, sarana atau ketenangan, adalah merupakan cara untuk
menggerakkan seseorang yang ketentuannya baru ditambah tahun 1925 dalam
KUHP. Dalam pasal 56 ke-2 yang berbunyi ”mereka yang sengaja memberikan
kesempatan, saran, atau keterangan untuk melakukan kejahatan”, kadang agak
sulit dibedakan dengan pasal 55.
Contoh: A memberi kesempatan (sarana/keterangan) kepada B, kemudian B
melakukan suatu tindak pidana, maka sehubungan dengan pasal 55 dan 56
tersebut perbedaannya terletak pada:
- Jika pada A, keinginan atau kehendak untuk melakukan suatu tindak pidana
tertentu sudah ada sejak pertama kali, sedangkan pada B baru ada setelah ia
digerakkan dengan pemberian kesempatan (sarana/keterangan) dan lalu b
melakukan tindak pidana, maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan
penggerak (pasal 55). Dalam hal ini A adalah penggerak dan B yang
digerakkan. Tetapi jika pada B sejak semula sudah ada kehendak untuk
melakukan suatu tindak pidana tertentu dan ia minta kesempatan dan
sebagainya dari A, di mana A sengaja memberikannya dan diketahui bahwa
kesempatan itu diperlukan oleh B untuk melakukan suatu pidana tertentu,
maka kita berbicara mengenai bentuk penyertaan pembantuan (pasal 56).
Dalam hal ini A adalah pembantu dan B petindak/pelaku.
- Dalam kasus tersebut di atas, apakah B sebagai tergerak atau sebagai petindak
(pelaku) ancaman pidananya adalah sama, yaitu dipidana (sama) sebagai
petindak (dader), tetapi bagi A tidak demikian, karena dalam hal bentuk
penyertaan penggerakan ia dipidana sebagai petindak, tetapi dalam hal bentuk

8
penyertaan pembantuan ia dipidana sebagai pembantu – petindak yang
ancaman pidana maksimumnya dikurangi dengan sepertiganya.
- Adanya orang yang digerakkan, dan telah melakukan suatu tindakan karena
daya-upaya tersebut.
Dalam penyertaan pergerakan harus selalu ada orang yang digerakkan baik
langsung maupun tidak langsung. Hubungan antara penggerak dengan orang lain itu
tidak harus selalu langsung. Misalnya begini, A menggerakkan B dan kemudian pada
waktu dan tempat yang terpisah B bersama – sama C melakukan tindakan yang
dikehendaki oleh A. Dalam hal ini A tetap dipertanggungjawabkan sebagai
penggerak dari B maupun C. C dianggap telah turut tergerak melakukan tindakan
tersebut karena daya upaya A.
- Pelaku yang digerakkan harus telah melakukan tindak pidana yang
digerakkan atau percobaan untuk tindak pidana tersebut.
Hubungan kausal antara daya-upaya yang digunakan dan tindak pidana yang dilakukan
harus ada. Artinya justru si tergerak itu tergerak hatinya untuk melakukan tindak pidana
adalah karena daya – upaya dari penggerak. Tindak pidana yang dikehendaki oleh
penggerak harus benar – benar terjadi. Seandainya tindakan tergerak hanya sampai pada
suatu tingkat percobaan yang dapat dihukum saja dari tindak pidana yang dikehendaki
penggerak, maka penggerak sudah dapat dipidana menurut pasal 55 ayat (2).
5. Medeplichtigheid atau pembantu
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu :
Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak
disebutkan dalam KUHP. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan
turut serta (medeplegen), namun perbedaannya terletak pada:
- Pada pembantuan perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang
pada turut serta merupakan perbuatan pelaksanaan.
- Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi bantuan tanpa diisyaratkan
harus kerja sama dan tidak bertujuan atau berkepentingan sendiri, sedangkan dalam
turut serta, orang yang turut serta sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara
bekerja sama dan mempunyai tujuan sendiri.
- Pembantuan dalam pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHP), sedangkan turut
serta dalam pelanggaran tetap dipidana.
- Maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan
dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut serta dipidana sama.

9
Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan, yang dilakukan dengan cara
memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Pembantuan dalam rumusan ini mirip
dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya pada niat atau kehendak, pada
pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah ada sejak semula atau tidak
ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam penganjuran, kehendak melakukan
kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat yang semuanya dipidana sama
dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari pada pembuatnya, yaitu dikurangi
sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHP).
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pembantu
dipidana penjara maksimal 15 tahun. Namun ada beberapa catatan pengecualian:
- Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak
pidana:
a) Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHP) dengan cara
memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan,
b) Membantu menggelapkan uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHP),
c) Meniadakan surat-surat penting (Pasal 417 KUHP).
- Pembantu dipidana lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal
melakukan tindak pidana:
a) Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3) KUHP).
b) Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349 KUHP)
Perlu diketahui bahwa disamping bentuk keturutsertaan diatas itu, KUHP kita
masih mengenal 2 bentuk keturutsertaan lainnya, masing-masing:
a) Samenspanning atau permufakatan jahat sebagaimana yang telah diatur dalam
pasal 88 KUHP dan
b) Deelneming aan eene vereniging die tot oogmerk heft het plegen van misdrijven
atau keturutsertaan dalam suatu kumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan-
kejahatan sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 169 KUHP.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyertaan adalalah perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang
yang saling terkait dan secara sadar menegetahuai apa yang dilakukan,tetapi ada juga yang
dikarenakan unsur paksaan. Penyertaan di atur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP yang
berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan
perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak
pidana dapat di sebutkan bahwa seseorang tersebut turut serta dalam hubungannya dengan
orang lain.
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan yang ada menurut ketentuan-ketentuan
pidana dalam pasal-pasal 55 dan 56 KUHP itu adalah: Pleger atau Orang yang melakukan,
Doen plegen atau menyuruh melakukan, Medeplegen atau turut melakukan, Uitlokking
atau menggerakkan orang lain, dan Medeplichtigheid atau pembantu

B. Saran
Dengan terselesainya tugas makalah Hukum Pidana, semoga makalah ini bisa
menambah pengetahuan para pembacanya. Dan saya sebagai penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.

11
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Erdianto. 2011. Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Refika Aditama.


E.Y. Kanter dkk. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta:
Storia Grafika.
Moeljatno. 2003. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.
Satochid Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu. Balai Lektur
Mahasiswa.
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.

12

Anda mungkin juga menyukai